BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Pemikiran Imam Samudra dalam Buku Aku Melawan Teroris)
SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : SHOHIBUL IBAD NIM. 072211030
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2012
Drs. H. Maksun, M.Ag Perum Griya Indo Permai A 22 Tambak Aji Ngaliyan, Semarang Drs. H. Nursyamsudin, M. Ag Jl. Mandasia III No 354 Krapyak, Semarang PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. Hal
: 4 (empat) eks. : Naskah Skripsi An. Sdr. Shohibul Ibad Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini saya kirim naskah skripsi Saudara: Nama : Shohibul Ibad NIM : 072211030 Judul : “BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (STUDY ANALISIS PEMIKIRAN IMAM SAMUDRA DALAM BUKU AKU MELAWAN TERORIS)” Dengan ini saya mohon kiranya skripsi Saudara tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Demikian harap menjadikan maklum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Semarang, 13 Juni 2012
ii
KEMENTRIAN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG Jl. Prof. Dr. Hamka Km.2 Ngaliyan Kampus III Telp/Fax. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN Skripsi Saudara
: Shohibul Ibad
NIM
: 072211030
Judul
: Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Pemikiran Imam Samudra Dalam Buku Aku Melawan Teroris)
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude/baik/cukup, pada tanggal : 20 Juni 2012 dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata 1 tahun akademik 2011/2012. Semarang, 20 Juni 2012
iii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian skripsi ini tidak berisi satupun pikiranpikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2012 Deklarator
SHOHIBUL IBAD NIM. 072211030
iv
MOTTO
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al-Baqarah : 286)
v
ABSTRAK Tema jihad di dalam Islam termasuk salah satu tema besar yang sangat penting dan memiliki pengaruh besar. Sebab, dengan terpatrinya jihad maka akan terbentuk risalah Islam, identitas kebangsaan, kenegaraan, kedaulatan, kemerdekaan, kemuliaan, terjaganya harga diri, kehormatan, adat istiadat, budaya, norma dan moral. Akan tetapi, jihad yang dipahami dengan pandangan yang keliru dan diletakkan bukan pada tempatnya bisa berakibat fatal bagi Islam. Pemahaman dan pelaksanaan dari perintah jihad menjadi hilang oleh golongan yang bersikap berlebihan dan mengurangi. Dengan motivasi jihad pengorbanan nyawa (intensi mati) yang seharusnya dilindungi menjadi tergadaikan karena terbalut oleh jihad mengatas namakan sebagai perintah Allah. Taktik serangan dengan bunuh diri pun coba di legalkan dengan mengunakan dasar agama. Imam Samudra atau Abdul Aziz melalui bukunya ‘Aku Melawan Teroris’ menguraikan pemahamannya mengenai Jihad serta pelaksanaannya dengan tindakan bunuh diri (istisyhad). Dari latar belakang di atas, penelitian ini akan mengkaji bagaimana pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai bentuk jihad? dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh diri sebagai jihad? Metode penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian kepustakaan (library research). Menurut sifat dari data yang dicari penelitian ini bersifat kualitatif. Sumber data dari penelitian ini terdiri dari data primer buku ‘Aku Melawan Teroris’ dan data sekunder yang mendukung. Dari sinilah kemudian metode analisis dilakukan dengan deskriptif, interpretatif dan content analysis. Hasil studi penelitian menyimpulkan dua temuan. Pertama, pemahaman Imam Samudra tentang alasan tindakan bunuh diri sebagai bentuk dari jihad dilatarbelakangi oleh jihad yang diprioritaskan hanya sebagai perang. Puncak pelaksanaannya dilakukan dengan tindakan intimidasi dan teror melalui serangan mengorbankan nyawa (bunuh diri) di Indonesia dan Bali khususnya. Dalam jihad hal ini bertentangan dengan hukum pelaksanaan jihad dan konsep wilayah jihad perang. Kedua, Dalam ketentuan hukum pidana Islam dilakukan dengan jalan qiyas untuk menyamakan kasus penyerangan dengan bunuh diri dengan pemberontakan (al-baghyu) dengan illat bahwa perbuatan itu membawa dampak yang sama yaitu mengganggu stabilitas keamanan masyarakat. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidananya memiliki dua ketentuan. Pertama, kejahatan yang berkaitan langsung yang hukumannya diserahkan kepada ulil amri dan kedua, yang tidak berkaitan langsung yang dimasukan ke dalam pidana hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Kata Kunci : bunuh diri, jihad, hukum pidana Islam. vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada: ~:~ Allah Swt. kupersembahkan skripsi ini, dengan harapan semoga Allah dapat membukakan akal pikiranku, membimbingku, menyinari dan menunjukkan pada ku mana yang baik agar bisa diikuti, dan mana yang batil agar bisa dihindari. ~:~ Ummi (Khotijah) & Bapak (Muhammad Ajib), Betapa pun Aku berbakti kepadamu, aku tidak akan mampu menebus kasih sayangmu yang telah diberikan kepadaku. ~:~ Kakak-kakakku (Kak Kamal & Mbak Lala, Mas Rofik), juga adikadiku (Bilqis & Mazia), serta kedua keponakan (Kausar & Haidar) ~:~ Seseorang yang selalu memberi dukungan dan motivasi untuk mencapai hasil yang seperti sekarang ini. ~:~ Fajrin, Nita, Faqih, Hasan, Zantse, Akhirnya aku menyusul kalian. Yang lain, Cukong, Nasron, Ghufron, Kholisudin, Nunik, Khumaini, Tohir, Arif, Zuhri bersama-sama kita bisa. ~:~ Sobat Topo Broto Ringinsari (Jenggot, Hajir, Ri2k, Pak de, Ajis, Latip, Opat, Jiki, Jirin, Alan, Oceh, Iping, Pak dut, Mas Hadik dll) ~:~ Sobat Topo Broto Beringin Lestari (Tuan Rumah Judin & Komeng) Tak lupa tetangga sebelah (Coding, Riel, Apep & Mat). ~:~ Sobat Topo Broto HI (hotel Islam) tseZan, sanHa, qihFa, DePak, Nun-i, WekTu, dan generasi selanjutnya. ~:~ Sobat Kongkow KKN (Kandu, Rizal, Ipul, Duki, Ifa, Nike, Ela, Al, Arin, Afroh). Juga Lurah e, Pak Sutar dan Keluarga. ~:~ Sobat perkelanaan (Mas Iir, Pak Lek Imam, Why, Mat Soleh dan lain sebgaianya) ~:~ Dan yang belum tersebut, telah tersebut jika ingin disebut.
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim… Puji syukur Alhamdulillahirobbil’alamin penulis ucapkan kehadirat Allah Swt atas rahmat, hidayah dan karuniaNya, shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabiullah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabatsahabat
dan
para
pengikutnya
yang
telah
membawa
Islam
dan
mengembangkannya hingga sekarang ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (STUDY ANALISIS PEMIKIRAN
IMAM SAMUDRA DALAM BUKU AKU MELAWAN
TERORIS), dengan baik tanpa banyak kendala yang berarti. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang yang telah memimpin lembaga dengan baik. 2. Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan pembantu-pembantu Dekan
yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk menulis skripsi tersebut dan memberikan fasilitas belajar hingga kini. 3. Drs. M. Solek, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Rustam DKAH, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 4. Drs. H. Maksun, M.Ag. dan Drs. H. Nur Syamsuddin, M.Ag. selaku Pembimbing atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan dengan sabar dan tulus ikhlas. 5. Seluruh Dosen IAIN Walisongo Semarang atas segala ilmu yang telah diberikan.
viii
6. Seluruh staff dan karyawan TU, Perpustakaan baik yang ada di Fakultas Syari’ah maupun di Institut. 7. Kedua orang tua penulis, M. Ajib dan Khotijah beserta segenap keluarga, atas segala doa, perhatian, nasehat dan kasih sayangnya. 8. Teman-temanku yang selalu memberi semangat sehingga terselesainya skripsi ini. Dan doaku untuk mereka, “Semoga Allah membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari mereka berikan pada diriku” Amin. 9. Teman-teman Jinayah Siyasah angkatan 2007 dan teman-teman di lingkungan IAIN Walisongo Semarang. 10. Google.com untuk kemudahan yang diberikannya melalui akurasi searchingnya,
priview
bukunya
(book.google.com),
bookmarksnya,
surelnya. Arcive.org atas koleksi buku dari para uploadernya. Dan berbagai forum diskusi online.
Penulis juga menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, semua kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca yang budiman pada umumnya. Amin.
Semarang, 12 Juni 2012 Penulis
Shohibul Ibad NIM. 072211030
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................. i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... iv HALAMAN MOTTO ................................................................................. v HALAMAN ABSTRAK ............................................................................. vi HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vii HALAMAN KATA PENGANTAR ........................................................... viii HALAMAN DAFTAR ISI.......................................................................... x
BAB I PENDAHULUANs A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6 D. Telaah Pustaka ........................................................................... 7 E. Metode Penelitian ...................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................ 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD DAN BUNUH DIRI A. Jihad Dalam Islam ..................................................................... 14 B. Bunuh Diri Dalam Hukum Pidana Islam .................................... a. Pengertian Bunuh Diri ........................................................ b. Alasan Bunuh Diri .............................................................. c. Hukum Bunuh Diri ............................................................. C. Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad ..............................................
26 26 27 31 36
BAB III PANDANGAN IMAM SAMUDRA TENTANG JIHAD A. Biografi Imam Samudra ........................................................ B. Pemahaman Imam Samudra Mengenai Islam ........................ C. Pemahaman dan Pelaksanaan Jihad Imam Samudra ............... a. Pemahaman Imam Samudra tentang Jihad ........................ b. Pelaksanaan Jihad Imam Samudra ....................................
x
43 52 57 57 63
BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN IMAM SAMUDRA TENTANG BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DAN TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP BENTUK TINDAKAN BUNUH DIRI SEBAGAI JIHAD A. Analisis Pemahaman Imam Samudra Tentang Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad .............................................. 72 1. Analisis Pemahaman Imam Samudra tentang Jihad.... 73 2. Analisis Pelaksanaan Jihad Imam Samudra................ 83 B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Bentuk Tindakan Bunuh Diri Sebagai Jihad................................. 94 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................... 101 B. Saran-saran ........................................................................... 103 C. Penutup ................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu ajaran agama Islam yang langsung ditunjukkan Allah melalui al-Qur’an adalah ajaran tentang jihad. Selanjutnya, ajaran ini cukup banyak mendapat respons dari hadits Rasulullah dan ijtihad para ulama. Dalam ilmu fiqh, ajaran jihad mendapat perhatian khusus dari para fukaha, hampir dalam setiap buku-buku fiqih ditemukan pembahasan jihad secara rinci. Tema jihad di dalam Islam termasuk salah satu tema besar yang sangat penting dan memiliki pengaruh besar. Sebab, dengan terpatrinya jihad maka akan terbentuk
risalah
Islam,
identitas
kebangsaan,
kenegaraan,
kedaulatan,
kemerdekaan, kemuliaan, terjaganya harga diri, kehormatan, adat istiadat, budaya, norma dan moral. Kesemua hal itu merupakan seperti yang telah dijanjikan Allah dari kemenangan dalam jihad. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada
1
2
Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (Q.S. At-Taubah : 111).1 Jihad ketika dipisahkan dari ajaran Islam akan mengakibatkan dampak negatif. Islam akan menjadi statis, tidak mampu merespon segala perkembangan zaman. Yusuf Qardhawi menyebutkan tanpa jihad, penjaga umat akan ternodai dan darah generasinya akan menjadi semurah-murah tanah. Kesucian-kesucian umat pun akan menjadi lebih rendah daripada segenggam tanah di padang pasir.2 Ungkapan tersebut dimaksudkan agar syari’at tentang jihad tidak dipisahkan dari ajaran Islam. Jihad memiliki sebuah peranan penting dalam syari’at Islam. Jihad seperti dua mata pisau, jika diterapkan sesuai maka dampak positif yang sangat besar akan diperolehnya. Namun, Jihad yang disalahpahami mengakibatkan Islam dipandang sebagai agama peperangan, bukan agama perdamaian. Bahkan istilah jihad itu sekarang tidak hanya disalahpahami melainkan juga disalahgunakan oleh orang-orang barat untuk memperburuk citra Islam.3 Implementasi konsep jihad lebih banyak dipahami secara sederhana sebagai bentuk perang suci (holy war). Jihad dipahami sebagai kewajiban setiap muslim untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini melalui kekuatan dan perang. Akibatnya, kaum muslim yang rela dijadikan sebagai mortir untuk melakukan perang atas nama agama.4
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2007 h.
168. 2
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur'an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, Bandung: Mizan, 2010, h. xiv. 3 Haji Agus Salim, Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, St. Sularto (ed.), Jakarta: Gramedia, 2004, h. 59. 4 Muhammad Asfar, dkk, Islam Lunak Islam Radikal Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, 2003, Surabaya: JP Press, h. 62-63.
3
Kenyataannya sekarang berbagai kasus anarkisme hingga terorisme yang dilakukan oleh sebagian kelompok orang Islam yang melakukan penyerangan dengan ikut mengorbankan diri ke dalam aksinya tersebut. Hal ini dilakukan atas nama agama (Islam) dengan pembenaran aksinya dari anjuran untuk melakukan jihad. Diantara kasus-kasus yang terjadi yaitu, serangan 11 September 2001 dengan menabrakkan dua pesawat ke menara kembar World Trade Center di New York City. Disusul dengan penabrakan sebuah pesawat ke Pentagon di Arlington, Virginia. Pesawat lainnya yaitu United Airlines penerbangan 93, jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania. Menurut laporan tim investigasi 911, sekitar 3.000 jiwa tewas dalam serangan ini.5 Osama bin Laden mengakui keterlibatannya dalam kelompok al-Qaeda pada penyerangan tersebut dan mengakui hubungan dia secara langsung pada serangan tersebut.6 Di dalam negeri, aksi penyerangan dengan mengorbankan diri (bunuh diri) yang mengatas namakan jihad terus berkembang. Mulai dari tragedi yang paling menggemparkan yaitu bom Bali I dan bom Bali II yang merenggut nyawa warga sipil tidak hanya dari pihak non-muslim akan tetapi juga dari muslim.7 Pelaku bom Bali I Imam Samudra dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”
5
Wikipedia, Casualties of the September 11 Attacks, diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Casualties_of_the_September_11_attacks, pada 1 November 2011, Jam 17.00 WIB. 6 Maggie Michael, Bin Laden in Statement to U.S. People, Says He Ordered Sept. 11 Attacks, diakses dari http://legacy.signonsandiego.com/news/nation/terror/20041029-1423binladentape.html pada 1 November 2011, Jam 18.00 WIB. 7 Daftar korban bom bali I terjadi pada 12 Oktober 2002 dengan korban jiwa berjumlah 202 dan 209 orang luka-luka atau cedera, daftar nama korban diabadikan di monumen bom Bali (Ground Zero Legian). Bom Bali II terjadi pada Oktober 2005 dengan korban jiwa 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.
4
mengemukakan bahwa warga ‘sipil’ bangsa-bangsa penjajah yang asalnya tidak boleh diperangi, berubah menjadi boleh diperangi karena adanya tindakan melampaui batas, yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah.8 Oleh karena itu, untuk merealisasikan pemahamanya itu Imam Samudra melakukan pengeboman pada tanggal 12 Oktober 2002, yang dijadikan target adalah orang-orang Amerika dan sekutunya yang berada di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di jalan Legian, Kuta, Bali. Dalam kasus bom Bali II di Jimbaran Bali 10 November 2005, pengeboman mengunakan perantara manusia yang mana pelaku aksi peledakan ikut tewas dalam aksinya.9 Hal ini diyakininya sebagai bagian dari Istisyhad.10 Seperti perlawanan rakyat Palestina terhadap agresi militer Israil dengan meledakkan diri di tengah-tengah tentara Israil. Aksi serupa juga terjadi di Iran, Irak, Chechnya, Afganistan dan Pakistan. Di Indonesia kemudian muncul istilah “pengantin” yaitu orang yang telah siap untuk melakukan aksi bunuh diri menggunakan bom yang bertujuan untuk melakukan “jihad”. Penggunaan istilah pengantin merupakan bentuk motivasi bagi pelaku bunuh diri, disaat dirinya meninggal dalam penyerang tersebut, sejak itulah pernikahannya berlangsung dengan para bidadari yang dijanjikan di surga.
8
Aziz, Abdul, Imam Samudera : Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004, h. 116. Vivanews, Kesaksian M. Salik Firdaus pelaku aksi peledakan Bom Bali II, di akses di http://lipsus.vivanews.com/bom_bali/lipsus_detail_bagian_3c.html pada 1 Februari2011. 10 Istisyhad ( )ااﺳﺘﺸﮭﺎدyang berarti berarti ( طﻠﺐ اﻟﺸﺎھﺪةmencari syahid), syahid menjadi bentuk kematian yang sudah mendapat jaminan surga. Ada juga yang menyebutnya sebagai istimata atau pasukan berani mati, disamping itu ada juga yang menyebutnya dengan intihar atau bunuh diri. 9
5
Menanggapi aksi jihad dengan mengorbankan diri, Para ulama ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Sebagian berpendapat, tindakan bunuh diri selagi ada kesengajaan membunuh dirinya sendiri sekalipun juga mengakibatkan orang kafir musuh ikut terbunuh, tidaklah berbeda dengan bunuh diri biasa yang hukumnya haram. Sehingga tidak dapat dikategorikan mati syahid. Pendapat yang membolehkan, karena tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka jihad untuk membela agama atau tindakan dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara.11 Adapun Imam Samudra memilih tentang kebolehan aksi bunuh diri atau Istisyhad, walaupun dengan dugaan kuat bahwa pelaku akan terbunuh dalam oprasi yang dilakukannya terebut.12 Alasan mengapa sebagian umat Islam bersedia melakukan tindakan semacam itu adalah permasalahan yang sesegera mungkin dicarikan solusinya. Oleh karenanya apakah pemahaman dan perjuangan melalui mengorbankan diri hingga mati merupakan bagian dari jihad fisabilillah. Atas dasar itulah penyusun tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pemaknaan jihad, dalam penelitian ini sebagai objek penelitian adalah pemikiran jihad dari Imam Samudra melalui bukunya “Aku Melawan Teroris”. Dikarenakan dalam menjelaskan konsepsi jihad dalam Islam, Imam Samudra menitik beratkan arti jihad sebagai perang, dan menganggap boleh melakukan tindakan bunuh diri untuk dapat membunuh orang-orang kafir. Bagaimana hukum bunuh diri yang digunakan alasan dalam berjihad dilihat dalam perspektif hukum pidana Islam
11
Luthfi Assyaukani, Politik, HAM, dan isu-isu teknologi dalam fikih kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, h. 11 12 Abdul Aziz, Op.cit, h. 182-183.
6
berdasarkan sumber-sumber hukum islam dan juga untuk mengetahui apakah jihad dengan jalan aksi bunuh diri ini sesuai dengan kriteria jihad yang dibenarkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu, penyusun berupaya melakukan penelitian ini sehingga karya ini diberi judul : “BUNUH DIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM (STUDY ANALISIS PEMIKIRAN IMAM SAMUDRA DALAM BUKU AKU MELAWAN TERORIS)”. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Ada beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji : 1. Bagaimana pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai bentuk jihad ? 2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh diri sebagai jihad ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya untuk menjawab apa yang telah dirumuskan dalam dari masalah di atas. Di antara beberapa tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai bentuk jihad.
7
2. Mengetahui tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh diri sebagai jihad. Manfaat Penelitian : 1. Secara formal penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1 dalam Ilmu Syari’ah. 2. Diharapkan berguna bagi konstribusi dan pengembangan pengetahuan ilmiah ke-Islaman. D. Telaah Pustaka Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa sumber yang membahas atau berhubungan dengan masalah tersebut di antaranya: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Rico Setyo Nugroho mahasiswa Fakultas Dakwah Program Studi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam IAIN Walisongo Semarang dalam skripsinya yang berjudul “Jihad fiSabilillah dalam Pemikiran Imam Samudra dalam Buku Aku Melawan Teroris (Ditinjau dari Perspektif Dakwah)”. Penelitian ini dilakukan tahun 2006. Di dalam skripsinya memaparkan bahwa menurut pemahaman Imam Samudra jihad dapat diartikan dari tiga sudut pandang, bahasa, istilah dan syari'ah. Menurut bahasa jihad berarti bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mencapai suatu tujuan. Secara istilah jihad berarti bersungguh-sungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya di muka bumi. Secara syari'ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Dari ketiganya, jihad dalam pengertian syariah-lah yang digolongkan sebagai jihad fi
8
sabilillah. Jadi, yang dimaksud jihad fi sabilillah oleh Imam Samudra adalah angkat senjata untuk berperang di jalan Allah melawan musuh guna membela dan mempertahankan Islam. Karenanya, Imam Samudra memandang bahwa perlawanan terhadap dominasi AS dan sekutunya yang melakukan pembantaian terhadap umat Islam di Afganistan, Palestina dan Irak merupakan bentuk jihad yang harus dilakukan yang salah satunya dengan melakukan pengeboman di Bali dengan sasaran AS dan sekutunya. Jika dilihat dari sudut pandang dakwah, cara menampilkan Islam yang mengedepankan jihad melalui peperangan sebagaimana yang dilakukan Imam Samudra dapat melahirkan image bahwa Islam merupakan agama yang disebarkan melalui kekerasan. Aktivitas dakwah sendiri hendaknya dilakukan dengan mendahulukan cara damai, misalnya dengan akhlak yang baik, lemah lembut, serta perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.13 Kedua, penelitian yang dilakukan oleh M. Nashir Jamaludin mahasiswa Fakultas Syariah Program Studi Siyasah Jinayah IAIN Walisongo Semarang dalam skripsi yang berjudul “Bom Bunuh Diri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Hasil Munas NU tahun 2002 dalam Bahtsul Masa'il Waqiyyah Siyasiyyah)”. Penelitian ini dilakukan tahun 2004. Adapun hasil penelitian dalam skripsi ini memaparkan bahwa Perang dalam Islam bukan jihad secara bebas, tetapi jihad itu terikat dengan syarat bahwa dilakukan pada jalan Allah (fi sabilillah). NU membolehkan aksi bom bunuh diri dengan situasi dan kondisi
13
Rico Setyo Nugroho, “Jihad fi Sabilillah dalam Pemikiran Imam Samudera dalam Buku Aku Melawan Teroris (Ditinjau dari Perspektif Dakwah)”, Skripsi Dakwah, Semarang, 2006, h.67-68,t.d.
9
khusus dan bagi pelakunya harus memenuhi persyaratan yang khusus pula. Sehingga aksi bom bunuh diri belum tentu sebagai jihad, seperti yang disyari'atkan. Metode istinbath yang dikembangkan NU, termasuk dalam aksi bom bunuh diri, menggunakan istinbath jama'i, penyimpulan ketentuan hukum secara bersama-sama. Istinbath langsung dari sumber-sumber primer (al-Qur'an dan al-Sunnah) yang cenderung kepada pengertian ijtihad mutlak, bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari, terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai seorang mujtahid.14 Ketiga, penelitian yang dilakukan Muhammad Syawali mahasiswa Fakultas Syariah Program Studi Siyasah Jinayah IAIN Walisongo Semarang dalam skripsi yang berjudul “Studi Analisis Konsep Maulana Muhammad Ali tentang Jihad”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Dalam skripsi ini memaparkan bahwa Pertama, Nilai-nilai ajaran yang ditawarkan Maulana Muhammad Ali tentang jihad adalah mengupayakan adanya kelenturan berpikir atas teks-teks jihad yang terkandung di dalam al-Qur`an dan sunah Rasulullah saw yaitu sikap jihad yang masih bersifat universal dalam konteks penerapannya di segala persoalan kehidupan yang masih komplek dan kontekstual. Implikasi konsep jihad Muhammad Ali akan memberikan pencerahan pemikiran dan pembelaan terhadap Islam dari kalangan yang mendiskreditkan Islam sebagai sarang teroris. Kedua, Adapun yang membedakan persepsi jihad antara ulama
14
M. Nashir Jamaludin, Bom Bunuh Diri Dalam Perspektif Hukum Islam ( Studi Hasil Munas NU tahun 2002 dalam Bahtsul Masa'il Waqiyyah Siyasiyyah ), Skripsi Syari’ah, 2004, h.59, t.d
10
fiqih dan maulana Muhammad Ali hanya pada dimensi sudut pandangnya saja. Ulama fiqih lebih mengedepankan aspek formalitas dan otoritas syariah, dalam memberikan makna jihad pada nash Al-Quran dan hadits Nabi saw. Mereka Mengacu pada makna hakiki syar’i (makna syariah). Sedangkan Muhammad Ali cenderung kurang formal tapi lebih pada upaya realisasi
konsep jihad yang
bersifat universal dan kontekstual. Pemikiran Muhammad Ali sendiri di pengaruhi oleh pemikiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri Ahmadiyah yang berorientasi
pada pembaharuan pemikiran yang bercorak liberal dan
kontekstual.15 Dari beberapa penelitian di atas dapat diketahui bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan skripsi yang penulis susun. Perbedaannya penulis menitik beratkan masalah pada bunuh diri sebagai bentuk jihad dalam pemaham Imam Samudra dan melakukan penelitian dari aspek tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindakan bunuh diri. Inilah yang membedakan penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang sudah ada. E. Metode Penelitian Metode dalam suatu penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting, karena suatu metodologi nantinya akan menentukan bagaimana cara kerja sebuah mekanisme penelitian mencapai kebenaran ilmiah tentang suatu hal dan lebih sistematis,
maka
diperlukan
sebuah
metode
yang
jelas
sebagaimana
disebutkan dalam rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut :
15
Muhammad Syawali, Studi Analisis Konsep Maulana Muhammad Ali tentang Jihad, Skripsi Syari’ah, Semarang, 2009, h.114-117, t.d.
