Sejarah Keuskupan SEJARAH GEREJA KATOLIK KEUSKUPAN PANGKALPINANG Sejak zaman dahulu pulau Bangka dan Belitung sudah terkenal dengan tambang timahnya. Pada akhir abad XVII banyak orang Tionghoa datang di pulau Bangka, Belitung dan Kepulauan Riau. Mereka bekerja di tambang-tambang timah sebagai kuli-kontrak. Sehabis kontrak mereka pulang ke negeri asal. Tetapi ada juga yang menetap. Pada permulaan abad XIX datanglah seorang tabib Tiongkok bernama Paulus Tsen On Ngie. Konon dia baru menjadi katolik ketika ia berkunjung ke daerah Penang. Di sanalah dia dibaptis. Ketika tiba di Bangka (Sungaiselan), ia merasa sangat kasihan terhadap keadaan hidup orang-orang sebangsanya yang bekerja di tambangtambang timah sebagai kuli-kontrak. Keadaan hidup mereka itu memang sungguh menyedihkan. Semua orang Tionghoa itu pendatang, dan setelah kontrak mereka dengan perusahaan tambang timah habis, umumnya mereka pulang ke Tiongkok. Perhatian terhadap nasib para buruh tambang itu sangat minim. Tergerak oleh belas kasihan, Paulus memberikan pelayanan kesehatan. Sambil melayani kesehatan, Paulus juga mewartakan iman katolik. Di sela-sela kesibukannya sebagai tabib, ia mengajari mereka iman katolik dan mempersiapkan mereka untuk menerima baptisan. Kegiatan itu berlangsung di rumahnya. Karena itulah Paulus Tsen On Ngie dapat dipandang sebagai pendiri misi di pulau Bangka. Setelah persiapan itu, Paulus Tsen On Ngie pergi ke Malaka untuk memberitahukan pastor di sana akan adanya umat yang mau menerima baptisan. Setelah baptisan itu, barulah diketahui bahwa Sungaiselan tidak jauh dari pulau Jawa, di mana di sana ada Vikariat Apostolik Betawi. Oleh karena itu, setelah dihubungi ke Betawi, maka mulailah Sungaiselan masuk Vikariat Apostolik Betawi. Jadi, berbicara tentang Keuskupan Pangkalpinang tidak akan bisa dipisahkan dari Sungaiselan, karena sejarah keuskupan ini berawal dari sana. Perjalanan sejarah Gereja di wilayah Keuskupan Pangkalpinang selalu mengalami pasang surut. Sejarah Gereja Keuskupan Pangkalpinang dapat dibagi ke dalam 5 bagian, yaitu 1. Masa Vikariat Apostolik Betawi (1830 – 1911) 2. Masa Prefekur Apostolik Sumatera (1911 – 1923) 3. Masa Prefektur Apostolik Bangka Belitung (1923 – 1951) 4. Masa Vikariat Apostolik Pangkalpinang (1951 – 1961)
5.
Masa Keuskupan Pangkalpinang (1961 – sekarang)
Memang ada yang membagi sejarah perkembangan Keuskupan Pangkalpinang berdasarkan misionaris yang menanganinya. Misalnya, masa misionaris awam (1830 – 1853); masa misionaris praja (1853 – 1871); masa misionaris Serikat Yesus (1871 – 1912); masa misionaris Kapusin (1913 – 1924); dan masa misionaris SSCC (1924 – 1987). Setelah masa SSCC, Keuskupan Pangkalpinang kembali dikembangkan oleh praja-nya sendiri. Masa Vikariat Apostolik Betawi (1830 – 1911) Setelah resmi masuk wilayah Vikariat Apostolik Betawi, mulailah pelayanan imam didatangkan dari Jawa (Betawi atau Jakarta saat ini). Belum ada pastor yang tinggal di Sungaiselan. Paulus Tsen On Ngie tetap setia menjalankan tugas “rasul”-nya di Sungaiselan, di antara warga Tionghoa. Karena keterbatasan tenaga imam atau katekis, maka dialah yang terkadang memimpin ibadah. Tahun 1853 – 1871 misi Sungaiselan diserahkan kepada pelayanan imam-imam praja. Pastor yang pertama menetap di Sungaiselan tahun 1853 adalah Pater Y.Y. Langenhoff, Pr. Setelah ada pastor yang menetap di Sungaiselan, maka Sungaiselan dijadikan stasi. Wilayah stasi Sungaiselan meliputi daerah-daerah Bangka sendiri, Belitung, kepulauan Riau dan seluruh pantai Timur pulau Sumatera. Tahun 1854 Pater Langenhoff mengadakan kunjungan ke kepulauan Riau. Dialah pastor Sungaiselan yang pertama kali datang berkunjung ke kepulauan Riau. Waktu itu dia bertemu dengan 11 orang Tionghoa beragama katolik. Pater Langenhoff tinggal di Sungaiselan hingga tahun 1867. Selain mendirikan gereja, ia juga mendirikan rumah panti jompo. Ini untuk menjawab kebutuhan saat itu, di mana ada juga orang-orang Tionghoa yang selesai kontrak, karena satu dua hal, tidak kembali ke kampungnya. Tercatat pada tahun 1863 Pater Langenhoff mendirikan dua gereja, satu di Belinyu dan satunya lagi di Pangkalpinang (bukan katedral saat ini). Di Belinyu gerejanya dinamakan Santa Maria Dikandung Tanpa Noda. Sedangkan gereja Pangkalpinang diberi nama: Santo Yusup. Di kemudian hari, saat di pulau Bangka tidak ada pastornya, gereja Santo Yusup di Pangkalpinang itu ditinggalkan tak terpelihara. Sekarang tempat berdirinya bangunan gereja itu tidak ada yang tahu dengan pasti. Kira-kira tahun 1885 dua bidang tanah milik misi dijual dengan murah sekali, karena dianggap tak berguna lagi.
