Cecropia peltata L. DI KARST GUNUNG CIBODAS, BOGOR: DERAJAT INVASI, ASOSIASI SPESIES DIAGNOSTIK, DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA SERTA LINGKUNGAN
MOCHAMAD TAUFIQ RIDWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Cecropia peltata L. di Karst Gunung Cibodas, Bogor: Derajat Invasi, Asosiasi Spesies Diagnostik, dan Manfaatnya bagi Manusia serta Lingkungan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2016 Mochamad Taufiq Ridwan NIM G353130361
RINGKASAN MOCHAMAD TAUFIQ RIDWAN. Cecropia peltata L. di Karst Gunung Cibodas, Bogor: Derajat Invasi, Asosiasi Spesies Diagnostik, dan Manfaatnya bagi Manusia serta Lingkungan. Dibimbing oleh MUHADIONO dan IWAN HILWAN. Cecropia peltata termasuk spesies asing invasif yang penting untuk dipelajari. Tujuan penelitian ini yaitu untuk menguraikan: 1) derajat invasi C. peltata dan pengaruhnya terhadap vegetasi kawasan karst Gunung Cibodas, 2) spesies diagnostik lokasi terinvasi C. peltata, 3) spesies yang mampu berasosiasi dengan C. peltata, 4) perbandingan jumlah artikel yang meneliti C. peltata dengan spesies lain, 5) perbandingan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan C. peltata. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret-Mei 2015 di Kawasan Karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pencuplikan data vegetasi dan tanah dilakukan secara purposive mempertimbangkan faktor topografi (punggung dan lereng bukit) dan kondisi (terinvasi dan tak terinvasi). Teknik pencuplikan vegetasi menggunakan kombinasi transek dan plot bersarang berukuran 400 (pohon), 100 (tiang), 25 (pancang), 4 m2 (tumbuhan bawah dan semai). Derajat invasi C. peltata diestimasi dari kerapatan dan penutupan di masingmasing lokasi, sedangkan pengaruhnya terhadap vegetasi dianalisis dari keanekaragaman alfa (jumlah spesies, heterogenitas/indeks Shannon-wiener, dan kemerataan/indeks Pielou), keanekaragaman beta (level plot dan transek), kerapatan (individu ha-1) dan penutupan (m2 ha-1). Spesies diagnostik dideteksi dengan analisis koefisien phi, sedangkan asosiasinya dengan C. peltata dianalisis dengan khi kuadrat. Perbandingan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan oleh C. peltata dilakukan dengan analisis sainstometri. Kutipan relatif dan indeks h digunakan sebagai peubah bebas dalam analisis sainstometri. Lokasi terinvasi C. peltata ditandai dengan kerapatan dan penutupan yang lebih tinggi dibanding lokasi tak terinvasi. Kerapatan pancang, tiang dan pohon C. peltata mencapai kisaran 71-1368, 128-649, dan 42-98 individu ha-1, sedangkan penutupan tiang dan pohon mencapai 2.5-10.69 dan 3.08-9.10 m2 ha-1. Invasi C. peltata menurunkan keanekaragaman alfa dan beta tumbuhan bawah, semai dan pancang vegetasi. Spesies diagnostik lokasi terinvasi terdiri dari delapan spesies tumbuhan bawah (Clidemia hirta, Cryota mitis, Cyclosorus sp, Lygodium circinatum, Piper aduncum, Pseudophegopteris sp, S. wildenowii dan Thelypteris sp), dua semai (Calliandra calothyrsus dan Croton triglium), dan tiga pancang (C. calothyrsus, Gyrinops sp, dan Cinnamomum iners). Dari 12 spesies tersebut, hanya C. siamea yang berasosiasi dengan C. peltata. Invasi C. peltata lebih sedikit dilaporkan dibanding spesies asing invasif lainnya. Selain itu, manfaat yang diperoleh dari C. peltata, terutama obat-obatan, lebih tinggi dibanding kerugian yang ditimbulkan. Dengan demikian, populasi C. peltata yang tinggi menjadi peluang pemanfaatannya bagi manusia dan lingkungan terutama di bidang medis. Kata kunci : analisis sainstometri, Cecropia keanekaragaman, spesies diagnostik
peltata,
derajat
invasi,
SUMMARY MOCHAMAD TAUFIQ RIDWAN. Cecropia peltata L. at Karst of Gunung Cibodas, Bogor: Invasion Degree, Association of Diagnostic Spesies, and its Advantages for Human and Environment. Supervised by MUHADIONO and IWAN HILWAN. Cecropia peltata is important invasive alien species that should be studied. The aims of this study were to determine : 1) invasion degree of C. peltata and its effect on vegetation at karst area of Gunung Cibodas, 2) diagnostic species of invaded site, 3) species that could associate with C. peltata, 4) comparison of scientific article number that studied invasion of C. peltata and other species, 5) comparison of advantages and disadvantages of C. peltata. This study was conducted on March-May 2015 at Karst Area of Gunung Cibodas Hill, Ciampea Subdistrict, Bogor District. Vegetation and soil data was purposively collected, on ridge and slope of the hill, and invaded and uninvaded of the site. A combination of line transect and plot with varying size : 400 (tree), 100 (pole), 25 (sapling), and 4 m2 (understory and seedling) were used to sample the vegetation data. Invsion degree of C. peltata was estimated by its density and coverage in each site, while its effect on vegetation was analyzed by alpha diversity (species richness, heterogeneity/Shannon-wiener index, evenness/Pielou index), beta diversity (plot and transect level), density (individual ha-1) and coverage (m2 ha-1). Diagnostic species was detected by phi coefficient analysis, while its association with C. peltata was determined by chi-square analysis. Advantage and disadvantage of C. peltata was compared using scientometric analysis. Relative citation and h-index were used as independent variables in scientometric analysis. Invaded site by C. peltata was identified by its higher density and coverage than uninvaded site. Density range of sapling, pole, and tree of C. peltata were 711368, 128-649 and 42-98 individual ha-1, respectively. In addition, coverage range of pole and tree were 2.5-10.69 and 3.08-9.10 m2 ha-1, respectively. C. peltata invasion decreased alpha and beta diversity of understories, seedlings and saplings. Eight understory species (Clidemia hirta, Cryota mitis, Cyclosorus sp, Lygodium circinatum, Piper aduncum, Pseudophegopteris sp, S. wildenowii and Thelypteris sp) were identified as diagnostic species of invaded site. In addition, two seedling species (Calliandra calothyrsus and Croton trigilium) and three sapling species (C. calothyrsus, Gyrinops sp, and Cinnamomum iners), were also identified as diagnostic species of invaded site. Among 12 diagnostic species, C. siamea was the only species associated with C. peltata. Invasion of C. peltata on native vegetation was less reported by a few scientists in scientific articles than another invasive alien species. In addition, the advantages obtained from C. peltata to human and environment, especially medicines, were more reported by many scientists in scientific articles than the disadvantages like invasion risk and parasites facilitation. Furthermore, high population of C. peltata in Karst Area Gunung Cibodas Hill has tha advantages for human and environment, especially to be utilized in medicine. Keywords: Cecropia peltata, diagnostic species, diversity, invasion degree, scientometric analysis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Cecropia peltata L. DI KARST GUNUNG CIBODAS, BOGOR: DERAJAT INVASI, ASOSIASI SPESIES DIAGNOSTIK, DAN MANFAATNYA BAGI MANUSIA SERTA LINGKUNGAN
MOCHAMAD TAUFIQ RIDWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
2
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Sulistijorini, MSi
3
Judul Tesis : Cecropia peltata L. di Karst Gunung Cibodas, Bogor: Derajat Invasi, Asosiasi Spesies Diagnostik, dan Manfaatnya bagi Manusia serta Lingkungan Nama : Mochamad Taufiq Ridwan NIM : G353130361
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Muhadiono, MSc Ketua
Dr Ir Iwan Hilwan, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin, MSi
Tanggal Ujian: 18 Juli 2016
Tanggal Lulus:
4
PRAKATA
Segala puji hanya milik Allah yang memberi segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Cecropia peltata L. di Karst Gunung Cibodas, Bogor: Derajat Invasi, Asosiasi Spesies Diagnostik, dan Manfaatnya bagi Manusia serta Lingkungan” ilmiah ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian di kawasan Karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yaitu Dr Ir Muhadiono MSc dan Dr Ir Iwan Hilwan MS. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Tb Dedi Supriadi dari Perum Perhutani KPH Bogor atas bantuan berupa informasi mengenai lokasi penelitian dan Dr Julisasi Tri Hadiah dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor atas bantuan identifikasi spesimen C. peltata. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Sulistijorini MSi sebagai komisi penguji ujian tesis atas saran dan masukannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2016 Mochamad Taufiq Ridwan
5
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Alur Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Spesies Asing Invasif Proses dan Penyebab Penyebaran Spesies Pesaing bagi Spesies Asing Invasif Spesies Diagnostik Analisis Sainstometri 3 METODE Pengaruh C. peltata terhadap Vegetasi Karst Cibodas Deskripsi Lokasi Pencuplikan Vegetasi dan Tanah Analisis Data Analisis Sainstometri C. peltata 3 HASIL Pengaruh Invasi C. peltata terhadap Vegetasi Karst Gunung Cibodas Struktur Vegetasi Karakteristik Tanah Pengaruh Invasi C. peltata Derajat Invasi C. peltata Pendugaan Karakter Floristik dengan Faktor Tanah Komposisi Spesies setiap Strata Spesies Diagnostik setiap Strata Asosiasi C. peltata dengan Tumbuhan Lainnya Analisis Sainstometri C. peltata 4 PEMBAHASAN Derajat Invasi C. peltata dan Pengaruhnya terhadap Vegetasi Asosiasi Spesies Diagnostik dengan C. peltata Analisis Sainstometri C. peltata 5 SIMPULAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
1 1 3 3 3 4 4 4 5 5 6 7 8 8 10 10 10 11 11 16 17 17 17 18 18 20 21 21 22 24 24 27 27 28 29 30 30 30 31 37 47
6
DAFTAR TABEL 1. Kondisi iklim, kelerengan dan bukaan tajuk di lokasi penelitian (rerata±galat baku) pada 2012-2014 2. Kontingensi 2 × 2 untuk menentukan komponen koefisien phi 3. Kontingensi 2 × 2 untuk menentukan komponen asosiasi 4. Indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies setiap strata dan spesies dominan di Kawasan Karst Gunung Cibodas 5. Keanekaragaman beta setiap level pencuplikan (plot, transek, dan lokasi) dan kerapatan. Huruf berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata di P<0.05 uji lanjut Duncan 6. Penduga keanekearagaman dan kerapatan tumbuhan bawah dan semai berdasarkan analisis regresi 7. Spesies diagnostik (dengan nilai koefisien phi) setiap strata di setiap lokasi (nyata pada P<0.05) 8. Ringkasan jumlah artikel dan kutipannya yang memublikasikan spesies tumbuhan asing invasif dan istilah “invasion” di pangkalan data Scopus 9. Manfaat dan kerugian C. peltata bagi manusia dan lingkungan
10 14 15 17
18 21 23 25 26
7
DAFTAR GAMBAR 1. Alur penelitian invasi C. peltata di kawasan karst Gunung Cibodas 2. Kondisi vegetasi lereng selatan yang didominasi oleh C. peltata 3. Ilustrasi transek dan plot pencuplikan. a : 20 x 20 m untuk strata pohon diameter >20 cm, b : 10 x 10 m untuk tiang (diameter 10-20 cm), c : 5 x 5 m untuk pancang (diameter <10 cm dan tinggi >1.5 m), dan d: 2 x 2 m2 untuk semai (tinggi <1.5 m) dan tumbuhan bawah (herba dan semak). : titik pencuplikan tanah 4. Interpolasi (garis penuh) dan ekstrapolasi (garis putus-putus) jumlah spesies (A); penutupan (B). Po: pohon; Ti: tiang; Pa: pancang; Se: semai; Tb: tumbuhan bawah. Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata di setiap strata di P<0.05 uji lanjut Duncan; td: tidak dihitung 5. Rerata karakter fisika dan kimia tanah setiap lokasi. P: punggung, LU: lereng utara, LS: lereng selatan. Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata di P<0.05 uji lanjut Duncan 6. Rerata keanekaragaman alfa berdasarkan faktor topografi (□) dan invasi (■). L: lereng, P: punggung, T: terinvasi, TT: tak terinvasi, tn: tidak nyata, S: jumlah spesies, H’: indeks Shannon-wiener, E: indeks kemerataan. Perbedaan nyata antar perlakuan berdasarkan uji Z pada † P<0.1, *P<0.05, **P<0.01, ***P<0.001, ****P<0.0001 7. Pengaruh invasi terhadap keanekaragaman beta, penutupan (m2 ha-1) dan kerapatan (individu x 103 ha-1). Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar lokasi berdasarkan uji lanjut Duncan pada P<0.05. P: punggung, LU: lereng utara, LS: lereng selatan 8. Rerata kerapatan (individu ha-1) dan penutupan (m2 ha-1) C. peltata. T: terinvasi C. peltata, TT: tak terinvasi. Perbedaan nyata antar lokasi berdasarkan uji T pada †P<0.1, *P<0.05, **P<0.01. tn: tidak nyata 9. Komposisi spesies setiap strata berdasarkan analisis ordinasi bipolar 10. Ilustrasi asosiasi positif antara C. calothyrsus dengan C. peltata, dan asosiasi negatif antara C. siamea dan C. peltata. Keduanya nyata berasosiasi pada P<0.05 uji khi kuadrat 11. Laju kutipan C. peltata dan L. camara per tahun (A). Total artikel dan kutipan C. peltata 59 dan 1388, sedangkan L. camara 1066 dan 13234. Persentase kutipan manfaat dan kerugian C. peltata. Total jumlah kutipan manfaat dan kerugian 785 dan 23, dari 28 dan 4 artikel
4 10
11
17
18
19
20
21 22
24
26
8
DAFTAR LAMPIRAN 1. Korelasi (R) dan koefisien determinasi (adjusted R2) antara indeks nilai penting (INP) dan koefisien phi (Ф) tiap strata dan lokasi. Cetak tebal menunjukkan taraf nyata di P<0.05 2. Rerata karakter fisika dan kimia tanah ketiga lokasi 3. Pendugaan keanekaragaman spesies dan kerapatan 4. Data INP dan komponennya, SDR, dan Phi tiap lokasi (cetak tebal nyata di P<0.05) 5. Korelasi (R) dan pendugaan indeks h oleh jumlah artikel dan kutipan pada analisis sainstometri