11
1. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumbersumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan Library Research menurut Bambang Sunggono, adalah suatu riset kepustakaan atau penelitian murni.16 Jadi, penelitan ini dilakukan dengan menelaah dan mengkaji dokumen atau sumber tertulis seperti buku, majalah, dan lain-lain. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk bersifat deskriptif, interpretatif dan contetnt analysis yakni dengan berusaha memaparkan data-data tentang suatu hal atau masalah dengan interpretasi yang tepat, kemudian menganalisisnya.17 2. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber sekunder. Sumber primer atau tangan pertama, adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber informasi yang dicari. Bahan utama sumber data primer yang digunakan yaitu data yang ada dalam buku karya Abdul Aziz yang berjudul “Imam Samudra: Aku Melawan Teroris”. Adapun sumber data sekunder, yaitu data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya.
16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 50. 17 Ibid., h. 139.
12
Data-data ini diperoleh dari buku-buku bacaan dan literatur-literatur lain yang membahas tentang jihad dan bunuh diri dalam Islam, serta buku-buku yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Selain itu data penunjang yang didapatkan dari internet guna memahami peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi. 3. Metode Analisis Data Analisis data yang akan digunakan adalah deskriptif, interpretatif dan content analysis. Deskriptif yaitu metode analisis data yang befungsi untuk menjelaskan suatu pemikiran (fakta) sehingga dapat diterima secara rasional.18 Aplikasinya, pemikiran Imam Samudra direkonstruksi dan dipaparkan kembali apa adanya. Analisis interpretasi dimaksudkan untuk menyelami karya seorang tokoh untuk menangkap arti yang dimaksud tokoh tersebut19 yang aplikasinya untuk menyelami isi buku “Imam Samudra: Aku Melawan Teroris”. Adapun content analysis yaitu analisis ilmiah tentang isi data yang mencakup upaya klarifikasi kriteria-kriteria tertentu untuk membuat prediksi atas tema-tema yang dibahas.20 Penggunaan analisis isi ini sangat dibutuhkan ketika memilah-milah isi data yang membahas tentang bunuh diri sebagai bentuk jihad. Kemudian ketentuan dari hukum pidana Islam dijadikan landasan mengenai segala ketentuan hukum tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil yang terperinci dari al-Qur'an dan al-hadist. 18
Irawan, Prasetya, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, h.60. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1997, h.98. 20 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, h. 19
68-69.
13
F. Sistematika Penulisan Agar pembahasan dan penyusunan skripsi ini menjadi terarah, runut atau sistematis, penulis menyusun sebagai berikut : BAB I Merupakan pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Telaah Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II Menjelaskan tentang tinjauan umum tentang jihad dan bunuh diri dalam perspektif hukum pidana Islam, Di dalamnya akan penulis jelaskan persoalan tentang, Jihad dalam Islam, bunuh diri dalam hukum pidana Islam dan bunuh diri sebagai bentuk jihad. BAB III Berisi tentang pandangan Imam Samudra tentang jihad, yang meliputi biografi Imam Samudra, Pemahaman Imam Samudra mengenai Islam, Pemahaman dan pelaksanaan jihad Imam Samudra tentang jihad yang termasuk didalamnya kebolehan hukum bunuh diri sebagai jihad. BAB IV Analisis pemahaman Imam Samudra tentang bunuh diri sebagai bentuk jihad dan tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh diri sebagai jihad. Pada bab ini menganalisis tentang pemahaman imam Samudra tentang jihad dan pelaksanaannya. Dari situ kemudian perlu adanya tinjauan hukum pidana Islam terhadap bentuk tindakan bunuh diri sebagai jihad. Bab V Bagian penutup dari rangkaian penyusunan skripsi, diuraikan tentang kesimpulan seputar penyusunan skripsi, saran-saran yang berkaitan dengan penyusunan skripsi, serta kata penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JIHAD DAN BUNUH DIRI
A. Jihad dalam Islam Pengertian jihad menurut kaedah bahasa (etimologi), kata ( ﺟﮭﺎدjihad) berasal dari kata dasar ﺟ ُ ﮭْ ﺪ ًا/ ﺟ َ ﮭْﺪ ًا- ُ ﯾَﺠ ْ ﮭَﺪ- ( ﺟ َ ﮭَﺪjahada, yajhadu, jahdan/ juhdan). Ibnu Mandzur membedakan kata ُ (اﻟﺠ ُ ﮭْ ﺪal-juhdu) dan ( اﻟﺠ َ ﮭْ ﺪal-jahd), ُ ( اﻟﺠ ُ ﮭْﺪaljuhdu),
dengan
dhammah
di
jim berarti
kemampuan
dan
kekuatan,
adapun (اﻟﺠ َ ﮭْﺪal-jahd) berarti berarti al-masyaqqah (kesulitan). Adapun ﺟﮭﺎد (jihad) berkedudukan sebagai mashdar (kata benda) dari َ ( ﺟ َ ﺎھَﺪjahada) yaitu dengan wazan ﻓﺎﻋﻞdiartikan dengan berusaha menghabiskan segala daya kekuatan, baik berupa perkataan maupun perbuatan.1 Sedangkan dalam kamus alMunawir kata ( ﺟﺎھﺪjahada) berarti mencurahkan segala kemampuan. Jika dirangkai dengan kata fi sabilillah, berarti Berjuang, berjihad, berperang di jalan Allah.2 Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan jihad sebagai ‘Fight, battle, holy war (against the infidles as a religious duty)’,3 yang berarti perjuangan, pertempuan, perang suci (melawan musuh-musuh sebagai kewajiban agama). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jihad memiliki tiga makna yaitu: 1) Usaha dengan upaya untuk mencapai kebaikan. 2) Usaha sungguh-sungguh membela agama Allah (Islam) dengan mengorbankan harta 1
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Beirut: Daar Ehia al-Tourath, Juz II, 1999, h. 395. Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Progressif, h. 215. 3 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed.), New York : Spoken Language Services Inc., 1976, h. 142. 2
14
15
benda, jiwa dan raga. 3) Perang suci melawan kekafiran untuk mempertahankan agama Islam.4 Untuk mengetahui makna terminologi jihad secara benar dan sesuai dengan proporsi yang sebenarnya. Maka, diperlukan penelusuran terhadap perintah jihad yang terdapat dalam al-Quran dan hadits. Sehingga apa yang menjadi bentuk dan aplikasi penerapanya menjadi jelas dan tidak menimbulkan kerancuan. Sehingga substansi dari jihad sesuai dengan apa yang menjadi maksud dan tujuannya. Perintah jihad dalam telah disampaikan oleh Rasulullah Saw yang secara eksplisit menyatakan bahwa jihad telah dimulai semenjak Muhammad diutus oleh Allah sebagai rasul. Hal ini berarti, jihad dilakukan jauh sebelum adanya perintah untuk melakukan perang.5 Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :
ْ ﻚ َ ٍ ﺳﻗُﻮَﺎل َل ُ ﷲ ﱠ ِ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﺛَﻼ َ ث ٌ ﻣ ِﻦ ﻋ َﻦ ْ أَﻧَﺲِ ﺑْﻦ ِﻗَﺎﻣل ََﺎﻟِ ر َ َﻒ ﱡ ﻻ َﻋ َ إِﻟَﮫَ إِﻻ ﱠ ﷲ ﱠ ُ و َ ﻻ َ ﻧُﻜ َ ﻔﱢﺮ ُ هُ ﺑِﺬ َ ﻧْﺐٍ و َ ﻻ َ أَﺻ ْ ﻞ ِ اﻹ ْ ِ ﯾﻤ َﺎﻤن ِﱠﻦ ْ اﻟْﻗﻜَﺎل ْ ﻧُﺨ ْ ﺮِﺟ ُ ﮫُ ﻣ ِﻦ ْ اﻹ ْ ِ ﺳ ْﻼ َ م ِ ﺑِﻌ َ ﻤ َ ﻞ ٍ و َ اﻟْﺠ ِ ﮭَﺎد ُ ﻣ َﺎضٍ ﻣ ُ ﻨْﺬ ُ ﺑَﻌ َ ﺜَﻨِﻲ ﷲ ﱠ ُ إِﻟَﻰ أَن ٍ ﯾُﻘَﺎﺗِﻞ َ آﺧ ِ ﺮ ُ أُﻣ ﱠ ﺘِﻲ اﻟﺪﱠﺟ ﱠﺎل َ ﻻ َ ﯾُﺒْﻄ ِ ﻠُﮫُ ﺟ َﻮ ْ ر ُ ﺟ َ ﺎﺋِﺮٍ و َﻻ َ ﻋ َ ﺪ ْ ل ُ ﻋ َﺎد ِل .( )رواه اﺑﻮ داود.ِو َ ﯾاﻹﻤ ْ َِﺎن ُ ﺑِﺎﻷ ْ َﻗْﺪ َار “Dari Anas bin Malik, ia berkata; Rasulullah saw. berkata: "Tiga perkara yang merupakan dasar keimanan, yaitu: menahan diri dari orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah, dan kita tidak mengkafirkannya karena suatu dosa, serta tidak mengeluarkannya dari keislaman karena sebuah amalan. Jihad tetap berjalan sejak Allah mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal, hal itu tidaklah digugurkan oleh kelaliman orang yang lalim, serta 4
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, h. 362. 5 Enizar, Jihadi The Best Jihad for Moslems, Jakarta : Amzah, 2007, h. 3-4
16
keadilan orang yang adil, dan beriman kepada taqdir.” (HR. Abu Dawud).6 Jihad mempunyai beberapa pengertian dan pergeseran makna sesuai dengan periodisasi turunnya al-Quran dalam dua periode yaitu periode Makkiyah dan periode Madaniyah.7 Ayat yang menerangkan jihad kurang lebih 41 ayat, 8 kali dalam ayat Makkiyah dan 33 kali dalam ayat Madaniyah yang terdapat pada 23 ayat.8 Pemaknaan kata jihad di dalam ayat-ayat al-Quran mengandung beberapa pengertian menurut urutan turunya ayat. Ada yang berarti penyeruan (dakwah), pemaksaan, peperangan dan lainnya. Pemaknaan jihad dari periode Makkah hingga periode Madinah mengalami evolusi pemaknaan dan diklasifikasikan dalam enam makna. Dua pemaknaan jihad dalam periode Makkiyah dan empat pemaknaan jihad selama periode Madaniyah hingga jihad dapat terformulasi menjadi sebuah ajaran dalam syariat Islam.9 Pada periode Makkiyah terdiri dari; Pertama, jihad berarti perjuangan individual, atau perjuangan menghadapi kondisi umat Islam yang sulit disebabkan perbuatan musuh-musuh Islam. Kedua, makna jihad berkembang menjadi perjuangan individual (fardu’ain) dan komunal (fardu kifayah) terhadap kaum musyrik Mekkah. Sedangkan pada periode Madaniyah memiliki empat makna. Pertama, jihad berkembang menjadi makna berperang (al-harb) terhadap kaum 6
Abu Dawud Sulaiman ibn asy-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Juz 3, Beirut : Dar al-Hazm, 1997, h. 30. 7 Makiyah adalah istilah yang diberikan kepada ayat al-Qur'an yang diturunkan di Mekkah atau sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah istilah yang diberikan kepada ayat al Qur'an yang diturunkan di Madinah atau setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah. 8 Rohimin, Jihad Makna & Hikmah. Jakarta: Erlangga, 2006, h. 16. 9 Kasjim Salenda, Terorisme dan jihad dalam perspektif hukum Islam, Cet I, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009, h. 148-149.
17
musyrikin yang ingin menyerang eksistensi umat Islam Madinah. Kedua, makna jihad dalam bentuk peperangan terhadap orang-orang yang mengingkari ajaran agamanya dari kalangan ahlul kitab dan terhadap mereka yang berkhianat dan melanggar perjanjian piagam Madinah. Ketiga, pada masa penaklukan kota Mekkah (fath Makkah) dan sesudahnya, jihad dalam makna perang terhadap kaum musyrikin sehingga mereka beriman dan mengakui eksistensi Rasulullah Saw. Keempat, jihad berarti perjuangan spiritual dan moral dalam menghadapi problema dan permasalahan hidup.10 Penerapan jihad sesuai dengan instruksi Allah Swt melalui wahyu yang diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah Saw sesuai dengan perkembangan kondisi masyarakat Islam dimana mengalami masa transisi dari kondisi ke kondisi lain, dan dari satu perkembangan ke perkembangan lain sampai instruksi ini sempurna dengan berakhir dan sempurnanya risalah kenabian. Melihat dari perintah jihad dan bentuk pelaksanaan jihad, Ibnu Qoyyim al-Jauziy membagi jihad menjadi 13 macam rangkaian yang terdiri atas empat tingkatan antara lain yaitu : 1. Jihad melawan nafsu (jihad an-nafs) Jihad melawan nafsu memilik empat tingkatan yaitu, berjihad melawan diri sendiri dalam rangka mempelajari petunjuk Allah, berjihad dalam rangka mengamalkan petunjuk Allah setelah mengetahuinya, berjihad untuk mengajak orang lain kepada petunjuk Allah tersebut, berjihad untuk sabar menghadapi aral rintangan dakwah. 10
Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I, Jakarta: LSIP, 2004, h. 106-114.
18
2. Jihad melawan setan (jihad asy-syaitan) Jihad melawan setan memili dua tingkatan. Pertama, berjihad melawan setan untuk menolak keragu-raguan yang dimasukkan oleh setan ke dalam hati. Dan yang kedua berjihad untuk menolak syahwat (kesenang-senangan nafsu) yang dihembuskan olehnya. Yang pertama dapat ditolak dengan senjata keyakinan sedangkan yang kedua dengan senjata kesabaran. 3. Jihad melawan orang-orang kafir (jihad al-kuffar) dan munafik (jihad almunafiqin) Pada tingkatan ini masih dibagi lagi menjadi empat jenis yaitu berjihad dengan hati, dengan lidah, dengan harta dan dengan jiwa. Berjihad dengan menggunakan tangan dan jiwa lebih spesifik dipakai untuk melawan orang-orang kafir, sedangkan jihad dengan lidah lebih spesifik dipakai dalam jihad melawan kaum munafik. 4. Jihad melawan orang-orang yang berbuat zalim, kemungkaran dan bid’ah.11 Pada tingkatan yang terakhir ini terdiri dari tiga tingkatan. Pertama, dengan tangan jika ia sanggup. Namun jika tidak sanggup maka beralih dengan menggunakan lisannya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya. Dari ketiga belas rangkaian yang diklasifikasikan kedalam empat tingkatan itu, Ibnu Qayyim menambahkan tentang kewajiban mengenai hukum pelaksanaan perintah jihad adalah fardhu'ain, baik dilakukan dengan hati, lisan, harta atau
11
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Mukhtashar Zaadul Maad, terj. Marsuni as-Sasaky, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008, h. 152-153.
19
tangan. setiap muslim harus melakukan salah satu jenis jihad tersebut.12 Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw :
َ ﻋ َﻦ ْ أَﺑِﻲ ھُﺮ َ ﯾْﺮ َ ةَ ﻗَﺎل َ ﻗَﺎل َ ر َ ﺳ ُﻮل ُ ﷲ ﱠ ِ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﻣ َﻦ ْ ﻣ َﺎت ِ و َ ﻟَﻢ ْ ﯾَﻐ ْ ﺰ ُ و َ ﻟَﻢ ْ ﯾُﺤ َ ﺪ ﱢث ْ ﺑِﮫِ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫُ ﻣ َﺎت َ ﻋ َ ﻠَﻰ ﺷ ُ ﻌ ْ ﺒَﺔٍ ﻣ ِﻦ ْ ﻧِﻔَﺎقٍ ﻗَﺎل َ ﻋ َ ﺒْﺪ ُ ﷲ ﱠ ِﺑْﻦ ُ اﻟْﻤ ُ ﺒَﺎر َ ك ِ ﻓَﻨُﺮ َ ى أَن ﱠ ذ َ ﻟِﻚ َ ﻛ َﺎن َ ﻋ َ ﻠَﻰ ﻋ َ ﮭْﺪ ِ ر َ ﺳ ُﻮل ِ ﷲ ﱠ ِ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫ .( )رواه ﻣﺴﻠﻢ. َ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ "Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa meninggal sedang ia belum pernah ikut berperang atau belum pernah meniatkan dirinya untuk berperang, maka ia mati di atas cabang kemunafikan." Abdullah bin Mubarak berkata, "Lantas kami diberi pendapat bahwa hal itu berlaku di masa Rasulullah Saw." (HR. Muslim).13 Dari macam-macam bentuk jihad di atas, jihad dalam makna perang mendapat sebuah prioritas pembahsan yang lebih mendalam dari para ulama’ fiqh. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa kata jihad memiliki makna yang lebih luas daripada kata peperangan (al-qital), meskipun dalam tradisi fiqih kata jihad berarti peperangan. Ditambahkan lagi, bahwa kata jihad bersifat lebih umum, mencakup seorang mujahid yang berjihad terhadap hawa nafsu, terhadap setan, amar ma'ruf nahi mungkar, mengatakan perkataan yang benar di hadapan penguasa zalim dan yang lainya. Kata jihad ini juga mencakup perjuangan yang berperang di jalan Allah.14 Jadi pengertian jihad secara terminologi sering diartikan dengan mengorbankan jiwa dan harta dalam rangka membela agama Allah dan melawan
12
Ibid, h. 153. Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Jami’ al-Shahih, Riyad: Dar ‘Alim al-Kutub, 1996, Juz 6, h. 49. 14 Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur'an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, Bandung: Mizan, 2010, h. 5. 13
20
musuh-musuh-Nya.15 Pendapat yang dikemukakan ini juga sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh ulama fiqh klasik yang lebih mengartikan jihad sebagai peperangan melawan non-Muslim yang secara eksplisit memusuhi Islam. Oleh sebab itu, Penggunaan term jihad selalu terkait dengan al-qital, al-harb, al-ghazw dan an-nafr. Ketentuan-ketentuan jihad dalam literatur fiqh merupakan sistematisasi fiqh yang diambil dari solusi-solusi Rasulullah Saw yang pernah terjadi dalam sejarah peperangan dalam Islam.16 Madzhab Syafi'i mengartikan jihad dengan memerangi orang kafir untuk kejayaan Islam.17 Sedangkan Jihad menurut madzhab Hanafi adalah ajakan kepada seseorang atau komunitas untuk menganut agama yang hak (Islam), bila mereka tidak menerima atau merespon ajakan tersebut, maka harus diperangi dengan harta dan jiwa.18 Adapun jihad menurut mazhab Malikiy ialah memerangi orang kafir yang tidak terikat perjanjian demi meninggikan kalimatullah atau menghadirkannya, atau menakklukkan negeri demi memenangkan agama-Nya. Sedangkan dalam mazhab Hanbali, al-jihad adalah memerangi kaum kafir atau menegakkan kalimat Allah swt.19 Murtadha Muthahhari juga memasukan pembahasan jihad dalam persoalan peperangan Islam. Hal ini dikarenakan jihad merupakan bagian dari Islam yang mencakup sebuah agama masyarakat dan umat serta tanggung jawab masyarakat. Menurutnya jihad dibagi menjadi dua macam, yaitu ibtida’i (dimulai 15
Abdullah Azzam, Tarbiyah Jihadiyah Juz II, Terj, Solo : Pustaka al-‘Alaq, 1993 h. 54. Rohimin, op.cit, h. 7 17 Muhammad Syarbini, Al-Iqnak, Beirut : Dar al-Fikr, 1425. Juz II, h. 556. 18 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, Juz VI, Beirut : Dar al-Fikr, 1989, 16
h. 413. 19
12.
Abdullah Azzam, Perang Jihad di Jaman Modern, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, h.
21
oleh orang Muslim) dan difa’i (bertahan). Dijelaskannya bahwa jihad ibtida’i hanya dapat dilakukan di bawah kepemimpinan Nabi saw atau imam, jihad ini wajib hanya atas laki-laki. Sedangkan jihad difa’i, wajib atas laki-laki dan perempuan bila keadaan mengendakinya.20 Berkaitan dengan pelaksanaan jihad dalam artian perang. Rohimin mengutip pendapat yang dikemukakan oleh al-Maududi yang mengatakan ; Jihad dibagi menjadi dua macam yaitu defensif dan korektif (pembaharuan). Jihad yang pertama adalah perang yang dilakukan untuk melindungi Islam dan para pemeluknya dari musuh-musuh luar atau kekuatan-kekuatan perusak asing di dalam dar al-Islam. Sedangkan jihad bentuk kedua perang yang dilancarkan terhadap mereka yang berkuasa secara tiranik atas kaum Muslim yang hidup di negara mereka sendiri. Dalam hal ini al-Maududi mengutuk penggunaan jihad untuk memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam. al-Maududi juga mengungkapkan jihad jenis lain, yakni jihad rohaniah, jihad untuk pribadi dan penagakan keadilan.21 Hukum pelaksanaan jihad secara umum telah disampaikan oleh Ibnu Qayyim adalah fardhu'ain dengan dasar hukum dari hadits Nabi Saw. Akan tetapi, terkait perintah jihad dalam arti mengangkat senjata untuk melakukan peperangan mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah,22 meskipun ada sebagian dari mereka berpendapat fardhu'ain.23 Sedangkan mengenai kapan jihad di anggap fardhu’ain dan kapan dianggap fardhu kifayah ulama’ berbeda pendapat. Mereka yang berpendapat bahwa jihad bersenjata adalah fardhu‘ain memilih alasan dalam kondisi ketika umat Islam yang negaranya diserang, dan tak mampu lagi untuk mengusir musuh mereka 20
Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, h. 72. Rohimin, Op.cit, h. 9 22 Makna fardhu kifayah adalah jika tidak dilakukan oleh seorang pun, seluruh manusia akan berdosa. Akan tetapi, jika ada yang melakukannya, kewajiban seluruh manusia lainnya terhadap hal tersebut menjadi gugur. 23 Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 22. 21
22
sendiri, maka tanggung jawab dialihkan kepada komunitas Muslim terdekat, dan begitu seterusnya.24 Jihad tidak harus berarti dengan Perang. Akan tetapi adakalanya jihad dilakukan dengan bentuk perang. Dalam kondisi perang Islam memiliki ketentuan-ketentuan dan aturan. Oleh karena itu, dalam ayat pertama tentang perang diterangkan mengenai batasan umum peperangan dalam Islam pada surat al-Baqarah ayat 190-191.
“Perangilah olehmu pada jalan Allah akan orang-orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orang yang melampaui batas. Bunuhlah mereka itu dimana kamu peroleh dan usirlah mereka itu sebagaimana mereka mengusir kamu. Fitnah itu lebih berbahaya dari pada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka disisi Masjidil Haram, kecuali jika kamu di peranginya disana. Jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan untuk orang-orang kafir.” (Q.S. al-Baqarah : 190-191).25 Pengertian, bentuk, objek, fungsi dan tawaran jihad yang dikemukakan berbeda-beda. Dalam kenyataan ini maka jihad dalam perkembangannya dari waktu ke waktu mengalami pergeseran dan penekanan yang bervariasi. Sehingga
24 25
Abdullah Azzam, Op.Cit, h. 54. Departemen Agama, Op.cit, h. 207-208.
23
dari pemaparan yang tersebut di atas, baik menurut pengertian secara bahasa, alQuran, hadits, pendapat ulama dan cendekiawan muslim dapat disimpulkan bahwa pengertian jihad pada dasarnya adalah pengerahan maksimal seluruh daya upaya seseorang secara sungguh-sungguh untuk menghancurkan dan mencegah timbulnya segala bentuk kesesasatan, kemungkaran ataupun kezaliman yang dibuat oleh musuh yang berwujud manusia-manusia ingkar, setan yang menyesatkan, maupun hawa nafsu. Pelaksanaan jihad boleh jadi berbentuk penahanan hawa nafsu untuk tidak berbuat melakukan maksiat, amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemaksiatan), mengeluarkan harta benda, memberikan fasilitas kepada mujahidin (orang yang berjihad) hingga kepada peperangan menggunakan persenjataan jika hal ini merupakan alternatif terbaik untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan Islam, yaitu tegaknya keadilan, kedamaian, dan kemakmuran bagi umat manusia. Hal ini tentu saja jika dalam pelaksanaan benar-benar diperlukan peperangan bersenjata sebagai jalan terbaik dan tidak ada alsan lain untuk menolak jalan ini, yang memang diperintahkan pelaksanaannya jika sudah terpenuhinya syaratnya. Sehingga metamorforsis perkembangan jihad masuk kedalam ranah perang (qital). Jihad dalam domain perang (qital) mulai diperbolehkan dan di izinkan bagi kaum Muslim yang sebelumnya sempat dilarang pada periode Makkah, sebagaimana pada surat al-Baqarah ayat 190-191 tersebut di atas. Ayat tersebut memerintahkan dan mendorong orang-orang mukmin untuk melaksanakan qital, mengingatkan mereka tentang motif dan justifikasi yang mendorong untuk
24
memerangi orang-orang musyrik, serta meletakkan norma-norma syariat dan moral dalam menjalaninya. Dengan inilah teks al-Quran mengontrol qital (perang) dengan normanorma syariat dan moral dengan melakukan aktivitas yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam berperang adalah sebagai berikut seperti, membolehkan kaum muslimin untuk melakukan tipu muslihat dalam peperangan. Di samping itu Islam juga memperbolehkan menggunakan senjata penghancur jika musuh menggunakan senjata yang sama.26 Islam juga mengatur terhadap pembelaan hak-hak manusia yang tidak boleh di perangi. Dalam hal ini adanya keterkaitan antara wilayah Islam (dar alIslam) dan wilayah musuh (dar al-Harb). Kapan sebuah negara dianggap sebagai wilayah Islam dan wilayah musuh, Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam mendifinisikan wilayah Islam dan wilayah musuh atau disebut juga dengan wilayah perang. Yusuf Qardhawi dalam menerangkan tentang wilayah Islam dan wilayah musuh mengemukakan pendapatnya terhadap wilayah Islam (dar al-Islam) harus memenuhi kriteria-kriteria berikut : 1. Kekuasaan berada di tangan kaum Muslim, walaupun mayoritas penduduknya bukan Muslim. Bahkan, kalaupun tidak ada kaum Muslim di sana, tetapi pemerintah tetap dipegang oleh kalangan Muslim. 2. Berlakunya hukum dan syiar Islam, meskipun tidak dalam bentuk hukum formal, seperti hukum keluarga dan hukum personal (ahwal al-syakhshiyyah) dan adanya simbol-simbol Islam, seperti bangunan masjid, penyelenggaraan shalat jumat, shalat berjamaah dan shaum pada bulan Ramadhan. Ini merupakan kriteria yang paling penting dan nyata. Bahka Imam Abu Yusuf berkata “Suatu wilayah bisa disebut wilayah Islam dengan berlakunya hukum26
Yuana Ryan Tresna, Muhammad Saw on The Art of War Manajemen Strategi Peperangan Rasulullah Saw, Bandung : Progressio, 2007, h, 32-34.
