BAB III LITURGI GEREJA KRISTEN JAWA
3.1. Pendahuluan Istilah Liturgi Gereja Kristen Jawa (GKJ) di dalam Bab I telah dijelaskan sebagai tatanan dalam ibadah yang dimiliki oleh GKJ dengan berbagai unsur pokok beserta dengan susunan dan pengertiannya sebagai suatu rumusan yang berlaku. Adapun GKJ itu sendiri adalah merupakan kehidupan bersama religius yang berpusat pada penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus Tuhan yang ada di suatu tempat tertentu, yang dipimpin oleh majelis gereja, dan yang telah mampu mengatur diri sendiri, mengembangkan diri sendiri, serta membiayai diri sendiri berdasarkan Alkitab, Pokok-Pokok Ajaran dan Tata Gereja serta Tata Laksana yang disusunnya. Sehubungan dengan tujuan kajian pada tulisan ini, ada berbagai sisi yang dapat dicermati dari rumusan tata peribadahan GKJ. Selain mengungkapkan isi maupun susunan yang terdapat di dalamnya, awal mula keberadaan liturgi GKJ dengan berbagai latar belakang dan tindakantindakan pengembangan di waktu kemudian di tengah tantangan dan pergumulan kebutuhan jaman, juga merupakan sisi penting lain yang perlu dikemukakan. Karena itu dalam bagian kajian data ini akan disampaikan berturut-turut tentang gambaran liturgi umat Kristen Jawa sebelum GKJ, 97
kelahiran dan penyebabnya, pokok-pokok bagian liturgi GKJ, beserta tantangan dan pegumulan di dalam pengembangannya.
3.2. Liturgi Umat Kristen Jawa Pra-GKJ Yang dimaksudkan dengan Umat Kristen Jawa Pra-GKJ di sini adalah umat Kristen yang sebelum menjadi GKJ sebagai buah asuhan GKN (Gerefor-meerde Kerken in Nederland) pernah menjadi umat Kristen di bawah asuhan penginjil bernama Sadrach. Dalam tulisan Sigit Heru Soekotjo, sang penginjil itu memberi nama jemaat asuhannya dengan sebutan Gôlôngane Wông Kristên Kang Mārdikâ (Ind. Golongannya Orang Kristen Yang Merdeka).142 Alasan penting untuk mengungkap gambaran liturgi umat Kristen Jawa pada masa waktu sebelum keberadaan GKJ di bagian ini adalah karena meskipun intinya mengarah pada tujuan keselamatan atas iman yang sama di dalam Yesus Kristus Tuhan, tetapi bentuk pengungkapannya berbeda dengan liturgi GKJ yang dikenal pada masa kini. Dalam tulisan sejarah yang disusun oleh Soekotjo tadi, sewaktu kumpulan umat Kristen Jawa di daerah Jawa Tengah (bahkan ada juga yang di wilayah Yogyakarta) dikelola oleh pendiri yang sekaligus seorang penginjil pribumi yang bernama Sadrach, ibadah mereka menampakkan adanya nuansa sentuhan kebudayaan Jawa yang cukup kuat. Bukan hanya penggunaan bahasa Jawa, pakaian adat,
142
S. H. Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1: Di Bawah BayangBayang Zending 1858-1948 (Salatiga, Yogyakarta: LSP GKJ, TPK, 2009), 179, 184, 204205.
98
ataupun bangunan peribadahan berbentuk joglo dengan puncak atap terpasang senjata anak panah dan senjata cakra yang lekat dengan lambang filosofi kepercayaan hidup orang Jawa, tetapi ada sisi perilaku maupun sisi seni Jawanya pula. Gambaran yang demikian itu jelas di dalam keterangan lanjut dari Soekotjo yang digali dari versi Pendeta Heyting dan Pendeta Adriaanse. Menurut versi pertama, pada waktu ibadah umat duduk lesehan beralas klâsâ (tikar pandan) maupun blékêtepe (anyaman daun kelapa). Kaum wanita mengenakan kerudung dan duduknya terpisah dengan kaum lakilaki. Saat pelayan ibadah datang menempatkan diri, para laki-laki berdiri. Selanjutnya umat mengucapkan Doa Bapa Kami yang diteruskan dengan doa syukur oleh imam. Setelah itu dilantunkan kidûng pujian bersama, dan setelah itu dibacakan Alkitab serta dilayankan khotbah atau disaksian. Akhirnya, ibadah ditutup dengan kidûng pula. Adapun versi kedua yang ditulis 15 tahun kemudian, dinyatakan bahwa sebelum ibadah dimulai umat duduk-duduk sambil menikmati hidangan minum di pêndâpâ. Selanjutnya ketika ibadah akan dimulai mereka berdiri di depan pintu sambil mengucapkan doa pendek secara pelan, dan berjalan ke arah mimbar yang disusul persembahan serta doa syukur. Setelah itu mereka kemudian mengambil tempat duduk. Berikutnya umat melakukan doa pribadi atau pelayanan Doa Bapa Kami yang dibacakan oleh imam, diteruskan nyanyian jemaat dan pembacaan Sepuluh Hukum Tuhan atau ringkasannya, pengucapan
99
Pengakuan Iman Rasuli, pembacaan Alkitab dan khotbah, doa syukur, dan penyampaian berkat.143 Formasi duduk umat pada peibadahan itu pun mirip dengan pola padepôkan (sekolahan ala Jawa). Seperti diungkapkan oleh Soetarman Soediman Partanadi, dalam peribadahan itu umat duduk dengan formasi setengah lingkaran di depan pengkotbah atau sang pemimpin ibadah yang menghadap Alkitab di atas meja kecil sebagai mimbar.144 Dari penjelasannya pula, nuansa Jawa dalam liturgi para pengikut Sadrach itu terlihat jelas dengan adanya nyanyian yang disebut sêkar (têmbang atau kidûng) yang dilantunkan tidak hanya sebagai pujian kepada Tuhan, tetapi juga untuk doa maupun pengakuan iman mereka. Nyanyian-nyanyian itu dikenal dengan istilah “Rêrêpénìng Tiyang Kristên” (Nyanyiannya Orang Kristen), yang meliputi Sêkar Kinanthi Pêpakên Sādâsâ Prākawìs (Nyanyian Kinanthi Sepuluh Hukum), Sêkar Sinôm Pāngakênìng Pitadôs Rasuli (Nyanyian Sinom Pengakuan Iman Rasuli), Sêkar Pucûng Dongâ Râmâ Kawulâ (Nyanyian Pucung Doa Bapa Kami), Sêkar Dhandhang Gulâ Pandongâ Badhe Nampéni Piwulang (Nyanyian Dhandhang Gula Doa Hendak Menerima Pengajaran), Sêkar Mas Kumambang Rêrêpén Pandongâ Íng Wanci Enjang (Nyanyian Mas Kumambang Lantunan Doa Di Waktu Pagi), Sêkar Mijìl Rêrêpén Pandongâ Badhe Nêdhâ (Nyanyian Mijil Lantunan
143
Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 226-229. Soetarman Soedirman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual: Suatu Eskpresi Kekristenan Jawa pada Abad XIX (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 151-162. 144
100
Doa Hendak Makan), Sêkar Gambûh Rêrêpén Pamuji Íng Wanci Sôntên (Nyanyian Gambuh Lantunan Pujian Di Waktu Sore atau Petang).145 Data di atas memiliki kesesuaian dengan penuturan Petrus dan Soegeng Soegiarto yang merupakan para generasi penerus Jotham Martoredjo, satu-satunya pewaris Sadrach. Dalam wawancara dengan mereka, jalannya peribadahan umat Kristen Jawa pada waktu itu, dijelaskan sebagai berikut: “Sewaktu warga Gereja memasuki gerbang yang ada di sebelah Utara itu, kemudian duduk istirahat bersama beberapa saat sambil berbincang di pendapa sini. Lalu ketika hendak masuk ke Gereja atau dulu yang disebut masjid, semua membasuh diri bersama. ... Ada padasan dekat gerbang sebelah dalam sana untuk berbasuh. ... Setelah itu bersama menuju pintu Gereja dengan tenang. Sampai di depan pintu itu kemudian membungkung, berjalan masuk dengan jongkok dan tertunduk, hingga duduk dengan batin hening. ... Semua tidak boleh ngobrol lagi dan harus berdoa dalam hati. ... Karena di dalam semuanya harus sudah siap menghadap Tuhan. ... Formasi yang bersama duduk tersebut berkeliling di depan dan di kiri kanan pengajar duduk. ... Ketika pendeta atau pengajar telah duduk dan siap di depan meja mimbar kecil untuk menempatkan Alkitab, kebaktian dimulai dengan mengajak warga persembahan bersama. ... setelah terkumpul, persembahan dihaturkan dengan doa. ... Disertai juga Doa Bapa Kami. Tetapi Doa Bapa Kaminya berupa nyanyian, seperti pengakuan Sahadat Rasuli setelah Doa Bapa Kami tersebut. ... Membaca Alkitab dan khotbah dilakukan setelah sahadat. ... Terkadang khotbahnya uraian, tetapi ada juga 145
Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstual, 159-163, 295-302.
101
nyanyian yang isinya petunjuk. ... Selesai khotbah diteruskan doa maupun pujian dengan nyanyian. ... akhirnya, sebelum ditutup dan dibubarkan, pendeta atau pengajar menghantarkan berkat.”146 Disayangkan bahwa liturgi peribadahan Gôlôngane Wông Kristên Kang Mārdikâ di atas hanya untuk Ibadah Hari Minggu biasa. Untuk pelaksanaan Sakramen Perjamuan yang menjadi pusat atau inti peribadahan Kristen itu sendiri tidak mereka singgung. Dimungkinkan hanyalah C. Guillot yang menyinggungnya, dan hal itu pun singkat sekali. Dinyatakannya bahwa pada tanggal 30 April 1899, untuk pertama kalinya di Gereja Karangjoso, Sadrach menyelenggarakan ekaristi.147 Selain pernyataan itu, tidak ada penjelasan lain secara khusus ataupun lanjutan. Artinya seperti apa wujud sakramen tersebut tidak jelas. Unsur-unsur pokok apa saja yang menjadi susunannya, piranti apa saja yang dipergunakan, dan bagaimana tatacara pelaksanaan serta maknanya, semuanya itu belum dapat diketahui. Yang pasti, secara umum liturgi peribadahan yang dilaksanakan umat Kristen Jawa pra-GKJ itu punya perbedaan khas. Sebagaimana telah diungkapkan, bila awalnya memiliki wujud yang kental dengan nuansa budaya pribumi, maka ketika telah menjadi GKJ wujudnya cenderung menonjol dalam nuansa budaya Eropa yang khas dengan gaya resmi ala sidang pengadilan pemerintah Hindia-Belanda. Misalnya dari segi penampilan seperti pakaian, cara penyampaian ajaran, kebiasaan persiapan masuk
146
Lampiran 6. C. Guillot, Kyai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), 166. 147
102
peribadahan, formasi tempat duduk, dan lain sebagainya. Selain penampilan ada juga sisi dari dalam dasar pemikiran dan makna yang dapat dirumuskan dari apa yang ada pada sisi kelihatan itu. Misalnya gagasan teologis sebagai dasar ajaran maupun tradisi gereja yang lebih banyak dipengaruhi pandangan luar, yaitu ajaran Calvinis dari GKN yang pada tahun 1933 menjadi Gereja mitra resmi semenjak penerus Sadrach, yaitu Jotham Martoredjo membuat pendekatan terbuka bagi kehidupan jemaat terhadap kenyataan suasana perkembangan dan kemajuan yang terus berlanjut hingga sekarang sebagai GKJ.148 Tentunya bukan hanya hubungan pengaruh langsung dari sejarah ajaran itu saja sehingga bisa dibedakan wujud liturgi peribadahan umat Kristen Jawa di masa lalu dengan sekarang yang disebut GKJ. Ada sisi penting lain yang ikut mewarnai perkembangan dan perbedaan liturgi GKJ dengan masa sebelumnya, yaitu berbagai perubahan kehidupan masyarakat Jawa dalam kesatuan Negera Republik Indonesia, seperti berikut ini.
3.3. Kelahiran Liturgi GKJ Keberadaan liturgi GKJ tidak lepas dari status kedewasaannya yang ditandai dengan wadah kesatuan gereja-gereja seasas dalam ikatan sinode pada tanggal 17 Februari 1931 di Kebumen. Dilihat dari waktu kedewasaan tersebut liturgi yang berlaku secara umum di tengah umat GKJ memang dapat dikatakan unik. Sebab, liturgi GKJ yang masih berlaku hingga hari ini 148
Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 238-252.
