BAB III URGENSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG MELARIKAN DIRI KE LUAR NEGERI A.
Adanya Hambatan-Hambatan yang Dihadapi Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Kesulitan Melakukan Pelacakan Harta yang Dihasilkan Oleh Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana pencucian uang
lazimnya ditempatkan oleh pelaku kejahatan di dalam sistem finansial maksudnya agar mengaburkan asal-usul uang tersebut yang bermula dari kejahatan asal (predicate crime). 54 Melalui mekanisme ini aparat penegak hukum sangat mudah melakukan pelacakan harta, penyebabnya adalah adanya indikasi transaksi keuangan mencurigakan. Masalah yang timbul dan menjadi hambatan apakah telah terbukti telah melakukan tindak pidana pencucian uang yang bisa dikategorikan sangat rumit dalam membuktikannya. Kemudian dilakukan pelacakan harta kekayaan (trace the money atau follow money) dan bagaimana kalau tindak pidana pencucian uang yang dimaksud tidak terbukti, apakah dapat dilakukan pelacakan harta kekayaan ataukah dapat menggunakan prinsip harta kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar, walaupun cara penanganan undangundang anti pencucian uang mengikuti alur harta kekayaan. Prinsip hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan undang-undang yang lahir dalam rangka menunjang 54
http://www.portalhukum.com/index:php?name=news&article&sid=28, diakses tanggal
3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
perekonomian nasional, sehingga mengatur prinsip-prinsip tersendiri di luar ketentuan hukum acara pidana, misalnya prinsip hukum pembuktian yang menekankan pada terdakwa untuk membuktikan sendiri tindak pidana yang dilakukan berdasarkan penyidikan dan penuntutan diduganya melakukan tindak pidana yang dimaksud. Konsekuensi hukum yang timbul dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pembuktian tindak pidana pencucian uang yang diperoleh dari hasil tindak pidana asal memerlukan perangkat hukum yang sistematik dengan memperhatikan proses pencucian uang yang sangat sulit untuk dijangkau dengan sistem hukum konvensional 55, tanpa memperbaiki sistem hukum yang diadakan menjadi penghambat proses pencucian uang melalui 3 tahap, yaitu penempatan, pelapisan, dan penggabungan. Pada tahap penempatan bentuk uang dirubah karena sebagian besar aktivitas kejahatan modern khususnya pengedaran obat bius (narkoba), bergantung pada uang tunai sebagai alat pertukaran utama, mekanisme penempatan biasanya melibatkan pengubahan mata uang menjadi bentuk lainnya, contohnya sejumlah besar uang tunai yang diterima oleh penjual narkoba didepositokan dalam transaksi berulang dalam rekening bank, sehingga bentuk uang tersebut telah berubah dan sekarang uang itu satu langkah lebih jauh dari asal ilegalnya semua uang tunai sekarang telah menjadi satu bagian elektronik
55
http://www.hukumonline.com/detail.dsp?id=15220&cl+Berita, diakses tanggal 3-8-
2010.
Universitas Sumatera Utara
dalam lautan uang. 56 Pada tahap pelapisan pelaku pencucian uang berusaha mengurangi dampak jejak di atas kertas asal mula uang tersebut sesuai namanya, lapisan transaksi berupa unit-unit usaha permukaan atau mekanisme penutupan lain dijalankan antara uang dan sumbernya lapisan-lapisan itu mungkin melibatkan tempat-tempat atau bank di negara lain, tempat-tempat dimana kerahasiaan bank menyulitkan pelacakan jejak uang. Jika pada tahap penempatan dan pelapisan telah berhasil diselesaikan, maka pelaku akan berusaha menggabungkan kembali dana yang dicuci dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku, mekanisme integrasi menggunakan institusi finansial atau penyedia jasa keuangan dan alat yang sama yang digunakan dalam tahap-tahap lainnya, pada tahap ini pelaku pencucian sekarang perlu membuat dana tersebut terlihat seperti sah asalnya. 2. Kurangnya Kerjasama Instansi Terkait di Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang telah dikategorikan sebagai money is the root of all evil, 57 tindak pidana sejenis ini sangat besar dampaknya bagi sistem perekonomian suatu negara, untuk itu dalam rangka penanggulangannya diperlukan suatu perangkat hukum yang menjadi legitimasi bagi aparat hukum yang ditunjuk dan diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakannya, di samping itu dibentuk lembaga khusus yang diberi wewenang dan tugas penanganan tindak pidana ini, misalnya pembentukan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi
56 57
TB. Irman, Op.cit, hal 41. http://www.suaramerdeka.com/harian/0611/07/nas24.htm, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Korupsi (KPK). Keterkaitan kedua lembaga ini sangat penting terutama dalam rangka perkembangan suatu prinsip pembuktian di dalam menangani tindak pidana pencucian uang, yakni patut diduganya harta kekayaan berasal dari suatu tindak pidana. Dalam lingkup nasional, PPATK antara lain telah melakukan kerjasama yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) dengan Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lembaga pemerintah di bidang kehutanan (Center for International Forestry Research). Pasal 26 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam melaksanakan fungsinya PPATK mempunyai tugas sebagai berikut: a) mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan Undang-undang ini; b) memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan; c) membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan; d) memberi nasihat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh oleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini; e) mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukan dalam Undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; f) memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; g) melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian dan kejaksaan; h) membuat dan memberikan laporan mengenai hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan lembaga PPATK sebagaimana dimaksud dalam konsiderans Undang-Undang Anti Pencucian Uang adalah dalam rangka mencegah dan memberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan negara terjaga, di samping itu untuk memperlancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang. Dimana undangundang ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta pemblokiran harta kekayaan kepada Penyedia Jasa Keuangan serta meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap hal yang telah dilaporkan PPATK baik itu sebagai tersangka atau terdakwa dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Dalam rangka melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat melakukan kerjasama dengan pihak terkait baik nasional maupun internasional dalam forum bilateral dan multilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kerjasama dapat dilakukan dengan atau tanpa perjanjian tertulis. Dalam Pasal 9 ayat (3) Keppres RI No. 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yaitu kerjasama dapat berupa pertukaran informasi, bantuan teknis, dan atau pendidikan dan pelatihan. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang PPATK juga melakukan kerjasama dengan Kepolisian Negara RI, kerjasama antara PPATK dengan Kepolisan Negara RI sebagaimana dituangkan dalam pasal 10 ayat (2) Keppres RI No. 82 Tahun 2003 meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a) analisis terhadap laporan-laporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK; b) pemberian dan permintaan informasi dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang; c) pendidikan dan pelatihan; dan d) hal-hal lain yang akan ditentukan bersama oleh PPATK dengan Kepolisan Negara RI. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang PPATK juga melakukan kerjasama dengan Kejaksaan RI. Hal ini dicantumkan dalam Pasal 11 Keppres Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan PPATK dalam ayat 2 dinyatakan: a) permintaan informasi dalam rangka analisis terhadap laporanlaporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK; b) pemberian dan permintaan informasi dalam rangka penuntutan; c) pemberian dan permintaan informasi mengenai eksekusi putusan pengadilan atas perkara tindak pidana pencucian uang; d) pendidikan dan pelatihan; e) hal-hal lain yang akan ditentukan bersama oleh PPATK dengan Kejaksaan RI. Begitu juga dengan Dirjen Bea Cukai, PPATK juga membuat kerjasama untuk memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang. Kerjasama itu dituangkan dalam Pasal 12 ayat (2) yaitu: a) penyampaian laporan dan informasi tambahan yang berkaitan dengan pembawaan uang rupiah secara tunai ke dalam atau ke luar wilayah Republik Indonesia; b) permintaan informasi dalam rangka analisis terhadap laporanlaporan transaksi keuangan yang diterima oleh PPATK; c) permintaan informasi dalam rangka pencegahan uang; d) pendidikan dan pelatihan; dan e) hal-hal lain yang akan ditentukan bersama oleh Kepala PPATK dengan Direktur Jederal Bea Cukai. Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana yang menghasilkan harta
Universitas Sumatera Utara
kekayaan yang tidak sah maka berdasarkan undang-undang tersebut telah dibentuk PPATK yang tugas pokoknya adalah membantu penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat pedoman bagi PJK dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam Keputusan Kepala PPATK No.2/1/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan dinyatakan bahwa selanjutnya untuk meningkatkan efektifitas dalam pelaksanaannya, PPATK senantiasa melakukan kajian dan penyempurnaan terhadap pedoman yang hasilnya akan diterbitkan secara berkala. Selain itu dimungkinkan pula untuk memberikan penjelasan terhadap hal-hal penting yang mungkin timbul dalam implementasinya. PPATK akan menerbitkan pula pedoman yang lebih rinci dan sifatnya lebih teknis antara lain: 58 a) Pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan; b) Pedoman pelaporan transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan; c) Pedoman pelaporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai bagi penyedia jasa keuangan. 58
Lihat Keputusan Kepala PPATK No.2/1/Kep.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu disinilah letak pentingnya kerjasama instansi terkait yang berperan dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang, seperti PPATK, kepolisan, kejaksaan serta juga pihak-pihak yang bekerja sama dengan PPATK. Kelemahan koordinasi dan kerjasama di antara instansi tersebut yang tampaknya merupakan faktor pemicu kemandulan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pencucian uang di Indonesia sedangkan dari sisi perundang-undangan yang berlaku tampak tidak ada kelemahan-kelemahan mendasar apalagi setelah dilakukan perubahan-perubahan yang signifikan di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. 59 Bahkan perubahan berarti dalam undang-undang ini adalah dimasukkannya ketentuan mengenai kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana sehingga dengan ketentuan tersebut pemerintah Indonesia memiliki landasan hukum yang kuat untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam pemberantasan kasus pencucian uang. 3. Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Tersebut Melarikan Diri ke Luar Negeri Vincentius yang merupakan mantan Financial Controller Asian Agri Group ini diduga melakukan pencucian uang lewat pembobolan uang Asian Agri Abadi Oil & Fats Ltd di Singapura sebesar US$ 3,1 juta (sekitar Rp28 miliar). 60 Vincent melakukan aksi pembobolan pada bulan November 2006 dengan cara mengirim surat perintah transfer ke Bank Fortis (Singapura) agar mentransfer US$ 3,1 juta ke Bank Panin, Jakarta.
