RE – ALINYEMEN GEOMETRIK JALAN RUAS AMLAPURA – KUBUTAMBAHAN, BALI (KM 77+600 s/d 95+000) BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar belakang Di ruas jalan Amlapura – Kubutambahan merupakan salah satu ruas jalan utama untuk transportasi darat di Propinsi Bali bagian Timur. Pada saat ini, potensi pariwisata di Bali bagian timur kurang berkembang. Sehingga pemerintah propinsi berinisiatif untuk mengembangkan potensi daerah tersebut. Dan untuk mewujudkan itu semua memerlukan jalan raya alteri yang memadai. Karena itulah, maka merasa perlu untuk merencanakan ulang (Re – Alinyemen) jalan ini.
I.2 PERUMUSAN MASALAH Permasalahan yang muncul pada Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah geometrik jalan existing sesuai dengan spesifikasi geometrik jalan Alteri luar kota.. 2. Berapa tebal perkerasan jalan dengan umur rencana 10 tahun. 3. Berapa dimensi saluran tepi jalan. 4. Berapakah biaya konstruksi jalan, dengan trase yang direncanakan.
BAB II DASAR TEORI 2.1 2.1.1
GEOMETRIK JALAN Umum Perencanaan geometrik jalan adalah perencanaan dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa elemen yang disesuaikan dengan kelengkapan dan data dasar yang ada atau tersedia dari hasil survey lapangan dan telah dianalisis dengan suatu standar perencanaan. Tujuan perencanaan geometrik jalan adalah untuk menghasilkan kondisi geometrik jalan yang mampu memberikan pelayanan lalu lintas secara optimum. Disamping itu fungsi dari perencanaan ini adalah berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan dalam berlalu lintas bagi pemakai jalan. 2.1.2
Standar Perencanaan Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan dan metode perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan. Standar perencanaan geometrik untuk ruas jalan di Indonesia biasanya menggunakan peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan geometrik jalan raya. Peraturan yang dipakai dalam studi perencaan jalan ini adalah “Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota” yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga dengan terbitan resmi No. 038 T/BM/1997. 2.2
I.3 TUJUAN Adapun tujuan dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Merencanakan geometrik jalan berdasarkan trase yang direncanakan sesuai dengan spesifikasi geometrik jalan Alteri luar kota. 2. Merencanakan tebal perkerasan jalan sehingga didapatkan perkerasan yang ideal sampai dengan umur rencana. 3. Merencanakan dimensi saluran tepi jalan sehingga didapatkan dimensi saluran yang ideal. 4. Menentukan analisa biaya konstruksi jalan. 1.4. BATASAN MASALAH Adapun batasan masalah dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Dalam perencanaan geometrik jalan menggunakan Spesifikasi Standar untuk Perencanaan geometrik jalan luar kota. 2. Perencanaan geometrik jalan dengan menggunakan "Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota No: 038/T/BM/1997". 3. Perencanaan tebal perkerasan lentur menggunakan “Petunjuk Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, SKBI – 2.3.26.1987.UDC : 625. 73 (02)”. 4. Perencanaan dimensi saluran tepi jalan menggunakan ”Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan, SNI 03-3424-1994” dan referensi lain. 5. Umur rencana konstruksi jalan adalah 10 tahun. 6. Tidak membahas tentang gorong-gorong, dan hanya membahas tentang saluran tepi jalan. 7. Tidak memperhitungkan analisa stabilitas lereng, analisa persimpangan, metode pelaksanaan di lapangan dan perencanaan jembatan.
KETENTUAN PERENCANAAN Faktor-faktor ysng menjadi dasar dalam kriteria perencanaan geometrik untuk jalan luar kota adalah fungsi jalan raya, kondisi medan dan volume lalu lintas. 2.2.1 Fungsi Jalan Raya Jalan-jalan yang menghubungkan antara kota besar dengan kota-kota kecil merupakan sistem jaringan jalan primer yang dikelompokkan lagi menjadi 3 kategori berdasarkan fungsinya, yaitu : a. Jalan Arteri : Melayani angkutan primer yang memerlukan route jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, kapasitas jalan lebih besar dari volume rencana serta jumlah jalan masuk yang dibatasi dan dipilih secara efisien. b. Jalan Kolektor : Melayani penampungan dan pendistribusian transportasi yang memerlukan route jarak sedang, kecepatan rata-rata yang sedang, kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume rencana dan jumlah jalan masuk yang dibatasi. c. Jalan Lokal : Melayani transportasi lokal yang memerlukan route jarak pendek, kecepatan rata-rata rendah. 2.2.2
Kondisi Medan Kondisi medan sangat berpengaruh dalam menentukan geometrik jalan rencana. Dalam perencanaan jalan diusahakan untuk memperhatikan keadaan topografi jalan rencana. Untuk membatasi biaya pembangunan jalan maka standar yang ada harus disesuaikan dengan keadaan topografi. medan dibagi menjadi 3 jenis yang dibedakan oleh besarnya kemiringan medan, yaitu : datar, bukit dan gunung, lihat Tabel 2.1. Tabel 2.1. Kemiringan Medan Jenis Medan
Kemiringan Medan
Datar
0% - 9.9%
Bukit
10% - 24.9%
Gunung > 25% Sumber : Spesifikasi standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota (Rancangan Akhir) Bina Marga, 1990.
2.2.3
Volume Lalu Lintas Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melewati satu titik pengamatan dalam satu satuan waktu (hari,
jam, menit). Volume yang tinggi membutuhkan lebar perkerasan jalan yang lebih besar, sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. 2.3 2.3.1
PARAMETER PERENCANAAN Kendaraan Rencana Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan rencana dikelompokkan dalam 3 kategori, (Tabel 2.2), yaitu : Tabel 2.2. Dimensi Kendaraan Rencana Radius Katagori Kendaraan Kecil Sedang
Dimensi Kend. (cm) Tinggi Lebar Panjang 130 210 580 410 260 1210
Besar
410
260
2100
Tonjolan (cm) Depan Belakang 90 150 210 240 120
Radius Putar (cm) Min. Maks 420 730 740 1280
90
290
1400
Tonjolan (cm) 780 1410 1370
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Luar Kota No. 038/TBM/1997
2.3.2
Kecepatan Rencana Besarnya kecepatan rencana tergantung pada kelas jalan dan kondisi medan. (Tabel 2.3). Tabel 2.3. Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana, Vr (km/jam) Datar Bukit Pegunungan 70 – 120 60 – 80 40 – 70 Arteri 60 – 90 50 – 60 30 – 50 Kolektor 40 – 70 30 – 50 20 – 30 Lokal Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Luar Kota No. 038/TBM/1997 Fungsi
2.3.3
Jarak Pandang Didalam perencanaan yang dperhitungkan adalah Jarak Pandang Henti (JPH) dan Jarak Pandang Menyiap (JPM) 2.3.3.1 Jarak Pandang Henti (JPH) Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. a. Rumus umum Jarak Pandangan Henti Minimum (Sukirman, 1994) adalah sebagai berikut :. d 0.278V t
V 254 fm
V2 254( f L)
Kecepatan Rencana, Vr (km/jam)
Jarak pandangan Jarak pandangan menyiap standar menyiap standar perhitungan (m) desain (m)
30 40 50 60 70 80 100 120
146 207 274 353 437 527 720 937
Jarak pandangan Jarak pandangan menyiap menyiap minimum minimum desain perhitungan (m) (m)
150 200 275 350 450 550 750 950
109 151 196 250 307 368 496 638
100 150 200 250 300 400 500 650
Sumber : Sukirman, 1994
0.400 0.375 0.350 0.330 0.313 0.300 0.285 0.280
29.71 44.60 62.87 84.65 110.28 139.59 207.64 285.87
Alinyemen Horisontal Alinyemen Horisontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horisontal. Alinyemen horisontal dikenal juga dengan nama situasi jalan atau trase jalan.. 2.3.4.1 Nilai Kemiringan Melintang Jalan (Superelevasi) Derajat lengkung, D adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur lingkaran sebesar 25 m (100 ft) atau seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2. Hubungan Antara Jari-Jari R Lengkung Dan 25 m Derajat Lengkung D 25 D 360 0 2 R R
25.94 38.63 54.05 72.32 93.71 118.07 174.44 239.06
d desain (m) 25-30 40-45 55-65 75-85 95-110 120-140 175-210 240-285
D
1432.39 R
Dimana : D = derajat lengkung, R = jari-jari lengkung, m
Do
Kecepatan Koefisien d d Jalan, Vj Gesek Jalan, perhitungan perhitungan (km/jam) fm untuk Vr (m) untuk Vj (m) 27 36 45 54 63 72 90 108
2
Jarak Pandangan Menyiap ini hanya perlu dilihat pada jalan 2/2 UD. Besarnya jarak pandangan menyiap berdasarkan kecepatan rencana ditunjukkan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Standar Jarak Pandangan Menyiap Untuk Desain
R
Besarnya jarak pandangan henti berdasarkan beberapa kecepatan rencana ditunjukkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Standar Jarak Pandangan Henti Untuk Desain
30 40 50 60 70 80 100 120
d2 = 0.278 V t2 d3 = 30 s/d 100 m d4 = 2/3 d2 Dimana : t1 = waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan yang sesuai dengan persamaan t1 = 2.12+0.026V. t2 = waktu dimana kendaraan yanng menyiap berada pada lajur kanan yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi t2 = 6.56+0.048V. m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang disiap = 15km/jam. a = percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi a = 2.052+0.0036V.
