Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia
Pusat Penginderaan Jauh Institut Teknologi Bandung Bandung, Indonesia 40132
ISBN 978-602-19911-1-4 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek IX-C, lt. 3 Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 http://crs.itb.ac.id email:
[email protected]
Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil Sumber gambar bunga : http://www.cepolina.com/ Cetakan Pertama : Mei 2012 Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Teknologi dibuat dan dikembangkan oleh manusia dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan. Merupakan hal yang penting untuk selalu melakukan inovasi dan memanfaatkan teknologi yang telah ada untuk aplikasi-aplikasi yang sangat bermanfaat bagi manusia. Penginderaan jauh, yang memiliki kemampuan memberi gambaran muka bumi, dapat memberi informasi akurat mengenai fenomena-fenomena spasial yang terjadi di permukaan bumi. Analisis yang dilakukan terhadap data penginderaan jauh telah banyak dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mulai dari permasalahan lingkungan, pemantauan cuaca, hingga perkembangan ekonomi. Buku berjudul ‘Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia’ ini dimaksudkan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah dalam bidang penginderaan jauh. Karya ilmiah mengenai perkembangan satelit radar, aplikasi penginderaan jauh dalam pemantauan atmosfer, perhitungan stok karbon, hingga pemodelan kota tiga dimensi menjadi bagian dalam buku ini. Redaksi berharap buku ini dapat menjadi media publikasi yang baik dan bermutu serta dapat dijadikan sumber pengetahuan baru dalam bidang penginderaan jauh. Tentunya partisipasi dari para penulis lain juga dinantikan agar semakin banyak inovasi baru mengenai pemanfaatan penginderaan jauh di masa yang akan datang.
Ketut Wikantika
i
SEKAPUR SIRIH
Penginderaan Jauh dalam Konteks Geospasial dan Perlunya Pemimpin Berpengetahuan Geospasial
Ketut Wikantika Kelompok Keilmuan Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung Email :
[email protected]
1. Paradigma Baru Geospasial Terminologi geospasial saat kini semakin bermakna luas dan mempunyai keterkaitan erat antar ilmu disiplin satu dengan yang lainnya. Geospasial dalam arti terbatas bermakna “sesuatu” yang berkaitan dengan lokasi geografis dan karakteristik alamiah maupun obyek terkonstruksi serta batas-batas yang ada di permukaan, di atas dan di bawah permukaan bumi (Dictionary.com). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 dijelaskan bahwa geospasial adalah sifat keruangan yang menunjukkan posisi atau lokasi suatu obyek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi dengan posisi keberadaannya mengacu pada sistem koordinat nasional. Dan menurut Hagget (1978), arti “geo” pada geospasial bermakna geosfer (atmosfer), litosfer (lapisan kulit bumi), pedosfer (tanah beserta pembentukannya), hidrosfer (lapisan air yang menutupi permukaan bumi, misal danau, sungai, laut), biosfer (segenap unsur di permukaan bumi yang membuat kehidupan dan prosesnya) dan antroposfer (manusia dengan segala aktifitasnya). Jika definisi-definisi tersebut digabung tentunya lebih bermakna luas karena tidak hanya sifat fisik saja yang diamati, dianalisis, diidentifikasi dan divisualisasikan tetapi juga sifat atau aspek lain seperti sosial, budaya, kebiasaan, serta hal-hal lain yang bersifat non fisik. Saat kini, kesadaran akan pentingnya data dan informasi geospasial sudah mulai terbangun khususnya di Indonesia sejak terjadinya gempa dahsyat dan tsunami yang melanda Aceh dan wilayah sekitarnya tahun 2004. Kesadaran geospasial (geospatial awareness) bermunculan pada sebagian besar individu di instansi terkait pemerintah, organisasi masyarakat, lembaga non pemerintah dan kelompok masyarakat lainnya termasuk di komunitas pendidikan. Kesadaran lain yang juga terbangun secara langsung maupun tidak langsung karena ternyata baru “sadar” bahwa Indonesia adalah negeri yang “kaya” akan bencana. Ini hanya merupakan salah satu contoh bagaimana kita dapat memaknai karakteristik wilayah Indonesia secara geografis, geologis, meteorologist, topografis dan aspek lain sehingga muncul kesadaran bencana (disaster awareness) (Wikantika, 2005). Kesadaran bencana dan kesadaran geospasial mendorong dan memotivasi setiap individu untuk saling berinteraksi, berbagi dan bekerjasama dalam hal pengetahuan dan teknologi geospasial. Interaksi dan kerjasama termasuk penelitian,
ii
inovasi ini “melahirkan” suatu paradigma baru dalam “melihat” teknologi geospasial sebagai suatu alat berbasis geospasial secara utuh.
