Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa
Tim Liturgi Sinode GKJ
Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa Tim Liturgi Sinode GKJ
Pengantar Ecclesia reformata semper reformanda. Pembaruan Gereja merupakan keniscayaan. Namun, itu tidak berarti bahwa Gereja harus melulu ikut tren dan arus dunia. Tidak sama sekali. Namun, pembaruan di sini merupakan upaya Gereja agar tetap bersifat, bersikap, dan bertindak kontekstual. Gereja memang tidak berada dalam ruang hampa. Pembaruan itu pun seharusnya bukan tanpa dasar. Dasarnya, menurut surat Paulus kepada umat Allah di Roma, pembaruan budi. Budi di sini dapat dipahami sebagai akal-budi; nalar-hati; atau nalar-rasa. Ada kaitan antara pikiran dan perasaan. Bagaimanapun, budi sendiri melingkupi keutuhan manusia, yakni: apa yang dia pikir, rasa, dan tindak! Inilah dasar utama penerbitan buku Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa. Penerbitan buku ini merupakan penggenapan logis dari Sinode XXV GKJ yang telah menjadikan leksionari sebagai dasar pemberitaan Firman Tuhan. Dari judulnya jelas, ada pengakuan akan kebutuhan pembaruan liturgi. Dan pembaruan itu sendiri tak pernah berakhir. Karena itu, istilah ”menuju” menjadi penting dan bermakna. Dengan istilah tersebut, Tim Liturgi dengan tangan dan hati terbuka menerima masukan gereja-gereja agar pada akhirnya tercipta tata ibadah yang makin kontekstual. Oleh karena itu, ucapan terima kasih layak diberikan kepada Tim Liturgi Sinode GKJ—Pdt.Firdaus Tjahjanto Kurniawan, Pdt. Darsono Eko Nugroho, Pdt. Setiyadi, Pdt. Sundoyo, Pdt. Teguh Prasetyo Adi, Pdt. Uri Christian SL— yang di tengah keseharian sebagai pelayan umat, telah merancang buku ini; juga kepada setiap pembaca yang rindu mengadakan pembaruan di bidang liturgi. Segala puji bagi Tuhan!
Bapelsin XXV bidang PWG 5
1. Pendahuluan Dalam perjalanan sejarah, sejak Gereja Perdana, Gereja telah berupaya melakukan pembaruan-pembaruan liturgi. Sejalan dengan perkembangan teologi, perubahan masyarakat, dan cara mengekspresikan diri, pembaruan liturgi terus berjalan hingga sekarang. Munculnya Gerakan Liturgi pada 1909 di Eropa yang kemudian menyebar ke lingkungan Gereja Roma Katolik, dipandang sebagai suatu gerakan yang dikemudian hari mendorong gereja-gereja untuk lebih serius menggumuli masalah liturgi. Dalam rangka pembaruan liturgi ini, DGD (Dewan Gereja Dunia) melakukan penelitian yang melihat adanya konvergensi tradisi gereja arus utama dengan gereja-gereja aliran Pentakostal dan Kharismatik. Hasilnya dilaporkan dalam dokumen Baptism, Eucharist and Ministry. Di lingkungan GKJ, sejak berdiri pada 17 Februari 1931, usaha pembaruan liturgi pertama kali dilakukan pada 1950 (Art. 52 Akta II Sinode GKJ Tahun 1950). Usaha itu terus menerus dilakukan hingga 1964 (Art. 69 Akta IX Sinode GKJ 1964). Untuk membangkitkan kembali gereget warga gereja dalam beribadah, usaha pembaruan itu terus dilanjutkan dari tim yang satu ke tim lainnya, hingga terakhir diputuskan dalam Sidang Sinode Kontrakta GKJ 1991. Liturgi inilah yang secara resmi dipakai GKJ sampai sekarang ini— disebut juga Liturgi Baku. GKJ sebagai gereja yang telah turut serta secara aktif dalam gerakan oikumene (menjadi anggota PGI, DGA, dan DGD), hasil yang dicapai DGD perlu diperhatikan pula oleh GKJ. Pada pihak lain, GKJ, sebagai gereja yang mewarisi tradisi Gereja Reformasi Belanda, perlu mempertimbangkan warisan tradisi tersebut. Dan ternyata, hasil pembaruan liturgi DGD itu tidak semuanya asing bagi GKJ. Melihat hasil yang telah dicapai oleh GKJ tahun 1991, tampaknya pembaruan liturgi yang dilakukan kecuali menggali sumbernya dari Gereja Perdana dan dari Didache serta tulisan-tulisan klasik lainnya, juga telah menampung pokok-pokok gagasan pembaruan liturgi DGD itu. Proses inilah 6
yang sebenarnya perlu ditambahkan dalam penjelasan liturgi GKJ yang sudah kita pakai selama ini, agar kita mengerti bahwa liturgi yang kita pakai selama ini tidak terkesan ketinggalan zaman karena telah mempertimbangkan hasil-hasil penelitian mutakhir dari DGD. Sementara usaha untuk memasukkan penjelasan dalam buku Liturgi sedang diusahakan, seiring dengan adanya kesadaran akan pentingnya Tahun Gerejawi/Kalender Gerejawi sebagai kerangka pemeliharaan iman warga gereja, muncullah gagasan perlunya menggali pemahaman tentang leksionari. Hasil-hasil usaha menggali makna Tahun Gerejawi/Kalender Gerejawi berikut Leksionarinya, GKJ berupaya mengusahakan adanya Liturgi Leksionari. Usaha itu sampai sekarang masih terus berproses, belum final. Hasil-hasil sementara yang dicapai dalam usaha pembaruan Liturgi ini dicantum dalam Liturgi Leksionari Variasi. Pembakuan Liturgi GKJ yang diperbarui dirasa perlu dilakukan dengan terlebih dahulu memahami sejarah dan dasar teologis dari liturgi tersebut sampai pada praksis liturgi di jemaat-jemaat GKJ. Gereja Kristen Jawa (GKJ) dalam PPA (Pokok-pokok Ajaran) GKJ-nya menandaskan bahwa ”Ibadah jemaat adalah cara orang-orang percaya bersama-sama mengungkapkan dan menghayati hubungan dengan Allah”1, sebagai hubungan dialogis antara Allah dan manusia.
2. Pemahamanan Dasar Sejarah bagi Pembaharuan Liturgi Di dalam sejarah liturgi Protestan, berkembang dan bermunculan pula berbagai jenis liturgi. James White2 berpendapat bahwa ibadah Protestan dapat dibagi ke dalam sembilan tradisi liturgis (Nine Protestant Liturgical Traditions) yang semuanya berasal dari induk tradisional liturgi barat (Roma), yaitu: 1 2
Sinode GKJ, PPAGKJ, pertanyaan dan jawaban 117. White, James F., Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm 25-26.
7
1. Liturgi Lutheran yang berasal dari Wittenberg bertumbuh subur di negara-negara Jerman dan Skandinavia pada abad ke-16; dan sejak itu menyebar keseluruh dunia. 2. Liturgi Reformed (Calvinis) lahir di Swiss (Zurich dan Jenewa) dan Prancis (Strasbourg) dan dengan cepat menyebar ke seluruh Belanda, Skotlandia, Hungaria dan Inggris. 3. Anabaptis mulai di Swiss pada 1520-an. 4. Liturgi Anglikan dari Gereja nasional Inggris dan mempresentasikan banyak kompromi politis yang diperlukan bagi sebuah Gereja nasional. 5. Tradisi Puritan dan Separatis adalah protes terhadap kompromikompromi yang tampak bertentangan dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci. 6. Quaker yang muncul pada abad ke-17 menantikan yang khusyuk akan Allah tanpa bantuan khotbah, nyanyian, dan pembacaan Kitab Suci. 7. Metodis yang muncul pada abad ke-18 dengan menggabungkan banyak aliran, baik dari zaman kuno maupun reformasi, khususnya meminjam tradisi Anglikan dan Puritan. 8. Tradisi Fontier yang lahir dari Amerika mengembangkan peribadahan bagi orang-orang yang tidak memiliki gereja dan sangat mencolok dalam acara-acara mimbar Kristen di televisi. 9. Pentakostal yang lahir di Amerika pada abad ke-20 dengan orang-orang kulit hitam dan para wanita sebagai pelopor tradisi ini. Gerakan Reformasi abad ke-16 melahirkan beberapa unsur baru di dalam pembentukan liturgi. Sejalan dengan perkembangan Gereja-gereja Reformasi di Eropa dan pembaruan Gereja Inggris, liturgi Reformasi bergulir ke seluruh Eropa, Inggris, dan Afrika. Lutheran berkembang di Lituania, Latvia, Estonia, Skandinavia. Sedangkan Calvinis atau Reformed berkembang di Perancis, Jerman dan Belanda. Perkembangan itu begitu cepat dan meluas dan hal itu menyebabkan munculnya keberbagaian corak di dalam tubuh Gereja-gereja Reformasi. Demikian pula dalam hal ekspresi liturgi, sehingga muncullah istilah liturgi Protestan atau liturgi Reformasi.
