BUSANA LITURGI GEREJA KATOLIK Rapat Pengurus Inti 20 Agustus 2013 H.Sridanto Aribowo, MA.Lit
Tinjauan historis • Busana jemaat: Rupanya di jaman st. Paulus ada kebiasaan berbusana khusus bagi jemaat, dalam liturgi. (Cf. 1 Kor 11:2.4-5.16). Bahwa kaum pria tidak perlu bertudung kepala, sedangkan wanita sepatutnya bertudung kepala. Tetapi asal usul kebiasaan ini tidak jelas. • Kini tudung kepala itu menjadi tanda pengudusan diri para perawan, yang dilaksanakan dalam upacara liturgis yang disebut velatio. • Suatu kebiasaan lainnya dalam hal busana khusus dalam liturgi ialah pemakaian pakaian putih ketika seorang diinisiaikan dan selama pekan sesudahnya. Karena inisiasi masa itu dilaksanakan pada malam Paskah, maka kebiasaan berpakaian putih ini berlangsung hingga Sabtu sebelum Hari Minggu II Paskah.
Busana pelayan tertahbis dalam liturgi • Pada abad-abad pertama: • Pada awalnya dalam perayaan Liturgis, tidak jelas adanya ketentuan untuk berbusana khusus bagi para pelayan tertahbis. Tanda pembeda khusus hanya berupa tempat khusus yang diberikan kepada pelayan-pelayan itu. • Origenes menyatakan bahwa ketika memimpin inisiasi, uskup mengenakan satu set busana yang berbeda dengan busana untuk mengunjungi umat. Seturut Hironimus dan Hipolitus rupanya dipakai tunika putih, yang mungkin didasarkan pada Imamat 16:4. • Sedangkan Theodorus dari Mopsuestia tulis bahwa dalam memimpin inisiasi, hendaknya pakaian uskup berwarna terang dan terbuat dari linen halus. Pakaian diakon yang membantu uskup, hendaknya sesuai dengan tugas yang diemban. Ia mengenakan Orarion (yang kemudian berkembang menjadi stola).
• St. Ambrosius mencatat bahwa ternyata uskup, imam dan diakon mudah dibedakan dari peserta jemaat yang lain oleh katekumen-katekumen,rupanya karena mereka memakai busana tertentu.Karena itu di abadabad ini catatan-catatan tentang busana liturgis ada, tetapi tidak terlalu jelas. • Di abad ke 4 dan seterusnya, mulai ada perkembangan baru. Penghargaan pemerintah terhadap pejabatpejabat tingginya, juga diberikan kepada para uskup. Karena itu tanda-tanda penghargaan dalam bentuk busana khas juga diberikan kepada mereka. Sehingga busana-busana liturgis gereja berasal usul sipil seperti tunika, dalmatik, paenula, pallium.
• Di abad 8-10 (OR-Ordo Romanus hingga Caeremoniale Episcoporum): Di abad ini busana-busana liturgis semakin mantap tetapi juga semakin berbelit perkembangannya. • Yang muncul pada jaman ini ada beberapa seperti paenula (planeta atau casula), linea dalmatica (dalmatik), analogaium (humerale, amictus-kain bahu), cingulum atau singel. Mappula (dipakai konsul untuk membuka pertandingan, yang dipakai paus untuk memberikan tanda mulainya perayaan liturgi); stola/orarion, orarium; manipel (hiasan bagi mappa), cappa (mantol-pluviale) yang dipakai dalam perarakan). • Khusus untuk uskup: tongkat kegembalaan,Mitra, cincin.
• Ketentuan masa kini: Sebelum konsili, sudah ada gerakan untuk memperbaharui busana liturgis; konsili mengikutinya, tetapi menyederhanakannya seperti ditulis dalam PUBM 297 310. • Busana-busana liturgis itu adalah: alba (yang dapat dipakai oleh semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis), singel (dipakai kalau alba kebesaran, kalau alba sesuai atau jubah pengganti alba, maka tidak perlu dipakai), stola berwarna sesuai dengan kasula (untuk yang tertahbis: diakon = menyilang dari bahu kiri ke samping kanan; imam dan uskup = dikalungkan pada leher); kasula yang merupakan pakaian luar, sesuai dengan warna tahun liturgi (hanya dipakai imam dan uskup); untuk diakon, ada dalmatik. Khusus untuk uskup ada cincin, mitra dan tongkat.