2.3.4
Dimana : L = besarnya landai jalan dalam desimal + = untuk pendakian – = untuk penurunan
Kecepatan Rencana, Vr (km/jam)
1
2
Dimana : d = jarak pandangan henti minimum V = kecepatan kendaraan (km/jam) t = waktu reaksi = 2,5 detik f = koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah memanjang jalan b. Untuk jalan dengan kelandaian, besarnya jarak pandang henti minimum adalah sebagai berikut: d 0.278V t
2.3.3.2 Jarak Pandang Menyiap (JPM) Jarak pandang mendahului (JPM) adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Besarnya jarak menyiap standar adalah sebagai berikut : Jd = d1+d2+d3+d4 d1 = 0,278.t V m a.t1
Pada persamaan di atas terlihat bahwa besarnya jari-jari dan derajat lengkung adalah berbanding terbalik. Sehingga rumusan matematisnya adalah sebagai berikut : V2 V2 e f R 127 e f
127 R
Rmin
2
V 127 emaks f maks
Dimana : Rmin = Jari-jari tikungan minimum (m) VR = Kecepatan rencana (km/jam)
emaks = Superelevasi maximum (%) f = Koefisien gesek, untuk perkerasan aspal Dan berdasarkan metode ke 5 (AASHTO 2004), perhitungan nilai super-elevasi adalah sebagai berikut : e e f f D
e f emaks
f maks
D Dmaks
f maks 0.00065 V D 0.192 VD< 80 km/jam f maks 0.00125 V D 0.24 VD > 80 km/jam 2
D D tg 1 D < Dp f1 M o Dp D D f 2 M o maks D maks D p
2
h D D p tg 2
D > Dp
en = kemiringan melintang normal, % Vd = kecepatan rencana, km/jam re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang jalan, = 0.035 m/m/detik untuk Vd ≤ 70 km/jam = 0.025 m /m detik untuk Vd ≥ 80 km/jam Dari ke empat persamaan tersebut, panjang Ls yang digunakan untuk perencanaan adalah Ls dengan nilai yang terbesar. 2.3.4.3 Bentuk Lengkung Horisontal Bentuk lengkung horisontal terdapat tiga macam, yaitu : A. Lengkung busur lingkaran sederhana (Full Circle) Jenis ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari – jari besar dan nilai super elevasi (e) lebih kecil dari 3%. Bentuk lengkung dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. Lengkung Full Circle TC
PI Lc
TC
2.3.4.2 Lengkung Peralihan, Ls (Length of Spiral) Lengkung peralihan atau sering disebut lengkung spiral juga merupakan lengkung spiral clothoid. Radius pada spiral clothoid diawali dari radius yang terhingga sampai dengan radius yang merupakan radius lingkaran. Ls adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan waktu tempuh di lengkung peralihan. Ls
Vd t 3.6
Berdasarkan landai relatif.
dimana : e = superelevasi, % en = kemiringan melintang normal, % = lebar jalur per arah, m
mmaks = landai relatif maksimum Tabel 2.6.
Kelandaian Relatif Maksimum
AASHTO 1990 Kec. Rencana (km/jam) 32 48 64 80 88 96 104 112
Kelandaian relatif maks, mmaks 33 150 175 200 123 222 244 250
Bina Marga (Luar Kota) Kec. Rencana (km/jam) 20 30 40 50 60 80 100
Kelandaian relatif maks, mmaks 50 75 100 115 125 150
Sumber : Sukirman, 1994
3.
dimana : V = kecepatan rencana, km/jam R = jari-jari tikungan, m C = perubahan percepatan, m/dt3 ( 0.3 – 0.9 m/dt3 ) e = superelevasi, % Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian. Ls
R
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
1 Tc R tg 2 R E R 1 cos 2 Lc R 180
Bentuk diagram superelevasi full circle dengan as jalan sebagai sumbu putar dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4. Bentuk Diagram Super Elevasi Lengkung Full Circle BINA MARGA
e en = 2%
en = 2%
e TC 3/4 Ls
emaks en Vd 3.6 re
dimana : emaks = superelevasi maksimum, %
TC CS 1/4 Ls
SC 1/4 Ls
3/4 Ls
Lc AASHTO
Berdasarkan rumus Modifikasi Shortt. Ve V3 Ls 0.022 2.727 RC C
4.
R
Dimana : Tc = Panjang tangen dari PI (Point of Intersection), m = titik awal peralihan dari posisi lurus ke lengkung R = jari-jari alinyemen horisontal, m = sudut alinyemen horisontal, o E = jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran, m Lc = panjang busur lingkaran, m
Ls e en B mmaks
B
CT
Parameter lengkung full circle :
dimana : Ls = panjang lengkung peralihan, m Vd = kecepatan rencana, km/jam t = waktu tempuh di lengkung peralihan, detik (3 dt) 2.
E
e en = 2%
en = 2%
e TC 2/3 Ls
TC CS 1/3 Ls 2/3 Ls
SC 1/3 Ls Lc
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
B. Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral – Circle – Spiral) Lengkungan spiral – circle – spiral pada umumnya pada umumnya digunakan jika nilai super elevasi (e) lebih besar dari 3% dan panjang lengkung circle (Lc) > 25 m. Bentuk lengkung dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5.
Lengkung Spiral – Circle – Spiral
Gambar 2.7.
Lengkung Spiral – Spiral Ts
Ts E Ys SC CS p Lc s s R R
Xs k Ls
E SC=CS
p k
s Ls
Ls
R
Ls ST
TS
ST
Ts
s
R
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006 Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
Parameter lengkung spiral – spiral : Parameter lengkung spiral – circle – spiral :
1 2 Ls 2 p R 1 cos s 6R
s
90 Ls s R 2 s R Lc 180 Ls 2 p R 1 cos s 6R k Ls
k Ls
Ts R p tg s k R p R E cos s
Ls 3 R sin s 40 R 2
1 Ts R p tg k 2 E
R p
Ls 3 R sin s 40 R 2
Bentuk diagram super-elevasi spiral – spiral dapat dilihat pada Gambar 2.8. Gambar 2.8. Bentuk Diagram Super Elevasi Lengkung Spiral – Spiral
R
1 cos 2 Ls 2 Xs Ls 1 2 40 R Ls 2 Ys 6R
BINA MARGA
e% en = 2%
Dimana : s = sudut spiral pada titik SC Ls = panjang lengkung spiral R = jari-jari alinyemen horisontal, m = sudut alinyemen horisontal, o Lc = panjang busur lingkaran, m Ts = jarak titik Ts dari PI, m = titik awal mulai masuk ke daerah lengkung E = jarak dari PI ke sumbu jalan arah pusat lingkaran, m Xs, Ys = koodinat titik peralihan dari spiral ke circle (SC), m Bentuk diagram superelevasi spiral – circle – spiral dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.6. Bentuk Diagram Super Elevasi Lengkung Spiral – Circle – Spiral BINA MARGA
e
en = 2%
e% TS
SC=CS Ls
ST Ls
AASHTO
e% en = 2%
en = 2%
e% TS
SC=CS Ls
ST Ls
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
2.3.4.4 Jarak Kebebasan Samping Besarnya jarak kebebasan samping seperti yang terlihat pada persamaan berikut. 1. Jika jarak pandangan, S lebih kecil daripada panjang total lengkung, Lt (lihat Gambar 2.9) Gambar 2.9. Daerah Bebas Samping Jika S < Lt Lajur Luar
2%
2%
Lt S
e TS
SC
CS
Ls
Lc
Lajur Dalam
ST Ls Garis Pandang
E
AASHTO Penghalang Pandangan
e R 2%
2%
e TS
SC Ls
CS Lc
ST Ls
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
C. Bentuk tikungan Spiral – Spiral Lengkungan spiral–spiral pada umumnya pada umumnya digunakan jika nilai super elevasi (e) lebih besar dari 3% dan panjang lengkung circle (Lc) < 25 m. Bentuk tikungan ini biasanya digunakan pada tikungan tajam. Bentuk lengkung dapat dilihat pada Gambar 2.7.
R'
R
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
28.65 S E R' 1 cos R'
dimana : E = kebebasan samping, m R = jari-jari tikungan, m R’ = jari-jari sumbu lajur dalam, m S = jarak pandangan, m Lt = panjang total lengkung, m Lt full circle = Lc Lt spiral–circle–spiral = 2Ls + Lc Lt spiral–spiral = 2Ls
2.
Jika jarak pandangan, S lebih besar dari pada panjang total lengkung, Lt (lihat Gambar 2.10) Gambar 2.10. Daerah Bebas Samping Jika S > Lt Lajur Luar
Lt S
E Garis Pandang
R
Lajur Dalam
R' R
Penghalang Pandangan
Sumber : Sukirman 1994
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006 28.65 S S Lt 28.65 S E R' 1 cos sin R' 2 R'
2.3.4.5 Pelebaran Perkerasan Jalan Pada Tikungan Pelebaran untuk sebuah tikungan yang dapat dicari dengan persamaan berikut ini : Rc = RD – ½ L – ½ b B
U
Z = Bt = Δb =
=
800 L g1 g1 g 2
–
y
=
B–b
L g1 2( g1 g 2 )
Dimana : x = jarak dari titik P ke titik yang ditinjau pada Sta (m) y = perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada Sta (m) L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak proyeksi dari titik P dan Q (m) g1 = kelandaian tangen dari titik P, (%) g2 = kelandaian tangen dari titik Q, (%) A = perbedaan aljabar kelandaian, (%)
n(B + C) + Z Bt – Bn
2.3.5
Alinyemen Vertikal Alinyemen vertikal atau biasa juga disebut penampang melintang jalan didefinisikan sebagai perpotongan antara potongan bidang vertikal dengan badan jalan arah memanjang (Sukirman, 1994). 2.3.5.1 Kelandaian Jalan Landai jalan adalah suatu besaran untuk menunjukkan besarnya kenaikan dan penurunan vertikal dalam satuan jarak horizontal (mendatar) dan dinyatakan dalam prosen (%). Pada umumnya gambar rencana dibaca dari kiri ke sebelah kanan, maka diadakan perjanjian tanda terhadap landai dari kiri ke kanan bila merupakan pendakian diberi tanda (+) dan penurunan diberi tanda (–). 1. Landai minimum Kelandaian jalan merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan alinemen vertikal. Kelandaian yang bagus bagi kendaraan tentunya adalah kelandaian yang tidak menimbulkan kesulitan dalam mengoperasikan kendaraan yaitu kelandaian 0% (datar). Namun, untuk keperluan drainase justru kelandaian yang tidak datar-lah yang lebih disukai. 2. Landai maksimum Selain memiliki batasan minimum, kelandaian juga memiliki batasan maksimum yang diijinkan. Lihat Tabel 2.7 untuk kelandaian maksimum yang diijinkan. Tabel 2.7. Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan Kecepatan Rencana (km/j) 40 50 64 60 80 96 113
Jalan Arteri Luar Kota (AASHTO’90) Datar Perbukitan Pegunungan
5
6
8
4 3 3
5 4 4
7 6 5
L g1 A
= 2
2 = L g1
2A
Menurut bentuknya lengkung vertikal terdiri dari 2 macam yaitu : A. Lengkung Vertikal Cembung Perencanaan lengkung vertikal cembung didasarkan pada dua kondisi, yaitu : (Lihat pada Gambar 2.11.) 1. Jarak Pandangan berada di dalam daerah lengkung (S
L) Gambar 2.11. Lengkung Vertikal Cembung Lengkung Vertikal Cembung dengan S < L PPV g2 E
g1
h2
h1 PLV d1
d2 S L
Lengkung Vertikal Cembung dengan S > L g1 PLV
h1
PPV
g2 PTV
L/2 L S
Jalan Luar Kota (Bina Marga) Maks Standar (%) Maks Mutlak (%)
100h1/g1
L/2
100h2/g2
7 6
11 10
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
5 4
9 8
-
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Luar Kota No. 038/TBM/1997
3.