59 60
http://openlibrary.org/perubahan-uu-pencucian-uang/, diakses tanggal 3-8-2010. http://antikorupsi.org/indo/content/view/11072/6/, diakses tanggal 8-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam surat itu Vincent memalsukan tanda tangan dua petinggi Asian Agri di Singapura. Adapun penadah uang panas itu adalah PT Asian Agri Jaya dan PT Asian Agri Utama, perusahaan fiktif yang didirikannya bersama rekannya, Hendri Susilo. Baru Rp200 juta dana dicairkan, aksi tersebut keburu terbongkar. Vincent lalu kabur ke Singapura sebelum akhirnya menyerahkan diri ke kepolisian. Ia sempat meminta ampun kepada Sukanto Tanoto, tapi tidak dikabulkan. Karena itulah, ia mengadukan dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke KPK. Dari hasil penyelidikan aparat gabungan Dirjen Pajak dan KPK terhadap 14 unit usaha Asian Agri, ada indikasi kuat telah terjadi manipulasi isi surat pemberitahuan tahunan pajak sepanjang 2002-2005 lewat berbagai modus. Negara kehilangan penerimaan Pajak Penghasilan Rp786 miliar. 61 Mereka diduga menggelapkan uang USD 3,1 juta milik Asian Agri. Mereka lantas membentuk dua perusahaan, PT Asian Agri Jaya, Asian Agri Utama. Atas perintah Vincentius, PT AAJ an AAU lantas membuka rekening penampung (escrow account) di Bank Panin Cabang Lindeteves, Jakarta Pusat. Dari rekening tersebut pada 13 November 2006, dilakukan transfer dari Fortis Bank Singapore (FBS) ke Bank Panin sebesar USD 1,2 juta. Vincentius diduga terpaksa memalsukan tanda tangan dua pejabat Asian Agri untuk melaksanakan perintah transfer sekaligus memastikan transfer sudah mencapai USD 3,1 juta pada 16 November 2006, Vincentius lantas mencairkan Rp 200 juta. Namun, upaya ini tak berlanjut, ulah Vincentius terendus polisi setelah diadukan Asian Agri. Vincentius pun melarikan diri ke Singapura, jelas
61
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sutarto. Lantas polisi memasukkan nama Vincentius dalam daftar pencarian orang (DPO). Begitu juga contoh kasus sulitnya mengekstradisi Hendra Raharja dari Australia kendati Indonesia dan Australia sudah memiliki perjanjian ekstradisi, Havas, yang juga Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan DepluRI itu, menjamin bahwa dengan Singapura kasus seperti itu akan sulit terjadi. Alasan yang mencolok, adalah sistem pengadilan antara Australia dan Singapura menyangkut ekstradisi yang berbeda. Di Australia, permintaan ekstradisi dapat diajukan banding hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Sedangkan di Singapura hanya sampai di Pengadilan Negeri. Indonesia dan Australia telah mempunyai perjanjian ekstradisi sejak tahun 1992, namun dalam kasus Hendra Raharja, koruptor yang lari ke Australia, proses ekstradisi berjalan alot karena harus melalui sejumlah proses hukum yang bertingkat dan memakan waktu lama. Hingga akhir hayat Hendra, Jakarta tidak berhasil membawa koruptor tersebut untuk dihukum di dalam negeri sementara Indonesia hanya mendapatkan sebagian kecil dari harta Hendra yang diduga kuat dilarikan ke Australia. "Menurut hukum internasional yang disebut rule of speciality, negara manapun tidak bisa meloloskan permintaan ekstradisi terhadap seseorang jika tuntutan kejahatannya ternyata berbeda," papar Harvas Oegroseno. 62 Ia mengambil contoh, seseorang yang divonis pengadilan telah melakukan penipuan perbankan, akan sulit diserahkan oleh negara yang diminta jika negara peminta
62
Ibid
Universitas Sumatera Utara
mengajukan agar orang tersebut diekstradisi karena kejahatan korupsi, bukan karena penipuan. Larinya pelaku pencucian uang tersebut sudah sangat menyulitkan dan menjadi hambatan dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang. Belum lagi apabila pelaku tindak pidana tersebut menjadi warganegara bagi negara diminta tentu akan lebih menyulitkan dalam memulangkannya ke negara asal. Masalah ini bisa timbul apabila si pelaku berkewarganegaran rangkap, karena salah satu dari prinsip ekstradisi yaitu asas tidak menyerahkan warga negara sendiri sangat menyulitkan bagi tanah air untuk memintanya pada negara diminta. Misalnya Hendra Raharja menjadi warganegara Australia,
tentu
pemerintah
Australia
tidak
akan
mau
menyerahkan
warganegaranya pada Indonesia.
B.