103
adalah liturgi awal yang secara resmi ada pada tahun 1961.149 Padahal, bila dilihat dari rumusan ajaran iman (dogma) yang dimiliki GKJ sendiri sebagai sumber untuk merumuskan liturginya, baru ada pada tahun 1996. Dalam artikel 65, Akta Sinode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, butir 1-4 dinyatakan bahwa: “Setelah mendengarkan laporan Seksi III mengenai Laporan Deputat Liturgie yang ditambah penjelasan lisan oleh Mr. Dr. D. C. Mulder tentang Liturgi Persekutuan Ibadah Pagi 150: (1) Menerima Susunan Liturgi Ibadah Pagi secara utuh setelah diadakan perubahanperubahan secukupnya. (2) Pelaksanaan liturgi ini direncanakan besuk Hari Raya Pentakosta, tanggal 21 Mei 1961. (3) Sebelum liturgi ini dilaksanakan/ dimulai, jemaat-jemaat berkenan mempelajari terlebih dulu rancangan tata peribadatan tadi. (4) Menugasi Deputat Liturgie memperbanyak susunan liturgi dengan keterangannya dan menyebarluaskan kepada jemaat-jemaat secepatnya.”151 Meskipun liturgi GKJ yang berlaku umum di tengah umatnya muncul tigapuluh tahun semenjak kelahirannya sebagai gereja dewasa, bukan berarti bahwa sebelum masa itu tidak ada liturgi di dalam kehidupan peribadatan mereka. Kenyataan ini nampak tersirat dengan jelas dalam bahan percakapan sidang sinode GKJ nomor 33 pada tahun 1938, di kota Kebumen. 149
Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa, tanggal 20-24 Februari 1961 ing Magelang. 150 Ibadah Pagi yang dimaksud adalah Ibadah Minggu. Disebut Ibadah Pagi, karena Peribadahan umat GKJ pada hari Minggu pada waktu itu memang diselenggarakan hanya satu kali dengan waktu pagi hari. Adapun kegiatan persekutuan umat di gedung Gereja pada waktu sore harinya tidak dimaksudkan peribadatan tetapi menjadi kesempatan untuk mengadakan pelayanan pengajaran (katekisasi) bagi para warga anggota majelis dan warga persiapan baptis maupun sidhi. 151 Acta Synode VII Geredja-Geredja Kristen Djawa Artikel 65.
104
Dalam bahan tersebut dinyatakan bahwa, Klasis Ngayogyakarta usul supaya ada panitia untuk meneliti dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata peribadatan yang ada di tengah Jemaat Kristen Jawa.152 Dari akta sidang tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan peribadatan umatnya, di lingkup GKJ ada jemaat-jemaat yang telah mempunyai dan menggunakan liturgi milik mereka masing-masing. Pengertian itu sekaligus menunjukkan pula bahwa liturgi yang dimiliki oleh masingmasing jemaat dilingkup GKJ dimungkinkan berbeda-beda. Formula liturgi yang dimiliki oleh jemaat GKJ yang satu berbeda dengan formula liturgi jemaat GKJ yang lainnya. Karena kemungkinan itulah, liturgi mereka pandang penting untuk diangkat menjadi percakapan bersama di lingkup sinode pada usia tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa. Adapun percakapan-percakapan lain berkaitan dengan tata peribadatan umat di dalam persidangan-persidangan sinode sebelum maupun sesudah tahun 1938 tersebut lebih mengarah pada persoalan perlengkapan maupun pengembangan yang dibutuhkan untuk peristiwa-peristiwa penting gerejawi. Misalnya, seperti nyanyian-nyanyian jemaat, musik untuk peribadatan, Baptisan dan Perjamuan Kudus beserta dengan rumusan yang digunakan dalam peribadatan maupun surat keterangan pelayanan baptis, pengakuan iman GKJ, tata cara atau teknis pelaksanaan liturgi, dan lain sebagainya.153
152
Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen PasamoewanPasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, Wonten ing Keboemen, no. 33. 153 Lih., Akta persidangan Sinode GKJ tahun 1931-1936, 1964, dan seterusnya.
105
Seperti dijelaskan dalam petunjuk pelaksanaan liturgi yang dicontohkan dari hasil penelitian yang terdapat pada akta persidangan berikutnya154 setelah tahun 1938, persidangan sinode GKJ pada tahun 1940 di Magelang, Jawa Tengah, disampaikan sebagai berikut:155 “(1) Gereja diharapkan ketenangannya. (2) Masuknya warga jemaat ke gereja jangan terlambat. Sebab, persekutuan pada waktu itu tadi hendak menghadap kepada Tuhan yang diharap-harapkan berkatnya. (3) Selama duduk menanti keluarnya pendeta, bersama-sama perlu keheningan supaya khidmat. Sewaktu pendeta tampak keluar, jemaat bersama-sama berdiri, layaknya seperti orang menghormati datangnya utusannya raja yang menjunjung perintah, yang akan dicurahkan. Berdirinya jemaat tadi hingga sampai selesainya pendeta mencurahkan berkat pembukaan persekutuan (Ibadah). (4) Pendeta keluar dari ruang belakang diiring anggota majelis. Pendeta naik mimbar, anggota majelis dan jemaat berdoa pribadi sesaat. Pendeta kemudian mengajak jemaat dengan kalimat, “Marilah kita berbuat dalam hati demikian. Pertolonganku itu berasal dari kuasa Nama TUHAN yang menciptakan
154
Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng) Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel kala tanggal 29-31 Juli 1940 ing Magelang Artikel 9, menyatakan: “Panitia telah membuat rancangan liturgi sementara, tetapi hanya memberikan satu Tata Ibadah Minggu ini. Percakapan tentang isi dan urutannya telah disepakati semua. Namun karena tempatnya berbeda-beda, maka membuat keputusan: Diserahkan kepada jemaat-jemaat supaya kemudian dicoba, kelak kemudian bisa melihat kekurangannya, sehingga kemudian bisa membuat tatanan yang baku, dengan mengingat penerapan dan tempat.” (Terjemahan). 155 Acta Kakantjingan-Kakantjingan Rembag-Rembag Synode (Rapat Agoeng) Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 29-31 Juli 1940 ing Magelang, Artikel 9.
106
langit dan bumi. Amin.” (5) Setelah mengucapkan votum156 tadi, pendeta kemudian berkata kepada jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara, silakan saudara terima berkat Tuhan Allah. Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Amin.” (6) Setelah bersama-sama menyanyi, pendeta kemudian berkata kepada jemaat dengan kalimat, “Saudara-saudara. Silakan saudara terima hukum perintahnya Tuhan Allah.” Dengan suara lantang dan pelan, “Akulah TUHAN, Allahmu ...,” seterusnya hingga sampai hukum yang kesepuluh. Sehabis pembacaan hukum-hukum, anggota majelis (yang duduk di depan) membaca nyanyian yang dipakai untuk memberikan jawabannya jemaat terhadap perintah tadi, kemudian mengajak jemaat menyanyikan nyanyian tadi. (7) Apabila pendeta mengambil pengakuan iman, demikian, “Marilah bersama-sama mengakui iman kita di tengah dunia. Aku ...,” seterusnya. Sehabis pengakuan iman, dilanjutkan menyanyi nyanyian yang berhubungan dengan kepercayaan iman. (8) Setelah menyanyi, pendeta membaca ayat Alkitab. Kemudian mengajak jemaat berdoa. Sebelum berdoa, kalau perlu, pendeta menyatakan ringkasan yang akan diberikan di dalam doa tadi. (9) Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi. Selama jemaat menyanyi, kantong persembahan diedarkan. (10) Sehabis itu, pedeta mulai khotbah. Setelah khotbah, pendeta menutup ajaran dengan Doa Bapa Kami atau doa lainnya. Setelah berdoa, jemaat diajak menyanyi penutup. 156
Votum, artinya janji yang khidmat atau ikrar., Sinode GKJ, Liturgi GKJ, (Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 1994), hal. 10. Bnd., Dr. J. L. Ch. Abineno, UnsurUnsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 2-6.
107
(11) Selesai menyanyi, jemaat diajak berdiri kembali untuk menerima berkat. Kalimatnya pendeta, “Saudara-saudara. Saudara terimalah berkat Tuhan Allah. Kasih karunia dari Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus kiranya ada pada saudara sekalian. Amin. (12) Bubarnya para anggota jemaat menunggu turunnya pendeta dari mimbar.” Dari uraian kelahiran liturgi GKJ di atas ada persoalan menarik. Sewaktu rancangan liturgi peribadahan GKJ hendak disahkan, selain laporan dari Deputat Liturgie yang beranggotakan para teolog Jawa ada sebuah sumber lain yang berkaitan dengan keputusan itu, yaitu penjelasan lisan dari D. C. Mulder yang ditugaskan GKN untuk berpelayanan di GKJ. Nampaknya pembentukan liturgi GKJ belum memiliki hubungan dengan konteks Jawa sebagai kebudayaan tradisi maupun masyarakat yang berkembang di tengah perubahan kehidupan sosial, politik, dan ekonomi nasional, melainkan terdapat pengaruh konteks Belanda sebagai bangsa yang berbudaya Barat. Persoalan tersebut dapat dibandingkan dengan liturgi umat Kristen pra-GKJ yang menurut keterangan dari Soetarman157 dan Soekotjo158 bukan saja dirumuskan oleh Sadrach karena dirinya beserta umat asuhannya adalah orang Jawa, tetapi juga dikarenakan adanya kepentingan penyetaraan jati diri budaya dan pribadi masyarakatnya terhadap berbagai pengaruh asing, khususnya budaya bangsa Arab melalui Islam dan budaya bangsa Eropa melalui Belanda. 157 158
Soetarman, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, 252-254, Soekotjo, Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa Jilid 1, 204-206.
108
3.4. Penyebab Lahirnya Liturgi GKJ Sesuai dengan pilahan dokumen liturgi yang terekam pada akta-akta persidangan sinode GKJ sejak awal hingga sekarang, ada dua butir penyebab penting yang dapat ditemukan secara langsung dalam kelahiran liturgi GKJ.
3.4.1. Penyebab pertama: dorongan dari semangat kedewasaan di dalam diri GKJ sendiri Tujuh tahun setelah lahir menjadi Gereja dewasa, semangat yang nampak pada persidangan sinode GKJ tahun 1938 memperlihatkan adanya kesadaran bersama tentang kebutuhan liturgi yang penting di dalam peribadatan umatnya. Karena itu pada persidangan sinode tahun 1938 ini dicetuskan gagasan untuk mengadakan penelitian, penghimpunan, serta pengkajian aneka liturgi yang sebelumnya telah ada dan digunakan oleh beberapa jemaat GKJ pada waktu itu (misalnya: Ngayogyakarta, Kebumen, Kedu). Artinya, upaya yang dilakukan melalui persidangan sinode oleh GKJ pada waktu itu menunjukkan adanya semangat kemandirian di dalam ikatan kehidupan bersama mereka sebagai Gereja yang merasa memiliki jati diri. Dorongan itu tercermin pula dalam percakapan-percakapan persidangan sinode yang dilakukan oleh GKJ sejak awal pada tahun 1931, terkait dengan perlengkapan penting di dalam peribadatan. Contohnya, salah satu perlengkapan penting yang dibutuhkan pada peribadatan waktu itu adalah nyanyian yang digunakan oleh jemaat. Walaupun tidak bisa seketika
109
terwujud, namun upaya mandiri berikutnya untuk memenuhi kebutuhan itu dinyatakan secara jelas dengan serangkaian tindakan secara bertahap untuk menyusun Nyanyian Mazmur 150 dan Nyanyian Kidung dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, serta Nyanyian Pelengkap (Kidung Suplemen). Bahkan, dikemudian waktu berkembang juga wacana untuk nyanyiannyanyian rohani populer.159
3.4.2. Penyebab kedua: dorongan dari semangat kesatuan para jemaat (oikumene) di kalangan GKJ itu sendiri Terlepas dari bentuk kepemimpinan GKJ yang bersifat presbiterial sinodal, atau yang akhirnya ditegaskan hanya presbiterial saja, keinginan untuk memiliki satu liturgi yang sama dan berlaku untuk semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ terasa begitu kuat. Kenyataan ini nampak dari kecenderungan bahan percakapan maupun keputusan yang diambil dalam percakapan-percakapan persidangan sinode oleh GKJ itu sendiri sejak awal kelahirannya sebagai Gereja dewasa hingga waktu-waktu selanjutnya. Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetosanipoen RembagRembaging Synodenipoen Pasamoewan-Pasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel tahun 1939 di Kebumen, nomor 33, dalam hal ini menjadi pijakan untuk dilakukannya perumusan satu liturgi yang sama dan 159
Lih., Akta sidang: Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjokarta 1932, Synode Soerakarta 1934, Synode Magelang 1935, Synode Poerwakerta 1936, Synode Keboemen 1938, Synode Magelang 1940, Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946, Synode Magelang 1948, Sinode GKD III 1951, Sinode GKD IV 1954, Sinode GKD V 1956, Sinode GKD VI 1958, Sinode GKD X 1967, Sinode GKD XI 1969, Sinode GKJ XIII 1974, Sinode GKJ XIV 1975, Sinode GKJ XV 1978, Sinode GKJ XVI 1981, Sinode GKJ XVII 1984, Sinode GKJ XIX 1989, Sinode GKJ XX 1991, Sinode GKJ XXII 1998, Sinode GKJ XIII 2002, Sinode GKJ Antara 2004, Sinode GKJ XXIV 2006, Sinode XXV 2009.