38 39 40 41 46
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Invasi tumbuhan asing berdampak negatif terhadap vegetasi dengan memengaruhi dinamika keanekaragaman tumbuhan (Mayor et al. 2012; MacDougall et al. 2013). Hal tersebut terjadi akibat adanya dominasi spesies asing invasif yang menekan spesies lainnya. Di samping itu, gangguan alami maupun yang disebabkan oleh manusia juga dapat memfasilitasi proses invasi oleh spesies asing terhadap ekosistem (Paudel & Battaglia 2015), dan interaksi keduanya menurunkan kekayaan spesies asli (Vellend et al. 2013). Di Indonesia, ditemukan 1936 spesies tumbuhan asing invasif dan 17% dari spesies yang tercatat merupakan gulma (Tjitrosoedirdjo 2005). Beberapa spesies asing invasif tersebut dapat menimbulkan resiko invasi dan berdampak negatif terhadap ekosistem (Tjitrosoedirdjo 2005, Junaedi & Dodo 2014), misalnya Acacia nilotica. Spesies asing invasif ini menurunkan keanekaragaman spesies di Taman Nasional Baluran (Caesariantika et al. 2011). Spesies ini juga menyebabkan ketersediaan sumber makanan bagi herbivora berkurang. Di lokasi lainnya, Acacia decurrens menjadi spesies dominan di Taman Nasional Gunung Merapi, setelah terjadinya erupsi pada 2006 dan 2010 (Suryawan et al. 2015). Invasi tidak hanya terjadi oleh spesies asing invasif berhabitus pohon seperti halnya Acacia, namun juga tumbuhan pemanjat seperti mantangan (Merremia peltata). Invasi mantangan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan menyebabkan turunnya keanekaragaman spesies tumbuhan bawah dan semai (Master et al. 2012). Cecropia peltata yang dikenal di Jawa Barat dengan nama Kikopong/Kibolong, (Sheil & Padmanaba 2011a) yang merupakan tumbuhan asing asal neotropis, termasuk daftar 100 spesies asing invasif versi IUCN (Lowe et al. 2000). Spesies ini dilaporkan menyebar luas dan menggantikan Musanga cecropioides, spesies asli di Kamerun (McKey 1988). Spesies ini juga mendominasi bagian utara dan timur Singapura setelah diintroduksi pada 1902 (Lok et al. 2010). Cecropia peltata diintroduksi di Indonesia pada 1943, dan menjadi invasif di Jawa Barat (Webber et al. 2011; Conn et al. 2012), serta menyebar dengan kisaran lebih dari 1290 km2 (Sheil & Padmanaba 2011a). Cecropia peltata tersebar di dataran rendah (Jakarta) hingga dataran tinggi (Gunung Gede) dan berbagai tipe tanah termasuk kawasan karst (Sheil & Padmanaba 2011a). Tanah karst yang khas menghasilkan flora unik dan endemik (Clements et al. 2006). Saat ini kawasan karst terancam rusak akibat gangguan manusia. Praktik eksploitasi sumber daya karst menurunkan populasi taksa endemik bahkan dapat menyebabkan kepunahan. Selain itu, kawasan karst merupakan ekosistem yang mengalami proses pemulihan sangat lambat setelah mengalami gangguan (Chen et al. 2012). Salah satu kawasan karst yang mengalami degradasi adalah Gunung Cibodas, Bogor. Kerusakan habitat akibat eksploitasi batuan kapur dapat memfasilitasi invasi spesies asing di kawasan ini. Satyanti dan Kusuma (2010) dalam studinya mengemukakan bahwa spesies asing invasif seperti Chromolaena
1
2
dan Melastoma ditemukan melimpah di karst Gunung Cibodas. Dua spesies Cecropia juga ditemukan di kawasan karst ini, yaitu C. palmata dan C. sundaica. Kendati demikian, kedua spesies ini tidak menunjukkan aktivitas invasi (Satyanti & Kusuma 2010). Selain itu, kedua spesies tersebut tidak diketahui informasi kehadirannya saat ini (Conn et al. 2012). Cecropia palmata diintroduksi dari Royal Botanic Gardens Kew dan tidak dapat hidup lama setelah ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1904, sedangkan C. sundaica tidak diketahui eksistensinya dalam pangkalan data seperti International Plant Name index (http://www.ipni.org). Hanya terdapat dua spesies Cecropia yang eksis di Indonesia hingga saat ini yaitu C. peltata dan C. pachystaschya dengan sinonim C. adenopus dan C. schiedeana (Sheil & Padmanaba 2011a, Webber et al. 2011, Conn et al. 2012). Meskipun identifikasi spesies dari genus Cecropia bersifat problematis (Richardson & Rejmanèk 2011), beberapa studi menunjukkan eksistensi C. peltata dibanding C. pachystaschya di sekitar Bogor (Rachman & Balfas 1987 dalam Conn et al. 2012, Sheil & Padmanaba 2011, Conn et al. 2012). Oleh karena itu, persebaran dan potensi invasi Cecropia di sekitar Bogor, termasuk di antaranya Karst Gunung Cibodas, kemungkinan besar disebabkan oleh C. peltata. Spesies ini memiliki karakteristik sebagai spesies asing invasif terutama potensi reproduksinya (Webber et al. 2011). Jutaan biji dapat dihasilkan pertahun pemencaran biji hingga radius tiga kilometer dari suatu individu yang telah dewasa, seed bank yang awet hingga lima tahun, dan kemampuan untuk membentuk belukar dan memperbanyak diri secara vegetatif dari batang. Cecropia peltata dapat dikategorikan sebagai spesies asing invasif yang tersebar luas dan mendominasi vegetasi setempat (Colautti & MacIsaac 2004, Conn et al. 2012). Spesies asing ini juga dilaporkan menggantikan spesies asli di berbagai daerah, namun derajat ancaman dan dampak invasinya terhadap vegetasi di Jawa Barat masih belum jelas diketahui terutama di kawasan karst (Sheil & Padmanaba 2011a). Invasi C. peltata dan ancamannya terhadap ekosistem masih diperdebatkan (Sheil & Padmanaba 2011a; Webber et al. 2011). Sheil dan Padmanaba (2011b) berargumen bahwa bukti kerugian yang ditimbulkan oleh Cecropia tak meyakinkan. Mereka tidak menemukan bukti jelas Cecropia menyebabkan kerugian berdasarkan kriteria yang mereka tentukan (Sheil & Padmanaba 2011a). Walaupun C. peltata ditemukan (satu individu) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, spesies ini belum menginvasi hutan alam. Selain itu, Sheil dan Padmanaba (2011a) gagal mengidentifikasi ancaman C. peltata di samping menggantikan spesies asli (misal McKey 1988), dan penduduk lokal belum menganggap spesies ini sebagai ancaman. Oleh karena itu, studi mengenai invasi C. peltata di Jawa Barat perlu dilakukan agar dapat menangani dampak negatif yang ditimbulkan (Webber et al. 2011). Salah satu upaya pengendalian invasi spesies asing invasif adalah pemanfaatan musuh alami ataupun pesaing. Tumbuhan invasif merupakan pesaing yang lebih baik dibanding tumbuhan non-invasif (Vilà & Weiner 2004). Oleh karena itu, diperlukan spesies non-invasif yang mampu hidup berasosiasi dengan spesies asing invasif dan berpotensi menekan pertumbuhannya. Bertolak belakang dengan statusnya sebagai spesies asing invasif terburuk dunia, Cecropia memberikan manfaat terhadap lingkungan aslinya, misalnya
3
penutupan tanah, mempercepat suksesi, habitat bagi frugivor (Sheil & Padmanaba 2011a dan referensi di dalamnya). Meskipun demikian, perbandingan antara resiko invasi dan manfaat C. peltata masih belum diketahui dan studi sainstometri mengenai C. peltata perlu dilakukan untuk menguraikan potensi resiko dan manfaatnya dari literatur ilmiah.
Perumusan Masalah Fokus penelitian ini yaitu proses invasi C. peltata memengaruhi vegetasi kawasan karst Gunung Cibodas dari beberapa aspek yakni derajat invasinya, asosiasi spesies diagostik dengan C. peltata, serta manfaatnya bagi manusia dan lingkungan. Selain itu, eksistensi dan performansi C. peltata di lokasi penelitian dapat menjadi acuan dalam penentuan derajat invasi dan pengaruhnya terhadap vegetasi. Kendati demikian, dari sekian banyak tumbuhan yang ada di lokasi penelitian, diduga ada beberapa spesies yang mampu berasosiasi dengan C. peltata, terutama spesies diagnostik lokasi terinvasi. Dengan demikian terdapat lima permasalahan yang muncul yaitu: 1. Bagaimana kondisi derajat invasi C. peltata dan apa pengaruhnya terhadap vegetasi kawasan karst Gunung Cibodas? 2. Apa saja spesies diagnostik di lokasi terinvasi C. peltata? 3. Spesies apa saja yang mampu berasosiasi dengan C. peltata? 4. Bagaimana perbandingan jumlah artikel yang meneliti C. peltata dengan spesies lain? 5. Bagaimana perbandingan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan C. peltata terhadap manusia dan lingkungan? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan: 1. Derajat invasi C. peltata dan pengaruhnya terhadap vegetasi kawasan karst Gunung Cibodas. 2. Spesies diagnostik lokasi terinvasi C. peltata 3. Spesies yang mampu berasosiasi dengan C. peltata. 4. Perbandingan jumlah artikel yang meneliti C. peltata dengan spesies lain. 5. Perbandingan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan C. peltata terhadap manusia dan lingkungan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai: 1. Informasi awal kondisi populasi dan potensi invasi C. peltata terutama di kawasan karst. 2. Upaya deteksi pengaruh negatif invasi C. peltata dan potensi penanganan secara biologis (spesies pesaing). 3. Upaya eksplorasi manfaat yang bisa diambil dari C. peltata.
4
Hipotesis Penelitian Terdapat lima hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1. Derajat invasi C. peltata di lokasi berbeda-beda dan terdapat pengaruhnya terhadap vegetasi kawasan karst Gunung Cibodas. 2. Terdapat spesies diagnostik lokasi terinvasi C. peltata 3. Terdapat Spesies yang mampu berasosiasi dengan C. peltata. 4. Jumlah artikel yang meneliti C. peltata berbeda dengan spesies lain. 5. Manfaat C. peltata terhadap manusia dan lingkungan lebih besar dibanding kerugian yang ditimbulkan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada pengaruh negatif dan derajat invasi C. peltata, asosiasi spesies diagnostik dan studi literaturnya. Lokasi studi dibatasi hanya di kawasan karst Gunung Cibodas, Bogor. Studi literatur dibatasi hanya berupa artikel penelitian terindeks Scopus yang terbit antara 1900-2015 dengan kata kunci 32 spesies tumbuhan asing invasif. Alur Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, alur penelitian disusun mengerucut pada upaya pengelolaan melalui spesies yang berasosiasi dengan C. peltata dan eksplorasi menfaat C. peltata. Secara skematis, alur kerangka penelitian disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1 Alur penelitian invasi C. peltata di kawasan karst Gunung Cibodas
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Definisi Spesies Asing Invasif Spesies asing invasif, baik berupa introduksi antar daerah/pulau maupun yang berasal dari negara lain telah sejak lama diperkirakan menjadi salh satu penyebab yang cukup berpengaruh terhadap penurunan kekayaan keanekaragaman hayati. Menurut UN-CBD (The United Nations Convention on Biological Diversity), spesies asing invasif diartikan sebagai jenis introduksi dan/atau penyebarannya di luar tempat penyebaran alaminya, baik dahulu maupun saat ini, mengganggu atau mengancam keanekaragaman hayati. Organisme ini bisa berupa hewan, tumbuhan, jamur dan miroorganisme. Introduksi spesies ini, selain mengancam sistem ekologi, pada gilirannya juga akan menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.secara langsung introduksi ini lebih banyak berpengaruh terhadap spesies dan ekosistem. Karena sifatnya yang mengalami pertumbuhan (growing), pada umumnya dampak yang muncul tidak dapat langsung terlihat atau disadari dan baru menjadi perhatian setelah timbulnya gangguan akibat penyebaran yang cepat dan menekan pertumbuhan populasi spesies lokal (Radiansyah et al. 2015). Penyebaran spesies asing invasif dapat merubah seluruh sistem pada suatu ekosistem, sepertisistem hidrologi, siklus makanan dan proses ekosistem lainnya. Sebagai contoh introduksi Acacia nilotica, spesies asli Afrika, pertama kali ditanam sebagai sekat bakar di Taman Nasional Baluran pada 1969 telah berubah menjadi spesies invasif. Dalam perkembangannya, spesies pohon tersebut tumbuh dan menyebar sangat cepat dan mendominasi savana yang merupakan kawasan konservasi banteng (Bos javanicus). Penyebaran yang sangat cepat dan masih sulit untuk ditangani ini mengakibatkan semakin sempitnya wilayah padang pengembalaan banteng sehingga menekan pertumbuhan spesies tumbuhan pakan dan populasi spesies dilindungi ini serta hewan lainnya yang berasosiasi dengan savanna tersebut (Radiansyah et al. 2015). Penyebaran spesies asing terjadi melalui berbagai cara, baik sengaja maupun tidak. Secara sengaja. Penyebaran dilakukan melalui perdagangan untuk berbagai kepentingan, pertukaran jenis antar negara, introduksi untuk kepentingan tertentu, misalnya spesies cepat tumbuh untuk reklamasi lahan, optimalisasi pemanfaatan makanan di suatu perairan, serta untuk kepentingan kepariwisataan. Secara tidak sengaja, penyebaran dapat terjadi karena adanya benih yang terbawa oleh manusia atau tumbuhan dan hewan melalui transportasi darat, laut maupun udara. Beberapa penyebab terjadinya introduksi spesies asing invasif antara lain: 1. Perdagangan. Introduksi tumbuhan dan/atau hewan merupakan bisnis besar yang memanfaatkan kecenderungan sifat manusia yang menyukai hal-hal yang baru dan unik sehingga mereka mengintroduksi hewan atau tumbuhan yang belum pernah dilihat atau dikenal sebelumnya (asing). 2. Pemenuhan kebutuhan pangan. Introduksi dilakukan dari negara lain dengan memilih spesies tumbuhan dan/atau hewan yang dapat tumbuh dengan cepat, dapat mengisi rantai makanan yang kosong dalam lingkungan yang baru, mudah diangkut dan dipindahkan serta memiliki kandungan gizi/nutrisi yang tinggi.