25
hukum Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah kaum kafir. Sebaliknya, suatu wilayah bisa disebut wilayah kafir bila hukum kafir yang berlaku di sana, walaupun mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim. Ini pula yang ditegaskan oleh al-Kasyani dalam bukunya al-Bada’i. 3. Kaum Muslim terlindungi dengan memberlakukan hukum Islam, sementara ahli dzimmah (non-Muslim) menurut hukum mereka.27 Adapun wilayah perang adalah yang pemerintahnya dikuasai kaum kafir. Ketika hukum-hukum Islam tidak berlaku, simbol-simbolnya tidak ditegakkan, dan penduduknya tidak dapat menjamin keamanan kaum Muslim lainnya.28 Oleh karena itulah jihad peperangan tidak berlaku ketika masing-masing wilayah menghormati wilayah masing-masing. Dan jihad diberlakukan ketika terjadi pelanggaran wilayah oleh pihak lain. Jihad sebagai peperangan (qital) senantiasa menimbulkan kontroversi, dan anggapan ketidak relevanan di zaman sekarang. Akan tetapi yang perlu dipahami adalah hukum keduanya berlainan dari sudut pandang realisasi dan perincian, serta cakupan jihad lebih luas daripada perang (qital) dan tingkatan jihad yang lain. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib menjadi mujahid (orang yang berjihad), dan tidak setiap Muslim mesti menjadi muqatil (orang yang melakukan perang). Jikalau jihad sudah dalam formulasi pemaknaan perang (qital) maka peperangan tersebut harus berdasarkan sebab-sebabnya, memperhatikan normanorma syari’at dan moral kemanusiaan dengan mempelajari kebolehan dan larangan perang yang di ajarkan Rasulullah Saw. Control inilah yang menjadi pembeda peperangan sesuai dengan perintah Allah Swt dengan peperangan yang dilakukan dasar hanya berkilah untuk melakukan perang.
27 28
Yusuf Qardhawi, Op.Cit. h.733. Ibid, h. 734
26
B. Bunuh Diri Dalam Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Bunuh Diri Bunuh diri (bahasa Inggris: suicide; dalam budaya Jepang dikenal istilah harakiri) adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif orang lain.29 Secara istilah bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.30 Dalam Islam istilah bunuh diri ( )ﻗﺘﻞ اﻟﻨﻔﺲsering disebut dengan اﻧﺘﺤﺮ (intihar) yang berasal dari kata ( ﻧﺤﺮnahara) yang berarti menyembelihnya.31 Imam al-Qurtubi mengartikan bunuh diri sebagai pembunuhan diri sendiri dengan sengaja karena gagal mencapai ambisi yang bersifat keduniaan atau keinginan akan kekayaan atau membunuh diri sendiri karena akan kekayaan atau membunuh diri sendiri karena perasaan marah atau putus asa.32 Bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. Agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi33 untuk mati. Meskipun demikian, 29
intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan,
Wikipedia, Bunuh diri, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri pada 3 April 2012 jam 11.00 WIB. 30 Michael Clinton, Mental Health and Nursing Practice, Australia: Prentice Hall, 1996, h. 262. 31 Ahmad Warson Munawir, Op.cit, h. 1384. 32 Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, al-Jami’li ahkam al-qur’an, jild. 5, h. 157. 33 Kamus Lengkap Psikologi karya J.P. Chaplin (2004) mendefinisikan intensi (intention) sebagai [1] satu perjuangan guna mencapai satu tujuan; [2] ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologis, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan satu objek. Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, terj Dr. Kartini Kartono, Jakarta: Rajawali Pers. 2004
27
karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului, misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau untuk mengakhiri hidup. 2. Alasan Bunuh Diri Sosiolog Emile Durkheim memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu: a. Egoistic Suicide Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami
underinvolvement
dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih
beresiko melakukan
perilaku bunuh diri. b. Altruistic Suicide Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas.
28
c. Anomic Suicide Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya. d. Fatalistic Suicide Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.34 Tipe bunuh diri yang dihasilkan dari prilaku yang mengarah kepada tindakan bunuh diri melahirkan metode-metode seseorang dalam melakukan bunuh diri. Terhadap metode seseorang melakukan tindakan bunuh diri kemudian memiliki beberapa istilah yang berbeda sesuai dengan alasan seseorang dalam melakukan bunuh diri diantaranya adalah : 1. Euthanasia adalah adalah tindakan pencabutan kehidupan manusia dengan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal.
34
Charles A. Corr , Clyde M. Nabe, Donna M. Corr, Death and Dying, Life and Living, Fourth Edition, USA: Wadsworth Inc, 2003. h. 365
29
2. Murder–suicide adalah tindakan di mana individu membunuh satu atau lebih orang lain, sebelum atau pada waktu yang besamaan kemdian membunuh dirinya sendiri. 3. Suicide attack atau serangan bunuh diri adalah suatu serangan yang dilakukan oleh penyerangnya dengan maksud untuk membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya. 4. Mass suicide atau bunuh diri masal adalah usaha untuk mengakhiri hidup secara yang dilakukan secara bersama-sama. 5. Suicide pact adalah bunuh diri dari yang dilakukan oleh dua atau lebih individu dengan telah direncanakan dan telah disepakati sebelumnya. Ini dilakukan di tempat yang berbeda dengan adanya kesepakatan sebelumnya. 6. Defiance or protest adalah bunuh diri yang dilakukan sebagai tindakan pembangkangan atau protes politik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. 7. Dutiful suicide adalah tindakan bunuh diri yang dilakukan karena tindak kekerasan fatal di tangan diri sendiri dilakukan dengan keyakinan bahwa itu akan menimbulkan kebaikan yang lebih besar, daripada melarikan diri kondisi yang keras. Hal ini dilakukan untuk meringankan beberapa aib atau hukuman, atau ancaman kematian atau balas dendam pada keluarga atau reputasi seseorang.
30
8. Escape adalah bunuh diri yang dilakukan untuk meringankan situasi untuk hidup yang tak mampu untuk dijalaninya, beberapa orang menggunakan bunuh diri sebagai sarana untuk melarikan diri dari penderitaan.35 Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri. Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, bahwa metode bunuh diri memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.36 Tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri menurut Husain Jauhar bahwa tindakan bunuh diri bukanlah keberanian, karena seorang tidak akan mati oleh satu faktor, baik itu dekat maupun jauh. Apa yang dilakukan dari tindakan bunuh diri merupakan suatu ketakutan, sifat lemah dan hina.37 Dari prilaku untuk melakukan bunuh diri hingga tindakan bunuh diri memerlukan suatu cara/metode seseorang dalam melakukan aksi bunuh dirinya. Dari rangkaian inilah sebuah kesadaran di bangun dari faktor kognitif (berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris), afektif (mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi) dan psikomotorik (berkaitan dng proses mental dan psikologi) yang kemudian menjadi penggerak seseorang untuk jadi atau tidaknya melakukan tindakan bunuh diri. Faktor kesadaran mendasari seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri, hal ini di dukung oleh kebulatan tekat dari keputusan yang diambil untuk melakukan bunuh diri.
35
Wikipedia, Suicide, diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide#Classification, tanggal 24 November 2011 jam 19.30 wib. 36 Ronald W. Maris , Alan L. Berman , Morton M. Silverman, Comprehensive Textbook Of Suicidology. Belmont: Guilford Press. 2000, h. 33 37 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Jakarta : Grafika Offfset, 2009, h. 30-31.
31
3. Hukum Bunuh Diri Dalam KUHP pada kasus bunuh diri hanya menjerat seseorang yang mendorong, menolong dan memberikan saran untuk melakukan bunuh diri dan “jika jadi bunuh diri”. Artinya jika benar-benar apa yang dilaksanakan atau diperbuat orang yang ditolong diberi sarana itu menimbulkan akibat kematian orang itu. Hal ini diatur dalam pasal 345 KUHP. Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi saran kepadanya untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.38 Dari rumusan itu dapat dirinci mengenai unsur-unsur sebagai berikut : a. Unsur-unsur obyektif terdiri dari : 1) Perbuatan :
(a) Mendorong (b) Menolong (c) Memberikan Sarana
2) pada orang untuk bunuh diri 3) orang tersebut jadi bunuh diri b. unsur subyektif : dengan sengaja Berdasarkan pada unsur perbuatan, kejahatan pasal 345 ini ada 3 bentuk yakni ; a. Bentuk pertama, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan mendorong orang lain untuk bunuh diri. 38
KUHP dan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 117.
32
b. Bentuk kedua, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri. c. Bentuk ketiga, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan memberikan sarana pada orang yang diketahui akan bunuh diri.39 Selanjutnya yaitu perbuat itu dapat dipidana apabila terdapat unsur “jika jadi bunuh diri”, artinya jika benar-benar apa yang dilaksanakan atau diperbuat orang yang ditolong dan diberi sarana itu menimbulkan akibat kematian orang itu. Jadi, unsur “jika jadi bunuh diri” merupakan unsur syarat tambahan untuk dijatuhkan pidana ini, memerlukan 2 syarat mutlak yakni ; a. Adanya wujud perbuatan yang merupakan perbuatan pelaksanaan dari bunuh diri; b. Dari wujud perbuatan itu menimbulkan akibat matinya orang itu. Jadi bila hanya terpenuhi unsur pertama saja, matinya tidak. maka terhadap orang yang memberi sarana tidak dipidana. Jadi bunuh diri ditentukan dari kematianya bukan dari perbuatannya. Jadi jelas, dari hukum pidana Indonesia bunuh diri dan unsur yang terkait didalamnya dapat dimasukan ke dalam suatu tindakan Pidana dan di ancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. Islam melarang bunuh diri dan pembunuhan.40 Dalam Islam, pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia. Bunuh diri merupakan tindakan perusakan diri sendiri sehingga mengarah kepada kematian.
39
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 106-111. 40 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani, 2003 h. 71
33
Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam menghadapi setiap musibah. Oleh karena itu Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang dipaksakan, hal ini sesuai dengan pokok-pokok ajaran Islam yang melindungi kepentingan manusia melalui lima prinsip (al-dharuriyat al-khamsah) yakni, Hifzh al-din atau menjamin kebebasan beragama, Hifzh al-nafs atau memelihara kelangsungan hidup, Hifzh al-‘aql atau mejamin kreatifitas berfikir, hifzh al-nasl atau menjamin keturunan dan keormatan, hifzh al-mal kebebasan memiliki harta.41 Larang bunuh diri dari al-Quran dan habits antara lain :
...
“...dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (an-Nisa’ : 29-30).42 Dalam hadits yang melarang melakukan bunuh diri diantaranya ;
ْ ﻋ َﻦ ْ ﺛَﺎﺑِﺖِ ﺑْﻦ ِ اﻟﻀ ﱠ ﺤ ﱠﺎك ِ ر َ ﺿ ِﻲ َ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻨْﮫُ ﻋاﻟﻨﱠَﻦﺒ ِْﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢﻗََﺎل َ ﻣ َﻦ ٍﺣ َ ﻠَﻒ َ ﺑِﻤ ِ ﻠﱠﺔٍ ﻏ َ ﯿْﺮِ اﻹ ْ ِ ﺳ ْﻼ َ م ِ ﻛ َﺎذ ِ ﺑًﺎ ﻣ ُ ﺘَﻌ َ ﻤ ﱢ ﺪ ًا ﻓَﮭُﻮ َ ﻛ َ ﻤ َﺎ ﻗَﺎل َ و َ ﻣ َﻦ ْ ﻗَﺘَﻞ َ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫ ُ ﺑِﺤ َ ﺪ ِﯾﺪ َ ة َ ﺣ ََﺎﺪ ﱠ ﺛَﺟ ُ ﻨْﺪ َب ٌ ر َ ﺿ ِ ﻲ َﺎل َﮭَﻨﱠﻢ َﺣ َ ﺠ ﱠﺎج ُ ﺑْﻦ ُ ﻣ ِ ﻨْﮭَﺎل ٍ ﻋ َﻦ ْ اﻟْﺤ َ ﺴ َ ﻦ ِ ﻨ َ ﻋ ُ ﺬ ﱢب َ ﺑِﮫِ ﻓِﻲ ﻧَﺎورِ َ ﻗﺟ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻨْﮫُ ﻓِﻲ ھَﺬ َا اﻟْﻤ َ ﺴ ْﺠ ِ ﺪ ِ ﻓَﻤ َﺎ ﻧَﺴ ِﯿﻨَﺎ و َ ﻣ َﺎ ﻧَﺨ َﺎف ُ أَن ْ ﯾَﻜ ْ ﺬ ِب َ ﺟ ُ ﻨْﺪ َب ٌ ﻋ َ ﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ 41 42
Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cet 1, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010, h. 76. Departemen Agama, Op.cit, h. 75-76.
34
ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﻗَﺎل َ ﻛ َﺎن َ ﺑِﺮ َ ﺟ ُﻞ ٍ ﺟ ِ ﺮ َاح ٌ ﻓَﻘَﺘَﻞ َ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫ ُ ﻓَﻘَﺎل َ ﷲ ﱠ ُ ﺑَﺪ َر َ ﻧِﻲ ﻋ َ ﺒْﺪ ِي ( )رواه اﻟﺒﺨﺎري.َﺑِﻨَﻔْﺴ ِ ﮫِ ﺣ َﻣﺮ ﱠْﺖ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ اﻟْﺠ َ ﻨﱠﺔ Dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra. dari Nabi Saw bersabda: "Barangsiapa yang bersumpah setia dengan agama selain Islam secara dusta dan sengaja, maka dia seperti apa yang dikatakannya, dan barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan besi, maka dia akan disiksa di dalam nereka Jahanam". Dan berkata, Hajjaj bin Minhal dari Al Hasan telah menceritakan kepada kami Jundab ra. : "Didalam masjid ini tidak akan kami lupakan dan kami tidak takut bahwa Jundab akan berdusta atas nama Nabi Saw, dia berkata,: "Pernah ada seorang yang terluka lalu dia bunuh diri maka Allah Swt berfirman: "HambaKu mendahului aku dalam hal nyawanya sehingga aku haramkan baginya surga". (H.R Bukhari).43 Nash-nash di atas menunjukan betapa murka Allah dan Rasul-Nya kepada orang yang melakukan bunuh diri dengan tujuan untuk membaskan jiwanya dari kehidupan ini, memisahkannya dengan harta dunia dan menjauhi segala sesuatu yang menyakitinya. Pada surat an-Nisa’ diatas disebutkan, ‘janganlah kamu membunuh dirimu’ maksudnya untuk memberi isyarat bahwa membunuh orang lain sama dengan membunuh diri sendiri,. Bahkan di pandang membunuh seluruh umat.44 Apabila membunuh orang lain berdosa, maka membunuh diri sendiri lebih besar dosanya dan itu merupakan perbuatan yang sangat sadis (keji). Perbuatan itu tidak layak dan tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang beriman. Ini sebabnya al-Quran melarang orang bunuh diri. Imam al-Qurtubi mengatakan bahwa para ulama telah ijma’ mengenai pelarangan membunuh. Dia lalu menambahkan bahwa pelarangan termasuk 43 Abu Abdillah Muhammad ibn Islam’il al-Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, juz 2, Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1312 H, h. 96 44 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’annul Majid An-Nur, Jilid I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000, h. 836.
35
juga tindakan membunuh diri sendiri karena tujuan keduaniaan dan kerakusan untuk mendapat kekayaan. Begitu juga mengambil resiko yang mengarah kepada pengahancuran diri sendiri.45 Hal ini disebabkan karena membunuh berarti menghancurkan sifat (keadaan) dan mencabut ruh manusia. Padahal Allah sajalah sang pemberi kehidupan dan Dia sajalah yang mematikannya. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam bukunya al hayat wal maut mengatakan orang yang bunuh dirinya sendiri divonis akan kekal dan dikekalkan
di
neraka.
Hal
ini
disebabkan
karena
Allah-lah
yang
menciptakannya dan ruh serta hidup manusia adalah milik Allah. Jika melakukan bunuh diri, berarti dia menghancurkan atau merusak sesuatu yang bukan miliknya. Dan orang yang membunuh satu jiwa dengan tidak sengaja diharuskan membayar diyat (denda). Adapun orang yang bunuh diri dengan sengaja, maka dia berhak mendapatkan balasan (siksa).46 Jadi, hukuman bunuh diri bagi pelakunya merupakan sebuah kewenangan Allah yang diberikan di akhirat. Hal ini dikarenakan orang yang melakukan bunuh diri telah menyalahi fitrah yang diciptakan Allah kepadanya. Hukum dunia sudah tidak berlaku lagi bagi orang yang bunuh diri dengan meninggalnya pelaku. Bunuh diri dan unsur yang terkait di dalamnya dapat dimasukkan ke dalam suatu tindakan pidana dan di ancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan. Ketentuan hukuman bunuh diri dari hukum pidana Islam dan juga hukum pidana Indonesia sama-sama tidak dikenakan bagi pelaku bunuh diri
45 Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, Al Jami’li Ahkam Al Quran Jild. 5. Kairo: Dar AlKitab, 1967, h. 157. 46 Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Al Hayat Wal Maut, Kairo: Mu'assasah Akhbar, 1977, h.79
36
yang meninggal dalam tindakannya tersebut. Hal ini karena, gugurnya hukuman yang disebabkan meninggalnya pelaku. Akan tetapi jika bunuh diri yang di lakukan itu dipengaruhi unsur terkait dari alasan dia melakukan bunuh diri. Maka, dalam hukum pidana Indonesia unsur terkait ini bisa dijatuhi hukuman disebabkan oleh dengan tindakan bunuh dirinya. Akan tetapi dalam Islam unsur terkait dari tindakan bunuh diri tidak bisa dijatuhi hukuman, karena bunuh diri tersebut atas dasar kesadaran dan kehendaknya sendiri. C. Bunuh diri sebagai bentuk jihad Bunuh diri sebagai bentuk jihad disini di pahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan sebagai bentuk dari pembelaan untuk agama guna melakukan perlawanan terhadap musuh Islam. Perlawanan yang membutuhkan pengorbanan baik jiwa dan raga. Oleh sebab itulah, perjuangan atas nama Islam yang terformulasi menjadi Jihad menumbuhkan semangat pengorbanan diri tersebut. Pengorbanan diri yang dilakukan dalam bentuk perlawanan yang mengakibatkan kemungkinan kematian yang tinggi. Seperti, menyerang musuh sendirian di markas musuh, melakuakn peledakan / aksi bom bunuh diri dan juga contoh-contoh yang semakna dengan peluang kematian sangat tinggi dalam tindakanya tindakannya tersebut. Intinya dimana ketika membela agama, tindakan mempertahankan kehormatan bangsa dan Negara menuntut pengorbanan diri. Dalam kondisi seperti ini berarti ketika menjaga/membela agama (Hifzh al-din) mengalahkan menjaga/melindungi jiwa (hifdu nafs). Mengambil istilah yang
37
digunakan oleh Emile Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri diatas disebut sebagai Altruistic Suicide. Dalam literatur Islam keinginan kuat untuk mati dalam jihad diistilahkan dengan istisyhâd. Kata Istisyhâd merupakan perubahan dari kata istasyhada ( َ )اﺳﺘﺸﮭﺪ- yastasyhidu ( )ﯾﺴﺘﺸﮭﺪ- istisyhâd ()اﺳﺘِﺸﮭﺎد ًا, yang berarti thalab al-syahâdah ( )طﻠﺐ اﻟﺸﱠﮭﺎدةatau mencari kesyahidan. Sedangkan orang yang meninggal dalam mencari kesyahidan di jalan Allah disebut dengan syahîd (jamak syuhadâ’).47 Praktik istisyhâd yang memiliki kesamaan dengan intihar dilihat dari adanya intense untuk mati. Akan tetapi, ditentukan. Intense mati dari istisyhad
intensi
bukanlah hal yang mudah
adalah untuk melakukan perlawanan
kepada musuh dan di dorong oleh rasa pengorbanan. Sedangkan intense mati dari intihar adalah karena keterputusasaan dan untuk mengakhiri persoalan hidup. Untuk menghindari kesalahpahaman karena kedua istilah tersebut kadangkala digunakan secara bersama sehingga member kesan kalau keduanya adalah sinonim. Yusuf Qardhawi menyebutkan perbedaan praktik Istisyhad dan intihar. Antara lain : a. Orang yang bunuh diri adalah akibat kegagalan dirinya dalam transaksi, cinta, ujian atau hal-hal lainnya. Ia tidak berdaya dalam menghadapi kenyataan, lalu memutuskan untuk lari dari kehidupan dengan menjemput kematian. Sementara Istisyhad, sama sekali tidak memandang kepentingan dirinya sendiri. Orang yang melakukan praktik syahid rela mengorbankan dirinya untuk kepentingan yang besar. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ia
47
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, Beirut: Dar Ehia al-Tourath, Juz IV, 1999, h. 2348-2350.
38
memandang remeh segala pengorbanan. Ia menjual dirinya kepada Allah untuk membeli surga. b. Jika orang yang bunuh diri mati karena menghindar dan mundur karena takut, orang yang melakukan praktik syahid meninggal karena berani maju dan menyerang. c. Jika orang yang bunuh diri tidak memiliki tujuan selain lari dari pertarungan, sebaliknya orang yang melakukan praktik syahid memiliki tujuan yang jelas, yaitu meraih ridho Allah Swt. 48 Sebagaimana firman Allah Swt :
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.(Q.S al-Baqarah: 207).49 Pandangan ulama tentang menyerang musuh tanpa ada harapan untuk kembali hidup dimasukkan ke dalam tiga konsep untuk dipertimbangkan : 1. At-Tahlukah (melemparkan diri sendiri ke dalam kehancuran) Ibn Al-Arabi mengartikan al-Tahlukan antara lain : a. Menolak berbuat karena Allah b. Melaksanakan jihad tanpa ketentuan c. Melalaikan jihad d. Menyerang musuh tanpa mempunyai alat yang diperlukan untuk menyerang e. Hilang harapan akan pengampunan Allah.50
48
Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 902. Departemen Agama, Op.cit. h. 50 50 Al-Qurtubi, Op.cit, h. 364-365. 49
39
Dalam rangka menyerang musuh tanpa menggunakan alat yang diperlukan untuk menyerang al-Arabi mengatakan bahwa para ulama berselisih pendapat mengenainya. Akan tetapi para ulama’ sepakat menentang aksi menghancurkan diri sendiri karena tidak kuatnya menanggung beban peperangan. 2. Al-Izzah (rasa mulia diri) Al-Izz bin As-Salam berpendapat bahwa melarikan diri dari peperangan adalah dosa besar. Tetapi bagaimanapun, hukumnya akan berubah yaitu wajib baginya untuk melarikan diri kalau orang itu tahu bahwa sisa peperangan akan mengakibatkan dia terbunuh tanpa mengalahkan musuh. Kehilangan nyawa tanpa merugikan musuh atau member keuntungan bagi Muslim hanya akan membawa kerugian bagi tentara Muslim dan hal seperti itu tidak diperbolehkan.51 Namun beberapa ulama mengharuskan ‘operasi mati syahid’ walaupun jika tidak mengakibatkan kerugian pada pihak musuh. Cukup saja jika ia dapat memotivasi Muslim lainnya untuk menjadi berani dalam peperangan dan dalam waktu yang sama menanamkan rasa takut ke dalam pikiran musuh.52 3. Al-Ithar (mengutamakan orang lain dan berkorban untuk mereka) Islam menganjurkan Muslim untuk mengamalkan al-Ithar. Namun aksi individu mengorbankan nyawanya sendiri untuk melindungi orang lain menurut pandangan Asy-Syathibi masih tetap menjadi persoalan yang diperselisihkan oleh para ulama’. ‘Operasi mati syahid’ dalam bentuk 51
Nawaf Hayil Takruri, Al Amaliyat AL Istisyhadiyah Fi Al-Mizan AL Fiqhi, Damaskus: Dar Al-Fikr, , 2003, h. 72 52 Ibid, h. 73-74
40
mengorbankan diri sendiri untuk menyelamatkan orang lain bisa diizinkan atau tidak. Walaupun begitu dasar argument yang mengharuskannya, bisa dilacak kembali kepada aksi para sahabat nabi, Abu Thalhah mengorbankan diri sendiri untuk melindungi Nabi dari serangan musuh di Perang Uhud. Namun argument tersebut masih tetap belum tersimpulkan apakah boleh memandang operasi mati syahid dalam sudut pandang yang sama. Al Ithar hanya diterima apabila keuntungan dari aksi tersebut lebih besar daripada sebelum dilaksanakan aksi.53 Dari perbedaan itu, Yusuf Qardhawi menyebutkan tentang keabsahan praktik bom bunuh diri (istishadiyyah) yang dilakukan di Palestina. Bahwa praktik istishadiyyah yang dilakukan kelompok-kelompok perlawanan Palestina untuk melawan penduduk Zionis, tidak termasuk dalam hal yang dilarang dengan alasan apapun, walaupun yang menjadi korban adalah penduduk sipil. Kebolehan dari praktik Istisyhad ini harus memperhatikan dua hal : a. Membolehkan praktik istisyhadiyyah bagi saudara-saudara di Palestina karena kondisi khusus mereka dalam membela diri, keluarga, anak-anak dan kemuliaan mereka. Itulah yang memaksa mereka menggunakan cara tersebut, karena tidak menemukan ganti perlawanannya. Kami tidak membolehkan penggunaan praktik seperti ini di luar Palestina, karena ketiadaan kondisi darurat yang memaksa atau membolehkannya. Menganalogikan kondisi yang ada di negara lain dengan kondisi di Palestina adalah analogi yang tidak pada tempatnya, yaitu qiyas ma’a al fariq. Hal ini tidak diterima oleh syari’at.