Perjanjian Ekstradisi sebagai Upaya Kerjasama dengan Negara Lain dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang yang Melarikan Diri ke Luar Negeri Ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah cukup tua umurnya, kini
tidak perlu diragukan lagi keberadaannya baik sebagai bagian dari hukum internasional pada umumnya ataupun sebagai bagian dari hukum pidana internasional pada khususnya, bahkan juga sebagai bagian dari hukum nasional negara-negara. Sebagai bagian dari hukum internasional, ekstradisi tampak dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional bilateral ataupun multilateral-regional
Universitas Sumatera Utara
sedangkan sebagai bagian dari hukum nasional ekstradisi tampak dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara tentang ekstradisi. 63 Sudah tentu pula substansi antara pranata hukum ekstradisi yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional antara pranata hukum ekstradisi yang terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional antara satu dengan lainnya pada satu pihak dan demikian juga antara substansi pranata hukum ekstradisi dalam hukum nasional negara-negara pada lain pihak, mengandung kesamaankesamaan. Kesamaan-kesamaan substansi tersebutlah yang menjadikan pranata hukum ekstradisi berlaku umum dan oleh karena itu diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Memang tidak semua kaidah hukum tentang ekstradisi itu sudah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional, terutama kaidah-kaidah hukumnya yang baru pada tahap pertumbuhan dan perkembangan yang tergolong ke dalam kaidah-kaidah
hukum
internasional
yang
berkembang
secara
progresif
(progressive development of international law). Namun demikian, mungkin saja kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang kini masih dipandang belum atau bukan sebagai hukum kebiasaan internasional, pada suatu waktu akan diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional. Hal ini adalah suatu yang wajar saja dalam proses perkembangan hukum pada umumnya, hukum internasional pada khususnya. 64 Pranata hukum ekstradisi ini cukup ideal karena dipengaruhi oleh nilainilai hak asasi manusia, namun pada lain pihak justru menjadi sangat ketat dalam 63 64
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Op.cit, hal. 19. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pengimplementasiannya, mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, negara-negara justru mencari terobosan lain di luar pranata hukum ekstradisi dalam usahanya untuk mengadili atau menghukum seorang pelaku kejahatan yang berada di wilayah negara lain, baik yang legal maupun ilegal. Meskipun demikian, hal ini tidaklah menggeser kedudukan dan peranan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah mapan. Sebagai buktinya, negara-negara sejak dahulu hingga kini, dan tampaknya demikian juga pada masa-masa yang akan datang, masih tetap bersemangat dalam membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi baik bilateral maupun multilateral regional. Kini di seluruh kawasan di dunia ini terdapat banyak sekali perjanjianperjanjian ekstradisi. Tentu saja pada masa yang akan datang akan lebih banyak lagi. Berpedoman pada defenisi tentang ekstradisi seperti telah dikemukakan di atas, sangat jelas tampak bahwa ekstradisi pertama-tama berkenaan dengan persoalan antar negara, khususnya antara dua negara, yakni negara peminta dan negara diminta. Dalam beberapa hal, ekstradisi kemungkinan juga menyangkut lebih dari dua negara, misalnya, jika ada dua negara atau lebih yang mengajukan permintaan kepada negara diminta atas orang yang diminta. Walaupun melibatkan lebih dari dua negara, masalahnya tetap terpola dalam posisi antara dua pihak
Universitas Sumatera Utara
yang saling berhadapan, tegasnya antara negara atau negara-negara peminta pada satu pihak berhadapan dengan negara diminta pada lain pihak. 65 Kepentingan negara peminta terhadap orang yang diminta adalah dalam rangka mengadili dan menghukumnya jika dia terbukti bersalah disebabkan karena dia diduga telah melakukan kejahatan atau tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi kriminalnya. Di samping itu jika orang yang diminta sudah berstatus sebagai terhukum, kepentingan negara peminta adalah untuk melaksanakan hukuman ataupun melanjutkan hukuman ataupun melanjutkan pelaksanaan sisa hukumannya. Sedangkan kepentingan dari negara diminta terhadap orang yang diminta adalah tentang keberadaannya di wilayahnya. Masuknya orang yang diminta ke dan selanjutnya berada di wilayah negara diminta, boleh jadi melalui prosedur yang legal maupun ilegal. Sebagai orang yang masuk dan berada di wilayahnya baik dengan cara legal ataupun ilegal, negara diminta tentu saja memiliki yurisdiksi teritorial atas dirinya, antara lain memberlakukan hukum nasionalnya. Negara peminta tentu saja tidak boleh secara langsung menangkap dan membawa kembali secara langsung orang yang diminta yang sedang berada di wilayah negara diminta sebab penangkapan secara langsung tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan negara diminta, kecuali negara diminta sebelumnya sudah mengijinkannya. Cara yang legal adalah melalui pranata hukum ekstradisi, dengan meminta kepada negara diminta supaya negara diminta menyerahkan orang yang diminta kepadanya. 65
I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op.cit, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan kejahatan yang telah dilakukannya dan yang dijadikan sebagai dasar oleh negara peminta untuk memintanya kepada negara diminta, boleh jadi kejahatan itu juga mengandung dimensi internasional, meskipun tidak selalu. Misalnya, kejahatan dilakukan di wilayah negara peminta dan menimbulkan akibat atau korban tidak saja di wilayah negara peminta melainkan juga di wilayah negara diminta ataupun di wilayah negara ketiga sehingga masing-masing negara memiliki yurisdiksi kriminal atas kejahatan dan atau si pelakunya. 66 Masalah inilah yang kemudian menimbulkan konflik atau pertautan yurisdiksi
kriminal.