Pada tahun 1867 Pater Langenhoff ditarik. Sejak saat itu tidak ada pastor yang menetap di Sungaiselan. Hal ini berdampak pada iman umat. Jumlah orang katolik makin lama makin merosot. Apalagi waktu itu tidak ada figur seperti Paulus Tsen On Ngie untuk menggantikan peran pastor. Pada tahun-tahun itu Paulus sudah sangat tua dan tak kuat lagi menjalankan peran itu. Pada 14 September 1871 Paulus Tsen On Ngie meninggal dunia. Dia dikenang sebagai rasul awam pertama, peletak benih Injil di tanah misi yang sekarang dikenal sebagai Keuskupan Pangkalpinang. Awalnya jenasahnya dimakamkan di pemakaman katolik Sungaiselan. Namun akhirnya “dipindahkan” ke pemakamaan katolik di Pangkalpinang. Tahun 1871 – 1912 misi Sungaiselan diserahkan kepada pelayanan imam-imam dari Serikat Yesus. Tahun 1871 Pater Y de Vries, SJ menetap di Bangka, jumlah orang katolik Tionghoa masih ada 286 orang. Jumlah itu naik lagi pada tahun 1879 menjadi 420. Dalam tahun 1874-1884 wilayah Sungaiselan masih diperluas dengan daerah Kalimantan Barat. Dalam arsip yang masih tersimpan dapat dibaca perihal kunjungan pastor-pastor Sungaiselan (Bangka) ke Belitung, ke kepulauan Riau, ke daerah Palembang, dan Jambi, Siak dan Bengkalis, daerah Ketaman, ke tanah Deli, ke Kalimantan Barat: Pontianak, Singkawang, Pemangkat, Sambas, Bengkayang dan Sintang. Sejak tahun 1889 tidak ada lagi pastor yang menetap di Sungaiselan. Kunjungan terakhir pastor ke Sungaiselan terjadi pada tahun 1912. Pada waktu itu Pater Arnoldus Kortenhost, SJ sedang mempersiapkan penyerahan wilayah misi Bangka kepada misionaris baru. Karena sejak berdirinya Prefektur Apostolik Sumatera, yang diserahkan kepada imam-imam Kapusin, Sungaiselan masuk ke dalamnya. Masa Prefekur Apostolik Sumatera (1911 – 1923) Prefektur Apostolik Sumatera didirikan pada 30 Juni 1911. Wilayah prefektur baru ini, yang diserahkan penanganannya kepada imam-imam Kapusin, meliputi seluruh daerah Pulau Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk kepulauan Bangka Belitung dan kepulauan Riau. Tanggal 14 Mei 1912 Pater Liberatus Yakobus Cluts, OFM Cap. ditunjuk sebagai Prefek Apostolik Sumatera pertama. Pusat Gereja di wilayah kepulauan Bangka Belitung dan kepulauan Riau ada di Sungaiselan. Ini masih merupakan kelanjutan misi sebelumnya. Statusnya adalah
stasi. Yang menjadi wilayah dari stasi Sungaiselan adalah pulau Bangka, pulau Belitung, kepulauan Riau, tanah Palembang dan Jambi. Pastor Remigius van Hoof, OFM. Cap adalah pastor Sungaiselan. Akan tetapi, baru sekitar Maret 1913 Pater van Hoof datang ke Sungaiselan. Ketika datang ia mendapat laporan tahunan 1912 dari Pater Kortenhorst, SJ mengenai situasi terakhir Sungaiselan: situasi Gereja Sungaiselan sangat memprihatinkan. Hal yang memprihatinkan dari Stasi Sungaiselan bukan hanya sekedar jumlah umatnya, melainkan perpecahan yang terjadi di kalangan umat. Perpecahan itu berdampak pada menjelek-jelekkan kekatolikan. Di samping itu pula, ada umat katolik yang tidak memberi contoh baik bagi yang non katolik. Hal ini menambah citra buruk Gereja Katolik. Pada waktu Pater van Hoof memimpin Stasi Sungaiselan, gereja di Pangkalpinang dan Sam Hin sudah tinggal kenangan. Pada 1 September 1913, Pater van Hoof