2.3.5.2 Bentuk Lengkung Vertikal Lengkung vertikal adalah lengkung yang dipakai untuk mengadakan peralihan secara berangsur–angsur dari suatu landai ke landai berikutnya. Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi dimana kelandaian berubah. Rumus yang digunakan untuk lengkung vertical : Ev = AL x
=
=
yang yang diijinkan. Artinya, landai maksimum masih diperbolehkan sampai landai maksimum absolut asalkan panjangnya tidak melebihi nilai tertentu. Besarnya panjang kritis dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut : Tabel 2.8. Panjang Kritis
Panjang Kritis Kelandaian Kelandaian maksimum standard yang ditunjukkan pada Tabel 2.6 masih mungkin untuk dilampaui jika panjang ruas dengan sesuatu nilai gradien tidak melebihi panjang kritis
Perhitungan panjang lengkung (L) a. Untuk S < L L
b.
AS 2 C
Untuk S > L L 2S
C A
c.
Berdasarkan syarat dainase
d.
Syarat kenyamanan
L 50 A
h2
Lmin V t(3dt )
Dalam merencanakan tebal perkerasan lentur digunakan metode Bina Marga pada “Petunjuk Perencanaan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa Komponen“.
1000 3600
Untuk nilai konstanta C menurut AASHTO’90 dan Bina Marga ’90 berdasarkan JPM dan JPH, (Tabel 2.9.) Tabel 2.9. Nilai Konstanta C
2.4.2
Umur Rencana Umur rencana perkerasan lentur jalan baru umurnya diambil 10 tahun. Untuk rencana yang lebih besar dari 10 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas yang terlalu besar (tambahan tebal lapisan perkerasan menyebabkan biaya awal yang cukup tinggi).
Sumber : Modul Rekayasa Jalan Raya, ITS, 2006
2.4.3
B. Lengkung Vertikal Cekung Secara umum, lengkung vertikal cekung dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Berdasarkan penyinaran lampu kendaraan (Gambar 2.12.) 2. Jarak pandangan bebas di bawah jembatan Gambar 2.12. Lengkung Vertikal Cekung Berdasarkan Penyinaran Lampu Kendaraan Lengkung Vertikal Cembung Berdasarkan jarak penyinaran lampu S < L S
B 1o
1o 60cm
B'
A/100 O
V L
D
Lalu Lintas Harian Rata – Rata Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan ditentukan pada awal umur rencana dan digolongkan menurut jenis kendaraannya tanpa memperhitungkan jenis roda dua dan roda tiga. LHR dihitung pada awal rencana dan pada akhir umur rencana dari tiap-tiap jenis kendaraan dengan menggunakan rumus : LHRawal umur rencana = Vkendaraan × (1+i)n LHRakhir umur rencana = LHRawal umur rencana × (1+i)n Dimana : V = Volume rencana I = perkembangan lalu lintas n = umur rencana
D
2.4.4
Lengkung Vertikal Cembung Berdasarkan jarak penyinaran lampu S > L S
Angka Ekivalen (E) Untuk menghitung Angka Ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu untuk setiap kendaraan ditentukan menurut rumus berikut ini: 4
B' 1o B 1o A/100
60cm O
V L/2
-
D
D
S-L/2
Perhitungan panjang lengkung (L) a. Untuk S < L L
2
AS 120 3.5 S
Untuk S > L
c.
Berdasarkan bentuk visual
d.
120 3.5S L 2S A
AV 2 380
Syarat kenyamanan Lmin V t(3dt )
= P
4
Sumbu dual roda ganda (SDRG)
= P
4
Sumbu triple roda ganda (STrRG) Dimana :
b.
L
Sumbu tunggal roda tunggal (STRT) = P 5.40 4 Sumbu tunggal roda ganda (STRG) = P 8.16
1000 3600
KONSTRUKSI PERKERASAN LENTUR Perkerasan jalan (pavement) adalah suatu lapisan tambahan yang diletakkan di atas jalur jalan tanah, dimana lapisan tambahan tersebut terdiri dari bahan material yang lebih keras / kaku dari tanah dasarnya dengan tujuan agar jalur jalan tersebut dapat dilalui oleh kendaraan (berat) dalam segala cuaca. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan, antara lain : a. Lapisan Permukaan (Surface Course) b. Lapisan Pondasi Atas (Base Course) c. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course) d. Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade Course)
18.45
Beban sumbu kendaraan (ton)
2.4.5
Lintas Ekivalen Lintas Ekivalen dipengaruhi oleh LHR, koefisien distribusi kendaraan (C) dan angka ekivalen (E). Sedangkan koefisien kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat jalur rencana ditentukan pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Jumlah Lajur 1 lajur 2 lajur 3 lajur 4 lajur 5 lajur 6 lajur
2.4
Tebal Perkerasan Lentur Ada 2 macam metode yang digunakan untuk menentukan tebal perkerasan jalan yaitu metode AASTHO dan Bina Marga. Dalam Tugas Akhir ini metode Bina Marga dipilih karena metode ini telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
P =
13.76
Kendaraan ringan 1 arah 2 arah 1,00 1,00 0,60 0,50 0,40 0,40 0,30 0,25 0,20
Kendaraan berat 1 arah 2 arah 1,00 1,00 0,70 0,50 0,50 0,475 0,45 0,425 0,40
Sumber : Petunjuk Perencanaan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen
Lintas Ekivalen Permulaan (LEP), Rumus : LEP =
n
LHRj Cj Ej j 1
Lintas Ekivalen Akhir (LEA), Rumus : LEA =
2.4.1
n
LHRj (1 i)
UR
Cj Ej
j 1
Lintas Ekivalen Tengah (LET), Rumus : LET = LEP LEA 2 Lintas Ekivalen Rencana (LER), Rumus : LER = LET × FP Dimana
FP (Faktor Penyesuaian) = UR 10
2.4.6
Daya Dukung Tanah Dasar Dari hasil tes, CBR rencana didapatkan berdasarkan hasil perhitungan CBR rata-rata. Sehingga dari CBR tersebut dikorelasikan ke bentuk DDT dengan menggunakan grafik korelasi CBR dan DDT. 2.4.7
Faktor Regional (FR) Faktor Regional (FR) ialah faktor setempat, menyangkut keadaan lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan. Nilai aktor Regional (FR) didapat berdasarkan klasifikasi tanah yang ada pada Tabel 2.12. Tabel 2.12. Faktor Regional (FR)
bawah ditentukan secara korelasi sesuai nilai Marshall Test (untuk bahan dari aspal), kuat tekan (untuk bahan yang distabilisasi dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan dari lapis pondasi bawah). 2.5
SALURAN TEPI JALAN Saluran tepi jalan merupakan saluran yang berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air hujan dari permukaan jalan agar tidak merusak konstruksi jalan akibat menggenangnya air hujan dalam waktu yang cukup lama. Selain itu juga untuk menghindari kerusakan konstruksi jalan akibat pengaruh buruk dari air tanah. 2.5.1 Frekuensi Hujan Rencana Pada Masa Ulang (T) Tahun Untuk perhitungan frekuensi tinggi hujan rencana selama 10 tahun, persamaan–persamaan yang dipakai adalah: Huajn rata-rata, X = X n
Standart deviasi,
SX
=
(X
i
X )2
n
= X YT Yn Sx
RT Keterangan : Iklim I < 900 mm/th maksudnya curah hujan yang terjadi selama 1 tahun di bawah 900mm. 2.4.8
Indeks Permukaan Indeks Permukaan adalah suatu angka yang menyatakan kerataan / kehalusan dan kekokohan permukaan jalan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi arus lalu lintas yang lewat. Adapun beberapa nilai IP beserta artinya seperti tersebut dibawah ini : IP = 1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat mengganggu lalu lintas kendaraan. IP = 1,5 : adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus). IP = 2,0 : adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap. IP = 2,5 : adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik. Untuk menentukan nilai IP pada akhir umur rencana perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah Lalu Lintas Rencana (LER) seperti dicantumkan pada Tabel 2.13. Tabel 2.13. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IPt)
Sn
Dimana : X = Hujan rata-rata Sx = Standart deviasi RT = Frekuensi periode hujan pada periode tahun T YT = Faktor reduksi (lihat Tabel 2.16) Yn = Nilai yang tergantung pada nilai n (lihat Tabel 2.17) Sn = Standar deviasi merupakan fungsi dari n (lihat Tabel 2.18) Tabel 2.16. Variasi YT Periode Ulang ( tahun )
Variasi yang Berkurang
2 5 10 25 50 100
0,3665 1,4999 2,2502 3,1985 3,9019 4,6001
Sumber : SNI 03-3424-1994
Tabel 2.17.
Nilai Yn Yn
n
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 20 30 40 50 60 70 80 90
0,4952 0,5225 0,5362 0,5436 0,5485 0,5521 0,5548 0,5568 0,5586
0,4996 0,5252 0,5371 0,5422 0,5489 0,5534 0,5552 0,5570 0,5587
0,5035 0,5268 0,5380 0,5448 0,5493 0,5527 0,5555 0,5572 0,5589
0,5070 0,5283 0,5388 0,5453 0,5497 0,5530 0,5555 0,5574 0,5591
0,5100 0,5296 0,5402 0,5458 0,5501 0,5533 0,5557 0,5576 0,5592
0,5128 0,5309 0,5402 0,5463 0,5504 0,5535 0,5559 0,5578 0,5593
0,5157 0,5320 0,5410 0,5468 0,5508 0,5538 0,5561 0,5580 0,5595
0,5181 0,5332 0,5418 0,5473 0,5511 0,5540 0,5563 0,5581 0,5596
0,5202 0,5343 0,5424 0,5477 0,5519 0,5543 0,5565 0,5583 0,5598
0,5520 0,5353 0,5432 0,5481 0,5518 0,5545 0,5567 0,5585 0,5599
Sumber : SNI 03-3424-1994 Sumber : Petunjuk Perencanaan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen
2.4.9
Indeks Tebal Perkerasan (ITP) Indeks Tebal Pekerasan (ITP) ialah suatu angka yang berhubungan dengan penentuan tebal perkerasan jalan yang nilainya didapat dengan nomogram.