53
Ibid, h. 79.
41
b. Jika sudah mendapatkan ganti perlawanannya mereka yaitu dengan persenjataan, maka tidak lagi dibutuhkan praktik istishadiyyah. Hal ini sebagai mana dalam kaidah ushul setiap keadaan ada ketentuannya tersendiri dan setiap tingkatan ada ukurannya tersendiri.54 Istinbat hukum yang digunakan Yusuf Qardhawi dari kebolehannya melakukan praktik istisyhadiyyah bahwa praktik tersebut harus melihat keadanya dan kondisinya. Dari kondisi tersebut melahirkan suatu hukum yang mana hukum ada dua jenis, yaitu hukum dalam kondisi normal dan hukum dalam kondisi darurat. Dalam kondisi darurat, dibolehkan bagi seorang Muslim apa-apa yang tidak dibolehkan dalam kondisi normal. Sehingga ketika dalam kondisi darurat maka kaidah ushul yang menyatakan “keterpaksaan membolehkan larangan” yang berarti istisyhadiyyah sebagai bentuk dari keterpaksaan untuk melakukan perlawanan.55 Melihat berbagai sudut pandang yang diambil oleh para ulama’ kesimpulan dapat diambil seperti : a. Menyerang musuh tanpa ada kesempatan mempertahankan diri ada dua tipe : 1) Apabila serangan tidak mengakibatkan kerugian apapun terhadap musuh, mayoritas ulama melarangnya. Hanya al-Qurtubi yang berbeda pendapat dan menggapnya diizinkan dalam kondisi bahwa aksinya dilaksakan untuk mati syahid dan dengan niat yang tulus. 2) Apabila serangan mengakibatkan kerugian pada pihak musuh maka seluruh ulama’ memperbolehkannya. 54 55
Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 904 Ibid, h. 998-900
42
b. Melawan dan menyerang musuh tanpa ada kesempatan mempertahakan diri sama saja dengan bunuh diri. Apapun yang dapat mengakibatkan kematian dengan sengaja, bisa digolongkan sebagai bunuh diri. Apapun yang dapat mengakibatkan dengan sengaja, bisa digolongkan sebagai bunuh diri. Secara tidak langsung mengakibatkan kematian seseorang sama dengan membunuh dalam pandangan para ulama dari Mazhab Maliki, As-Syafi’I dan Hambali.
BAB III PANDANGAN IMAM SAMUDRA TENTANG JIHAD
A. Biografi Imam Samudra Dalam buku “Imam Samudra: Aku Melawan Teroris”, 1 Abdul Aziz alias Imam Samudra2 menulis bahwa dia dilahirkan di Kabupaten Serang, Kecamatan Serang (sekarang Provinsi Banten), desa Lopang Gede, Kampung Lopang RT. 04/01, di jalan Sama'un Bakri 201, pada 14 Januari 1970/1971, Dia tidak yakin tahun tepatnya dia dilahirkan.3 Ayahnya bernama Ahmad Syihabuddin bin Nakha'i, sedangkan ibunya bernama Embay Badriyah binti Sam'un. Kedua orangtuanya memberikan nama Abdul Aziz4 yang berarti hamba Allah yang Mulia, dijelaskan bahwa nama itu sama dengan diberikan seperti nama Raja Saudi Arabia waktu itu, Abdul Aziz bin Faishal. Dari garis ayah, kakeknya (M. Nakha'i) adalah seorang juragan besar pada zamannya yang taat beribadah. Dari kakeknya inilah, ketika berumur 4 tahun Imam Samudra dikenalkan untuk beribadah.5 Dari garis keturunan Ibunya dijelaskan oleh Imam Samudra bahwa masih mempunyai garis keturunan seorang mujahid (Pahlawan Nasional) yaitu dari kakeknya Ki (Kyai) Wasyid yang merupakan salah seorang tokoh perlawanan 1
Buku ini merupakan buku autobiografi dan pemikiran Imam Samudra tentang Islam dan jihad. Diterbitkan oleh Jazera. Editor : Bambang Sukirno. Tataletak : Studio 619. Desain Cover : Rahmat Rudianto. SIUP No. : 229/11.35/PK/VI/2004. 2 Buku ini ditulis langsung oleh Abdul Aziz atau lebih dikenal dengan Imam Samudra. 3 Abdul Aziz, Imam Samudra : Aku Melawan Teroris, Solo : Jazera, 2004, h. 22. 4 Menurut penulis Abdul Aziz dikenal dengan sebutan Imam Samudra, setelah ia pulang dari perjalanan Afghanistan. Hal ini bisa disimpulkan setelah penulis membaca perjalanan Imam Samudra sebelum dan sesudah ke Afghanistan. 5 Abdul Aziz, Op.cit, h. 22.
43
44
masyarakat muslim Banten melawan penjajah Belanda. Peristiwa perlawanan itu terjadi pada Senin, 9 Juli 1988 masyarakat Banten menyebutnya peristiwa itu sebagai "Geger Cilegon".6 Pendidikan formal Imam Samudra adalah Sekolah Dasar Negeri (SDN) 9 Serang pada 1978. Diteruskan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 4 Serang dan diakhir dengan Sekolah di MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Cikulur, Serang lulus pada tahun 1990.7 Pada waktu SD Imam Samudra mewakili sekolah untuk mengikuti pemilihan pelajar teladan mulai tingkat Kecamatan sampai Kabupaten. Dia berhasil menjadi pemenang dengan meraih angka delapan (8) untuk studi Matematika. Selain itu dalam lomba cerdas cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dia dan timnya meraih juara I di tingkat Kecamatan. Dia maju mewakili sekolahnya untuk lomba baca puisi dan meraih juara pertama di tingkat Kecamatan, kemudian pada tingkat Kabupaten dia hanya meraih juara II.8 Pendidikan informal yang di ikuti oleh Imam Samudra sewaktu di bangku sekolah dasar dengan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairiyah Serang yang diikutinya setelah pulang (dimulai pukul 14.00 hingga 17.00).9 Setelah Maghrib sampai Isya ia mengikuti pengajian al-Quran secara khusus, mulai dari turutan (juz 'amma) yang menggunakan metode Baghdad sampai khatam al-Quran. Selama enam tahun belajar al-Quran, belajar pada enam guru ngaji.10
6
Ibid. h. 23 Ibid. h. 24-38 8 Ibid., h. 26-27. 9 Ibid., h. 25. 10 Ibid., h. 22-31. 7
45
Setelah lulus SD, Imam Samudra berkeinginan melanjutkan jenjang pendidikanya ke SMPN 4 Serang dan MTs Insaniyah Serang. Menurutnya, SMP Negeri untuk urusan dunia sedangkan Tsanawiyah urusan akherat. Akhirnya diputuskan untuk masuk ke SMPN 4 Serang. Dikarenakan pada waktu itu SMPN 4 Serang kekurangan lokal, sehingga untuk murid kelas 1 harus menjalani kegiatan belajar pada sore hari. Sehingga tidak dapat sekolah juga di MTs Insaniyah Serang. Dalam bukunya dia berpikir berarti saat itu dia "siap di proses" menjadi manusia sekuler, manusia Pancasilais yang wajib bertoleransi dengan kebatilan dari penjuru manapun.11 Pada masa-masa di SMP Imam Samudra juga memperoleh sederet prestasi dan penghargaan. Ia meraih juara I lomba pidato se-SMP 4 dengan naskah pidato yang dituisnya sendiri yang merupakan memory recall dari pelajaran Tarikh Nabi dan sejarah 25 Nabi dan Rasul.12 Tidak hanya itu, dia juga sering masuk rangking 3 besar pararel.13 Imam Samudra menceritakan pengalamanya mengenai keikutsertaannya dalam Pesantren Ramadhan. Seusai EBAS (Evaluasi Belajar Akhir Semester) II kelas 1 SMP. Sekolah libur selama dua pekan dan bertepatan dengan Bulan Ramadhan. Dia mengikuti Pesantren Ramadhan yang diadakan oleh organisasi Islam, Muhammadiyah dan PERSIS (Persatuan Islam).14 Dari situ, dia mengungkapkan ;
11
Ibid., h. 30. Ibid., h. 32. 13 Ibid., h. 37. 14 Ibid., h. 32. Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H). Persatuan Islam (disingkat Persis) didirikan pada 12 September 1923 di Bandung Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. 12
46
“Bagiku, Pekan Ramadhan saat itu benar-benar penuh hidayah dan rahmat. Itulah starting point yang membuatku mengerti betapa indahnya Islam, betapa hebatnya Islam, betapa sempurnanya Islam. Di situ aku mengerti bahwa hanya Islamlah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Padalah sebelumnya aku hanya mengerti bahwa Islam sekedar ritual. Sejak saat itu aku mulai mengerti apa arti hidup, apa arti ibadah, Aku mulai pahan dan merasakan sebuah kekhusyukan. Aku mengerti bahwa masalaluku adalah salah. Astaghfirullah!!!”.15 Dari pengalaman sepekan itu merubah sikap dan prilaku Imam Samudra. Dinilai olehnya bahwa prilakunya yang lampau merupakan prilaku yang sesat, sehingga kedepanya tidak boleh terulang kembali. Dia bahkan ingin pindah sekolah dari SMPN 4 yang dinilai sekuler ke pesantren atau pidah ke sekolah PERSIS (Persatuan Islam). Akan tetapi niatan itu diurungkan karena tidak ingin membuat ibunya kecewa.16 Perubahan lainya di antaranya ketika disapa dengan ucapan “selamat pagi” dijawab olehnya dengan “Assalamu’alaikum”. Dia juga menolak jika diajak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Peci selalu dikenakannya dimanapun berada layaknya wanita yang wajib mengenakan jilbab. Dia juga mendakwahkan kepada teman-temannya mengenai wajibnya pengenaan jilbab bagi siswi yang beragama Islam.17 Pengalaman di pesantren ramadhan membentuk kesadaran Imam Samudra sebagai orang muda yang radikal dalam pengertian puritan. Pengalaman itu terbentuk dari organisasi Islam yang diikutinya waktu itu yaitu Muhammadiyah dan Persis. Dalam ajaran Muhammadiyah dan Persis yang memiliki prinsip yang sama ar-ruju' ila al-Quran wa as-Sunnah (kembali langsung kepada sumber asli al-Quran dan as-Sunnah) dan memanifestasikan dalam konteks kehidupan. 15
Ibid., h. 33. Ibid., h. 34-47. 17 Ibid., h. 38. 16
47
Dengan melakukan pemurnian akidah dari unsur syirik, bid’ah dan khurafat. 18 Oleh sebab itulah, kedepanya Imam Samudra memliki kecondongan terhadap paham Islam yang diadopsi oleh Muhammadiyah dan Persis seperti di Arab Saudi (Wahabi), Afganistan (Taliban) dan juga negara-negara lain yang menerapkan konsep yang sama. Imam Samudra sendiri sangat gemar membaca, sehingga di kamarnya yang penuh dengan tempelan rumus matematika dan fisika, juga dipenuhi bukubuku keagamaan, seperti buku hadits, bahasa Arab, fiqh, novel-novel Islam dan utamanya buku tentang jihad dll. Selain gemar membaca, Imam Samudra juga gemar menulis, dan beberapa tulisannya sempat dimuat di Majalah Panji Masyarakat. Dari buku-buku yang dibaca, terdapat buku Ayatur Rahman fi Jihadi Afghan karangan Dr. Abdullah Azzam.19 Dari buku tersebut membuat hatinya terenyuh, sehingga timbul keinginan dan cita-cita untuk ikut berjihad mengangkat senjata di Afghanistan. Namun karena usianya ketika itu baru 16 tahun, keinginannya itu hanya sebatas angan-angan yang diekspresikannya melalui doa agar Allah menggabungkannya dengan para mujahidin.20 Dalam buku Ayatur Rahman fi Jihadi Afghan berisikan tentang kumpulan Sejarah karamah perjuangan jihad sahabat Nabi Muhammad Saw, karamah-karamah perjuangan
18 Zuly Qodir, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad Kedua, Yogyakarta : KANISIUS, 2010. h. 76. 19 Dr. Abdullah Yusuf Azzam (1941–1989), lahir pada tahun 1941 di desa As-ba'ah AlHartiyeh, provinsi Jenin di sebelah barat Sungai Yordan. Di Universitas Al-Azhar ia memperoleh Ph.D dalam bidang Ushul Fiqh pada tahun 1973. Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana ia mendirikan Baitul Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid Afghan. Ia juga menerbitkan sebuah media Ummah Islam. Lewat majalah inilah ia menggedor kesadaran ummat tentang jihad. Meninggal pada hari Jumat, 24 November 1989 akibat serangan tiga buah bom yang sengaja dipasang di gang yang biasa di lewati Abdullah Azzam ketika ia memarkir kendaraan untuk salat Jumat di peshawar, Pakistan. 20 Abdul Aziz, Op.cit., h. 41-43.
48
dalam jihad di Bumi Afghan.. Serta ajakan terhadap kewajiban untuk melaksanakan jihad.21 Dengan penggunaan retorika bahasa yang indah tidak heran jika buku ini pada akhirnya dapat membangkitkan semangat dan minat jihad dari Imam Samudra. Setamat SMA ketika ia mulai memilah-milah untuk memasuki Perguruan Tinggi, di Jakarta ia bertemu seseorang yang bernama Jabir ketika sedang mendengarkan ceramah keagamaan di Masjid al-Furqan milik Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Jabir selanjutnya menginformasikan bahwa pada tahun ini (1990) ada rekrutmen mujahid untuk diberangkatkan ke Afghanistan. Imam Samudra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dan bergabunglah ia untuk berjihad di Afganistan.22 Kesempatan untuk bergabung menjadi Mujahidin di Afganistan datang ketika dia menghadiri pengajian di Masjid Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, yaitu masjid al-Furqan jalan Keramat Raya 45 Jakarta. Disitu dia bertemu dengan seorang bernama Jabir (yang meninggal pada saat peristiwa pengeboman di Antapani, Bandung) yang menawarkan kesempatan tersebut dengan biaya Rp. 300.000,00. Setelah berhasil mengumpulkan uang yang cukup dan mendapatkan paspor, dia dan Jabir berangkat menuju Dumai. Kemudian mereka naik kapal feri ke Malaka, Malaysia. Sehari setelahnya mereka ke Bandara Subang dan naik pesawat Malaysian Airlines ke Karachi, Pakistan. Dari Karachi mereka melanjutkan perjalanan ke Peshwar. Dua orang arab yang belum pernah mereka kenal sebelumnya bergabung bersama mereka menuju perbatasan Pakistan21
Abdullah Azzam, Ayatur Rahman fi Jihadi Afghan, Jeddah : An-Nasyir al-Mujtami' Cet. 5. 1405H/1985M, h. 25-27. 22 Abdul Aziz, Op.cit, h. 23-42.
49
Afganistan. Untuk menyebrangi perbatasan mereka harus berjalan kaki selama empat jam sampai mereka mencapai kamp latihan yang dikenal dengan sebutan “Muaskar Khalifah” di Khost. 23 Dalam buku Imam Samudra : Aku Melawan Teroris Imam Samudra tidak menyebutkan secara jelas dan rinci bagaimana pengalamannya selama berada di Afganistan. Akan tetapi Ali Imron teman Imam Samudra, dalam bukunya Ali Imron Sang Pengebom bercerita hampir mendetil tentang pengalamanya dari berangkat ke Afganistan, pertemuanya dengan Imam Samudra sampai peledakan bom Bali 2002. Ali Imron menceritakan bahawa selama di Akademi Militer Mujahidin Afganistan yang bertempat di daerah Sadda Parachinar, Pakistan. Ia ditempatkan di sebuah tenda bersama Imam Samudra, Basir, Solahuddin dan Hizullah yang sama-sama berasal dari Asia Tenggara. Tempat pelatihan perang mereka yaitu Akademi Militer Mujahidin Afganistan dibawah Tandzim Ittihad Islami Afganistan pimpinan Syaikh Abdur Robbi Rasul Sayyaf. Mereka menempati posisi sebagai Batalion Logistik.24 Kehidupan selama di Akademi Militer inilah yang membuat Imam Samudra memiliki bekal taktik perang dan pembuatan bom. Selain kemampuan militer yang dimiliki, Imam Samudra sangat menguasai Komputer dan bisa bahasa Inggris. Dia memperlihatkan keahliannya dalam penipuan kartu kredit melalui internet dalam bukunya tersebut. Dia menganjurkan pada umat Muslim untuk mengembangkan keahlian dalam bidang ini dan 23
Ibid., h. 41-44; Tempo, Imam Samudra: “Demi Allah, Tak Akan Selesai”, diakses http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/10/13/LK/mbm.20031013.LK90850.id.html pada 29 Februari 2012 jam 16.00 WIB. 24 Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Idris Thaha (ed.), Jakarta : Republika, 2007, h. 810.
50
menggunakannya untuk melawan non-Muslim.25 Kemampuan berbahasa Inggris Imam Samudra diperlihatkan ketika di wawancara dengan menggunakan bahasa Inggris oleh wartawan CNN dan Rivers. Setelah petualangannya di Afganistan, Imam Samudra dilaporkan kembali ke Malaysia dan tinggal disana selama beberapa tahun. Di Malaysia, dia mengajar di Madrasah Luqmanull Hakim di Ulu Tiram, Johor, sebuah sekolah agama yang didirikan oleh anggota dari Jama’ah Islamiyah (JI). Imam Samudra mempunyai beberapa nama panggilan, kemungkinan untuk mempertahankan kerahasiaan dan menghindari kecurigaan yang berhubungan dengan keterlibatannya dalam aktifitas jihad. Nama panggilanya yang terkenal adalah Qudama, Abu Umar, Fat, Faiz Yunshar, dan Hendri.26 Di Indonesia Imam Samudra dituduh mendalangi sejumlah kasus pengeboman dan pencurian. Pada malam Natal 2000 Imam Samudra melakukan pengeboman gereja di Batam dengan sasaran gereja di Riau pada tahun 2000 selain itu peledakan Plaza Atrium Senen Jakarta tahun 2001. Serta perampokan di toko emas Elita, walaupun dalam bukunya dia menyangkal keterlibatannya dalam perampokan tersebut.27 Pada tahun 2002 kembali lagi ke Indonesia. Kemudian terlibat dalam pengeboman Bali. Dalam kasus peledakan bom Bali, Amrozi sang tersangka peledakan dan juga rekan satu tim Imam Samudra juga menyebut nama Imam Samudra sebagai aktor intelektual. Amrozi mengaku dirinya dipertemukan 25
Abdul Aziz, Op.Cit., h. 259-266. Dalam buku Aku Melawan Teroris hanya disebutkan Qudama (Pioner). Ibid., h. 247. Nama-nama lain didapat dari http://kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=23&idsu=12&id=19 diakses pada 20 Desember 2011 jam 21:04 WIB. 27 Abdul Aziz, Op.cit, h. 268 26
51
dengan Imam Samudra pada 6 Oktober 2001 di Bali. Baik Amrozi, Umar Al Faruq maupun sejumlah tersangka lainnya dan saksi-saksi semua mengarah kepada Imam Samudra.28 Pada tanggal 26 November 2002, Imam Samudra ditangkap saat dia akan naik kapal feri menuju Sumatra. Dia dibawa ke pengadilan Denpasar dan didakwa atas keterlibatannya dalam pengeboman di Bali. Sidangnya dimulai pada tanggal 2 Juni 2003. Para jaksa penuntutan meminta hukuman mati untuknya pada. Dia dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman mati pada 10 September 2003 karena perannya sebagai otak bom Bali dengan posisinya sebagai komandan lapangan operasi pengeboman Bali.29 Menanggapi hukuman mati Imam Samudra telah memperkirakan perihal tersebut. Dia sempat membaca bagian akhir Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang mana dia dikenai tututan pasal 15 dan kejahatan luar biasa yang terancam hukuman mati. Imam Samudra mengklaim bahwa apa yang dilakukan olehnya dan kawan-kawanya adalah kebaikan yang sesungguhnya dan didasarkan pada alQuran dan sunnah. Dan itu semua disebutnya jihad fi sabilillah.30 Buku Aku Melawan Teroris yang ditulis oleh Imam Samudra ketika dia masih meringkuk di sel tahanan. Dari buku ini berisi pengakuan dan pembenaran atas kejadian bom Bali. Melalui buku itu ia menginformasikan kepada publik atas dasar aksinya. Sehingga respon dari awal penerbitan buku ini menjadi best seller terbukti dari terbitnya pada September 2004, yang kemudian dicetak ulang lagi 28
Wikipedia, Imam Samudera, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Samudera pada 2 April 2012 Jam 5:26 WIB. 29 Ibid., h. 40 lihat juga di Tempo, Kronologi Kasus Imam Samudra, diakses http://www.tempo.co.id/hg/timeline/2004/05/10/tml,20040510-03,id.html pada 11 Januari 2012. 30 Ibid., h. 191-192.
52
pada bulan Oktober dan November 2004. Dari hal inilah ada yang menarik dari seosok Imam Samudra dibandingkan dengan tersangka teroris lainnya. B. Pemahaman Imam Samudra Mengenai Islam Menurut Imam Samudra, al-Islam adalah kebenaran, sebagai jalan Allah yang lurus. Makna ikutilah jalan ini, jangan ikuti selainnya. Segala yang berasal dari al-Quran adalah kebenaran, karena bersumber dari yang Maha Benar. Tidak ada kebenaran lain selain al-Quran, selain al-Islam.31 Perkembangan Islam sekarang yang semakin menjauh dari zaman risalah nubuwah melahirkan sebuah pemahaman Imam Samudra mengenai adanya satu kebenaran pada satu golongan Islam saja. Dinyatakan bahwa umat Islam kini dalam keadaan terpecah belah dalam beberapa sekte (golongan). Masing-masing sekte mengaku dirinyalah yang paling benar, di luar kelompoknya sesat dan menyesatkan. Bahkan timbul ajaran takfir (saling mengkafirkan) terhadap kelompok di luar kelompoknya. Menurutnya, perdebatan tersebut tidak pernah terselesaikan, sudah terlalu banyak buku-buku yang membahas masalah itu. Dalam hal ini Imam Samudra mengungkapkan bahwa keadaan ini sesuai dengan “ramalan” Rasulullah Saw :
ْ ﻚ ٍ ﻗر ََﺎلﺳَُﻮل ُ ﷲ ﱠ ِ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ اﻓْﺘَﺮ َ ﻗَﺖ َ ﻋﻦ ْ ف ِ ﺑْﻦ ِ ﻣ ﻗَﺎَﺎﻟِل ﻋ َﻮ ِاﻟْﯿَﮭُﻮد ُ ﻋ َ ﻠَﻰ إِﺣ ْ ﺪ َى و َ ﺳ َ ﺒْﻌ ِ ﯿﻦ َ ﻓِﺮ ْ ﻗَﺔً ﻓَﻮ َ اﺣ ِ ﺪ َ ةٌ ﻓِﻲ اﻟْﺠ َ ﻨﱠﺔِ و َ ﺳ َ ﺒْﻌ ُﻮن َ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎر اﻓْﺘَﺮ َ ﻗَﺖ ْ و َاﻟﻨﱠﺼ َ ﺎر َ ى ﻋ َ ﻠَﻰ ﺛِﻨْﺘَﯿْﻦ ِ و َ ﺳ َ ﺒْﻌ ِ ﯿﻦ َ ﻓِﺮ ْ ﻗَﺔً ﻓَﺈِﺣ ْ ﺪ َى و َ ﺳ َ ﺒْﻌ ُﻮن َ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎرِ و َ و َ اﺣ ِ ﺪ َ ةٌ ﻓِﻲ اﻟْﺠ َ ﻨﱠﺔِ و َ اﻟﱠﺬ ِي ﻧَﻔْﺲ ُ ﻣ ُ ﺤ َ ﻤ ﱠ ﺪ ٍ ﺑِﯿَﺪ ِ هِ ﻟَﺘَﻔْﺘَﺮِﻗَﻦ ﱠ أُﻣ ﱠ ﺘِﻲ ﻋ َ ﻠَﻰ
31
Ibid, h.57
53
َ ﺛَﻼ َ ثٍ و َ ﺳ َ ﺒْﻌ ِ ﯿﻦ َ ﻓِﺮ ْ ﻗَﺔً و َ اﺣ ِ ﺪ َ ةٌ ﻓِﻲ اﻟْﺠ َ ﻨﱠﺔِ و َ ﺛِﻨْﺘَﺎ ون َ ِ ﺳ َ ﺒْﻌ ُﻮن َ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠﺎرِ ﻗِﯿﻞ ( )رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﺔ.ُﯾَﺎ ر َ ﺳ ُﻮل َ ﷲ ﱠ ِ ﻣ َﻦ ْ ھُﻢ ْ ﻗَﺎل َ اﻟْﺠ َ ﻤ َﺎﻋ َ ﺔ “Dari 'Auf bin Malik dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: "Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan akan masuk surga dan yang tujuh puluh golongan akan masuk neraka. Dan orang-orang Nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, sungguh ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu golongan masuk surga dan yang tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka." Lalu beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka (yang masuk surga)?" beliau mennjawab: "Yaitu Al Jama'ah.” (HR. Ibnumajah) : 32 Berangkat dari hadits di atas dikemukakan oleh Imam Samudra bahwa sering timbul klaim bahwa al-Jama’ah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kelompoknya sendiri dan bukan kelompok orang lain. Oleh karena itu jika seseorang terjebak pada metode Khawarij, maka ia akan begitu mudah mengkafirkan orang dengan hanya satu dosa yang diperbuatnya. Sebaliknya jika seseorang terjebak pada metode Murji’ah, maka ia akan terlalu meremehkan dosa sebesar apapun sekalipun dosa-dosa itu menyebabkan seseorang menjadi murtad dan musyrik. Berangkat dari sinilah Imam Samudra dalam memahami al-Quran dan Sunnah berdasarkan manhaj Salafausshalihin, yang menurutnya bersifat adil, moderat, dan tidak ekstrim. Seluruh imam empat madzhab menggunakan metode ini.33 Dikemukakan alasan kenapa menggunakan manhaj tersebut dikarenakan hal ini didukung dengan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran maupun dalam hadits :
32
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini, Sunan Ibnu Mâjah, Juz 12. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th. h. 142 33 Ibid., h. 58-59.