6
Manipulasi ekosistem. Introduksi dilakukan ketika terjadi serangan organisme pengganggu di suatu ekosistem tertentu sehingga diperlukan musuh alami (predator) untuk menekan pertumbuhannya (Radiansyah et al. 2015) Perhatian terhadap spesies asing invasif ini meningkat dengan disepakatinya UN-CBD oleh sejumlah besar negara di dunia, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada 3-14 Juni 1992, termasuk Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati. Konvensi ini diharapkan dapat meningkatkan kerja sama internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi guna kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati dan memanfaatkan setiap unsurnya secara berkelanjutan. UN-CBD merupakan perjanjian kerjasama internasional yang bersifat mengikat memiliki tiga tujuan yaitu: 1) konservasi keanekaragaman hayati, 2) pemanfaatan secara lestari dari komponen-komponennya, 3) pembagian secara adil dan wajar dari manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya genetik. Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk membangun strategi nasional dalam upaya konservasi dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara lestari, yang sering juga dipandang sebagai dokumen pembangunan berkelanjutan (Radiansyah et al. 2015). Proses dan Penyebab Penyebaran Pada dasarnya, secara alami tumbuhan dan hewan melakukan penyebaran ke daerah sekitarnya. Penyebaran tersebut disebabkan karena adanya proses pergerakan dan perkembangbiakan spesies tumbuhan, hewan serta adanya proses alam (geologi/vulkanik). Proses alam ini mengakibatkan terjadinya isolasi dari suatu atau beberapa ekosistem, termasuk spesies tumbuhan dan hewan yang hidup di dalamnya. Kondisi geografi Indonesia yang merupakan kepulauan telah membentuk berbagai jenis ekosistem yang berkembang secara unik dan membentuk keseimbangan baru yang berbeda satu dengan lainnya dan juga dengan ekosistem asalnya. Perkembangan dan penyebaran tumbuhan dan hewan menjadi terbatas karena adanya hambatan (barrier) alami seperti laut, sungai, lembah dan pegunungan telah membantu perkembangan ekosistem untuk mencapai suksesi klimaks. Dalam banyak kasus hambatan ini dapat diatasi oleh spesies hewan yang memiliki kemampuan daya jelajah atau mobilitas tinggi sehingga beberapa spesies tumbuhan, dapat menyebar sampai keluar habitat aslinya (Radiansyah et al. 2015). Sejalan dengan perkembangan peradaban, globalisasi dan teknologi mendorong terjadinya peningkata perjalanan, perdagangan dan pariwisata serta peningkatan populasi penduduk telah mempermudah terjadinya pergerakan spesies tumbuhan dan hewan melewati batas bio-geografi alaminya dan banyak di antara spesies asing tersebut menjadi invasif. Selain itu, peningkatan pertukaran dan perdagangan tumbuhan dan hewan antar daerah, telah menyebabkan terintroduksinya spesies asing dari suatu area ke area lain, baik secara sengaja maupun tidak. Hambatan alam menjadi berkurang akibat berkembangnya sistem transportasi dan perhubungan baii darat, laut maupun udara. Lemahnya pengawasan terhadap introduksi dan lalu lintas spesies asing di perbatasan antar area dan antar negaratelah menyebabkan terjadinya peredaran spesies baru di
7
suatu area yang pada awalnya tidak disadari dapat merusak ekosistem daerah yang bersangkutan yang kelak dapat berdampak lebih besar terhadap lingkungan, kesehatan, sosial dan ekonomi. Dalam beberapa laporandisampaikan bahwa spesies asing invasif dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan ekonomi besar yang diperburuk oleh terjadinya perubahan iklim, polusi, kehilangan habitat serta gangguan yang disebabkan oleh manusia (Radiansyah et al. 2015). Pemahaman terhadap pola penyebaran dan tingkat invasi oleh spesies tumbuhan dan hewan akan sangat berpengaruh terhadap upaya pengelolaannya. Di samping itu penyebaran dan besaran dapak yang telah ditimbulkannya juga perlu diketahui untuk menetapkan prioritas. Pada umumnya, proses invasi terjadi secara bertahap dan relatif perlahan sehingga tidak banyak disadari. Invasi oleh spesies asing diawali dengan kehadiran spesies tersebut di suatu daerah, kemudian terjadi pertumbuhan dan adaptasi dengan lingkungan sekitar. Proses selanjutnya terjadi perkembangbiakan hingga dominasi dan pengambilalihan daerah jelajah/penyebaran spesies dominan terdahulu/setempat oleh spesies asing yang kemudian berubah menjadi spesies invasif (Radiansyah et al. 2015). Secara umum, tingkatan proses invasi suatu spesies tumbuhan dan hewan dapat dibagi mulai dari pengangkutan, yaitu pergerakan suatu spesies dari tempat asal ke lokasi baru, sampai dengan penyebaran dan dampak yang ditimbulkan di lokasi baru. Catford (2009 dalam Radiansyah et al. 2015) membagi tingkat invasi suatu spesies invasif ke dalam beberapa kategori tingkatan, yaitu: 1) transport, 2) introduksi, 3) kolonisasi, 4) naturalisasi , 5) penyebaran, dan 6) dampak. Dijelaskan pula bahwa tingkatan invasi tersebut ditentukan oleh hasil interaksi dan besar kecilnya ketiga faktor pendorong invasi, yang terdiri dari: 1) propagul (P), yaitu bagian dari tumbuhan seperti tunas atau anakan yang dapat hidup menjadi tumbuhan baru, 2) faktor abiotik (A), yaitu faktor kimia dan fisika dallam lingkungan, seperti cahaya, temperatur, air, gas di udara dan angin serta tanah, edafik hewan dan fisiografi, 3) faktor biotik (B), yaitu hal yang berkaitan dengan dihasilkan atau disebabkan oleh mahluk hidup (Radiansyah et al. 2015). Spesies Pesaing bagi Spesies Asing Invasif Penelitian sebelumnya menunjukkan kompetisi antara spesies asing invasif dan spesies asli (Lankau 2009, Denoth & Myers 2007, Lankau 2012). Beberapa spesies asli mampu berkompetisi dengan spesies asing invasif. Dampak spesies asing invasif Lythrum salicaria tidak cukup kuat untuk menekan spesies asli Sidalcea hendersonii di vegetasi mangrove Pasifik Baratlaut (Denoth & Myers 2007). Spesies asing umumnya lebih kompetitif dibanding spesies asli karena kandungan alelopati yang dimilikinya (Callaway & Ridenour 2004). Meskipun demikian, terdapat speses asli yang mampu bertahan terhadap dampak negatif alelopati tersebut. Spesies asli Amerika utara Pilea pumila toleran terhadap tingginya kandungan alelopati dalam tanah yang dikeluarkan spesies asal Eropa Alliaria petiolata (Lankau 2012). Selain itu, kemampuan kompetitif spesies asing dapat dihambat oleh aktivitas mikroba tanah (Lankau 2009). Alelopati yang dikeluarkan oleh A. petiolata dapat didegradasi oleh mikroba tanah sehingga mengurangi dampak negatifnya terhadap spesies asli Platanus occidentalis. Oleh karena itu, penentuan
8
konteks lingkungan yang megurangi atau mengeliminasi penghambatan alelopati dapat menjadi informasi yang penting dalam keragaman spasial dalam keberhasilan invasi dan proses penanganannya (Lankau 2009). Spesies Diagnostik Identifikasi karakteristik atau spesies indikator/diagnostik merupakan aktivitas tradisional dalam ekologi dan biogeografi (Dufrêne & Legendre 1997). Studi berdasarkan kerja lapangan, mendeskripsikan suatu lokasi atau habitat, umumnya menyebut satu atau beberapa spesies yang mencirikan tiap habitat. Indicator Value atau IndVal, menjadi metode yang lebih sederhana dibanding Twinspan yang masih memerlukan pseudospesies (Dufrêne & Legendre 1997). Dalm perkembangannya, identifikasi spesies diagnostik dapat ditaksir dengan koefisien phi (Ф, Chytrỳ et al. 2002). Koefisien phi lebih baik dibanding IndVal karena bersifat simetris (bernilai positif dan negatif). Koefisien phi juga lebih baik dibanding indeks diagnostik lainnya (Chytrỳ et al. 2002). Meskipun demikian, untuk data yang besar, lebih disarankan menggunakan indeks Ochiai (De Cáceres et al. 2008). Analisis Sainstometri Sainstometri adalah studi aspek kuantitatif sains dan teknologi sebagai suatu proses komunikasi (Mingers & Leydesdorff 2015). Sainstometri berbeda dari jenis metrik lainnya seperti bibliometri, webometri, infometri, dan almetri. Umumnya sainstometri berkaitan dengan analisis kutipan dalam literatur akademik. Selanjutnya, kutipan juga menyediakan sebuah kaitan antara publikasi sebelumnya dari pustaka tersebut dan kemunculan kutipan setelahnya. Pentingnya kutipan dalam hal ini dimulai dari ide Index Kutipan Sains (Science Citation Index, SCI) yang diusulkan oleh Eugene Garfield sebagai pangkalan data untuk perhitungan kutipan (Garfield 1955). Sumber utama kutipan di masa lalu yang dikenal hingga saat ini yaitu Thomson Reuters Institut for Scientific Information (ISI) Web of Science (WoS) yang kemudian diikuti oleh Scopus dari penerbit Elsevier dan Google Scholar (Mingers & Leydesdorff 2015). Lin dan Fenner (2013) mengategorikan ketiganya ke dalam tipe dampak sumber kutipan yang paling signifikan. Masing-masing sumber kutipan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Google Scholar (GS) memiliki keunggulan yaitu cakupan output penelitian yang lebih besar, yang mana subjek non-sains Scopus dan WoS lemah. Selain itu, GS menghasilkan jumlah kutipan yang lebih besar untuk penelitian tertentu. Meskipun demikian, kualitas data GS sangat buruk dengan banyak data yang masuk diduplikasi karena perbedaan yang kecil dalam ejaan atau tanggal dan banyak kutipan yang berasal dari sumber non-riset yang beragam (Minger & Leydesdorff 2015). Selain itu, terdapat inkonsistensi yang cukup besar dalam GS. Adriaanse dan Rensleigh (2013) menyimpulkan ketiganya jelas berbeda, yang mana GS memiliki 14% inkonsistensi, WoS sebesar 5.4%, sementara Scopus hanya 0.4%. Oleh karena itu, untuk tujuan analisis sainstometri, Scopus lebih baik dari dua rivalnya.
9
Beberapa penelitian menggunakan pendekatan sainstometri untuk menganalisis suatu bidang atau topik secara kuantitatif. Misalnya, Nadkarni et al. (2011) menganalisis topik tajuk hutan sebagai suatu bidang sains yang sedang muncul. Laju kutipan tajuk hutan relatif lebih tinggi dibanding bidang geologi dan jumlah kutipan meningkat drastis dalam kurun waktu 1990-2010. Sainstometri juga dapat digunakan untuk mencari suatu istilah yang umum dalam suatu bidang sains. Pautasso (2016), mengamati perkembangan topik kesehatan hutan dan penyakit pohon. Pautasso menemukan fakta bahwa para peneliti cenderung menggunakan istilah “kesehatan pohon” dibanding “penyakit pohon”. Sainstometri juga dapat diaplikasikan untuk beberapa tujuan yaitu: 1. Menguji tren temporal dalam jumlah publikasi topik tertentu 2. Menginvestigasi distribusi spasial fokus penelitian topik tertentu 3. Mempelajari jumlah relatif artikel yang berkaitan dengan berbagai area penelitian 4. Menganalisis sambutan artikel bagi generasi di masa depan 5. Menaksir produktivitas peneliti dan kualitasnya 6. Membandingkan performansi penelitian dan keragaman institusi dan negara 7. Mendokumentasikan pola dan penentu lamanya proses tinjau ulang yang mendalam (peer review) 8. Mempelajari aktivitas kolaborasi interdisiplin (Pautasso 2016)
10
3 METODE Pengaruh C. peltata terhadap Vegetasi Karst Cibodas Deskripsi Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, posisi astronomis yaitu 6o33’01.04”S-6o33’19.06”S dan 106o41’38.63”T-106o40’39.08”T. Secara administrasi, kawasan terbagi menjadi beberapa status kepemilikan dengan Perum Perhutani pemilik lahan terluas (84 ha). Karst Gunung Cibodas merupakan hutan produksi dan terdiri atas lereng (utara dan selatan) yang cukup luas dan punggung relatif lebih sempit. Lereng selatan pernah ditanami pohon mahoni dan kaliandra tahun 2002. Tahun 2004, lereng selatan mengalami penebangan pohon dengan intensitas tinggi hingga menjadi lahan terbuka minim tutupan vegetasi. Selama survei pendahuluan, C. peltata ditemukan di lereng selatan dengan kerapatan yang relatif cukup tinggi (Gambar 2). Secara visual, lereng selatan didominasi oleh spesies ini, sehingga secara kuantitatif, C. peltata diduga mendominasi lereng selatan.
Gambar 2 Kondisi vegetasi lereng selatan yang didominasi oleh C. peltata Dengan demikian, terdapat tiga lokasi berbeda berdasarkan topografi dan kondisi invasi yaitu punggung, lereng selatan (terinvasi) dan lereng utara (tak terinvasi). Elevasi (diukur dengan GPS) lokasi ini antara 155-355 mdpl. Batuan induk Karst Gunung Cibodas terdiri atas formasi Bojongmanik terbentuk sejak masa Miosen Tengah. Kondisi iklim, kelerengan dan bukaan tajuk disajikan dalam Tabel 1. Data iklim diperoleh dari Stasiun Pengamatan Badan Meteorologi Klimatolog dan Geofisika (BMKG) Dramaga. Tabel 1 Kondisi iklim, kelerengan dan bukaan tajuk di lokasi penelitian (rerata±galat baku) pada 2012-2014 Lokasi Punggung Lereng utara Lereng selatan
Curah hujan (mm tahun-1)
suhu udara (oC)
kelembapan udara (%)
3935±256
25.8±0.46
83.1±4
Kelerengan (%) 29.42±3.26 66.10±9.69 76.62±6.54
Bukaan tajuk (%) 66.11±9.53 12.8±3.88 34.15±8.43
11
Pencuplikan Vegetasi dan Tanah Observasi lapangan dilakukan pada Maret-Mei 2015. Pencuplikan vegetasi dilakukan secara purposive mempertimbangkan perbedaan topografi (punggung dan lereng) dan kondisi (terinvasi dan tak terinvasi). Teknik pencuplikan vegetasi dilakukan dengan kombinasi transek dan plot kuadrat bersarang (Gambar 3).
Gambar 3 Ilustrasi transek dan plot pencuplikan. a : 20 x 20 m untuk strata pohon diameter >20 cm, b : 10 x 10 m untuk tiang (diameter 10-20 cm), c : 5 x 5 m untuk pancang (diameter <10 cm dan tinggi >1.5 m), dan d: 2 x 2 m2 untuk semai (tinggi <1.5 m) dan tumbuhan bawah (herba dan semak). : titik pencuplikan tanah Transek dibuat sepanjang 100 m berjumlah tiga untuk masing-masing lokasi sehingga total transek berjumlah 15. Setiap transek terdiri atas lima plot berukuran 20 x 20 m. Jumlah plot lereng utara, lereng selatan dan punggung masing-masing 15. Data vegetasi dihitung setiap plot yaitu jumlah individu dan penutupan. Penutupan diukur dari diameter setinggi dada pada strata pohon, tiang dan pancang menggunakan jangka sorong/meteran. Cuplikan tanah diambil setiap transek dari permukaan hingga kedalaman 15 cm setelah bersih dari serasah. Sepuluh cuplikan tanah diambil dari tiap transek (Gambar 3), dikompositkan dan diambil sebanyak 0.5-1 kg untuk dianalisis. Karakter kimia dan fisika diukur yaitu pH, C-organik, N, P-tersedia, kation dapat ditukar (Ca, Mg, Na dan K) dan tekstur (liat, debu, dan pasir) yang dianalisis di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanah, Kementerian Pertanian. Analisis Data Data vegetasi yang dikoleksi setiap strata yaitu keanekaragaman spesies dan dominansi. Keanekaragaman spesies terdiri atas alfa dan beta. Jumlah spesies (alfa) diestimasi dengan estimator Chao2 menggunakan perangkat lunak EstimateS versi 9.1.0 (Colwell 2013). Sampling completeness (SC) dihitung untuk mengestimasi apakah pencuplikan sudah cukup mewakili total lokasi penelitian. Interpolasi dan ekstrapolasi jumlah spesies juga dihitung untuk mengestimasi pertambahan jumlah spesies sebanyak jumlah cuplikan (plot) hingga mencapai titik jenuh (asimtot). Sampling completeness (SC), keanekaragaman dan kemerataan spesies dihitung menggunakan indeks Shannon-wiener dan Pielou (Magurran 2004) sebagai berikut: SC =
Sobs Sest
× 100%
12
n × ln N
H’ = - Σ E
=
n N
H’ ln Sobs
Keterangan: SC : Sampling completeness Sobs : Jumlah spesies yang teramati Sest : Jumlah spesies yang diestimasi H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-wiener E : Indeks kemerataan Pielou n : Jumlah individu spesies i N : Jumlah individu seluruh spesies Keanekaragaman beta dihitung dengan partisi aditif untuk mengestimasi rerata jumlah spesies setiap level pencuplikan yang berbeda sebagai berikut: Alfa1 Alfa2 Alfa3
: rerata jumlah spesies tiap plot Beta1 = Alfa2-Alfa1 : rerata jumlah spesies transek tiap lokasi Beta2 = Alfa3-Alfa2 : rerata jumlah spesies tiap lokasi (Wagner et al. 2000)
Summed Dominance Ratio (SDR) dihitung dari nilai rata-rata komponen Indeks Nilai Penting (INP) yaitu kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan penutupan relative (DR) untuk mengetahui dominansi spesies (Husch et al. 2003). Perhitungan INP strata semai dan tumbuhan bawah hanya terdiri atas kerapatan dan frekuensi karena mengukur penutupan tajuk di lapangan sulit. SDR dihitung untuk setiap strata untuk seluruh lokasi sebagai berikut: SDR =
SDR =
KR+FR+DR untuk pancang, tiang dan pohon 3 KR+FR 2
untuk semai dan tumbuhan bawah
INP = KR+FR (+DR untuk pancang, tiang dan pohon) Komponen INP tediri dari: KRi =
Kerapatan mutlak (individu ha-1) spesies i Kerapatan mutlak total (individu ha-1)
FRi =
Frekuensi mutlak (jumlah plot terisi ) spesies i × 100% Frekuensi mutlak total (jumlah plot terisi )
DRi =
Penutupan mutlak (m2 ha-1) spesies i Penutupan mutlak total (m2 ha-1)
× 100%
× 100%
13
Analisis ordinasi bipolar komunitas dari data hasil analisis vegetasi secara garis besar dapat dikelompokkan dari beberapa tahapan yaitu tabulasi data, pembuatan matrik nilai kemiripan dan ketidak miripan, penentuan sumbu X, penentuan sumbu Y, dan pembuatan grafik. 1. Tabulasi Data Tabular data secara sederhana menunjukkan kehadiran dan ketidakhadiran dari spesies-spesies yang terdapat di dalam komunitas yang sedang diamati. Walaupun secara lebih terperinci dari struktur komunitas tumbuhan dapat mengadakan studi perbandinganyang dapat langsung menunjukkan nilai penting jenis di dalam komunitasnya. Data dari tabel ini selanjutnya digunakan kedalam perhitungan-perhitungan seperti pada tahap 2 dan seterusnya.