mendapat dua tenaga pembantu, yaitu Pater Electus, OFM. Cap dan Bruder Thadeus Taag, OFM. Cap. Dengan dua tenaga baru ini maka 1 Oktober 1913 Pater van Hoof mulai membuka sekolah khusus anak Belanda dan Tionghoa. Lima tahun pertama misi Kapusin di wilayah Bangka Belitung, tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Malah sebaliknya, yang terjadi adalah kemunduran. Prefek Apostolik, Mgr. Cluts, melihat kesuraman dalam misi di Bangka Belitung. Akan tetapi, Pater van Hoof masih melihat adanya harapan. Bagi Pater van Hoof, misi di Bangka Belitung bisa berkembang dengan dua syarat, yaitu perubahan cara misi dan perubahan lokasi pusat misi. Soal perpindahan pusat misi, sebenarnya sudah disuarakan oleh Pater Kortenhorst, SJ pada tahun 1912. Awalnya ide Pater van Hoof ini tidak mendapat tanggapan dari Prefek Apostolik. Beberapa kali Pater van Hoof terlibat perang urat saraf berkaitan dengan idenya ini melawan Mgr. Cluts. Akhirnya, pada 3 November 1917, Mgr. Cluts menyetujui gagasan Pater van Hoof. Setelah mengadakan penelitian, diputuskan bahwa pusat stasi dipindahkan ke Sambong. Ada empat alasan kenapa Pater van Hoof memilih Sambong sebagai pusat stasi. Pertama, kompromi dengan pemerintah Belanda; kedua, Pater van Hoof sendiri lebih suka tinggal di luar kota daripada di kota; ketiga, lebih sesuai dengan misinya (menjangkau warga Tionghoa peranakan); dan keempat, jarak Sambong dengan Pangkalpinang tidak terlalu jauh (sekitar 8 km).
16 September 1918, Pater van Hoof dan Bruder Taag tiba di Sambong. Pada Januari 1919, stasi Sambong mendapat tenaga baru, yaitu Pater Marcellinus Simon, OFM. Cap. Namun pada 3 April Pater Simon dipindahkan ke Medan; dan posisinya diganti Pater Ferdinandus van Loon, OFM. Cap. Setelah kedatangan Pater van Loon, sekolah di Sambong mulai dibuka. Selain sekolah, Pater van Hoof juga membuka kebun karet, yang mulai dikerjakan pada Februari 1919. Namun pada Juni 1920, Mgr. Cluts meminta agar pekerjaan kebun karet dihentikan karena ada berita bahwa wilayah Bangka Belitung dan kepulauan Riau akan diserahkan ke kongregasi lain. Pada Agustus 1921 Pater Mathias Brans menggantikan Mgr. Cluts sebagai Prefektur Apostolik. Awal April 1922, Mgr. Brans mengunjungi stasi Sambong. Dan pada September 1923 ia kembali mengunjungi Sambong. Ini merupakan kunjungan terakhir, karena pada pada Juni 1924 tersiar kabar bahwa Mgr. Theodosius Herkenrath, SSCC bersama rombongan misionaris SSCC sudah berangkat menuju Bangka dari Belanda. Mereka akan menggantikan posisi Kapusin di daerah misi Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Masa Prefektur Apostolik Bangka Belitung (1923 – 1951) Tanggal 27 Desember 1923 Prefektur Apostolik Sumatera dipecah menjadi 3 Prefektur. Salah satunya ialah Prefektur Apostolik Bangka Belitung. Prefektur baru ini diserahkan kepada imam-imam Konggregas Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC). Yang termasuk wilayah pastoralnya adalah wilayah keuskupan Pangkalpinang saat ini, kecuali daerah Kateman di Indragiri di Pulau Sumatera. Memang awalnya daerah Kateman itu masuk Prefektur Apostolik Bangka dan Belitung, namun kemudian hari dimasukkan ke wilayah Padang. Prefektur Apostolik yang pertama adalah