110
berlaku untuk semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ.160 Sebab akta ini kemudian ditindaklanjuti dengan munculnya susunan liturgi sementara untuk peribadatan hari Minggu pada persidangan sinode oleh GKJ pada tahun 1940 di Kebumen, dengan pokok-pokok bagian liturgi yang berurutan sebagai berikut: (1) Pendeta keluar dari ruang belakang diiringi oleh warga majelis. (2) Pendeta berdiri di mimbar, berdoa pribadi, mengucapkan votum dan membagi berkat. (3) Bernyanyi bersama. (4) Pembacaan hukum-hukum, atau mengucapkan pengakuan iman rasuli 12. (5) Bernyanyi bersama. (6) Pendeta membacakan ayat Alkitab. (8) Bernyanyi bersama bersamaan beredarnya kantong persembahan. (9) Khotbah. (10) Doa Bapa Kami, atau yang lainnya. (11) Bernyanyi bersama. (12) Membagikan berkat. Supaya liturgi sementara untuk hari Minggu ini dapat dijalankan secara seragam oleh semua umat di kalangan jemaat-jemaat GKJ, maka susunan liturgi yang sudah tersusun dengan pokok-pokok bagian di atas juga diberikan penjelasan tentang petunjuk pelaksanaannya pula.161 Bahkan pada persidangan sinodenya yang dilakukan kembali di Magelang pada tahun 1948, petunjuk pelaksanaan liturgi GKJ ini semakin ditekankan dalam artikel 48 nomor 4, butir a-h. Dalam artikel tersebut dinyatakan usulan 160
Isi dari Acta Kakantjingan-Kakantjingan lan Kapoetoesanipoen PasamoewanPasamoewan Christen Djawi ing Djawi Tengah Kidoel, kala tanggal 4-7 Juli 1938, di Kebumen, no 33 adalah: “Klasis Ngayogyakarta usul supaya ada panitia untuk meneliti dan mengumpulkan serta mengkaji tentang tata peribadatan yang ada di tengah-tengah Jemaat Kristen Jawa. Utusan kepada persidangan Majelis Zending menambahkan penjelasan bahwa di dalam persidangan Majelis Zending yang baru terlaksana juga membahas persoalan ini dan sekarang belum ada penyelesaiannya. Putusan: Sinode menugasi Majelis Gereja Kristen Jawa di Gandakusuman Ngayogyakarta supaya meneliti dan mengkaji, serta menghimpun tentang adanya tata peribadatan di tengah Jemaat Kristen Jawa, serta mempertimbangkan persoalan ini dengan sebaik-baiknya.” (Terjemahan). 161 Lih., bagian lahirnya liturgi GKJ.
111
bahwa, sinode menentukan liturgi untuk daerah yang masuk dalam lingkup Sinode Jawa Tengah sebelah Selatan. Keputusannya, Sinode menerima usulan ini. Sedang alasannya, karena setelah Sinode 1940 hingga sekarang tata peribadatan berjalan belum sama dan berulang-ulang selalu menimbulkan kekisruhan,162 maka Sinode XII memutuskan menentukan pelaksanaannya seperti di berikut ini: “(a) Yang membuka pintu ialah penatua yang memimpin doa. (b) Sebelum pendeta naik mimbar, diadakan acara mengangguk. (c) Di dalam menerima hukum, umat duduk. (d) Kemudian diterima dengan menyanyi bersama dengan berdiri atas ajakan salah satu penatua. (e) Bila menyatakan pengakuan iman, umat berdiri. (f) Nyanyian setelah pengakuan iman dinyanyikan dengan berdiri atas ajakan pendeta. (g) Persembahan dihaturkan setelah khotbah bersama dengan bernyanyi. (h) Pengumuman warta jemaat dilakukan setelah tata peribadatan oleh salah seorang penatua.” Upaya untuk kesamaan tata cara pelaksanaan liturgi itu pun ternyata belum selesai. Sebab Dalam persidangan sinode berikutnya pada tahun 1950, kembali muncul penambahan-penambahan aturan, khususnya yang terkait tindakan yang dilakukan oleh pendeta dan yang bukan pendeta. Dalam Akta Sinode GKD II 1950 artikel 52 dinyatakan bahwa, setelah membahas dan mengadakan perubahan secukupnya, uruturutan liturgi menjadi seperti yang disebutkan di bawah (berikut) ini.163 “(1) Votum (krama). (2) Berkat; Bunyi-nya seperti II Korintus 1:2. Apabila yang 162 163
Lih., Akta Synode Poerworedja 1942, Synode Ngajogjakarta 1946 no. 34. Akta Sinode GKD 1950 Artikel 52.
112
mengucapkan bukan pendeta, bunyi berkat lalu, “... ada pada kita sekalian.” (3) Memuji. (4) Pembacaan hukum atau pengucapan pengakuan iman. (5) Memuji sesuai dengan no. 4. (6) Pembacaan Alkitab. (7) Berdoa. (8) Memuji dan menghaturkan persembahan. (9) Khotbah. (10) Berdoa. (11) Memuji. (12) Kepyakan. (13) Berkat; Apabila bukan pendeta, bunyinya, “... kita sekalian.” Liturgi ini sebagai contoh yang disarankan oleh Sinode.” Kedua penyebab penting lahirnya liturgi GKJ itu selalu memberi warna dalam perkembangan yang ada hingga sekarang. Selain tampak dalam nyanyian pujian umat maupun tata aturan dalam petunjuk pelaksanaan liturgi, kenyataan ini tampak pula dalam persoalan pengakuan iman yang terkait dengan meningkatnya kesadaran akan keberadaan dan jati diri GKJ dalam pergumulan di tengah ladang dunianya, 164 pelayanan Baptis dan Perjamuan Kudus dengan piranti dan rumusan-rumusannya,165 penumpangan tangan,166 pakaian liturgi dan simbol-simbol liturgi,167 bahasa Indonesia sebagai pengantar pelayanan peribadatan ataupun dalam liturgi,168 dan lain sebagainya.
164
Lih., Synode Keboemen 1931, Synode Ngajogjakarta 1945, Sinode GKD II 1950, Sinode GKJ XVIII 1987 Artikel 137, Sinode GKJ XIX 1989 Artikel 148. 165 Lih., Synode Magelang 1935 no. 22., Sinode GKD IV 1954 Artikel 101., Sinode GKD VII 1961 Artikel 66. 166 Akta Sinode GKD VI 1958 Artikel 103. 167 Akta Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 26. 168 Akta Sinode GKD IX 1964 Artikel 69, Akta Sinode GKD XI 1969 Artikel 133.
113
Kesadaran oikumenis dalam berjemaat maupun sebagai gereja dewasa yang ingin tidak tergantung pihak lain di dalam memiliki liturgi peribadahan umat merupakan kewajaran yang baik. Namun, gagasan liturgi GKJ yang oikumenis itu bukan tidak ada persoalan bila di dalam pelaksanaannya tidak berakar pada konteks kehidupan umat. Demikian pula dengan ketidaktergantungan pada pihak lain untuk melengkapi pelaksanaan liturgi peribadahan yang masih hanya sebatas bisa membuat sendiri barang-barang yang sama dengan pihak lain namun dengan gagasan dan pola-pola mereka tentu belum menuntaskan masalah. Sebab untuk kepentingan kemandirian maupun kebersamaan yang berdaya guna bagi umat harus berpijak pada gagasan dan pola-pola dari konteksnya sendiri. Perbandingan terhadap masalah di atas dapat disandingkan dengan liturgi umat Kristen pra-GKJ dalam peribadahan beserta tata cara maupun nyanyian-nyanyian pujian mereka sendiri yang didasarkan pada gagasangagasan serta pola-pola yang mengakar pada kehidupan mereka sebagai orang Jawa sehingga dapat berdaya guna dalam perkembangan kehidupan umat karena mudah diterima dan dihayati secara lebih sesuai.
3.5. Pokok-Pokok Bagian Liturgi GKJ Bentuk liturgi GKJ yang disahkan pada tahun 1961 untuk berlaku umum di kalangan umat GKJ itu tersusun dari pokok-pokok bagian, sebagaimana berikut ini:
114
Pokok bagian yang pertama adalah adiutorium169 dan salam. Pada bagian adiutorium digunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab Mazmur 124:8, yaitu: Pertolongan kita ada di dalam nama TUHAN, yang menciptakan langit dan bumi. Sedangkan untuk salam, digunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab Surat I Korintus 1:3 ataupun Kitab Wahyu 1:4b-5a, yang demikian: Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan Tuhan Yesus Kristus kiranya ada pada saudara. Setelah duduk, dilanjutkan dengan pokok bagian yang kedua, yaitu nyanyian pujian yang dilakukan oleh umat secara bersama-sama. Setelah umat menyanyikan pujian, pokok bagian yang ketiga adalah perintah-perintah menurut ringkasan Kitab Injil Matius 22:37-40. Pada bagian ini, umat melakukan pengakuan dosa dengan nyanyian, yang kemudian disusul dengan berita anugerah dan petunjuk hidup baru yang dibacakan dari ayat-ayat Alkitab yang dirujuk. Bacaan-bacaan tersebut kemudian disanggupi oleh umat melalui nyanyian. Usai umat menyanyikan nyanyian kesanggupan kemudian diteruskan dengan pokok bagian yang keempat, yaitu pelayanan doa. Pelayanan doa ini terdiri dari ucapan syukur dan syafaat. Setelah selesai, pokok bagian keempat ini disambung dengan pokok bagian yang kelima, yaitu pelayanan per-sembahan. Pelayanan persembahan ini diawali dengan pembacaan ayatayat Alkitab yang memberikan ajakan kepada umat untuk mengumpulkan persembahan beserta dengan tujuannya. Ketika persembahan telah dilaku169
Adiutorium, artinya pertolongan. Lih., Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10. Bnd., Abineno, Unsur-Unsur Liturgia yang Dipakai Gereja-Gereja di Indonesia, 1-2.
115
kan, kemudian menghaturkannya kepada Tuhan dengan doa, sekaligus pemanjatan doa untuk pelayanan Sabda Tuhan itu. Pokok bagian yang keenam adalah pelayanan Sabda Tuhan. Pelayanan Sabda Tuhan di sini terdiri dari pembacaan Alkitab dan nats, kemudian khot-bah. Selesai pelayanan Sabda Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan pokok bagian ketujuh, yaitu doa dan nyanyian penutup. Dan sebelum ibadah ber-akhir, ada pokok bagian yang kedelapan, yaitu pengakuan iman yang dilaku-kan oleh umat secara bersama-sama. Pada akhirnya, ibadah ditutup dengan pokok bagian yang kesembilan, yaitu berkat. Di dalam pokok bagian ini dipergunakan rumusan kalimat yang diambil dari Kitab Bilangan 6:2426, atau Kitab Surat II Korintus 13:13. “TUHAN memberkati saudara dan melindungi saudara. TUHAN menyinari saudara dengan wajahNya dan memberi saudara kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajahNya kepada saudara dan memberi saudara damai sejahtera”. Atau, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai saudara”. Yang penting di dalam tata peribadatan tersebut, keutuhan liturgi GKJ bukan hanya persoalan terlaksananya seluruh urut-urutan pokok-pokok bagian yang telah disebutkan tadi. Di dalam peribadatan GKJ, yang disebut dengan liturgi juga mencakup tindakan penting pada bagian awal dan pada bagian akhir peribadatan. Tindakan yang dianggap penting itu adalah penyerahan Alkitab oleh pejabat penatua kepada pejabat pendeta atau pemimpin yang akan mengajar dan menuntun seluruh jalannya peribadatan 116
sebelum adiutorium; demikian pula sebaliknya, ketika pejabat pendeta atau pemimpin peribadatan hendak undur dari tempat peribadatan setelah berkat.170 Inilah liturgi formula I, atau liturgi baku awal yang berlaku di kalangan umat GKJ.
3.6. Tantangan-Tantangan Terhadap Pelaksanaan Liturgi GKJ Keberadaan liturgi formula I yang berlaku bagi seluruh umat di kalangan jemaat GKJ tersebut nampaknya secara umum diterima dengan baik. Hanya saja, di dalam perjalanan liturgi tersebut di waktu-waktu kemudian bukannya tidak ada masalah. Paling tidak, adanya masalah di dalam perjalanan liturgi formula I dari tahun 1961 itu diberlakukan adalah nampak dengan adanya pengembangan yang dilakukan di kemudian hari, hingga akhirnya muncullah liturgi-liturgi variatif yang diterbitkan pada tahun 1993.171 Berdasarkan penggalian data yang tercatat pada dokumen akta-akta persidangan sinode yang dilakukan semenjak tahun 1961 hingga sekarang, ada beberapa persoalan yang dapat diistilahkan sebagai tantangan dari dalam maupun tantangan dari luar.
170
Artikel 65, Acta Synode VII Gredja-Gredja Kristen Djawa (Terjemahan). Liturgi-liturgi variatif ini merupakan sebutan untuk Liturgi Kebaktian Minggu II dan Liturgi Kebaktian Minggu III. 171
117
3.6.1. Tantangan Liturgi GKJ dari dalam Pada awalnya, tantangan dari dalam atas liturgi formula I adalah berkaitan dengan persoalan keterlibatan umat untuk mengambil bagian di dalam liturgi dipandang kurang, karena hanya diterima sebatas pemahanan lahiriah saja. Sementara para petugas yang memimpin peibadatan juga dipandang belum memberi penjelasan liturgi maupun tata cara pelaksanaannya. Karena itu di dalam butir-butir keputusan yang terdapat pada artikel 69 akta persidangan sinode GKJ IX tahun 1964, dinyatakan bahwa supaya jemaat berpartisipasi di dalam liturgi dan tidak menerima liturgi sebagai tata cara lahiriah saja, dan para liturgos (yang memimpin ibadah) supaya memberi keterangan dalam melakukan liturgi. Persoalan selanjutnya di waktu-waktu awal berlakunya liturgi formula I tersebut adalah kejenuhan. Untuk itu, dalam artikel yang sama terdapat butir keempat yang isinya menyatakan keputusan bahwa persidangan menyetujui liturgi tambahan sebagai variasi yang dapat digunakan bergantiganti. Adapun pokok-pokok bagian di dalam liturgi variasi tersebut adalah sebagai berikut: (a) Votum/Salam Berkat. (b) Njanjian. (c) Sahadat. (d) Sepuluh Hukum Tuhan (atau ringkasannja). (e) Njanjian Pengakuan Dosa. (f) Berita Anugerah. (g) Persembahan. (h) Pembacaan Kitab Suci. (i) Doa Sjafaat. (j) Khotbah. (k) Saat Teduh. (l) Doa Penutup. (m) Berkat.