• Singkatnya ada 3 kategori busana liturgis: Yang dikenakan di bagian dalam (alba dan singel); berlaku bagi semua pelayan liturgis; yang dikenakan di bagian luar: sebagai unsur pembeda seperti kasula, dalmatik, pluviale (mantol waktu perarakan); yang melambangkan fungsi atau tugas khusus: stola (imam, uskup), mitra, tongkat (uskup), pallium (uskup agung).
Warna Pakaian Liturgis • Di gereja katolik Latin, warna pakaian liturgis penting; lain halnya di gereja Timur. • Busana liturgis yang berwarna tertentu pula, mengungkapkan ciri khas misteri iman yang dirayakan serta alur perkembangan hidup kristiani sepanjang tahun. • Pada awalnya hanya ada satu warna pakaian liturgis yakni putih, tetapi di abad ke 9, ditambahkan warna-warna lainnya. Sesuai dengan ketentuan masa kini, warna liturgis adalah putih lambang kesucian, kemuliaan, dan kemuliaan dalam Kristus; Dapat pula dipakai kuning sebagai pengganti putih, tetapi warna ini rupanya kurang dimanfaatkan, juga di Indonesia; Merah lambang RK, darah, api, cinta kasih, pengorbanan (karena itu cocok untuk pesta RK, para martir dan Jumat Besar); Ungu lambang tobat, duka, mati raga (Adven dan Prapaskah); • Hitam mempunyai makna yang sama dengan ungu dan kini lebih banyak dipakai warna ungu. Hitam menghilang dari pemakaian; Hijau lambang harapan, syukur dan kesuburan.
Makna Teologis Busana Liturgis • Secara umum: Pakaian merupakan tanda sivilisasi, serta tanda martabat seseorang dalam lingkungan masyarakat tertentu. • Ia juga memperingatkan kita akan bukti kasih Tuhan yang tetap melindungi kita sesudah dosa. • Pakaian karung (kitab suci dan tradisi purba) melambangkan sikap tobat umat manusia. • Pakaian juga merupakan tanda pengungkap hidup yang telah ditransformasikan dalam Kristus.
Pakaian Spesial Liturgis Bagi Para Pelayan • • •
•
Busana liturgi mengungkapkan hidup gerja dalam Kristus. Kristus memanggil setiap orang dan setiap orang menanggapinya atas cara yang berbeda. Karena itu ada perbedaan tugas dan fungsi di kalangan umat Allah; Liturgi merupakan suatu perayaan yang menuntut partisipasi sesuai dengan fungsi masing anggota. Hal ini menyata dalam pakaian yang dikenakan selama perayaan liturgi berlangsung. Pelayan-pelayan, terutama pelayan tertahbis biasanya mengenakan busana khusus yang lain dari yang dikenakan jemaat lainnya. Yang berperanan sebagai pemimpin yang “melayani” biasanya mengenakan busana liturgis khusus; hal ini menandakan bahwa umat Allah yang membentuk jemaat liturgis itu terdiri dari pemimpin dan yang dipimpin (terdiri dari pribadipribadi unik); serta Tuhan yang diimani adalah satu dan sama (yang dilambangkan oleh pemimpin). Busana liturgis juga memperlihatkan suasana pesta dari liturgi yang dirayakan; ada keyakinan bahwa liturgi itu suatu pesta (perayaan meriah) sebab liturgi merupakan puncak kehidupan umat (KL 10). Karena itu PUBM no 306 menyatakan bahwa busana liturgis hendaknya indah dan agung.