Mgr. Theodosius Herkenrath, SSCC. Ketika misionaris SSCC pertama datang ke Bangka (14 Agustus 1924), mereka tidak mendapatkan tempat itu tanpa gembala. Masih ada Pater Verbrugge, OFM Cap di Sambong, yang memang sedang menunggu kedatangan misionaris baru di Prefektur Apostolik yang baru. Pater Verbrugge masih memberikan laporan yang berharga untuk misionaris SSCC dan sempat mendampingi para misionaris SSCC itu untuk mengunjungi beberapa tempat. Baru tanggal 9 Oktober pater Kapusin itu meninggalkan Prefektur Apostolik Bangka Belitung. Pada tahun 1925 Muntok ditetapkan sebagai stasi tetap. Pastor yang pertama menetap di sana adalah Pater Meijer, SSCC. Selain gedung gereja, di sana juga dibangun sekolah, asrama dan susteran. Setahun kemudian Manggar juga
ditetapkan sebagai stasi tetap dengan pastor pertamanya adalah Pater van Soest, SSCC. Dalam bulan Maret 1925, Mgr. Herkenrath melakukan kunjungan pertama ke wilayah kepulauan Riau. Tempat yang dikunjunginya adalah Tanjung Pinang dan pulau Singkep. Bulan November Mgr. Herkenrath mengunjungi Moro. Pada tahun 1926 Mgr. Herkenrath mengajukan permohonan mundur; dan baru dua tahun kemudian permohonan itu dikabulkan. Penggantinya adalah Pater Vitus Bouma, SSCC. Pada 3 Desember 1928, Mgr. Bouma memberkati gereja di Moro. Waktu itu Moro masuk wilayah Stasi Kepulauan Riau, yang pelayanannya datang dari Pater Meijer yang menetap di Singapura. 5 November 1929 Belinyu dijadikan stasi tetap dengan pastor pertamanya adalah Pater Zaat. Pater Zaat berhasil memulihkan nama baik Gereja Katolik. Ia mendirikan asrama dan sekolah. Pada Juni 1931 asrama dan sekolah itu diserahkan penanganannya kepada para suster. Tahun berikutnya (1930) stasi Pangkalpinang ditetapkan. Pater Bakker menjadi pastor pertama. Mengingat perkembangan Sambong kian suram, maka Mgr. Bouma memutuskan untuk memindahkannya ke Pangkalpinang. (Mei 1931). Dalam bulan Juli 1933, Sungailiat ditetapkan sebagai stasi. Pastor pertamanya adalah Pater Allard. Di sinipun usaha misi adalah membangun sekolah dan asrama. Setahun berikutnya, persisnya pada 15 Agustus 1934, ada stasi baru, yaitu stasi Air Mesu. Awalnya tempat ini merupakan kebun karet peninggalan Kapusin. Namun sebagian besar kebun karet itu diganti dengan lada (sahang). Karena itulah, tempat itu dikenal dengan nama Kebun Sahang. Oleh Mgr. Bouma dibangun di tengahtengah kebun itu sebuah rumah untuk istirahat dan kumpul para misionaris. Ada juga kapelnya yang terbuka juga untuk umat di sekitarnya. Ada peristiwa penting yang terjadi pada 25 April 1935. Yohanes Mario Boen Thiam Kiat, yang merupakan putra kelahiran Bangka, ditahbiskan jadi imam diosesan di Gereja Pangkalpinang. Yang menahbiskannya adalah Mgr. Brans OFM Cap. Waktu itu Boen baru berumur 27 tahun. Setelah ditahbiskan, imam muda ini ditugaskan di Belinyu hingga tahun 1939. Pada 18 Mei 1935 Tanjung Balai Karimun menjadi stasi. Pater Tromp menjadi pastor pertamanya. Wilayahnya meliputi pulau Karimun, pulau Kundur, pulau Sugi Bawah (Moro) dan juga daerah Kateman/indragiri di Sumatera. Selain menangani wilayahnya sendiri, pastor Tanjung Balai Karimun juga mengunjungi Tanjung Pinang, Tanjung Uban dan tempat-tempat lain, seperti pulau Sambu dan Singkep.