Tabel 2.18
Nilai Sn Y
n
n
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 20 30 40 50 60 70 80 90
0,9496 0,0628 0,1124 0,1413 0,1607 0,1747 0,1859 0,1938 0,2007
0,9676 10,696 11,159 11,436 11,623 11,759 11,863 11,945 12,013
0,9833 10,696 11,159 11,436 11,623 11,759 11,863 11,945 12,020
0,9971 10,811 11,226 11480 11,658 11,782 11,881 11,959 12,026
10,095 10,864 11,225 11,499 11,667 11,793 11,890 10,967 12,032
10,206 10,915 11,285 11,519 11,681 11,803 11,898 11,973 12,038
10,316 10,961 11,313 11,538 11,696 11,814 11,906 11,980 12,044
10,411 11,004 11,339 11,557 11,708 11,824 11,915 11,987 12,049
10,493 11,047 11,363 11,574 11,721 11,834 11,923 11,994 12,055
10,565 11,086 11,388 11,590 11,734 11,844 11,930 12,001 12,060
Sumber : SNI 03-3424-1994
2.4.10
Tebal Perkerasan Dalam menentukan tebal perkerasan digunakan perumusan sebagai berikut : ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3 Dimana : a1,2,3 = Koefisien kekuatan relatif permukaan, lapis pondasi dan pondasi bawah. D1,2,3 = Tebal tiap-tiap lapisan Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi, dan pondasi
2.5.2
Intensitas Hujan Rencana Untuk mengolah R (frekwensi hujan) menjadi I (intensitas hujan), dapat digunakan cara Mononobe sebagai berikut : Imax = R 24 24 24 t c
2
3
Dimana : I = Intensitas hujan (mm/jam)
tc = Waktu konsentrasi (menit) R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
2.6 1.
2.5.3
Waktu Konsentrasi (Tc) Waktu konsentrasi dibagi dua, yaitu (t0) waktu untuk mencapai awal saluran (inlet time) dan (tf) waktu pengaliran. Persamaan yang dipakai adalah: to
= 1.44 L nd
tf
= L V
to
i
2.
0.467
= to t f
3.
Dimana : to = Inlet time (menit) nd = Koefisien hambatan (lihat Tabel 2.19) LT = Panjang titik terjauh sampai sarana drainase (m) i = Kelandaian permukaan L = Panjang saluran (m) V = Kecepatan air di saluran
4.
2.7
GALIAN DAN TIMBUNAN Persamaan yang digunakan untuk menghitung volume galian dan timbunan adalah : Volume (m3) = (A1 + A2) / 2 × jarak
Untuk kecepatan air, bias dihitung dengan rumus : V
= 1 R 13 S 1 2 n
Dimana : A1 = luas penampang di Sta.1, (m2) A2 = luas penampang di Sta.2, (m2)
Dimana : V = Kecepatan rata-rata aliran (m/det) R = Jari-jari hidrolis = F/P (m) F = Luas penampang basah (m2) P = Keliling basah (m) S = Kemiringan muka saluran n = Koefisien kekasaran Manning (lihat Tabel 2.20.)
2.8
2.5.4
Luas Daerah Pengaliran (A) Luas daerah tangkapan hujan (catchment area) pada perencanaan saluran samping jalan adalah daerah pengaliran (drainage area) yang menerima curah hujan selama waktu tertentu (intensitas hujan), sehingga menimbulkan debit limpasan yang harus ditampung oleh saluran samping untuk dialirkan ke sungai. 2.5.5
Koefisien Pengaliran (C) Menurut The Asphalt Institute, untuk menentukan C dengan berbagai kondisi permukaan, dapat dihitung atau ditentukan dengan cara sebagai berikut: (Hendarsin, 2000) C = C1 L1 C 2 L 2 ... C n L n A1 A2 ... An
Dimana : C1, C2,… = Koefisien pengaliran permukaan A1, A2,… = Luas daerah pengaliran
sesuai
2.5.6
dengan
jenis
Debit Aliran (Q) Debit aliran adalah jumlah pengaliran limpasan yang masuk ke dalam saluran samping, yang jumlahnya sebesar : Q = 0.278 × (C × I ×A) 2.5.7 Perencanaan Dimensi Saluran F = Q/V h = F / brencana W = Dimana : F = Penampang basah (m2) b = Lebar saluran (m) h = Tinggi saluran (m) w = Tinggi jagaan (m)
RAMBU-RAMBU JALAN Rambu – rambu jalan terdiri dari 4 golongan : Rambu Peringatan Rambu peringatan digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan, sehingga pemakai jalan akan lebih berhati – hati. Rambu Larangan Rambu larangan digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu ini berbentuk lingkaran atau segidelapan dengan warna dasar merah atau putih dan warna simbol/tulisan hitam atau merah. Rambu Perintah Rambu perintah digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu Petunjuk Rambu petunjuk digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lain – lain bagi pemakai jalan.
RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) Anggaran biaya dihitung dari volume pekerjaan dikalikan dengan harga satuan. Perhitungan biaya ini dilakukan dengan memperkirakan biaya berbagai jenis pekerjaan yang disesuaikan dengan Harga Satuan Pokok Pekerjaan (HSPK) yang berlaku di Propinsi Bali pada tahun 2009. BAB III METODOLOGI 3.1
IDENTIFIKASI MASALAH Pada tahap ini penulis mempelajari latar belakang dan berbagai pertimbangan mengapa perlu dilakukannya perencanaan jalan di ruas Amlapura–Kubutambahan, Bali. Sebagai identifikasi awal, fungsi jalan eksisting adalah jalan kolektor yang ditingkatkan menjadi jalan alteri. Sehingga ada beberapa tikungan yang tidak memenuhi persyaratan geometrik jalan alteri. Hal ini menimbulkan ke tidak nyamanan pengguna jalan untuk mengemudi. 3.2
STUDI LITERATUR Untuk memahami materi yang akan dibahas dalam tugas akhir ini, maka perlu dilakukan studi literatur mengenai : 1. Geometrik Jalan Raya 2. Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan Raya 3. Drainase Permukaan Jalan Raya 4. Pekerjaan Galian dan Timbunan Tanah 5. Perhitungan Biaya Pekerjaan Jalan 3.3
PENGUMPULAN DATA SEKUNDER Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk dapat memperoleh variabel-variabel yang akan digunakan dalam perencanaan. Data-data sekunder tersebut antara lain : 1. Peta Topografi / Peta Rupa Bumi 2. CBR Tanah Dasar 3. Volume Lalu Lintas 4. Data Curah Hujan 5. Data PDRB, PDRB Per-Kapita dan Kependudukan
3.4
PERENCANAAN Setelah dilakukan studi literatur dan pengumpulan data sekunder, maka dilakukan serangkaian perencanaan jalan. Adapun perencanaan ini meliputi : 1. Perencanaan Geometrik Perencanaan geometrik meliputi perencanaan alinyemen horizontal dan alinyemen vertikal. Untuk perencanaan alinyemen horizontal meliputi : a. Penentuan Lokasi Jalan - Penetapan Sta. awal dan Sta. akhir - Penentuan trase jalan - Perhitungan sudut tikungan b. Penetapan Parameter Rencana - Kecepatan Rencana c. Perencanaan Tikungan - Perhitungan jari-jari minimum (Rmin) - Perhitungan superelevasi (e) - Perhitungan panjang lengkung peralihan (Ls) - Perhitungan panjang lengkung circle (Lc) - Perhitungan parameter lengkung horisontal - Perhitungan stasioning Dan untuk perencanaan alinyemen vertikal meliputi : a. Penentuan Lokasi Jalan - Penetapan Sta. awal dan Sta. akhir - Perhitungan elevasi eksisting - Penentuan elevasi rencana b. Penetapan Parameter Rencana - Kecepatan rencana c. Perencanaan Lengkung Vertikal - Penentuan kelandaian maksimum - Penentuan jarak pandang - Penentuan kelandaian rencana - Perhitungan parameter lengkung vertical - Perhitungan stasioning - Perhitungan elevasi 2. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Perencanaan konstruksi tebal perkerasan ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan nilai indeks tebal perkerasan lentur jalan yang sesuai dengan usia rencana jalan. Perencanaan tebal perkerasan meliputi: a. Analisa Lalu Lintas Rencana - Perhitungan angka ekivalen (E) kendaraan - Perhitungan Lintas Ekivalen yang terdiri dari Lintas Ekivalen Permulaan (LEP), Lintas Ekivalen Akhir (LEA), Lintas Ekivalen Tengah (LET) dan Lintas Ekivalen Rencana (LER). b. Perhitungan Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) - Penentuan harga CBR - Penentuan nilai DDT c. Perhitungan Tebal Lapisan Perkerasan - Penentuan Faktor Regional (FR) - Penentuan Indeks Permukaan yang terdiri dari Indeks Pemukaan Awal (Ipo) dan Indeks Pemukaan Akhir (Ipt) - Penentuan harga Indeks Tebal Perkerasan (ITP) - Penentuan tebal tiap lapisan perkerasan 3. Perencanaan Dimensi Saluran Tepi Jalan Perencanaan dimensi saluran tepi jalan dilakukan dengan menyesuaikan hasil perencanaan geometrik jalan. Perencanaan dimensi saluran tepi ini terdiri dari : a. Perhitungan Tinggi Hujan Rencana b. Perhitungan Waktu Konsentrasi (tc) yaitu Inlet Time (to) dan Waktu Pengaliran (tf). c. Perhitungan Intensitas Hujan Rencana d. Perhitungan Luas Daerah Pengaliran e. Penentuan Koefisien Pengaliran (C) f. Perhitungan Debit Aliran g. Perhitungan Dimensi Saluran Tepi
4. Penghitungan Volume Galian dan Timbunan Jalan Volume galian dan timbunan jalan dihitung dengan memperhatikan dan menyesuaikan hasil perencanaan geometrik jalan. 5. Perhitungan Biaya Pekerjaan Jalan Perhitungan ini dilakukan dengan memperkirakan biaya berbagai jenis pekerjaan yang disesuaikan dengan Harga Satuan Pokok Pekerjaan (HSPK) Propinsi Bali pada tahun 2009 . 3.5 HASIL AKHIR PERENCANAAN Pada bagian ini akan disajikan berbagai hasil perencanaan yang berupa : 1. Geometrik jalan yang meliputi alinyemen horisontal dan alinyemen vertikal jalan. 2. Tebal konstruksi perkerasan lentur jalan. 3. Dimensi dan material pembentuk saluran tepi jalan. 4. Volume galian dan timbunan jalan. 5. Biaya Pekerjaan Jalan. BAB IV CEK GEOMETRIK JALAN EKSISTING 4.1
UMUM Dari data survey topografi yang didapatkan, akan dilakukan perhitungan cek geometrik jalan eksisting pada ruas Amlapura – Kubutambahan, khususnya alinyemen horisontal. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan re-alinyemen geometrik jalan. 4.2
CEK PARAMETER GEOMETRIK JALAN EXSISTING (ALINYEMEN HORISONTAL) Perhitungan cek parameter elinyemen horisontal diambil salah satu PI, yaitu PI 44. Dari data survey topografi didapatkan Jalan yang akan direncanakan dengan fungsi jalan arteri pada daerah datar/bukit. Kecepatan rencana , VD = 80 km/jam Jari tikungan eksisting= 75 m Sudut tikungan, ∆ = 35,77 Superelevasi normal, en = 2% Superelevasi maksimum, emak = 10% Lebar jalan 7m untuk 2 lajur 2 arah tidak terbagi. maka fmak = – 0.00125 Vr + 0.24 untuk Vr 80 km/jam = – 0.00125 80 + 0.24 = 0.14 Vr 2 80 2 R min = = = 209,97 m, 127(emaks f maks ) 127(0,10 0,14) R eksisting < R min maka tikungan PI 44 tidak memenuhi syarat perencanaan jalan antar kota, Bina Marga, 1990, sehingga perlu dilakukan re-alinyemen geometrik jalan. Untuk perthitungan tikungan PI selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1. Pada lampiram 1, dapat dilihat banyak bahwa banyak tikungan yang tidak memenuhi syarat perencanaan jalan antar kota, Bina Marga, 1990. Hal in disebabkan : 1. Nilai R eksiting besar sedangkan jarak antar PI pendek, sehingga terjadi overlap pada tikungan tersebut. 2. R eksisting < R min. Sehingga ruas Amlapura–Kubutambahan, Bali perlu dilakukan Re-Alinyemen geometrik jalan. Untuk analisa perhitungan perencanaan jalan dapat dilihat pada Bab berikutnya.