Konflik
yurisdiksi
kriminal
dalam
hukum
pidana
(internasional) relatif lebih mudah penyelesaiannya, yakni jika dua atau lebih negara memiliki yurisdiksi kriminal atas satu atau lebih jenis kejahatan. Apabila atas kejahatannya itu sudah ada satu negara yang mengadili orang yang bersangkutan berdasarkan hukum pidana nasionalnya, maka negara lainnya haruslah menghormati proses peradilan dan putusan pengadilan dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, negara-negara tersebut tidak boleh lagi mengadili untuk kedua kalinya atas kejahatannya itu. Ini sesuai dengan asas ne/non bis in idem yang merupakan salah satu asas hukum pidana yang sudah diakui secara universal. 67 Kerjasama internasional yang lain adalah tentang prosedur pengajuan permintaan untuk pengekstradisian orang yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta dan prosedur pemberitahuan atas dikabulkan ataupun 66 67
Ibid, hal. 65. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ditolaknya permintaan negara peminta oleh negara diminta yang semua itu harus dilakukan melalui saluran diplomatik sebagai pertanda bahwa masalah ekstradisi adalah masalah antar negara. Jika permintaan dikabulkan, maka dilanjutkan dengan proses penyerahannya oleh negara diminta kepada negara peminta, setelah lebih dahulu ditentukan tentang tempat dan waktu penyerahannya maupun persyaratan-persyaratan lainnya, demikian pula mengenai pejabat negara peminta yang akan menerima dan pejabat negara diminta yang akan menyerahkannya serta sarana transportasi yang digunakan. Kerjasama dengan negara lainnya lagi adalah tentang alat-alat bukti yang terkait dengan kejahatan yang dilakukan dan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta ataupun menyerahkannya, yang boleh jadi alat-alat bukti tersebut ada atau berada di wilayah negara diminta, tetapi sangat dibutuhkan sebagai alat bukti oleh negara peminta. Demikian juga dengan harta benda milik pribadinya, seperti pakaian, perhiasan, uang tunai, dan lain-lain yang harus tetap diperlakukan sesuai dengan hukum nasional dari kedua pihak. Dalam prakteknya, keduanya itu dapat disertakan dalam proses penyerahan orang yang diminta walaupun tidak selalu, sehingga negara diminta disamping menyerahkan orangnya dapat pula disertai dengan menyerahkan alat-alat bukti itu berupa benda-benda bergerak yang tidak terlarang untuk di bawa ke luar wilayah negara diminta dan yang secara teknis dan konkrit dapat diserahkan serta harta benda milik pribadinya kepada negara peminta. 68 Setelah orang yang diminta berada di wilayah negara peminta, persoalannya sepenuhnya berada pada negara peminta untuk selanjutnya diproses
68
Ibid, hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan hukum nasionalnya. Sedangkan negara diminta sudah tidak lagi memikul tanggung jawab. Ekstradisi adalah suatu pranata hukum yang dilakukan berdasarkan perjanjian. Perjanijan yang dimaksud adalah perjanjian (Treaty) yang diadakan oleh satu negara dengan negara lain. Dalam hal belum terdapat perjanjian maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Masalah ekstradisi sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah yang sederhana, karena terdapat syarat dan prosedur yang rumit dalam pelaksanaan ekstradisi yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang terikat pada perjanjian ekstradisi tersebut. Dalam ekstradisi terdapat azas-azas yang menjadi landasan bagi peraturan dan penerapan ekstradisi, yang harus dihormati tiap negara, oleh karena itu pemahaman tentang azas-azas ekstradisi ini merupakan suatu keharusan bagi penerapan ekstradisi. 69 Azas-azas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi juga tidak jauh berbeda dari azas-azas ekstradisi pada umumnya. Ekstradisi pertama-tama merupakan masalah antar negara dan oleh karena itu pengaturannya terdapat dalam hukum internasional, khususnya dalam bentuk perjanjian internasional. Disamping itu, dalam batas-batas tertentu ekstradisi juga merupakan masalah domestik negara-negara dan oleh karenanya diatur di dalam hukum nasional, khususnya dalam bentuk peraturan perundangundangan tentang ekstradisi.
69
http://www.researchgate.net/publication/42353561-Lembaga-Ekstradisi-SebagaiSaranaPencegahan-Dan-Pemberantasan-Kejahatan-Ditinjau-Dari-Hukum-Internasional, oleh Margareth RS Silitonga, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
Adanya perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Selain itu didalam suatu perjanjian ekstradisi juga perlu dibuat suatu daftar kejahatan yang dapat mencantumkan kejahatan-kejahatan apa saja yang dapat diekstradisi, yang pada umumnya adalah kejahatan-kejahatan berat. Sedangkan praktek pelaksanaan ekstradisi di masing-masing negara berbeda sesuai dengan hukum nasional masing-masing, ada negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan tanpa ada perjanjian ekstradisi sebelumnya, namun ada juga yang menolak dengan alasan tidak terdapatnya perjanjian ekstradisi. 70 Mengenai dampak ekstradisi sebenarnya tidaklah besar karena para pihak melakukannya berdasarkan perjanjian. Terlepas dari hal tersebut, ekstradisi merupakan suatu pranata hukum yang mampu mencegah dan memberantas kejahatan karena dengan adanya perjanjian ekstradisi maka ruang gerak bagi para pelaku kejahatan pun menjadi semakin sempit karena alih-alih dapat melepaskan diri dari tanggungjawab atas perbuatannya, ia akan tetap dikejar oleh para penegak hukum kemanapun ia melarikan diri. Untuk itu hubungan baik antara setiap negara di dunia harus dijaga agar pelaksanaan ekstradisi ini dapat maksimal.