Tahun 1937 Mgr. Bouma mendirikan konggregasi suster pribumi dengan nama Konggregasi Suster-suster Dina Keluarga Suci (KKS). Namun baru pada tanggal 27 April 1938 Mgr. Bouma mendapat izin resmi dari Roma untuk pendiriannya. Tanggal 12 Februari 1939 Tanjung Pinang ditetapkan menjadi stasi. Yang menjadi pastor pertama adalah Pater Meijer. Stasi terakhir yang ditetapkan sebelum pecah Perang Dunia II adalah stasi Tanjung Pandan (tahun 1941). Pater Mul yang merintis sekaligus pastor pertama di sana. Ketika pecah Perang Dunia II, Komandan tentara KNIL di Bangka memerintahkan untuk mengungsikan wanita dan anak-anak Belanda serta 23 suster ke Jawa. Mgr. Bouma meminta Pater Corijn untuk mendampingi rombongan. Mereka berangkat pada 7 Februari 1942 melalui pelabuhan Pangkalbalam. Pada 15 Februari tentara KNIL meninggalkan Bangka dan mengundurkan diri ke tanah Jawa. Pater Lahaye, yang diangkat Mgr. Bouma menjadi pastor tentara, ikut menyertai mereka. Bruder Antonius juga ikut bersama mereka. 15 Februari 1942 tentara Jepang mendarat di Muntok. Pada hari itu juga Pater Bakker dan Pater van der Knaap ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Muntok. Misionaris lain ditangkap dan dipenjarakan di Pangkalpinang. Tercatat ada 15 bruder BM dan 11 imam SSCC serta seorang bruder SSCC. Para misionaris yang berkarya di kepulauan Riau ditahan di Singapura. Situasi penjara Pangkalpinang sangat memprihatinkan. Pada April 1944 Pater Mars meninggal di penjara. Sebulan sesudah kematian Pater Mars, tawanan dipindahkan ke penjara Muntok. Dalam waktu 9 bulan, ada 12 misionaris yang meninggal. Pertama adalah Bruder Richardus, BM (21 Juni 1944); menyusul Pater van Gorp (7 Agustus), Bruder Yosephus, BM (6 Oktober) dan Bruder Sabinus, BM (24 Oktober), Bruder Laurentius, BM dan Pater Nieuwe Weme (22 November), Bruder Ludwinus, BM (2 Desember), Pater van Gelder (9 Desember), Bruder Pakomius, SSCC (15 Desember), Bruder Hermenegild, BM (2 Januari 1945), Pater van der Knaap (10 Februari) serta Bruder Simplicianus, BM (22 Februari). Pada bulan Maret 1945 para tawanan dipindahkan ke penjara Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Keberangkatan tawanan dibagi dalam tiga gelombang. Mgr. Bouma masuk gelombang ketiga. Saat itu keadaan Mgr. Bouma sudah sangat memprihatinkan. Tanggal 19 April 1945 ia meninggal. Sebelum meninggal ia berpesan kepada para misionaris bahwa Kristus mencapai puncak pengabdian-Nya justru pada saat Dia tanpa daya bergantung di kayu salib. Dua hari setelah Mgr. Bouma meninggal, Pater Mul menyusul. Dan dalam bulan Juni ada dua lagi
misionaris yang meninggal, yaitu Pater Nijssen (6 Juni) dan Pater Bakker (14 Juni). 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah. Sisa tawanan dibebaskan. Tak lama setelah dibebaskan, mereka kembali kepada tugasnya masing-masing. Namun karena kondisi fisik yang masih lemah, maka usaha pelayanan pun sedikit terhambat. Banyak di antara misionaris itu membutuhkan istirahat panjang demi pemulihan kesehatan. Untuk mengisi kekosongan pimpinan Gereja Prefektur Apostolik, Pater van Soest dipilih sebagai Administrator Apostolik. 30 November 1946 Mgr. van Soest tiba di Bangka. Dalam bulan Maret 1947 Mgr. van Soest memberi izin untuk membuka postulat KKS. Dan setahun kemudian (18 Meret 1948) Mgr. van Soest meresmikan pembukaan gedung novisiat KKS. Masa Vikariat Apostolik Pangkalpinang (1951 – 1961) Tangal 8 Februari 1951 Prefektur Apostolik Bangka Belitung diubah statusnya menjadi Vikariat Apostolik. Nama yang dipakai adalah Vikariat Apostolik Pangkalpinang. Sedangkan wilayahnya masih seperti sebelumnya. Vikaris Apostolik yang pertama adalah Mgr. van der Westen yang ditahbiskan menjadi uskup pada 20 Mei 1951 di gereja Pangkalpinang. Pada masa kepemimpinan Mgr. van der Westen, ada beberapa kebijakan dilakukan. Pertama soal perpindahan imam. Jika sebelumnya imam-imam terlalu cepat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain, maka kini sedikit agak lama. Selain itu, mulai dibuka stasi-stasi baru. Tahun 1952 dibuka stasi Singkep, namun tahun 1954 