BAB V DATA KONDISI JALAN EXISTING 5.1
UMUM Data yang digunakan dalam tugas akhir ini merupakan data sekunder yang didapatkan dari berbagai sumber. 5.2 5.2.1
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Data Topografi dan Peta Rupa Bumi Peta Topografi dan peta rupa bumi pada perencanaan ini digunakan untuk mengetahui kondisi medan disekitar ruas jalan tersebut, sebagai dasar plotting perencanaan trase dan geometrik jalan. Peta ini didapat dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).
Sumber : Dinas PU Pengairan, Prop. Bali, 2007
5.2.2
SX =
Data Lalu Lintas Data lalu lintas diperlukan untuk merencanakan tebal lapisan perkerasan dan geometrik jalan dengan memperkirakan adanya tingkat perkembangan lalu lintas atau kenaikan intensitas lalu lintas harian rata–rata per-tahun sampai dengan umur rencana. Lalu lintas harian rata–rata per-tahun dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Lalu lintas Harian Rata-Rata Per Lajur Ruas Amlapura – Kubutambahan Tahun 2008. No 1 2 3 4 5
Jenis Kendaraan Mobil Penumpang (MP 1.1) Truk Ringan (LT 1.2) Bus Besar (Bus 1.2) Truk Berat (HT 1.2) Truk Tandem 3 As (T 1.22)
LHR (Kend./Hari) Th. 2008 Amla - Kubu Kubu - Amla 2910 3967 800 1119 57 38 686 1668 73 45 4526 6836
___
X
1798 .9 = 163.536 11 i
X )2
n 1
=
25508.505 = 50.506 mm/jam 11 1
Periode ulang rencana hujan maksimum untuk saluran ditentukan 10 tahun dan n = 11, maka didapatkan : YT = 2.2502 (Tabel 2.15) Yn = 0,4996 (Tabel 2.16) Sn = 0.9676 (Tabel 2.17) Jadi frekuensi periode hujan pada 10 tahun R10 = X S x (Y Y ) T n Sn R10
= 163.536 50.506 (2.2502 0.4996 ) = 254.913 mm 0.9676
BAB VI PERENCANAAN
Sumber : Dinas PU Bina Marga, Prop. Bali, 2008
Pertumbuhan lalu lintas, i rata–rata untuk Bus didapat dari pendekatan pertumbuhan jumlah penduduk, untuk Truk didapat dari pendekatan pertumbuhan dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan untuk mobil pribadi didapat dari pendekatan pertumbuhan PDRB perkapita. Setelah itu dihitung i rata-ratanya. Angka inilah yang akan dijadikan acuan untuk meramalkan volume lalu lintas. Analisa pertumbuhan volume lalu lintas ruas Amlapura– Kubutambahan Bali, direncanakan dibuka pada tahun 2009 dengan masa 10 tahun rencana. Volume lalu lintas per tahun untuk awal umur rencana (tahun 2009) dan akhir umur rencana (tahun 2019). Seperti pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Hasil Estimasi LHR Per Lajur Pada Awal Dan Akhir Umur Rencana
(X
6.1 6.1.1
DASAR PERENCANAAN Penentuan Karakteristik Geometrik Dan Kecepatan Yang Digunakan Dalam tugas akhir ini, klasifikasi jalan alteri sekunder dengan tipe jalan 2 lajur 2 arah tanpa median (2/2 UD). Lebar jalan rencana 7m, lebar lajur rencana 3.5m dan bahu jalan sebesar 1.5m. dan jalan ini berfungsi sebagai jalan alteri yang berada di perbukitan maka berdasarkan Tabel 2.3, kecepatan rencana sebesar 60–80 Km/jam. Sehingga kecepatan yang dipakai 80 km/jam dan 60 km/jam. 6.1.2
Penentuan Kemiringan Melintang Normal, Maksimal Dan Bahu Jalan Untuk kemiringan melintang normal sebesar 2%. Kemiringan melintang jalan maksimum disesuaikan dengan fungsi jalan, yaitu sebagai jalan luar kota sehingga kemiringan jalan maksimum sebesar 10%. Untuk kemiringan bahu jalan diambil sebesar 4%. 6.2 6.2.1
5.2.3
Data CBR Tanah Dasar Data CBR (California Bearing Ratio) diperlukan untuk mengetahui daya dukung lapisan tanah dasar dan digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan jalan. Dalam tugas akhir ini data CBR menggunakan data CBR proyek lain di Bali, yang mana nilai CBR nya diasumsikan sama dengan lokasi studi. Dengan nilai CBR tanah dasar = 4.21% (Lampiran 2) 5.2.4
Data Curah Hujan Data hujan yang digunakan adalah data hujan harian maksimum selama 11 tahun secara berturut-turut. Dari data hujan yang tersedia, dilakukan analisa perhitungan hujan harian maksimum seperti yang terdapat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Analisa Perhitungan Curah Hujan Stasiun Sanglah
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA Perencanaan Geometrik Alinyemen Horisontal Contoh perencanaan geometrik alinyemen horisontal diambil PI 1, sebagai berikut : 6.2.1.1 Data Perencanaan Klasifikasi jalan : Alteri Sekunder => emax = 10 % Lebar jalan (2/2 UD) = 2 × 3.5 m Kecepatan desain (VD) = 80 Km/Jam Kecepatan rencana (VR ) = 85% × VD = 68 Km/Jam 6.2.1.2 Perhitungan Sudut PI a. Perhitungan azimut titik start proyek. - X start = 3000 , X akhir = 2051.9846 Y start = 3000 , Y akhir = 3947.9102 - ΔX = X akhir – X start = 2051.9846 – 3000 = -948.015 m - ΔY = Y akhir – Y start = 3947.9102 – 3000 = 947.910 m
- L
=
- Azimut (β) b.