70
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Setelah menanti 28 tahun, perjanjian ekstradisi RI dan Singapura ditandatangani Jumat (27/4/2007). Selain perjanjian ekstradisi, juga akan ditandatangani
perjanjian
kerja
sama
pertahanan
antardua
negara.
Penandatanganan kedua perjanjian itu akan dilakukan di Istana Tampaksiring, Bali, oleh Menlu RI dan Menlu Singapura, disaksikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian ekstradisi tersebut memberikan harapan kepada Indonesia untuk dapat memulangkan para penjahat ekonomi seperti koruptor, pencuci uang, dsb. Perjanjian ini membuka babak baru dalam hubungan RI-Singapura. 71 Penandatanganan perjanjian ekstradisi telah lama dinanti-nantikan, terutama oleh Indonesia yang merasa dirugikan oleh Singapura yang bersikap mengulur-ulur waktu saat Indonesia mengajukan usul pengembalian para kriminal ekonomi. Indonesia pertama menggagas perjanjian itu pada 1979, namun baru 28 tahun kemudian hal tersebut benar-benar terwujud. Penolakan Singapura itu menjadi salah satu kerikil yang mewarnai hubungan baik keduanya. Adalah hal yang sangat menarik, setelah 28 tahun Singapura bersikeras menolak perjanjian ekstradisi, apakah hal yang membuat negara itu tiba-tiba berubah pikiran? 72 Apalagi bila mengingat baru-baru ini terjadi ketegangan hubungan antara kedua negara. Ketegangan hubungan RI-Singapura itu muncul saat Indonesia melarang ekspor pasir ke Singapura. Keputusan Indonesia menghentikan penjualan pasir ke Singapura tersebut merupakan salah satu cara menekan
71
http://www.hiunair.com/news/urgensi-perjanjian-ekstradisi-ri-singapura, Wardhani, diakses tanggal 3-8-2010. 72 Ibid.
oleh
Baiq
Universitas Sumatera Utara
Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi yang selama ini diabaikan negara kota tersebut. Selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Faktor pasir itu jelas menyumbang peranan penting sebagai penekan terhadap Singapura untuk menandatangani perjanjian tersebut. Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara itu atas aset pihak asing. 73 Menghadapi tuntutan tersebut, Singapura menyatakan adalah tanggung jawab Indonesia untuk menyelesaikan sendiri urusannya dengan para koruptor itu. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara itu memetik keuntungan besar dengan masuknya uang haram yang dilarikan para penjahat ekonomi tersebut. Memang benar pencucian uang adalah masalah internal Indonesia. Namun, Indonesia berharap kerja sama Singapura karena sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdiksi hukum negara kita. 74 Ketidaksediaan Singapura bekerja sama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi mengganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara. Kesediaan Singapura tidak lepas dari beberapa faktor yang menguntungkan kedua belah pihak, terutama Singapura. Perjanjian ekstradisi itu menyangkut 42 butir tindak pidana. 73 74
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa tindak pidana yang akan masuk dalam perjanjian ekstradisi, antara lain, korupsi, pencucian uang, dan sejumlah kejahatan transnasional yang diperjuangkan selama ini. Dengan keengganan Singapura bekerja sama dengan negara-negara tetangganya yang merasa menjadi korban kejahatan yang dilakukan para kriminalnya yang berlindung di Singapura, maka predikat good governance Singapura yang bersih dan tidak korup dipertaruhkan. Tidak ada pilihan lain bagi Singapura untuk menerima tawaran penandatanganan perjanjian ekstradisi. 75 Namun ada hal yang perlu diingat, sekalipun perjanjian tersebut sudah ditandatangani masing-masing menteri luar negeri, kesepakatan tersebut tidak serta merta dapat langsung dilaksanakan. Perjanjian ekstradisi itu harus diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara, dalam hal ini oleh DPR RI. Proses ratifikasi dari parlemen membutuhkan waktu lama. Perlu kesabaran dari pihak RI yang lebih membutuhkan perjanjian itu dibandingkan dengan pihak Singapura. Ada hal-hal krusial yang harus dipertimbangkan Indonesia dalam perjanjian tersebut. Apakah sistem hukum Singapura dalam hal ekstradisi dapat secara efektif mengembalikan para kriminal ekonomi Indonesia? Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan mengejar materi namun kehilangan substansi dari perjanjian yang sudah lama kita perjuangkan itu. Materinya adalah penerimaan Singapura untuk menandatangani perjanjian itu, substansinya adalah efektivitas implementasi perjanjian tersebut yang berdampak pada pengembalian
75
http://www.depdagri.go.id/news/2007/04/25/perjanjian-ekstradisipositifditandatanganidi-bali-27-april, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