Makna Busana Liturgis • Kasula lambang distinktif tugas seorang imam (dan uskup), yang diemban. Biasanya dipakai dalam perayaan Ekaristi. Asal katanya: Latin, “Casula” yang berarti rumah kecil; Sejarah menyatakan bahwa kasula mempunyai makna simbolis: lambang kuk yang harus dipikul seorang imam. Pakaian liturgis yang berfungsi hampir sama dengan kasula adalah dalmatik untuk diakon; di waktu perarakan, dipakai mantol (pluviale).
• Stola: menilik asal usulnya, stola berhubungan dengan orarium / orarion yakni handuk yang biasanya dibelitkan di leher sebagai pemanas leher di musim dingin. • Dapat juga dipakai untuk melap tangan dan mulut. Diberikan kepada diakon (pelayan pembantu uskup dalam liturgi di dunia) dan kemudian dilihat sebagai sayap para malaikat yang melayani dalam liturgi surgawi. • Stola adalah lambang tugas yang diemban sehingga dalam konselebrasi, kalau kasula tidak cukup tersedia, maka diharapkan paling kurang ada stola yang dipakai di atas jubah atau alba. Warnanya sesuai denga kasula yang pada umumnya sesuai dengan masa dalam tahun liturgi. Khusus untuk uskup agung yang membawahi beberapa uskup lain, ada sejenis stola yang disebut pallium.
• Alba yang biasanya berwarna putih, dapat dipakai semua pelayan tertahbis dan tak tertahbis; Ia melambangkan kemurnian hati dikurniakan dalam sakramen Baptis. • Lambang-lambang khusus untuk uskup: mitra (sejenis topi bercabang dua - terbelah di tengah) sebagai lambang tugas uskup dalam membela keadilan, kebenaran; cincin yang dipakai di jari tangam kanan sebagai lambang kesetiaan uskup terhadap gereja; Tongkat lambang tugas kegembalaan uskup.
• Makna pakaian biasa (yang dipakai umat): Pakaian yang dikenakan umat (berbeda-beda dalam bentuk, jenis) mempunyai makna simbolis tersendiri: jemaat yang merayakan liturgi (puncak kehidupan kristiani) adalah umat yang siap untuk diutus guna bersaksi tentang Kristus. Mengenakan pakaian biasa (hendaknya baik, bersih) berarti selalu siap untuk diutus.
• Liturgicae instaurationes: PUBM 304 dan 305. Dokumen-dokumen itu menjadi dasar inkulturasi busana liturgis. • Inkulturasi yang merupakan tugas waligereja setempat. Teks-teks terkait menyebutkan bahwa bentuk dan bahan pembuat busana liturgis itu dapat disesuaikan; sedangkan warna, tidak disebutkan. • Karena itu tugas waligereja setempat yang dapat diwakili komisi liturgi keuskupan (wali gereja) adalah mencari bentuk asli busana lokal yang dapat dipakai untuk menginkulturasikan busana liturgis. • Yang tengah dibuat di Indonseia, juga di Timor adalah busana liturgis yang bermotif Indonesia, Timor (terbuat dari tenunan), tetapi bentuk dan warna masih bersifat Barat dan juga batik. Manakah bentuk serta warna asli Indonesia itu yang dapat dipakai sebagai pengungkap misteri liturgi yang dirayakan?
Busana Imam menurut Dokumen Gereja • AMIK (Tanda Perlindungan) • Selembar kain lenan putih berbentuk segi empat dengan dua tali panjang di dua ujungnya, dikenakan sekeliling leher, menutupi bahu dan pundak, menyilangkan kedua tali di depan (membentuk salib St Andreas), lalu membawa tali ke belakang punggung, melilitkannya sekeliling pinggang dan mengikatkannya dengan suatu simpul. • Tujuan praktis amik adalah untuk menutupi jubah biasa imam, dan untuk menyerap keringat dari kepala dan leher. Di kalangan GraecoRomawi, amik adalah penutup kepala, seringkali dikenakan di bawah topi baja para prajurit Romawi untuk menyerap keringat, dengan demikian mencegah keringat menetes ke mata.
Tujuan rohani amik adalah mengingatkan imam akan nasehat St Paulus, “Terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah” (Ef 6:17). Doa ketika mengenakan amik: “Tuhan, letakkanlah pelindung keselamatan pada kepalaku untuk menangkis segala serangan setan.”