118
Persoalan kejenuhan ini semakin menonjol, karena beberapa waktu kemudian, di dalam kesempatan sidang berikutnya kembali diangkat.172 Puncak pergumulan terhadap persoalan ini muncul usulan agar ada ibadah atau liturgi Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Kenyataan ini nampak tersirat dengan jelas dalam pernyataan Artikel 86 Akta Sidang Sinode GKJ XVIII 1987. Dalam pembahasan usul dari Sinode Wilayah II tentang Kebaktian Kebangunan Rohani, dan nampaknya ada gejala kejenuhan di kalangan Warga Gereja mengenai penyelenggaraan liturgi GKJ, sidang memutuskan menugasi Deputat Studi untuk meninjau ulang liturgi yang sudah dibakukan dengan mencari kemungkinan bentuk liturgi yang bersifat variatif. Pada akhirnya, tanggapan GKJ tentang KKR ini, dalam Sidang Sinode GKJ Antara yang dilaksanakan pada tahun 1992 cukup sederhana. Dalam persidangan tersebut, keputusan dari usulan Deputat Kesaksian Pelayanan dan Pembinaan tentang KKR versi GKJ adalah bahwa KKR tidak perlu ada. Untuk melaksanakan KKR sebagai sarana menampung aspirasi anggota gereja, tetap dapat memberlakukan Akta XVIII GKJ artikel 95. Selaras dengan persoalan kejenuhan di atas, terdapat persoalan lain yang terkait dengan keberadaan pemuda di kalangan umat GKJ. Keterkaitan ini terletak pada keinginan akan kebutuhan bahasa pengantar yang mudah dimengerti penggunaannya atau praktis di dalam liturgi.173 Kecenderungan akan kebutuhan bahasa pengantar yang dipandang mudah bagi pemuda di
172
Lih., Akta Sidang Sinode GKJ XV tahun 1978 Artikel 81 Sejak awal, penggunaan bahasa pengantar liturgi yang berlaku di tengah jemaatjemaat kalangan umat GKJ adalah bahasa Jawa. 173
119
kalangan umat GKJ itu adalah bahasa Indonesia. Petunjuk adanya permasalahan pemuda di kalangan umat GKJ tersebut tersirat secara langsung dalam usulan-usulan adanya KKR seperti keterangan di atas, dan penterjemahan nyanyian pujian yang telah dimiliki GKJ ke dalam bahasa Indonesia,174 sekaligus pengadaan pujian populer berbahasa Indonesia pula untuk petemuan-pertemuan kaum pemuda dan kaum lainnya dalam akta persidangan-persidangan sinode GKJ hingga saat ini. Untuk permasalahan itu, pada tahun 1964 terdapat artikel persidangan sinode dari GKJ yang menyatakan bahwa: “(d) ... di mana mungkin dan perlu supaja diadakan ibadah dalam bahasa Indonesia, di samping bahasa daerah. Maka djemaat-djemaat di kota-kota besar diandjurkan untuk menjelenggarakan ibadah dalam bahasa Indonesia. (e) Memberi tugas kepada Deputat jang bersangkutan untuk selekas mungkin menjalin formulir-formulir dan liturgi dalam bahasa Indonesia, supaja salinan-salinan tersebut diperbanjak dan dikirimkan kepada djemaat-djemaat jang membutuhkannja. ...”175 Hanya saja, kebutuhan nyanyian pujian milik GKJ berbahasa Indonesia maupun nyanyian populer yang diwacanakan dan diusulkan di atas dipandang masih berat dalam pelaksanaan liturgi GKJ. Seperti dalam artikel yang sama dengan di atas, pada butir selanjutnya dinyatakan: “(f) bahwa Njanjian Mazmur/Rohani didjadikan njanjian resmi dalam ibadah dalam
174
Nyanyian pujian yang dimiliki oleh GKJ yaitu Mazmur 150 dan Kidung Pujian dalam bahasa Jawa. 175 Akta sidang Sinode GKD IX 1964 Artikel 72 butir d-e.
120
bahasa Indonesia.” Selanjutnya, dalam Artikel 133 Akta Sidang Sinode GKD XI 1969 nampak bahwa ada usul dari Klasis Surakarta Timur untuk menterjemahkan Kidung Pasamuwan Kristen Djawi dalam bahasa Indonesia yang ditanggapi dengan keputusan: “(a) Terdjemahan tersebut di atas dipandang tidak perlu. (b) Mengandjurkan kepada djemaat-djemaat agar untuk sementara menggunakan buku Njanjian Mazmur dan Njanjian Rohani dari Perbendaharaan Djemaat Segala Abad—karangan I. L. Kijne, terbitan Stichting Geestelijke Liederen uit de Schat van de Kerk der eeuwen— s’Gravenhage.” Masalah penterjemahan itu nampak berat untuk piranti kelengkapan peribadatan dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan wacana pengadaan nyanyian populer untuk kebutuhan pemuda GKJ itu sendiri. Dari Artikel 56 Akta Sidang Sinode XXII 2002, keputusan atas usulan dari Klasis Salatiga terhadap hasil studi Deputat Pembinaan Warga Gereja (PWG) tentang identitas dan lagu-lagu pujian populer yang digunakan kaum pemuda Gereja, dinyatakan bahwa: “(1) Klasis-Klasis melakukan kajiankajian nyanyian pemuda sesuai kebutuhannya. (2) Menugasi Deputat PWG untuk membentuk Tim Musik dan Liturgi, yang bertugas mengkaji nyanyian populer pemuda.” Persoalan terakhir yang menjadi tantangan yang berasal dari dalam atas liturgi formula I itu sendiri adalah tekat kemauan yang sungguhsungguh para jemaat di kalangan umat GKJ secara menyeluruh untuk mempergunakan liturgi formula I tersebut di dalam peribadatan umat. Ternyata seiring dengan wacana liturgi variasi maupun KKR di atas terdapat 121
pula jemaat-jemaat yang tidak, ataupun yang masih belum menggunakan liturgi yang sudah ditetapkan serta diberlakukan bagi umat di kalangan GKJ. Seperti ditemukan dalam Artikel 136 Akta Sidang Sinode GKJ XII tahun 1974 yang membahas adanya pemakaian liturgi yang tidak seragam dengan liturgi hasil keputusan sidang Sinode. Keputusan artikel sidang tersebut menyatakan: “(1) Menganjurkan kepada jemaat-jemaat GKJ untuk tetap menggunakan liturgie yang telah diputuskan Sinode, demi memelihara persekutuan. (2) Hanya dalam kebaktian-kebaktian istimewa dapat dipergunakan liturgie lain.”
3.6.2. Tantangan Liturgi GKJ dari luar Sebagai bahasa pengantar percakapan yang mudah dimengerti penggunaannya, pengaruh bahasa Indonesia ke dalam tata kebiasaan percakapan di kalangan umat GKJ telah merasuk ke dalam kehidupan Gereja. Secara sederhana, kenyataan itu dapat dikenali melalui pembahasan di dalam sidang sinode GKJ tahun 1964 tentang penggunaan bahasa Indonesia. Pada artikel 72 Akta Sidang GKD IX 1964 dinyatakan: “(1) Bahwa untuk melajani Pemerintah dan masjarakat perlu mempergunakan bahasa resmi, jalah bahasa Indonesia. (2) Bahwa dalam lapangan kebudajaan bahasa Indonesia mendjadi media jang utama. (3) Bahwa gerakan oikumenis mendorong Gredja-Gredja kita membuka pintu bagi saudara-saudara Kristen dari suku lain, lagi pula mengingat pembentukan Gredja-Gredja Kristen Indonesia Jang Esa j.a.d., maka penggunaan bahasa Indonesia merupakan 122
media jang penting sekali. (4) Bahwa dipandang dari sudut praktis, banjak para pemuda jang makin hari makin biasa mempergunakan bahasa Indonesia, sehingga khotbah dalam bahasa tersebut lebih mudah diterimanja.” Dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai sarana percakapan yang praktis di kalangan umat GKJ, maka Artinya pada dirinya menjadi terbuka terhadap berbagai hal, dan dimungkinkan pula bisa berdampak pada berbagai tata jalinan dan pola-pola kehidupan yang dimiliki; termasuk di dalamnya adalah liturgi sebagai bagian dari kehidupan peribadatan umatnya. Dari sudut pengalaman lapangan, tantangan liturgi GKJ dari luar di sini adalah adanya gerakan kharismatik. Kenyataan adanya gerakan kharismatik yang menjadi tantangan liturgi GKJ tersebut diungkapkan dalam persidangan Sinode GKJ pada tahun 1984. Dalam persidangan tersebut dinyatakan bahwa, “Menanggapi usulan Sinode Wilayah II tentang perlunya GKJ mengambil sikap terhadap Gerakan Kharismatik, sidang memutuskan: (1) Menganjurkan agar Gereja-Gereja mengambil sikap hatihati terhadap Gerakan Kharismatik. (2) Agar Gereja-Gereja meningkatkan penggembalaannya kepada warga gerejanya dan meningkatkan kegiatankegiatan yang dapat menampung aspirasi warga, sehingga warga tidak terpengaruh untuk memasuki Gerakan Kharismatik.”176 Sebagai pengaruh dari luar, nampaknya gerakan kharismatik tersebut cukup kuat sehingga memunculkan penegasan sikap, seperti yang dinyatakan dalam Artikel 9 Akta Sidang Sinode GKJ Kontrakta 1992: 176
Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.
123
“Menanggapi usulan Deputat Kesaksian, Pelayanan, dan Pembinaan Sinode GKJ XIX tentang penentuan sikap GKJ terhadap kelompok kharismatik, sidang memutuskan, (1) GKJ tidak perlu bersikap konfrontatif terhadap kelompok kharismatik, tetapi hati-hati dan bijaksana, namun tegas. (2) Gereja perlu meningkatkan pembinaan dan penggembalaan anggota gerejanya agar tidak terpengaruh akibat negatif kelompok kharismatik, bahkan kalau perlu diberlakukan pamerdi.” Kedua keputusan di atas memiliki keselarasan dengan persoalan yang menjadi tantangan dari dalam terhadap liturgi GKJ, seperti telah diungkapkan pada bagian di atas. Keselarasan itu adalah mengenai kejenuhan yang pada akhirnya memunculkan usul maupun wacana adanya liturgi variatif serta KKR. Tujuan usulan dan wacana diadakannya liturgi variatif maupun KKR tersebut adalah untuk menampung aspirasi warga gereja. Karena itu, di dalam serangkaian upaya untuk pengembangan hingga terwujudnya liturgi yang ada sekarang ini, tantangan-tantangan berbagai persoalan di atas menjadi bagian sumber pergumulan yang penting. Seperti dinyatakan oleh Novembri Choeldahono, salah seorang pendeta GKJ yang ditunjuk Deputat Studi dan Penelitian Sinode XX GKJ, menyatakan: “Jadi kebutuhan awalnya itu bukan dari tantangan realitas dan transformasi kultural. Tantangannya adalah ... dari kehidupan internal; kejenuhan, kejenuhan liturgi! Maka Cuma ditambahkan
124
liturgi alternatif I, II, III; Minggu Pertama, Minggu Kedua, Minggu Ketiga, dan lebih partisipatif. Begitu, itu saja!”177 Pernyataan Novembri itu diperkuat oleh Siman Widyatmanta, salah seorang pendeta GKJ yang ditunjuk sebelumnya oleh Deputat Studi dan Penelitian Sinode XVIII GKJ. Dalam wawancara dengan beliau, diungkapkan bahwa: “... tetapi sejak pemuda merasa bosan dengan liturgi yang selama ini berjalan—coba itu dari ’61 sampai ... hampir’ 2000, itu liturgi-nya itu-itu saja. Lalu Sinode membentuk komisi liturgi variasi, muncul liturgi variasi Minggu Pertama, Minggu Kedua, Minggu Keempat (maksudnya: Ketiga). Tetapi itu sifatnya fakultatif. Artinya, bagi yang merasa bosan bisa mengunakan variasi itu, bagi yang lain itu ya mânggâ, terserah. ..., liturgi ini dalam kebaktian hari Minggu. ...”178 Singkatnya, berbagai tantangan terhadap pelaksanaan liturgi GKJ di atas dapat dikatakan masih bersifat subjektif. Kurangnya penjelasan dan petunjuk pelaksanaan liturgi di tengah peribadahan umat GKJ memungkinkan terjadinya penggunaan yang kurang bersungguh-sungguh, maupun pengertian akan keterlibatan warga jemaat yang kurang, bahkan menimbulkan kejenuhan; walaupun kejenuhan atas liturgi GKJ di sini dimungkinkan pula terkait adanya pengaruh gerakan kharismatik yang menggejala. Sementara kejelasan persoalan, khususnya terkait dengan budaya yang dapat menjadi objek penting pembentuk jati diri umat di dalam berliturgi baru
177 178
Lampiran 7. Lampiran 8.
125
nampak melalui sisi bahasa yang itu pun terbatas sebagai kebutuhan praktis berkomunikasi.