Gambar 1. Interaksi, kerjasama, inovasi “melahirkan” paradigma baru geospasial (sumber: Wikantika, 2007)
Aktifitas geospasial dapat terjadi di matra laut, darat, maupun udara (termasuk di lapisan atmosfer dan ruang angkasa), pada masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang (Gambar 1). Kegiatan tersebut terjadi pada suatu wilayah yang terbatas (lokal), regional, nasional maupun global. Perkembangan teknologi geospasial dan aplikasinya melalui beberapa fase. Fase yang pertama dapat dikatakan sebagai fase awal atau tahapan awal pengembangan teknologi geospasial yang sifatnya standar dimana data geospasial dikumpulkan, diolah, dianalisi, disajikan dan jika perlu dimodelkan. Fase berikutnya adalah mengintegrasikan semua hasil pada fase pertama kemudian dilengkapi data sekunder dan atau informasi lainnya yang bersifat non geospasial menjadi sebuah sistem informasi terintegrasi berbasis geospasial dan non geo spasial. Pada tingkat pengambilan keputusan, perlu dibangun suatu sistem pengambil keputusan terintegrasi berbasis geospasial dan non geospasial. Fase-fase ini akan terus berkembang tergantung kebutuhan manusia dalam menjalani hidupnya di bumi dan kemungkinan melanjutkan kehidupannya di planet lain. Tentunya fase-fase ini akan terus berkembang jika didukung oleh suatu pengetahuan dan teknologi informasi, komunikasi dan komputer. Dan hal ini sudah terbukti dengan produksi film-film seperti Avatar yang termasuk dalam fase geo-entertainment termasuk film-film sejenis lainnya. Ketika fase-fase tersebut berkembang, teknologi pengolahan data geospasial semakin intensif dikembangkan, dilain pihak interaksi dan komunikasi serta sharing
iii
antar peneliti dengan latar belakang beragam (multi-disiplin) memunculkan kelompokkelompok kajian baru. Salah satunya adalah geo-planning yang diartikan sebagai proses perencanaan berbasis geospasial. Adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika perencanaan suatu wilayah tanpa data geospasial, tanpa informasi terkait dengan kondisi wilayah (geografis, topografis, lanskap dan lainnya) tersebut. Karakteristik sosial-ekonomi suatu wilayahpun dapat dikaji melalui suatu rangkain studi yang pada dasarnya ingin mendapatkan informasi yang terkait dengan pola dan status sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Status sosial pada umumnya ditunjukkan oleh karakteristik populasi (penduduk) melalui jenis, pola dan sebaran permukiman. Sedangkan aspek ekonomi dapat dikaji melalui karakteristik tutupan lahan dan tata guna lahan. Istilah yang sering digunakan untuk mengkaji status sosial-ekonomi suatu wilayah disebut dengan socio-economic mapping. Begitu besar peluang berkembangnya komunitas-komunitas baru dalam mengintegrasikan pendekatan geospasial dengan suatu kajian ilmu tertentu sehingga memunculkan beragam kajian baru seperti geo-intelligence, geo-biodiversity, geoenvironment, geo-culture dan lain-lain. Kajian-kajian baru ini akan menumbuhkan kekuatan dalam mencari solusi-solusi alternatif dari masalah-masalah yang ada untuk ketangguhan bangsa dan ketahanan negara yang pada akhirnya paradigma baru geospasial ini akan dapat berkontribusi dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Penginderaan Jauh dan Undang-undang Informasi Geospasial Sejak diundangkannya aturan baru terkait dengan informasi geospasial yaitu Undang-undang Informasi Geospasial (UU No. 4 tahun 2011) maka semakin jelas peran teknologi penginderaan jauh di Indonesia. Undang-undang ini secara tegas mengatur