8
Sesungguhnya yang melakukan pembaruan liturgi tidak hanya kalangan Reformasi. Sebelum reformasi, para rahib Benediktin memiliki sumbangan besar bagi pembaruan liturgi Gereja, khususnya untuk ibadah harian dan doadoa pribadi (devosi). Bahkan pada awalnya, gerakan reformasi tidak melakukan pembaruan liturgi tetapi hanya sedikit penyesuaian. Pentingnya mimbar untuk mengganti altar, dan tekanan pada firman Allah untuk mengimbangi ekaristi. Luther dan Calvin berada di baris ini. Perbedaan terhadap pandangan teologi ekaristilah yang membawa pada proses penyesuaian-penyesuaian dengan tetap mempertahankan struktur dasar misa Gereja Katholik. Calvin memperkaya dengan Mazmur serta Hukum, sekaligus memperkurus dengan menghilangkan banyak nyanyian ordinarium dalam Perjamuan Kudus. Watak dasar Perjamuan Kudus sebagai sebuah perayaan digeser menjadi persidangan yang menentukan siapa menerima absolusi dan siapa yang harus diekskomunikasi. Selain itu, reformasi menggeser pusat ibadah dari perayaan ekaristi dengan pelayanan firman Allah, sekalipun sesungguhnya Calvin tetap mengakui ekaristi sebagai puncak atau mahkota ibadah. Bagi Luther dan Calvin, yang terpenting dalam ibadah ialah umat mengalami dengan nyata tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus, dan itu hanya bisa dialami bila kepada mereka firman Allah diberitakan dengan murni dan dalam bahasa yang dapat dimengerti umat, dan sakramen dilayankan dengan benar. Dalam setiap ibadah Minggu harus ada pemberitaan firman Allah yang murni (sola scriptura). Liturgi Reformasi berada dalam keterikatan sebagai penerus dari para pendahulu. Keterikatan ini tidak berarti hanya mengulangi ritus yang selalu dilayankan secara kaku sejak dahulu kala. Luther dan Calvin tidak berniat merombak misa Roma, kecuali hal-hal praktis yang ditampilkan melalui ritus-ritus. Luther meneruskan dan mengembangkan misa Roma di Jerman. Calvin meneruskan dan mengembangkan liturgi Schwarz dan Bucer di Strassburg dan Jenewa. Schwarz dan Bucer pun menyusun liturgi berdasarkan misa Roma.3 Sekalipun Calvin menolak ajaran Transsubstansiasi, namun ia menekankan ”kehadiran Yesus secara nyata” (presentia realis) dalam 3
Rachman, Rasid, Pembaruan Liturgi Protestan, hlm 31.
9
tanda-tanda sakramen, sebagai alat komunikasi Kristus dan umat. Perjamuan Kudus, menurut Calvin, harus diadakan setiap hari Minggu, bukan hanya tiga bulan sekali. Namun pada akhirnya ia menerima dan ”hanya” bisa menetapkan dan melakukannya sebulan sekali.4 Calvin memberi sumbangan besar dalam perkembangan liturgi. Di Strassburg, ia dan teman-temannya berhasil menyusun tata ibadah dan nyanyian jemaat yang kini menjadi warisan bagi Gereja Reformasi. Ketika Calvin diangkat sebagai pendeta di kota Jenewa (1536), jemaat memakai tata ibadah yang disusun oleh Ulrich Zwingli. Tata ibadah tersebut tidak memakai pola dasar tata ibadah ekaristi abad pertengahan (sebagaimana liturgi Luther), tetapi berdasarkan semacam ibadah pelayanan firman Allah yang bertujuan mengajarkan unsur-unsur pokok iman Kristen. Di Strassburg Calvin meneruskan karya menciptakan tata ibadah baru, berdasarkan liturgi tradisional dan terinspirasi ritus yang dikembangkan Guillamue Farel, dan menyelesaikannya pada 15405. Pada 1545 di kota itu juga terbit edisi yang menggabungkan tata ibadah terbitan Jenewa dan tata ibadah yang disusun Calvin.6 Kedua liturgi tersebut sepola namun saling berbeda dalam beberapa ritus. Dalam pemahaman Reformasi tidak ada liturgi yang ideal dan mapan sehingga dapat dipakai untuk segala masa dan tempat. Konsensus ekumenis tentang dasar-dasar tata ibadah yang paling mendasar dan secara sadar mengaku bahwa tata ibadah yang ada sangat dipengaruhi oleh berbagai budaya. Diakui juga norma dasar dan universal dari itu semua adalah Kristus sendiri.7 Namun demikian, dari berbagai aliran dalam ibadah Protestan ini, disamping memperlihatkan perbedaan (diversity), juga memperlihatkan ketetapsamaan (constancy). Untuk itulah, World Council of Churches (WCC) 4 5 6 7
Riemer G., Cermin Injil, Ilmu Liturgi, Jakarta, YKBK/OMF, 1995, hlm 159-161 Ibid. hal. 157 – 161, band. Thurian, Max and Wainwright, Geoffrey (Ed.), Baptism and Eucharist, Ecumenical Convergence in Celebration, Geneva, WCC Publications, 1983, hlm 147. End, Th. Van den, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 407. Thurian, Max, op.cit, hlm 238-240.
10
dalam persidangan yang dikenal dengan Gerakan Faith and Order (Iman dan Tatanan) pada 1982, mencoba merumuskan sebuah tatanan ibadah yang mencoba mengakomodasi semua denominasi di kalangan Protestan, Katolik bahkan Ortodoks.
3. Menuju Pembaruan Liturgi GKJ Bentuk-bentuk pengungkapan iman pada satu generasi membutuhkan penilaian teologis yang segar dari generasi berikut.8 Praksis dan refleksi terhadap liturgi menjadi penting bagi Gereja-gereja Reformasi. Hal ini bertujuan agar keberbagaian liturgi dan ritus di Gereja-gereja Reformasi tetap terpelihara dan pembaruan liturgis yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan keinginan sesaat, selera individu semata, atau trend zaman. Oleh karenanya, dalam pembaruan liturgi sangat diperlukan refleksi teologis dan praksis liturgi. Bagi Gereja-gereja Reformasi tidak ada liturgi yang bersifat normatif, kekal, sempurna, dan tidak dapat diperbarui sepanjang masa. Sebagaimana pemahaman reformasi tentang Gereja, demikian pemahamannya tentang liturgi. Ecclesia reformata semper reformanda dipahami pula sebagai liturgia semper reformanda yang senantiasa berada dalam proses memperbarui. Keseragaman liturgi tidak menjadi norma mutlak yang harus dipatuhi. Keabsahan keragaman tata ibadah sebagai kekayaan juga berdasarkan suatu keyakinan bahwa orang Kristen tidak diselamatkan oleh suatu ibadah yang dibakukan; sehingga tidak dapat ”mempertuhan” tata ibadah. Dengan demikian untuk menuju pembaruan liturgi perlu diperhatikan: 1. Adanya kontinuitas dan konservasi (mempertahankan warisan yang relevan dalam konteks bergereja masa kini), terutama hal-hal esensial harus dipelihara. 2. Tata ibadah itu hendaknya tidak mengubah hakikat ibadah itu sendiri. Sebab ibadah adalah ”permanen”, tetapi tata ibadah adalah ”kondisional”. 8
Sijabat, W.B. dan Duba, Arlo D., Asas-asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan, hlm 13.