• ALBA (Citra Kekudusan) • Alba adalah pakaian putih panjang hingga sebatas pergelangan kaki, dan memiliki lengan panjang hingga pergelangan tangan. Kata alba dalam bahasa Latin artinya “putih”. • • Alba adalah pakaian luar yang umum dikenakan di kalangan Graeco-Romawi dan mirip dengan soutane yang dikenakan di Timur Tengah. Tetapi, mereka yang berwenang mengenakan alba dengan kualitas yang lebih baik dengan aneka sulaman atau gambar. Beberapa alba modern memiliki kerah sehingga amik tidak diperlukan lagi. •
• Tujuan rohani alba adalah mengingatkan imam akan pembaptisannya, saat kain putih diselubungkan padanya guna melambangkan kemerdekaannya dari dosa, kemurnian hidup baru, dan martabat Kristiani. Di samping itu, Kitab Wahyu menggambarkan para kudus yang berdiri sekeliling altar Anak Domba di surga sebagai “Orang-orang yang keluar dari kesusahan yang besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba” (7:14). • Demikian pula imam wajib mempersembahkan Misa dengan kemurnian tubuh dan jiwa, dan dengan kelayakan martabat imamat Kristus. Di beberapa negara tropis, termasuk Indonesia, jika tidak ada alba, maka dapat dipakai jubah yang berwarna putih. • Doa ketika mengenakan alba: “Sucikanlah aku, ya Tuhan, dan bersihkanlah hatiku, agar aku boleh menikmati kebahagiaan kekal karena telah dibasuh dalam darah Anak Domba.”
• SINGEL (Tali Kesucian) • Singel adalah tali yang tebal dan panjang dengan jumbai-jumbai pada kedua ujungnya, yang diikatkan sekeliling pinggang untuk mengencangkan / merapikan alba. Singel merupakan simbol nilai kemurnian hati dan pengekangan diri. Singel dapat berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Di kalangan GraecoRomawi, singel adalah bagaikan ikat pinggang. •
• Tujuan rohani singel adalah mengingatkan imam akan nasehat St Petrus, “Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus. Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu” (1 Pet 1:13-15). • Doa ketika mengenakan singel: “Tuhan, kuatkanlah aku dengan tali kesucian ini dan padamkanlah hasrat ragawiku, agar kebajikan pengekangan diri dan kemurnian hati dapat tinggal dalam diriku.”
• STOLA (Lambang Penugasan Resmi) • Stola adalah semacam selendang panjang, kira-kira 4 inci (± 10 cm) lebarnya, warnanya sama dengan kasula, yang dikalungkan pada leher. Stola diikatkan di pinggang dengan singel. Stola merupakan simbol bahwa pemakainya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakannya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. • Sebelum pembaharuan Konsili Vatikan Kedua, stola disilangkan di dada imam untuk melambangkan salib. Stola juga berasal dari budaya masa lampau. Para rabi mengenakan selendang doa dengan jumbai-jumbai sebagai tanda otoritas mereka. •
•
• •
• • •
Stola yang disilangkan juga merupakan simbolisme dari ikat pinggang bersilang yang dikenakan para prajurit Romawi: satu ikat pinggang dengan pedang di pinggang, dan ikat pinggang lainnya dengan kantong perbekalan, misalnya air dan makanan. Dalam arti ini, stola mengingatkan imam bukan hanya pada otoritas dan martabatnya sebagai imam, melainkan juga tugas kewajibannya untuk mewartakan Sabda Allah dengan gagah berani dan penuh keyakinan (“Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun” Ibr 4:12) dan untuk melayani kebutuhan umat beriman. Sekarang, imam mengenakan stola yang dikalungkan pada leher dan ujungnya dibiarkan menggantung, tidak disilangkan. Stola yang sempit biasanya dikenakan di dalam kasula, sedangkan stola yang lebar dikenakan di atas kasula. Doa ketika mengenakan stola: “Ya Tuhan, kenakanlah kembali stola kekekalan ini, yang telah hilang karena perbuatan para leluhur kami, dan perkenankanlah aku meraih hidup kekal meski aku tak pantas menghampiri misteri-Mu yang suci.