ditutup lagi. Tahun 1957 dibuka stasi Tanjung Batu. Bulan Agustus 1950 banyak sekolah-sekolah misi diubah menjadi sekolah Indonesia. Pater Molenkamp, pada tahun 1951 membuka asrama di Belinyu untuk menjaring bibit-bibit panggilan. Harapannya adalah asrama itu bakal berubah menjadi seminari. Salah satu kekurangan misi waktu itu adalah minimnya usaha pendekatan kepada penduduk pribumi. Bukan berarti tidak ada pendekatan. Sudah ada usaha untuk itu tetapi selalu gagal. Pada bulan Oktober 1953, Pater de Bruijn dan Pater Mooy mengadakan kunjungan ke kepulauan Anambas, Tambelan dan Bunguran (Natuna). Ternyata mereka adalah imam pertama yang mengunjungi pulau-pulau di perairan laut Cina Selatan. Di sana mereka bertemu dengan 7 orang katolik. Masa Keuskupan Pangkalpinang (1961 – sekarang) 3 Januari 1961 Vikariat Apostolik Pangkalpinang diubah statusnya menjadi
Keuskupan Pangkalpinang. Mgr. G. van der Westen, diangkat menjadi uskup pertama. Peresmian sebagai uskup terjadi pada 17 September 1961. Pada tahun 1961 Keuskupan Pangkalpinang terdiri dari 9 paroki: Pangkalpinang, Muntok, Belinyu, Sungailiat, Manggar, Tanjung Pandan, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang dan Tanjung Batu (Moro). Tahun 1967 jumlah paroki berkurang menjadi 7 buah, sebab paroki Manggar menjadi stasi dari paroki Tanjung Pandan dan paroki (Moro) Tanjung Batu menjadi stasi dari paroki Tanjung Balai Karimun. Perlahan-lahan terjadi perkembangan jumlah umat. Salah satu penyebabnya adalah kedatangan para perantau dari Flores. Hal ini berimbas pada pembangunan gereja dan kapela di beberapa stasi. Melihat perkembangan itu, maka 12 – 15 Desember 1967 diadakan Musyawarah Kerja Katolik Pertama, yang dihadiri oleh para imam, biarawan biarawati dan kaum awam. Beberapa hasil dari keputusan Murkat I adalah terbitnya Majalah BERKAT sebagai media komunikasi dan informasi seluruh umat di Keuskupan Pangkalpinang; terbentuk dewan-dewan di paroki dan dewan sosial keuskupan; sistem kelompok (lingkungan dan kring) di paroki mulai muncul. Keuskupan Pangkalpinang terus melaksanakan karyanya, bukan hanya untuk Gereja Katolik, melainkan juga untuk masyarakat umumnya. Di bidang pendidikan didirikan Yayasan Tunas Karya (1958). Di bidang kesehatan, pada 1 April 1970 dibuka sebuah BKIA di Pangkalpinang, lalu di Belinyu (17 Juni 1971) oleh suster-suster Pemeliharaan Ilahi. Di Sungailiat ada sanatorium yang dikelola oleh bruder Budi Mulia. Namun pada 31 Agustus 1972, Jawatan Kesehatan Masyarakat mengubah status sanatorium itu menjadi rumah sakit umum yang ditangani pemerintah. Dan di bidang sosial ekonomi, tahun 1970 didirikan yayasan Cipta Karya. Kehadiran yayasan ini dilihat sebagai wujud pewartaan kasih kristiani. Tanggal 26 Juni – 6 Juli 1979 diadakan Lokakarya Perencanaan Pastoral di Pangkalpinang, yang dihadiri oleh tokoh umat dari paroki-paroki. Lokakarya ini dipandu oleh Pater Jito Pandrio, SJ serta Pater Krekelberg, SJ. Karena faktor usia dan kesehatan Mgr. van der Westen mengajukan permohonan mundur. Pada 31 Januari 1979 permohonan mundur diterima resmi oleh Vatikan. Vatikan mengangkat Pater Rolf Reichenbach SS.CC sebagai Administrator Apostolik untuk memimpin Keuskupan Pangkalpinang. Serah terima pimpinan keuskupan diadakan di kapel Santa Brigita Kebun Sahang, Pangkalpinang, pada 19 Februari 1979. Mgr. Reichenbach menjadi Administrator Apostolik sampai 1987. Pada tahun 1980 beberapa konggregasi suster masuk dan berkarya di Keuskupan Pangkalpinang. Ada suster-suster JMJ yang berkarya di paroki Tanjung Pinang,