para penjahat ekonomi itu dan penciptaan clean government di tanah air. Artinya, karena sistem hukum yang berbeda antara RI dan Singapura, perjanjian ekstradisi itu tidak efektif untuk mengembalikan para penjahat ekonomi tersebut ke Indonesia. Kita juga berharap bahwa Indonesia tidak memberikan konsesi terlalu besar kepada Singapura yang berdampak negatif pada kepentingan nasional dan terancamnya kedaulatan negara. Perjanjian ekstradisi itu diharapkan bisa menjaring para koruptor dan para pelaku pencucian uang. Kembalinya mereka ke Indonesia diharapkan dapat mengembalikan aset nasional yang saat ini mengendap di Singapura. Dalam kaitan ini, masalah korupsi dan segala hal yang bersangkut paut dengan pelarian uang haram tersebut adalah masalah internal Indonesia. 76 Ratifikasi Perjanjian maritim Indonesia (RI) – Singapura oleh DPR RI perlu menunggu ratifikasi yang sama terhadap Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura. Nampaknya, batas laut ini bagi Singapura sangat penting. Sementara bagi kita perbatasan laut itu penting, tapi ekstradisi dengan Singapura jauh lebih penting lagi, karena terkait dengan penyelamatan aset dana Indonesia yang dibawa lari ke Singapura oleh para koruptor dan pelaku pencucian uang. 77 Dalam hal ini terkait langsung juga dengan amanat Reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kita perlu perjuangan hal tersebut. Itu pun sejalan dengan semangat zero corruption yang sudah diterapkan
76
Ibid. http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/13637/Ekstradisi-RI-Singapura-LebihPenting-Dari-Perbatasan.jp, oleh Almuzzammil Yusuf, diakses tanggal 3-8-2010. 77
Universitas Sumatera Utara
oleh Singapura. Sehingga seharusnya tidak ada alasan yang mendasar bagi Singapura untuk menolak perjanjian ekstradisi tersebut. 78 Kalau kita mengkaitkan dua ratifikasi tersebut, hal itu pun pernah dilakukan Singapura pada saat DCA (Defence Cooperatif Agreement) antara RI dengan Singapura yang ditolak DPR periode lalu. Maka Singapura pun membalas untuk tidak bersedia meratifikasi perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura jika tidak disahkan bersama-sama dengan pengesahan DCA. Saya khawatir jika tidak diratifikasi bersamaan, maka Indonesia akan kehilangan “bargaining” dengan Singapura untuk meratifikasi perjanjian Ekstradisi tersebut. Upaya perundingan perjanjian ekstradisi RI-Singapura telah dimulai sejak lebih kurang 30 tahun lalu. Perjanjian bercukup alot karena masing-masing pihak ingin mendapatkan perjanjian yang tidak merugikan kedua belah pihak dan sejalan dengan kerangka hukum nasional. Ekstradisi ini pada hakekatnya merupakan salah satu implementasi dari konvensi internasional anti korupsi dan pencucian uang dimana Indonesia telah meratifikasi, sementara Singapura baru menandatangani tetapi belum meratifikasi. Perjanjian ekstradisi ini akan memperkuat instrumen penegakan di Indonesia saat ini dan di masa depan, terutama untuk mengejar pelaku kejahatan pencucian uang yang melarikan diri atau berpindah kewarganegaraan. Perjanjian ekstradisi ini akan makin mempersempit ruang gerak pelaku yang mencoba-coba melarikan diri dan membuktikan komitmen pemerintahan RI untuk memberantas korupsi dan pencucian uang.
78
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian ekstradisi RI-Singapura pada hakekatnya adalah perjanjian dimana setiap pihak sepakat untuk mengekstradisi kepada pihak lainnya, dimana setiap orang yang ditemukan berada di wilayah pihak diminta dan dicari oleh pihak peminta untuk tujuan penuntutan (diartikan termasuk penyidikan) atau penerapan pelaksanaan hukuman atas suatu kejahatan yang dapat diekstradisikan yang dilakukan dalam yurisdiksi pihak peminta. Poin-poin yang sangat penting dalam perjanjian ini adalah: 79 1) Jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan adalah kejahatan yang ancaman pidananya sekurang-kurangnya 2 tahun dan memenuhi kriteria “double criminality” (kejahatan yang diakui oleh hukum kedua negara). Terdapat 30 jenis kejahatan yang memenuhi kriteria ini. 2) Dari sejumlah tindak pidana yang diekstradisikan diantaranya termasuk tindak pidana ekonomi yaitu korupsi, penyuapan, pemalsuan uang, kejahatan perbankan (perolehan kredit atau property melalui penipuan terhadap bank), pelanggaran hukum perusahaan, kepailitan dan pencucian uang hasil korupsi. 3) Selain 30 jenis kejahatan perjanjian ini juga menganut “open system” yang terbatas. Artinya ketigapuluh satu daftar tersebut tidak bersifat tertutup dan memungkinkan adanya penambahan daftar tindak pidana baru, khususnya jenis-jenis kejahatan baru.
79
http//:www.antikorupsi.org/poin-poin-penting-perjanjian-ektradisi-RI-Singapura,diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
4) Kedua belah pihak sepakat untuk tidak mempermasalahkan perbedaan kualifikasi kejahatan ataupun unsur-unsur kejahatan sepanjang hakekat keseluruhan kejahatan tersebut diakui oleh hukum kedua negara. 5) Perjanjian ini diberlakukan surut (retroaktif) dan dapat mencakup tindak kejahatan-kejahatan yang dapat diekstradisikan 15 tahun sebelum perjanjian ini berlaku setelah proses ratifikasi dilakukan parlemen kedua negara. 6) Perjanjian ini dapat menjangkau pelaku tindak kejahatan kedua negara yang melarikan diri dari wilayah jurisdiksi kedua negara tersebut. Dalam kaitan ini, disepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan.