3.7. Upaya Pengembangan Liturgi GKJ Penanganan atas berbagai persoalan yang menjadi tantangan-tantangan liturgi GKJ tersebut, sejak semula ada tindak lanjutnya, yaitu upaya untuk pengembangan liturgi GKJ itu sendiri. Dasar dari langkah tindak lanjut itu tersurat di dalam artikel-artikel akta persidangan sinode yang telah dilakukan. Seperti telah disebutkan dalam paparan data di atas, paling tidak terdapat dua buah persoalan penting yang menjadi dasar tindak lanjut pengembangan liturgi GKJ. Pertama adalah keinginan warga gereja supaya bisa ikut berperan serta di dalam jalannya pelaksanaan liturgi. Kedua adalah gerakan kharismatik yang perlu ditanggulangi dalam kehidupan peribadatan umat GKJ.179 Kesempatan langkah tindak lanjut yang tegas mengenai upaya pengembangan liturgi GKJ tersebut terjadi pada Sidang Sinode GKJ Kontrakta tahun 1992. Dalam artikel 13 dinyatakan: “Setelah sidang membahas konsep Deputat Ketenagaan dan Studi Sinode GKJ XIX tentang liturgi/tata ibadah GKJ, dengan mempertimbangkan usul klasis-klasis dan pokok-pokok pikiran peserta sidang, sidang memutuskan: (1) Secara prinsipial menyetujui liturgi GKJ. (2) Penyempurnaan secara redaksional diserahkan kepada tim, ... (3) Jika penyempurnaan secara redaksional telah 179
Akta Sidang Sinode GKJ XVII 1984 Artikel 42.
126
selesai dan dicetak, Aktuarius harap memberitahukan kepada gereja-gereja tentang pemberlakuannya. (4) Liturgi yang diterima secara prinsipial tersebut tidak dilampirkan dalam akta ini, demi efisiensi akan langsung dibukukan dalam bentuk jadi setelah dikerjakan.” Keputusan tentang liturgi dalam persidangan tersebut tidak terlepas dari liturgi GKJ yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu liturgi baku yang diresmikan pada tahun 1961, dan contoh liturgi tambahan sebagai variasi yang dapat digunakan secara bergantian, seperti yang telah dijelaskan dalam bagian tantangan dari dalam mengenai kejenuhan warga gereja dengan liturgi GKJ dan upaya menanggulanginya. Artinya, bahwa langkah tindak lanjut persidangan sinode tahun 1992 tersebut menjadi perangkum dari hasil kerja beberapa tim penyempurna liturgi sebelumnya setelah pemberlakuan liturgi baku tahun 1961 itu, yaitu: tim pertama yang bentuk di dalam Sidang Sinode GKJ XVIII 1987, tim kedua yang dibentuk dalam Sidang Sinode GKJ XIX 1989, dan tim ketiga yang dibentuk dalam Sidang Sinode GKJ XX 1991.180 Usaha tentang penyempurnaan atau pengembangan liturgi GKJ itu pada akhirnya menghasilkan buku liturgi yang diterbitkan pada tahun 1993, dengan isi yang dapat dibilang memadahi dibandingkan dengan terbitan liturgi tahun-tahun sebelumnya. Buku liturgi terbitan tahun 1993 itu berisi: (1) Pengantar. (2) Penjelasan liturgi secara umum. (3) Penjelasan khusus mengenai liturgi GKJ (4) Tata urutan pokok-pokok bagian liturgi (ibadah 180
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, i-ii.
127
Minggu) yang berlaku bagi kalangan umat GKJ dalam bahasa daerah (Jawa) maupun bahasa nasional (Indonesia), (5) Liturgi khusus untuk: sakramen penjamuan, sakramen baptis, mengakuan percaya (sidhi), peneguhan dan pemberkatan nikah, peneguhan dan pelerehan majelis gereja, pentahbisan pendeta, pendewasaan jemaat, peresmian gedung gereja, bahkan untuk penerimaan kembali (warga yang dikucilkan). Isi buku liturgi GKJ di atas terdapat beberapa pokok penting dalam perkembangan liturgi GKJ. Pokok-pokok penting yang tercakup dalam buku liturgi GKJ itu adalah sebagai berikut.
3.7.1. Penjelasan Pandangan GKJ tentang Liturgi181 3.7.1.1. Tata Ibadah Menurut GKJ, liturgi adalah tata ibadah dan bahkan ibadah itu sendiri. Karena, ibadah dengan tata ibadah itu menjadi satu. Di sini yang hidup dan berdaulat adalah ibadah. Tata ibadah itu keluar atau timbul dari ibadah, dan bukan sebaliknya; jangan sampai “tata” yang mati menguasai “ibadah” yang hidup. Tatanya sangat tergantung kepada ibadahnya. Karena tata itu merupakan pernyataan atau perwujudan ibadah. Tidak dapat mengadakan tata lebih dahulu untuk mengatur ibadah, tetapi ibadah ada dulu lalu diwujudkan dalam tata cara. Ibadah yang diwujudnyatakan tentu harus teratur (I Korintus 14:40). Ibadah pribadi juga dilaksanakan dengan teratur, demikian juga
181
Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 1-9.
128
ibadah keluarga. Apalagi ibadah dalam perkumpulan jemaat. Oleh karena yang utama adalah ibadah, maka perlu diterangkan dulu tentang ibadah.
3.7.1.2. Arti Liturgi Penjelasan tentang arti kata liturgi pada buku liturgi GKJ ini merunut etimologi di dalam penggunaannya yang berasal dari pengertian umum hingga penerapannya di dalam Alkitab. Intinya bahwa liturgi adalah kata dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia yang artinya pekerjaan atau pelayanan untuk berbakti kepada negara atau pemerintahan, maupun masyarakat; khususnya bagi masalah politik yang di dalamnya juga bisa mengandung tindakan pelayanan pengorbanan bagi negara ataupun bangsa. Liturgi dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan tindakan pelayanan kaum Lewi di Bait Allah. Arti kata ini juga ditemukan di dalam Perjanjian Baru. Meskipun demikian makna liturgi atau ibadah di dalam Perjanjian Lama berbeda dengan makna yang ada pada Perjanjian Baru. Liturgi di dalam Perjanjian Lama telah digenapi di dalam Yesus Kristus, Tuhan. Karena itu di dalam Tuhan Yesus Kristus liturgi atau ibadah bermakna baru. Tidak ada pengurbanan berulang-ulang lagi seperti pada Perjanjian Lama, melainkan lebih mengarah kepada makna mendasar yang menyeluruh, seperti: masalah pemerintahan, penyembahan kepada Allah, kehidupan kudus di dalam karya Tuhan Yesus Kristus, pelayanan pelayanan di antara umat.
129
Intinya, liturgi yang berarti kebaktian atau ibadah tidak dapat dipisahkan dengan perbuatan sehari-hari. Ibadah yang benar adalah ibadah yang merupakan perwujudan dari apa yang hidup di dalam hati (Yohanes 4:2324) dan juga terwujud di dalam perbuatan sehari-hari.
3.7.1.3. Isi Liturgi Liturgi berguna untuk mewujudkan bentuk ibadah tertentu, yang di dalamnya menunjukkan persatuan jemaat, baik dengan Tuhan maupun dengan anggota-anggota jemaat dan sesamanya. Dengan demikian di dalam liturgi berlaku asas: Tindakan dari pihak Tuhan bersama dengan tindakan dari umat (actus aparte Dei, actus aparte populi). Dengan kata lain di dalam liturgi menunjukkan adanya perwujudan pertemuan antara Tuhan dan umatNya. Isi dalam pertemuan antara umat dengan Tuhan tersebut secara pokok berisi: (1) memecah-mecahkan roti dan perjamuan malam Tuhan, (2) pengajaran, (3) doa, (4) memuji Allah, maupun (5) berkat. Pokok-pokok isi di dalam peribadatan tersebut didasarkan pada adat kebiasaan umat Kristen mula-mula maupun para bapa gereja di masa awal.
3.7.1.4. Kebebasan Pernyataan Roh dan Ikatan Liturgi Terkait dengan masalah ini, liturgi GKJ memberi penjelasan sangat mendasar. Ada dua segi yang perlu diperhatikan dalam peribadatan, yaitu kebebasan mengatakan karunia Roh dan ikatan liturgi. Menurut Paulus, yang penting untuk dipegang teguh ialah tujuan ibadah. Segala sesuatu 130
harus dilihat dan diuji dalam terang tujuan itu, yaitu oikumene dalam makna pembangunan jemaat. Karena itu karunia lidah juga harus digunakan untuk membangun jemaat, sehingga harus diterangkan. Sebaliknya, kekakuan ikatan liturgi jangan mematikan karunia Roh. Kedua unsur itu harus dikombinasikan secara harmonis, sebagaimana jemaat purba. Akan tetapi Paulus tidak memotong atau mengurangi kehidupan dalam ibadah oleh tata cara ibadah, dan juga tidak jatuh ke dalam kebebasan tanpa tujuan seperti sektarianisme. Di sini harus dijelaskan akan tujuan ibadah, yaitu untuk membangun persekutuan sebagai tubuh Kristus, Tuhan. Gereja sebagai tubuh Kristus dibangun dalam kedatangan para anggota yang berkumpul. Sebagai tubuh Kristus, Gereja mesti saling melayani satu dengan lainnya, seperti umat Kristen purba disatukan dalam satu peristiwa perjamuan malam dan satu Roh yang hidup dalam semua umat percaya (Yohanes 4:23).
3.7.1.5. Penyusunan Liturgi Pada akhirnya, liturgi yang tersusun di dalam peribadatan mesti memperhatikan asas dialogis. Sebab sebagai pewujudan pertemuan Tuhan dengan umatNya itu, ada keyakinan iman bahwa di dalamnya terdapat sabda Allah, sekaligus juga ditanggapi oleh umatNya. Misalnya: pernyataan Sepuluh Hukum Tuhan, berita anugerah, pengajaran, berkat, yang ditanggapi dengan penyesalan dosa, kesanggupan, pengakuan iman pujian syukur, persembahan, doa, dan lain sebagainya.
131
3.7.2. Formula Pengembangan Liturgi GKJ Selain penjelasan dasar, pengembangan liturgi GKJ terlihat juga dengan adanya dua buah liturgi baru yang digunakan sebagai variasi pada peribadatan hari Minggu, selain formula I. Kedua liturgi baru GKJ tersebut pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan liturgi formula I. Sebab, asas pengakuan prinsipial liturgi GKJ tidak bisa ditinggalkan. Yang membedakan kedua liturgi baru itu dengan liturgi formula I adalah terdapatnya rumusan-rumusan kalimat yang diucapkan secara bergantian oleh jemaat dan pemimpin peribadatan (litani) dan peran jemaat di dalam pelaksanaan liturgi.
3.7.2.1. Liturgi GKJ Formula I (Kebaktian Minggu I) Sebagaimana dapat disimak di dalam Lampiran 1, asas dialogis dalam peran Tuhan dan peran umat, serta kebebasan bagi penyataan kuasa Roh dan ikatan liturgi bagi bangunan tubuh Kristus dijabarkan menjadi beberapa pokok. Pertama, pengakuan dan dasar pelaksanaan ibadah dalam rumusan votum, maupun penyampaian salam yang didasarkan pada kasih karunia Tuhan bagi umat. Rangkaian adiutorium yang dilakukan sambil berdiri itu kemudian ditanggapi umat dengan seruan “Amin”, pemuliaan atau pujian umat kepada Tuhan sambil duduk. Kedua, pengakuan dosa umat kepada Tuhan yang dijawab dengan penyampaian pengampunan melalui berita anugerah serta perintah hidup baru dari Tuhan kepada umat. Jawaban Tuhan itu lalu ditanggapi umat dengan kesanggupan, doa syukur umat bagi Tuhan 132
dan syafaat agar umat secara umum maupun khusus dapat hidup setia dalam pimpinan Tuhan untuk melaksanakan segenap perintahNya, demikian pula dengan penyerahan persembahan syukur dari umat kepada Tuhan. Ketiga, penyampaian firman Tuhan dengan pembacaan Alkitab yang disambut oleh umat dengan seruan “Haleluya”, penjabaran dalam khotbah atau pengajaran firman Tuhan yang ditanggapi umat dengan perenungan (saat teduh). Yang keempat, mengakhiri ibadah dengan doa dan nyanyian akhir ibadah oleh umat sambil berdiri untuk menyiapkan diri menerima perutusan dan berkat Tuhan. Namun sebelum penyampaian berkat Tuhan, ada pengakuan iman percaya umat kepada Tuhan.182 Jabaran asas-asas yang menjadi pandangan GKJ atas liturginya itu memperlihatkan bentuk yang sederhana.
3.7.2.2. Liturgi GKJ Formula II (Kebaktian Minggu II) Asas-asas yang menjadi pandang GKJ pada liturgi formula II tetap sama dengan liturgi formula I. Meskipun demikian, bila diperhatikan terdapat perbedaan bentuk, yaitu ada litani yang menjadi variasi untuk memperlihatkan peran umat dan pemimpin, maupun dialog di dalam peribadahan. Seperti nampak dalam lampiran 4, pada bagian adiutorium, votum tidak hanya diserukan oleh pemimpin, tetapi juga oleh umat secara bersama-sama melalui ajakan pemimpin. Setelah itu penyampaian salam atas kasih karunia Tuhan dan tanggapan umat yang sama dengan liturgi formula I. Selanjutnya, litani ditonjolkan pada waktu sebelum pemuliaan 182
Lampiran 1.
