Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
KEABSAHAN PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN NEGERI NOMOR : 143/PDT.P/2014/PN.JKT.PST.
ANGELA FELICIA WIDJAJA GUNAWAN Magister Kenotariatan
[email protected]
Abstrak - Dalam suatu hubungan perkawinan, topik mengenai harta benda dalam perkawinan sering kali menjadi permasalahan yang dapat merusak kerukunan hidup rumah tangga. Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak pasangan yang sebelum melangsungkan perkawinan sudah memikirkan tentang kemungkinan terjadinya hal tersebut dan calon suami istri tersebut sepakat untuk membuat suatu perjanjian pra perkawinan yang lazim disebut Perjanjian Kawin. Pengaturan mengenai perjanjian kawin ini diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Perjanjian Kawin adalah suatu perjanjian yang wajib dibuat secara tertulis, atas permintaan dari sepasang calon suami dan isteri, di mana mereka berdua telah setuju dan sepakat untuk membuat pemisahan harta mereka masing-masing, dan dengan ditandatanganinya perjanjian ini, maka semua harta, baik yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga yang diperoleh selama perkawinan, akan tetap dalam penguasaan mereka masing-masing. Hal ini juga berlaku terhadap hutang-hutang, di mana hutang itu merupakan tanggung jawab pribadi dari pihak yang memiliki hutang itu. Terkait dengan persoalan perjanjian kawin ini, ketentuan peraturan perundangundangannya menentukan harus dibuat sebelum atau pada saat terjadinya perkawinan, namun terdapat suatu permasalahan di mana terdapat sepasang suami-isteri yang telah melangsungkan perkawinan, tidak membuat perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya perkawinan, dikarenakan ketidaktahuan dan kealpaan mereka. Lalu pasangan suami-isteri ini mengajukan permohonan penetapan perjanjian kawin ke Pengadilan Negeri, di mana permohonan mereka ini dikabulkan dan keluarlah penetapan perjanjian kawin untuk pasangan ini. Hal ini melanggar aturan pembuatan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan. Penelitian ini dibatasi pada pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam pemberian penetapan perjanjian kawin serta kekuatan hukum dan implikasinya terhadap pihak ketiga mengenai penetapan perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan. Tipe penelitian hukum ini bersifat yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitiannya yaitu, bahwa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam pemberian penetapan mengenai perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan dari pasangan suami-isteri tentang keberadaan perjanjian kawin, tidak adanya aturan hukum, agama dan kesusilaan yang dilanggar serta adanya keinginan pihak isteri (yang merupakan pasangan perkawinan campuran) untuk memiliki hak atas tanah, di mana dalam hal ini tidak bisa dilakukan
1
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
karena adanya pencampuran harta dengan suaminya yang merupakan Warga Negara Asing. Selain itu, kekuatan hukum dan implikasi perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dengan penetapan pengadilan negeri adalah tidak mengikat bagi para pihak yang membuatnya dan pihak ketiga. Perjanjian kawin yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri berupa penetapan ini adalah batal demi hukum. Kata kunci : perjanjian kawin, penetapan pengadilan negeri, kekuatan hukum. Abstract - In a marriage relationship, the topic of property in marriage is often a problem that can ruin household harmony. To anticipate this, many couples before marriage hold 've thought about the possibility that the prospective husband and wife agreed to make a pre- marital agreement, commonly called the Prenuptial Agreement. This Prenuptial Agreement regarding agreements stipulated in Article 29 of the Marriage Law. Prenuptial Agreement is an agreement that must be made in writing, at the request of a prospective husband and wife, where they both agreed and agreed to make the separation of their possessions, and with the signing of this agreement, all assets, whether they bring to a marriage and also acquired during the marriage, will remain in their respective mastery. This also applies to the debt, where the debt was the personal responsibility of those who have the debt. Related to the issue of the prenuptial agreement, the provisions of its legislation determines to be made before or at the time of marriage, but there is a problem where there is a husband and wife who already married, did not make prenuptial agreement before the holding of marriage, due to ignorance and negligence them. Then the couple applied for a determination of prenuptial agreement to the District Court, where their petition was granted and exit determination prenuptial agreement for this pair. This violates the rule -making prenuptial agreement stipulated in Article 29 of the Marriage Law. This research is limited to the consideration that is used by the judge in the determination of the prenuptial agreement marries well as the force of law and its implications for third parties regarding the determination of prenuptial agreement made after marriage. This type of legal research with a normative juridical approach to legislation. The results are, that is the basis for consideration of the judge in granting the determination of the prenuptial agreement made after marriage is the negligence and ignorance of the couple on the existence of a prenuptial agreement, the absence of rule of law, religion and morality are violated as well as the willingness of the wives (which is a mixed marriage couples) to have land rights, which in this case could not be done because of the mixing property with her husband who is a foreign citizen. In addition, the force of law and the implications of prenuptial agreement made after the marriage with the determination of the district court is not binding for the parties who made it and a third party. Prenuptial agreement issued by the district court in the form of this designation is null and void. Keywords : prenuptial agreement, the determination of the district court, the force of law .