Perjanjian menentukan bahwa negara diminta dapat menolak permintaan, apabila buronan tersebut adalah warga negaranya. Namun hal ini tidak berlaku untuk kejahatan terorisme dan penyuapan serta kejahatan lain terkait korupsi. Dalam keadaan tertentu (urgen cases), penangkapan sementara dapat dilakukan atas permintaan negara peminta sejauh terdapat bukti-bukti yang memadai untuk melakukan penangkapan buronan yang dicari. Landasan untuk melakukan ekstradisi bagi tersangka atau terdakwa adalah: 80 1) Untuk Singapura apabila perkara tersebut telah memenuhi unsur “prima facie” (suatu perkara memenuhi syarat untuk limpahkan ke pengadilan) 80
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17501/3/Chapter%20II.pdf, diakses tanggal 3-8-2010.
Universitas Sumatera Utara
2) Untuk Indonesia apabila telah dipenuhi bukti yang cukup 3) Sedang untuk terpidana, ekstradisi dapat dilakukan apabila telah ada putusan pengadilan di negara peminta 4) Untuk “in absentia”, perjanjian ini mengakui putusan yang dijatuhkan sepanjang memenuhi persyaratan dimana terdakwa sebelumnya memiliki kesempatan untuk hadir dalam persidangan dan apabila diserahkan ia memiliki hak untuk diadili kembali dengan kehadirannya (menunjuk pada hak untuk mengajukan PK).
Permintaan ekstradisi diajukan oleh Menkumham (Indonesia) dan oleh Menteri Hukum (Singapura). Permintaan ekstradisi juga harus melampirkan konfirmasi tertulis dari Jaksa Agung pihak peminta yang menyatakan bahwa dokumen yang diserahkan menunjukkan adanya bukti yang cukup berdasarkan hukum pihak peminta untuk membenarkan adanya penuntutan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana kita ketahui memiliki berbagai unsur-unsur yang terdapat di dalamnya yaitu berupa transaksi keuangan yang mencurigakan atau suspicious transaction, merupakan suatu indikasi cara-cara dasar adanya kegiatan pencucian uang, satu situasi transaksi mencurigakan mungkin tidak mencukupi untuk menunjukkan bahwa pencucian uang telah terjadi. Suatu kombinasi dari situasi-situasi transaksi mencurigakan tersebut dapat menjadi indikasi adanya transaksi mencurigakan yang merupakan pencucian uang. Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang
diperoleh
dari
tindak
pidana
yaitu:
korupsi,
penyuapan,
penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan atau tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana menurut hukum Indonesia. Adanya proses pencucian uang dibagi dalam 3 tahap, yaitu penempatan (placement), pelapisan (layering), dan penggabungan (integration). 2. Pentingnya perjanjian ekstradisi sudah dirasakan bagi setiap negara di dunia ini khususnya Negara Republik Indonesia. Karena hampir semua para pelaku tindak pidana pencucian uang yang merupakan warganegara Indonesia melarikan diri ke luar negeri apabila kejahatannya mulai ketahuan oleh polisi. Pranata hukum ekstradisi ini cukup ideal karena dipengaruhi oleh nilai-nilai hak asasi manusia, namun pada lain pihak justru menjadi sangat ketat dalam pengimplementasiannya, mengingat banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu kasus ekstradisi. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, negara-negara justru mencari terobosan lain di luar pranata hukum ekstradisi dalam usahanya untuk mengadili atau menghukum seorang pelaku kejahatan yang berada di wilayah negara lain, baik yang legal maupun ilegal. Meskipun demikian, hal ini tidaklah menggeser kedudukan dan peranan ekstradisi sebagai pranata hukum yang sudah mapan. Perjanjian ekstradisi itu diharapkan bisa menjaring para pelaku pencucian uang. Kembalinya mereka ke Indonesia diharapkan dapat mengembalikan aset nasional yang saat ini mengendap di Singapura. Dalam kaitan ini, masalah pencucian uang dan segala hal yang bersangkut paut dengan pelarian uang haram tersebut adalah masalah internal Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran 1. Ketentuan dalam tindak pidana pencucian uang sebaiknya lebih disempurnakan agar para pelaku kejahatan tidak dapat lolos dari jeratan hukum. Dengan disempurnakannya ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat mengidentifikasi masuknya dana dalam sistem keuangan, pembawaan uang tunai melewati batas negara, transfer sistem keuangan, transfer dari sistem keuangan ke luar sistem keuangan, pengambilalihan saham atau aset lainnya, penggabungan perusahaan, dan pembentukan kelompok usaha. 2. Sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan perjanjian ekstradisi ke berbagai negara agar para pelaku kejahatan korupsi yang merupakan akar dari tindak pidana pencucian uang tidak dapat kabur lagi. Dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi selain menjaga stabilitas perekonomian negara juga dapat meningkatkan persahabatan negara menjadi semakin membaik.
Universitas Sumatera Utara