54
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orangorang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama- lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (Q.S. al-Taubah: 100).34
ُ ﻋ َﻦ ْ ﻋ َ ﺒْﺪ ِ ﷲ ﱠ ِ ر َ ﺿ ِ ﻲ َ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َأﻨَْنﮫُﱠ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱠ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲﻋ َ ﱠﻠَ ُﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﻗَﺎل َ ﺧ َ ﯿْ ﺮ ( )رواه اﻟﺒﺨﺎري. ْ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻗَﺮ ْ ﻧِﻲ ﺛُﻢ ﱠ اﻟﱠﺬ ِﯾﻦ َ ﯾَﻠُﻮﻧَﮭُﻢ ْ ﺛُﻢ ﱠ اﻟﱠﺬ ِﯾﻦ َ ﯾَﻠُﻮﻧَﮭُﻢ “Dari Abdullah ra bahwa Nabi Saw bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka”. (HR. Bukhari)35 Disebutkan oleh Imam Samudra mereka adalah generasi sahabat Nabi dan generasi tabi’in. Pada surat at-Taubah di atas dikemukakan bahwa Allah telah menjamin kebaikan mereka, bahkan memastikan jaminan surga bagi mereka. Oleh karena itu, pada era sekarang dan sebelumnya, tidak seorang pun yang berhak mengklaim bahwa penafsirannya terhadap al-Quran dan sunnah sebagai yang paling benar. Mereka yang penafsirannya benar dan paling benar adalah yang telah mendapat jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, yaitu kaum salafus shalihin.36
34
Departemen Agama RI, op.cit, h. 184. Imam Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, juz 2, Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1312 H, h. 938 36 Abdul Aziz Op.cit, h.59 -60 35
55
Generasi salafus shalihin merupakan generasi sahabat dan tabi'in. Mereka inilah yang paling mengerti tentang tafsir seluruh ayat al-Quran dan sunnah, sebab mereka langsung bertanya kepada Nabi, sementara Nabi langsung dibimbing Allah. Satu generasi berarti satu abad atau 100 tahun. Dengan demikian, tiga generasi (qurun) berarti tiga abad. Pada abad pertama itulah kehidupan bermula dari era Rasulullah, kemudian tabi'in dan tabi'it tabi'in. Setiap generasi, selalu terdapat ulama. Ulama terkemuka pada generasi sahabat adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas'ud, pada zaman tabi'in ada Imam Qutadah, Imam Mujahid dan Imam Muqatil dan imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'I, Hambali) termasuk dalam generasi tiga abad pertama, sehingga penafsiran dan pemahaman mereka masih bersih, selamat dan benar. Pemahaman tiga generasi inilah yang menurut Imam Samudra harus diikuti. Menurut Imam Samudra, di abad 20-21 sekarang, dunia Islam juga memiliki ulama-ulama yang berusaha menempuh jalur salafus shalih. Antara lain, Muqbil al-Wadi'I al-Yamani, Rabi' al- Madkhali, Shalih ibn Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Hamud Uqala al-Syu'abi, al-Bani, Salman Fahd al-Audah, Dr. Safar alHawali, Dr. Aiman Azh-Zhawahiri, Sulaiman Abu al-Ghaits, Dr. Abdullah Azzam, dll. Fatwa-fatwa mereka baik secara lisan maupun tulisan, selalu merujuk kepada manhaj salafus shalih. Dari ulama-ulama’ kontemporer yang disebutkan diatas, dikemukakan bahwa dalam masalah Aqidah Imam Samudra
tidak mendapati perbedaan
56
pendapat di antara mereka. Adapun soal furu' hal itu bisa terjadi, dan Islam tidak melarangnya, selagi berada dalam koridor syari'at.37 Dalam masalah jihad, Imam Samudra berpegang pada fatwa para ulama mujahid yang terjun langsung dan terlibat dalam jihad seperti Aiman alZhawahiri, Sulaiman Abu Ghaits, Usamah bin Ladin, Dr. Abdullah Azzam, Maulani Mullah Umar, dan guru besar para ulama anggota Dewan Fatwa Arab Saudi yaitu Hamud Uqala al- Syu'aiby.38 Menurut Imam Samudra tidak boleh menelan mentah-mentah fatwa-fatwa ulama. Sebab, ijtihad seorang ulama bisa benar dan bisa salah. Karenanya, perlu ada perbandingan, dicari titik persamaan selagi mungkin. Jika tidak mungkin, lihat dalil-dalil yang digunakan, pilih mana yang paling sesuai dan paling kuat. Metode seperti inilah yang dikenal dengan manhaj salafus shalih. Pada skala yang lebih luas, biasa dikenal sebagai aliran ahli sunnah wal jama'ah.39 Islam yang dipahami Imam Samudra menuntut adanya gerakan untuk mendakwahkannya. Proses dakwah membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang merupakan satu rangkaian dari jihad. Sebagaimana dalam sejarah Islam yang penuh dengan pertumpahan darah. Imam Samudra memjawabnya dengan ungkapan ‘benar dan sangat benar dan akan berlangsung sampai sekarang’.40 Sebagaimana sabda Rasulullah saw.
ِ ﷲ ﱠﱠﻰِ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﺑُﻌ ِ ﺜْﺖ ُ ﺑِﺎﻟﺴﱠ ﯿْﻒ ﻋ َ ﻦ ِ اﺑْﻦ ِ ﻋ ُ ﻤ َ ﺮ َ ﻗَﺎﻗَﺎل َل َ ر َ ﺳ ُﻮل ُﺻ َ ﻠ َ ﺣ َ ﺘﱠﻰ ﯾُﻌ ْ ﺒَﺪ َ ﷲ ﱠ ُ ﻻ َ ﺷ َ ﺮِﯾﻚ َ ﻟَﮫُ و َ ﺟ ُ ﻌ ِ ﻞ َ رِز ْ ﻗِﻲ ﺗَﺤ ْ ﺖ َ ظ ِ ﻞ ﱢ ر ُ ﻣ ْ ﺤ ِ ﻲ و َ ﺟ ُ ﻌ ِ ﻞ 37
Ibid, h.64 Ibid., h. 64. 39 Ibid, h.66. 40 Ibid., h. 233-235. 38
57
. ْ اﻟﺬ ﱢ ﻟﱠﺔُ و َاﻟﺼ ﱠ ﻐ َﺎر ُ ﻋ َ ﻠَﻰ ﻣ َﻦ ْ ﺧ َ ﺎﻟَﻒ َ أَﻣ ْ ﺮِي و َ ﻣ َﻦ ْ ﺗَﺸ َ ﺒﱠﮫَ ﺑِﻘَﻮ ْ م ٍ ﻓَﮭُﻮ َ ﻣ ِ ﻨْﮭُﻢ ()رواه أﺣﻤﺪ Dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah Saw: "Aku diutus dengan pedang hingga Allah yang diibadahi dan tiada sekutu bagi-Nya, rizkiku ditempatkan di bawah bayang-bayang tombak dan dijadikan kehinaan dan kerendahan bagi orang yang menyelisihi perintahku. Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka." (HR. Ahmad)41 Imam Samudra dalam memahami Islam melakukan selektifitas terhadap salah satu golongan/kelompok Islam. Dengan mengemukakan dalil dan argumentasi dari al-Quran dan hadits bahwa hanya ada satu golongan saja yang benar dari berbagai macam golongan Islam yang hadir pada zaman sekarang. Golongan yang di yakininya sebagai sebuah golongan yang paling benar adalah suatu golongan yang memiliki pemahaman terhadap Islam dalam masalah keyakinan (Aqidah). Golongan itu harus beraqidahkan sesuai dengan Ahlussunah Wal Jama’ah, dengan menempuh suatu pemahaman dengan jalan (manhaj) salafus shalih. Dalam permasalahan furu' (cabang) seperti fiqh, hal itu di perbolehkan adanya perbedaan. Jihad sendiri masuk dalam permasalahan cabang dari ajaran Islam, sehingga di perbolehkan melakukan ijtihad. Sehingga tidak masalah jika implementasi terhadap Jihad memiliki perbedaan dengan pemahaman jihad oleh ulama-ulama lain. C. Pemahaman dan Pelaksanaan Jihad Imam Samudra 1. Pemahaman Imam Samudra Tentang Jihad Disebutkan oleh Imam Samudra bahwa dalam urusan jihad, merupakan suatu persoalan yang menjadi ikhtilaf. Dia berpegang pada fatwa 41
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 11, Kairo: Mu’assasah Qurthubah, t.th. h, 261.
58
para ulama’ mujahid. Yakni, mereka yang terjun langsung di medan jihad. Ulama’ mujahid itu disebut dengan ulama’ ahluts-tsughur yaitu orang-orang yang berada di medan jihad berjaga di benteng-bentang pertahanan dan bersiaga di garis depan.42 Dikemukakan bahwa ulama’ ahluts-tsughur lebih dekat kepada Allah, lebih banyak mengingat kematian dan lebih dekat mendapat hidayah dari Allah. Hal ini sebagaimana yang telah Allah janjikan dalam surat al-Ankabut:
“ Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-Ankabut: 69)43 Imam Samudra beranggapan bahwa Ulama’-ulama’ yang masuk dalam kategori ulama’ ahluts-Tsughur pada masa setelah tabi’in-tabi’in antara lain adalah seperti Shalahuddin al Ayyubi, Umar Mukhtar dan lainnya. Pada abad sekarang ini seperti Abdullah Azzam, Aiman Azh-Zawahiri, Sulaiman Abu Ghaits, Mullah Obar, Usamah bin Ladin yang melakukan jihad di Afganistan, Mir Hamzah dan Maulana Mansoor melakukan jihad di Kashmir.44 Dalam
mendefinisikan
tentang
jihad
Imam
Samudra
tidak
menyimpang dari definisi jihad ulama tradisional. Pengertian jihad dalam bukunya diuraikan pengertian jihad dari sudut bahasa, istilah, dan syar’i. Pertama, dari segi bahasa (etimologi) bahwa secara simple jihad berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga untuk mencapai suatu
42
Ibid., h. 67-68. Departemen Agama RI, Op.cit, h. 365 44 Abdul Aziz, Op.cit, h. 70 43
59
tujuan. Seseorang yang bersungguh-sungguh dalam mencari jejak bisa dikategorikan jihad. Kedua, dari segi istilah (terminologi) jihad berarti bersungguhsungguh memperjuangkan hukum Allah, mendakwahkannya serta menegakkannya. Ketiga, dari segi syari'ah, jihad berarti berperang melawan kaum kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin. Pengertian syari’i ini lebih terkenal dengan sebutan jihad “fi sabilillah”45 Tiga pengertian jihad di atas telah menjadi dianggapnya telah menjadi konsensus para ulama salafus shalih, terutama dari kalangan empat madzhab (Syafi'i, Hambali, Maliki dan Hanafi), sehingga tidak didapati perselisihan pendapat dalam pendefinisian jihad tersebut. Dalam memahami konsep jihad dan pengaplikasiannya Imam Samudra mengacu pada padangan jihad yang dikemukankan oleh Abdul Baqi Ramadhun dalam bukunya al-Jihad Sabiluna, Ibnul Mubarak dalam Kitabul Jihad, Abdullah Azzam dalam Fi at-Tarbiyah al-Jihadiyah wal-Bina’. Ditambah lagi olehnya bahwa dalam pengambilan konsep jihad diambilnya dari para ulama’ yang terlibat aktif dalam dunia jihad (ulama ‘amilin). Dengan menukil dari Tafrsir Ibnu Katsir. Imam Samudra menyebutkan tentang pelaksanaan jihad yang memiliki periodesasi antara lain yaitu: a) tahapan (marhalah) menahan diri. Tahapan ini jihad belum diperintahkan. Kaum muslimin diperintahkan untuk menahan diri dari segala macam ujian, celaan, serangan dan penindasan kaum kafir. Masa ini disebut sebagai masa kafful yadd (menahan tangan atau menahan diri) dari mengadakan peperangan melawan kaum kafir.
45
Ibid., h.108
60
b) tahapan (marhalah) diizinkan berperang. Tahapan ini dilakukan ketika siksaan dan tekanan semakin menjadi-jadi dan merajalela. Kemudian kaum kafir mengusir kaum Muslim dari tanah air mereka sendiri. Pada tahap ini kaum muslim baru sebatas diizinkan, belum diperintahkan untuk berperang. Arti sifat izin adalah tidak sama dengan perintah izin berperang melainkan sebatas boleh, dibenarkan, dipersilahkan belum sampai kepada tingkat wajib. c) tahapan (marhalah) diwajibkan memerangi secara terbatas. Tahapan ini dilakukan ketika orang-orang kafir melakukan penyerangan atau pembataian terhadap orang muslim. Namun, peperangan ini dilakukan sebatas pada orang yang memerangi saja, dan orang kafir yang tidak ikut berperang dibiarkan saja. Imam Samudra memahami keadaan wajib dengan suatu perintah jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa. d) kewajiban memerangi seluruh kaum kafir/musyrik. Tahapan ini dilakukan selama masih ada fitnah atau kemusyrikan di muka bumi dan selama kedzaliman yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sampai Islam sebagai agama menjadi solusi atas berbagai problem yang ada.46 Adapun mengenai hukum pelaksanaan jihad adalah satu diatara beberapa fardhu’ain bagi kaum muslimin. Jihad bisa berubah menjadi fardhu kifayah ketika daulah atau khalifah Islamiyah telah tegak dan tidak ada lagi kezaliman serta kemena-menaan. Hal ini Imam Samudra merujuk pada
46
Ibid., h.125-133.
61
pendapat Abdullah Azzam dalam ad-Difa’u ‘am Aradhil Muslimin, ahammu Furudhil A’yan (mempertahankan tanah air kaum muslimin, fardhu’ain yang terpenting). Dikatakan olehnya : “Ulama’ salaf telah berijma’ (konsensus) bahwa jihad menjadi fardhu’ain jika umat Islam berada dalam salah satu atau seluruh kondisi berikut ini : 1. jika Imam (amir) Daulah Islamiyah telah memobilisasi umat Islam untuk Jihad. 2. Jika telah bertemu dua pasukan, yaitu pasukan kaum muslimin dengan pasukan kafir. 3. Jika sejengkal tanah kaum muslimin telah dirampas (anksasi) atau dikuasai oleh kaum kafir. 4. Jika tentara kafir telah memasuki negeri-negeri kaum muslimin dan memulai perang. Khusus untuk nomor empat, fardhu’ain jihad berlaku untuk penduduk negeri yang diserang. Tetapi jika penduduk setempat tidak cukup kuat untuk mengusir penyerang, maka fardhu ‘ain menimpa penduduk daerah terdeat sekitar. Jika tetap belum mampu mengusir para penyerang, maka kewajiban bergulir ke lingkaran penduduk terdekat berikutnya. Demikian, kewajiban bergulir hingga jihad menjadi fardhu ‘ain seluruh kaum muslimin sampai terusirnya bangsa penjajah.”47 Dari tingkatan dan hukum melaksanakan jihad diungkapkan mengenai sampai kapan perintah peperangan ini berlangsung di jawab olehnya, hingga tercapainya dua keadaan : a) Tidak ada lagi kemungkaran di muka bumi ini. b) Sehingga dienullah (Islam) mengatasi, mengungguli dien-dien lain. Dalam istilah lain: terlaksana hukum Islam secara sempurna. 48 Bagi Imam Samudra memahami jihad adalah salah satu bagian dari syariat Islam yang tetap berlaku hingga akhir zaman kelak. Ketiadaan Khilafah atau Daulah Islamiyah saat ini, tidak menghalangi terselenggaranya jihad. Seharusnya ketiadaan Khalifah atau Amir (pemimpin) Islam tidak pula 47 48
Ibid., h. 194-195. Ibid., h. 134.
62
menghalangi jihad, juga tidak menyebabkan jihad berhenti dan tertunda. Hal ini dikuatkan olehnya dengan argumentasi dari Ibnu Qudamah yang berkata : “Sesungguhnya ketiadaan Imam tidak akan terganggu dengan penundaan tersebut.”49 Dengan pertimbangan inilah, Imam Samudra mengemukakan bahwa Operasi Jihad Bom Bali dimaksudkan pula sebagai jihad offensive sekalipun pada prakteknya tidak sama persis, tidak seideal istilah jihad offensive.50 Operasi Jihad Bom Bali merupakan pembebasan, pembelaan dan pertahanan dan ketiga hal ini termasuk dalam jihad difa’i (deffense). Sedangkan menghilangkan, memusnahkan kemusyrikan, meninggikan kalimat Allah dam menegakkannya di atas segala din (agama) adalah merupakan bagian dari jihad hujumi (offense). Jadi bom Bali adalah Defoffense Jihad.51 Argumen penyerangan kenapa dilakukan di Bali karena dipahami olehnya bahwa telah terjadinya konflik global. Imam Samudra mengartikan konflik sebagai perselisihan. Dalam konteks jihad, konflik dapat berarti pertempuran, peperangan atau kontak senjata. Kekerasan terhadap orangorang muslim diyakini sebagai perang salib baru.52 Sebagaimana yang terjadi di Ambon, Poso, Khasmir itu tergolong dalam marhalah ke-dua yaitu Jihad difa’i (jihad defensive). Sedangan mengenai tempat konflik dijelaskah Imam Samudra : Jangan terjerumus istilah tempat konflik yang membatasi jihad hanya boleh dilakukan di daerah-daerah seperti Ambon, Poso, Khasmir dan lain-lain. Tempat konflik defensive telah banyak, sudah masanya kaum muslimin diseluruh dunia membuka ladang jihad offensive. Atau kondisi sekarang ini 49
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kairo : Maktabah al-Qohiroh, t.t, h. 64 Imam Samudra, Op.cit., h. 163. 51 Ibid., h. 170. 52 Ibid., h. 188-189. 50
63
dapat bermakna penyerangan)53
sebagai
konflik
Def-Offensive
(pertahanan-sekaligus
Dari pemahaman Imam Samudra tentang jihad dibangunnya melalui pemahaman yang bersumberkan dari ulama ahluts-tsughur. Hal itu di anggapnya sebagai pendapat yang harus di ikuti dan dilaksanakan. Oleh sebab itulah, ketika deskripsi tentang jihad beserta pelaksanaan dan hukum jihad secara konseptual menuntut harus di laksanakan, maka Imam Samudra mengambil sebuah kesimpulan yang membawanya pada sebuah tindakan untuk melakukan jihad di Indonesia. Bentuk jihad yang dilakukan dengan serangkaian aksi yang mengatasnamakan perintah agama yang berupa jihad. 2. Pelaksanaan Jihad Imam Samudra Dalam aplikasi jihad yang dilakukan oleh Imam Samudra adalah dengan melakukan peledakan di Bali. Menurut Imam Samudra Bali sama sekali bukan target utama Imam Samudra dan kawan-kawan. Target utamanya adalah bangsa-bangsa penjajah yang selalu berbuat kerusakan, kezhaliman, kejahatan serta bersikap angkuh dan bangga atas segala kemungkaran yang mereka lakukan, tanpa ada satu bangsa pun yang beranjak menghentikan kesemena-menaan mereka.54 Sehingga kemudian dipilihlah target yang paling mudah dan memungkinkan untuk diserang dan dibalas. Jatuhlah pilihan di Bali yang mana disitu merupakan tempat dimana orang dari negara-negara kafir berkumpul. Asumsi Imam Samudra bom Bali merupakan jihad fi sabilillah karena yang jadi sasaran utama adalah bangsa penjajah seperti Amerika dan 53 54
Ibid., h. 190 Ibid., h. 103.
64
sekutunya. Hal ini dengan alasan bahwa ini merupakan balasan dari pembantaian yang dilakukan Amerika dan sekutunya di Afganistan pada bulan Ramadhan tahun 2001.55 Karenanya, jihad Bom Bali adalah salah satu bentuk ukhuwah Islamiyah. Imam Samudra mengungkapkan tidak ada kemestian dan keharusan untuk melakukan bangsa-bangsa penjajah itu di Bali. Yang menjadi target adalah personalnya, individunya, manusianya, bukan tempatnya. Jadi olehnya mereka itu bukanlah warga sipil. Hal ini ditegaskan dalam al- :
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (Q.S al-Baqarah: 191)56 Ketika di terangkan alasan yang diuraikan mengenai korban sipil yang jatuh dari peristiwa bom Bali di sanggah oleh Imam Samudra dengan alasan bahwa
Amerika,
Australia,
Thailand
dan
beberapa
negara
lainnya
memiliterisasi rakyat sipil.57 Sehingga boleh diperangi dan dibunuh. Imam Samudra menambahkan tentang hukum memerangi dan membunuh: 1. Hukum Dasar, memerangi atau membunuh sipil adalah haram. Memerangi kaum sebatas yang memerangi kaum Islam. Sehingga mereka yang tidak terlibat langsung dalam perang tidak boleh diperangi. Hal ini berarti selama kaum kafir tidak melampaui batas, selama itulah kaum muslimin berperang sesuai dengan syariat peperangan.
55
Ibid., h. 109. Departemen Agama, Op.cit, h. 46 57 Abdul Aziz, Op.cit, h.109 56
65
2. Memerangi sipil bangsa-bangsa penjajah sebagai tindakan setimpal dan adil. Memerangi warga sipil (kalau memang benar sipil) dari bangsa-bangsa penjajah adalah tindakan wajar dilakukan demi keseimbangan dan keadilan. Darah dibalas darah, nyawa dibalas nyawa dan sipil dibalas sipil. Hal itu merupakan keseimbangan menurut Imam Samudra. Dengan demikian, jelaslah bahwa ‘sipil’ bangsa-bangsa penjajah yang pada dasarnya tidak boleh diperangi karena adanya tindakan melampau batas, yaitu pembantaian atas warga sipil yang dilakukan oleh bangsa penjajah.58 Dalam penyerangan di Bali Imam Samudra mengemukakan tentang perlu diperhitungkan efisiensi dari serangan yang dilakukan. Satu kali kerja dengan hasil maksimal adalah lebih baik daripada hasil maksimal tetapi dikerjakan berkali-kali. Apalagi bila pekerjaan berkali-kali tidak memberikan hasil maksimal. Oleh karena itu, Menyerang target homogen lebih efektif daripada menyerang target heterogen dalam artian bercampur dengan bangsa yang bukan sasaran. Target heterogen itu didapati di Bali, yaitu di Sari Club dan Pady’s Pub.59 Dalam kenyataanya terdapat korban dari kaum Muslim yang berada disekitar lokasi kejadian. Untuk hal ini Imam Samudra mengucapkan permintaan maafnya kepada keluarga korban kaum muslimin dan hal ini disampaikan pada saat Tim Pengacara Muslim (TPM) dan juga pada saat pembacaan pledoi.60
58
Ibid., h. 115-116 Ibid., h. 120. 60 Ibid., h. 152. 59
66
Serangan dengan target heterogen ini dilakukan dengan pengeboman. Imam Samudra menjelaskan Bom merupakan sebagai sarana jihad. Maksud penggunaan bom di sini adalah pelaku pemboman berjibaku (ingimas), yaitu menyerang musuh dengan jalan menubrukkan dirinya (yang sudah dipersenjatai dengan bom atau alat peledak lainnya) pada musuh, sehingga sang pelaku ikut menjadi korban. Bahasan yang terpenting dalam bagian ini adalah apakah tindakan seorang pelaku pemboman yang berjibaku dan mengorbankan dirinya sendiri disebut sebagai tindakan memburu syahid (istisyhad) atau sebaliknya sebagai tindakan bunuh diri. Imam Samudra mengurakan perbedaan Istisyhad dengan bunuh diri dikemukakan ; “Istisyhad ( ) اﺳﺘﺸﮭﺎدyang berarti memburu syahid ( ) طﻠﺐ اﻟﺸﮭﺎدة, bertujuan untuk menegakkan kalimatullah, memperjuangkan Islam berangkat dari niat yang ikhlas, dan dengan azzam (tekad) yang bulat. Kematiannya adalah kematian syahid, ulama’ membolehkan bahkan menganjurkan operasi istisyhad dan pelaku istisyhad tempat kembalinya adalah jannah (surga). Sedangkan bunuh diri ( )اﻟﻘﺘﻞ اﻟﻨﻔﺲberlatar beakang frustasi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan menegakkan kalimatullah. Kematian bunuh diri adalah kematian yang konyol, hina lagi menjijikan. Hukum bunuh diri adalah haram. Pelaku bunuh diri kekal dalam neraka.”61 Dari keterangan ini Imam Samudra memahami bahwa istisyhad adalah dibolehkan bahkan termasuk amalan yang mulia. Sarana untuk istisyhad atau istimata
bisa
berbeda-beda
tergantung
keadaan,
kemungkinan
dan
kemampuan. Operasi istisyhad mengandung beberapa unsur yang dibenarkan :
61
Ibid., h. 183-184
67
1. Operator (pelaku) Istisyhad memiliki dugaan yang kuat bahwa dirinya akan terbunuh dalam operasi yang dilakukannya, baik oleh senjatanya sendiri atau bukuan. 2. Operasi istisyhad bertujuan untuk merontokan musuh. 3. Operasi istisyhad bertujuan untuk membangkitkan semangat jihad dan keberanian kaum muslimin. 4. Dalam operasi istisyhad, kadang operator terbunuh oleh senjata musuh, seperti Abu Durjanah ra. 5. Dalam operasi istisyhad, kadang operator terbunuh oleh senjata sendiri, seperti Ghulam.62 Imam Samudra mendasarkan pendapatnya pada pandangan Imam ibn Nuhas dalam kitab Masyari' al-Asywaq, seorang ulama yang syahid pada 814 H. Imam ibn Nuhas membahasnya dalam salah satu bab berjudul Ingimas (jibaku) di mana beliau memuat lebih dari lima belas hadis dan peristiwa tentang operasi jibaku. Hadis-hadis tersebut pada intinya menceritakan tentang segelintir pasukan, bahkan hanya seorang diri, yang menerobos barisan musuh dengan jumlah dan kekuatan yang sangat besar.63 Tiga peristiwa dalam hadis dan atsar di atas, menjadi dasar Imam Samudra tentang kebolehan melakukan serangan bunuh diri dengan penopang penjelasan dari Abu Hurairah, Abu Ayyub al-Ansarii, serta sikap diamnya sahabat terhadap aksi jibaku Bara' ibn Malik. Sementara, diamnya sahabat terhadap suatu peristiwa, dalam pandangan
Samudra, berarti ijma'
(konsensus). Imam Samudra juga memaparkan dalil-dalil sekaligus contoh yang menunjukkan perbuatan bunuh diri yang berbeda dengan contoh istisyhad dalam tiga riwayat yang dikutip Imam Samudra dari Imam ibn Nuhas sebagai berikut: Q.S. Al-Nisa :29. 62 63
Ibid., h. 183. Ibid., h. 175-178.