2
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
PENDAHULUAN Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), selanjutnya disingkat UU Perkawinan, mengatur mengenai definisi perkawinan itu sendiri, yaitu : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam suatu perkawinan masing-masing pihak dapat membawa harta masingmasing, yang selanjutnya disebut sebagai “harta bawaan/harta asal” dan selama perkawinan berlangsung suami dan istri dapat menghasilkan harta yang selanjutnya disebut “harta bersama/harta gono-gini”. Selain seorang pria dan seorang wanita, dalam perkawinan terlibat juga di dalamnya keluarga, latar belakang termasuk harta bawaan para pihak, dengan demikian perkawinan itu sendiri penting karena menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak-anak, kekayaan dan kewarisan. Di samping soal hak dan kewajiban, persoalan harta-benda merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau ketegangan dalam hidup perkawinan, sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup rumah tangga.1 Untuk menghindarkan permasalahan tentang harta baik harta bawaan maupun harta gono gini, banyak pasangan yang sebelum melangsungkan perkawinan sudah memikirkan tentang kemungkinan terjadinya hal tersebut dan calon suami istri tersebut sepakat untuk membuat suatu perjanjian pra perkawinan yang lazim disebut Perjanjian Kawin. Mengenai harta benda dalam perkawinan ini diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan. Pasal 35 UU Perkawinan menyebutkan bahwa: (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
1
K. Wantjik Saleh, Hukum Perdata Indonesia, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1976, hlm. 35.
3
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Terlihat dari isi pasal di atas bahwa harta perkawinan yang dibawa ke dalam perkawinan (dapat disebut juga harta bawaan) tetap menjadi milik masing-masing dan harta yang diperoleh setelah perkawinan berlangsung merupakan harta bersama (dapat disebut juga harta gono-gini). Perjanjian Kawin merupakan topik yang hangat saat ini. Banyak yang bertanya menegenai eksistensi perjanjian ini sendiri. “Apa itu Perjanjian Kawin? Apa fungsinya? Bagaimana cara membuatnya?” adalah hal yang banyak ditanyakan masyarakat saat ini. Perjanjian Kawin adalah suatu perjanjian yang wajib dibuat secara tertulis, atas permintaan dari sepasang calon suami dan isteri, di mana mereka berdua telah setuju dan sepakat untuk membuat pemisahan harta mereka masing-masing, dan dengan ditandatanganinya perjanjian ini, maka semua harta, baik yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga yang diperoleh selama perkawinan, akan teteap dalam penguasaan mereka masing-masing. Hal ini juga berlaku terhadap hutang-hutang, di mana hutang itu merupakan tanggung jawab pribadi dari pihak yang memiliki hutang itu. Dalam hal mengenai pembuatan perjanjian kawin pun terdapat syarat-syarat dalam pelaksanaanya yang harus diperhatikan demi keabsahan dari perjanjian kawin. Syarat tersebut diatur antara lain ialah bahwa perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan dibuat pada saat atau sebelum perkawinan berlangsung, serta berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Perjanjian itu dilekatkan pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan surat nikah, dan perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan atau kehendak bersama, dibuat secara tertulis, disahkan oleh pegawai catatan sipil, serta tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.2
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta, 2002, hlm. 30. 2
4