11
3. Pembaruan tata ibadah perlu dijaga agar tata ibadah itu tidak direduksi pada level selera, kegemaran sesaat, atau tren zaman. 4. Tata ibadah harus dipahami sebagai sarana untuk membantu warga jemaat agar lebih menghayati imannya dan menggerakkan totalitas kehidupannya menjadi persembahan yang kudus kepada yang diimaninya. Dalam segala pembaruan liturgi, Firman Allah harus berada di tengahtengah karena arti ibadah bukan hanya Allah yang memerlukan pelayanan manusia melainkan Allah juga mau melayani manusia dengan Injil Anugerah dalam Kristus (sola gratia).9 Oleh karena itu, seluruh liturgi (tata ibadah) harus merupakan pemberitaan injil dan segala yang terjadi di Gereja harus dimulai dari injil.10
4. Karakteristik Ibadah Oikumenisitas dalam liturgi adalah salah satu konsep dan pola dalam liturgi Reformasi. Oleh karena itu, liturgi semestinya berada dalam kaitan dengan kesadaran tentang keseluruhan tubuh Kristus yakni Gereja dari segala abad dan tempat. Dengan dasar tersebut, dapat dijumpai 5 karakter dasar ibadah :
1. Mengalir Dinamis
Seperti telah kita lihat di atas, rangkaian unsur-unsur dalam liturgi itu mengalir dinamis. Artinya setiap unsur dalam liturgi itu terangkai satu dengan lainnya membentuk suatu kesatuan pemahaman iman yang diyakini umat, yaitu keyakinan akan keselamatan anugerah Allah atas manusia. Unsur-unsur liturgi 9
Istilah gottesdienst dalam bahasa Jerman dan cult dalam bahasa Inggris berasal dari istilah agraris dalam bahasa latin colere, yang lebih memberikan pengertian yang luas dan berimbang sebagai hubungan timbal balik antara Allah dan manusia dalam ibadah. Band. White, ibid. hlm 12-17. 10 Kooiman , W.J., Martin Luther Doktor dalam Kitab Suci Reformator Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm 124.
12
itu juga menghubungkan secara timbal balik antara kehidupan sesehari umat dengan kehidupan persekutuan umat dan dengan persekutuan umat bersama Tuhan. 2. Komunal Liturgi GKJ juga memiliki karakter komunal, artinya suatu perayaan yang dijalankan secara bersama-sama oleh umat. Meskipun ada bagian-bagian tertentu dari liturgi yang harus dihayati secara individual, namun penghayatan itu tidak dilakukan secara terpisah antara yang satu terlepas dari yang lain. Perayaan liturgi itu dijalankan dalam rangka pertemuan ber-Jemaat—umat secara bersama ikut ambil bagian dalam perayaan itu.
3. Dialogis
Kecuali terangkai antara unsur liturgi yang satu dengan unsur liturgi yang lain, unsur-unsur itu berhubungan secara dialogis antara umat dan Allah, antara Allah dan umat, dan antara umat dan sesamanya. Dialog itu memperagakan suatu perjumpaan dan pergaulan yang mesra, dekat, dan saling bersambut.\
4. Anamnesis
Liturgi yang berkarakter dialogis, mengalir secara dinamis, dan komunal itu merupakan suatu tindakan yang menghubungkan umat dengan peristiwa penyelamatan Allah dalam Kristus. Penyelamatan Allah itu tidak hanya dimengerti, tetapi juga dihayati atau dirasakan, dengan memperagakan kembali peristiwa penyelamatan itu. Ibadah/Liturgi GKJ tidak hanya bersangkut paut dengan pemahaman saja (aspek kognisi), tetapi juga berkaitan dengan pengalaman/penghayatan (aspek afeksi), dan berkaitan dengan peragaan/ perbuatan yang secara sadar dilakukan (aspek psikomotorik). Ringkas kata, bersangkut-paut dengan manusia secara utuh.
5. Simbolis
Sebagai suatu tindakan/peragaan, peragaan yang dilaksanakan dalam perayaan liturgi itu juga bersifat simbolis. Artinya, peragaan/tindakan serta penggunaan 13
perabot-perabot liturgi itu menyimbolkan sesuatu yang bermakna. Di balik simbol itu, ada makna hakiki, yaitu Allah yang berprakarsa menyelamatkan manusia yang berdosa. Sedangkan tatanan/pola dasar (order) dalam ibadah Kristen tersebut terdiri dari 4 bagian utama, yakni : 1. 2. 3. 4.
Berhimpun Pelayanan Sabda Pelayanan Meja (Ekaristi dan persembahan) Pengutusan
Keempat pola dasar ibadah tersebut ada dalam liturgi GKJ, sekalipun dengan urutan yang bisa berbeda di dalam pola tersebut. Sebagai sebuah pertemuan dialogis antara Allah dan manusia dalam rangka pemeliharaan iman jemaat, ibadah mengandung unsur dasar 11: 1. Dari pihak manusia: doa, pujian, pengakuan dosa dan permohonan ampun, persembahan serta pengakuan iman. 2. Dari pihak Allah: hukum Tuhan, pengampunan dosa, Firman, dan berkat. Makna teologis liturgi terangkai di sini, dalam rangka manusia melayani Allah yang telah terlebih dahulu Allah melayani umat-Nya. Pelayanan umat dalam liturgi itu dalam rangka menerjemahkan pelayanan Allah kepada manusia. Tanpa liturgi akan ada kesulitan besar dalam memahami tujuan Allah yang melayani. Demikian pula untuk menuju pembaruan liturgi GKJ yang kontekstual, sudah semestinya juga memperhatikan warisan budaya yang dimiliki dalam akar budaya Jawa itu sendiri. (bukan hanya dalam penggunaan bahasa Jawa dalam liturgi dengan pola ibadah dan nyanyian yang digunakan tetap bergaya Barat/Belanda). Dengan kesadaran, bahwa sebuah upaya kontekstualisasi tidak pernah berangkat dari titik nol, pelbagai tradisi lama apabila tidak bertentangan dengan firman Allah perlu dipulihkan lagi. 11 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran GKJ, pertanyaan dan jawaban 118.
14
5. Unsur-unsur dalam Liturgi Secara lebih rinci akan kita lihat unsur-unsur liturgi dan tata urutan ibadah yang dipakai oleh GKJ dengan memperhatikan akar tradisi liturgi Yahudi, Kekristenan sampai gerakan oikumenis sebagaimana tertuang dalam Liturgi Lima dari hasil konferensi ”Faith and Order” WCC12, yaitu :
1. Lonceng Panggilan Beribadah Panggilan untuk beribadah merupakan inisiatif Allah yang memanggil manusia berdosa. Jadi, dasar kita beribadah yang pertama dan utama adalah panggilan Allah, bukan inisiatif atau kemampuan manusia. Secara fisik, di kalangan orang Yahudi panggilan untuk beribadah diwujudkan dengan suara terompet (Ibr.: Jovel = terompet dari tanduk domba) untuk mengumpulkan orang. Kemudian gereja memakai lonceng, untuk memanggil, mengingatkan akan panggilan Allah itu dan untuk menghimpun umat dalam sebuah kebersamaan dalam ibadah. Demikian pula untuk memulai ibadah, semestinya dipakai lonceng (lonceng kecil ataupun lonceng besar, bukan bel seperti bel sekolah). Ketika lonceng pembuka dibunyikan, menjadi pertanda umat untuk berdiri sebagai wujud penghormatan sebagaimana penghormatan kepada Tuhan yang hadir dalam peribadatan manusia.
2.Votum Votum merupakan pengakuan kehadiran Allah di tengah umatNya, sehingga diletakkan pada awal ibadah. Votum merupakan pernyataan amanat dan kuasa Allah. Ibadah ini tidak akan berlangsung tanpa kehadiran Allah sendiri. Rumusan umum votum biasanya diambil dari Mazmur 124:8: ”Pertolongan kita adalah di dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi.”