68
... "... Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (Q.S an-Nisa: 29).64 Di kemukakan Imam Samudra dari Sahih al-Bukhari dari jalur Junda. Rasulullah saw. bersabda,
ِﺖِﺤﺑْﱠﺎﻦ ِك ِ ار َ ﺿ ِ ﻲ َ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻨْﮫُ ﻋ َﻦ ْ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫ ﻋ َﻦ ْ ﺛﻟَﺎﺑِﻀ ﱠ َ ﻗَﺎل َ ﻣ َﻦو َ ْ ﺳ َ ﻠﱠﺣ َﻢ َﻠَﻒ َ ﺑِﻤ ِ ﻠﱠﺔٍ ﻏ َ ﯿْﺮِ اﻹ ْ ِ ﺳ ْﻼ َ م ِ ﻛ َﺎذ ِ ﺑًﺎ ﻣ ُ ﺘَﻌ َ ﻤ ﱢ ﺪ ًا ﻓَﮭُﻮ َ ﻛ َ ﻤ َﺎ ﻗَﺎل َ َب ٌ ر َ ﺿ ِ ﻲ ْﺣ َ ﺪﱠ ﺛَﻨَﺎ ﺪﺟ ُ ﻨ. َ و َ ﻣ َﻦ ْ ﻗَﺘَﻞ َ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫُ ﺑِﺤ َ ﺪ ِﯾﺪ َ ةٍ ﻋ ُ ﺬ ﱢب َ ﺑِﮫِ ﻓِﻲ ﻧَﺎرِ ﺟ َ ﮭَﻨﱠﻢ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻨْﮫُ ﻓِﻲ ھَﺬ َا اﻟْﻤ َ ﺴ ْ ﺠ ِ ﺪ ِ ﻓَﻤ َﺎ ﻧَﺴ ِ ﯿﻨَﺎ و َ ﻣ َﺎ ﻧَﺨ َ ﺎف ُ أَن ْ ﯾَﻜ ْ ﺬ ِب َ ﺟ ُ ﻨْﺪ َب ٌ ﻋ َ ﻠَﻰ َ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﻗَﺎل َ ﻛ َﺎن َ ﺑِﺮ َ ﺟ ُ ﻞ ٍ ﺟ ِ ﺮ َ اح ٌ ﻓَﻘَﺘَﻞ َ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫُ ﻓَﻘَﺎل () رواه اﻟﺒﺨﺎري.َﷲ ﱠ ُ ﺑَﺪ َ ر َ ﻧِﻲ ﻋ َ ﺒْﺪ ِي ﺑِﻨَﻔْﺴ ِ ﮫِ ﺣ َ ﺮ ﱠ ﻣ ْﺖ ُ ﻋﻠَﯿْﮫِ اﻟْﺠ َ ﻨﱠﺔ Dari Abu Qalabah dari Tsabit bin Adh-Dhahhak ra dari Nabi Saw. bersabda: "Barangsiapa yang bersumpah setia dengan agama selain Islam secara dusta dan sengaja, maka dia seperti apa yang dikatakannya, dan barangsiapa membunuh dirinya sendiri dengan besi, maka dia akan disiksa di dalam nereka Jahanam". Telah menceritakan kepada kami Jundab ra.: "Didalam masjid ini tidak akan kami lupakan dan kami tidak takut bahwa Jundab akan berdusta atas nama Nabi Saw, dia berkata,: "Pernah ada seorang yang terluka lalu dia bunuh diri maka Allah Swt berfirman: "HambaKu mendahului aku dalam hal nyawanya sehingga aku haramkan baginya surga." (HR. Bukhari) 65 Perbuatan yang diatas dipahami sebagai bunuh diri atau mati konyol. Tidak berbeda halnya dengan seorang yang frustasi karena putus cinta, bangkrut, ditinggal mati orang yang dicintai, tidak sabar menahan derita, lalu mereka menenggak minuman beracun hingga mati. Orang-orang tersebut akan menghuni neraka.66 64
Departemen Agama RI, Op.cit. h. 76. Imam al-Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, juz 2, Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1312 H, h. 98 66 Abdul Aziz, Op.cit, h. 181. 65
69
Berkenaan dengan operasi istisyhad dengan menggunakan bom atau lainnya memiliki latar belakang dan motivasi berbeda dengan bunuh diri. Dalam operasi istisyhad dikemukakan bahwa inti permasalahan buka terletak pada apakah operator terbunuh oleh senjatanya sendiri atau senjata orang lain. Melainkan apa niat dan tujuan orang tersebut. Imam Samudra memperkuat argumennya dengan pernyataan : Dalam prinsip perang, aspek morality menempati urutan nomor satu diantara parameter-parameter lain. Jika sebuah operasi bom syahid bertujuan untuk merobek-robek moral tempur musuh dan pada saat yang sama dapat mengatrol semangat jihad kaum muslimin, maka operasi seperti itu sangat dianjurkan. Sungguh, mengorbankan diri demi kemuliaan dienullah, dan demi melemahkan orang kafir, adalah satu prestasi yang cemerlang. Ia memili strata yang agung nan mulia. Allah memuji pelaku tindakan tersebut.67 Dari sarana yang digunakan yaitu dengan menggunakan Bom hanya merupakan masalah teknis yang dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi. Senjata atau alat yang digunakan untuk perang tidak terbatas pada pedang, tombak, panah atau pisau saja. Sarana atau alat berperang bisa apa saja walaupun bom tidak disebutkan dalam al- dan hadis, seperti halnya orang yang melaksanakan ibadah haji yang memanfaatkan pesawat sebagai sarana untuk sampai ke tempat ibadah haji, Mekkah. Hal ini dianggapnya benar dengan menggunakan argumen bahwa di zaman Rasulullah ada alat tempur yang sangat terkenal yang disebut manjaniq,68 fungsinya menyerupai mortar.69 Mortar atau manjaniq ini yang
67
Ibid., h. 182. Semacam ketapel raksasa untuk melempar batu besar. 69 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ditemukan kata "mortar", tetapi yang ada ialah "mortir" atau didefinisikan sebagai meriam pendek atau peluru dari senjata tersebut. Lihat Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, h.592. 68
70
dianalogikan Imam Samudra sebagai bom karena sifatnya yang explosive (meledak). Imam Samudra mengkritisi terhadap pandangan Yusuf Qardhawi bahwa bom syahid diperbolehkan untuk kondisi seperti di Palestina. Tidak puas dengan apa yang dikemukakan tersebut, Imam Samudra menilai bahwa Yusuf Qardhawi kurang memahami dan menyadari hakekat perang salib yang bersifat global. Dimana dalam keadaan umat Islam terjajah, setiap jengkal tanah di bumi ini dapat dikatakan sebagai tempat konflik. Dengan sendirinya segala syariat perang dalam Islam dapat diaplikasikan sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan yang ada. Sehingga Imam Samudra lebih condong kepada pandangan al-Qaeda yang mengadakan operasi istisyahad global sebagaimana yang dikemukakan oleh Usamah bin Ladin.70 Pandangan yang kemukakan oleh Usamah bin Laden dinilai lebih mendekati kebenaran dari pada mereka yang sama sekali tidak pernah menginjak tanah jihad apalagi menghadapi kaum kafir.71 Sehingga ketika Usamah mengatakan, “Amerika diberi peringatan untuk kesekian kalinya, tetapi mereka tidak mengindahkan peringatan tersebut. Maka dengan taufik Allah, mujahidin berhasil melancarkan operasi istisyhad yang gemilang. Dalam proses itu kapal tempur penghancur milik Amerika USS. Cole berhasil dihajar Mujahidin di laut ‘Adb, ini merupakan tamparan yang sangat amat menyakitkan bagi tentara Amerika.”72 Seruan dan fatwa-fatwa dari Usamah bin Laden yang kemudian mewarnai diri Imam Samudra sehingga harus melakukan tindakan-tindakan
70
Abdul Aziz, Op.cit., h. 184-185. Ibid., h. 187. 72 Ibid., h. 185. 71
71
frontal di Indonesia. Meskipun hal itu bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan jihad dilakukan Imam Samudra dengan mengambil tempat di Indonesia. Bali merupakan salah satu target untuk melaksanakan tindakan jihadnya dengan cara pengeboman. Aksi pengeboman sendiri merupakan salah satu cara untuk menjalankan perintah jihad walaupun dalam aksi tersebut pelaku pengeboman ikut meninggal. Alasan dan dasar teologis yang dikemukakan guna menimbulkan alasan pembenaran terhadap tindakan tersebut. Dengan sebuah alasan bahwa tindakan yang dilaksanakan sebagai bentuk dari jihad fisabilillah, karena dasar hukum penyerangan di Bali sudah dalam taraf perjuangan membela dan mencegah dari bentuk penjajahan yang sifatnya global. Sehingga, hukum penyerangan di Bali dibolehkan secara teologis.
BAB IV ANALISIS PEMAHAMAN IMAM SAMUDRA TENTANG BUNUH BIRI SEBAGAI BENTUK JIHAD DAN TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP BENTUK TINDAKAN BUNUH DIRI SEBAGAI JIHAD
A. Analisis Pemahaman Imam Samudra Tentang Alasan Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad Imam Samudra tidak mengakui secara jelas dalam bukunya apakah bom Bali I melibatkan ‘bom manusia’ dimana pelakunya dengan sengaja meledakkan diri dengan bom yang dibawanya. Walaupun demikian ada dua hal yang diakui. Pertama, Imam Samudra dengan panjang lebar menguraikan dibenarkannya tindakan seperti itu dalam Islam. Kedua, dalam salah satu bagian sub-topik buku ‘Aku Melawan Teroris’ dia menulis ‘Bom Syahid Bali, Mengapa Mesti Terjadi?’. Ini menegaskan bahwa keterlibatan manusia yang ikut mati dalam aksi serangan tersebut merupakan sebagai bagian dari bentuk jihad dan bukan merupakan sebagai bentuk dari tindakan bunuh diri. Melihat dari konsep ruang dan waktu yang dikemukakan Imam Samudra tindakan tersebut boleh dilakukan di Indonesia dengan target serangan yang bersifat heterogen. Untuk dapat menganalisis pemahaman Imam Samudra tentang alasan bunuh diri sebagai bentuk dari Jihad perlu di uraikan beberapa pokok permasalahan antara lain pemahaman Imam Samudra tentang jihad dan bentuk dari pelaksanaan jihad yang dilakukannya:
72
73
1. Analisis Pemahaman Imam Samudra Tentang Jihad Sebagaimana telah diuraikan tentang pemahaman Imam Samudra dalam menjelaskan pemahamannya tentang jihad di bab III, sub-bab pemahaman Imam Samudra Tentang Jihad, diperoleh penjelasan mengenai aspek penting dari pandangan yang membentuk pembenarannya atas serentet kejadian pengeboman di Indonesia umumnya dan bom Bali I khususnya. Pandangan pembenarnya tersebut adalah keyakinan bahwa umat Muslim wajib berjihad secara terus menurus memerangi non-Muslim. Hal ini merupakan kesimpulan yang diambil dari bagaimana Imam Samudra mendiskripsikan pengertian jihad, tahapan jihad dan hukum pelaksanaan jihad. Definisi jihad yang dikemukakan oleh Imam Samudra tentang jihad tidak menyimpang dari definisi dari ulama’ fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Jihad berarti berperang melawan orang kafir yang memerangi Islam dan kaum muslimin.1 Hal ini lah yang kemudian jihad menjadi lebih banyak digunakan Imam Samudra dalam arti peperangan (al-qital) untuk menolong dan membela kehormatan umat. Jihad yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam yaitu al-Qur’an dan sunah, memiliki makna yang lebih luas dari pada peperangan. Sebagaimana diterangkan di dalam Zaadul Ma’ad, Ibnu Qayyim dalam melihat perintah jihad dan bentuk pelaksanaan jihad membagi jihad empat
1 Abdul Aziz, Imam Samudra : Aku Melawan Teroris, Solo: Jazera, 2004. h.108 Lihat Muhammad Syarbini, Al-Iqnak, Beirut: Dar al-Fikr, 1425. Juz II, h. 556. Abdullah Azzam, Perang Jihad Di Jaman Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h. 12. Wahab al-Zuhaili, alFiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, Juz VI, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, h. 411-424.
74
tingkatan antara lain; Pertama, Jihad melawan nafsu. Kedua, jihad melawan setan. Ketiga, jihad melawan orang-orang kafir dan munafik. Keempat, jihad melawan orang-orang yang berbuat zalim, kemungkaran dan bid’ah.2 Jadi, Pelaksanaan jihad mengisyaratkan bahwa jihad mencakup aktivitas hati berupa niat dan keteguhan, aktivitas lisan berupa dakwah dan penjelasan, aktivitas akal berupa pemikiran dan ide, serta aktivitas tubuh berupa perang dan lain sebagainya. Aktivitas tubuh berupa perang adalah bagian terakhir dari jihad, yaitu berperang dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh. Makna inilah yang banyak dipahami oleh orang-orang. Akan tetapi, peperangan (qital) berbeda dengan jihad (al-jihad). Seruan mengenai peperangan tidak disebut sesuai dengan syari’at kecuali jika dilakukan di jalan Allah (sabilillah). Peperangan ini adalah peperangan yang dilakukan oleh orangorang yang beriman sebagaimana yang diungkap dalam al-Qur’an :
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orangorang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (Q.S an-Nisa’: 76).3
2 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Mukhtashar Zaadul Maad, terj. Marsuni as-Sasaky, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008, h. 152-153. 3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro, 2007, h. 131.
75
Begitu pula dalam hadis riwayat Bukhari. Disebutkan bahwa jika peperangan tidak memiliki tujuan dan motif tersebut diatas, maka tidak dianggap sebagai jihad. Sebagaimana dalam hadits berikut;
ِﻋ َﻦ ْ أَﺑِﻲ ﻣ ُﻮﺳ َﻰ ر َ ﺿ ِ ﻲ َ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻨْﮫ ُﺟ َﻗَﺎﺎءل َ ر َ ﺟ ُ ﻞ ٌ إِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َﺟ ُﻓَﻘَﺎﻞ ُل َﯾُﻘَﺎاﻟﺗِﺮ ﱠﻞ ُ ﻟِﻠْﻤ َ ﻐ ْ ﻨَﻢ ِ و َ اﻟﺮ ﱠ ﺟ ُ ﻞ ُ ﯾُﻘَﺎﺗِﻞ ُ ﻟِﻠﺬ ﱢ ﻛ ْ ﺮِ و َ اﻟﺮ ﱠ ﺟ ُ ﻞ ُ ﯾُﻘَﺎﺗِﻞ ُ ﻟِﯿُﺮ َى ﻣ َ ﻜ َﺎﻧُﮫ ُ ﻓَﻤ َﻦ ْ ﻓِﻲ ﺳ َ ﺒِﯿﻞ ِ ﷲ ﱠ ِ ﻗَﺎل َ ﻣ َﻦ ْ ﻗَﺎﺗَﻞ َ ﻟِﺘَﻜُﻮن َ ﻛ َ ﻠِﻤ َ ﺔ ُ ﷲ ﱠ ِ ھِﻲ َ اﻟْﻌ ُ ﻠْﯿَﺎ ﻓَﮭُﻮ َ ﻓِﻲ .(ﺳ َ ﺒِﯿﻞ ِ ﷲ ﱠ ِ )روه اﻟﺒﺨﺎر “Dari Abu Musa ra. berkata; Datang seorang laki-laki kepada Nabi Swt. lalu berkata: "Seseorang berperang untuk mendapatkan ghanimah, seseorang yang lain agar menjadi terkenal dan seseorang yang lain lagi untuk dilihat kedudukannya, manakah yang disebut fii sabilillah?" Maka Beliau bersabda: "Siapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah dialah yang disebut fii sabilillah"”.4 Dari sini mengandung maksud bahwa antara jihad dan perang memiliki makna umum dan khusus-mutlak. Setiap perang adalah jihad jika ada niat yang benar. Akan tetapi tidak setiap jihad adalah perang.5 Perbedaan motif dan tujuan inilah yang membedakan antara jihad dan perang. Kita harus memandang kondisi-kondisi dan motif peperangan, kemudian meninjau untuk apa perang itu dilakukan. Ada saatnya perang itu berarti agresi dan ada saatnya perang itu sebagai pembelaan. Definisi yang sesuai maksud dan tujuan jihad dapat disimpulkan bahwa pengertian jihad pada dasarnya adalah pengerahan maksimal seluruh daya upaya seseorang secara bersungguh-sungguh untuk menghancurkan dan 4
Imam Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, juz 2, Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1312 H, h. 560 Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al Qur'an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, Bandung: Mizan, 2010, h.73. 5
76
mencegah timbulnya segala bentuk kesesatan, kemungkaran, ataupun kezaliman yang dibuat oleh musuh-musuh yang berwujud manusia-manusia ingkar, setan yang menyesatkan maupun hawa nafsu. Berkaitan hukum pelaksanaan jihad, Ibnu Qayyim menyebutkan tentang kewajiban jihad secara umum adalah fardhu’ain, yang dapat di lakukan dengan hati, lisan, akal atau tubuhnya.6 Akan tetapi, terkait perintah jihad dalam arti mengangkat senjata untuk melakukan peperangan mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa hukum jihad adalah fardhu kifayah, ada sebagaian dari mereka berpendapat fardhu’ain. Mengenai sampai kapan jihad di anggap fardhu’ain dan kapan di anggap fardhu khifayah. Abdullah Azzam berpendapat bahwa jihad bersenjata adalah fardhu’ain memilih alasan dalam kondisi ketika umat Islam yang negaranya diserang dan tidak mampu lagi untuk mengusir musuh mereka maka tanggung jawab di alihkan kepada komunitas Muslim terdekat dan seterusnya.7 Dengan pandangan seperti itu Imam Samudra menyimpulkan bahwa jihad adalah salah satu diantara beberapa fardhu’ain bagi kaum muslimin. Jihad bisa berubah menjadi fardhu kifayah ketika daulah islamiyah (negara Islam) telah tegak dan tidak ada lagi kezaliman dan kemena-menaan. Sedangkan, Ketiadaan daulah islamiyah saat ini tidak menghalangi terselenggaranya jihad.8
6 7
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Op.cit, h. 153 Abdullah Azzam, Perang Jihad di Jaman Modern, Jakarta : Gema Insani Press, 1994, h.
24 8
Abul Aziz, Op.cit, h. 194
77
Hukum jihad oleh mayoritas ulama’ fiqih sepakat bahwa jihad wajib. Akan tetapi, hukum wajib dalam jihad ada dua yaitu fardhu kifayah dan fardhu‘ain. Kedua hukum ini berlaku pada kondisi jihad yang berbeda. Kondisi
jihad
tersebut
adalah
jihad
offensif/ibtida’i
(dimulai)
dan
defensif/difa’i (bertahan). Maksud dari jihad defensif adalah jihad perlawanan terhadap musuh yang melakukan perlawanan terhadap negeri Islam. Para ahli fiqh mengatagorikan hukum jihad defensif ini sebagai fardhu’ain bagi penduduk yang diperangi. Jihad defensif ini memiliki tujuan yang jelas yaitu memberikan perlawanan terhadap musuh yang memulai peperangan, dengan segala kekuatan yang bisa dikerahkan. Sampai kapan ? Sampai para aggressor pergi ke negeri asalnya dan negeri Islam terbebas dari peperangan. Dalam konteks ini tidak ada perselisihan untuk melakukan pembelaan antara fardhu’ain untuk melakukan jihad difa’i.9 Hal ini dilakukan semata-mata untuk mencegah musuh masuk ke wilayah Islam, atau mengusirnya jika telah masuk wilayah kaum Muslim. Diperlukan jiwa dan raga demi menjaga wilayah dan kekuaaan serta mempertahankan kemulian dan kesucian Islam. Hal inilah yang dimaksudkan didalam dalam Surat al Hajj ayat 39 :
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya
9
Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 323-324.
78
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (QS. AlHajj : 39).10 Terdapat perselisihan pendapat adalah jihad dalam bentuk fardu khifayah, yaitu jihad yang disebut oleh para ahli fiqih sebagai jihad penyerangan (jihad offensif). Hal ini berkenaan dengan keadaan dimana Islam menyuruh kita berperang yaitu kaum Muslim memulai perang dan berinisiatif untuk menyerang musuh terlebih dahulu. Perlu di lihat makna kifayah dalam jihad tersebut. Karena dalam penentuannya ulama’ berbeda pendapat dalam masalah pelaksanaan kewajiban jihad tersebut. Para imam mazhab Sepakat bahwa jihad hukumnya adalah fardu kifayah. Apabila ada salah satu seorang di antara kaum Muslim yang melaksanakannya maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lainnya.11 Ibnu Quddamah dalam al Mughni menyebutkan kifayah tersebut dijalankan dengan menyerang musuh setiap tahun dengan mengirimkan tentaranya.12 Madzhab Hanafi dalam al-Durr Al Mukhtar menyebutkan bahwa kifayah itu berlaku bagi daerah yang dekat dengan daerah wajib jihad.13 Sedangkan Ibnu Rusyd berpendapat jika musuh menyerang salah satu negeri Islam, Umat islam wajib berjihad. Semua orang harus ikut membantu umat Islam hingga bisa menang.14
10
Departemen Agama RI, Op.cit, h. 518 Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab. Terj. Abdullah Zaki Al Kaf. Bandung : Hasyimi. 2010, h.484 12 Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kairo : Maktabah al-Qohiroh, t.t, h. 65 13 Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, Beirut: Dar Ihya Al-Turas Al Arabi, tt, Juz 3, h. 219. 14 Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid, Beirut: Dar Al-Jail, 1989 Juz 1 h. 381. 11
79
Berdasarkan penjelasan diatas maka, Penetapan hukum jihad adalah wajib. Akan tetapi sifat pembebanan dari kewajiban jihad yang terdapat perbedaan. Jihad dalam makna perang diwajibkan berdasarkan sebabsebabnya dan dilakukan oleh sebagian umat, kecuali kondisi tertentu. Ketika jihad itu defensive maka hukum melaksanakan jihad fardhu‘ain, sedangkan ketika jihad itu offensive maka hukum jihad itu bersifat kifayah. Kewajiban kifayah dari jihad offensive itu sendiri berubah sesuai dengan illat yang menyertai dari kewajiban jihad itu sendiri. Imam Samudra mengemukakan bahwa operasi jihad bom Bali sebagai jihad yang bersifat Defoffense Jihad. Maksudnya yaitu operasi jihad bom Bali merupakan pembebasan, pembelaan dan pertahanan termasuk dalam jihad difa’i (defensive). Sedangkan menghilangkan, memusnahkan kemusyrikan, meninggikan kalimat Allah dan menegakkannya di atas segala din (agama) merupakan bagian dari jihad hujumi (offensive).15 Ini merupakan dasar pertimbangan mengenai kondisi pelaksanaan dan kewajiban jihad yang harus dilakukannya. Argumen penyerangan kenapa dilakukan di Bali karena dipahami oleh Imam Samudra bahwa telah terjadi konflik global. diartikannya konflik sebagai perselisihan. Dalam konteks jihad, konflik dapat berarti pertempuran, peperangan atau kontak senjata. Kekerasan terhadap orang-orang muslim diyakini sebagai perang salib baru.16 Oleh sebab itulah, ketika pemahaman tentang jihad dan pelaksanaan menuntut harus dilaksanakan, maka Imam 15 16
Abdul Aziz, Op.cit, h. 170. Ibid., h. 188-189.