menangani BP/BKIA, asrama dan karya pastoral lainnya. Ada juga suster-suster FSE yang berkarya di paroki Lubuk Baja, menangani BP/BKIA dan karya pastoral lainnya. Ada pula suster-suster CB yang berkarya di paroki Pangkalpinang, asrama dan rumah pembinaan Puri Sadhana serta karya pastoral lainnya. Yang terakhir adalah Abdi Kristus yang datang berkarya di paroki Belinyu dan kemudian pindah ke Sungailiat. Peristiwa duka menyelimuti umat Keuskupan Pangkalpinang. Tanggal 30 Juni 1982, imam projo pertama Keuskupan Pangkalpinang meninggal dunia dalam usia mendekati 74 tahun. Beliau dimakamkan di pekuburan katolik Pangkalpinang. Semasa hidupnya Pater John Boen terkenal ramah dengan semua kalangan, bukan hanya umat katolik saja melainkan juga umat Konghuzu dan muslim. Pater Boen dikenal sebagai “pastor pengemis”. Ia sendiri pernah berkata, “Kalau uang derma yang saya terima ditotalkan, mungkin tiga rumah gedung dapat dibuat dari uang itu.” Pada 2 Mei 1987 Vatikan mengangkat Pater Hilarius Moa Nurak SVD menjadi Uskup Keuskupan Pangkalpinang. Tahbisan Uskup Hilarius dilaksanakan pada 2 Agustus 1987 bertempat di halaman SMP Budi Mulia Pangkalpinang. a) Dari Lokakarya Pastoral Menuju Sinode Untuk menjawab kebutuhan dan tantangan Gereja, Mgr. Hilarius Moa Nurak SVD mengundang tokoh-tokoh umat, seluruh imam dan staf keuskupan untuk mengadakan Lokakarya Pastoral I di Pangkalpinang pada 21–27 Februari 1991. Lokakarya yang dipandu oleh Pater F. Heselaars, SJ berhasil merumuskan visi-misi keuskupan Pangkalpinang dan prioritas karya pastoral tahun 1991-1994: Pastoral keluarga dan kaum muda; peningkatan mutu pelayanan; Dana/kesadaran berderma. Berdasar hasil lokakarya ini Mgr. Hilarius membentuk Sekretariat Pastoral (SEKPAS) dengan tugas utama mengkoordinir pelaksanaan pastoral berdasar hasil lokakarya. Pada 6 Oktober 1991, untuk melayani reksa pastoral di pulau Batam, didirikanlah sebuah paroki yang berpusat di Lubuk Baja. Reksa pastoral di paroki ini diserahkan kepada imam-imam SVD. Pastor pertamanya adalah Pater ATJ. Nasraya, SVD. Dan karena jumlah umat berkembang, maka Tanjung Balai Karimun, yang sempat dilebur ke Paroki Tanjung Pinang pada 1975, dikukuhkan kembali menjadi paroki pada 4 September 1994. Pastor paroki pertamanya adalah Pater Johanes Vincentius Pioneer. Tahun 1993 suster-suster FCh datang berkarya di Keuskupan Pangkalpinang. Ada dua paroki tempat pelayanan mereka, yaitu paroki Lubuk Baja dan paroki Tanjung
Pandan. Selain membantu karya pastoral paroki, para suster ini menangani sekolah juga. Menindaklanjuti Lokakarya I, maka pada 16-21 Februari 1995 Mgr. Hilarius kembali mengadakan Lokakarya Pastoral II di Pangkalpinang. Lokakarya dipandu oleh Peter R. Hardawiryana, SJ dan menghasilkan pembaharuan visi misi Keuskupan Pangkalpinang dan menetapkan prioritas karya pastoral tahun 1995-2000 yakni pastoral keluarga dan kaum muda; Pengembangan Sosial Ekonomi dan Pewartaan. Pada 11 Juni 1995, paroki St. Petrus Lubuk Baja dipecah menjadi 2 dengan nama Paroki “Beato Damian” Bengkong. Paroki baru ini dilayani oleh tenaga imam-imam SS.CC. Pastor paroki pertamanya Pater Josef Antonius L.M. van der Sterren, SS.CC. Dan pada 1 Oktober 1997, wilayah kepulauan Lingga dijadikan Kuasi Paroki dengan pusatnya di Ujung Beting. Setelah dua kali lokakarya, Mgr. Hilarius, melalui Surat Gembala tahun 1999, menetapkan bahwa akan diselenggarakan sinode, sekaligus sebagai pembukaan tahun Yubelium. Maka 16-23 Januari 2000 diadakan Sinode Keuskupan Pangkalpinang bertempat di Pangkalpinang. Sinode didampingi oleh Pater Piet Go, O. Carm dan menghasilkan spiritualitas, visi, misi, dan prioritas karya pastoral umat Allah Keuskupan Pangkalpinang 2000-2010 yang dituangkan dalam buku “Marilah melangkah maju dalam persaudaraan”. Salah satu perwujudan dari hasil sinode adalah terbentuknya Dekenat Utara yang meliputi paroki-paroki yang ada di wilayah Kepulauan Riau, seperti Tanjung Pinang, Tanjung Balai, Lubuk Baja dan Bengkong serta Kuasi Paroki Ujung Beting. Tanggal 26 April 2000, Mgr. Hilarius mengangkat Pater Felix Supranto, SS.CC sebagai Deken Pertama. 1 Juli 2003 baru dibentuk lagi satu Dekenat Selatan yang meliputi paroki-paroki yang ada di wilayah Kepulauan Bangka dan Belitung. Deken pertama adalah Pater Petrus Sunarto. Pada 9 Mei 2002 berdirilah paroki di Koba, yang sebelumnya termasuk stasi dari paroki katedral. Pastor paroki yang pertama adalah Pater Andreas Naraama Lamoro. 1 November 2003, Mgr. Hilarius kembali memutuskan untuk mendirikan paroki baru di Tembesi, yang semula masuk dalam paroki Lubuk Baja. Pastor Kepala Paroki pertama Pater Lucius Poya. Tahun 2003 suster-suster CB tidak melanjutkan lagi kontrak karyanya. Sebagai gantinya masuklah suster-suster SSpS. Mereka membantu di BP/BKIA, asrama dan karya pastoral lainnya. Pada tahun itu juga datang suster-suster RGS. 30 Maret 2008 kembali terjadi pemekaran paroki. Wilayah Tiban, yang sebelumnya