12 Thurian, Max, op.cit. hlm 249-255.
15
3. Salam
Salam menjadi sebuah pembuka hubungan antarmanusia yang terjalin dalam kebersamaan/persekutuan ibadah umat ini. Rumusan yang biasa dipakai adalah salam dalam Surat-surat Rasuli, seperti: ”Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus” (Rm 1:7). Atau ”Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa dan Kristus Yesus, Tuhan kita, menyertai engkau” (II Tim 1:2), dsb. Salam ini merupakan salam damai antara pemimpin ibadah dan umat, sehingga diucapkan secara bersahutan—umat menjawab “dan menyertai saudara juga”. Dengan pengertian ini salam merupakan tanda persaudaraan. Jadi, umat tidak perlu menundukkan kepala. Kalau hendak mengacu pada akar tradisi Jawa, sesungguhnya pengucapan salam ini akan lebih pas jika diucapkan dengan menangkupkan kedua tangan di dada (ngapurancang).
4. Introitus Sesudah Votum dan Salam—di beberapa tradisi ibadah, biasanya diikuti dengan introitus. Pada liturgi lama, introitus terdiri dari mazmur, antiphon (semacam refrein dalam lagu/sahutan jemaat atas mazmur) dan Gloria. Introitus berupa nyanyian, dengan atau tanpa nas pendahuluan. Pada jaman Calvin, introitus terdapat pada liturgi Strassburg, namun tidak ada pada liturgi Jeneva. Dalam liturgi masa kini, apabila introitus disertai dengan nas pendahuluan, semestinya dikaitkan dengan tema atau tahun gerejawinya.
5. Pengakuan Dosa Terdiri dari tiga bagian utama: 1. Pemberitaan hukum Tuhan (Dasa Titah/Hukum Kasih). 2. Pengakuan Dosa: Dosa tidak hanya secara pribadi, tetapi juga secara komunal (kelompok), yaitu dosa sebagai keluarga, sebagai gereja, sebagai masyarakat, sebagai bangsa dan negara, bahkan sebagai manusia; pikiran, sikap, perkataan dan perbuatan.
16
3. Absolusi/Penyataan Pengampunan Tuhan Absolusi/Penyataan pengampunan dosa menandaskan pemberitaan anugerah Allah bagi pengampunan dosa manusia. Absolusi bisa berupa petikan ayat—yang biasa dikenal dengan Berita Anugerah, bisa pula berupa rumusan kata yang menegaskan pengampunan dari Allah itu sendiri. Sesudah pernyataan pengampunan dosa (Absolusi), biasanya disambut dengan ungkapan pujian (Gloria= kemuliaan bagi Allah), bisa diucapkan dengan bersahutan (litani), bisa dengan nyanyian. Maka nyanyian di situ bukan nyanyian penyesalan dosa, tetapi nyanyian syukur/pujian. Kalau hendak menyanyikan Nyanyian Penyesalan, dilakukan sebelum Absolusi.
6. Doa
Doa adalah sebuah cara orang beriman menghayati dan mengungkapkan hubungannya dengan Tuhan. Doa sebagai sebuah komunikasi manusia dengan Tuhan bersifat dialogis. Doa juga menjadi sebuah cara penyembahan kepada Allah, disamping sebagai permohonan. Dalam liturgi, doa yang dipanjatkan sesuai dengan maksud doa itu sendiri, di antaranya: 1. Doa Konsistorium: doa para pelayan ibadah di ruang Konsistori. Selama para pelayan ibadah berdoa di konsistori, umat berdoa secara pribadi di dalam gereja. 2. Doa kolekta (collecta): doa pembuka yang mengungkapkan syukur atas panggilan Tuhan yang telah berkenan menghimpun (collect) umat-Nya, juga menjadi doa yang mengantar pelayanan sabda. 3. Doa Syafaat (Intercession): Doa umat yang ditujukan untuk orang lain, bangsa dan negara, dan dunia ini. Apa yang didoakan semestinya hal-hal yang konkret dan krusial pada saat itu, dan tidak sekedar mengulang kata-kata yang sama setiap minggunya. Sebagai doa umat, doa ini seyogyanya diungkapkan oleh perwakilan umat yang ditunjuk, atau dengan bersahutan antara pemimpin dan umat jemaat (litani). Doa Syafaat bisa diakhir 17
dengan doa oleh Pemimpin, atau Doa Bapa Kami yang diucapkan bersama-sama. 4. Doa Epiklesis: Doa mohon kehadiran Roh Kudus sebelum pelayanan sakramen. 5. Doa Persembahan (secreta): Doa yang mengantar persembahan yang dikumpulkan jemaat. Sebagai pengantar, doa persembahan dinaikkan sebelum pengumpulan persembahan, tidak sesudahnya. 6. Doa Syukur: mengakhiri seluruh rangkaian ibadah, doa ini menjadi ungkapan syukur atas perkenan Tuhan dalam peribadahan yang telah dan sedang berlangsung. Doa syukur ini bukan berupa pengulangan atas Firman yang telah diberitakan (dikotbahkan), dan dapat diakhiri dengan Doa Bapa Kami bersama-sama, apabila belum diungkapkan dalam Doa Syafaat.
7. Bacaan-bacaan Kitab Suci
Pembacaan Kitab Suci yang pada awal sejarahnya sebagai buah dari pergeseran ibadah kurban Yahudi, pada masa Reformasi menjadi sesuatu yang hakiki, bahkan menjadi semacam pusat ibadah. Semangat sola scriptura menjadi landasan pentingnya pembacaan Kitab Suci ini. Pembacaan Kitab Suci disu sun secara sistematis (lectio continua) sesuai dengan Kalender Gerejawi yang dimulai pada Minggu Adven I dan berakhir pada Minggu Kristus Raja, sehing ga pemilihan ayat bacaan tidak berdasarkan selera pribadi. Dengan memper gunakan Revised Common Lexionary (RCL), Bacaan Kitab Suci terdiri dari a. Bacaan I : Bacaan Sejarah b. Bacaan II : Epistel/Surat-surat Rasuli c. Bacaan Injil d. Mazmur Tanggapan, diantara Bacaan I dan Bacaan II, yang bisa dibaca umat secara bersahutan atau dinyanyikan. Bacaan I dan II seyogianya dibacakan oleh Pembaca Kitab Suci/Lektor yang ditunjuk dari antara umat, sebagai wujud partisipasi umat dalam peribadatan. Sedangkan bacaan Injil dibacakan oleh Pengkotbah. Pembacaan Injil diakhiri dengan ”yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan 18
yang memeliharanya!” (Luk. 11:28). Kemudian umat menyambut dengan menyanyikan ”Haleluya” (”Pujilah Tuhan”). Pada minggu minggu kesengsaraan Kristus, Haleluya diganti ”Hosiana” (”Selamatkanlah kami sekarang!”), sedangkan pada minggu-minggu Adven diganti dengan ucapan ”Maranatha” (”Tuhan datanglah”).
8. Khotbah
Khotbah menjadi sebuah sarana pemeliharaan iman umat melalui firman Allah. Khotbah adalah penyampaian Firman Allah. Oleh karena itu, khotbah mesti berdasar pada bagian dari Alkitab dan sudah dipelajari atau ditafsirkan secara bertanggung jawab, untuk dikontekstualisasikan dalam hidup kita masa kini. Jadi, khotbah bukanlah nasihat atau pidato atau ceramah, melainkan suatu uraian berdasarkan Firman Tuhan. Akan tetapi, khotbah juga bukan sekadar penyampaian tafsiran atau hal-hal yang berkaitan dengan konteks zaman dahulu, melainkan khotbah harus selalu segar dan relevan untuk hidup nyata sekarang ini. Disinilah sesungguhnya Kotbah menjadi sebuah tuntunan/ petunjuk hidup baru di dalam Kristus.
9. Saat Teduh
Saat teduh adalah saat untuk merenungkan hidup masing-masing dengan bercermin pada firman Allah yang baru saja diberitakan. Diharapkan setiap orang menerapkan firman Allah itu dalam hidup masing-masing secara konkret, sehingga timbullah tekad dan kesanggupannya untuk melaksanakan firman Allah secara nyata. Ada yang biasa mengisi saat teduh dengan musik instrumental atau solis/paduan suara/vokal group, yang diharapkan menyanyikan lagu yang menunjang tema khotbah. Akan tetapi, ada pula yang menghendaki agar saat teduh merupakan saat hening/sunyi tanpa bunyi apa pun, perhatian sepenuhnya pada diri manusia di hadapan Allah.