penyelenggara dan penyelenggaraan informasi geospasial dasar (IGD) dan informasi geospasial tematik (IGT). Kegiatan penyusunan IGT dapat dilakukan oleh badan pemerintah bahkan oleh perorangan. Hal ini sangat sesuai dengan dinamika pengumpulan data geospasial dengan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh mempunyai kemampuan secara temporal untuk merekam fenomena perubahan terhadap obyek yang diamati terutama untuk produk penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial menengah dan kecil. Dengan keleluasaan bagi perseorangan untuk membuat IGT tentunya ini akan memberikan peluang yang sangat bagus bagi para peneliti untuk semakin meningkatkan aktifitas penelitiannya, karena secara legal sudah terlindungi dengan undang-undang tersebut. Sedangkan penyelenggaraan kegiatan pengumpulan IGT dapat menggunakan wahana darat, air, udara, dan ruang angkasa (satelit). Penyelenggaraan kegiatan tersebut wajib mendapatkan ijin jika menggunakan wahana selain satelit. Ini berarti memberikan keuntungan positif bagi para peneliti, badan swasta, perorangan dalam melakukan kegiatannya karena sampai saat ini data penginderaan jauh yang ada, sebagian besar dikumpulkan dari perekaman wahana satelit. Dilain pihak, Badan Informasi Geospasial (BIG), yang nantinya akan menjadi nama baru dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) akan mendapatkan banyak masukan dalam melakukan pengumpulan data geospasial melalui teknologi penginderaan jauh. Selain itu, dengan semakin banyaknya hasil penelitian terkait dengan pengumpulan IGT, maka diharapkan hasil ini akan menjadi public domain yang dapat diakses oleh siapapun.
iv
3. Kepemimpinan Berpengetahuan Geospasial Sebagian besar orang Amerika dan mungkin juga dunia mengenal dan paham peran George Washington sebagai pemimpin tentara melawan kekuatan Inggris saat terjadi Revolusi Amerika, dan George Washington sebagai Presiden Amerika yang pertama (lcweb2.loc.gov). Tetapi banyak yang tidak megetahui bahwa kehidupan mantan Presiden tersebut terkait dengan dunia geografi dan kartografi. Dia ternyata seorang surveyor dan pembuat peta (mapmaker). Antara tahun 1747 – 1799, Washington melakukan survei lebih dari 200 bidang tanah dengan total luas sekitar 6,5 juta meter persegi di 37 tempat berbeda. Setelah meninggal pada tahun 1799, lebih dari seribuan biografi mengulas kehidupan George Washington (Gambar 2). Sebagian besar dari biografi tersebut mengulas kehidupan sang mantan Presiden sebagai surveyor, bukan sebagai Presiden Negara Adidaya Amerika! George Washington hanyalah salah satu contoh pemimpin dunia yang punya kecerdasan geospasial. Kecerdasan geospasial yang dimilikinya dia bangun sebagian besar karena karirnya sebagai surveyor, dan dengan karirnya tersebut dia menjadi paham dengan negaranya sendiri, berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya. Washington paham betul apa yang menjadi kebutuhan wilayah tersebut dan mengerti apa yang menjadi “keunikan” suatu wilayah yang dia survei, dan kadang-kadang karena keunikannya justeru menjadi kelemahan wilayah tersebut. Karir sebagai tentara juga sangat membantu dan mewajibkan dia untuk mengerti persis suatu wilayah, apalagi untuk tujuan memata-matai musuh. Singkat kata, George Washington menjadi sosok pemimpin yang punya visi untuk mempertahankan Amerika sebagai negara yang utuh dan berdaulat. Tentu saja, sosok kepemimpinan berpengetahuan geospasial yang dimiliki Washington, salah satunya, mengantarkannya menjadi Presiden Amerika yang pertama.