= =
= 1340.622 m
Tan
= Tan
= -45.003°
Perhitungan azimut titik PI 1. - X start = 2051.9846 , X akhir Y start = 3947.9102 , Y akhir - ΔX = X akhir – X start = 2506.0883 – 2051.9846 = - ΔY = Y akhir – Y start = 5147.4442 – 3947.9102 = - L
=
- Azimut (β)
= =
= 2506.0883 = 5147.4442 454.104 m
=
= Tan
= 20.735°
Jadi Δ PI 1 = Abs (-45.003° – 20.735°) = 65.738°
=
m Jadi RD
Dmax
= 209.974
6.2.1.6 Penentuan Type Lengkung Horisontal a. Pehitungan panjang lengkung circle (Lc) θs = = = 2.398°
= 6.822
= (emax + fmax) ×
=
= 3.934
Jika D < Dp, maka rumus yang dipakai adalah f1 : f1 = = emax ×
tan α1
=
tan α2
=
–
= 10% ×
=
– 10% = 0.0384 = 0,00976
=
= 0,0352
Mo = Dp × (Dmax – Dp) × = 3.934 × (6.822 – 3.934) ×
= 0,0212
f(D) = f1 =
Jadi
:
= = 0,0203 e = (e+f) – f(D) = 0,0593 – 0,0.0203 = 0,0390 = 3.90%
Jadi superelevasi yang dipakai
e = 3.90%
6.2.1.5 Perhitungan Panjang Lengkung Peralihan (Ls) Berdasarkan waktu tempuh peralihan (t = 3 detik) Ls =
– R (1 – cos θs) =
- k
= 0.247 m = Ls – = 71.11 –
=
Berdasarkan landai relatif
– 850 (1 – cos 2.398)
– R × sin θs – 850 × sin 2.398 =
35.535 m
- Ts = (RD + p) × tg (0.5Δ) + k = (850 + 0.247) × tg (0.5 × 65.738) + 35.535 = 548.935 m - E = –R = – 850 = 162.304 m - Xs = Ls ×
=
h
=
= (10% + 0.14) ×
= 0.0593 Dp
=
- p
= 1.685
=
(e+f)
=
6.2.1.7 Perhitungan Parameter Lengkung Horisontal
= 850 m
=
= 71,111 m
= 903.64 m Karena e = 3.90% > 3% dan Lc = 903.64 m > 25 m, maka menggunakan lengkung Spiral–Circle–Spiral
=
6.2.1.4 Perhitungan Super Elevasi (e) D = =
= 9.508 m
Nilai lengkung peralihan (Ls) diambil yang terpanjang, maka Ls = 71,11 m
Lc 6.2.1.3 Perhitungan Jari-Jari Minimun (R min) Untuk VD > 80 Km/jam, maka fmax = ( - 0,00125× VD) + 0,24 = ( - 0,00125× 80) + 0,24 = 0,14 Rmin
–
Berdasarkan perubahan kelandaian VD = 80 Km/jam, maka Re = 0.025 m/m/dt Ls = =
1199.534 m
= 1282.611 m
Tan
Dari Tabel 2.6, VD = 80 Km/Jam ; mmax = 150 Ls = (emax + en) × B × mmax = (10%+2%) × 3.5 × 150 = 30.949 m Berdasarkan modifikasi short Nilai koef C diambil = 0,5 m/dt3 (0.3 – 0.9 m/dt3) Ls = –
= 66,667 m
= 71.11 ×
- Ys =
=
= 71.099 m
= 0.992 m
6.2.1.8 Stationing Titik Parameter Lengkung Horisontal Stationing titik parameter lengkung horisontal, sebagai berikut : - Sta. TS = (0+000) + L – Ts = (0+000) + 1340.622 – 584.935 = 0+756 - Sta. SC = Sta. TS + Ls = (0+756) + 71.11 = 0+827 - Sta. CS = Sta. SC + Lc = (0+827) + 903.64 = 1+730 - Sta. ST = Sta. CS + Ls = (1+730) + 71.11 = 1+802 6.2.1.9 Diagram Super Elevasi Pada tugas akhir ini diagram super elevasi menggunakan diagram super elevasi AASHTO. Contoh diagram super elevasi untuk PI 1, dapat dilihat pada Gambar 6.1. Gambar 6.1. Diagram Super Elevasi PI 1 S C
T S AS Jalan en= 2%
e kiri= +3.9%
C S
S T AS Jalan en= 2%
e kanan = 3.9% Ls = 71.11 m
Lc = 903.64 m
Ls = 71.11 m
Untuk keseluruhan perhitungan alinyemen horisontal semua PI dengan program Microsoft Excel.
6.2.2.2 Contoh Perhitungan Parameter Lengkung Vertikal Cekung (PPV 3) Panjang lengkung vertikal direncanakan JPH = 120–140, maka S direncanakan = 130 g1 = 0.00% g2 = 5.00% A = (g1 – g2) = (0.00 – 5.00) = -5.00 Dari tabel 2.9, nilai C menurut Bina Marga, yaitu : Untuk JPH = 399 JPM = 960 - L (for S < L) =
=
= 146.96 m
- L (for S > L) = 2S –
= 2×130 –
= 145.00 m Jadi L yang memenuhi = L (for S < L)
= 146.96 m
- L (for Visual)
=
=
- L (kenyamanan)
=
× 1000 × 3 dt =
= 66.67 m Jadi L yang dipakai = - Ev
=
= 84.21 m × 1000 × 3 dt
146.96 m
=
= 0.918 m
6.2.2.3 Stationing Titik Parameter Lengkung Vertikal Cekung Stationing titik parameter lengkung vertikal cekung sebagai berikut : - Sta. PPV = 2+000 (Pusat perpotongan vertikal) - Sta. PLV = Sta. PPV – = (2+000) – = 1+927 - Sta. PTV
= Sta. PPV +
= (2+000) +
= 2+073
6.2.2.4 Perhitungan Elevasi Titik Parameter Lengkung Vertikal Cekung Elevasi titik parameter lengkung vertikal cekung sebagai berikut : - Elev. PPV = +170 (Pusat perpotongan vertikal) - Elev. PPV1 = Elev. PPV + Ev = (+170) + 0.918 = +170.92 - Elev. PLV = Elev. PPV – = (+170) – - Elev. PTV
= +170
= Elev. PPV + = (+170) +
= +173.67
Dan gambar lengkung vertikal cekung untuk PPV 3, dapat dilihat pada Gambar 6.2. Gambar 6.2. Lengkung Vertikal Cekung Untuk PPV 3 g2 = 5.0% PLV Sta. 1+927
6.2.2
Perencanaan Geometrik Alinyemen Vertikal Perencanaan alinyemen vertikal pada tugas akhir ini meliputi alinyemen vertikal cekung dan alinyemen vertikal cembung. Dalam menentukan panjang lengkung vertikal ini bisa menggunakan jarak pandang henti (JHP) maupun jarak pandang menyiap (JPM). 6.2.2.1 Data Perencanaan - Lebar jalan (2/2 UD) = 2 × 3.5 m - Dengan kecepatan desain (VD) = 80 Km/Jam, Maka : JPH = 120 – 140 (Tabel 2.4) JPM = 400 – 550 (Tabel 2.5)
PPV’ Ev = 0.918 m
g1 = 0%
PTV Sta. 2+073
PPV Sta. 2+000 L/2 = 73.48 m
L/2 = 73.48 m
6.2.2.5 Contoh Perhitungan Parameter Lengkung Vertikal Cembung (PPV 4) Panjang lengkung vertikal direncanakan JPH = 120–140, maka S direncanakan = 130 g1 = 5.00% g2 = -0.75% A = (g1 – g2) = (5.00 – (-0.75)) = 5.75
Berdasarkan JPH, maka Nilai C sebesar = 399 = (A × S2) / C = (5.75 × 1302) / 399 = 243.55 m - L (for S > L) = 2S – ( C / A ) = 2×130 – ( 399 / 5.75 ) = 190.61 m Jadi L yang memenuhi = L (for S < L) = 243.55 m - L (for S < L)
- L (for Drainase) - L (kenyamanan)
= =
50A = 50 × 5.75 × 1000 × 3 dtk =
= 66.67 m Jadi L yang dipakai = - Ev
=
= 287.50 m × 1000 × 3 dtk
287.5 m = 280 m
=
= 2.013 m
- Karena perencanaan ini menurut JPH, berdasar tabel 2.9, Maka : h1 = 1.2 dan h2 = 0.1 - d1 =
=
= 111.002 m
- d2 =
=
= 32.043 m
6.2.2.6 Stationing Titik Parameter Lengkung Vertikal Cembung Stationing titik parameter lengkung vertikal cekung sebagai berikut : - Sta. PPV = 2+500 (Pusat perpotongan vertikal) - Sta. PLV = Sta. PPV – = (2+500) – = 2+360 - Sta. PTV
= Sta. PPV +
= (2+500) +
= 2+640
6.2.2.7 Perhitungan Elevasi Titik Parameter Lengkung Vertikal Cembung Elevasi titik parameter lengkung vertikal cekung sebagai berikut : - Elev. PPV = +195 (Pusat perpotongan vertikal) - Elev. PPV1 = Elev. PPV – Ev = (+195) – 2.013 = +192.99 - Elev. PLV = Elev. PPV – [ (g1 / 100) + (L / 2) ] = (+195) – [ (5% / 100) + (280 / 2) ] = +188.00 - Elev. PTV = Elev. PPV + [ (g2 / 100) + (L / 2) ] = (+195) + [ (0.75% / 100) + (280 / 2) ] = +193.95 Dan gambar lengkung vertikal Cembung untuk PPV 4, dapat dilihat pada Gambar 6.3. Gambar 6.3. Lengkung Vertikal Cembung Untuk PPV 4 PPV Sta. 2+500 g2 = 0.75% g1 = 5.00% PLV Sta. 2+360
PPV’ Ev = 2.013 m
L/2 = 140 m
PTV Sta. 2+640 L/2 = 140 m
Untuk keseluruhan perhitungan alinyemen vertikal semua PI dengan program Microsoft Excel.
6.3
PERHITUNGAN DAERAH KEBEBASAN SAMPING Perhitungan daerah ini adalah berupa jarak pandangan yang disesuaikan dengan kebutuhan perencanaan geometrik jalan, dimana jarak pandangan yang akan menentukan dibandingkan dari hasil perhitungan berdasarkan JPH dan JPM. Dasar perencanaan untuk hitungan ini adalah jari-jari lengkung dan panjang lengkung total yang didapatkan dari hasil perhitungan alinyemen horisontal sebelumnya. Dan berikut ini adalah contoh perhitungannya untuk PI 1. 6.3.1 Data Perencanaan - RD (jari-jari tikungan) = 850 m - Tipe Lengkung = S-C-S - Lt (panjang lengkung total) = 2Ls + Lc = 2×71.11 + 903.64 = 1045.862 m Catt : 1. Lt untuk F–C = Lc 2. Lt untuk S–S = 2Ls 3. Lt untuk S–C–S = 2Ls + Lc - Lebar 1 lajur = 3.5 m 6.3.2 Perhitungan Jarak Kebebasan Samping - Radius jalan disebelah dalam : R’ = R – (0.5 × L 1lajur) = 850 – (0.5 × 3.5) = 848.25 m - S (jarak pandangan, dicoba dengan JPH) = 120 m, sehingga S
6.4
PERHITUNGAN PELEBARAN PERKERASAN JALAN Berikut ini contoh perhitungan pelebaran perkerasan jalan pada tikungan PI 1. 6.4.1 Data Perencanaan - Kendaraan rencana menggunakan kendaraan sedang (menurut TPGJAK 1997), dengan spesifikasi sebagai berikut a. Tonjolan depan kendaraan (A) = 2.1 m b. Jarak gandar kendaraan (p) = 7.6 m c. Lebar kendaraan rencana (b) = 2.6 m - Asumsi lebar kebebasan samping kiri-kanan kendaraan C = 1 m (Sukirman 1999, untuk jalan dengan lebar jalur 7 m). - Kecepatan rencana, VD = 80 Km/jam - Jari-jari rencana, RD = 850 m - Lebar perkerasan per lajur, L = 3.5 m - Lebar perkerasan jalur lurus, Bn = 7m 6.4.2 Perhitungan Pelebaran Perkerasan Jalan - Rc = RD – ½ L – ½ b = 850 – ½ 3.5 – ½ 2.6 = 849.550 m - B = –
E MP 1.1 =
+
=
+
= 0.00143 + 0.00143 = 0.00287 Nilai ekivalen sumbu kendaraan (UE 18 KSAL) berdasarkan sumbu roda tiap-tiap kendaraan. dapat dilihat pada Tabel 6.5. Tabel 6.5. Nilai UE 18 KSAL Untuk Tiap-Tiap Kendaraan
6.5.2
Perhitungan Lintas Ekivalen Untuk perhitungan lintas ekivalen dengan program Microsoft Excel bisa dilihat pada Tabel 6.6. Tabel 6.6. Perhitungan Lintas Ekivalen
= – -
= 2.655 m
Off Tracking U = B – b = 2.655 – 2.6 = 0.055 m Tambahan lebar karenakesulitan mengemmudi Z = = = 0.288 m
Lebar jalan total yang diperlukan Bt = n(B + C) + Z = 2×(2.655 + 1) + 0.288 = 7.599 m Jadi lebar tambahan yang diperlukan untuk PI 1, yaitu : Δb = Bt – Bn = 7.599 – 7 = 0.599 ≈ 0.6 m
6.5.3 Penentuan Faktor Regional (FR) - Persen kendaraan berat Prosentase kend. berat (≥ 5 ton) adalah sebagai berikut : % kendaraan berat = × 100% =
-
-
Dan untuk selengkapnya, perhitungan pelebaran perkerasan jalan ini menggunakan program Microsoft Excel.