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Dalam UU Perkawinan, perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29, yaitu : (1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Terkait dengan persoalan perjanjian kawin ini, ketentuan peraturan perundangundangannya menentukan harus dibuat sebelum atau pada saat terjadinya perkawinan, namun terdapat suatu perkara di mana sepasang suami-isteri bernama WILLIAM MICHAEL BELL dan HESTI SETIYANTI (selanjutnya disingkat William dan Hesti) yang telah menikah pada tanggal 14 Mei 2013 tidak membuat perjanjian kawin sebelum dilangsungkannya perkawinan, dikarenakan ketidaktahuan dan kealpaan mereka. Dalam perkara ini dengan terjadinya perkawinan antara Hesti yang merupakan Warga Negara Indonesia dan William yang merupakan Warga Negara Asing, menyebabkan Hesti tidak dapat memiliki sesuatu hak atas tanah karena kepemilikan hak atas tanah itu akan bercampur dengan William, yang merupakan seorang Warga Negara Asing. Menyadari tentang hal ini (yaitu larangan kepemilikan hak atas tanah karena percampuran harta antara seorang Warganegara Indonesia dan Warganegara Asing akibat terjadinya perkawinan), maka Hesti dan William mengajukan permohonan penetapan pengadilan agar dapat ditetapkan suatu perjanjian kawin untuk pemisahan harta-harta yang akan diperoleh di kemudian hari, adapun permohonan mereka ini dikabulkan dengan dikeluarkannya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst. tanggal 30 Juni 2014.
5
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Dengan dikeluarkannya penetapan pengadilan ini, maka dimungkinkan dibuatnya perjanjian kawin setelah perkawinan, dengan melalui penetapan pengadilan, hal mana sebenarnya tidak diijinkan bila mengacu pada ketentuan
Pasal 29 UU
Perkawinan. Maka berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam pemberian penetapan terkait dalam Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juni 2014 nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst. mengenai perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan ? b. Bagaimanakah kekuatan hukum dan implikasinya terhadap pihak ketiga mengenai perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juni 2014 nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst.? METODE PENELITIAN Agar penulisan tesis ini mengandung suatu kebenaran ilmiah yang obyektif, maka perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan metode yang sudah dibakukan melalui tahapan-tahapan secara logis dan konsisten dengan cara:
1. Pendekatan Masalah Ada dua pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).
Pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach)
diperlukan guna mengkaji lebih lanjut mengenai dasar hukum. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum. Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) adalah pendekatan di mana peneliti membahas pendapat para sarjana sebagai landasan pendukung.
2. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu merupakan penelitian yang didasarkan pada studi pustaka yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas peraturan
6
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
perundang-undangan dan literatur. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini terdiri atas berbagai cara dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang diperlukan untuk melengkapi penyusunan tesis ini.
3. Bahan Hukum Dalam penulisan ini digunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, dalam hal ini berupa peraturan perundang-undangan antara lain : 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) ; 2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043 ; 3) Undang-undang nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5491) ; 4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain : 1) Literatur Buku ; 2) Jurnal-jurnal ; 3) Pendapat para sarjana ; 4) Majalah-majalah ; 5) Artikel-artikel media ; dan 6) Berbagai tulisan lainnya.