masuk Paroki Lubuk Baja, diresmikan menjadi paroki. Dan setahun kemudian, Kuasi Paroki Ujung Beting diubah statusnya menjadi paroki. Sejak saat ini, wilayah dekenat Utara memiliki 7 paroki, sama seperti dekenat Selatan. 30 Maret 2011 terbentuklah Seminari Menengah Mario John Boen. Proses pembentukannya sedikit menghadapi tantangan. Dua kali mengalami penolakan lokasi, sampai akhirnya dipilih di bekas asrama putera, Pangkalpinang. Setelah mengadakan persiapan mulai dari tingkat paroki dan dekenat, Keuskupan Pangkalpinang akhirnya mengelar sinode kedua, 2 – 8 Agustus 2011 di Hotel Seratta Terrace, Pantai Pasir Padi, Pangkalpinang. Di sela-sela sidang sinode ini, menjelang akhir sinode, terjadi peristiwa mengharukan. Bapak Bartolomeus Tolus, salah seorang peserta sinode utusan paroki Koba meninggal dunia. Sama seperti sinode pertama, sinode kedua ini pun menghasilkan spiritualitas, visi, misi, dan prioritas karya pastoral umat Allah Keuskupan Pangkalpinang untuk sepuluh tahun ke depan. Semua itu tertuang dalam buku “Menjadi Gereja Partisipatif”. Salah satu perwujudan dari hasil sinode adalah perubahan status dekenat menjadi kevikepan. Soal pembagian wilayahnya masih mengambil pola lama. Maka pada 19 Januari 2013, Mgr. Hilarius menetapkan terbentuknya kevikepan di Keuskupan Pangkalpinang. Pada 26 April 2013 Bapak Uskup mengangkat Pater Frans Mukin sebagai Vikep Kepulauan Bangka Belitung dan Pater Lucius Poya sebagai Vikep Kepulauan Riau. Tahun 2013 keuskupan mengundang Tarekat Suster PRR berkarya di Toboali, Paroki Koba. Mereka berkarya di bidang pendidikan dan pastoral parokial. b) Tahbisan Imam Putra Daerah Setelah 3 dekade lebih, baru muncul lagi tahbisan imamat putra daerah, yaitu Martin Irawan, putra kelahiran Tanjung Balai Karimun. Ia ditahbiskan 25 Januari 1972. Berbeda dengan Pater John Boen, Pater Martin memilih SSCC. Tiga tahun kemudian, yaitu 14 Desember 1975, Pater Fransiskus Xaverius Hendrawinata ditahbiskan di Pangkalpinang. Pater Hendra merupakan putra kelahiran Bangka. Baru 13 September 1992 ditahbiskan putra daerah kelahiran Tanjung Pinang di Kijang. Dialah Fransiskus Atbau Oedjan. Pater Atbau merupakan produk pertama asrama pembinaan yang dirintis misionaris SSCC. Tahbisan putra daerah kelahiran Bangka terjadi lagi pada 26 Juni 1999. Nikolaus Kristiono Widodo ditahbiskan menjadi imam di Pangkalpinang. Ia masuk konggregasi SSCC (namun pada 26 Agustus 2008 ia inkardinasi dengan keuskupan). Setelah bergembira atas tahbisan Pater Atbau Oedjan, umat paroki Tanjung Pinang bergembira karena putra paroki mereka ditahbiskan menjadi imam. 1 Juni 2000,
Aleksander Dato, yang merupakan putra dari umat stasi Teluk Dalam, ditahbiskan menjadi imam bersama Patrisius Breket. Keduanya adalah imam SSCC. Upacara tahbisan dilangsungkan di Gereja Batu Kucing. 25 November 2007, umat Tanjung Pinang merayakan tahbisan imam putra daerah mereka, yaitu Andreas Poldo Situmorang. Dan tiga tahun berikutnya, pada 28 Mei 2010, Pastor Chrisantus Paskalis Saturnus Esong ditahbiskan bersama Pastor Robertus Yudi Kristianto. Pastor Paskalis adalah putra kelahiran keuskupan, yang berasal dari Dabo-Singkep, yang waktu itu masuk wilayah Kuasi Paroki Ujung Beting. c) Takhta Lowong Pada 29 April 2016, sekitar pukul 13.15 WIB, kabut duka menyelimuti wilayah Keuskupan Pangkalpinang. Mgr Hilarius, setelah seminggu hidup koma, akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di RS Mount Alverna, Singapura. Jenasah Bapak Uskup akhirnya disemayamkan di kompleks Goa Maria Ratu Para Imam, yang ada di kompleks keuskupan pada 2 Mei. Berselang beberapa jam setelah kematiannya, Takhta Suci memutuskan untuk mengangkat Mgr. Yohanes Harun Yuwono sebagai Administrator Apostolik. Komisi-Komisi