133
atau pujian umat kepada Tuhan dengan petikan ayat dari Kitab Mazmur 100:3; 95:6; 100:4-5, demikian pula pada bagian pengakuan dosa umat kepada Tuhan dengan petikan Mazmur 51:3-15 yang dijawab sama persis dengan pengampunan melalui berita anugerah dan perintah hidup baru dari Tuhan, maupun tanggapan umat dengan kesanggupan, doa syukur dan syafaat sebagai-mana liturgi formula sebelum-nya. Sampai tahap ini muncul variasi lagi, yaitu tidak dilanjutkan dengan penyerahan persembahan seperti dalam liturgi formula I, melainkan diteruskan dengan penyampaian firman Tuhan beserta dengan tangapan umat melalui perenungan. Demikian pula usai penyampaian firman Tuhan tidak langsung masuk ke bagian penutup, tetapi pengakuan iman percaya umat kepada Tuhan dan penyerahan persembahan. Setelah semua itu barulah masuk akhir ibadah dengan nyanyian akhir dan berkat Tuhan bagi perutusan umat, yang disambut dengan kata “Amin”.183
3.7.2.3. Liturgi GKJ Formula III (Kebaktian Minggu III) Pada liturgi formula III ini, asas-asasnya juga sama dengan formulaformula sebelumnya. Meskipun memiliki variasi litani seperti liturgi formula II, tetapi urutan unsur-unsur pokok di dalam rangkaian liturginya persis seperti liturgi formula I. Namun demikian bentuk liturgi formula III ini tetap memiliki perbedaan dibandingkan dengan liturgi formula I. Apabila liturgi formula I berbentuk sederhana, maka di dalam liturgi formula III 183
Lampiran 2.
134
terdapat pembagian peran antara para pelayan bersama dengan umat. Hal itu dapat dicermati dalam lampiran Liturgi Kebaktian Minggu III. Dimulai dengan litani ringkas pada bagian pertama dalam adiutorium oleh pemimpin yang mengajak umat mengucapkan votum dan disusul dengan penyampaian salam atas kasih karunia Tuhan kepada umat beserta tanggapan mereka dengan kata “Amin”, kemudian salah seorang petugas (kantor) sebagai wakil umat mengajak semua hadirin untuk memuliakan Tuhan dengan nyanyian pujian. Pengakuan dosa umat kepada Tuhan dipimpin secara khusus oleh seorang majelis dengan litani pendek yang mengajak hadirin mengucapkan pengakuan dosa secara bersama-sama. Pengakuan itu dijawab dengan penyampaian pengampunan melalui berita anugerah dan perintah hidup baru dari Tuhan kepada umat, yang disambut dengan kesanggupan oleh umat dengan litani pendek melalui panduan pemimpin ibadah maupun melalui nyanyian yang dipimpin oleh seorang kantor, dilanjutkan doa syukur dan syafaat, serta penyerahan persembahan umat kepada Tuhan. Setelah itu disampaikan firman Tuhan dengan pembacaan Alkitab yang disambut oleh umat dengan seruan “Haleluya”, dan diteruskan penjabaran dalam khotbah atau pengajaran firman Tuhan yang ditanggapi umat dengan perenungan, persis liturgi formula I. Akhirnya, ibadah ditutup dengan doa akhir ibadah dan pengucapan Doa Bapa Kami bersama-sama, nyanyian akhir umat sambil berdiri untuk persiapan menerima perutusan dan berkat
135
Tuhan yang disisipi penyataan pengakuan iman percaya umat kepada Tuhan. Ketika berkat disampaikan umat menerima dengan “Amin”.184
3.7.3. Prinsip liturgi GKJ Terkait Liturgi Variasi maupun Liturgi Pelayanan Khusus. Adanya pokok-pokok bagian yang terangkai menjadi perwujudan makna pertemuan antara Tuhan dan umatNya dengan dialog yang merupakan bentuk keterlibatan umat di dalam kedua liturgi baru tersebut menunjukkan adanya persamaan-persamaan yang mengacu pada pengakuan prinsipial liturgi seperti penjelasan ringkas pokok-pokok bagian liturgi GKJ berikut ini.185 Votum (Adiutorium), berarti janji yang khidmat atau ikrar. Pelaksanaan bagian ini selalu ada di awal peribadatan. Sebab votum berisikan rumusan untuk meneguhkan pengabsahan peribadatan yang dilaksanakan. Sumber yang diambil untuk rumusan votum adalah Mazmur 124:8, maupun Mazmur 138, atau Mazmur 146:6. Akan tetapi, yang digunakan biasanya adalah Mazmur 124:8 saja, seperti yang diwajibkan oleh Sinode Dordrecht (1574) dari kebiasaan Calvin. Rumusan votum itu ialah, “Pertolongan kita adalah dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi.” Karena peneguhan di sini menyatakan pengakuan adanya pertolongan, maka votum disebut juga adiutorium, yang artinya pertolongan.
184 185
Lampiran 3. Sinode GKJ, Liturgi GKJ, 10-14.
136
Pelaksanaan votum di dalam bahasa Jawa dapat diucapkan dengan “ngoko” ataupun “krâmâ”. Salam. Sumber untuk rumusan salam GKJ adalah salam rasuli (Roma 1:7b; I Korintus 1:3, dst.), yang diambil dari adat kebiasaan peribadatan Yahudi (Immamat 19:20; I Samuel 25:6). Bagian ini terangkai dengan votum. Pelaksanaan salam dilakukan oleh pemimpin peribadatan setelah votum, dengan mengangkat tangan kanan lurus ke atas. Sesuai keputusan Sinode GKJ, salam disampaikan dengan mengangkat tangan hanya apabila yang melayankan pendeta. Apabila yang melayankan bukan pendeta, tidak dengan mengangkat tangan. Pujian, yaitu pemuliaan Tuhan dengan nyanyian atau dibarengi dengan bacaan Mazmur; Bagian ini sebenarnya biasa disebut introitus, yang terdiri dari nyanyian masuk dengan, atau tanpa nats pendahuluan sebagai pembimbing. Nats pembimbing harus sesuai dengan khotbah. Nyanyian pujian sebagai jawab jemaat. Pengakuan Dosa. Pengakuan dosa terdiri lima bagian. (1) Pembacaan Hukum Kasih. (2) Setelah menerima Hukum Kasih, jemaat mengakui dan menyesali dosanya dengan doa atau nyanyian penyesalan, bahkan keduanya. (3) Sesudah itu, jemaat menerima berita anugerah pengampunan dari Alkitab. (4) Setelah menerima pengampunan dosa, jemaat masuk ke dalam persekutuan hidup baru di dalam Tuhan Yesus Kristus. Oleh karena itu, jemaat diberi petunjuk atau perintah hidup baru dari Alkitab. Kalau menurut Calvin tahap ini dibacakan Sepuluh Hukum. Itu bukan untuk cermin 137
mengetahui dosa, tetapi berisi petunjuk-petunjuk menurut perintah Tuhan, agar orang yang telah diperbaharui hidupnya menjadi anak-anak Tuhan, yang dapat mengetahui dan mentaati kehendak Tuhan. (5) Kesanggupan, yang menjadi wujud jemaat yang sudah bergembira di dalam persekutuan Tuhan Yesus Kristus dengan seruan tekat berwujud komitmen dan nyanyian yang tepat. Doa. Doa di sini adalah doa syukur dan doa syafaat. Supaya tidak terlalu panjang, berputar-putar, dan diulang-ulang, maka di dalam doa ini pelayan harus menentukan apa saja yang didoakan. Boleh juga ada orangorang sakit tertentu yang disebutkan dalam doa. Demikian juga hal-hal lain. Dalam doa ini tidak dimasukkan doa untuk pengampunan dosa, sebab sudah dilakukan sebelumnya di dalam bagian pengakuan dosa. Doa ini juga bisa dilakukan oleh pelayan dan jemaat. Misalnya: Doa syukur untuk permulaan doa itu disampaikan oleh pemimpin lalu disambung dengan syafaat yang dilakukan oleh beberapa anggota jemaat atau penatua. Tentu saja ditunjuk lebih dulu siapa yang berdoa untuk hal ini, dan seterusnya. Kemudian ditutup oleh pelayan. Persembahan. Bagian ini terdiri dari tiga bagian. (1) Pembacaan ayatayat dari Alkitab untuk mendorong, atau dasar dan tujuan persembahan. (2) Pengumpulan persembahan. Tentang banyak dan macam kantong, harus dijelaskan kepada jemaat tentang apa perlunya, supaya jemaat dengan kesadaran penuh menghaturkan persembahannya. Tentu saja tidak tiap-tiap kali diterangkan. Tetapi jangan terlalu lama tidak pernah diterangkan. Ada138
pun yang mengumpulkan persembahan dengan kantong itu tidak harus majelis. (3) Doa untuk menghaturkan persembahan yang sudah terkumpul kepada Tuhan. Hal ini boleh juga dilakukan oleh anggota majelis. Dan dalam doa itu disambung juga dengan doa untuk pelayanan Firman yang segera akan dilakukan. Pelayanan Firman. Pokok bagian ini terdiri dari tiga bagian. (1) Pembacaan Firman dari Alkitab. (2) Pembacaan nats Khotbah. (3) Khotbah. Setelah pelayanan Firman, selanjutnya adalah pokok bagian Penutup. Dalam pokok bagian penutup, ada dua hal. (1) Doa penutup, dan lebih baik bila doa ini diakhiri dengan Doa Bapa kami. (2) Nyanyian penutup. Sebelum pelayanan berkat ada pokok bagian lain, yaitu Pengakuan Iman. Pokok bagian ini diucapkan bersama-sama oleh seluruh jemaat, bukan hanya pelayan sendiri, dengan cara berdiri. Selesai pelaksanaan Pengakuan Iman, yang terakhir adalah pokok bagian Berkat. Sumber yang diambil untuk rumusan berkat adalah Bilangan 6:24-26, atau dapat juga dari II Korintus 13:13. Oleh karena rumus berkat ini diambil dari ayat Alkitab, maka sebaiknya tidak tambahi atau diubah menurut selera sendiri, yang kadang-kadang malah isinya salah (tidak sesuai dengan kepercayaan yang diimani melalui Gereja). Penyampaian berkat pelayan mengedangkan kedua tangan setinggi pundak. Hal yang tidak kurang penting ialah bahwa pada permulaan ibadah, wakil majelis jemaat menyerahkan Alkitab kepada pelayan, dan pada akhir ibadah, wakil majelis yang tadi menyerahkan Alkitab kepada pelayan 139
kemudian menerima kembali Alkitab tadi dari pelayan. Ini melambangkan pemberian mandat untuk melayani ibadah (termasuk di dalamnya penyampaian ajaran) sesuai dengan Firman Tuhan dan pada akhir ibadah mandat tersebut dikembalikan lagi. Jadi, penanganan persoalan yang berasal dari tantangan-tantangan pelaksanaan liturgi GKJ di atas adalah berupa pemberian pengertian maupun teknis pelaksanaan agar mudah disampaikan kepada umat, sekaligus dapat dipelajari dan dipraktikan oleh mereka. Bisa jadi persoalan ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh umat Kristen pra-GKJ dengan serangkaian ritual persiapan saat hendak hingga memasuki peribadahan menurut cara yang mereka terima dan hayati sebagai orang Jawa. Itu artinya, persoalan liturgi sebagai cara penghayatan iman umat bukanlah pekerjaan sambil lalu, melainkan harus ada tanggung jawab penyampaian yang dikerjakan khusus.
3.8. Perkembangan Pergumulan Liturgi GKJ Baru Terbitnya buku Liturgi GKJ dengan muatan yang memadai tersebut menjadi awalan baru bagi kehidupan peribadatan umat GKJ. Hingga kini, kiranya secara berangsur-angsur formula-formula liturgi yang terhimpun di dalam buku Liturgi GKJ itu mampu mendorong umat GKJ semakin dapat terbuka untuk menyadari dan mengerti akan inti penghayatan iman yang harus diwujudkan melalui dan sekaligus sebagai ibadah kepada Tuhan di tengah kenyataan kehidupan dunia di mana dia berada.
140
Menurut data yang dapat dicermati, terdapat dua sisi kenyataan kehidupan dunia yang mendorong perkembangan di dalam pergumulan pelaksanaan liturgi GKJ lebih lanjut. Sisi-sisi itu adalah kesadaran akan kebutuhan yang berasal dari pergumulan kehidupan umat GKJ di aras jemaat setempat (lokal) dan sinodal (oikumenikal), terkait dengan kenyataan ke-masyarakatan yang bersifat majemuk beserta dengan berbagai macam kebudayaan yang ada di dalamnya. Kesadaran-kesadaran akan kebutuhan yang berasal dari pergumulan kehidupan umat GKJ di aras lokal maupun sinodal tersebut sebetulnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Tetapi seiring dengan proses waktu, jaman, maupun kenyataan kemasyarakatan yang terus berubah dan sungguh berbeda, secara pasti GKJ mulai melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap faham-faham yang dimiliki oleh Gereja inangnya, yaitu Heidelbergsche Catechismus. GKJ mulai berusaha memandang berbagai kenyataan yang ada di tengah keberadaannya sebagai pijakan sekaligus tempat untuk mewujudkan iman yang membumi.186
3.8.1. Kesadaran Akan Kebutuhan dari Pergumulan Umat GKJ di Aras Jemaat Lokal Semenjak diberlakukannya Liturgi GKJ baru, pada tahun 1996 mulai nampak adanya pergumulan atas perjumpaan iman umat GKJ yang senantiasa diresapi melalui liturgi dengan kenyataan budaya yang setiap hari ada 186
Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 2009), vii-x.