2. Pembuatan Matrik Nilai Kemiripan dan Ketidak Miripan Dari data indeks nilai penting dapat dihitung besarnya nilai kemiripan dan ketidak miripan dua komunitas yang sedang diperbandingkan. Nilai kemiripan atau indeks similarity (IS) dari persamaan Bray-Curtis diperoleh dari perangkat lunak EstimateS. Nilai ketidak miripan atau indeks disimilarity (ID) dapat dihitung dengan rumus : ID = 100 – IS Selanjutnya nilai-nilai dari seluruh perbandingan komunitas yang ada disusun kedalam matrik. 3. Penentuan Sumbu X a. Menetapkan titik A dengan syarat (a) memiliki jumlah total IS terkecil, dan (b) harus mempunyai paling tidak 3 buah nilai IS ≥ 50 b. Menentukan titik B dengan syarat (a) memiliki ID terbesar terhadap titik A, (b) harus mempunyai paling sedikit 3 buah nilai IS ≥ 50 c. Setelah titik A dan B diketahui, maka dapat diketahui nilai L yang merupakan nilai ketidaksamaan antara titik A dan titik B d. Menentukan posisi titik yang lain pada ordinat X dengan menggunakan rumus Beal sebagai berikut : x
=
L2+(dA)2 - (dB)2 2L
Keterangan: L dA dB
= Besarnya sumbu dari perpotongan dari nilai ketidak miripan A dan B = nilai ID dari titik A = nilai ID dari titik B
14
4. Penentuan Sumbu Y a. Menentukan harga ex2 dari masing-masing plot dengan rumus: ex2 =
(dA)2 - x2
b. Menentukan titik A’ atau titik acuan pertama ordinat Y dengan syarat (a) memiliki harga tertinggi ex2, (b) harus terletak dalam kisaran rata-rata 50% nilai tengah ordinat X, dan (c) memiliki paling sedikit 3 IS ≥ 50 c. Menentukan titik B’ sebagai titik acuan kedua ordinat Y, dengan syarat (a) harus sedekat mungkin dengan titik acuan pertama sepanjang ordinat X, (b) harus mempunyai ID terbesar terhadap titik A’, (c) harus memiliki sedikitnya 3 IS ≥ 50, dengan kata lain titik ini adalah paling bsear ketidak miripannya terhadap titik A’ d. Setelah titik A’ dan B’ diketahui, maka dapat diketahui nilai ketidaksamaan kedua titik tersebut (L’) seperti menentukan nilai L. e. Menentukan posisi titik yang lain pada ordinat Y dengan menggunakan rumus Beal: y
=
L2+(dA)2-(dB)2 2L
5. Grafik dan Delineasi Pengelompokkan Langkah selanjutnya adalah membuat delineasi pengelompokkan dan menterjemahkan kedalam sumbu gradient perubahan lingkungan yang diamati selama survei pengumpulan data. Untuk itu akan terlihat adanya pola perubahan komunitas yang berkesinambungan atau yang terputus mendadak, dimana hal tersebut di atas sangat erat berkaitan dengan faktor lingkungan yang sedang diamati, yang digambarkan sebagai sumbu X dan sumbu Y. Spesies diagnostik ditentukan dari nilai koefisien phi (Ф) yang diperoleh dari data frekuensi (Chytrỳ et al. 2002). Kehadiran spesies diagnostik mengindikasikan secara spesifik lokasi tertentu. Keofisien phi berkorelasi positif dengan INP (Lampiran 1), namun menawarkan uji statistik yang lebih jelas dibanding INP. Koefisien phi diperoleh data kehadiran-ketidakhadiran yang dirangkum dalam tabel kontingensi 2 × 2 (Tabel 2) yaitu: Tabel 2 Kontingensi 2 × 2 untuk menentukan komponen koefisien phi Jumlah plot Terdapat spesies i Tidak terdapat spesies i
Di dalam grup plot np Np - np
Tidak terdapat di dalam grup plot n-np N - Np - n + np
berdasarkan tabel tersebut, maka persamaan koefisien phi yang diperoleh yaitu:
Ф =
(N × np ) - (n × Np) √(n × Np × (N - n) × (N - Np))
15
dengan indikasi nyata lokasi target secara statistik yang diperoleh dari persamaan: Z = Ф × √N Keterangan: Ф : koefisien phi, bernilai -1 hingga +1 N : Jumlah plot total Np : Jumlah plot setiap lokasi n : Jumlah kehadiran spesies i di seluruh plot np : Jumlah kehadiran spesies i di grup plot target lokasi Z : nilai Z statistik, di mana titik kritis untuk tolak H0 (indikasi nyata lokasi target) yaitu α=0.05>1.96 Asosiasi spesies diagnostik dengan C. peltata Asosiasi antara C. peltata dan spesies lainnya dihitung di setiap strata dengan persamaan khi kuadrat (χ2) melalui tabel kontingensi 2 × 2 (Tabel 3) yaitu: Tabel 3 Kontingensi 2 × 2 untuk menentukan komponen asosiasi
Spesies lainnya
Ada Tidak ada Jumlah
C. peltata Tidak ada Jumlah b a+b d c+d b+d N=a+b+c+d
Ada a c a+c
Maka khi kuadrat diperoleh dari persamaan: χ2 = N ×
((a × d) - (b × c))2 (a + b) × (a + c) × (c + d) × (b + d)
Dengan tingkat kekuatan asosiasi yang diperoleh dari persamaan: E(a) =
(a + b) × (a + c) N
E(b) =
(b + d) × (a + b) N
Keterangan: χ2 : nilai khi kuadrat hitung, di mana titik kritis untuk tolak H0 (asosiasi nyata antara C. peltata dan spesies lainnya) yaitu α=0.05>3.841, α=0.01>6.635 N : Jumlah plot total a : Jumlah plot yang berisi C. peltata dan spesies lainnya b : Jumlah plot yang berisi spesies lainnya saja c : Jumlah plot yang berisi C. peltata saja d : Jumlah plot yang tidak berisi C. peltata dan spesies lainnya E(a) : Preferensi antara C. peltata dan spesies lainnya yang diharapkan, jika a>E(a), maka terdapat preferensi antara C. peltata dan spesies lainnya E(b) : Pengelakan antara spesies lainnya dan C. peltata yang diharapkan, jika b>E(b), maka spesies lainnya menghindari C. peltata
16
Data vegetasi setiap strata yaitu kerapatan (individu ha-1), penutupan/basal area (m2 ha-1), jumlah spesies, dan keanekaragaman beta dihitung di setiap lokasi. Perbedaan statistik interpolasi jumlah spesies antar strata berdasarkan kriteria konservatif selang kepercayaan minimal 95% yang tak bersinggungan (Colwell 2013). Karakter floristik dihitung untuk C. peltata hanya kerapatan dan penutupan. Analisis ragam digunakan untuk menguji pengaruh perbedaan lokasi terhadap karakter floristik (keanekaragaman beta, kerapatan dan penutupan) setiap strata dan faktor tanah, serta uji lanjut Duncan jika terdapat perbedaan nyata pada α=0.05. Uji Z dilakukan untuk mengetahui pengaruh invasi (lereng selatan vs punggung dan lereng utara) dan topografi (punggung vs lereng) terhadap keanekaragaman alfa (jumlah spesies, indeks Shannon-wiener, dan indeks kemerataan Pielou). Data keanekaragaman alfa tersebut diperoleh dari interpolasi yang dijalankan pada perangkat lunak EstimateS. Pendugaan keragaman karakter floristik (y) oleh faktor tanah (x) menggunakan analisis regresi tunggal. Analisis ragam dan regresi menggunakan perangkat lunak SPSS versi 22. Analisis Sainstometri C. peltata Penelitian ini dilaksanakan pada 6 Januari 2016 menggunakan pangkalan data Scopus yang terdaftar melalui akun perpustakaan Institut Pertanian Bogor. Pencarian literatur menggunakan kata kunci 32 spesies asing invasif (termasuk C. peltata) yang disusun oleh ISSG (Invasive Species Specialist Group, Lowe et al. 2000). Pencarian tipe dokumen dibatasi hanya artikel penelitian dan ditulis antara 1990 hingga 2015. Kata kunci pencarian juga dibatasi hanya di dalam judul dan/atau abstrak dan/atau kata kunci artikel untuk menentukan spesies sebagai objek penelitian. Jumlah kutipan digunakan untuk menganalisis secara kuantitatif topik ini. Kata kunci spesifik yang digunakan yaitu ((TITLE-ABS-KEY (“species”) AND TITLE-ABS-KEY(invasion) AND (LIMIT-TO(DOCTYPE,”ar”))) untuk membandingkan kutipan artikel dari topik invasi tiap spesies. Manfaat dan kerugian yang ditimbulkan oleh C. peltata kemudian dianalisis dengan pencariaan kata kunci literatur yaitu ((TITLE-ABS-KEY (“Cecropia peltata” AND (LIMITTO(DOCTYPE,”ar”)). Manfaat dan kerugian ditentukan dari abstrak dan/atau artikel lengkap, apakah C. peltata bermanfaat bagi manusia dan lingkungan atau justru menimbulkan kerugian. Hasil pencarian kemudian diunduh dan disusun dengan urutan: penulis, tahun publikasi, judul artikel, nama jurnal, volume, halaman, jumlah total kutipan, jumlah kutipan per tahun, dan indeks h. Kutipan per tahun dibatasi dari periode 1970 hingga 2015. Perbandingan laporan invasi antar spesies dihitung dari kutipan relatif yaitu: Kutipan relatif spesies i =
Jumlah kutipan spesies i Jumlah total kutipan seluruh spesies
× 100 %
17
3 HASIL Pengaruh Invasi C. peltata terhadap Vegetasi Karst Gunung Cibodas Struktur Vegetasi Hasil survei menunjukkan adanya tiga spesies mendominasi kelima strata (Tabel 4). Meskipun demikian, koefisien keragaman C. peltata relatif lebih kecil dibanding Calliandra sp, Syzygium lineatum dan Nephrolepis biserrata, yang berarti nilai kerapatan, frekuensi, dan penutupan C. peltata lebih merata. Cecropia peltata mendominasi strata tiang dan pohon dengan nilai SDR tinggi (Tabel 4). Selain itu, sampling completeness strata pancang dan tiang rendah, sehingga hanya 56.44 % dan 41.18 % spesies tercatat selama observasi. Tabel 4 Indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies setiap strata dan spesies dominan di Kawasan Karst Gunung Cibodas Strata
Sobs
Sest
SC (%)
H’
E
Spesies dominan
SDR (KK)
Tumbuhan bawah
48
58
82.76
2.40
0.62
Nephrolepis biserrata
22.40 (0.52)
Semai
33
55
60.00
2.73
0.78
Syzygium lineatum
12.88 (0.29)
Pancang
57
101
56.44
3.00
0.74
Calliandra callothyrsus
12.62 (0.57)
Tiang
7
17
41.18
0.96
0.49
Cecropia peltata
51.46 (0.38)
Pohon
5
8
62.50
0.76
0.47
Cecropia peltata
72.78 (0.08)
Sobs: jumlah spesies yang teramati; Sest: estimasi jumlah spesies (Chao2) total kawasan ; SC (Sampling completeness; H’: indeks keanekaragaman Shannon-Wiener; E: indeks kemerataan Pielou; SDR: Summed Dominance Ratio; KK: koefisien keragaman: simpangan baku/SDR
Kurva interpolasi dan ekstrapolasi menunjukkan jumlah spesies strata tiang dan pohon paling rendah, sedangkan pancang paling tinggi (Gambar 4A). Meskipun jumlah spesies pancang teramati lebih tinggi dibanding tumbuhan bawah dan semai (Tabel 4), namun kurva ekstrapolasi menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara ketiga strata (Gambar 4A). Tidak ada perbedaan nyata penutupan pancang, tiang dan pohon (Gambar 4B). Keanekaragaman beta dan penutupan pancang dan tumbuhan bawah lebih tinggi dibanding strata lain (Tabel 5). A
B
Gambar 4 Interpolasi (garis penuh) dan ekstrapolasi (garis putus-putus) jumlah spesies (A); penutupan (B). Po: pohon; Ti: tiang; Pa: pancang; Se: semai; Tb: tumbuhan bawah. Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata di setiap strata di P<0.05 uji lanjut Duncan; td: tidak dihitung
18
Tabel 5 Keanekaragaman beta setiap level pencuplikan (plot, transek, dan lokasi) dan kerapatan. Huruf berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata di P<0.05 uji lanjut Duncan Keanekaragaman beta
Kerapatan (x 103 m2 ha-1)
Plot
Transek
Lokasi
Tumbuhan bawah
5.64d
9.36c
7.33b
99.00c
Semai
3.26b
5.07b
8.00b
28.69b
Pancang
4.38c
8.94c
11.33b
4.39a
Tiang
1.15a
1.13a
1.04a
0.24a
Pohon
1.13a
0.86a
0.66a
0.05a
Karakteristik Tanah Kondisi tanah di ketiga lokasi cukup beragam (Gambar 5). Kandungan karbon, nitrogen dan rasio karbon:nitrogen di punggung lebih rendah dibanding lereng. Persentase fraksi pasir lereng utara paling tinggi, sedangkan pH tanah lereng selatan paling tinggi. Kandungan hara di punggung lebih rendah dibanding lereng, kecuali magnesium (Gambar 5). Perbedaan faktor cukup beragam terhadap perbedaan fisika dan kimia tanah, namun topografi lebih memengaruhi perbedaan hara tanah. Data tanah selengkapnya disajikan pada Lampiran 2. a b
Gambar 5 Rerata karakter fisika dan kimia tanah setiap lokasi. P: punggung, LU: lereng utara, LS: lereng selatan. Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata di P<0.05 uji lanjut Duncan Pengaruh Invasi C. peltata Terdapat dua kelompok perlakuan yaitu topografi (lereng vs punggung) dan invasi (terinvasi dan tak terinvasi C. peltata) yang diduga memengaruhi keanekaragaman alfa. Analisis interpolasi menunjukkan jumlah spesies strata tumbuhan bawah dan semai yang lebih rendah di lokasi terinvasi (Gambar 6). Indeks Shannon-wiener dan kemerataan Pielou pancang di lokasi terinvasi lebih rendah dibanding lokasi tak terinvasi C. peltata. Sebaliknya, jumlah spesies dan indeks Shannon-wiener tiang justru dipengaruhi oleh perbedaan topografi.
19
Gambar 6 Rerata keanekaragaman alfa berdasarkan faktor topografi (□) dan invasi (■). L: lereng, P: punggung, T: terinvasi, TT: tak terinvasi, tn: tidak nyata, S: jumlah spesies, H’: indeks Shannon-wiener, E: indeks kemerataan. Perbedaan nyata antar perlakuan berdasarkan uji Z pada † P<0.1, *P<0.05, **P<0.01, ***P<0.001, ****P<0.0001
20
Keanekaragaman beta level transek tumbuhan bawah di punggung lebih tinggi dibanding lereng selatan dan semai level plot lebih tinggi di lokasi tak terinvasi. Keanekaragaman beta level plot dan transek pancang, tiang dan pohon tidak berbeda nyata antar lokasi (Gambar 7). Sebaliknya, tren berbeda terjadi pada penutupan dan kerapatan. Strata pohon memiliki penutupan dan kerapatan lebih tinggi di lereng selatan dibanding punggung dan lereng utara, sementara strata lainnya tidak berbeda nyata antar lokasi (Gambar 7). Tumbuhan bawah
LU
Semai
LS
LU
Pancang
LS LS
LU LS LS
Tiang
LS LU LS
Pohon
LU LU LS LS
Gambar 7 Pengaruh invasi terhadap keanekaragaman beta, penutupan (m2 ha-1) dan kerapatan (individu x 103 ha-1). Huruf berbeda menunjukkan perbedaan nyata antar lokasi berdasarkan uji lanjut Duncan pada P<0.05. P: punggung, LU: lereng utara, LS: lereng selatan Derajat Invasi C. peltata Derajat invasi C. peltata diestimasi dengan perhitungan kerapatan dan penutupan. Berdasarkan lokasi (lereng utaran dan selatan, punggung), kerapatan dan penutupan C. peltata tidak berbeda nyata kecuali strata pohon. Kerapatan dan penutupan pohon C. peltata lebih tinggi di lereng selatan dibanding punggung. Sementara itu, satu individu strata pohon C. peltata hanya ditemukan di lereng utara di mana bukaan tajuk lebih rendah dibanding punggung (P=0.005, uji lanjut Duncan). Invasi C. peltata dapat dideteksi dari nilai kerapatan dan penutupannya. Invasi ditandai saat kerapatan pancang, tiang dan pohon C. peltata mencapai
21
kisaran 71-1368, 128-649, dan 42-98 individu ha-1. Selain itu, invasi ditandai saat penutupan tiang dan pohon mencapai 2.5-10.69 dan 3.08-9.10 m2 ha-1 (Gambar 8). Nilai SDR juga menunjukkan rerata kerapatan, frekuensi dan penutupan pohon C. peltata lebih dari 70 % (Tabel 4).