10. Pengakuan Iman
Pengakuan Iman merupakan pengakuan iman seluruh umat sebagai bagian dari gereja yang kudus dan esa, bukan hanya pengakuan iman pribadi. Oleh karena 19
itu, pengakuan iman diucapkan bersama-sama oleh umat sambil berdiri. Calvin menempatkannya sesudah khotbah sebagai jawaban jemaat atas Firman yang telah diberitakan. Kalaupun ditempatkan pada bagian akhir ibadah, menjelang pengutusan, mesti dihayati sebagai sebuah ”kesaksian iman” (assahadu). Isi pengakuan iman adalah pernyataan percaya kepada Allah. Karena Pengakuan Iman dinyatakan tidak hanya di hadapan Tuhan, namun juga di hadapan manusia, maka sikap umat adalah mengucapkan secara mantap dengan pandangan lurus ke depan. Yang biasa diakui Pengakuan Iman Rasuli, namun juga diakui Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius. Inti ketiganya sama, yaitu pengakuan iman kepada Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus.
11. Persembahan
Persembahan merupakan ”metamorfosis” ibadah Perjanjian Lama, yaitu ibadah kurban. Persembahan diberikan sebagai ungkapan rasa syukur umat atas berkat dan pemeliharaan Tuhan dalam hidup mereka, sekaligus ungkapan kesediaan untuk mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan (Rm 12:1). Pada kekristenan mula-mula, pada awalnya persembahan diberikan dalam bentuk in natura (hasil alam). Baru pada perkembangannya kemudian, ketika dirasakan adanya kebutuhan pemeliharan umat (khususnya janda-janda), maka persembahan diwujudkan juga dalam bentuk uang. Persembahan membawa implikasi penting dalam unsur diakonal jemaat. Bahwa dengannya, pelayanan kepada orang-orang miskin, pemeliharaan iman, dan kesaksian hidup dapat diwujud-nyatakan.13 Alangkah baik dan indahnya, dalam persembahan ini juga senantiasa diberi tempat bagi segenap umat dalam segala pekerjaannya untuk mengungkapkan syukurnya, sehingga baik petani maupun pekerja-pekerja lainnya dapat menyampaikan ungkapan syukur itu sesuai dengan hasil karya mereka. Oleh karena itu, baik persembahan berupa in natura maupun uang,
13
Band. Abineno, J.L. Ch., Unsur-unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia: 2001, hlm 98-105.
20
seyogianya diberi tempat dan porsi yang sama, bukan hanya pada saat-saat tertentu seperti Perayaan undhuh-undhuh saja. Persembahan semestinya menjadi wujud respons yang spontan/mengalir, setelah umat merasakan berkat Tuhan. Untuk memberikan persembahan semestinya tidak perlu dibimbing, tetapi justru diawali dengan doa yang mengantar persembahan tersebut (secreta). Persembahan yang dilaksanakan dalam ibadah semestinya merupakan ungkapan syukur atas segala hal yang terjadi juga dalam ibadah tersebut. Maka seyogianya tidak perlu ada pemisahan antara persembahan minggu dan persembahan-persembahan khusus lainnya. Jika dalam sebuah ibadah terdapat pelayanan sakramen maupun pelayananpelayanan khusus lainnya, dan dipandang perlu ada persembahan khusus, maka dilaksanakan dalam satu kali kesempatan.
12. Sakramen Baptis
Mengikuti rumusan Agustinus, PPAGKJ menegaskan bahwa sakramen adalah salah satu tanda penyelamatan di dalam gereja yang secara konkret dapat dilihat sekaligus sebagai alat pelayanan yang dikhususkan di dalam pekerjaan penyelamatan Allah, yaitu sebagai penyataan dan pemeliharaan iman. Sakramen baptis merupakan alat pelayanan dengan air sebagai unsur dasar yang melambangkan dan menunjukkan: pembasuhan manusia dari dosanya oleh darah Kristus, pengampunan dosa, pembenaran atas manusia oleh Allah, serta kelahiran baru14. Baptisan membawa seseorang untuk masuk ke dalam kesatuan dengan Kristus. Dengan baptisan inilah kita dipersatukan dengan keseluruhan Tubuh Kristus. Oleh karenanya, dalam tradisi gereja mula-mula, setelah seseorang dibaptis, maka ia boleh ikut Perjamuan Kudus, baik ia masih kecil atau sudah dewasa. Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah tak terpisahkan15. Pemisahan antara Baptisan dan Perjamuan Kudus dimulai pada abad ke-4, ketika ritus 14 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran GKJ, pertanyaan dan jawaban 98. 15 Enklaar, I.H., Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen, BPK Gunung Mulia, 2003 (cetakan II), hlm 3-6; 149-150.
21
baptisan dianggap sebagai eksorsisme yang dilanjutkan dengan peminyakan, penumpangan tangan, dan kemudian Perjamuan Kudus.
13. Sakramen Perjamuan Kudus
Sesungguhnya, puncak dari keseluruhan perayaan iman yang diwujudkan dalam ibadah kita, dimanifestasikan dalam perayaan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus menjadi sebuah anamnese yang paling jelas dalam pengungkapan iman kepada karya penyelamatan Allah di dalam Kristus. Oleh karena itu, jika memperhatikan penjelasan sejarah singkat mengenai ibadah di atas, Pelayanan/Perayaan Perjamuan Kudus tidak hanya dilaksanakan dalam kurun 3 atau 2 bulan sekali, namun setiap Minggu, ketika jemaat berhimpun merayakan Kristus (Kis. 2:42;46)
14. Pengutusan
Pengutusan dihayati sebagai Tuhan yang mengutus umat untuk melakukan kehendak-Nya, terkhusus atas Firman Allah yang sudah didapat dalam ibadah itu. Jadi, ibadah tak dapat dipisahkan dari hidup sehari-hari. Firman tidak hanya didengar dan dipuji keindahannya, namun harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Umat diutus ke dalam dunia, seperti para murid diutus Yesus untuk memberitakan Kerajaan Allah yang diajarkan dan diwujudkan-Nya. Umat diutus untuk menjadi saluran berkat Tuhan bagi sesama
15. Berkat
Berkat adalah karunia pemberian Tuhan (grace) kepada umat agar dapat menghadapi hidup sehari-hari dengan kekuatan dan penyertaan Tuhan. Umat menerimanya dengan berdiri dan kepala tertunduk, kemudian menjawab dengan mengucapkan/menyanyikan ”Haleluya, amin”. Berkat semestinya diterima dengan penghayatan oleh umat. Karena itu, tidak tepat jika umat menerima berkat sambil berkemas-kemas hendak pulang. Rumusan berkat biasanya diambil dari II Korintus 13:13, namun bisa juga dari Bilangan 6:24-25.