= 57.69% > 30% Karena prosentase kendaraan berat >30%, dengan kelandaian < 6% dan berada di daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata tahunan > 900 mm/tahun, maka berdasarkan Tabel 2.12 nilai Faktor Regional yang diijinkan berkisar antara 2,0 - 2,5. Sehingga untuk perencanaan kali ini, diambil nilai Faktor Regional (FR) = 2.0
6.5.4
6.5
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN Dalam perencanaan tebal perkerasan jalan realinyemen ruas Amlapura–Kubutambahan ini digunakan konstruksi perkerasan lentur dengan menggunakan Metode Analisa Komponen (Bina Marga). Adapun beberapa ketentuan dalam perencanaan tebal konstruksi perkerasan lentur disini adalah : - Umur rencana = 10 tahun - Jalan direncanakan dibuka pada tahun 2009 6.5.1
Perhitungan Nilai Ekivalensi Sumbu Kendaraan (E) Berikut ini adalah contoh perhitungan nilai ekivalen konfigurasi sumbu MP 1.1. yang mengacu pada Pd.T – 05 – 2005 – B. - Nilai E untuk MP 1.1 dengan P = 2 ton, susunan roda depan dan belakang STRT (Sumbu Tunggal Roda Tunggal) dan Pembagian roda depan dan belakang 50% : 50%.
× 100%
Perencanaan Tebal Perkerasan Berikut ini adalah data perencanaan untuk tebal perkerasan : - Direncanakan lapis permukaan atas (surface course) menggunakan Laston (MS 774), dengan : a. Indeks permukaan awal (IPo) = 4 (Tabel 2.14) b. Koefisian relatif (a1) = 0.4 (Tabel 2.15) - Karena LER = 26060.171 > 1000 kend/hari dan klasifikasi jalan arteri, maka menurut Tabel 2.13 : a. Indeks permukaan akhir (IPt) = 2.5 - Dari lampiran 2, nilai CBR untuk subgrade = 4.21%. Dan dengan grafik korelasi CBR dan DDT (Gambar 5.4), didapat nilai DDT subgrade = 4.4 - Lapis pondasi atas (base course) menggunakan batu pecah kelas B (CBR 80%), dengan : a. Koefisian relatif (a2) = 0.13 (Tabel 2.15) b. DDT base course = 9.9 (Gambar 5.4) - Lapis pondasi bawah (sub base course) menggunakan sirtu / pitrum kelas C (CBR 30%), dengan : - Koefisian relatif (a3) = 0.11 (Tabel 2.15) - DDT base course = 8.1 (Gambar 5.4)
Gambar 6.4.
Grafik Korelasi Antara CBR Dengan DDT
Tebal tiap lapis perkerasan dapat dilihat pada Gambar 6.6. Gambar 6.6. Tebal Tiap Lapis Perkerasan Surface, Laston (MS 744), t = 20 cm Base, Batu Pecah Kelas B, t = 20 cm
9.9
Sub Base, Sirtu/Pitrun Kelas C, t = 40 cm
8.1
6.6
4.4
Dan karena nilai IP0 = 4 dan IPt = 2.5, maka perhitungan tebal perkerasan untuk jalan alternatif ini, dapat menggunakan Nomogram 1, hingga didapatkan nilai ITP untuk masing-masing lapis perkerasan, seperti yang terlihat pada Gambar 6.5. Gambar 6.5. Nomogram 1 (Untuk Mengetahui Nilai ITP)
PERENCANAAN DIMENSI SALURAN TEPI JALAN Perhitungan dimensi saluran dikerjakan per segmen. Untuk perencanaan kali ini, selain dari jalan dan bahu jalan, air juga mengalir dari lereng. Dan penting untuk diperhatikan, bahwa lebar lereng yang dihitung untuk lintasan air hanyalah lebar lereng yang terpanjang, karena aliran air untuk lereng diatasnya menggunakan saluran tersendiri, yang juga menjadi batasan masalah pada perencanaan kali ini. Dan berikut ini adalah contoh perhitungan dimensi saluran tepi untuk segmen jalan dari STA 2+230 s.d 2+500. 6.6.1 Data Perencanaan - Tinggi hujan rencana adalah, R = 254.913 mm. - Kemiringan memanjang jalan, g = 5.00% - Kemiringan memanjang saluran, direncanakan sama dengan kemiringan memanjang jalan, s = 5.00% - Panjang Saluran, L = 270 m - Jenis material pembentuk saluran direncanakan menggunakan beton, dengan koefisien manning, nsal = 0.018 (berdasarkan Tabel 2.20). - Karena material pembentuk saluran menggunakan beton, kecepatan air yang dijinkan tidak boleh melebihi 4 m/dt. Sehingga pada perencanaan kali ini kecepatan air rencana adalah, Vsal = 3 m/dt. 6.6.2 Perhitungan Waktu Konsentrasi 6.6.2.1 Perhitungan Inlet Time (to) a. Perhitungan Inlet Time (to) jalan (to jalan) - W = wj = 3.5 m - x
Dengan menggunakan nomogram diatas (nomogram 1), maka didapat : a. Untuk Base (DDT = 9.9), dengan ITP1 = 7.5 b. Untuk Sub Base (DDT = 8.1), dengan ITP2 = 10 c. Untuk Sub Grade (DDT = 4.4), dengan ITP3 = 15 6.5.5 Perhitungan Tebal Perkerasan a. Tebal Surface (Laston MS 774) ITP1 = a1 × D1 7.5 = 0.4 × D1 D1 = 18.75 cm > tebal min = 10 cm Jadi D1 = 20 cm b. Tebal Base (Batu Pecah Kelas B) ITP2 = (a1 × D1) + (a2 × D2) 10 = (0.4 × 20) + (0.13 × D2) D2 = 15.38 cm < tebal min = 20 cm, Maka tebal Base dipakai 20 m c. Tebal Sub Base (Sirtu / Pitrum Kelas C) ITP3 = (a1 × D1) + (a2 × D2) + (a3 × D3) 15 = (0.4 × 20) + (0.13 × 20) + (0.11 × D3) D3 = 40 cm
-
=
×w =
× 3.5 = 8.75 m
L1 = = = 9.424 m ∆hg = x × g = 8.75 × 5% = 0.438 m ∆hs = w × s = 3.5 × 2% = 0.070 m ∆h = ∆hg + ∆hs = 0.438 + 0.070 = 0.508 m i = = = 0.0539
- Perkerasan direncanakan menggunakan aspal beton, dengan koefisien manning, nd aspal = 0.013 (Tabel 2.19) - (to jalan ) = 1.44×
= 1.44×
= 1.069 menit b. Perhitungan Inlet Time (to) bahu jalan (to bahu) - W = wb = 1.5 m - x = ×w = × 1.5 = 1.875 m -
L2 = = = 2.401 m ∆hg = x × g = 1.875 × 5% = 0.094 m ∆hs = w × s = 1.5 × 2% = 0.060 m ∆h = ∆hg + ∆hs = 0.094 + 0.060 = 0.154 m i = = = 0.0640
- bahu jalan diasumsikan sebagai permukaan halus dan padat, dengan koefisien manning, nd bahu = 0.100 (Tabel 2.19) - (to bahu ) = 1.44× = 1.44× = 1.405 menit c. Perhitungan Inlet Time (to) lereng (to lereng) - W = wlr = 13.44 m (Lereng terpanjang) - x
=
×w =
× 13.44 = 0.336 m
-
La = = = 13.443 m ∆hg = x × g = 0.336 × 5% = 0.017 m ∆hs = w × s = 13.44 × 200% = 26.878 m ∆h = ∆hg + ∆hs = 0.017 + 26.878 = 26.895 m i = = = 2.0006
- bagian lereng diasumsikan sebagai lapisan dengan rumput jarang, lading permukaan cukup kasar, dengan koefisien manning, nd lereng = 0.200 (Tabel 2.19) - (to lereng ) = 1.44×
= 1.44×
= 1.944 menit 6.6.2.2 Perhitungan Waktu Konsentrasi (tc) a. Inlet time - to jalan + bahu = 1.069 + 1.405 = 2.474 menit - to lereng = 1.944 menit b. Waktu pengaliran di saluran (tf) = = × = 1.500 menit c. Waktu konsentrasi - Aspal + Bahu : tc1 = to jalan + bahu + tf = 2.474 + 1.50 = 3.974 menit = 0.066 jam - Lereng : tc2 = to lereng + tf = 1.944 + 1.50 = 3.444 menit = 0.057 jam
×
=
×
×
=
×
=
× C gab lereng × I lereng × A lereng × 0.80 × 593.933 × 0.003629 = 0.479 m3/dt
Sehingga untuk segmen ini, debit yang menentukan adalah yang terbesar yaitu dari debit yang mengalir dari lereng sebesar 0.479 m3/dt 6.6.4
Perhitungan Dimensi Saluran Tepi jalan Saluran tepi jalan untuk tugas akhir ini direncanakan berbentuk persegi dan menggunakan material beton. Adapun langkah-langkah perhitungannya sebagai berikut : - Luas penampang saluran rencana : F = = = 0.160 m2 - Direncanakan lebar saluran, b = 0.70 m Sehingga : - Tinggi air, h =
=
w
= 593.933 mm/jam b. Luas daerah pengaliran - A aspal = Wj × L = 3.5 × 270 = 945 m2 = 0.000945 km3 - A bahu = Wb × L = 1.5 × 270 = 405 m2 = 0.000405 km3 - A aspal + bahu = 0.000945 + 0.000405 = 0.001350 km3 - Karena panjang lereng untuk segmen ini berbeda disetiap STA nya, maka perhitungan luas pengaliran lereng dipakai lebar lereng terpanjang, yaitu 13.44 m A lereng = Wj×L = 13.44× 270 = 3628.8 m2 = 0.003629 km3 c. Koefisien pengaliran - Koefisien pengaliran aspal diasumsikan, C aspal = 0.95 (Tabel 2.21) - Koefisien pengaliran bahu diasumsikan tanah berbutir halus, C bahu = 0.65 (Tabel 2.21) - Koefisien pengaliran gabungan aspal dan bahu : C gab. aspal + bahu = = 0.86
- Koefisien pengaliran lereng diasumsikan sebagai lapisan batuan keras, C lereng = 0.80 (Tabel 2.21) - Koefisien pengaliran gabungan aspal dan bahu : C lereng + bag. luar = = = 0.80 d. Debit yang masuk ke saluran tepi jalan dari : - Aspal dan bahu : Q= × C gab aspal+bahu × I aspal+bahu × A aspal+bahu =
= 0.338 m
Dari perhitungan dimensi saluran tepi, maka didapatkan 4 macam tipe dimensi saluran tepi. Seperti Gambar 6.8. Gambar 6.8. Penampang Saluran Tepi w Saluran Tepi 50 × 70 0.5 m Sta. 2+700 s.d 2+800 h Sta. 6+900 s.d 7+100 0.7 m Sta. 8+465 s.d 8+548
0.6 m
=
= 0.228 m
Dari perhitungan diatas maka didapat b = 0.70 m, h = 0.20 m dan w = 0.40 m. Seperti yang terlihat pada Gambar 6.8.