80
Samudra mengambil sebuah kesimpulan yang membawanya pada sebuah tindakan untuk melakukan jihadnya di Indonesia dengan peledakan beberapa tempat yang di anggap musuh Islam. Memang benar dalam dunia yang telah kian gelobal sekarang ini, perjuangan melawan musuh tidak hanya dilakukan pada zona konflik saja. Pihak yang berperang akan melakukan cara apa saja untuk melemahkan dan mengalahkan musuhnya. Secara psikologi, ekonomi, politik dan sosial. Akan tetapi sebuah penyimpulan yang di ambil dengan mengatakan bahwa balasan dari kionflik gelobal harus di laksanakan di Indonesia Bali khususnya jelas sangat keliru. Persoalannya kemudian adalah apakah Bali merupakan daerah perang sehingga jihad diizinkan di daerah tersebut. Sebagaimana alasan yang dibuat Imam Samudra dengan melakukan penyimpulan mengenai sifat dari jihad yang dilakukan akan tetapi tidak mempertimbangkan kategori wilayah dari dibolehkannya untuk melakukan aksi jihad. Masalah penentuan wilayah Allah Swt. menunjukan isyarat dalam pembagian wilayah yang tercantum dalam al-Qur’an Surat al-Anfal ayat 7273 yang dalam kandunganya manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok : 1. Kaum Muslim yang berada dalam wilayah Islam, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. 2. Kaum Muslimin yang tinggal di wilayah musuh, yaitu wilayah yang memusuhi kaum Muslim dan tidak berhijrah ke wilayah Islam. 3. Kaum kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslim
81
4. Kaum kafir yang tidak terikat perjanjian apa pun dengan kaum Muslim.17 Kelompok pertama memiliki hak perlindunga dan bantuan atas dasar keimanan dan kesatuan wilayah. Kelompok kedua tidak memiliki hak perlindungan dan bantuan, karena keberadaan kaum muslim di wilayah kafir atau wilayah musuh, tetapi – atas dasar kesatuan agama – mereka memiliki hak untuk melindungi dan dibantu jika mereka meminta bantuan dalam urusan agama. Kita wajib menolong mereka atas siapa saja yang memusuhi mereka, kecuali jika pihak yang memusuhi mereka memiliki perjanjian dengan kaum Muslim. Kelompok ketiga, mereka adalah orang-orang yang terikat perjanjian dengan kaum Muslim. Kelompok keempat, kelompok kaum kafir yang tidak berdamai dengan kaum Muslim. Jumhur ulama membagi negara kepada dua bagian, yaitu dar al-Islam / dar al-waqf (Syiah Zaidiyah) / dar al-tauhid (Khawarij sekte Ibadiyah ) dan dar al-harb / dar al-fasiq (Syiah Zaidiyah) / dar al-syirk (Khawarij sekte Ibadiyah). Sementara ulama Syafi’iyah menambahkan kategori dar al‘ahd atau dar al-aman disamping keduanya.18 Dar al-‘ahd adalah negaranegara yang berdamai dengan dar al-Islam, dengan perjanjian tersebut, maka semua penduduk dar al-‘ahd tidak boleh diganggu jiwanya, hartanya, dan kehormatan kemanusiaannnya. Meskipun penduduknya tidak beragama Islam, mereka diperlakukan seperti orang Islam dalam arti dilindungi hak-haknya.19
17
Yusuf Qardhawi, Op.Cit, h. 729. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h. 222. 19 H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, Bogor: Kencana, 2003, h. 359. 18
82
Bagaimana dengan keadaan wilayah Indonesia ? apakah termasuk dalam kategori dar Islam, dar al harb ataukah dar al-‘ahd. Dengan penerimaan Pancasila pada 18 Agustus 1945 sebagai falsafah dan dasar bagi negara baru, Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka wilayah ini menjadi wilayah perjanjian (dar al-‘ahd), dan NKRI adalah Negara Perjanjian (Abode of Concensus atau Dar al- ‘Ahd).20 Dengan demikian wilayah Indonesia yang masuk dalam wilayah perjanjian (dar al-‘ahd) terikat dengan perjanjianperjanjian yang tidak boleh dilanggar. Abu Zahrah menambahkan bahwa, Dunia sekarang disatukan oleh satu organisasi. Setiap anggotanya berpegang pada aturan dan ketentuannya. Hukum Islam dalam hal ini adalah wajib menepati semua perjanjian dan komitmen. Sebagai bentuk pemenuhan janji seperti yang ditetapkan oleh alQuran. Atas dasar itu, wilayah bangsa-bangsa yang berbeda agama yang menjadi anggota lembaga dunia ini, tidak dipandang sebagai negara mush (dar-al harb) tetapi dipandang sebagai negara perjanjian (dar al ‘ahd).21 Jelas Bali khususnya dan Indonesia umunya tidak bisa dianggap sebagai dar al-harb dengan anggapan pelaksanaan jihad bisa diterapkan dengan melakukan tindak sesuai kehendaknya sendiri. Niat baik yang dikemukakan sebagai bentuk jihad di jalan Allah fi sabilillah tidak bisa benarkan dan diterima, karena bertentangan dengan implementasi dari penerapan jihad sebenarnya. Dengan melakukan peledakan di tempat maksiat
20 M. Din Syamsuddin, NKRI, Negara Perjanjian & Kesaksian (Darul Ahdi dan Darus Syahadah), 2011. h.8. diunduh dari http://www.m-dinsyamsuddin.com/download/category/1artikel?download=2%3Ataushiyah-kebangsaan-oleh-m.-din-syamsuddin (17 Maret 2012) 21 Muhammad Abu Zahrah, Al ‘Alaqah al-Dauliyah, Kairo: Dar Al Fikri, t.t. h. 57.
83
di Bali. Alasan (ta’wil) digunakan untuk menintimidasi dan membunuh target operasinya. Dengan melakukan pembangkangan terhadap pemerintah yang sah. Jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan jihad khususnya. Pemaknaan jihad, hukum pelaksanaanya dan juga konsep wilayah dari realisasinya harus dipertimbangkan secara matang-matang. Karena hal inilah yang membedakan antara jihad dan perang pada umumnya.
2. Analisis Pelaksanaan Jihad Imam Samudra Dalam kasus bom Bali I Imam Samudra menolak penggunaan kata bunuh diri (intihar). Dia lebih memilih untuk menamakannya amaliyat istisyhadiyah atau operasi mati syahid. Dia menganggap aksi seperti itu sebagai bentuk dari jihad dengan tujuan untuk mencari mati syahid dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.22 Alasan pembenaran dari tindakannya tersebut mengatasnamakan sebagai bentuk dari jihad sehingga secara agama tindakan yang dilakukan mendapat dukungan dari Agama dan boleh untuk dilakukan. Terhadap
perilaku
dari
tindakan
tersebut
Emile
Dukheim
memasukannya ke dalam tindakan Altruistic Suicide dengan motif bahwa individu terintegrasi untuk melakukan bunuh diri demi kelompok yang dipandangnya sebagai sebuah tugas. Individu tersebut dirasa menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Adapun mengenai metode tindakan yang dilakukan yaitu sebagai Suicide attack (serangan bunuh diri) adalah suatu
22
Abdul Aziz, Op.cit, h. 171-190.
84
serangan yang dilakukan oleh penyerangan dengan maksud membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya. Dari sini jelas bahwa tindakan Suicide attack bukan merupakan suatu tindakan yang di lakukan karena keterputus asaan hidup akan tetapi tindakan yang di motivasi demi kelompok yang dipandangnya sebagai sebuah tugas. Menurut ulama’ fiqh klasik, bunuh diri diartikan sebagai pembunuhan diri sendiri dengan sengaja karena gagal mencapai ambisi yang bersifat keduniaan, atau keinginan akan kenyataan atau membunuh diri karena perasaan marah atau putus asa.23 Dari tinjauan fiqh ulama’ sepakat bahwa larangan tindakan bunuh diri yang dimaksud yaitu yang dilandasi keterputus asan akan kehidupan di dunia. Dengan dasar al-Quran Surat al Nisa’ ayat 2930 ;
….
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Q.S An-Nisa’ : 29-30).24 Al Qurtubi menerangkan pada ayat di atas bahwa para ulama’ sepakat mengenai pelarangan membunuh. Kemudian ditambahkan bahwa pelarangan
23 24
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al Jami’li Ahkam Al Qur’an, jld. 5 h. 157. Departemen Agama RI, Op.cit, h. 122.
85
juga termasuk membunuh diri sendiri karena tujuan keduniaan dan kerakusan untuk mendapatkan kekayaan. Begitu juga mengambil resiko yang mengarah kepada penghancuran diri sendiri.25 Dalam hadits disebutkan mengenai larangan bunuh diri disebabkan keterputusasan karena penderitaan dari sakit yang dideritanya akibat luka-luka di medan pertempuran.
َ ﺣ َ ﺪ ﱠ ﺛَﻨَﺎ ﺟ ُ ﻨْﺪ َب ٌ ر َ ﺿ ِﻲ َ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻨْﮫ ُ ﻓِﻲ ھَﺬ َا اﻟْﻤ َ ﺴ ْﺠ ِ ﺪ ِ ﻓَﻤ َﺎ ﻧَﺴ ِﯿﻨَﺎ و َ ﻣ َﺎ ﻧَﺨ َﺎف ُ أَن ْ ﯾَﻜ ْ ﺬ ِب ُ ﺳ َ ﻠَﱠﯿْﻢ َ ﻗَﺎل َ ﻛ َﺎن َ ﺑِﺮ َ ﺟ ُﻞ ٍ ﺟ ِ ﺮ َ اح ٌ ﻓَﻘَﺘَﻞ َ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫ ﷲ ﱠ ُو َ ﻋ ِﺟ ُ ﻨْﺪ َب ٌ ﻋ َ ﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠ ﱠﻰ ﮫ (ﻓَﻘَﺎل َ ﷲ ﱠ ُ ﺑَﺪ َر َ ﻧِﻲ ﻋ َ ﺒْﺪ ِي ﺑِﻨَﻔْﺴ ِ ﮫِ ﺣ َ ﺮ ﱠ ﻣ ْﺖ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ اﻟْﺠ َ ﻨﱠﺔَ) روه اﻟﺒﺨﺎرى Telah menceritakan kepada kami Jundab ra: "Di dalam masjid ini tidak akan kami lupakan dan kami tidak takut bahwa Jundab akan berdusta atas nama Nabi Saw, dia berkata,: "Pernah ada seorang yang terluka lalu dia bunuh diri maka Allah Swt berfirman: "HambaKu mendahului aku dalam hal nyawanya sehingga aku haramkan baginya surga". (HR. Bukhari).26 Pada kenyataannya, motif untuk melakukan tindakan bunuh diri pada hakikatnya tidak hanya dilakukan karena motif putus asa saja. Ada motif lain yang mengakibatkan seseorang melakukan tindakan mengakhiri hidupnya yaitu demi kelompok yang dipandangnya sebagai sebuah tugas. Kelompok ini bisa dikatakan sebagai bentuk pengorbanan membela agama dengan menjalankan tugas yang dianggapnya sebagai jihad. Dengan Inilah kemudian pelaksanaan jihad dilakukan dengan strategi penyerangan dengan oprasi istisyhadiyah (mencari kesyahidan).
25 26
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Op.cit, h. 156-157 Imam Bukhari, Op.cit, h. 125
86
Pertanyaannya kemudian apakah tindakan serangan bunuh diri guna mencari kesyahidan (istisyhad) bisa disamakan dengan bunuh diri secara umum yang dilatar belakangi karena keterputusasaan ? Bila di cermati antara ‘intihar’ dan ‘istisyhad’ terdapat kesamaan yaitu terbunuhnya pelakunya terbunuh oleh senjata mereka sendiri.27 Sedangkan yang membedakannya terletak pada alasan melakukannya. Intihar bertujuan untuk mengakhiri hidup karena rasa keterputusasan terhadap dunia dan hukumnya haram. Sedang pada istisyhad merupakan bentuk dari pada perlawanan terhadap musuh dalam membela agama Allah. Istisyhad melakuakan tindakannya tersebut bukan untuk kepentingannya sendiri akan tetapi untuk sebuah kepentingan yang lebih besar. Adapun dalil al-Qur’an yang mengisyaratkan tentang kebolehan pelaksanaan Istisyhad antara lain :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau 27 Ini berdasarkan pada praktis sekarang yaitu operasi mati syahid dilakukan di mana sang pelaku mengorbankan dirinya sendiri untuk merugikan musuh. Tetapi, permahaman para ulama’ klasik, operasi mati syahid adalah di mana pelakunya terbunuh karena aksinya menyerang musuh dalam pertempuran dengan resiko jelas pasti akan mengalami kekalahan dan terbunuh.
87
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (Q.S at-Taubah : 111).28
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Q.S al-Baqarah : 207).29 Dari hadits sendiri juga disebutkan bahwa terbunuh karena senjatanya sendiri sebagai tindakan syahid sebagaimana dalam kisah Amir bin Al Akwa’
ٌ ﻋ َﻦ ْ ﺳ َ ﻠَﻤ َ ﺔَﺧ َ ﻗﺮَﺎ َل َﺟ ْ ﻨَﺎ ﻣ َ ﻊ َ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠ ﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َﻢ َﺳ َإِﻠﻟﱠَﻰ ﺧ َ ﯿْﺒَﺮ َ ﻓَﻘَﺎل َ ر َ ﺟ ُ ﻞ ِﻣ ِ ﻨْﮭُﻢ ْ أَﺳ ْ ﻤ ِ ﻌ ْ ﻨَﺎ ﯾَﺎ ﻋ َﺎﻣ ِ ﺮ ُ ﻣ ِﻦ ْ ھُﻨَﯿْﮭَﺎﺗِﻚ َ ﻓَﺤ َ ﺪ َا ﺑِﮭِﻢ ْ ﻓَﻘَﺎل َ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱡ ﺻ َ ﻠ ﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﻣ َﻦ ْ اﻟﺴ ﱠﺎﺋِﻖُ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻋ َﺎﻣ ِ ﺮ ٌ ﻓَﻘَﺎل َ ر َ ﺣ ِ ﻤ َ ﮫ ُ ﷲ ﱠ ُ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا ﯾَﺎ ر َ ﺳُﻮل َ ﷲ ﱠ ِ ھَﻼ ﱠ ﻨَﺎأَﻣ ْﺑِ ﺘَﮫِﻌ ْ ﻓَﺘَﺄُﺻ ِﯿﺐ َ ﺻ َ ﺒِﯿﺤ َ ﺔَ ﻟَﯿْﻠَﺘِﮫِ ﻓَﻘَﺎل َ اﻟْﻘَﻮ ْ م ُ ﺣ َ ﺒِﻂَ ﻋ َ ﻤ َ ﻠُﮫ ُ ﻗَﺘَﻞ َ ﻧَﻔْﺴ َ ﮫ ُ ﻓَﻠَﻤ ﱠﺎ ُ ر َ ﺟ َ ﻌ ْﺖ ُ و َ ھُﻢ ْ ﯾَﺘَﺤ َ ﺪ ﱠ ﺛُﻮن َ أَن ﱠ ﻋ َﺎﻣ ِ ﺮ ًا ﺣ َ ﺒِﻂَ ﻋ َ ﻤ َ ﻠُﮫ ُ ﻓَﺠ ِ ﺌْﺖ ُ إِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺒِﻲ ﱢ ﺻ َ ﻠﱠﻰ ﷲ ﱠ ُ ك َ ِ أﻓَﺑﺪ َاِﻲ و َ أُﻣ ﱢﻲ ز َ ﻋ َ ﻤ ُﻮا أَن ﱠ ﻋ َﺎﻣ ِ ﺮ ًا ﺣ َ ﺒِﻂَ ﻋ َ ﻤ َ ﻠُﮫ ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ و َ ﺳ َ ﻠﱠﻢ َ ﻓَﻘُﻠْﺖ ُ ﯾَﺎ ﻧَﺒِﻲ ﱠ ﷲ ﱠ ُ ﻓَﻘَﺎل َ ﻛ َ ﺬ َب َ ﻣ َﻦ ْ ﻗَﺎﻟَﮭَﺎ إِن ﱠ ﻟَﮫ ُ ﻷ َ َﺟ ْ ﺮ َ ﯾْﻦ ِ اﺛْﻨَﯿْﻦ ِ إِﻧﱠﮫ ُ ﻟَﺠ َﺎھِﺪ ٌ ﻣ ُ ﺠ َﺎھِﺪ ٌ و َ أَي ﱡ ﻗَﺘْﻞ ٍ ﯾَﺰِﯾﺪ ُه (ﻋ َ ﻠَﯿْﮫِ ) روه اﻟﺒﺨﺎرى “Dari Salamah bin Al Akwa' mengatakan, Dahulu kami berangkat bersama Nabi Saw ke Khaibar. Salah seorang pasukan berujar; 'Wahai Amir, perdengarkan syair-syairmu kepada kami!' Lantas Amir Ibn Al Akwa memperdengarkan bait-bait syairnya sehingga terdengar oleh mereka. Selanjutnya Nabi Saw bertanya; "Siapa yang menggiring unta-unta kita?" 'Sahabat kita, Amir bin Al akwa' Jawab para sahabat. Nabi Terus memanjatkan doa: "Semoga Allah merahmati dia!" Para sahabat berujar; 'Ya Rasulullah, apakah engkau memberi kami kenyamanan lewat perantaraannya' pagi harinya ia meninggal, selanjutnya para sahabat berkomentar (mengenai peristiwa 'Amir); 'Sungguh amir 28 29
Departemen Agama RI, h. 299. Ibid, h. 67.
88
sia-sia amalnya, ia telah membunuh dirinya.' Ketika aku pulang, para sahabat berbincang-bincang dengan mengatakan bahwa Amir bin Al Akwa' sia-sia amalnya karena telah membunuh dirinya sendiri. Maka kudatangi Nabi Saw dan aku berkata; 'ya Nabiyullah, demi ayahku dan ibuku menjadi tebusanmu, orangorang beranggapan bahwa saudaraku, Amir, sia-sia amalnya! ' maka Beliau bersabda: "Bohong semua yang mengatakan seperti itu, bahkan ia memperoleh dua pahala, sungguh ia orang yang bersungguh-sungguh sekaligus menjadi mujahid, mana ada pembunuhan yang lebih sadis dari seperti yang dialaminya?" (HR. Bukhari).30 Dalam perang Khaibar Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Akan tetapi rupanya pedang yang digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik hingga menghunjam pada ubun-ubunnya yang menyebabkan kematiannya. Beberapa orang berkata bahwa Amir bunuh diri. Saudaranya Salamah merasa amat kecewa sekali. Ia menyangka sebagaimana sangkaan para sahabat bahwa saudaranya itu tidak mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa sengaja.31 Dari
dalil-dali
tentang
pelaksanaan
Istisyhad
Para
ulama’
kontemporer, membuat perbedaan yang sangat jelas antara ‘operasi mati syahid’ dan bunuh diri. Dengan pertimbangan keadaan dan kondisi umat Muslim. Namun argumen tersebut masih tetap belum tersimpulkan apakah boleh memandang ‘operasi mati syahid’ dalam sudut pandang yang sama. Pandangan ulama’ kontemporer yang membolehkan pelaksanaan amaliyat
Istisyhadiyah
antara
lain;
Muhammad
Az-Zuhaili,
dengan
mengemukakan pendapatnya dalam operasi Istisyhad di Palestina. Operasi 30 31
t.t h. 345.
Imam Bukhari, Op.cit, h. 145. Imam Badr Al Aini, Umdatul Qori’ Syarah Saheh Bukhari, Juz 34, Beirut: Darul Fikr,
89
tersebut harus mengalahkan musuh dengan menciptakan ketidakstabilan, kemarahan, panik dan kekuatan dalam pikiran musuh. Syarat dari pelaksanaanya yaitu dengan niat tulus untuk mencapai keridhoan Allah. Sedangkan menurut Muhammad Said Ramadhan Al Buti menambahkan wajib bagi pelaksanaan untuk berniat mengalahkan musuh dan bukan mencari kematian.32 Yusuf Qardhawi sendiri juga menolak menyamakan ‘operasi mati syahid’ di Palestina dengan bunuh diri. Baginya bom bunuh diri di palestina adalah aksi propaganda, patriotisme dan Istisyadiyah. Hal ini adalah taktik yang di gunakan oleh kelompok mustadhafin (golongan yang tertindas) melawan keangkuhan, tirani dan kediktatoran kaum zionis. 33 Hal senada juga berasal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia menyatakan mendukung aksi bom syahid atau 'amaliyyah al-istisyhad sebagai bagian dari jihad yang dilakukan di daerah perang (dar al-harb) dan bukan di negara damai (dar al-sulh) atau negara dakwa (dar al-da'wah). Mengutip pernyataan Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ma'ruf Amin, (pada waktu itu) MUI mendukung apa yang terjadi di Palestina karena merupakan bentuk perlawanan di daerah yang dilanda perang, tetapi bukan yang terjadi di Bali atau Hotel Marriott karena Indonesia adalah negara dakwah.34
32
Nawaf Hayil Takruri, Al Amaliyat Al Istisyhadiyah Fi Al Mizan Al Fiqhi, h. 121-125. Yusuf Qardhawi, Op.cit, h. 898-899. 34 http://www.scribd.com/doc/18799174/Fatwa-MUI-tentang-Terorisme (17 Maret 2012) 33
90
Sedangkan ulama’ yang menentang opeasi mati syahid dan menganggapnya bunuh diri seperti Abdul Al-Aziz. Dengan mengungkapkan bahwa operasi Istisyhadiyah tidak bisa diterima karena tidak ada pandangan syari’ah yang memperbolehkannya. Hal itu tidak bisa diterima sebagai jihad di Jalan Allah.35 Dalam Islam hal itu bukan cara untuk mencapai tujuan. Kemurnian niat dan metode yang digunakan untuk mencapai tujuan sangat penting. Niat dan cara untuk mencapainya harus sesuai dengan ajaran Islam. Ulama’ Islam awal tidak mempunyai bentuk tentang operasi mati syahid dalam bentuk sekarang ini, karena ia melibatkan perubahan dalam teknik perang. Misalnya dengan menabrakkan pesawat, mobil, dan juga menggunakan bom dengan target musuh yang di hadapinya. Oleh sebab itu, mereka tidak membicarakan aksi seperti itu secara khusus. Adapun dalam penggunaan tubuh orang sebagai senjata melawan musuh merupakan isu yang hangat diperdebatkan di antara ahli-ahli hukum Islam di dunia Islam sekarang ini. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa suatu tindakan yang jelas-jelas membunuh diri harus dihindari, sedangkan sebagian berpendapat bahwa hal itu dibolehkan untuk membela diri atau untuk melindungi rakyat. Perlu
dijadikan
pertimbangan
adalah
adanya
syari’at
Islam
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.36 Untuk mewujudkan kemaslahatan Islam melindungi kepentingan makhluk yang terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu primer (al-Dharuri), sekunder (al-Hajiy) dan tertier (al-tahsini). Kemaslahatan 35
http://fatwa-online.com/news/0030518.htm (17 Maret 2012) Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Khumi Al Ghamathi al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, Beirut : Dar al Ma’rifah, tt, juz II h. 5. 36
91
primer adalah kemaslahatan yang
harus (wajib) ada demi terwujudnya
kemaslahatan dunia dan akhirat. Seseorang akan rusak kehidupannya, jika kemasalahatan primer ini tidak terpenuhi. Kemaslahatan primer ini meliputi lima hal (al-dharuriyat al-khamsah) yakni, Hifzh al-din atau menjamin kebebasan beragama, Hifzh al-nafs atau memelihara kelangsungan hidup, Hifzh al-‘aql atau mejamin kreatifitas berfikir, hifzh al-nasl atau menjamin keturunan dan keormatan, hifzh al-mal kebebasan memiliki harta.37 Adapun hajiyat adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kelapangan dan keleluasaan, menanggung beban taklif dan beban kehidupan lainnya. Jika tidak terpenuhi hanya mendapat kesulitan dan kesempitan. Sedangkan yang tahsiniyat adalah sesuatu yang dikehendaki oleh muru’ah, etika, dan perilaku yang didasarkan pada jalan yang paling lurus. Jika tidak terpenuhi hanya akan terasa janggal dalam pandangan akal sehat dan naluri yang sehat, sekedar mengarah pada akhlak yang mulia. Kedua hal ini jika tidak ada/terpenuhi, maka tidak akan merusak struktur kehidupan manusia dan tidak
menimbulkan
kekacauan,
sebagaimana
apabila
dharuri
tidak
ada/terpenuhi.38 Pertanyaannya kemudian bagaimana untuk mewujudkan kemaslahatan kebutuhan
dharuriyat
dari
Hifzh
al-din
(memelihara
agama)
yang
membutuhkan pengorbanan jiwa. Sedang di sisi lain Hifzh al-nafs (memelihara kelangsungan hidup) juga harus tetap dijaga. Disinilah yang kemudian pengorbanan diri (bunuh diri) dilakukan atas nama pembelaan 37 38
ibid, h. 8-10. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 313
92
terhadap agama dilakukan dengan mengabaikan jiwanya sendiri. Oleh karena itu, pengorbanan ini disebut sebagai syahid. Dimana Pengorbanan paling tinggi, yaitu kehidupanya sendiri demi Tuhan, suatu pengorbanan yang benarbenar untuk Tuhan dan bukan untuk tujuan-tujuan dunia.39 Hukum-hukum dharuriyyah wajib diperhatikan. Hukumnya tidak boleh dilalaikan kecuali apabila ada pemeliharaan terhadap dharuri yang membawa kepada pengesampingan dharuri yang lain yang lebih penting dari padanya. Oleh karena inilah, maka jihad wajib untuk memelihara agama kendatipun mengandung pengorbanan jiwa. Sebab memelihara agama lebih penting
daripada
memelihara
jiwa.