22
6. Pola Liturgi GKJ Beberapa pola Liturgi yang pernah dan masih dikembangkan di tengah jemaat GKJ dapat disimak dalam tabel di bawah ini :
Liturgi I Baku
Votum dan Salam Pernyataan Salam Berkat
Liturgi II Baku
Liturgi III Baku
Variasi II
Pernyataan Salam Berkat
Pernyataan Salam Berkat
Amin
Amin
Introitus (Kata Pembuka)
Introitus (Kata Pembuka)
Nyanyian Pujian
Nyanyian Pujian
Nyanyian Pujian
Pengakuan Dosa
Pengakuan Dosa
Pengakuan Dosa
Hukum Kasih
Hukum Kasih
Litani Pengakuan
Pernyataan Pengakuan Dosa
Nyanyian Pengakuan Dosa
Nyanyian Pengakuan Dosa Berita Anugerah
(litani)
(litani)
Litani
Variasi I
Votum dan Salam
Votum dan Salam
Amin
Nyanyian Pujian
Liturgi Leksionari
Votum dan Salam
Votum dan Salam
Pujian Bersahutan
Liturgi Leksionari
Nyanyian Pujian Pengakuan Dosa Hukum Kasih Nyanyian Pengakuan Dosa
Pengakuan Dosa Litani Pengakuan Dosa
Berita Anugerah
Berita Anugerah
Berita Anugerah
Berita Anugerah
Petunjuk Hidup Baru
Petunjuk Hidup Baru
Petunjuk Hidup Baru
Petunjuk Hidup Baru
Pernyataan Kesanggupan Nyanyian Kesanggupan
Nyanyian Kesanggupan
Pernyataan Kesanggupan Nyanyian Kesanggupan
23
Nyanyian Kesanggupan
Doa Syukur dan Syafaat
Doa Syukur dan Syafaat serta Pelayanan Firman
Persembahan Ajakan Persem bahan Nyanyian Persembahan Doa Persem bahan Pelayanan Firman Pembacaan Alkitab
Pelayanan Firman Pembacaan Alkitab
Doa Syukur dan Syafaat
Doa Syukur dan Syafaat
Persembahan Ajakan Persem bahan Nyanyian Persembahan Doa Persem bahan
Persembahan Ajakan Persem bahan Nyanyian Persembahan Doa Persem bahan
Pelayanan Firman Pembacaan Alkitab
Pelayanan Firman Bacaan 1 dan Tanggapan Mazmur Antar Bacaan Bacaan 2 dan Tanggapan
Pelayanan Firman Bacaan 1 dan Tang gapan Mazmur Antar Bacaan Bacaan 2 dan Tang gapan
Bacaan Injil dan Tanggapan
Bacaan Injil dan Tanggapan
Khotbah
Khotbah
Khotbah
Khotbah
Khotbah
Saat Teduh
Saat Teduh
Saat Teduh
Saat Teduh
Saat Teduh
Sahadat
Sahadat
Persembahan
Persembahan
Ajakan Persem bahan
Ajakan Persem bahan Nyanyian Persem bahan Doa Persembahan
Nyanyian Persembahan Doa Akhir Kebaktian
Doa Persembahan dan Penutup
Doa Akhir Kebaktian
Doa Akhir Kebaktian
Nyanyian Akhir Kebaktian
Nyanyian Akhir Kebaktian
Nyanyian Akhir Kebaktian
Nyanyian Akhir Kebaktian
Sahadat
Sahadat
Sahadat
Doa Syafaat
Nyanyian Akhir Kebaktian
Berkat
Berkat
Berkat
Berkat
Pengutusan dan Berkat
Berkat dan Amin
Pernyataan Berkat
Pernyataan Berkat
Pernyataan Berkat
Pernyataan Berkat
Amin
Amin
Amin
Amin
Nyanyian Penutup
Nyanyian Penutup
Nyanyian Penutup
Nyanyian Penutup
Nyanyian Penutup
24
Dengan menilik pola liturgi di atas, Liturgi dasar GKJ dapat diatur sebagai berikut :
1. Pra Ibadah
a. Persiapan: Doa Konsistorium dan doa pribadi umat b. Warta Jemaat
2. Liturgi/Tatanan (Order) Berhimpun
a. Lonceng Panggilan Beribadah b. Nyanyian Pembuka, mengiring pelayan ibadah memasuki gedung gereja c. Votum d. Salam e. Introitus, bisa berupa: i. Mazmur bersahutan dengan anthiphony (Bukan Mazmur tanggapan yang ada dalam RCL) ii. Pujian berupa Gloria iii. Penyampaian tema ibadah, dengan atau tanpa nas alkitab. f. Pengakuan Dosa, terdiri atas 3 tahapan: i. Penyampaian Hukum Tuhan ii. Litani Permohonan Ampun/Kyrie Litany/ Nyanyian Penyesalan iii. Absolusi/Penyataan Pengampunan Tuhan/Berita Anugerah (Bisa disambung dengan Nyanyian Syukur)
3. Liturgi/Tatanan (Order) Pewartaan Sabda a. b. c. d. e. f.
Doa Kolekta/presidium pembuka Pembacaan Bacaan I Mazmur Tanggapan Pembacaan Bacaan II Haleluya Pembacaan Bacaan Injil 25
g. h. i. j.
Homili/Khotbah Saat Teduh Pengakuan Iman Doa syafaat/intercession
4. Liturgi/Tatanan (Order) Persembahan/ Pelayanan Meja
a. Persiapan b. Pengumpulan Persembahan Syukur, i. Doa Persiapan Persembahan (Secreta) ii. Pengumpulan persembahan, diiringi dengan nyanyian jemaat, atau instrumentalia c. Pelayanan Khusus (apabila ada), diawali dengan Doa Epiklese i. Sakramen Baptis ii. Sakramen Perjamuan Kudus iii. Pelayanan Lain d. Doa Syukur
5. Liturgi/Tatanan (Order) Pengutusan a. Nyanyian Penutup b. Pengutusan c. Berkat
7. Pelaku dan Pelayan Liturgi 1. Umat Umat merupakan kebersamaan orang-orang yang menerima dan meng amini keselamatan Allah dalam Yesus Kristus. Sebagai orang-orang yang mengimani keselamatan anugerah, mereka adalah pelaku utama dalam litur
26
gi. Artinya merekalah yang berdasarkan imannya berhimpun bersama un tuk mengekspresikan pergaulannya dengan Allah Sang Penyelamat dan dengan sesama orang-orang yang telah diselamatkan. Dengan demikian, umat bukanlah penonton. Kehadirannya dalam ibadah bukan semata-mata untuk menikmati pergaulannya dengan Allah secara pribadi, tetapi juga menikmati serta mengekspresikan pergaulannya dengan Allah secara bersama-sama dengan sesama orang yang telah diselamatkan. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan mental maupun intelektual, kesiapan hati dan pemahaman yang benar mengenai ibadah.
2. Pelayan Ibadah a. Usher Di lingkungan GKJ, siapa usher dan apa peranannya dalam suatu ibadah, sudah tidak banyak dipahami oleh umat. Usher adalah seseorang yang berperan untuk menyiapkan umat untuk mengungkapkan dan menikmati hubungannya dengan Allah. Tugasnya ialah menyiapkan lingkungan tempat ibadah, agar kebaikan Allah dirasakan umat, dan umat dapat ikut ambil bagian dalam ibadah dengan baik. Tugas itu meliputi : menyambut umat, membantu umat mendapatkan tempat duduk, membantu umat mendapatkan buku nyanyian yang dipakai, menjaga ketenangan ibadah, mendapatkan nomor telepon tempat-tempat penting jika diperlukan umat, sampai membantu mendapatkan kamar kecil di lingkungan tempat ibadah. Melalui kehadiran usher itulah perhatian dan kehangatan persekutuan Jemaat diekspresikan. Di beberapa GKJ, sebagian tugas usher itu digantikan oleh Penyambut Umat, namun Penyambut Umat itu belum melaksanakan keseluruhan peran Usher. Agaknya, peran usher ini perlu ”dihidupkan” lagi, justru di tengah-tengah kehidupan manusia yang “individualis” dan “haus perhatian” ini. 27
b. Pemimpin Ibadah Pemimpin Ibadah sering disebut litourgos, yaitu seseorang yang bertugas untuk melayani umat dalam merayakan ibadah. Tugasnya ialah dengan kata-kata yang pendek dan jelas mengupayakan sedemikian rupa agar peralihan unsur-unsur ibadah dapat berjalan lancar, wajar, konsisten, dan utuh. Di samping itu juga menjembatani para petugas ibadah masuk ke dalam tugas masing-masing tepat pada waktunya, sehingga keterlibatan para petugas ibadah ini dapat berjalan dengan lebih baik. Dengan demikian, penghayatan yang sungguh dan pemahaman yang benar mengenai ibadah, amat diperlukan bagi seseorang yang bertugas sebagai Pemimpin Ibadah. c. Prokantor, Cantor, dan Animateur Petugas-petugas yang disebutkan ini juga sudah mulai tak dikenal di lingkungan GKJ. Yang disebut Prokantor adalah seseorang yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan musik dalam ibadah. Tugasnya tidak sekedar mengatur paduan suara mana dan siapa organis/pianis yang akan ambil bagian dalam perayaan ibadah, tetapi berkewajiban mengupayakan agar Umat dapat mempersembahkan yang terbaik dalam bernyanyi. Seorang prokantor memimpin paduan suara yang bernyanyi bersama-sama dengan Umat, agar keseluruhan Umat yang merayakan ibadah bernyanyi dengan benar dan baik. Di beberapa gereja, kita mengenal istilah song leader, singer, dirigen. Istilah-istilah itu mengungkapkan bagian dari tugas prokantor. Yang disebut Cantor adalah seseorang yang berperan sebagai penyanyi tunggal, yang bertugas menyanyikan “bagian-bagian tertentu” dalam suatu nyanyian, atau menyanyikan nyanyian tertentu dalam suatu ibadah. Sedang yang disebut Animateur adalah seseorang atau sekelompok orang yang berkewajiban mengembangkan cara berekspresi dalam 28
ibadah. Misalnya dengan menyelenggarakan peragaan bacaan Alkitab, mengembangkan penggunaan seni (sastra, drama, musik, tari dll.) dalam suatu ibadah. d. Pengiring Nyanyian Umat Di lingkungan GKJ, petugas yang disebut Pengiring Nyanyian Umat dikenal dengan nama “pianis/organis”. Peranannya ialah mengiringi Umat dalam bernyanyi dengan menggunakan alat musik. Sesuai dengan perannya, seorang Pengiring Nyanyian Umat dalam menjalankan tugasnya harus berkoordinasi dengan prokantor dan cantor. Di lingkungan GKJ, penggunaan alat musik sebagai pengiring ini belum diusahakan secara sungguh-sungguh. Bahkan di beberapa tempat, terkesan ala kadarnya, sehingga justru sering kali menghambat umat dalam bernyanyi dengan baik dan benar, bahkan merusak konsentrasi dalam merayakan ibadah. e. Lektor Yang dimaksud dengan Lektor ialah seseorang yang berperan sebagai pembaca firman Allah. Tugasnya ialah membacakan ayat-ayat tertentu yang terdapat dalam ibadah, agar ayat-ayat yang dibacakan itu dapat lebih dihayati umat. Seorang lektor perlu menguasai teknik membaca dengan baik, seperti artikulasi, intonasi, pernafasan, irama, dan mema hami menggunakan mikrofon. f. Pendoa Sesuai dengan namanya, yang dimaksud dengan Pendoa adalah seseorang yang berperan memandu doa umat. Tugasnya ialah menyampaikan doa umat kepada Allah. Sebelum berdoa, pendoa menyampaikan terlebih dahulu pokok-pokok yang akan didoakan, agar umat secara bersama-sama dalam hati masing-masing menyampaikan doa seperti yang didoakan oleh pendoa.