7
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum lainnya yang memberikan penjelasan maupun petunjuk mengenai bahan hukum primer dan sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam rangka untuk mendapatkan bahan hukum sekunder, penelitian hukum yuridis normatif mengenal 3 (tiga) jenis metode pengumpulan bahan hukum, yaitu : a. Studi pustaka (bibliography study) ; b. Studi dokumen (document study); dan c. Studi arsip (file or record study). Studi pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam dalam penelitian yuridis normatif, sumber tersebut diantaranya undang-undang, yurisprudensi, buku ilmu hukum, laporan penelitian hukum dalam suatu jurnal, tinjauan pengamatan hukum dalam media cetak informasi tertulis dan sumber-sumber lainnya, yang kemudian ini diklasifikan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Studi dokumen adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak dipublikasikan secara umum, tetapi boleh diketahui oleh pihak tertentu, seperti mengajar hukum, peneliti hukum, praktisi hukum dalam rangka kajian hukum, pengembangan hukum, serta praktik hukum. Studi arsip adalah pengkajian informasi tertulis mengenai peristiwa yang terjadi pada masa lampau (termasuk peristiwa hukum) yang mempunyai nilai historis, disimpan dan diperlihara di tempat khusus untuk referensi.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum pada penelitian yuridis normatif ini adalah menggunakan bahan hukum sekunder, maka biasanya penyajian bahan hukum dilakukan sekaligus dengan analisisnya. Berdasarkan pandangan di atas, maka bahan hukum sekunder yang telah dikumpulkan kemudian disusun, diolah, dan diklasifikasikan ke dalam bagian-bagian tertentu, untuk selanjutnya dianalisis. Bahanbahan hukum yang telah dikumpulkan akan dipergunakan dengan menguraikan suatu metode analisis bahan hukum. Metode analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif dengan menelaah konsep-konsep, asas-asas, doktrin-doktrin, disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat
8
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
yang dipisahkan menurut kategorisasi analisis kualitatif tentu tidak lepas dari kedudukan subyek dan obyek penelitian sehingga terjadi hubungan hukum. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan perjanjian kawin dalam Pasal 29 UU Perkawinan telah diatur, dimana pada ayat (1) berbunyi : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.” Dari isi pasal ini dapat dilihat bahwa perjanjian kawin ini selain harus dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, juga harus dibuat dalam bentuk tertulis. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah secara tegas dinyatakan bahwa perjanjian kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis dan karena bersifat perjanjian maka harus dilakukan oleh para pihaknya dan bukan dalam bentuk produk hukum lain seperti penetapan pengadilan. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut Faktor-faktor utama tentang perjanjian kawin antara lain : a.
dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan ;
b.
dibuat berdasarkan persetujuan bersama ;
c.
dibuat secara tertulis ;
d.
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan ;
e.
isi perjanjian kawin berlaku juga terhadap pihak ketiga
Dalam Penetapan Nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst yang perlu menjadi sorotan adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya dalam mengabulkan permohonan para pemohon. Pertimbangan Hakim yang digunakan dalam mengabulkan permohonan dalam penetapan ini adalah mengenai kealpaan dan ketidaktahuan WILLIAM dan HESTI akan keberadaan perjanjian hukum serta aturan hukum yang melandasinya.
9
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Terdapat beberapa hal yang perlu dianalisis dari keberadaan Penetapan Nomor: 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst , yaitu : a.
Adanya kealpaan dan ketidaktahuan Dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan telah diatur bahwa perjanjian kawin wajib dibuat waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Sedangkan WILLIAM dan HESTI menikah pada 14 Mei 2013, lalu mengajukan permohonan penetapan untuk perjanjian kawin pada 20 Juni 2014 serta prmohonan dikabulkan dan dikeluarkanlah penetapan pada tanggal 30 Mei 2014. Jangka waktu pada saat perkawinan dilangsungkan dan pada saat pengajuan permohonan atau pun penetepan dikabulkan adalah sudah lewat 1 (satu) tahun sejak perkawinan dilangsungkan. Namun WILLIAM dan HESTI mengemukakan bahwa mereka tidak tahu mengenai perjanjian kawin. Hal ini bisa dilihat dalam permohonan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh WILLIAM dan HESTI, sebagai para pemohon tersebut, ternyata dan terbukti bahwa : “Bahwa seharusnya
PARA
PEMOHON
membuat
perjanjian
perkawinan
pemisahan harta bersama sebelum melangsungkan perkawinan, akan tetapi oleh karena kealpaan dan ketidaktahuan PARA PEMOHON, sehingga baru saat ini PARA PEMOHON berniat membuat penetapan Perjanjian Perkawinan pisah harta bersama.” Bila melihat ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan, alasan kealpaan dan ketidaktahuan tidak menjadi jalan keluar agar dapat diijinkannya atau diperbolehkannya dibuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung. b.