Hukum-hukum
ini
terdapat
pengesampingan hukum dharuri untuk memelihara hukum dharuri yang lebih penting lagi daripadanya.40 Hifz ad-din lebih penting dari pada hifz an-nafs kemudian Hifzh al-‘aql dilanjutkan dengan hifzh al-nasl dan terakhir hifzh almal. Pengorbanan jiwa yang digunakan untuk memelihara agama. Maka Allah
memerintahkan
untuk
melakukan
jihad.
Jihad
tersebut
terimplementasikan dengan bentuk perang pembelaan dan perlawanan. Oleh sebab itu diperlukan persiapan dan strategi. Persiapan yang bisa dalam bentuk pelatihan, pengadaan senjata dan logistik. Strategi yang berarti siasat yang digunakan untuk menghadapi musuh dan memenangkan pertempuran. Sehingga satu rangkaian ini menjadi sebuah perintah jihad sebagaimana yang Allah telah perintahkan sebagai bentuk dari jihad fi sabilillah. 39
Hossein Nasr, The Heart Of Islam: Pesan-Pesan Universal Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003, h. 328. 40 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 323-324.
93
Disinilah penulis akan membagi posisi istisyhad dari pengorbanan jiwa yang digunakan untuk memelihara agama. Pertama, Allah memerintahkan untuk melakukan jihad bersifat dharury. Kedua, bentuk perang pembelaan dan perlawanan bersifat Hajiy. Ketiga, persiapan dan strategi bersifat tahsini. Oleh Sebab itu istisyhad yang dilakukan sebagai bentuk pengorbanan dirinya sendiri dengan kemungkinan ikut meninggal sudah hampir bisa di pastikan. Harus mengacu bagaimana persiapan dan strategi yang dimiliki. Jika memang tindakan itu merupakan pilihan terakhir maka mengacu pada kaidah ushul fiqiyah yang menyebutkan bahwa Islam menjamin pemeliharaan yang dharuri dengan cara memperbolehkan hal-hal yang terlarang karena adanya dharurat.41 Faktor kemaslahatan dan kemadharatan harus diperhitungkan. bahwa kemaslahatan menjadi ruh dan jiwa syari’at Islam. Menjadi dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam.42 Dalam menetapkan pelaksanaan istisyhad harus melihat kaidah asasi bekenaan dengan keharusan menghilangkan kemadharatan demi terwujudnya kemaslahatan yaitu : 43
اﻟﻀﺮر ﯾﺰال
“Kemudharatan itu harus di hilangkan” Islam melarang bunuh diri dan menganggapnya sebagai dosa besar. Diizinkannya operasi mati syahid oleh beberapa orang adalah suatu pengecualian bukan hukum Asal. Hukum pelaksanaan amaliyat istisyhadiyah secara umum dimaksudkan sebagai pengorbanan jiwa yang digunakan untuk
41
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. terj. Moh. Zuhri, Semarang: Dina Utama, 1994, h. 315. 42 Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2002, h. 8. 43 Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit h. 250.
94
memelihara agama. Sebagai bentuk dari pelaksanaan jihad. Oleh sebab itu diperlukan persiapan dan strategi harus dijadikan perhitungan dengan melihat faktor kemaslahatan dan kemadharatanya.
Sehingga kemurnian niat dan
metode yang digunakan untuk mencapai tujuan dibenarkan sesuai syari’at sebagaimana yang Allah telah perintahkan sebagai bentuk dari jihad fi sabilillah. Pelaksanaan jihad yang dilakukan Imam Samudra dilakukanya dengan tindakan intimidasi dan terror yang dilakukan di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Dilakukanya dengan melakukan peledakan. Untuk mencari kesyahidan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan. Hal seperti itu sudah dijelaskan bahwa itu sudah menyalahi dari pemaknaan fi sabilillah dari jihad. Dan pengorbanan yang dilakukan pun tidak sebagai bentuk dari Pengorbanan jiwa yang digunakan untuk memelihara agama. Sehingga pemaknaan hifz din, hifz an-nafs, Hifzh al-‘aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal telah dilanggar. Konsekuensi yang diterima berupa perbuatan yang dilakukannya tersebut termasuk dalam kategori kejahatan.
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan Bunuh Diri Sebagai Jihad Tindakan bunuh diri yang mengakibatkan jatuhnya korban merupakan salah satu dari bentuk kejahatan. Sebagaimana kasus-kasus peledakan yang terjadi di Indonesia dimana dalam aksinya menimbulkan hilangnya nyawa dan luka-luka dari penduduk sipil. Disamping itu pelaku peledakan/pelaksananya kemungkinan
95
besar mengalami kematian/kehilangan nyawa dalam aksinya, sehingga tidak bisa di jerat hukuman dunia. Oleh karena itu, bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap Bagaimana hukuman yang harus diberikan bagi pelaku yang terkait. Terdapat beberapa pihak pelaku jarimah terkait dalam aksi ‘bunuh diri’ antara lain pelaku bunuh diri, dan orang yang mendorong, menolong dan memberikan saran untuk melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, perlu adanya klasifikasi tindak kejahatan mengenai masing-masing pelaku jarimah. Apakah termasuk kedalam jarimah hudud, qishash dan ta’zir. Dalam kasus peledakan seperti yang terjadi di Bali, yang mengakibatkan meninggalnya pelaku peledakan dan juga menewaskan nyawa manusia lainya adalah bentuk dari sebuah kejahatan. Aksi tersebut adalah sebuah aksi yang menyebarkan kehancuran di atas bumi atau yang disebut sebagai pemberontakan (al-Baghyu). Pada kasus bunuh diri yang mana menimbulkan hilangnya nyawa dan luka-luka dari penduduk sipil dan juga pelakunya. Dalam kasus ini, sudah mengandung unsur jarimah, karena menyebabkan hilangnya nyawa dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik. Penulis menggunakan metode ijtihad qiyas untuk menyamakan perbuatan ini dengan perampokan (Al-Bagyu) dan menentukan hukuman bagi pelaku perbuatan ini. Qiyas adalah mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang sudah ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.44
44
Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, h. 66
96
Dalam penentuan hukuman pelaku jarimah ini penulis menggunakan metode qiyas untuk menyamakan kasus penyerangan dengan bunuh diri dengan kasus pemberontakan (al-Baghyu) yang sudah ada ketetapan dalil dan ketentuannya. Oleh karena itu perbuatan tersebut dalam metode ijtihad qiyas perbuatan tersebut harus memenuhi rukun-rukun qiyas, yaitu: 1. Al-Ashlu Al-ashlu ( ) اﻷﺻﻞadalah objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh Ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah SAW, atau ijma’ Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu diqiyaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Adapun dalil syar'i yang dapat dijadikan Dasar hukum untuk jarimah pemberontakan dalam surat Al Hujuraat ayat 9-10 :
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya
97
menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat : 9-10).45 2. Al-Far’u Al-Far’u adalah sesuatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ yang hendak ditemukan hukumnya melalui Qiyas. Al-Far’u dalam kasus ini adalah penyerangan dengan bunuh diri, kejahatan ini dilakukan dengan menggunakan perantara manusia yang ikut meninggal dalam penyerangan. Alasan penulis menyamakan perbuatan ini dengan perbuatan Al-Bagyu karena kejahatan semacam ini berakibat sama dengan al-Bagyu yaitu membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap
suatu
target
yang
sasarannya
masyarakat
sebagai
bentuk
ketidaktaatan terhadap suatu kepemimpinan seperti contoh kasus bom bunuh diri di Bali. Akan tetapi pelaku yang seharusnya mempertanggung jawabkan perbuatanya menjadi hilang pertanggung jawaban hukumanya diakibatkan karena meninggalnya pelaku. Unsur terkait yang dari tindakan yang dilakukan dalam turut serta melakukan jarimah. 3. Hukum Asl Hukum asl merupakan hukum syara’ terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma’ yang hendak diberlakukan pada furu’ (cabang) dengan cara Qiyas. Hukuman asl dari pertanggung jawaban tindakan pidana 45
Departemen Agama RI, h. 846.
98
pemberontakan berbeda sesuai tindak pidana yang dilakukannya. Pertama, sebelum mughbalabah maka hukumannya sesuai dengan ketentuan jarimah yang dilakukan pelaku dan kedua, pada saat terjadinya mughalabah (aksi pemberontakan) maka hukuman untuk jarimah pemberontakan adalah diperangi dan ditumpas dengan segala akibat yang timbul seperti pembunuhan, pelukaan atau pemotongan anggota badan. 4. Al-Illat Menurut istilah Abdul Wahab Khallaf menyatakan bahwa ‘illat adalah suatu sifat pada ashl menjadi landasan adanya hukum. Dalam kasus ini kedua perbuatan ini dapat disamakan karena suatu illat yaitu mengganggu stabilitas keamanan masyarakat.
Penentuan illatnya diambil melalui nash
yang terdapat pada kata ( )ﻓﺈن ﺑﻐﺖyang didalamnya mengandung lafadz إن (inna) . Dalam perbuatan itu sendiri akibat yang ditimbulkan dari perbuatan penyerangan dengan bunuh diri dan Al-Bagyu hampir sama. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa perbuatan penyerangan dengan bunuh diri dan Al-Bagyu dapat disamakan karena telah memenuhi syarat-syarat qiyas sehingga hukuman yang diberikan pada pelaku penyerangan bunuh diri sebagaimana hukuman yang diberikan pada pelaku pemberontakan atau al-Bagyu yaitu bisa diberikan hukuman ta’zir yang bisa mencapai hukuman mati. Diberikannya hukuman mati bertujuan untuk menghentikan pemberontakan dan melumpuhkannya. Pertanggungjawaban terhadap tindak pidana pemberontakan ini memiliki dua ketentuan pertanggungjawaban yaitu secara khusus sebelum dan sesudah
99
pemberontakan. Adapun kejahatan waktu pemberontakan ada dua macam, yaitu kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan kejahatan yang tidak berkaitan langsung.46 Kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan seperti pengeboman, merusak bangunan, membunuh dan sikap tidak tunduk kepada pemerintah. Maka semua itu diancam dengan hukuman pemberontakan yang diserahkan kepada Ulil Amri, yakni bisa diberi hukuman mati bila Ulil Amri tidak memberi ampunan (amnesti). Apabila mereka telah menyerah dan meletakkan senjata, maka penumpasan harus dihentikan dan mereka dijamin keselamatan jiwa dan hartanya, tindakan selanjutnya pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni mereka
atau
menghukumnya
dengan
hukuman
ta’zir
atas
tindakan
pemberontakan mereka. Sedangakan menurut Abdul Qadir al-Qaudah untuk tindak pidana pemberontakan diberi hukuman diperangi atau menumpahkan darah dan harta pemberontak dengan kadar yang bisa memberikan efek jera dan menumpas gerakan mereka.47 Adapun kejahatan yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti pencurian dan penghasutan tetap harus mereka pertanggungjawabkan sebagai pidana hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Oleh
karena
itu,
hukuman
untuk
pelaku
pemberontakan
dapat
diberlakukan sama dengan pelaku penyerangan bunuh diri yaitu pemerintah bisa memaafkan mereka atau memberikan hukuman ta’zir karena itu merupakan tindak pidana politik dan berlakunya hukuman tersebut diberikan untuk pemberontakan 46
Ahmad Wardi Muslich, Ibid. h.112 Abdul Qadir al-Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid V, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2009, h. 256 47
100
yang mereka lakukan, tetapi bukan atas tindak pidana yang mereka lakukan ketika melakukan pemberontakan. Sedangkan hukuman untuk tindak pidana yang diperlukan oleh suasana pemberontakan dan peperangan seperti pembunuhan, pelukaan dan pemotongan anggota badan adalah hukuman mati dengan syaratsyarat yang telah disebutkan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis bahas mengenai bunuh diri sebagai bentuk jihad dalam perspektif hukum pidana Islam (study analisis pemikiran Imam Samudra dalam buku ‘Aku Melawan Teroris’) maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Pemahaman Imam Samudra Tentang Alasan Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad Penulis kurang setuju dengan konsep jihad yang dipahami oleh Imam Samudra. Pemaknaan jihad yang dikatakannya sebagai perang suci adalah tidak salah, karena dalam penerapannya Rasulullah juga melakukan peperangan dengan mengatas namakan sebagai bentuk salah satu dari jihad. Akan tetapi tidak setiap jihad adalah perang karena memiliki perbedaan motif dan tujuan. Motif jihad di sini adalah fii sabilillah dengan tujuan melakukan pembelaan dan melindungi atas kepentingan manusia melalui lima prinsip (al-dharuriyat al-khamsah) yakni, Hifzh al-din, Hifzh al-nafs, Hifzh al-‘aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal. Aspek terpenting bagi pelaksanaan jihad dalam artian perang yaitu hukum bagi subjek jihad dan ruang jihad. Pelaksanan jihad mengunakan cara yang mirip dengan ‘bunuh diri’ memiliki keterkaitan antara pembelaan dan pengorbanan. Pembelaan sebagai konsekuensi dari Hifzh al-din dengan pengorbanan Hifzh alnafs. Maka dari itu Hifzh al-din harus di utamakan dengan bentuk pengorbanan dirinya sendiri. Pengorbanan bukan berarti tindakan konyol bunuh diri, akan tetapi tindakan yang sudah diperhitungkan konsekuensi untung dan rugi bagi musuh dari pelaksanaannya.
101
102
2. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Tindakan Bunuh Diri Sebagai Jihad Pada kasus bunuh diri sebagai jihad yang dilakukan oleh Imam Samudra dkk, di Bali maka ketentuan hukum pidana Islamnya dilakukan dengan jalan qiyas untuk menyamakan kasus penyerangan dengan bunuh diri dengan pemberontakan (al-Baghyu) yang sudah ada ketetapan dalil dan ketentuannya. Al-Aslunya adalah al-Baghyu dengan ketentuan surat al-Hujuraat ayat 9 dan an-Nisa ayat 59. Al-far’u adalah penyerangan dengan bunuh diri dengan menggunakan perantara manusia yang ikut meninggal dalam penyerangannya. Sedangkan hukum asl dari pertanggungjawaban pidana yang dilakukannya adalah ada dua. Pertama, sebelum mughalabah (aksi pemberontakan) maka hukumannya sesuai dengan ketentuan jarimah yang dilakukan pelaku dan kedua, pada saat terjadinya mughalabah maka hukuman untuk jarimah pemberontakan adalah diperangi dan ditumpas dengan segala akibat yang timbul. Serangan bunuh diri dengan alasan jihad dapat disamakan dengan al-baghyu karena mempunyai persamaan illat yaitu perbuatan itu membawa dampak yang sama berupa mengganggu stabilitas keamanan masyarakat. Hukuman untuk pelaku pemberontakan dapat diberlakukan sama dengan pelaku penyerangan bunuh diri yaitu pemerintah bisa memaafkan mereka atau memberikan hukuman ta’zir. Sedangkan hukuman tindak pidana yang diperlukan dalam suasana pemberontakan dan peperangan seperti pembunuhan, pelukaan dan pemotongan anggota badan adalah hukuman mati dengan syarat yang telah disebutkan.
103
B. Saran Berdasarkan penelitian di atas merupakan sebagai sumbangsih dari ‘perang ide’ dan salah satu sumbangan untuk memperkaya apa yang sudah ada. 1. Bagi seorang Muslim harus berusaha membangun kedamaian dan keadilan dengan berdasarkan perintah Allah Swt untuk menegakkan keadilan di dunia. Hal ini bisa terwujud melalui sebuah perjuangan atau jihad. 2. Seorang muslim harus menghindarkan perang fisik dan konfrontasi kecuali dalam keadaan terpaksa dan untuk membela diri. Bahkan, dalam keadaan terpaksa aturan-aturan yang digariskan agama harus diperhatikan. 3. Muslim harus berjuang memelihara kesucian dan mempertahankan keadilan, tetapi tidak menggunakannya pada tujuan-tujuan yang bertentangan dan malah merusak, tidak hanya realitas dasar Islam, tetapi juga realitas agama itu sendiri. C. Penutup Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Bunuh Diri Sebagai Bentuk Jihad dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Pemikiran Imam Samudra dalam Buku ‘Aku Melawan Teroris’)”. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun, guna menjadikan skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdul Aziz, Imam Samudra : Aku Melawan Teroris, Solo : Jazera, 2004. Abdul Qadir al-Audah, At-Tasyri’ al-Jina’I al-Islamy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, Terj. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid V, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2009. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri, Semarang: Dina Utama, 1994. Abdullah Azzam, Perang Jihad di Jaman Modern, terj. Salim Basyarahil, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. --------------------, Tarbiyah Jihadiyah, terj. Abdurrahman, Solo: Pustaka al-‘Alaq, 1993. --------------------, Ayatur Rahman fi Jihadi Afghan, Jeddah : An-Nasyir alMujtami' Cet. 5. 1405H/1985M Abu Abdillah Muhammad ibn Islam’il al-Bukhari, Al-Jami’ as-Shahih, juz 2, Beirut: Dar Tauq an-Najah, 1312 H. Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini, Sunan Ibnu Mâjah, Juz 12. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Abu Dawud Sulaiman ibn Asy-Asy’as As Sijistani, Sunan Abi Dawud, Juz 3, Beirut : Dar al-Hazm, 1997. Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al Khumi Al Ghamathi al Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, Beirut : Dar al Ma’rifah, tt, juz II. Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Ahmad Al Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Jakarta : Grafika Offfset. 2009. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz 11, Kairo: Mu’assasah Qurthubah, t.th.
104
105
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Progressif. 1997. Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Idris Thaha (ed.), Jakarta : Republika, 2007. Al-Qadah, Muhammad Tho'mah, Aksi Bom Syahid dalam pandangan Hukum Islam, Pustaka Umat, Bandung, 2002. Ba’abduh, Luqman bin Muhammad. Mereka adalah teroris. Malang : Pustaka Qaulan Sadida. 2005. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Charles A. Corr , Clyde M. Nabe, Donna M. Corr, Death and Dying, Life and Living, Fourth Edition, USA: Wadsworth Inc, 2003. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Diponegoro, 2007. Dzulqarnain M Sunusi, Antara Jihad dan Terorisme (Pandangan Syar’I terhadap Terorisme, Kaidah-kaidah seputar Jihad, Hukum Bom Bunuh Diri & Studi Ilmiah Terhadap Buku Aku Melawan Teroris. Makassar : Pustaka AsSunnah. 2011. Enizar, Jihadi The Best Jihad for Moslems, Jakarta : Amzah, 2007. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Ramburambu Syariah, Bogor: Kencana, 2003. Haji Agus Salim, Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme, St. Sularto (ed.), Jakarta: Gramedia, 2004. Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed.), New York : Spoken Language Services Inc., 1976. Hossein Nasr, The Heart Of Islam: Pesan-Pesan Universal Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003. J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, cet. ke-9, terj Dr. Kartini Kartono, Jakarta: Rajawali Pers. 2004. Theo Huijbers, Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius. 1990.
106
Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtâr ‘Alâ ad-Durr al-Mukhtâr, Beirut: Dar Ihya Al-Turas Al Arabi, tt, Juz 3. Ibnu Mandhzur, Lisan al-Arab, Beirut: Daar Ehia al-Tourath, Juz II, 1999. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Mukhtashar Zaadul Maad, terj. Marsuni as-Sasaky, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Kairo : Maktabah al-Qohiroh, t.t. Ibnu Rusyd, Bidayah Al Mujtahid, Juz 1, Beirut: Dar Al-Jail, 1989. Imam Badr Al-Aini, Umdatul Qori’ Syarah Saheh Bukhari, Juz 34, Beirut: Darul Fikr, t.t. Irawan, Prasetya, Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1999. Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Rajawali Pers, 2002. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayumedia Publishing. 2005. Kasjim Salenda, Terorisme Dan Jihad Dalam Perspektif Hukum Islam, Cet I, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009. Kaulani, Muhammad Fatahullah. ‘Ilaul kalimatullah auw jihad. Turki : Daralnile. KUHP dan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Luthfi Assyaukani, Politik, HAM, dan isu-isu teknologi dalam fikih kontemporer, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Maulani, ZA, dkk. Terorisme dan Konspirasi Anti Islam. Jakarta : Pustaka AlKautsar. 2002. Michael Clinton, Mental Health and Nursing Practice, Australia: Prentice Hall, 1996. Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I, Jakarta: LSIP, 2004. Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili, Dari Jihad Menuju Ijtihad, Cet. I, Jakarta: LSIP, 2004. Muhammad Abu Zahrah, Al ‘Alaqah al-Dauliyah, Kairo: Dar Al Fikri, t.t. Muhammad Asfar, dkk. Islam Lunak Islam Radikal Pesantren, Terorisme dan Bom Bali. 2003. Surabaya : JP Press.
107
Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab. Terj. Abdullah Zaki Al Kaf. Bandung : Hasyimi. 2010. Muhammad bin Ahmad al-Qurtubi, Al Jami’li Ahkam Al Quran Jild. 5. Kairo: Dar Al-Kitab, 1967. Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’annul Majid An-Nur, Jilid I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000. Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz VIII, Bairut: Dar al-Fikr, 1983. Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Al Hayat Wal Maut, Kairo: Mu'assasah Akhbar, 1977, h.79 Muhammad Syarbini, Al-Iqnak, Beirut : Dar al-Fikr, 1425. Juz II. Murtadha Muthahari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. -------------------------, Jihad. Bandar Lampung : YAPI. 1987. Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Jami’ al-Shahih, Juz 6 Riyad: Dar ‘Alim alKutub, 1996. Narbuko, Kholid dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian: memberikan bekal teoreis pada mahasiswa tentang metodologi penelitian serta diharapkan dapat melaksanakan penelitian dengan langkah-langkah yang benar. Jakarta : Bumi Aksara. 2010 Nawaf Hayil Takruri, Al Amaliyat al-Istisyhadiyah Fi al-Mizan al-Fiqhi, Damaskus: Dar Al-Fikr, , 2003. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Rohimin, Jihad Makna & Hikmah. Jakarta: Erlangga, 2006. Ronald W. Maris , Alan L. Berman, Morton M. Silverman, Comprehensive Textbook Of Suicidology. Belmont: Guilford Press. 2000. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press. 1986. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Rajawali Press, 1997. Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, Cet 1, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.
108
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008. Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani, 2003. Wahab al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘adillatuhu, Juz VI, Beirut : Dar al-Fikr, 1989. Yuana Ryan Tresna, Muhammad Saw on The Art of War Manajemen Strategi Peperangan Rasulullah Saw, Bandung : Progressio, 2007. Yusuf Qardhawi, As-Shahwah Al-Islamiyah Bainal Judud wat-Tatharuf, terj. Islam “Ekstrem” Analisis dan Pemecahannya. Bandung : Mizan. 1985. ---------------------, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur'an dan Sunnah, terj. Irfan Maulana Hakim, Bandung: Mizan, 2010. Zuly Qodir, Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad, Kedua, Yogyakarta : KANISIUS, 2010
B. Jurnal dan Internet M. Nashir Jamaludin, Bom Bunuh Diri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Hasil Munas NU tahun 2002 dalam Bahtsul Masa'il Waqiyyah Siyasiyyah), Skripsi Syari’ah, 2004, t.d Rico Setyo Nugroho, “Jihad fi Sabilillah dalam Pemikiran Imam Samudra dalam Buku Aku Melawan Teroris (Ditinjau dari Perspektif Dakwah)”, Skripsi Dakwah, Semarang, 2006, t.d. Muhammad Syawali, Studi Analisis Konsep Maulana Muhammad Ali tentang Jihad, Skripsi Syari’ah, Semarang, 2009. t.d. http://fatwa-online.com/news/0030518.htm http://kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=23&idsu=12&id=19 http://www.scribd.com/doc/18799174/Fatwa-MUI-tentang-Terorisme Tempo,
Imam
Samudra:
“Demi
Allah,
Tak
Akan
Selesai”,
diakses
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/10/13/LK/mbm.2003101 3.LK90850.id.html.
109
---------, Kronologi Kasus Imam Samudra, diakses http://www.tempo.co.id/hg/ timeline/ 2004/05/10/tml,20040510-03,id.html M. Din Syamsuddin, NKRI, Negara Perjanjian & Kesaksian (Darul Ahdi dan Darus
Syahadah),
2011.
h.
8.
diunduh
dari
http://www.m-
dinsyamsuddin.com/download/category/1-artikel?download=2%3 Ataushiyah- kebangsaan-oleh-m.-din-syamsuddin Maggie Michael, Bin Laden in Statement to U.S. People, Says He Ordered Sept. 11
Attacks,
diakses
http://legacy.signonsandiego.com/news/nation
/terror/20041029-1423-binladentape.html Vivanews, Kesaksian M. Salik Firdaus pelaku aksi peledakan Bom Bali II, diakses http://lipsus.vivanews.com/bom_bali/lipsus_detail_bagian_3c.html Wikipedia, Bunuh diri, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri -----------,
Casualties
of
the
September
11
Attacks,
diakses
dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Casualties_of_the_September_11_attacks. -----------, Imam Samudera, diakses http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Samudera. -----------, Suicide, diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI: Nama Lengkap
: Shohibul Ibad
Tempat, Tanggal Lahir
: Demak, 25 Februari 1988
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Alamat
: Purwosari Rt. 01 Rw.02 Kec. Sayung Kab. Demak
No. HP
: 085641674250
PENDIDIKAN FORMAL :
SD Negeri 3 Purwosari Sayung, Demak
lulus tahun 1999
SMP Darul Islah Sayung, Demak
lulus tahun 2003
SMA Negeri 01 Lasem, Rembang
lulus tahun 2006
PENGALAMAN ORGANISASI :
Anggota BEMJ Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
tahun 2009
Semarang, 12 Juni 2012 Penulis,
Shohibul Ibad NIM. 072211030