29
g. Pengkhotbah Yang dimaksud dengan Pengkhotbah ialah seseorang yang berperan menjelaskan berita Alkitab agar lebih dapat dipahami, diimani, dan ditaati umat. Dalam menyampaikan penjelasannya tentang ayat-ayat Alkitab tertentu, pengkhotbah perlu mengusahakan secara seimbang keseluruhan fungsi khotbah, yaitu penafsiran ayat, katekesis, dan pastoral/penggembalaan. Di samping itu, kejujuran, keterbukaan, dan kesungguhan pengkhotbah untuk disapa firman Allah, menjadi modal utama pengkhotbah dalam menjalankan tugasnya. h. Pelayan Sakramen Pelayanan Sakramen dijalankan oleh Pendeta. Itulah sebabnya Pendeta juga disebut Pelayan Sakramen. Dalam kaitannya dengan tugas pelayanan sakramen, seorang Pendeta dituntut untuk sungguh-sungguh menjiwai pelaksanaan sakramen. i. Paduan Suara Yang dimaksud Paduan Suara dalam ibadah adalah sekelompok orang yang telah menyiapkan diri untuk menyanyikan nyanyian ibadah. Peran sekelompok orang ini adalah membantu dan mendukung umat dalam bernyanyi. Dalam menjalankan tugasnya, Paduan Suara dapat bernyanyi sendiri tanpa diikuti umat, bersama-sama umat, bergantian dengan umat, atau berbalas-balasan dengan umat. Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya ada banyak petugas ibadah yang ditiadakan atau dirangkap oleh petugas tertentu. Peniadaan dan perangkapan itu tentu dilakukan dengan pertimbangan yang bijak, namun jika hal itu menjadi suatu kebiasaan, justru mengaburkan makna ibadah sebagai suatu tindakan simbolis partisipatif.
3. Tim/Komisi Ibadah
Sekelompok orang yang tugasnya tidak secara langsung tampak dalam setiap perayaan ibadah adalah Tim Ibadah. Yang dimaksud Tim/Komisi Ibadah adalah sekelompok orang yang bertanggung jawab agar ibadah yang dirayakan 30
sungguh-sungguh membangun persekutuan antara umat dan Allah; juga antara umat dan sesamanya. Mengingat ibadah merupakan tindakan simbolis yang mengekspresikan pergaulan umat dengan Tuhannya dan dengan sesama umat, maka tanggung jawab mengusahakan agar ibadah sungguh-sungguh membangun persekutuan bukan melulu tugas Majelis Gereja, namun juga tugas bersama segenap warga gereja. Oleh karena itu, Tim Ibadah sebaiknya terdiri atas unsur Majelis Gereja, Pengurus Komisi Kategori Usia, maupun warga gereja yang memiliki perhatian terhadap ibadah. Lingkup tugasnya disamping merancang dan menata semua pihak yang akan terlibat dalam ibadah, juga melakukan pembinaan-pembinaan, studi-studi, serta melakukan evaluasi sehubungan dengan palaksanaan perayaan ibadah. Di beberapa GKJ, keberadaan Tim Ibadah ini mulai dihidupkan lagi. Kecenderungan ini perlu didukung dan disambut gembira.
8. Tata Waktu, Daftar Bacaan Alkitab, Tata Ruang, dan Perabot/ Perlengkapan Ibadah Sebagai suatu tindakan simbolis yang diekspresikan, perayaan ibadah perlu didukung pula dengan tata waktu, daftar bacaan Alkitab, tata ruang gedung gereja, dan perabot/perlengkapan ibadah yang memadai.
1. Tata Waktu Liturgi (Kalender Gerejawi)16
Umat mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah Sang Penyelamat di dunia ini melalui ibadah. Ungkapan dan penghayatan hubungan umat dan Allah itu didasarkan pada peristiwa penyelamatan Kristus, yang 16
James F White, Pengantar Ibadah Kristen, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cetakan 1, Tahun 2002, hlm. 36-75.
31
dirayakan dalam ibadah-ibadah harian, ibadah minggu, dan ibadah tahunan. Ibadah-ibadah (harian, mingguan, tahunan) yang dirayakan umat berdasarkan peristiwa penyelamatan Allah dalam Kristus itu, ditata dalam suatu alur yang sinambung dan berulang-ulang. Pengaturan waktu penyelenggaraan perayaan yang dilaksanakan secara sinambung dan periodik selama setahun berdasarkan peristiwa penyelamatan Kristus itu disebut Tata Waktu Liturgi, Tahun Liturgi, Tahun Kristen, Tahun Rohani, Hari Raya Gerejawi, Kalender Gerejawi. Secara berangsur-angsur, Tata Waktu Liturgi yang telah tersusun pada abad ke-4 dan yang telah dikenal oleh Gereja Kristen di berbagai tempat itu mengalami pengembangan. Pada abad ke-6 dan ke-7, Tata Waktu Liturgi mengalami penambahan hari-hari raya peringatan para orang suci yang diambil alih dari pemujaan terhadap para martir abad ke-3. Peringatan untuk para orang suci itu kemudian dikenal dengan istilah Siklus Sanctorale (dari bahasa Latin sactus artinya orang suci). Sedang peringatan dan perayaan yang berkaitan dengan Peristiwa Yesus (Adven, Natal, Epifani, Pra Paskah, Paskah, Kenaikan, Pentakosta) dikenal dengan istilah Siklus Temporale (dari bahasa Latin tempus artinya waktu). Pada abad ke-16, para reformator gereja (antara lain: Martin Luther, Gereja Skotlandia, John Wesley) mengambil sikap terhadap Tata Waktu Liturgi (Kalender Gereja), dengan meniadakan Siklus Sanctorale. Gereja Protestan tetap berpegang pada Siklus Temporale abad ke-4 itu, sedang Gereja Katolik masih memelihara kedua siklus tersebut. Penyusunan Tata Waktu Liturgi berdasarkan peristiwa Yesus: • Minggu-minggu Adven, Malam Natal, Natal, Epifania, Baptisan Tuhan Yesus, Minggu Biasa. • Rabu Abu, Minggu-minggu Pra Paskah, Kamis Putih, Jumat Agung, Paskah, Minggu-minggu Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus ke sorga, Pentakosta. • Minggu Trinitas, Minggu-minggu Biasa, Minggu Kristus Raja. menjadi sarana untuk menolong umat pada masa kini berjumpa dengan Kristus. 32
2. Daftar Bacaan Alkitab17
Daftar pembacaan Alkitab (leksionari) yang diasosiasikan dengan hari-hari, minggu-minggu, dan masa-masa raya yang dirayakan oleh umat Kristen, mulamula merupakan adaptasi dan adopsi dari pembacaan Kitab Suci dalam ibadah Yahudi. Sampai dengan abad ke-4, pola pembacaan Alkitab pada setiap hari Minggu (bacaan dari Perjanjian Lama, Surat Rasuli, dan Injil secara berurutan) sudah menjadi susunan yang lazim. Sejak konsili Vatikan II (1962 – 1965), Gereja Katolik melakukan revisi besar-besaran terhadap leksionari yang lazim dipakai pada abad ke-4, menghasilkan Ordo Lectionum Missae (OLM) pada tahun 1969 yang disusun untuk tiga tahun liturgi (A, B, C). Tidak puas dengan hasil yang telah dicapai oleh Gereja Katolik itu, secara berturut-turut dan berangsur-angsur daftar pembacaan Alkitab itu terus diperbaiki secara bersama-sama oleh para konsultan dari Katolik, Yahudi, dan Protestan, menghasilkan daftar pembacaan Alkitab yang ekumenis, disebut The Common Lectionary (CL) pada 1983. Gereja-gereja Episkopal dan Anglican, memakai Book of Common Prayer (BCP), Gereja Lutheran memakai Lutheran Book of Worship (LBW), Gereja Presbiterian menggunakan Worshipbook (WB). Dalam semangat ekumenis, The Common Lectioray diperbaiki, terbitlah Revised Common Lectionary (RCL) pada 1992. Revisi daftar pembacaan Alkitab RCL inilah yang kemudian menjadi daftar pembacaan Alkitab terbaru oleh Gereja-gereja Protestan.