Gambar 8 Rerata kerapatan (individu ha-1) dan penutupan (m2 ha-1) C. peltata. T: terinvasi C. peltata, TT: tak terinvasi. Perbedaan nyata antar lokasi berdasarkan uji T pada †P<0.1, *P<0.05, **P<0.01. tn: tidak nyata Pendugaan Karakter Floristik dengan Faktor Tanah Keragaman karakter floristik dapat diduga oleh faktor tanah terutama pH, tekstur pasir dan kandungan magnesium (Tabel 6). Keanekaragaman alfa dan beta tumbuhan bawah dan semai diduga oleh faktor pH dan pasir sebanyak 54.6 % hingga 86.2 %, sementara kerapatan tumbuhan bawah diduga oleh magnesium sebanyak 82.1 %. Kerapatan dan penutupan C. peltata tidak cukup baik dibanding faktor tanah untuk menduga keragaman karakter floristik (Lampiran 3). Tabel 6 Penduga keanekearagaman dan kerapatan tumbuhan bawah dan semai berdasarkan analisis regresi Peubah tak bebas (y) Jumlah spesies tumbuhan bawah Jumlah spesies semai β-plot semaib β-transek tumbuhan bawahc Kerapatan tumbuhan bawah a Beta
α 55.26 34.82 -1.35 51.81 135.60
Penduga (x) pH pH Pasir pH Mg
βa -5.16 -3.74 0.68 -1.23 -0.92
adj. R2 0.694 0.557 0.546 0.862 0.821
F 6.89 9.80 9.42 44.90 33.10
P 0.006 0.020 0.022 0.001 0.001
baku, bβ-plot: keanekaragaman beta level plot; cβ-transek: keanekaragaman beta level transek
Komposisi Spesies setiap Strata Secara kualitatif, berdasarkan analisis ordinasi bipolar, komposisi spesies tumbuhan di lokasi penelitian berbeda terutama strata tumbuhan bawah, semai dan pancang (Gambar 9). Komposisi tumbuhan bawah dan semai di punggung berbeda dengan lereng, sementara strata pancang berbeda di tiap lokasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa komposisi penyusun strata pancang di satu lokasi berbeda dengan lokasi lainnya. Spesifitas strata pancang di lereng selatan menunjukkan representasi lokasi yang terinvasi C. peltata, yang mana kerapatan dan penutupannya lebih tinggi (Gambar 8). Spesies-spesies tersebut, terutama
22
spesies diagnostik, dapat menjadi kandidat spesies yang mampu berasosiasi dengan C. peltata.
Gambar 9 Komposisi spesies setiap strata berdasarkan analisis ordinasi bipolar Spesies Diagnostik setiap Strata Nilai koefisien phi yang berkisar -1 hingga +1, menunjukkan kesamaan kisaran nilai dengan korelasi Pearson dalam uji korelasi parametrik. Tabel 7 menunjukkan adanya variasi nilai koefisien phi. Beberapa spesies hanya memiliki nilai minus di suatu lokasi, namun tidak menjadi spesies diagnostik di lokasi lainnya. Sebaliknya, beberapa spesies menjadi spesies diagnostik di suatu lokasi, namun tetap ditemukan di lokasi lainnya walaupun dengan frekuensi kehadiran yang sedikit. Nilai koefisien phi selengkapnya ditampilkan di Lampiran 4. Spesies lainnya yaitu Selaginella wildenowii, Asplenium nidus, Calliandra calothyrsus, Harpullia arborea, Vitex sp, Syzygium picnatum, Syzygium sp, Bridelia tomentosa, dan Cecropia peltata memiliki dua nilai koefisien phi yang berlawanan (Tabel 7). Spesies-spesies tersebut menjadi spesies diagnostik di suatu lokasi dan tidak berkorelasi dengan lokasi lainnya. C. peltata menjadi spesies diagnostik strata pohon di lereng selatan dan tidak berkorelasi dengan lereng utara. Hal tersebut sesuai dengan nilai kerapatan dan penutupannya yang lebih tinggi di lereng selatan (Gambar 8). Berdasarkan lokasi, delapan spesies strata tumbuhan bawah (Clidemia hirta, Cryota mitis, Cyclosorus sp, Lygodium circinatum, Piper aduncum, Pseudophegopteris sp, S. wildenowii dan Thelypteris sp), dua spesies semai (C. calothyrsus dan Croton triglium), dan tiga spesies pancang (C. calothyrsus, Gyrinops sp, dan Cinnamomum iners) menjadi spesies diagnostik lereng terinvasi (lereng selatan) (Tabel 7). Spesies-spesies tersebut merupakan spesies yang terindikasi mampu bertahan di lokasi terinvasi C. peltata.
23
Tabel 7 Spesies diagnostik (dengan nilai koefisien phi) setiap strata di setiap lokasi (nyata pada P<0.05) Ф
Spesies Punggung
Lereng Utara
Lereng Selatan
Tumbuhan bawah Asplenium nidus Axonopus compresus
0.36 -0.35
Axonopus sp
0.38
Caryota mitis Centrosema pubescen
-0.52
0.30 -0.30
0.48
Clidemia hirta
0.44
Cyclosorus sp
0.38
Eleusine sp
0.30
Lantana camara
0.44
Goniopteris sp
-0.35
Lygodium circinatum
0.50
Melastoma malabatricum
-0.32
Nephrolepis biserrata
-0.35
Piper aduncum
0.42
Pseudophegopteris sp
0.44
Selaginella wildenowii
-0.43
Strobilanthes crispus
0.66
0.42
Thelypteris sp
0.38
Mikania micrantha
0.30
Semai Bridelia tomentosa
-0.30
Calliandra calothyrsus
0.48 -0.43
Croton tiglium Fragraea racemosa
0.53 0.30
0.30
Harpullia arborea
0.52
Homalanthus populneus
-0.38 -0.30
Macaranga rhizonioides
0.30
Syzygium sp
0.54
-0.48
Vitex sp
0.40
-0.30
Pancang Aglaia odorata
0.30
Bridelia racemosa
0.30
Bridelia tomentosa
0.38
-0.34
-0.38
0.76
Calliandra calothyrsus
-0.38
Ficus septica
0.41
Flagellaria sp
0.50
Leea rubra Macaranga tanarius Gyrinops sp
0.38 0.30 0.50
24
Tabel 7 Spesies diagnostik (dengan nilai koefisien phi) setiap strata di setiap lokasi (nyata pada P<0.05) (lanjutan) Ф
Spesies Punggung Microcos hirsuta
0.30
Poikilospermum suaveolens
0.30
Lereng Utara
Cinnamomum iners
Lereng Selatan
0.50
Syzygium picnatum Vitex sp
0.48
-0.30
-0.34
0.40
Tiang Buchanania arborescens
-0.30
Pohon Cecropia peltata
-0.45
0.42
Asosiasi C. peltata dengan Tumbuhan Lainnya Seperti halnya koefisien phi yang bernilai positif dan negatif, maka asosiasi antar spesies yang diestimasi dengan khi kuadrat juga bernilai positif atau negatif. C. calothyrsus (pancang) nyata berasosiasi positif dengan C. peltata (pohon), sementara Cassia siamea (pancang) nyata berasosiasi negatif berdasarkan uji khi kuadrat. Gambar 10 mengilustrasikan kondisi asosiasi kedua spesies tersebut dengan C. peltata.
Gambar 10 Ilustrasi asosiasi positif antara C. calothyrsus dengan C. peltata, dan asosiasi negatif antara C. siamea dan C. peltata. Keduanya nyata berasosiasi pada P<0.05 uji khi kuadrat Analisis Sainstometri C. peltata Sebanyak 604 artikel yang melaporkan invasi spesies asing invasif ditemukan di pangkalan data Scopus, kecuali Hiptage benghalensis dan Rubus
25
ellipticus (Tabel 8). Peubah Indeks h berkorelasi positif dengan jumlah artikel dan kutipan (Lampiran 5). Lantana camara dan Lythrum salicaria merupakan spesies yang aktivitas invasinya paling banyak dilaporkan berdasarkan jumlah kutipan dan indeks h yang paling tinggi. Sebaliknya, C. peltata merupakan spesies yang paling sedikit dilaporkan dibanding spesies lainnya. Hasil pencarian ini menandakan invasi C. peltata terhadap spesies asli dan dampaknya terhadap lingkungan yang sedikit. Tabel 8 Ringkasan jumlah artikel dan kutipannya yang memublikasikan spesies tumbuhan asing invasif dan istilah “invasion” di pangkalan data Scopus Spesies Acacia mearnsii Ardisia elliptica Arundo donax
Jumlah artikel 21
Jumlah kutipan 475
Kutipan relatif (%) 4.143
indeks h 8
5
76
0.662
4
18
268
2.338
8
1
1
0.008
1
Chromolaena odorata
45
431
3.759
12
Cinchona pubescens
10
294
2.564
6
7
147
1.282
6
Euphorbia esula
24
617
5.382
11
Fallopia japonica
38
865
7.544
17
Hedychium gardnerianum
4
186
1.622
4
Hiptage benghalensis
0
0
0.000
0
Cecropia peltata
Clidemia hirta
Imperata cylindrica
27
407
3.550
12
Lantana camara
70
1218
10.624
19
Leucaena leucocephala
15
166
1.448
8
2
57
0.497
2
Lythrum salicaria
49
1208
10.536
21
Melaleuca quinquenervia
29
417
3.637
12
Miconia calvescens
16
203
1.770
8
Mikania micrantha
45
371
3.236
12
Mimosa pigra
7
214
1.866
4
Myrica faya
7
673
5.870
6
Opuntia stricta
15
225
1.962
7
Pinus pinaster
18
127
1.108
7
Prosopis glandulosa
18
340
2.966
9
Psidium cattleianum
9
228
1.988
7
16
205
1.788
8
0
0
0.000
0
Schinus terebinthifolius
13
244
2.128
8
Spathodea campanulata
4
65
0.566
2
Sphagneticola trilobata
3
11
0.096
2
Tamarix ramosissima
26
966
8.426
16
Ulex europaeus
42
760
6.628
16
Ligustrum robustum
Pueraria montana var. Lobata Rubus ellipticus
26
Saat lingkup pencarian diperluas dengan menghapus istilah “invasion”, kutipan C. peltata juga lebih lambat dibanding L. camara (Gambar 11A). Lingkup yang lebih luas ini mencakup tidak hanya kerugian yang ditimbulkan akibat invasi, tapi juga manfaatnya. Meskipun demikian, total jumlah kutipan L. camara relatif lebih tinggi dibanding C. peltata. Perbandingan antara manfaat dan kerugian yang ditimbulkan C. peltata cukup jauh. Dampak positif lebih tinggi dibanding negatif yang ditimbulkan (Gambar 11B, Tabel 9). ○ L. camara ● C. peltata
A
B
Gambar 11 Laju kutipan C. peltata dan L. camara per tahun (A). Total artikel dan kutipan C. peltata 59 dan 1388, sedangkan L. camara 1066 dan 13234. Persentase kutipan manfaat dan kerugian C. peltata. Total jumlah kutipan manfaat dan kerugian 785 dan 23, dari 28 dan 4 artikel Tabel 9 Manfaat dan kerugian C. peltata bagi manusia dan lingkungan Manfaat Kerugian Dampak bagi lingkungan Dampak bagi lingkungan Sumber makanan bagi herbivora Vektor infestasi Trichuris spp1 dan (kelelawar2, larva serangga3, Controrchis spp4 terhadap monyet 5 monyet black howler ) black howler, menggantikan Musanga cecropioides6 dan resiko invasi7 Obat tradisional dan manfaat farmakologi Antibakteri8, antidiabetes9,10 (kontrol glikemik), antifungi11, diuretik12, mengeluarkan 13 plasenta , pembersih postpartum babi ternak14, perawatan berbagai penyakit seperti kanker15, 16 16 demam , batuk , cultural bound syndrome17, hipertensi9, penyakit kuning9, gigitan ular18, sengatan kalajengking18, dan luka19 1
Behie et al. 2014, 2Linares & Moreno-Mosquera 2010, 3Arnone III et al. 1995, 4Kowalzik et al. 2010, 5Behie & Pavelka 2012, 6McKey 1988, 7Webber et al. 2011, 8Mathur et al. 2010, 9Lans 2006, 10Andrade-Cetto & Vazquez 2010, 11Abraham et al. 1979, 12Costa et al. 2011, 13Michel et al. 2007, 14Lans et al. 2007, 15Diaz et al. 2011, 16Clement et al. 2007, 17Vossen et al. 2014, 16Lans et al. 2001, 19Nagori et al. 2011.