Tidak melanggar aturan hukum, agama dan kesusilaan Salah
satu
pertimbangan
hakim
hingga
akhirnya
mengabulkan
permohonan WILLIAM dan HESTI adalah karena tidak adanya aturan hukum, agama dan kesusilaan yang dilanggar. Faktanya setelah menyebut adanya faktor ketidaktahuan dan kealpaan dan dibuatnya perjanjian kawin setelah perkawinan adalah suatu bentuk pelanggaran hukum. Dalam UU Perkawinan dan penjelasannya tidak ada alternatif atau jalan keluar lagi apabila terjadi hal semacam ini, sehingga bila perkawinan telah berlangsung dan tidak dibuatnya perjanjian kawin, maka perkawinan itu akan terus berjalan tanpa perjanjian kawin untuk selamanya sampai
10
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
dengan terputusnya perkawinan itu baik karena cerai hidup maupun karena cerai mati. Hal ini adalah pokok bahasan utama alasan mengapa penulis mengangkat topik ini sebagai bahan penulisan tesis. c.
Adanya keinginan untuk memiliki hak atas tanah Latar belakang diajukannya permohonan penetapan ini adalah juga karena HESTI ingin membeli tanah di Lombok. Namun transaksi pembelian ini tidak dapat dilaksanakan karena HESTI menikah dengan WILLIAM (WNA) dan tanpa menggunakan perjanjian kawin, sehingga di antara mereka berdua terdapat pencampuran harta. Dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043, untuk selanjutnya disingkat UUPA) disebutkan bahwa hanya Warganegara Indonesia saja yang bisa mempunyai hak milik atas tanah dan untuk WNI (Warga Negara Indonesia) yang sebelum perkawinan memperoleh hak milik lalu menikah dengan WNA (Warga Negara Asing) dan karenanya terjadi percampuran harta, maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak perkawinan dilangsungkan harus melepaskan Hak Milik itu kepada subjek hukum lain yang berhak, jika jangka waktu itu terlampaui maka hak milik atas tanah itu akan hapus dan kepemilikannya akan jatuh pada Negara. Dengan adanya aturan ini maka secara bagaimanapun sebenarnya HESTI tidak akan pernah dapat memiliki tanah di Indonesia dan oleh karena itu HESTI dan WILLIAM sepakat untuk mengajukan permohonan penetapan perjanjian kawin itu. Dilihat dari ketentuan tersebut sebenarnya telah terjadi juga pelanggaran hukum khususnya tentang hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia tentang syarat yang harus dipenuhi terkait dengan kepemilikan tanah.
Menurut pendapat saya, bahwa pertimbangan Hakim yang menyatakan tidak adanya ketentuan Hukum yang dilanggar dengan dibuatnya penetapan tentang Perjanjian Kawin tersebut sebenarnya sudah melanggar hukum, setidaknya sudah melanggar ketentuan dalam Pasal 29 UU Perkawinan dan Pasal 21 UUPA.
11
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Dengan melihat aturan hukum tentang perjanjian kawin, maka dapat dikatakan bahwa penetapan ini berstatus batal demi hukum. Makna batal demi hukum ini adalah suatu produk hukum dapat batal demi hukum maka tanpa dimintakan pengesahan atau putusan dari Pengadilan. Jadi ditinjau dari cara pembuatannya dapat dikatakan bahwa perjanjian kawin, yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri berupa penetapan ini, adalah batal demi hukum dan tidak mengikat para pihak yang membuatnya (WILLIAM MICHAEL BELL dan HESTI SETIYANTI BELL) dan juga bagi pihak ketiga. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dalam rangka menjawab permasalahan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a.