141
di tengah kehidupan masyarakatnya. Perjumpaan itu makin menyadarkan umat akan kebutuhan budaya sebagai ruang bagi mereka bertumbuh sekaligus mewujudkan imannya di dalam kehidupan nyata. Karena itu, pada Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 dinyatakan bahwa: “Setelah membahas rekomendasi Aktuarius tentang perlunya setiap keluarga warga GKJ ikut memelihara dan melestarikan budaya serta bahasa Jawa, sidang memutuskan agar warga GKJ terlibat secara kritis dalam kegiatan pelestarian budaya dan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari di keluarga maupun dalam kebaktian, dengan cara antara lain menggunakan renungan harian dalam bahasa Jawa.”187 Keputusan sidang sinode tersebut menjadi pintu bagi umat GKJ di dalam menembus penghalang kerinduan mereka untuk memijakkan kaki di atas dunia nyata yang menjadi kehidupannya sendiri secara utuh. Misalnya, pada masa kelahirannya penggunaan bahasa Jawa sedikit atau banyak telah memberi topangan bagi keberadaan GKJ. Bahkan, sempat dipegang kuat, khususnya di dalam acara-acara resmi, seperti bahasa pengantar yang sah untuk persidangan gereja.188 Namun seiring dengan perubahan yang ada di tengah masyarakatnya, seakan bahasa Jawa mulai terpinggirkan oleh bahasa Indonesia. Karena tetap dipandang penting, maka keputusan Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 itu menjadi penggiat bagi umat GKJ menumbuhkan dan
187
Akta Sidang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 41. Bnd., Acta Synode Magelang 1948 Artikel 11. Ada usulan oleh tamu persidangan dari kalangan gereja di luar GKJ supaya dalam sidang sinode yang senantiasa diselenggarakan diijinkan pula menggunakan bahasa Indonesia, tetapi usulan itu ditolak oleh peserta sidang. 188
142
mempergunakannya kembali. Demikian juga dengan gamelan yang dulu dikesampingkan dari peribadatan karena belum bisa dianggap punya nilai kristiani,189 maka dengan keputusan Sidang Sinode Terbatas GKJ 1996 tersebut memiliki peluang besar untuk dipergunakan sebagai mana mestinya. Secara mendasar, contoh-contoh di atas memberikan pengertian pula bahwa sisi-sisi budaya lainnya di dalam kemajemukan masyarakat yang ada di tengah kehidupan umat GKJ memiliki peluang juga untuk dijadikan pijakan sekaligus tempat bagi pewujudan iman yang mengakar; termasuk ungkapan iman melalui liturgi. Karena itulah, di dalam proses pergumulan lanjutan tentang Liturgi GKJ baru, selain diadakan upaya sosialisasi hasil kajian liturgi dan nyanyian gerejawi pada persidangan Sinode Antara GKJ 2004 diadakan sarana penunjang bagi kebutuhan yang dipergumulkan di aras lokal itu, yaitu: Pelatihan Bahasa Jawa, pembentukan Wadah Konsultasi Bahasa dan Budaya Jawa.190 Kebutuhan dari pergumulan aras lokal umat GKJ tersebut nyata dengan adanya berbagai upaya tindak lanjut yang (secara langsung ataupun tidak langsung dapat dikaitkan dengan liturgi) menjangkau banyak segi yang berasal dari keberadaan masyarakat beserta dengan budaya yang ada di dalamnya. Perluasan jangkauan segi-segi keberadaan masyarakat beserta dengan budayanya itu meliputi pembentukan Tim Liturgi dan Musik Gerejawi maupun Komisi Liturgi, Lembaga Kajian Budaya Jawa (LEMKABUJA), mengadakan kajian teologi kontekstual dan berteologi lokal serta teologi 189 190
Lih., Acta Synode Poerwokerto 1936, no. 13. Akta Sidang Sinode GKJ Antara 2004 Artikel 25, 26, 27.
143
bencana, kajian agama-agama maupun hubungan dialogis dan kerja sama dengan penganut agama lain, teologi lintas iman, Studi Intensif Tentang Islam (SITI), kajian Pancasila sebagai asas bernegara dan berbangsa di Indonesia, kajian jender, kajian lingkungan hidup,191 dan lain sebagainya. Sebelum perluasan segi-segi pemahaman sekaligus pengungkapan iman umat GKJ atas pijakannya sendiri pada masa-sama tersebut di atas hingga kini, jauh sebelum Liturgi GKJ baru disusun dan diterbitkan sebetulnya sudah ada upaya yang dilakukan bersamaan dengan lahirnya liturgi GKJ formula I. Salah satu keputusan dari Sindang Sinode GKJ VII tahun 1961 dinyatakan bahwa: “Membahas usulnya Klasis Banyumas Utara tentang Seminar Kebudayaan Nasional, sinode memutuskan mengangkat suatu panitia pemerhati kebudayaan nasional dipandang dari iman Kristen. ...”192 Keputusan itu kemudian ditindaklanjuti dengan keputusan Sidang Sinode GKJ IX tahun 1964. Terkait dengan perluasan pemahaman dan pengungkapan iman di awal sebelum adanya Liturgi GKJ Baru tersebut, terdapat dua keputusan penting dari Sidang Sinode GKJ IX tahun 1964 ini. Yang pertama dinyatakan bahwa: “Setelah membahas laporan Komisi Kebudajaan Nasional yang berisi (1) Ang-gauta Komisi terdiri dari 7 orang, (2) Susunan organisasi
191
Akta Sindang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 110, 111, 112., Akta Sindang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 41, 49, 63., Akta Sindang Sinode GKJ Antara 2000 Artikel 11., Akta Sindang Sinode GKJ XXIII 2002 Artikel 22, 35., Akta Sindang Sinode GKJ Antara 2004 Artikel 67., Akta Sindang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 11, 18, 44, 67., Akta Sindang Sinode GKJ XXV 2009 Artikel 15, 16, 17, 43, 56., Akta Sindang Sinode GKJ XXVI 2012 Artikel 18, 48, 55, 62. 192 Acta Sidang Synode VII 1961 Artikel 92.
144
komisi jang lalu terdiri dari ketua, penulis, anggauta, ditambah Seksi Tata Panembah, Seksi Mazmur/Kidung, Seksi Karawitan/Beksan/Pedalangan, (3) Hasil pekerdjaan seksi, antara lain: tjeramah, ekspresi kebudajaan nasional, dan lain sebagainja, sinode memutuskan menerima baik laporan-laporan tersebut, serta usul-usulnya dengan ketentuan (1) Membentuk Deputat Kebudajaan jang tetap dengan seksi-seksi penelitian dan penggiat. Deputat diberi tugas: a) Mengadakan penelitian terhadap perkembangan di bidang kebudajaan, b) Memberikan pandangan-pandangan tentang kebudajaan, c) Menggiatkan lembaga-lembaga kebudajaan Kristen jang ada agar dapat dipimpin kepada pertobatan dan kemurnian kebudajaan nasional jang menuju kepada ethos dan escathos Keradjaan Surga, d) Membentuk Panitia Kebudajaan di tiap djemaat, e) Berusaha menjediakan anggaran belandja jang tjukup untuk melaksanakan tugas tersebut.”193 Yang kedua dinyatakan bahwa: “Dalam membitjarakan usul Klasis Sala Timur mengenai penindjauan kembali Pengadjaran Agama Kristen (Heidelbergsche Catechismus), mengingat (1) Kebutuhan menjelaraskan pengadjaran agama dengan keadaan jang terdapat di Indonesia pada umumnja, dan suku Djawa pada chususnja jang menganut aliran Islam dan Kedjawen (mistik), (2) Bahwa Heidelbergsche Catechismus diterima sebagai keterangan tentang Firman Tuhan dalam Perdjanjian Lama dan Baru dalam lingkungan GKD, (3) Memandang penting bahwa Pengadjaran Agama Kristen perlu diberikan dengan mengingat latar belakang keagamaan 193
Acta Sindang Sinode GKD IX 1964 Artikel 83.
145
masyarakat,
sinode
memutuskan
memberi
tugas
kepada
Deputat
Penjelidikan untuk: a) Mempeladjari Heidelbergsche Catechismus, apakah membutuhkan perubahan-perubahan atau tambahan-tambahan berhubung dengan kepentingan di atas, b) Mengusulkan perobahan dan tambahantambahan kepada Sinode, bilamana dipandang perlu, c) Melaporkan hasil penjelidikan tersebut kepada sindang Sinode jang akan datang.”194 Disayangkan, semenjak ada LEMKABUJA upaya kajian kebudayaan Jawa yang sudah dilakukan dari waktu-waktu awal keberadaan GKJ dalam wadah Adat-Recht menjadi semakin tidak dikenal lagi dan tidak diketahui juga hubungannya dengan sarana penunjang yang baru itu. Bahkan pada Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 105, diputuskan bahwa AdatRecht tidak perlu dilestarikan dan tidak dilanjutkan, dengan anggapan sebagian isinya sudah dimasukkan dalam Tata Gereja yang tengah disusun.
3.8.2. Kesadaran Akan Kebutuhan dari Pergumulan Umat GKJ di Aras Sinodal Apabila wujud sisi kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ di aras lokal di atas bersifat gagasan-gagasan mendasar berlandaskan budaya sebagai cara pandang di dalam kehidupan peribadatan, maka pada kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ di aras sinodal di sini cenderung lebih bersifat atributif dan teknis dalam menyampaikan sumber yang digunakan sebagai wahana untuk menghantarkan gagasan-gagasan
194
Acta Sindang Sinode GKD IX 1964 Artikel 87.
146
dasar beserta nilai-nilainya bagi kehidupan umat melalui pengajaran (khotbah). Demikian pula, bahwa kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ pada aras sinodal di sini juga memiliki sifat pastoral. Yang dimaksudkan dengan kebutuhan dari pergumulan di aras sinodal dalam liturgi di atas adalah kelengkapan yang berupa lambang-lambang. Misalnya seperti benda-benda atau barang-barang aksesori dan warna-warna liturgis, hingga gerakan-gerakan isyarat (gesture) yang digunakan pada liturgi. Pergumulan tersebut dapat dilihat dalam hasil-hasil persidanganpersidangan Sinode GKJ pasca dimulainya pemberlakuan Liturgi GKJ baru. Seperti dinyatakan dalam Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 30 bahwa: “Setelah membahas laporan Deputat Keesaan Sinode GKJ XX tentang pemakaian toga bagi para pendeta GKJ, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa pendeta mempunyai pakaian jabatan yaitu toga dan clerical colar, sidang memutuskan untuk upacara-upacara khusus antara lain pelayanan sakramen, peneguhan, diseyogyakan para pendeta mengenakan toga, sedangkan untuk acara/keperluan lain menyesuaikan.” Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa pakaian pendeta merupakan lambang liturgis yang dianggap penting dan dibutuhkan umat di dalam pelaksanaan pelayanan peribadatan. Untuk menegaskan kebutuhan ini, pergumulan pakaian pendeta sebagai lambang liturgis tersebut ditindaklanjuti pada Sidang Sinode GKJ Non Reguler tahun 2005. Dalam Artikel 14 dinyatakan bahwa: “Setelah membahas Draft Tata Gereja dan Tata Laksana GKJ tentang pakaian liturgis 147
pendeta GKJ dan kelengkapannya, antara lain berupa toga dan stola, sidang memutuskan (1) Menugasi Lembaga Studi dan Pengembangan (LSP) GKJ melalui Deputat Keesaan untuk: a) Melakukan studi tentang pakaian liturgis yang mencakup i) Sejarah penggunaan pakaian liturgis, ii) Dasar teologis dan makna. b) Melaporkan hasil studi tersebut ke Sidang Sinode GKJ XXIV. (2) Menugasi Deputat Penatalayanan untuk menganggarkan biaya studi tersebut.” Hasil dari kerja LSP GKJ yang diputuskan dalam Sidang Sinode GKJ Non Reguler 2005 tersebut tertuang pada Akta Sidang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 26 yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis Sragen dan laporan LSP Sinode GKJ tentang penggunaan simbolsimbol dan pakaian liturgi, sidang memutuskan (1) Menerima laporan LSP. (2) Tetap memberikan kebebasan Majelis Gereja untuk memutuskan penggunaan simbol-simbol lokal serta pakaian lokal dalam ibadah. (3) Menugasi BAPELSIN untuk menyusun pedoman penggunaan simbol-simbol dan pakaian liturgi beserta maknanya serta menjemaatkan ke Gereja-Gereja.” Masih berhubungan dengan pergumulan lambang liturgis di dalam peribadatan umat GKJ yang lainnya adalah pengangkatan tangan. Setelah pemberlakuan Liturgi GKJ baru, pergumulan tentang pengangkatan tangan di dalam salah satu pokok bagian yang terdapat pada awal dan akhir liturgi terungkap pada Akta Sidang Sinode GKJ XXIV 2006 Artikel 22. Pada artikel itu dinyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis Salatiga tentang pengangkatan tangan oleh pejabat gerejawi selain Pendeta dalam 148
ibadah ketika salam dan berkat, sidang memutuskan menugasi BAPELSIN untuk melakukan pengkajian tentang hal ini, dengan memperhatikan Akta Sidang Sinode GKJ XIII tahap II/1974 Artikel 153.”195 Selanjutnya karena dianggap belum tuntas dan penting bagi peribadatan umat GKJ pada umumnya, maka muncul lagi dalam Akta Sidang Sinode GKJ XXVI 2012 Artikel 91, yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas materi dari Klasis Salatiga Utara tentang pernah adanya penugasan kepada LSP untuk mengkaji pengangkatan tangan non Pendeta dalam ibadah namun belum pernah ada publikasinya; sidang memper-timbangkan Akta Sidang Sinode XXIV 2006 Artikel 22 tentang pengangkatan tangan dalam ibadah, sidang memutuskan menugasi BAPELSIN GKJ XXVI melakukan kajian dikaitkan dengan teologi jabatan serta menjemaatkan.” Sedangkan sebagai sifat teknis dalam menyampaikan sumber yang digunakan untuk menghantarkan gagasan-gagasan mendasar beserta nilainilainya bagi kehidupan umat melalui pengajaran sebagaimana juga disebutkan di atas adalah tata cara dalam rupa penataan bacaan ayat-ayat Alkitab dengan pola daftar (leksionari) yang disesuaikan pula dengan penataan masa penghayatan iman umat disepanjang tahunnya (kalender gerejawi).