• KASULA (Lambang Cinta dan Pengorbanan) • Kasula, disebut juga planeta, adalah pakaian luar yang dikenakan di atas alba dan stola. Kasula merupakan busana khas imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan.
• Selama berabad-abad model kasula telah mengalami beberapa perubahan dan variasi. Kasula berasal dari kata Latin “casula” yang artinya “rumah”; kasula di kalangan Graeco-Romawi serupa sebuah mantol tanpa lengan yang sepenuhnya menutupi tubuh dan melindungi si pemakai dari cuaca buruk. Tujuan rohani kasula adalah mengingatkan imam akan kasih dan pengurbanan Kristus, “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kol 3:14). • Doa ketika mengenakan kasula: “Ya Tuhan, Engkau pernah bersabda: `kuk yang Ku-pasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.' Buatlah aku sanggup mengenakan pakaian ini agar dapat memperoleh rahmatmu. Amin.”
• SUPERPLI • Istilah superpli berasal dari bahasa Latin “superpellicium” yang artinya “di atas dada”. Superli adalah pakaian luar seperti rok yang berwarna putih, panjangnya sampai di atas lutut dan memiliki lengan baju yang lebar; terkadang dengan renda-renda di bagian lengan dan lipatannya. Superpli dipakai oleh imam atau diakon dalam rangka ibadat atau perayaan liturgi di luar misa, seperti adorasi, ibadat tobat, mengantar Komuni, dan ibadat-ibadat lain. Superpli merupakan pengganti alba. Tapi, tidak boleh sembarangan memakai superpli. Kalau pelayan mengenakan kasula atau dalmatik, ia harus mengenakan alba, tidak boleh menggantikan alba dengan superpli. Superpli bisa juga dikenakan oleh siapa saja yang bertugas dalam liturgi, termasuk para bruder, frater dan misdinar. •
• PLUVIALE • Arti harafiah pluviale ialah mantel hujan. Pluviale yang dipergunakan dalam liturgi merupakan kain mantel besar, indah, yang dikalungkan pada leher dari belakang dengan kancing rantai dari kedua sudut atas mantel. Dalam liturgi, pluviale dipakai oleh uskup atau imam pada perayaan liturgi di luar Perayaan Ekaristi, seperti prosesi, adorasi atau astuti, pemberkatan dengan Sakramen Mahakudus, pemberkatan mempelai tanpa misa kudus atau upacara pemberkatan lain.
• Velum merupakan sebutan bagi kain segi empat sepanjang 2-3 meter dan lebarnya sekitar 60 cm, berwarna putih atau kuning atau emas dengan hiasan indah, memiliki rantai kancing pada kedua ujung yang dapat dicantelkan di depan dada. Velum yang berarti kain selubung ini digunakan dengan cara dikalungkan dari belakang dan dikenakan pada punggung. • Velum digunakan oleh imam atau diakon untuk menyelubungi pegangan monstrans yang berisi Sakramen Mahakudus dalam rangka prosesi Sakramen Mahakudus atau pemberkatan umat dengan Sakramen Mahakudus.
• Memang unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat berkaitan dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. • Kain semacam itu biasanya dihiasi. Namun ada juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk membawa tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup biasanya berwarna putih saja.
• Dalam Perayaan Ekaristi, busana khusus bagi imam selebran ialah kasula; busana khusus bagi diakon ialah Dalmatik. Bentuk dalmatik agak mirip kasula, tetapi berbeda juga, sebab ujung dalmatik biasa dibuat persegi atau bersudut (pada kasula tidak) dan motif hiasan berupa garis-garis salib besar. Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala bertugas melayani dalam Misa, khususnya yang bersifat agung / meriah. Tetapi, kalau tidak perlu atau dalam perayaan liturgi yang kurang meriah, diakon tidak harus mengenakan dalmatik. Busana ini melambangkan sukacita dan kebahagiaan yang merupakan buah-buah dari pengabdiannya kepada Allah. Warna atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa.