27
4 PEMBAHASAN Derajat Invasi C. peltata dan Pengaruhnya terhadap Vegetasi Karst Gunung Cibodas Derajat invasi C. peltata diduga berkaitan dengan aktivitas gangguan yang terjadi sebelumnya (penebangan masif pada 2004) yang mana invasibilitas suatu habitat berkorelasi dengan tingkat gangguan (Chytrỳ et al. 2008, Jauni & Hyvönen 2010). Proporsi spesies invasif dan non-invasif meningkat seiring meningkatnya derajat invasi (Chytrỳ et al. 2008). Perbedaan derajat invasi spesies asing invasif juga dapat menyebabkan perbedaan komposisi komunitas mikroba tanah (Yannarel et al. 2011). Selain itu, mikroorganisme tersebut juga mungkin memainkan peran yang berbeda dalam proses invasi spesies asing invasif. Karst mengalami perkembangan suksesi relatif lambat dibanding ekosistem lain (Chen et al. 2012). Pemulihan kondisi vegetasi relatif lambat paska gangguan menyebabkan resistensi ekosistem karst terhadap invasi rendah meskipun secara biogeografis, kawasan asia tropis lebih resisten dibanding benua lain (Kleunen et al. 2015). Suksesi di lokasi penelitian masih dalam proses perkembangan menuju klimaks. Hal ini ditandai rendahnya keanekaragaman spesies strata tiang dan pohon dibanding strata lain (Tabel 4 & 5, Gambar 4). Lokasi terinvasi yang juga terganggu mengalami penurunan keanekaragaman alfa dan beta terutama strata tumbuhan bawah, semai dan pancang (Gambar 6 dan 7). Umumnya dampak invasi spesies asing invasif yaitu menurunkan spesies non-invasif di habitat terinvasi (Vilá et al. 2011). Meskipun demikian, keanekaragaman dapat diduga lebih nyata oleh faktor tanah dibanding invasi C. peltata (Tabel 6). Gangguan manusia seperti penebangan dapat memengaruhi karakter tanah (Pinard et al. 2000) seperti tekstur (Gambar 5). Spesies asing invasif umumnya memiliki beberapa karakter yang unggul dibanding spesies non-invasif. Spesies asing termasuk C. peltata juga mampu berkompetisi di lingkungan yang miskin (Funk & Vitousek 2007; Laungani & Knops 2009). Invasi C. peltata ditandai dengan penutupan strata pohon yang tinggi di lokasi terinvasi, mencapai 4 kali lipat dibanding lokasi tak terinvasi (Gambar 8). Tajuk spesies asing invasif dapat mengurangi ketersediaan cahaya di lantai hutan dan menekan keanekaragaman tumbuhan non-invasif (MacDougall et al. 2013). Invasi selanjutnya dapat menurunkan produktivitas dan memengaruhi stabilitas ekosistem. Lingkungan terganggu lebih sensitif terhadap invasi karena komunitas spesies non-invasif kurang kompetitif dibanding spesies asing invasif akibat jumlah spesies non-invasif rendah (Tilman 2004). Gangguan dapat memfasilitasi invasi dengan cara pengisian relung yang kosong oleh C. peltata saat lereng selatan terganggu (MacDougall & Turkington 2005). Selain itu, tidak adanya patogen di lingkungan baru semakin meningkatkan resiko invasi spesies asing (Hierro et al. 2006). Saat ini belum diketahui adanya patogen yang dapat menekan invasi C. peltata di luar lingkungan asalnya, namun spesies ini diketahui mampu beradaptasi dan meningkatkan pertahanan diri terhadap tekanan patogen di lingkungan asalnya (Gallery et al. 2010). Dengan demikian, saat memasuki lingkungan baru, C. peltata lebih resisten terhadap patogen dan menjadi lebih
28
kompetitif dalam perolehan sumber daya dibanding spesies lainnya (Blumenthal et al. 2009). Kelebihan lain C. peltata sebagai spesies asing invasif yaitu mampu bertahan terhadap tekanan herbivor melalui pertahanan metabolit sekunder (del Val & Dirzo 2003). Produksi senyawa pertahanan menyebabkan penurunan palatabilitas C. peltata terhadap herbivor. Selain itu, C. peltata memperoleh keuntungan defensif secara tidak langsung dari proses predasi burung terhadap herbivor (Bael et al. 2003). Selanjutnya, hasil penelitian ini mengonfirmasi studi sebelumnya mengenai potensi invasi C. peltata di Jawa Barat (Webber et al. 2011; Conn et al. 2012) khususnya kawasan Karst Gunung Cibodas, Bogor. Asosiasi Spesies Diagnostik dengan C. peltata Spesies indikator atau diagnostik bermanfaat dalam identifikasi tipe target tertentu (tipe habitat atau komunitas) terutama untuk tujuan konservasi alam, pengawasan, dan pengelolaannya (Dufrêne & Legendre 1997, Chytrỳ et al. 2002). Beberapa spesies terdeteksi sebagai spesies diagnostik lokasi terinvasi C. peltata (Tabel 7), namun hanya satu spesies yang berasosiasi negatif dengan C. peltata yaitu C. siamea (Gambar 10). Spesies ini hidup berjauhan dan diharapkan dapat menjadi pesaing C. peltata dengan potensi sifat kompetitif yang dimilikinya. Potensi tersebut ditandai oleh adanya aktivitas alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan spesies lainnya (Philomina & Munikumari (2010). Cassia siamea juga memiliki pertumbuhan yang cepat (Abebe 1994) dan kelangsungan hidup yang tinggi (Otsamo et al. 1997). C. siamea menghasilkan persentase belukar yang tinggi (Duguma et al. 1994). Spesies lainnya yang berasosiasi dengan C. peltata adalah C. calothyrsus. Spesies ini berasosiasi positif dengan C. peltata (Gambar 11). Spesies ini tidak termasuk 32 spesies tumbuhan terestrial asing invasif versi ISSG seperti halnya C. peltata (Lowe et al. 2000). Meskipun demikian, di Indonesia ia berpotensi menjadi invasif saat melewati masa adaptasi di koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Junaedi & Dodo 2014, Rosleine et al. 2014). Spesies alien penambat nitrogen seperti C. calothyrsus berpengaruh besar dalam siklus nitrogen (Vilá et al. 2011). Oleh karena itu, kehadiran C. calothyrsus dapat meningkatkan potensi invasibilitas lereng selatan (lokasi terganggu)(Chytrỳ et al. 2008) meskipun kandungan nitrogen total di lereng selatan tidak berbeda nyata dengan lereng utara (Gambar 5). Selain itu, C. calothyrsus juga merupakan kompetitor yang kuat bagi spesies hutan dan pionir (Rosleine et al. 2014). Oleh karena itu, pemanfaatan spesies pesaing lebih tepat dengan memanfaatkan spesies yang berasosiasi negatif dengan C. peltata yaitu C. samea. Manfaat lainnya dari C. siamea yaitu meningkatkan infiltrasi di lapisan atas tanah (Kiepe 1995) dan bulk density tanah (Parthiban & Rai 1994). Meskipun C. siamea termasuk spesies non-penambat nitrogen, pola pelepasan nitrogen dari serasahnya relatif sama dengan spesies penambat nitrogen (Leucaena leucocephala) (Jama & Nair 1996). Selain itu, potensi biomassa belukarnyapun relatif sama dengan C. calothyrsus (Duguma et al. 1994)
29
Analisis Sainstometri C. peltata C. peltata berpotensi dimanfaatkan sebagai obat baik secara tradisional maupun modern (Tabel 9). C. peltata juga berperan dalam rantai makanan sebagai sumber karbohidrat dan mineral bagi herbivora seperti kelelawar, lebah, larva serangga, dan monyet black howler (misalnya Behie & Pavelka 2012). Dampak negatif C. peltata terhadap lingkungan diketahui dari resiko invasi terhadap spesies asli dan fasilitasi infestasi parasit (misal Behie et al. 2014). Dampak positif C. peltata terhadap manusia dan lingkungan yang lebih besar (Gambar 11B, Tabel 9) menunjukkan bahwa spesies ini memberi manfaat yang lebih besar dibanding kerugian yang ditimbulkan. Spesies asing invasif menawarkan banyak manfaat (Schlaepfer et al. 2011) dan diharapkan menjadi agen biologis yang menjanjikan dalam bidang medis (Fan & Marston 2009). Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies asing invasif dapat bersifat alelopatik, antiherbivora, antimikroba, yang unik di kisaran area barunya. Aktivitas biologis C. peltata telah dibuktikan melalui uji klinis (misal Rojas et al. 2006; Andrade-Cetto & Vázquez 2010). Selanjutnya, populasi C. peltata yang tinggi (Gambar 8, Conn et al. 2012) berpotensi dimanfaatkan sebagai sumber metabolit sekunder.
30
5 SIMPULAN Simpulan Kerapatan pancang, tiang dan pohon C. peltata mencapai kisaran 71-1368, 128-649, dan 42-98 individu ha-1 di lereng terinvasi. Selain itu, invasi terjadi saat penutupan tiang dan pohon mencapai 2.5-10.69 dan 3.08-9.10 m2 ha-1 di lokasi terinvasi. Invasi C. peltata di kawasan karst Gunung Cibodas menyebabkan penurunan keanekaragaman spesies alfa (lokal) maupun beta (antar level area pencuplikan), terutama pada strata pancang, semai dan tumbuhan bawah. Terdapat 12 spesies diagnostik lokasi terinvasi C. peltata, yaitu delapan spesies strata tumbuhan bawah (Clidemia hirta, Cryota mitis, Cyclosorus sp, Lygodium circinatum, Piper aduncum, Pseudophegopteris sp, S. wildenowii dan Thelypteris sp), dua spesies semai (C. calothyrsus dan Croton triglium), dan tiga spesies pancang (C. calothyrsus, Gyrinops sp, dan Cinnamomum iners). C. siamea merupakan spesies yang terdeteksi sebagai spesies yang dapat berasosiasi negatif dengan C. peltata. Analisis sainstometri menunjukkan lebih sedikitnya laporan invasi C. peltata dibanding spesies asing invasif lainnya. Selain itu, dampak positif C. peltata lebih besar dibanding dampak negatifnya. Dengan demikian, melimpahnya jumlah individu C. peltata dapat menjadi peluang pemanfaatannya bagi manusia dan lingkungan. Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai kompetisi antara C. peltata dan C. siamea untuk mengetahui potensi C. siamea sebagai spesies pesaing. Selain itu, perbandingan manfaat dan kerugian dari tiap spesies asing invasif juga perlu dilakukan, tidak hanya C. peltata, sehingga diperoleh gambaran secara umum, pola perbandingan dari seluruh spesies asing invasif.
31
DAFTAR PUSTAKA Abebe T. 1994. Growth performance of some multipurpose trees and shrubs in the semi-arid areas of Southern Ethiopia. Agrofor Syst. 26: 237-248. doi: 10.1007/BF00711213 Abraham AML, Rojas Hernandez NM, Jimenez Misas CA. 1979. Plant extracts with cytostatic properties growing in Cuba. I [Abstrak] tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/161407 Adriaanse LS, Rensleigh C. Web of Science, Scopus and Google Scholar. Electron Libr. 31(6):727-744. Doi: 10.1108/EL-12-2011-0174 Andrade-Cetto A, Vázquez RC. 2010. Gluconeogenesis inhibition and phytochemical composition of two Cecropia species. J Ethnopharmacol. 130(1):93-97. doi:10.1016/j.jep.2010.04.016 Arnone III JA, Zaller JG, Körner Ch, Ziegler C, Zandt H. 1995. Leaf quality and insect herbivory in model tropical plant communities after long-term exposure to elevated atmospheric CO2. Oecologia 104(1): 72-78. doi: 10.1007/BF00365564 Bael SAv, Brawn JD, Robinson SK. 2003. Birds defend trees from herbivores in a Neotropical forest canopy. Proc Natl Acad Sci USA 100(14):8304-8307. doi:10.1073/pnas.1431621100 Behie AM, Kutz SJ, Pavelka MSM. 2014. Cascading effects of climate change: Do hurricane-damaged forests increase risk of exposure to parasites? Biotropica 46(1):25-31. doi:10.1111/btp.12072 Behie AM, Pavelka MSM. 2012. The role of minerals in food selection in a black howler monkey (Alouatta Pigra) population in Belize following a major hurricane. Am J Primatol. 74(11):1054-1063. doi:10.1002/ajp.22059 Blumenthal D, Mitchell CE, Pysek P, Jarosik V. 2009. Synergy between pathogen release and resource availability in plant invasion. Proc Natl Acad Sci USA 106(19):7899-7904. doi: 10.1073/pnas.0812607106 Brown N, Jennings S, Wheeler P, Nabe-Nielson J. 2000. An improved method for the rapid assessment of forest understorey light environments. J Appl Ecol. 37:1044–1053. doi:10.1046/j.1365-2664.2000.00573.x Caesariantika E, Kondo T, Nakagoshi N. 2011. Impact of Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del invasion on plant species diversity in the Bekol Savanna, Baluran National Park, East Java, Indonesia. Tropics 20(2):45-53. doi: http://doi.org/10.3759/tropics.20.45 Callaway RM, Ridenour WM. 2004. Novel weapons: Invasive success and the evolution of increased competitive ability. Front Ecol Environ. 2(8): 436443. Doi: 10.1890/1540-9295(2004)002[0436:NWISAT]2.0.CO;2 Chen X, Su Y, He X, Wei Y, Wei W et al. 2012. Soil bacterial community composition and diversity respond to cultivation in karst ecosystems. World J Microbiol Biotechnol. 28:205-213. doi:10.1659/MRDJOURNAL-D-10-00021.1 Chytrỳ M, Jarošík V, Pyšek P, Hájek O, Knollová I et al. 2008. Separating habitat invasibility by alien plants from the actual level of invasion. Ecology 89(6):1541-1553. doi: 10.1890/07-0682.1
32