Ada 3 hal yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam pemberian penetapan terkait dalam Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juni 2014 nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst. mengenai perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan. Pertama, adanya kealpaan dan ketidaktahuan dari pasangan suami-isteri (HESTI dan WILLIAM) tentang keberadaan perjanjian kawin. Kedua, hakim mengabulkan permohonan perjanjian kawin adalah karena tidak adanya aturan hukum, agama dan kesusilaan yang dilanggar. Ketiga, adanya keinginan HESTI (sebagai Warga Negara Indonesia, yang menikah dengan Warga Negara Asing) untuk memiliki suatu hak atas tanah (melakukan pembelian tanah di Lombok), di mana dalam hal ini tidak bisa dilakukan HESTI karena adanya pencampuran harta dengan suaminya, WILLIAM, yang merupakan Warga Negara Asing, terkait dengan Pasal 21 UUPA. Adanya 3 dasar pertimbangan hakim ini tidak merubah fakta hukum bahwa Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juni 2014 nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst. dan dengan demikian batal demi hukum.
b. Bagi para pihak yang membuatnya, dalam hal ini HESTI dan WILLIAM, perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juni 2014 nomor :
12
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst.
tidak
memiliki
kekuatan
hukum
yang
mengikat. Dengan melihat Pasal 29 UU Perkawinan, serta kedudukan Pasal 1337 jo. Pasal 1335 KUHPerdata, maka dapat dikatakan bahwa penetapan ini berstatus batal demi hukum. Hal ini berlaku pula bagi pihak ketiga, penetapan ini adalah batal demi hukum, dan tidak bisa mengikat pihak ketiga. 2. Saran Ada beberapa hal yang dapat saya sarankan berkaitan dengan topik permasalahan dalam penulisan tesis, yaitu : a. Apabila memang diperbolehkan untuk membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung, maka harus dilakukan dengan suatu upaya hukum tertentu dan dalam jangka waktu tertentu diberi sampai berapa lama perjanjian kawin dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung
dibuat.
Upaya hukum tertentu tersebut wajib dilakukan karena tidak dapat semua perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dapat dikabulkan dan harus ada suatu syarat-syarat tertentu untuk dapat dikabulkan. Jangka waktu maksimal terhitung sejak adanya perkawinan itu wajib diatur, untuk memberi kepastian hukum tentang status kepemilikan harta di antara suami istri yang bersangkutan, karena semakin lama perkawinan berlangsung dan baru dibuat perjanjian kawinnya semakin sulit para pihak untuk menentukan status kepemilikan harta diantara mereka. Kedudukan pihak ketiga juga harus diperhatikan agar pihak ketiga tidak dirugikan dalam hal ini. b. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menentukan : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga
tersangkut.”
tidak
terdapat
kemungkinan
pembuatan perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung. Jadi semua upaya hukum apapun tidak dapat dilakukan, termasuk melalui proses permohonan untuk penetapan pengadilan tentang perjanjian kawin, demi kepastian hukum. Seharusnya Pengadilan Negeri di manapun tidak
13
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
dibenarkan mengeluarkan penetapan seperti Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 30 Juni 2014 nomor : 143/Pdt.P/2014/PN.Jkt.Pst. tersebut. Pengadilan bukanlah lembaga yang berada di atas hukum, artinya Pengadilan tidaklah diperkenankan menyimpangi undang-undang. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Andasasmita, Komar, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, Cetakan Kedua, Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 1990 Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004 Hartanto, J. Andy, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan (Menurut “Burgerlijk Wetboek” dan Undang-Undang Perkawinan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012 Kusuma, Ramadhan Wira, Tesis : Pembuatan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya Terhadap Pihak Ketiga, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Semarang, 2010 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988 Muhammad, Abdulkadir, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1992 Prawirohamidjodo, R. Soetojo, Berbagai Masalah Hukum Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Trisakti, Jakarta Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1981 Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta, 2002
14
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016)
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perdata Indonesia, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1976 Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan,65 Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Cetakan Kelima, Liberty, Yogyakarta, 2004 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1978 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 Tjay Sing, Ko, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1981 Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006 2. Peraturan Perundangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5491) 3. Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, 1995, Balai Pustaka, Jakarta 4. Lainnya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 143/Pdt.P/2014/ PN.Jkt.Pst. tanggal 30 Juni 2014 tentang Perjanjian Kawin antara William Michael Bell dan Hesti Setiyanti Bell
15