195
Akta Sidang Sinode GKJ XIII 1974 Artikel 153, menyatakan: “Setelah sidang membahas laporan seksi E yang telah menggumuli usul Klasis Yogyakarta Timur tentang: mengangkat tangan dalam mengucapkan I Kor 1:3 dalam liturgie kebaktian, maka sinode memutuskan: Dalam mengucapkan Firman yang tersebut dalam I Kor. 1:3 (“Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu …”) tidak dibenarkan dengan mengangkat tangan selain Pendeta, mengingat bahwa Firman tersebut adalah salam berkat.”
149
Sebelum menggunakan leksionari, penyampaian pengajaran dalam rangkaian liturgi di tengah umat GKJ dilakukan dengan cara membacakan ayat-ayat Alkitab yang dipilih menurut masing-masing pengkhotbah sendiri (lectio colecta) dan cenderung kurang memperhatikan masa-masa penghayatan iman yang bisa dilihat sepanjang tahun. Namun semenjak pemberlakuan Liturgi GKJ baru, bacaan ayat-ayat Alkitab sebagai sumber pengajaran bagi umat pada akhirnya menjadi semakin tertata menurut kalender gerejawi secara urut dan menyeluruh (lectio continua) yang meliputi kitabkitab Injil, Perjanjian Lama (termasuk Mazmur), dan Surat-Surat Rasuli (epistel). Kebutuhan dari pergumulan umat akan persoalan itu nyata seperti tergambar dalam pernyataan Akta Sidang Sinode GKJ XXV 2009 Artikel 75 yang menyatakan bahwa: “Setelah membahas usul dari (1) Klasis Banyumas Utara tentang revisi liturgi ibadah. (2) Purworejo agar sinode mengkaji secara serius penggunaan bacaan leksionari. (3) Yogyakarta Selatan tentang penjelasan penggunaan bacaan leksionari di dalam liturgi. (4) Pekalongan Barat agar sinode menetapkan penggunaan bacaan leksionari dalam ibadah. (5) Semarang Timur tentang dasar penggunaan bacaan leksionari dan kaitannya dengan liturgi I, II, III. (6) Semarang Selatan tentang pengkajian ulang penggunaan leksionari. (7) Kartasura agar sinode menyusun Tata Ibadah berdasarkan bacaan leksionari dan menetapkan penggunaan simbol, warna, dan pakaian liturgi. (8) Boyolali agar sinode mempersiapkan liturgi yang mengarah kepada bacaan leksionari. (9) Klaten Barat tentang meng150
gunaan liturgi secara sinodal yang menggunakan bacaan leksionari dan tambahan dokumen gereja pada kalender gerejawi. (10) Pertanyaan dari Klasis Semarang Timur tentang kalender gerejawi; sidang mempertimbangkan (1) Keterlibatan GKJ dalam Gerakan Oikumene melalui keesaan bacaan, (2) Sejarah keselamatan yang utuh diharapkan mampu dihayati oleh jemaat, maka sidang memutuskan: (1) Menetapkan penggunaan bacaan leksionari (Revised Commond Lectionary) dalam ibadah GKJ. (2) Menugasi tim liturgi sinode untuk menyelenggarakan kajian tentang bacaan leksionari dan menyusun tata ibadah yang sesuai bagi penggunaan bacaan leksionari dalam tata ibadah GKJ dengan mempertimbangkan kalender gerejawi, kekayaan budaya, dan pergumulan lokal. (3) Memberikan kesempatan kepada tim selama 12 bulan untuk menyelesaikan kajian dan liturgi, dan disosialisasikan. (4) Hasil kajian disosialisasikan kepada jemaat oleh gereja masing-masing.” Ada beberapa hasil yang sudah bisa diwujudkan dari keputusan Sidang Sinode GKJ XXV 2009 di atas. Pertama adalah pendistribusian leksionari setiap tahun ke seluruh jemaat GKJ. Kedua, tulisan-tulisan khotbah untuk setiap peribadatan hari Minggu maupun renungan harian yang disusun oleh Sinode GKJ telah dibuat sesuai dengan bahan leksionari yang diambil dari Revised Commond Leksionary (RCL). Ketiga adalah dibuatnya dua buah
151
ragam bentuk rancangan liturgi untuk penggunaan leksionari dengan penjelasan ringkas dan lengkap.196 Akhirnya, yang dimaksudkan dengan kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ pada aras sinodal yang juga memiliki sifat pastoral adalah berupa nyanyian-nyanyian pujian umat, yang sesungguhnya sangat berhubungan erat dengan persoalan tantangan-tantangan dalam perkembangan liturgi sekaligus tanggung jawab keberadaan umat GKJ sebagai Gereja yang dewasa, sebagimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Yang pasti, kesadaran akan kebutuhan dari pergumulan umat GKJ pada aras sinodal yang bersifat penggembalaan itu semakin jelas semenjak proses kehidupan peribadatan pasca pemberlakuan Liturgi GKJ baru. Tanpa harus kehilangan kekhasannya sebagai Gereja Jawa yang harus berkembang dan dapat menampung aspirasi umatnya, maka ditetapkanlah keputusan dalam beberapa Sidang Sinode GKJ untuk memperkuat peribadatan umat yang di-lakukan dengan liturgi GKJ baru tersebut. Pada Akta Sidang Sinode GKJ XXI 1994 Artikel 98, 99, 100, ditegaskan bahwa Mazmur dan Kidung yang diubah menjadi Kidung Pasamuwan Kristen (KPK) ditetapkan sebagai nyanyian resmi di GKJ.197 Demikian pula dengan Kidung Pujian yang telah disusun dan waktu itu tengah diadakan perbaikan sebagai nyanyian tambahan (suplemen) bagi umat ditetapkan 196
Sinode GKJ, Menuju Pembaruan Liturgi Gereja Kristen Jawa, (Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 2011), 23-24. 197 Bahkan, ketika KPK di kemudian waktu juga mengalami pembaruan, maka muncul pula Akta Sidang Sinode GKJ XXIII 2002 Artikel 23 yang menyatakan bahwa: “Menanggapi usulan Klasis Salatiga untuk memberlakukan KPK lama dan baru karena keduanya sama-sama memiliki kelebihan, sidang memutuskan memberlakukan keduanya.”
152
sebagai nyanyian resmi di GKJ. Adapun Kidung Jemaat juga boleh dipergunakan dalam peribadatan Minggu dengan pertimbangan untuk menumbuhkan semangat oikumene seperti anjuran Sidang Raya PGI X 1984. Seluruh pergumulan yang berkembang atas pelaksanaan liturgi GKJ yang baru tersebut, selaras pula dengan upaya perumusan PPAGKJ yang semestinya menjadi dasar liturgi bagi umat GKJ itu sendiri. PPAGKJ yang memiliki benih jauh sebelum waktu proses perumusan yang secara pasti dilakukan setelah tersusunnya liturgi GKJ baru tersebut,198 pada akhirnya selain berusaha mempertahankan warisan ajaran iman yang dipandang masih memiliki relevansi dengan konteks kehidupan umat,199 juga mampu memperlihatkan pandangan imannya yang khas. Kekhasan pandangan iman yang pada akhirnya dapat dimiliki oleh GKJ tersebut adalah: (1) Acuan PPAGKJ hanya Alkitab. Karena itu literatur acuan disendirikan pada Buku Penjelasan Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa. (2) Titik tolak PPAGKJ berasal dari pendekatan soteriologi, di mana keselamatan dikerjakan oleh Allah. Karena itu Kristologi dipandang
198
Lih., Acta Synode GKD XI 1969 Artikel 78 butir (1) dan (3). Dalam artikel ini dinyatakan bahwa: “Setelah mendengar dari Seksi I jang membahas laporan dari Deptutat Penjelidikan hal pemindjauan kembali Pengadhajaran Agama Kristen (Heidelbergsche Catechismus), sidang menerima dan memutuskan: Mengingat bahwa jang disebut Heidelbergsche Catechismus jalah suatu document dan bahwa jang berhak merubah/ merubah/mengurangi hanjalah penulisnja sendiri, sinode berpendapat bahwa sinode GKD tidak mungkin merubah/mengurangi, baik isi maupun sistem dan bentuknja. ... Untuk menjusun buku pegangan akatekisasi jang sesuai dengan keadaan di sini dengan ketentuan: (a) memuat peladjaran mengenai pokok-pokok kepertjajaan Kristen, (b) memasukkan lebih banjak lagi pengertian mengenai etika Kristen (kemasjarakatan dan politik), (c) memperhati-kan konfrontasi Indjil dengan isme-isme dan aliran-aliran kepertjajaan lain... .” 199 Warisan ajaran iman yang masih dipertahankan oleh GKJ dalam pembaruan rumusan yang tersusun di dalam PPAGKJ adalah: (1) Dasa Titah. (2) Doa. (3) Pengakuan Iman Rasuli. Lih., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, (Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 1997), 6, 102-125.
153
sebagai salah satu dari kesatuan dan puncak dari cara kerja Allah untuk menyelamatkan manusia di dalam wujud Trinitas. (3) Pandangan iman tentang Alkitab sebagai firman Tuhan. (4) Panggilan Kristen ataupun Gereja yang sesungguhnya terletak pada kegunaannya sebagai pemberitaan keselamatan dan memeliharaannya. (5) Pandangan sikap dan tangung jawab orang percaya di tengah dunia dengan berbagai macam kenyataan bentuk dan perkembangan kehidupan manusia, yang meliputi sikap terhadap: a) Kehidupan di dunia. b) Etika. c) Alam. d) Kebudayaan. e) Ilmu pengetahuan teknologi dan teknik. f) Sekularisme. g) Negara. h) Agama-agama.200
3.9. Penutup Kesimpulan dari paparan dan analisa himpunan data di atas adalah bahwa liturgi GKJ lahir tidak berasal dari benih pergumulan budaya beserta perubahan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakatnya sendiri, melainkan oleh sejarah ekspansi missionaris Gereja Calvinis Belanda (GKN) bagi jemaat Jawa. Karena itu, liturgi GKJ adalah liturgi yang benihnya diturunkan dari pandangan dan tradisi Gereja Calvinis Belanda. Liturgi GKJ lahir oleh dorongan kenyataan umat sebagai jemaat dewasa, sekaligus tuntutan oikumenis gereja-gereja seasas yang tersebar dan berkembang di daerah-daerah Jawa pada khususnya. Meskipun benih liturgi GKJ berasal dari warisan faham Gereja Calvinis Belanda, namun keberada-
200
Bnd., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, 7-125., Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Edisi 2005, (Salatiga: Percetakan Sinode GKJ, 2009), 1-101., Akta Sidang Sinode GKJ Terbatas 1996 Artikel 24.
154
annya belum dikembangkan secara kreatif dengan berbagai wacana dan kajian sejarah dan budaya yang telah banyak dilakukan sesuai konteks masyarakatnya. Bahkan sebagai keputusan sidang, hasilnya belum mampu diwujudkan dengan sepenuh hati, sehingga liturgi GKJ terkesan terkoloni. Walaupun pada akhirnya GKJ memiliki pandangan iman sendiri yang ditumbuhkan dari konteks masyarakatnya, tetapi teologi GKJ itu kurang teresap dalam liturgi GKJ. Sebab liturgi GKJ terlanjur kuat mengakar secara mapan dalam pandangan dan tradisi yang diwarisi sebelumnya, yaitu GKN. Kenyataan itu nampak pada pendekatan yang dilakukan sebagai jalan keluar persoalan yang dihadapi, maupun pada pengembangannya hingga sekarang. Pendekatan tersebut adalah pendekatan teknis dan praktis yang cenderung berkiblat pada warisan GKN, daripada pandangan dari PPAGKJ maupun dari khazanah tradisi budaya yang menjadi akar serta jiwa perikehidupan umat sehari-hari di tengah masyarakatnya. Misalnya masalah dan pengembangan nyanyian umat, musik peribadahan, pakaian liturgis, lambanglambang peribadahan, tata cara peribadahan dan keikutsertaan umat di dalam pelaksanaannya, dan lainnya. Secara teologis, liturgi dipahami oleh GKJ sebagai sarana mewujudkan ibadah dalam perbuatan sehari-hari, sekaligus untuk menyatakan pertemuan umat dengan Allah yang memberi anugerah penyelamatan dan manusia menanggapinya. Di dalam penerapan dan pengembangannya, pengertian liturgi GKJ itu belum menampakkan langkah membumi, melainkan masih cenderung menekankan pendekatan prakmatik. 155
156