Chytrỳ M, Tichỳ L, Jason H, Botta-Dukát Z. 2002. Determination of diagnostic species with statistical fidelity measures. J Veg Sci. 13:79-90. doi: 10.1111/j.1654-1103.2002.tb02025.x Clement YN, Morton-Gittens J, Basdeo L, Blades A, Francis M-J et al. 2007. Perceived efficacy of herbal remedies by users accessing primary healthcare in Trinidad. BMC Complement Altern Med. 7:4. doi: 10.1186/1472-6882-7-4 Clements R, Sodhi S, Schilthuizen M, Ng PKL. 2006. Limestone karsts of Southeast Asia: Imperiled arks of biodiversity. Bioscience 56(9):733-742. doi:10.1641/0006-3568(2006)56[733:LKOSAI]2.0.CO;2 Colautti RI, MacIsaac HJ. 2004. A neutral terminology to define ‘invasive’ species. Divers Distrib. 10:135-141. doi: 10.1111/j.13669516.2004.00061.x Colwell RK. 2013. EstimateS: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. Version 9. [diakses pada 7 September 2015]. Tersedia di http://www.purl.oclc.org/estimates Conn BJ, Hadiah JT, Webber BL. 2012. The status of Cecropia (Urticaceae) introductions in Malesia: addressing the confusion. Blumea 57:136-142. doi:10.3767/000651912X657567 Costa GM, Schenkel EP, Reginatto FH. 2011. Chemical and pharmacological aspects of the genus Cecropia [Abstrak] tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21815438 De Cáceres M, Font X, Oliva F. 2008. Assessing species diagnostic value in large data sets: A comparison between phi-coefficient and Ochiai index. J Veg Sci. 19: 779-788. doi: 10.3170/2008-8-18446 del Val E, Dirzo R. 2003. Does ontogeny cause changes in the defensive strategies of the myrmecophyte Cecropia peltata? Plant Ecol. 169:35-41. doi: 10.1023/A:1026227811685 Denoth M, Myers JH. 2007. Competition between Lythrum salicaria and a rare species: combining evidence from experiments and long-term monitoring. Plant Ecol. 191(2): 153-161. Doi: 10.1007/s11258-006-9232-2 Diaz GA, Rodriguez SH, Scull LR. 2011. Cytotoxicity of medicinal plant extracts on the human lung carcinoma cell line A549. Rev Cubana de Farm. 45(1): 101-108. http://new.medigraphic.com/cgi-bin/ resumenI.cgi?IDARTICUL O=33928 Dufrêne M, Legendre P. 1997. Species assemblages and indicator species: The need for a flexible asymmetrical apporach. Ecol Monogr. 67(3):345-366. doi: 10.1890/0012-9615(1997)067[0345:SAAIST]2.0.CO;2 Duguma B, Tonye J, Kanmegne J, Manga T, Enoch T. 1994. Growth of ten multipurpose tree species on acid soils in Sangmelima, Cameroon. Agrofor Syst. 27: 107-119. doi: 10.1007/BF00705468 Fan P, Marston A. 2009. How can phytochemists benefit from invasive plants? Nat Prod Commun. [Abstrak]. Tersedia di http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/19911580. Funk JL, Vitousek PM. 2007. Resource-use efficiency and plant invasion in lowresource systems. Nature 446:1079-1081. doi:10.1038/nature05719 Gallery RE, Moore DJP, Walling JW. 2010. Interspecific variation in susceptibility to fungal pathogens in seeds of 10 tree species in the
33
neotropical genus Cecropia. J Ecol. 98:147-155. doi:10.1111/j.13652745.2009.01589.x Garfield E. 1955. Citation indexes for science: A new dimension in documentation through association of ideas. Science 122(3159):108-111. doi: 10.1126/science.122.3159.108 Hierro JL, Villareal D, Eren O, Graham JM, Callaway RM. 2006. Disturbance facilitates invasion: The effects are stronger abroad than at home. Am Nat. 168(2):144-156. doi:10.1086/505767 Husch B, Beers TW, Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. New York (US):Wiley. Jama BA, Nair PKR. 1996. Decomposition- and nitrogen-mineralization patterns of Leucaena leucocephala and Cassia siamea mulch under tropical semiarid conditions in Kenya. Plant Soil 179: 275-285. doi: 10.1007/BF00009338 Jauni M, Hyvönen T. 2010. Invasion level of alien plants in semi-natural agricultural habitats in boreal region. Agric Ecosyst Environ. 138:109-115. doi: 0.1016/j.agee.2010.04.007 Junaedi DI, Dodo. 2014. Exotic plants in Halimun-Salak Corridor: Microenvironment, detection and risk analysis of invasive plants. Biotropia 21(1):38-52. doi: 10.11598/btb.2014.21.1.4 Kiepe P. 1995. Effect of Cassia siamea hedgerow barriers on soil physical properties. Geoderma 66: 113-120. doi: 10.1016/0016-7061(94)00054-E Kleunen MV, Dawson W, Essl F, Pergl J, Winter M, Weber E, Kreft H, Weigelt P, Kartesz J, Nishino M et al. 2015. Global exchange and accumulation of non-native plants. Nature 525:100-103. doi:10.1038/nature14910 Kowalzik BK, Pavelka MSM, Kutz SJ, Behie A. 2010. Parasites, primates, and ant-plants: Clues to the life cycle of Controrchis spp. in Black Howler Monkeys (Alouatta pigra) in southern belize. J Wildl Dis. 46 (4): 13301334. doi: 10.7589/0090-3558-46.4.1330 Lankau R. 2009. Soil microbial communities alter allelopathic competition between Alliaria petiolata and a native species. Biol Invasions 12(7): 2059-2068. Doi: 10.1007/s10530-009-9608-z Lankau RA. 2012. Coevolution between invasive and native plants driven by chemical competition and soil biota. Proc Natl Acad Sci USA 109(28): 11240-11245. doi: 10.1073/pnas.1201343109 Lans CA. 2006. Ethnomedicines used in Trinidad and Tobago for urinary problems and diabetes mellitus. J Ethnobiol Ethnomed. 2:45. doi: 10.1186/1746-4269-2-45 Lans C, Georges K, Brown G. 2007. Non-experimental validation of ethnoveterinary plants and indigenous knowledge used for backyard pigs and chickens in Trinidad and Tobago. Trop Anim Health Prod. 39(5): 375-385. doi: 10.1007/s11250-007-9026-0 Lans C, Harper T, Georges K, Bridgewater E. 2001. Medicinal and ethnoveterinary remedies of hunters in Trinidad. BMC Complement Altern Med. 1:10. doi: 10.1186/1472-6882-1-10 Laungani R, Knops JMH. 2009. Species-driven changes in nitrogen cycling can provide a mechanism for plant invasions. Proc Natl Acad Sci USA 106(30):12400-12405. doi: 10.1073/pnas.0900921106
34
Lin J, Fenner M. 2013. Altmetrics in evolution: Defining & redefining the ontology of article-level metrics. Inf Stand Q. 25(2): 20-26. doi: 10.3789/isqv25no2.2013.04 Linares EL, Moreno-Mosquera EA. 2010. Morphology of Crecopia (Crecopiaceae) fruitlets of the Colombian pacific and its taxonomic value in the bats diets study. Caldasia 32(2): 275-287. http://www. scielo.org.co/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0366-5232201 0000200 003 Lok AFSL, Tan K, Chong KY, Nghiem TPL, Tan HTW. 2010. The distribution and ecology of Cecropia species (Urticaceae) In Singapore. Nat Singapore 3:199–209. Lowe S, Browne M, Boudjelas S, De Poorter M. 2000. 100 of the World’s worst invasive alien species a selection from the global invasive species database. Aliens 12: Special lift-outsection. MacDougall AS, McCann KS, Gellner G, Turkington R. 2013. Diversity loss with persistent human disturbance increases vulnerability to ecosystem collapse. Nature 494:86-90. doi:10.1038/nature11869 MacDougall AS, Turkington R. 2005. Are invasive species the drivers or passengers of change in degraded ecosystems? Ecology 86(1):42-55. Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Oxford(GB):Blackwell. Master J, Tjitrosoedirdjo SS, Qayim I, Tjitrosoedirdjo S. 2012. Ecological impact of Merremia peltata (L.) Merril invasion on plant diversity at Bukit Barisan Selatan National Park. Biotropia 20(1):29-37. doi: 10.11598/btb.2013.20.1.294 Mathur A, Bhat R, Prasad GBKS, Dua Vk, Verma SK et al. 2010. Antimicrobial activity of plants traditionally used as medicines against some pathogens. Rasayan J Chem. 3 (4): 615-620. http://www.rasayanjournal.co.in/vol3/issue-4/1.pdf Mayor SJ, Cahill Jr JF, He F, Solimos, Boutin S. 2012. Regional boreal biodiversity peaks at intermediate human disturbance. Nat Commun. 3:1142. doi: 10.1038/ncomms2145 McKey D. 1988. Cecropia peltata, an introduced Neotropical pioneer tree, is replacing Musanga cecropioides in Southwestern Cameroon. Biotropica 20:262–264. Tersedia di http://www.jstor.org/stable/2388243 Mingers J, Leydesdorff L. 2015. A review of theory and practice in scientometrics. Europ J Operat Res. doi: 10.1016/j.ejor.2015.04.002 Michel J, Duarte R, Bolton JL, Huang Y Caceres A et al. 2007. Medical potential of plants used by the Q'eqchi Maya of Livingston, Guatemala for the treatment of women's health complaints. J Ethnopharmacol. 114 (1): 92101. doi: 10.1016/j.jep.2007.07.033 Nadkarni NM, Parker GG, Lowman MD. 2011. Forest canopy studies as an emerging field of science. Annals For Sci. 68:217–224 doi: 10.1007/s13595-011-0046-6 Nagori BP, Solanki R. 2011. Role of medicinal plants in wound healing. Res J Med Plant 5(4): 392-405. doi: 10.3923/rjmp.2011.392.405 Otsamo A, Ådjers G, Hadi TS, Kusipalo J, Vuokko R. 1997. Evaluation of reforestation potential of 83 tree species planted on Imperata cylindrica
35
dominated grassland: A case study from South Kalimantan, Indonesia. New For 14: 127-143. doi: 10.1023/A:1006566321033 Parthiban KT, Rai RSV. 1994. Effects of few plant species on soil physical properties. J Trop For Sci. 6(3): 223-229. http://www.jstor.org/ stable/43582432 Paudel S, Battaglia LL. 2015. The role of light, soil and human factors on the probability of occurrence of an invasive and three native plant species in coastal transitions of coastal Mississippi, USA. J Plant Ecol. 8(5):491-500. doi:10.1093/jpe/rtu045 Pautasso M. 2016. Scientometrics of forest health and tree diseases: An Overview. Forests 7:17. doi:10.3390/f7010017 Philomina NS, Munikumari A. 2010. Allelopathic studies on agroforestry species effect of leaf leachates pon seedling growth of crop plants. Asian J Microbiol Biotechnol Environ Sci. 12(4): 1-4. http://www. envirobiotechjournals.com/article_abstract.php?aid=706&iid=32&jid=1 Pinard MA, Barker MG, Tay J. 2000. Soil disturbance and post-logging forest recovery on bulldozer paths in Sabah, Malaysia. Forest Ecol Manag. 130:213–225. doi:10.1016/S0378-1127(99)00192-9 Radiansyah AD, Susmianto A, Siswanto W, Tjitrosoedirdjo S, Djohor DJ, Setyawati T, Sugianti B, Ervandiari I, Harmono S, Fauziah et al. 2015. Strategi Nasional dan Arahan Rencana Aksi Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia. Jakarta (ID): Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Richardson DM, Rejmanèk M. 2011. Trees and shrubs as invasive alien species – a global review. Divers Distrib. 17:788-809. doi: 10.1111/j.14724642.2011.00782.x Rojas JJ, Ochoa VJ, Ocampo SA, Muñoz JF. 2006. Screening for antimicrobial activity of ten medicinal plants used in Colombian folkloric medicine: A possible alternative in the treatment of non-nosocomial infections. BMC Complemen Altern Med. 6:2. Tersedia di http://www.biomedcentral. com/1472-6882/6/2 Rosleine D, Suzuki E, Sundawiati A, Septiana W, Ekawati D. 2014. The effect of land use history on natural forest rehabilitation at corridor area of Gunung Halimun Salak National Park, West Java Indonesia. Reinwadtia 14(1):8599. Schlaepfer MA, Sax DF, Olden JD. 2011. The potential conservation value of non-native species. Conserv Biol. 25:428–437. doi:10.1111/j.15231739.2010.01646.x Satyanti A, Kusuma YWC. 2010. Ecological study in two quarried limestone karst hills in Bogor West Java: Vegetation structure and floristic composition. Biotropia 17(2):115-129. doi:10.11598/btb.2010.17.2.81 Sheil D, Padmanaba M. 2011a. Innocent invaders? A preliminary assessment of Cecropia, an American tree, in Java. Plant Ecol Divers. 4(2-3):279-288. doi:10.1080/17550874.2011.610371 Sheil D, Padmanaba M. 2011b. Of Cecropias, Snarks and Boojums. Plant Ecol Divers 4(2-3):295-300. doi:10.1080/17550874.2011.610373
36
Sunaryo, Uji T, Tihurua EF. 2012. Komposisi jenis dan potensi ancaman tumbuhan asing invasif di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat. Berita Biologi 11(2):231-239. Suryawan D, Sutyarto E, Umaya R, Kurnia A, Hadiyan Y. 2015. Sebaran spesies asing invasif Acacia decurrens di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(4):738-742. Tilman D. 2004. Niche tradeoffs, neutrality, and community structure: A stochastic theory of resource competition, invasion, and community assembly. Proc Natl Acad Sci USA 101(30):10854-10861. doi: 10.1073/pnas.0403458101 Tjitrosoedirdjo SS. 2005. Inventory of the invasive alien plant species in Indonesia. Biotropia 25:60-73. Doi: 10.11598/btb.2005.0.25.209 Vellend M, Baeten L, Myers-Smith IH, Elmendorf SC, Beausejour R et al. 2013. Global meta-analysis reveals no net change in local-scale plant biodiversity over time. Proc Natl Acad Sci USA 110(48):19456-19459. doi:10.1073/pnas.1312779110 Vilà M, Weiner J. 2004. Are invasive plant species better competitors than native plant species? – evidence from pair-wise experiments. Oikos 105: 229238. doi: 10.1111/j.0030-1299.2004.12682.x Vilà M, Espinar JL, Hejda M, Hulme PE, Jarošík V et al. 2011. Ecological impacts of invasive alien plants: A meta-analysis of their effects on species, communities and ecosystems. Ecol Lett. 14:702-708. doi: 10.1111/j.1461-0248.2011.01628.x Vossen T, Towns A, Ruysschaert S, Quiroz D, Van Andel T. 2014. Consequences of the trans-Atlantic slave trade on medicinal plant selection: Plant use for cultural bound syndromes affecting children in Suriname and Western Africa. PLoS ONE 9(11):e112345 doi: 10.1371/journal.pone.0112345 Wagner HH, Wildi O, Ewald KC. 2000. Additive partitioning of plant species diversity in an agricultural mosaic landscape. Landsc Ecol. 15:219-227. doi:10.1023/A:1008114117913 Webber BL, Born C, Conn BJ, Hadiah JT, Zalamea P-C. 2011. What is in a name? That which we call Cecropia peltata by any other name would be as invasive? Plant Ecol Divers. 4(2-3):289-293. doi: 10.1080/17550874.2011.610372 Yannarel AC, Busby RR, Denight ML, Gebhart DL, Taylor SJ. 2011. Soil bacteria and fungi respond on different spatial scales to invasion by the legume Lespedeza cuneata. Front Micobiol. 2:127. doi: 10.3389/fmicb.2011.00127
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1 Korelasi (R) dan koefisien determinasi (adjusted R2) antara indeks nilai penting (INP) dan koefisien phi (Ф) tiap strata dan lokasi. Cetak tebal menunjukkan taraf nyata di P<0.05 Strata
Lokasi
Tumbuhan bawah