= 539.869 mm/jam - Lereng : I =
Q=
- Tinggi jagaan, w = = - Tinggi saluran total, h + w = 0.228 + 0.338 = 0.566 m ≈ 0.60 m
6.6.3 Perhitungan Debit Rencana a. Intensitas hujan rencana - Aspal + Bahu : I =
- Lereng :
× 0.86 × 539.869 × 0.001350 = 0.174 m3/dt
Saluran Tepi 60 × 70 Sta. 2+230 s.d 2+500
h 0.7 m
w 0.8 m h
Saluran Tepi 80 × 70 Sta. 8+900 s.d 11+700
0.7 m
Saluran Tepi 90 × 70 Sta. 4+200 s.d 6+000
w 0.9 m h
0.7 m
Untuk selengkapnya, perhitungan dimensi saluran tepi per segmen menggunakan program Microsoft Excel.
- Perhitungan volume timbunan : Vol timbunan = A rata-rata × L = (7.072 + 14.801) / 2 × 100 = 1093.650 m3 Untuk selengkapnya, perhitungan volume galian dan timbunan per segmen jalan dengan menggunakan program Microsoft Excel.
6.8
6.7
PERHITUNGAN GALIAN DAN TIMBUNAN Dan untuk perhitungan luas galian dan timbunan ini diambil dari pengukuran luas dari gambar dalam program AutoCAD. Dan berikut ini adalah perhitungan galian dan timbunan untuk segmen 1 (STA 0+700 s.d 0+800). - Pada gambar potongan melintang STA 0+700, didapat : a. Luas galian =0 b. Luas timbunan = 7.072 cm2 (aktual) - Pada gambar potongan melintang STA 0+800, didapat : a. Luas galian =0 b. Luas timbunan = 14.801 cm2 (aktual) - Perhitungan volume galian : Vol galian =0
PERENCANAAN RAMBU DAN MARKA JALAN Pada perencanaan jalan alternatif ini terdapat rambu dan marka jalan agar lalu lintas berjalan lancar dan aman. 6.8.1 Rambu Yang Dipakai Jenis rambu yang dipakai dapat dilihat pada Tabel 6.9. Tabel 6.9. Jenis Rambu Yang Dipakai
6.8.2
Penempatan Rambu Lokasi penempatan rambu dapat dilihat di Tabel 6.10. Tabel 6.10. Lokasi Penempatan Rambu
6.9
RENCANA ANGGARAN BIAYA (RAB) Perhitungan biaya pekerjaan didapat dari volume pekerjaan dikalikan dengan harga satuan pekerjaan. 6.9.1 Perhitungan Rencana Anggaran Biaya (RAB) Dari perhitungan volume maka dikalikan dengan masing-masing harga satuan pekerjaan. Sehingga didapat biaya total pekerjaan sebesar Rp. 506,852,636,000.000 “Lima Ratus Enam Milyar Delapan Ratus Lima Puluh Dua Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Rupiah”. Seperti Tabel 6.11 Tabel 6.11. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Selain rambu, juga menggunakan marka jalan. Marka pada perencanaan kali ini ada dua macam, yaitu : a. Marka memanjang berupa garis putus-putus, yang terdapat pada As jalan yang berfungsi sebagai pembatas lajur. b. Marka memanjang berupa garis menerus tanpa putus, yang terdapat pada bagian tengah jalur jalan yang berfungsi sebagai larangan menyiap bagi pengemudi.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil perencanaan yang telah dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Geometrik Jalan a. Alinyemen Horisontal - Alinyemen horisontal pada ruas jalan ini terbentuk sepanjang 15.167 Km dan terdiri dari 15 PI (Point of Intersection), yang terdiri dari 13 lengkung horisontal S-C-S (Spiral–Circle–Spiral) dan 2 lengkung horizontal F-C (Full Circle). - Untuk daerah kebebasan samping di tikungan, bervariasi dari 0.47 m s.d 6.15 m untuk semua tikungan. - Untuk pelebaran perkerasan jalan, dengan menggunakan kendaraan sedang sebagai kendaraan rencana, maka didapat lebar perkerasan tamabahan yang dibutuhkan bervariasi di setiap PI-nya, dengan kisaran lebar 0.5 m s.d 1.7 m. b. Alinyemen Vertikal - Alinyemen vertikal ruas jalan ini direncanakan dengan kelandaian maksimum sebesar 5%. Sehingga terbentuk PPV sebanyak 27 buah, yang terdiri dari 14 PPV lengkung cekung, dan 13 PPV lengkung cembung. Yang direncanakan berdasarkan referensi jarak pandang yang berbeda-beda (baik JPH maupun JPM) tergantung kondisi alinyemen horisontal, tata guna lahan dan kontur tanah yang tersedia. 2. Tebal Konstruksi Perkerasan Untuk perencanaan tebal perkerasan, didapat : a. Tebal lapisan Surface Laston (MS 744) sebesar 20 cm. b. Tebal lapisan Base Batu Pecah Kelas B sebesar 20 cm.
c. 3.
4.
5.
Tebal lapisan Sub-Base Sirtu/Pitrun Kelas C sebesar 40 cm. Saluran Tepi Jalan Untuk perencanaan dimensi saluran tepi jalan, direncanakan menggunakan profil saluran persegi dengan material beton. Maka didapat 4 tipe dimensi saluran dengan tinggi saluran total (h+w) dan lebar saluran (b) yang berbeda–beda, sebagai berikut : a. Saluran tepi 50 × 70, terletak pada : - Sta. 2+700 s.d 2+800 - Sta. 6+900 s.d 7+100 - Sta. 8+465 s.d 8+548 b. Saluran tepi 60 × 70, terletak pada : - Sta. 2+230 s.d 2+500 c. Saluran tepi 80 × 70, terletak pada : - Sta. 8+900 s.d 11+700 d. Saluran tepi 90 × 70, terletak pada : - Sta. 4+200 s.d 6+000 Dan dimensi tersebut disamakan di kedua sisi sepanjang jalan untuk mempermudah pengerjaan. Volume Galian dan Timbunan Pada tugas akhir ini memerlukan 3.273.047,256 m3 galian tanah dan 887.731,800 m3 timbunan tanah pilihan. Pekerjaan Rambu Dan Marka. a. Rambu Jumlah dari semua rambu yang ada pada ruas Amlapura–Kubutambahan propinsi Bali adalah 73 buah. b. Marka Terdapat 2 jenis marka yang dipakai di ruas jalan ini, yaitu marka putus-putus dan menerus pada as jalan. Marka menerus ini khusus dipakai di tikungan. Dan luas marka total ini sebesar 1260.987 m2.
6.
Perhitungan Biaya Total perhitungan biaya dalam pengerjaan ruas jalan ini adalah Rp. 506,852,636,000.00 (Lima Ratus Enam Milyar Delapan Ratus Lima Puluh Dua Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Rupiah).
7.2
SARAN Saran dalam tugas akhir ini, adalah sebagai berikut : Untuk alinyemen horisontal, persilangan dengan air (sungai) harus diusahakan tegak lurus, agar tidak membuat bangunan persilangan menjadi lebih panjang. Dan idealnya tidak ada persilangan dengan air (sungai) di sepanjang lengkung peralihan maupun lengkung circle. Untuk alinyemen vertikal, kelandaian maksimum yang direncanakan harus benar-benar memperhatikan bentuk kontur tanah yang ada. Untuk perencanaan tebal perkerasan, bila output hasil dari metode Bina Marga masih kurang memuaskan, bisa dilakukan review desain menggunakan metode lainnya. Untuk dimensi saluran tepi jalan, bila lebar ROW mencukupi, dapat dicoba material pembentuk dari tanah yang diperkeras dengan dimensi trapesium. Hal ini akan sangat berguna untuk menekan harga supaya lebih murah. Pemeliharaan jalan dan saluran drainase harus dilakukan rutin setiap tahunnya, agar tercapai umur yang telah direncanakan.
1.
2.
3.
4.
5.