Gambar 2. Soekarno: Presiden Indonesia ke-1 (kiri) dan George Washington: Presiden Amerika ke-1 (kanan) (sumber: id-id.facebook.com, oztorah.com)
v
Jika George Washington adalah Presiden Amerika pertama dengan karir sebagai tentara dan surveyor (juru ukur tanah) mengantarkannya menjadi pemimpin dunia berpengetahuan geospasial. Bagaimana dengan Indonesia? Adakah pemimpin Indonesia berpengetahuan geospasial? Jawabnya adalah ada! Pemimpin tersebut adalah Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia (Gambar 2). Soekarno adalah “penggali” Pancasila karena dia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia dan dia sendiri yang menamainya Pancasila (id.wikipedia.org). Selain sebagai konseptor Pancasila, Soekarno juga dikenal sebagai arsitek beberapa bangunan bersejarah bersama Ir. Anwari dan Ir. Rooseno. Kalau kita cermati sila ke tiga dari Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia” (The unity of Indonesia), maka sila ini mengandung makna yang sangat dalam. Salah satu makna dari sila ini adalah mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa. Makna ini mengandung arti “keruangan” atau wilayah secara geografis membentang dari Sabang sampai Merauke. Sila ke tiga inilah yang menunjukkan betapa pengetahuan tentang ruang (geospasial) dimiliki oleh Soekarno. Soekarno sebagai arsitek pun menunjukkan bahwa beliau memang seorang pemimpin berpengetahuan geospasial. Dan semangat Soekarno untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun tetap terjaga sampai sekarang. DAFTAR REFERENSI Hagget, P., Geography: Modern synthesis, 1978. Wikantika, K., Mitigasi bencana berbasis geospasial dan partisipasi masyarakat: Mewujudkan spatial awareness dan disaster awareness, Kuliah Kapita Selekta Infrastruktur, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB, 2005. Wikantika, K., Urban sprawl phenomenon detection using spectral mixture analysis from multitemporal Landsat satellite images: A study case in Bandung basin, Indonesia, The 13th CEReS International Symposium on Remote Sensing “Disaster Monitoring and Mitigation in Asia”, Chiba University, Japan, October 29-30, 2007. Wikipedia, [http://id.wikipedia.org][diakses 10 Desember 2011].
vi
DAFTAR ISI Kata Pengantar.............................................................................................................. i Sekapur Sirih ............................................................................................................... ii Daftar Isi.................................................................................................................... vii Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh ........................................................ 1 Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model ............25 Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura- Omi ..............................39 Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Sciamachy ..................................................................................................55 Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida di Indonesia ..............................................................................................70 Aplikasi Indraja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas Enso dan Iod .......................................................................................................................80 Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia Observasi menggunakan Data TRMM 3B43 ...............................................................92 Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang ............................................................... 109 Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung......................... 132 Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging ................................................................................................................... 143 LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi ............ 156
vii
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh
Ishak Hanafiah Ismullah Kelompok Keilmuan Inderaja dan Sains Informasi Geografis, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Abstrak Sistim Radar atau RAdio Detection and Ranging semakin berkembang termasuk dalam pemanfaatannya di bidang penginderaan jauh. Sebagai salah satu sistim penginderaan jauh aktif, sistim radar memanfaatkan gelombang mikro yang dipancarkan dalam berbagai panjang gelombang untuk memperoleh lokasi objek-objek di permukaan bumi. Penggunaan sistim radar pada pemetaan diawali dengan sistim radar apertur riil di mana penciteraan dilakukan ke arah miring (side looking). Permasalahan pada panjang antenna untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi pun terpecahkan dengan dikembangkannya sistim radar apertur sintetik (SAR) pada wahana satelit ERS, TerraSAR, maupun dengan pesawat seperti SRTM, sehingga memungkinkan untuk dilakukan penelitian pada berbagai disiplin ilmu menggunakan citra ini. Tidak hanya sampai di sana, penginderaan jauh radar kemudian dikembangkan dengan memanfaatkan perbedaan fasa yang diterima melalui sensor atau epok yang berbeda, yang disebut sebagai radar apertur sintetik interferometris (InSAR). Hal inilah yang kemudian mendukung penggunaan citra radar untuk menghasilkan DEM dengan ketelitian tinggi, pemetaan arus laut, dan peta kontur. Kata kunci : Radar, SAR, Radar Interferometris. Abstract Radar or Radio Detection and Ranging system is still developed including in its utilization of remote sensing sector. As one of the active remote sensing system, radar use microwaves emited in various wavelengths to obtain the location of above ground objects. Utilization of radar in mapping sector was begun with riil aperture radar (RAR) system in which imaging system was done by the obliquity (side looking). Problems of the antenna length to obtain high resolusion was solved by the development of synthetic aperture radar (SAR) on spacecrafts such as ERS and TerraSAR, or aircraft such as SRTM, making it possible to do research in various disciplines. Furthermore, radar remote sensing the developed into the utilization of phase differences received by different sensors or at different times, called interferometric synthetic aperture radar. This system also support the use of radar imagery to produce high resolution DEM, sea current mapping, and contour map. Keywords : Radar, SAR, Interferometric Radar.
1
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Berawal dari percobaan yang dilakukan oleh H.R.Hertz pada tahun 1887 (Enc. Americana, 1968), yang mendemonstrasikan pengaruh pantulan gelombang radio yang diakibatkan berbagai macam objek dan membuktikan bahwa kecepatan rambat gelombang elektromaknetik sama dengan kecepatan cahaya, penginderaan jauh aktif terus berkembang sehingga objek yang jauh dapat terdeteksi. Kata Radar pertama kali digunakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat (United States Navy -US Navy) pada tahun 1940 yang merupakan singkatan dari RAdio Detection And Ranging, yaitu untuk mendeteksi dan mengetahui lokasi suatu objek. Radar mulai dikembangkan dalam perang dunia ke II pada tahun 1940-an untuk mendeteksi pesawat terbang dan kapal laut, kemudian dilanjutkan dengan teknologi radar apertur riil (Real Aperture Radar) dengan sistim pandangan ke arah samping di pesawat terbang (Side Looking Airborne Radar - SLAR). Antara tahun enam puluhan dan tujuh puluhan, sistim SLAR ini mulai digunakan untuk keperluan non militer, terutama untuk analisis lahan dan survei sumber daya alam. Dalam tahun 1970-an itu juga, Jet Propulsion Laboratory (JPL) di Pasadena California, USA, melakukan penelitian khususnya pengembangan radar apertur riil menjadi radar apertur sintetik (Image Center, 1996). Peluncuran satelit Seasat pada tahun 1978, merupakan satelit pertama yang dikembangkan oleh Amerika Serikat yang membawa sensor radar untuk keperluan non militer, sangat disayangkan bahwa satelit ini hanya berumur 3 bulan (Schreier, 1993). Kemudian berturut-turut eksperimen lain yang dilakukan oleh Amerika Serikat dengan memanfaatkan pesawat ulang alik, yaitu Shuttle Imaging Radar (SIR) pada tahun 1981 dan 1984, serta pada tahun 2000 SRTM (Shuttle Radar Topographic Mapping). Hasil dari pesawat ulang alik ini menunjukkan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana salah satunya adalah dapat menembus permukaan gurun sahara pada kedalaman antara 10 m hingga 20 m dengan menggunakan band L (Image center, 1996). Rusia dengan satelit Cosmos juga menggunakan sistim radar apertur sintetik untuk penelitian oseanografi pada tahun 1983 dan satelit Almaz yang beroperasi pada tahun 1990 hingga 1992 untuk pemetaan. Satelit Radarsat milik Kanada yang diluncurkan pada tahun 1995 (Intermap, 1996), khususnya untuk pemantauan salju dan sejak tahun 1998 banyak digunakan untuk pemantauan lingkungan, terutama pencemaran minyak di laut (Radarsat, 1999). Peluncuran satelit Radarsat-2 pada tahun 2007, mempunyai resolusi spasial cukup tinggi, baik untuk planimetris maupun tinggi, sehingga dari citra satelit Radarsat-2 dapat dihasilkan citra ORRI (Ortho Rectified Radar Image) dan DEM ( Digital Elevation Model) dengan resolusi yang cukup baik, sehingga dapat digunakan untuk pemetaan skala 1 : 50.000. Dengan diluncurkannya satelit European Remote Sensing Satellite (ERS-1) pada tahun 1991, ERS-2 pada tahun 1995 (ESA-Esrin, 1997) penelitian-penelitian di bidang pengolahan citra radar satelit menjadi makin menarik. Pada awalnya misi utama dari satelit ERS-1 adalah untuk oseanografi, akan tetapi pada kenyataannya penelitianpenelitian berikutnya menunjukkan bahwa citra radar dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain. Salah satunya adalah dengan metoda radar apertur sintetik
2
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
interferometris, yang sangat menjanjikan penggunaaannya di masa mendatang. Peralatan Gelombang mikro aktif (Active Microwave Instruments - AMI) yang dibawa oleh wahana ERS-1 dan ERS-2, melakukan pengamatan permukaan bumi siang maupun malam terus menerus baik pada saat naik (Ascending) maupun turun (Descending) (CNES, 1999), dan EnviSAT dengan sistim ASAR (Advanced Synthetic Aperture Radar) yang diluncurkan pada tahun 2001. Untuk pertama kalinya didapat citra radar apertur sintetik dalam jumlah yang sangat banyak, meliputi hampir seluruh muka bumi, hal ini memungkinkan dilakukannya berbagai macam penelitian menyangkut berbagai macam disiplin ilmu, terutama yang menyangkut pengamatan permukaan bumi. Khusus untuk oseanografi, data radar apertur sintetik dapat digunakan untuk menyelidiki gelombang, arus laut, batimetri, monitoring daerah pesisir, hidrologi, perikanan dan pendeteksian hutan bakau. Untuk permukaan darat, data radar apertur sintetik cukup baik untuk pemetaan geologi dan pemetaan liputan lahan. Dengan menggunakan dua citra radar apertur sintetik dari ERS-1, dimungkinkan dilakukan pengolahan interferometrik melalui perhitungan fasa. Peluncuran ERS-2 pada bulan April 1995 yang mempunyai karakteristik sama dengan ERS-1, memungkinkan dilakukannya pengolahan citra radar apertur sintetik interferometris dengan pasangan tandem, yaitu gabungan antara citra ERS-1 dan citra ERS-2 yang lintasan orbitnya hanya berbeda satu hari (ESA-Esrin,1997). Satelit TerraSAR-1 yang diluncurkan pada tahun 2007 memanfaatkan gelombang X pada pencitraannya, dan pada tahun 2010, diluncurkan satelit TerraSAR-2 dengan karakteristik yang sama dengan TerraSAR-1. TerraSAR-1 dan TerraSAR-2 mengorbit secara tandem, sehingga dapat mencitrakan wilayah yang sama pada saat yang sama, dengan demikian gabungan dari keduanya akan menghasilkan DEM dengan tingkat ketelitian sangat tinggi, hingga sekitar 2 meter. Di samping itu semua, perkembangan radar apertur sintetik interferometris juga sangat maju dengan pesat, khususnya pelaksanaan dengan menggunakan wahana pesawat terbang. Intermap yang berbasis di Denver, Colorado Amerika Serikat, mengembangkan STAR3i, yaitu sistim pencitraan Radar dengan 2 antena sekaligus, yang dipasang di pesawat terbang (LearJet dan juga pesawat berbaling-baling). Mereka juga sedang mengembangkan STAR4 yang lebih canggih, dengan hasil DEM diharapkan akan mampu mencapai resolusi antara 1.5 hingga 2.0 meter. Pesaing Intermap adalah Orbisar, yaitu sistim yang dikembangkan oleh Orbisat, yaitu perusahaan swasta di Brasilia, yang memanfaatkan pesawat terbang dengan menggunakan 2 jenis panjang gelombang, yaitu gelombang X (Band-X) dan gelombang P (Band-P).