Punggung Lereng utara Lereng selatan Punggung Lereng utara Lereng selatan Punggung Lereng utara Lereng selatan Punggung Lereng utara Lereng selatan Punggung Lereng utara Lereng selatan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
R 0.385 0.594 0.302 0.203 0.599 0.763 0.430 0.598 0.593 0.426 0.275 0.479 0.583 0.208 0.850
adj. R2 0.130 0.338 0.071 0.009 0.337 0.568 0.170 0.346 0.340 0.018 -0.109 0.075 0.121 -0.275 0.629
P 0.007 <0.001 0.039 0.264 <0.001 <0.001 0.001 <0.001 <0.001 0.340 0.550 0.277 0.302 0.737 0.068
39
Lampiran 2 Rerata karakter fisika dan kimia tanah ketiga lokasi Lokasi
Tekstur (%) Liat
Debu Pasir
pH
C (%)
N C:N (%)
P* (ppm)
Kation (cmolc kg-1) Ca
Mg
K
Na
KTK
LS
25.66a 71.66a 2.67a 7.73b 3.81b 0.30b 12.77b 11.33a 33.69a 2.08a 0.21a 0.08a 25.00a
P
19.20a 77.00a 3.80a 6.96a 0.93a 0.13a 7.90a 11.66a 32.99a 3.22c 0.25a 0.12a 32.34a
LU
9.00a 83.50a 7.50b 6.90a 2.84b 0.28b 10.49b 14.50a 32.40a 2.63b 0.26a 0.08a 25.43a
*P-tersedia, P2O5 Olsen; LS: lereng selatan, P: punggung, LU: lereng utara; huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata di uji lanjut Duncan pada P<0.05
40
Lampiran 3 Pendugaan keanekaragaman spesies dan kerapatan Peubah tak bebas
Alfa
Beta
adj R2
F
P
Na
Ab
KS – Tb
55.26
pH
-5.16
0.694
16.89
0.006
√
√
KS – Se
11.14
P – C. peltata – Ti
-0.25
0.898
36.17
0.009
-
-
34.82
pH
-3.74
0.557
9.8
0.020
√
√
β – Plot Se
-1.35
Pasir
0.68
0.546
9.42
0.022
√
√
β –Transek Tb
51.81
pH
-1.23
0.862
44.9
0.001
√
√
K – Tb
42.5 135.6
K – Pa
1.53 -3.76
a
Penduga
K – C. peltata – Pa
0.95
0.881
30.57
0.012
-
-
-0.92
0.821
33.1
0.001
√
√
P – C. peltata – Pa
0.96
0.912
42.58
0.007
-
-
pH
0.77
0.526
8.76
0.025
√
√
Mg
b
Normalitas : uji Kolmogorov-Smirnof; Autokorelasi : uji Durbin-Watson, K : kerapatan; KS : jumlah spesies; P : Penutupan; Pa : pancang; Tb : tumbuhan bawah; Ti : tiang; √ : memenuhi asumsi uji; - : tidak memenuhi asumsi uji
41
Lampiran 4 Data INP dan komponennya, SDR, dan Phi tiap lokasi (cetak tebal nyata di P<0.05) Tumbuhan bawah Spesies
KR
FR
INP
Phi
SDR P
LU
LS
Achyranthes aspera
0.17
0.40
0.56
0.28
0.21
-0.11
-0.11
Alternanthera brasiliana
0.28
0.79
1.07
0.54
0.08
0.07
-0.15
Asplenium nidus
2.08
6.32
8.40
4.20
0.16
Axonopus compresus
9.71
10.3
20.00
9.99
0.36 0.12
-0.53 0.22
Axonopus sp
0.22
1.19
1.41
0.71
-0.30 -0.20
-0.19
Caryota mitis
0.11
0.79
0.9
0.45
-0.20
0.38 -0.15
Centrosema pubescen
0.62
2.77
3.38
1.69
Chromolaena odorata
1.12
2.37
3.49
1.75
-0.30 0.14
0.48 -0.14
Cissus discolor
0.06
0.40
0.45
0.23
0.21
-0.11
-0.11
Clidemia hirta
0.39
1.58
1.97
0.99
-0.20
-0.22
Colocasia esculenta
0.06
0.40
0.45
0.23
0.21
-0.11
0.44 -0.11
Cyclosorus sp
3.93
1.19
5.11
2.56
-0.20
-0.19
Cyperus rotundus
0.06
0.40
0.45
0.23
-0.10
-0.11
0.37 0.21
Drymoglossum pilloselloides
0.28
1.19
1.47
0.73
0.00
0.18
-0.19
Eleusine indica
0.22
1.19
1.41
0.71
0.19
0.00
-0.19
Eleusine sp
0.17
0.79
0.96
0.48
-0.20
-0.15
Eleutheranthera ruderalis
0.11
0.79
0.90
0.45
0.08
0.30 -0.15
Goniopteris sp
2.41
3.56
5.97
2.99
0.12
0.24
Hemigraphis sp
0.11
0.79
0.90
0.45
-0.40 -0.20
0.30
-0.15
Lantana camara
0.34
1.58
1.92
0.96
-0.20
-0.22
Lygodium circinatum
4.99
7.91
12.9
6.45
-0.30
0.44 -0.25
Melastoma malabatrichum
1.23
3.16
4.40
2.20
0.29
0.04
Melothria pendula
4.71
4.35
9.06
4.53
0.80
-0.40
-0.33 -0.4
Nephrolepis biserrata
30.6
14.2
44.9
22.4
0.12
0.23
Phymatosorus nigrescens
0.79
2.37
3.16
1.58
0.28
0.00
-0.35 -0.28
Pilea microphylla
0.51
0.40
0.90
0.45
0.21
-0.11
-0.11
Piper aduncum
4.71
2.37
7.09
3.54
-0.30
-0.14
Piper sarmentosum
0.11
0.4
0.51
0.25
-0.10
0.21
0.41 -0.11
Plumbago zeylanica
0.39
1.98
2.37
1.18
0.20
0.05
-0.25
Pseudophegopteris sp
1.18
1.58
2.76
1.38
-0.20
-0.22
Pteris tripartita
0.51
1.58
2.09
1.04
-0.10
0.28
0.44 -0.22
Pyrrosia lanceolata
0.28
0.4
0.68
0.34
0.21
-0.11
-0.11
Rubus moluccanus
0.51
1.98
2.48
1.24
-0.30
0.20
0.05
Salvia obscura
0.11
0.40
0.51
0.25
-0.10
0.21
-0.11
Selaginella wildenowii
23.1
6.32
29.4
14.7
-0.20
-0.43
Sida cordifolia
0.28
0.79
1.07
0.54
0.08
0.08
0.66 -0.15
Sida rhombifolia
0.56
1.98
2.54
1.27
-0.10
0.35
-0.25
Smilax sp
0.34
1.19
1.52
0.76
0.19
-0.19
0.00
0.30 -0.17 0.00
0.08
0.50
42
Tumbuhan bawah (lanjutan) Spesies
KR
FR
INP
Phi
SDR P
LU
LS
Stachytarpeta mutabilis
0.22
0.40
0.62
0.31
-0.10
0.21
-0.11
Stephania hernandifolia
0.17
0.40
0.56
0.28
0.21
-0.11
-0.11
Strobilanthes crispus
0.67
2.37
3.04
1.52
-0.10
-0.28
Strobilanthes dyerianus
0.06
0.40
0.45
0.23
-0.10
0.42 0.21
Synedrella nodiflora
0.45
0.40
0.84
0.42
0.21
-0.11
-0.11
Thelypteris
0.34
1.19
1.52
0.76
-0.20
-0.19
Mikania micrantha
0.28
0.79
1.07
0.54
-0.20
0.38 -0.15
Tradescantia spathacea
0.17
0.40
0.56
0.28
-0.10
0.30 0.21
Urena lobata
0.28
1.58
1.86
0.93
0.28
-0.06
KR
FR
INP
-0.11
-0.11 -0.22
Semai Spesies Acronychia pedunculata
Phi
SDR P
LU
LS
1.86
0.73
2.60
1.3
-0.11
-0.11
0.21
Allophyllus cobbe
11.83
0.73
12.60
6.28
-0.11
0.21
-0.11
Bridelia tomentosa
2.90
5.10
8.01
4.01
2.90
5.10
8.01
4.01
0.48 0.21
-0.17
Bridelia racemosa
-0.30 -0.11
Buchanania arborescen
0.20
0.73
0.94
0.47
-0.11
-0.11
0.21
Calliandra calothyrsus
0.53
-0.11
11.00
8.76
19.80
9.88
-0.11
Croton tiglium
2.07
1.46
3.53
1.77
-0.15
-0.43 -0.15
Dendronicde sinuata
0.20
0.73
0.94
0.47
-0.11
0.21
0.30 -0.11
Diospyros maritima
8.30
10.95
19.20
9.62
-0.11
-0.11
0.21
Diplospora angularis
2.70
0.73
3.43
1.71
-0.11
0.21
-0.11
Ficus fistulosa
0.20
0.73
0.94
0.47
-0.11
0.21
-0.11
Ficus sagittata
0.83
1.46
2.29
1.14
-0.11
0.21
-0.11
Fragraea racemosa
1.24
1.46
2.70
1.35
-0.15
-0.15
Garcinia laterifloria
0.62
0.73
1.35
0.68
0.30 0.21
-0.11
-0.11
Glochidion philippicum
9.34
5.84
15.20
7.59
0.08
0.08
-0.17
Glycosmis pentaphylla
1.66
2.92
4.58
2.29
0.21
-0.11
-0.11
Harpullia arborea
0.62
1.46
2.08
1.04
-0.15
-0.38
Homalanthus populneus
0.20
0.73
0.94
0.47
0.08
0.52 0.22
Leea rubra
0.42
0.73
1.14
0.57
0.21
-0.11
-0.30 -0.11
Litsea umbellata
0.20
0.73
0.94
0.47
0.21
-0.11
-0.11
Macaranga rhizonioides
0.20
0.73
0.94
0.47
-0.15
-0.15
Macaranga tanarius
0.42
1.46
1.87
0.94
0.21
0.30 -0.11
Microcos hirsuta
9.54
8.02
17.60
8.79
0.21
-0.11
-0.11
Ophiorrhiza canescens
0.20
0.73
0.94
0.47
0.08
0.08
-0.15
Psycothria angulata
8.09
10.95
19.00
9.52
0.21
-0.11
-0.11
Stephania japonica
2.08
5.10
7.18
3.59
-0.11
-0.11
0.21
Sterculia coccinea
0.20
0.73
0.94
0.47
0.28
-0.08
-0.21
-0.11
43
Semai (lanjutan) Spesies Syzygium lineatum
KR
FR
INP
Phi
SDR P
LU
LS
15.56
10.22
25.80
12.9
0.28
-0.22
-0.06
Syzygium sp
0.62
0.73
1.35
0.68
-0.07
Tettracera scandens
0.42
0.73
1.14
0.57
0.03
0.54 0.26
-0.48 -0.29
Vitex sp
2.90
7.30
10.20
5.1
-0.10
0.40
-0.30
KR
FR
DR
Pancang Spesies
INP
Phi
SDR P
LU
LS
Acronychia pedunculata
0.21
0.52
0.14
0.86
0.29
-0.11
-0.11
0.213
Aglaia elliptica
0.21
0.52
0.01
0.73
0.24
0.21
-0.11
-0.11
Aglaia odorata
0.41
1.03
0.04
1.48
0.49
-0.15
0.41
0.52
0.17
1.09
0.36
0.30 -0.11
-0.15
Alstonia scholaris
-0.11
0.213
Antidesma montanum
7.23
4.64
3.10
15.00
4.99
0.00
0.24
-0.24
Ardisia crenata
0.21
0.52
0.39
1.11
0.37
0.21
-0.11
-0.11
Ardisia elliptica
0.83
0.52
0.12
1.46
0.49
0.21
-0.11
-0.11
Arthrophyllum diversifolium
0.41
0.52
0.09
1.02
0.34
-0.11
-0.11
0.21
Artocarpus heterophyllus
0.21
0.52
0.13
0.85
0.28
-0.11
-0.11
0.21
Breynia cernua
0.21
0.52
0.01
0.73
0.24
-0.11
-0.11
0.21
Bridelia racemosa
0.62
1.03
0.14
1.79
0.60
-0.15
0.30
-0.15
Bridelia tomentosa
4.13
6.70
3.84
14.7
4.89
-0.03
Buchanania arborescens
3.31
2.06
4.66
10.00
3.34
0.27
0.38 -0.22
-0.35 -0.06
Calliandra calothyrsus
19.6
5.15
13.00
37.8
12.6
Casearia coriacea
0.21
0.52
0.44
1.16
0.39
-0.38 -0.11
-0.38 0.21
0.76 -0.11
Cassia siamea
0.41
1.03
0.26
1.70
0.57
0.21
-0.11
0.21
Cecropia peltata
3.72
5.67
20.00
29.4
9.79
-0.07
-0.07
0.14
Chrysophyllum lanceolatum
0.41
0.52
2.16
3.09
1.03
-0.11
0.21
-0.11
Cinnamomum iners
1.03
2.58
0.12
3.74
1.25
-0.25
-0.25
Coffea robusta
1.03
1.03
0.24
2.31
0.77
0.07
0.08
0.50 -0.15
Croton sp
0.21
0.52
1.14
1.86
0.62
-0.11
0.21
-0.11
Croton tiglium
0.21
0.52
0.03
0.75
0.25
-0.11
-0.11
0.21
Diopyros sp
0.21
0.52
0.02
0.74
0.25
-0.11
0.21
-0.11
Diplospora angularis
0.21
0.52
0.00
0.73
0.24
-0.11
0.21
-0.11
Ficus annulata
0.21
0.52
0.04
0.76
0.25
-0.11
0.21
-0.11
Ficus hispida
0.21
0.52
0.30
1.02
0.34
-0.11
0.21
-0.11
Ficus montana
0.21
0.52
0.26
0.98
0.33
-0.11
0.21
-0.11
Ficus septica
2.07
4.12
2.25
8.44
2.81
-0.21
0.21
0.52
0.04
0.76
0.25
-0.11
0.41 0.21
-0.21
Ficus sp Flagellaria indica
0.21
0.52
0.11
0.84
0.28
0.21
-0.11
-0.11
Garcinia dulcis
0.41
1.03
0.30
1.75
0.58
-0.15
-0.15
0.30
-0.11
44
Pancang (lanjutan) Spesies
KR
FR
DR
INP
Phi
SDR P
Glochidion rubrum
0.21
0.52
0.01
0.73
0.24
0.21
Glochidion sp
0.41
1.03
0.04
1.48
0.49
Gyrinops sp
1.65
2.58
1.61
5.84
1.95
Lasianthus inodorus
0.21
0.52
0.13
0.85
Lasianthus lucidus
0.21
0.52
0.03
Leea aculeata
1.24
1.03
Leea indica
0.21
0.52
Leea rubra
0.83
Litsea umbellata
LU
LS
-0.11
-0.11
-0.15
0.08
0.08
-0.25
-0.25
0.28
-0.11
0.21
0.50 -0.11
0.75
0.25
-0.11
0.21
-0.11
2.52
4.79
1.60
0.08
0.08
-0.15
0.23
0.95
0.32
0.21
-0.11
-0.11
1.55
0.61
2.98
0.99
-0.19
-0.19
1.03
1.03
1.46
3.52
1.17
0.38 0.08
-0.15
0.076
Macaranga sp
0.21
0.52
0.03
0.75
0.25
-0.11
0.21
-0.11
Macaranga tanarius
4.75
5.15
8.73
18.60
6.21
-0.15
-0.15
Mallotus paniculatus
0.21
0.52
0.03
0.75
0.25
-0.11
0.30 -0.11
Mangifera foetida
7.64
8.25
5.21
21.10
7.03
-0.03
0.06
-0.03
Melicope elleryana
0.62
1.03
0.02
1.67
0.56
-0.15
0.08
0.08
Melicope ternata
0.21
0.52
0.08
0.80
0.27
0.21
-0.11
-0.11
Melochia umbellata
2.69
2.58
9.00
14.3
4.75
-0.25
-0.25
Michelia champaca
0.21
0.52
0.26
0.98
0.33
0.21
0.50 -0.11
Microcos hirsuta
1.24
1.03
0.39
2.66
0.89
-0.15
0.21
0.52
0.66
1.38
0.46
0.30 -0.11
-0.15
Muntingia calabura
0.21
-0.11
Murrraya koenigii
0.21
0.52
0.11
0.84
0.28
-0.11
0.21
-0.11
Poikilospermum sp
0.21
0.52
0.06
0.78
0.26
-0.11
-0.11
0.21
Poikilospermum suaveolens
0.62
1.03
0.36
2.01
0.67
-0.15
6.40
6.19
4.37
17.00
5.65
0.30 0.00
-0.15
Syzygium lineatum
0.00
0.00
Syzygium picnatum
4.96
3.61
4.96
13.5
4.51
0.41
0.52
0.89
1.82
0.61
-0.30 -0.11
-0.17
Tabernaemontana divaricata
0.48 0.21
14.00
11.90
4.64
30.5
10.20
-0.35
0.40
-0.06
KR
FR
Vitex sp
0.21
-0.11
-0.11
Tiang Spesies Buchanania arborescens
26.98
23.33
DR 29.32
INP 79.64
Phi
SDR P
LU
LS
26.55
0.22
0.08
1.58
3.33
0.81
5.73
1.91
-0.11
-0.30 -0.10
65.08
60.00
66.22
154.4
51.47
-0.19
0.00
0.19
Mallotus paniculatus
1.58
3.33
1.13
6.05
2.02
-0.11
-0.10
0.21
Mangifera foetida
1.58
3.33
0.84
5.76
1.92
-0.11
0.21
-0.11
Melicope elleryana
1.58
3.33
0.84
5.76
1.92
-0.11
0.21
-0.11
Syzygium racemosum
1.58
3.33
0.82
5.75
1.92
-0.11
0.21
-0.11
Calliandra calothyrsus Cecropia peltata
0.21
45
Pohon Spesies
KR
FR
DR
INP
Phi
SDR P
LU
LS
Buchanania arborescens
18.36
23.08
12.42
53.86
17.95
0.28
-0.28
0.00
Cecropia peltata
75.51
65.38
77.46
218.35
72.78
0.03
Manilkara kauki
2.04
3.84
6.48
12.36
4.12
0.21
-0.45 -0.10
0.42 -0.10
Pterospermum javanicum
2.04
3.84
2.08
7.96
2.66
-0.10
-0.10
0.21
Syzygium picnatum
2.04
3.84
1.56
7.45
2.48
-0.10
0.21
-0.10
46
Lampiran 5 Korelasi (R) dan pendugaan indeks h oleh jumlah artikel dan kutipan pada analisis sainstometri Peubah terikat
Peubah bebas
R
Alfa
Beta
Adj R2
P
Indeks h
Jumlah artikel Jumlah kutipan
0.915 0.906
2.677 2.953
0.915 0.906
0.831 0.815
<0.001 <0.001
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Sukabumi pada 14 Desember 1988, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan M. Muchidin dan Ai Mariyah. Penulis memulai pendidikan formal di RA Misbahul Aulad Kota Sukabumi (1992-1994), kemudian lanjut di MI Misbahul Aulad Kota Sukabumi (19942000), MTs YASTI Cisaat, Kabupaten Sukabumi (2000-2003), MAN 2 Kota Sukabumi (2003-2006). Tahun 2006 penulis melanjutan ke pendidikan tinggi di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran di Jatinangor, Kabupaten Sumedang dan lulus pada 2012. Tahun 2013 penulis mendapatkan kesempatan beasiswa pendidikan pascasarjana dalam negeri (BPP-DN) dan melanjutkan ke strata magister Program Studi Biologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program magister, penulis mengikuti beberapa seminar yaitu International Seminar on Mathematics, Science, and Computer Science Education yang dilakasanakan di Bandung pada 9 Oktober 2013 sebagai pemakalah poster, International Seminar on Sciences yang dilaksanakan di Bogor pada 15-17 November 2013 sebagai pemakalah poster, dan terakhir di Seminar Pengelolaan Jenis Asing Invasif di Indonesia yang dilaksanakan di Bogor pada 1 Juni 2016 sebagai pemakalah poster. Penulis juga aktif dalam kegiatan sosisal yang dikoordinasi dalam Komunitas Kongkrit Bogor. Untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat meraih gelar Magister Sains, penulis melaksanakan penelitian berjudul “Cecropia peltata L. di Karst Gunung Cibodas, Bogor: Derajat Invasi, Asosiasi Spesies Diagnostik, dan Manfaatnya bagi Manusia serta Lingkungan” yang dibimbing oleh Dr Ir Muhadiono, MSc dan Dr Ir Iwan Hilwan MS. Sebagian dari penelitian ini telah diajukan ke Jurnal Biotropia dengan judul “A scientometry analysis of an invasive alien species, Cecropia peltata L. : advantages and disadvantages for human and environment” dan saat ini berada dalam status in review.