3. Arsitektur Gedung Gereja Arsitektur atau bangunan gedung gereja, sudah agak lama kurang mendapat perhatian. Akhir-akhir ini, perhatian ke arah arsitektur gedung gereja mulai tumbuh lagi, khususnya setelah Konsili Vatikan II yang juga berpengaruh di lingkungan Gereja Protestan. Kini bergeser dari arsitektur monumental ke arah arsitektur yang mengekspresikan misi Allah di dunia ini. Gedung gereja sebagai tempat dan pusat Umat dalam ber-Jemaat, menjadi simbol misi Allah yaitu 17 Scn. 16, hlm. 68-72, bdk. Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, hlm. 170-178.
33
penyelamatan umat manusia secara utuh. Oleh karena itu, arsitektur gedung gereja diupayakan menampilkan kesan: damai, teduh, tulus, terbuka, rendah hati, dan selaras dengan lingkungan di sekitarnya.
4. Desain Interior Gereja Desain interior gedung gereja, menyangkut pembagian ruangan, penataan perabotan yang diperlukan, dekorasi. Penataan dan pembagian ruang, meliputi penataan ruang depan (narthrex: semacam lobi), ditata sedemikian rupa untuk mendukung perjumpaan orang-orang yang akan merayakan ibadah. Ada space yang cukup longgar bagi orang-orang yang akan beribadah itu untuk saling menyapa, saling bercakap-cakap sebelum memasuki ruang berikutnya, yaitu ruang ibadah. Ruang ibadah, merupakan tempat di mana umat berhimpun bersama dan ikut ambil bagian secara aktif dalam perayaan ibadah. Oleh karena itu, perlu ditata sedemikian rupa untuk mendukung terciptanya suasana persekutuan/ perhimpunan, serta diupayakan agar umat dapat bergerak dengan mudah dalam melakukan gerakan ibadah. Penggunaan dan pemilihan bahan tempat duduk, desain, pemilihan warna, perlu dipertimbangkan sungguh sebagai sarana yang mendukung perayaan ibadah. Demikian juga penggunaan pengeras suara dan pencahayaan, juga perlu ditata secara baik, tidak merusak suasana tetapi sebaliknya mendukung kekhidmatan, keteduhan, dan kesukacitaan perayaan. Kemudian penataan altar pada ruang ibadah, juga perlu diperhatikan. Dekorasi, pencahayaan, penempatan perabot-perabot ibadah seperti bokor baptisan, Alkitab besar dll. diusahakan jangan merusak suasana agung, luas, terang, dan akrab/dekat/tak ada batas tegas yang menjadi simbol kehadiran Allah. Pemilihan warna dekorasi (penggunaan lilin, kain, bunga dll.) seharusnya disesuaikan dengan warna ibadah yang sedang menjadi tema, seperti masa adven, natal, epifani dst.
34
5. Perabot, Warna, dan Busana Ibadah
Perabot ibadah meliputi: Alkitab ukuran besar, mimbar, meja perjamuan (dengan atau tanpa alat-alat perjamuan), alat baptisan, taplak meja perjamuan, mimbar kecil dsb. perlu diatur penempatannya secara rapi. Perabot ibadah ini penting, untuk menghubungkan umat dengan makna simbolis benda-benda itu. Mengenai warna liturgi, meliputi warna-warna sbb.: • putih: lambang sukacita, kesucian, kebenaran, kejayaan dan kemenangan, dan terang ilahi. • ungu/violet: lambang kebijaksanaan, keseimbangan, mawas diri, waspada. • biru: lambang penantian dan pengharapan. • merah muda: lambang penyesalan dan pertobatan. • merah: lambang kemartiran, pengorbanan, pengutusan. • hijau: lambang ketenangan, keheningan, kesegaran, kesembuhan, kelegaan kemurahan. • hitam: lambang kegelapan, kesedihan, kematian (warna ini sudah sangat jarang digunakan).
6. Busana liturgi
Busana itu berupa jubah pendeta dan jubah-jubah lainnya yang dipakai petugas liturgi. Busana itu bukan busana jabatan, bukan busana status, tetapi menunjuk pada kesungguhan dan tanggung jawab atas suatu peran atau panggilan tertentu. Khususnya jubah pendeta, sebaiknya menampilkan kesederhanaan tanpa hiasan macam-macam, meskipun harus dibuat dari bahan yang berkualitas dan baik. Sekarang juga semakin banyak dilengkapi dengan stola (semacam selendang), yang seharusnya warna stola disesuaikan dengan warna liturgi. Memperhatikan hal-hal di atas, di kalangan Gereja-gereja Protestan, usaha untuk memberi perhatian terhadap Tata Ruang dan Perabot Ibadah terasa terabaikan. Gereja-gereja Protestan terjatuh pada penekanan fungsi Tata Ruang dan Perabot Ibadah, dan melupakan makna simbolis (bentuk/wujud)-nya. 35
Di lingkungan Gereja Katolik, sesudah Konsili Vatikan II, khususnya dalam kaitan dengan pembaruan liturgi, usaha untuk memikirkan Tata Ruang dan Perabot Ibadah sebagai sarana penunjang mendapat perhatian yang cukup serius. Meskipun agak terlambat, kita boleh bersyukur bahwa akhir-akhir ini usaha Gereja-gereja Protestan termasuk GKJ untuk memperhatikan Tata Ruang dan Perabot Ibadah mulai bangkit lagi.
Daftar Pustaka: Hadiwijono, Harun, Kawula Pitados Bakker, Penghibur Sejati/Panglipur sejati GKI Bergumul dalam Warisan Tradisi White, James F., Pengantar Ibadah Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2002. 5. Enklaar, I. H., Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen, BPK Gunung Mulia, 2003. 6. Rachman, Rasid, Pembaruan Liturgi Protestan 7. Riemer G., Cermin Injil, Ilmu Liturgi, Jakarta, YKBK/OMF, 1995 8. Thurian, Max and Wainwright, Geoffrey (Ed.), Baptism and Eucharist, Ecumenical Convergence in Celebration, Geneva, WCC Publications, 1983 9. Th. Van den, Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004. 10. Abineno, J.L. Ch., Dr., Unsur-unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-gereja di Indonesia, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001. 1. 2. 3. 4.
36