• Pada intinya, busana-busana liturgis yang dikenakan dalam perayaan Misa memiliki dua tujuan utama yaitu • “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335). • busana liturgis mengilhami imam dan semua umat beriman untuk merenungkan arti simboliknya yang kaya makna.
WARNA LITURGI • • •
Pedoman Umum Misale Romawi no 345-347. PUTIH atau KUNING Melambangkan sukacita dan kemurnian jiwa, dikenakan sepanjang Masa Natal dan Masa Paskah.
•
Busana liturgis putih juga dikenakan pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya); begitu pula pada pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November), Kelahiran St Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta St Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta Tahta St Petrus Rasul (22 Februari) dan Pesta Bertobatnya St Paulus Rasul (25 Januari).
Putih juga dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani dan Misa Arwah saat hari keseribu atau setelah 3 tahun guna melambangkan kebangkitan Tuhan kita, ketika Ia menang atas dosa dan maut, kesusahan dan kegelapan.
• MERAH • Di satu pihak, merah melambangkan pencurahan darah; di lain pihak, merah juga melambangkan api kasih Allah yang bernyala-nyala. • Karenanya, busana liturgis merah dikenakan pada hari Minggu Palma (ketika Kristus memasuki Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya), pada hari Jumat Agung, pada hari Minggu Pentakosta (ketika Roh Kudus turun atas para rasul dan lidah-lidah api hinggap di atas kepala mereka), dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil (terkecuali St Yohanes yang tidak mengalami kemartiran), dan pada perayaan-perayaan para martir.
• HIJAU • Dikenakan sepanjang masa liturgi yang disebut Masa Biasa. Masa Biasa berfokus pada masa tiga tahun pewartaan Tuhan kita di depan publik, dan ayat-ayat Injil, teristimewa pada hari-hari Minggu, mengisahkan ajaran-ajaran, mukjizat-mukjizat, pengusiran setan dan perbuatan-perbuatan baik lain yang dilakukan-Nya selama masa itu. • Segala pengajaran dan peristiwa ini mendatangkan pengharapan besar dalam misteri keselamatan. Kita berfokus pada hidup-Nya yang Ia bagi bersama umat manusia semasa hidup-Nya di dunia ini, hidup yang sekarang kita bagi bersama-Nya dalam komunitas Gereja dan melalui sakramen-sakramen-Nya, dan kita menanti dengan rindu berbagi hidup abadi bersamaNya dalam kesempurnaan di surga. Hijau melambangkan pengharapan dan hidup ini, sama seperti tunas-tunas hijau yang menyembul di antara pepohonan yang tandus di awal musim semi membangkitkan pengharapan akan hidup baru.
UNGU • dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah sebagai tanda pertobatan, kurban dan persiapan. • Di pertengahan dari masingmasing masa ini: pada hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV) - busana liturgis berwarna Jingga/Pink.
JINGGA atau PINK biasa dikenakan sebagai tanda sukacita. Kita bersukacita di pertengahan masa ini karena kita telah melewati separuh persiapan kita dan sekarang mengantisipasi kedatangan sukacita Natal atau Paskah.
• HITAM • walau sekarang jarang sekali dipergunakan, dapat dikenakan pada Misa Pemakaman Kristiani sebagai tanda maut dan duka. Hitam dapat juga dikenakan pada Peringatan Arwah Semua Orang Beriman atau Misa Arwah, misalnya pada hari peringatan kematian orang yang kita kasihi. • Pada dasarnya, keanekaragaman warna busana liturgis berupaya membangkitkan kesadaran kita akan masa-masa kudus; suatu upaya lahiriah lain untuk menghadirkan misteri-misteri kudus yang kita rayakan (menumbuhkan sentire cum ecclesiae)
Collar priest • Semua collar ini adalah bagian dari tradisi gereja Katolik yang sudah berabad-abad umurnya. Sayang sekali, saat ini mungkin lebih banyak pendeta Protestan yang memakainya daripada imam Katolik.
Not appropriate liturgical vestments
Appropriate liturgical vestments
Inappropriate chasubles
The END