3
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
1.
KONSEP RADAR
Berbeda dengan sistim optis yang menggunakan cahaya tampak, sistim ini menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan oleh sensor, dan pantulan baliknya diterima kembali oleh sensor yang sama. Oleh karena itu sistim ini sering disebut sebagai sensor aktif. Prinsip utama sistim radar adalah mengukur jarak dari sensor ke target. Karena pada sistim ini menggunakan radiasi / iluminasi yang di pancarkan sendiri oleh sensor, maka sistim ini tidak tergantung dari cahaya matahari. Dengan demikian sistim ini dapat bekerja terus menerus baik siang maupun malam, meski distorsi atmosfir dapat terjadi dalam sistim ini (Hanssen and Usai, 1997). Konsep umum cara kerja radar lihat Gambar 1. Sensor
S Target Permukaan bumi Gambar 1. Konsep umum cara kerja radar S = Penjalaran gelombang elektromaknetik dari sensor ke target dan kembali ke sensor
Pada awal penggunaan sistim radar pada pemetaan/penginderaan jauh, dilakukan dengan sistim radar apertur riil (Real Aperture Radar - RAR), di mana pada sistim ini digunakan antena cukup panjang sekitar 4 hingga 6 meter dan dapat lebih panjang. Makin panjang antena akan didapat resolusi makin baik (Sabin, 1978). Dengan pemakaian antena yang panjang tersebut, sangat banyak keterbatasannya, terutama menyangkut penempatan antena yang panjang di wahana, khususnya pesawat terbang. Sistim radar menggunakan panjang gelombang mikro yang mempunyai ukuran sekitar 5 mm hingga 1000 mm, sehingga mampu menembus awan. Pita / Saluran (band), panjang gelombang dan frekuensi yang digunakan sistim radar dalam penginderaan jauh, dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan hubungan antara kemampuan menembus awan dan panjang gelombang dalam sistim radar dapat dilihat pada Gambar 2.
4
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 1. Panjang Gelombang dan Frekuensi yang digunakan sistim radar pada Penginderaan Jauh (CNES, 1993)
Panjang Gelombang (cm) 0,8 - 1,1 1,1 - 1,7 1,7 - 2,4 2,4 - 3,8 3,8 - 7,5 7,5 - 15,0 15,0 - 30,0 30,0 - 100,0
Saluran Ka K Ku X C S
L P
Frekuensi (Mhz) 40.000 - 26.500 26.500 - 18.000 18.000 - 12.500 12.500 - 8.000 8.000 - 4.000 4.000 - 2.000 2.000 - 1.000 1.000 - 300
9 Cm
= Panjang gelombang
= Frekuensi
7 Cm 5GHz 5 Cm
3 Cm
10GHz
1 Cm
30GHz
awan air
100 %
75 %
50 %
25 %
0 %(penembusan awan)
Gambar 2. Hubungan panjang gelombang dengan penembusan awan (ESA –Esrin , 1996)
2.
GEOMETRI PENCITRAAN RADAR
Pencitraan radar, baik dengan wahana pesawat terbang maupun satelit, selalu dilakukan ke arah miring (side looking), untuk jelasnya dapat dilihat pada geometri pencitraan radar Gambar 3, dan hal ini akan berakibat timbulnya suatu resolusi spasial, yang terdiri dari komponen resolusi ke arah melintang lintasan disebut resolusi jarak (range resolution) dan resolusi ke arah searah lintasan disebut resolusi azimut (azimuth resolution). Pada radar apertur riil resolusi spasial ini ditentukan oleh sudut masuk, panjang pulsa dan lebar sorot ( beam width). Panjang pulsa dan sudut masuk berakibat
5
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
pada ukuran elemen resolusi jarak, sedang lebar sorot berpengaruh terhadap elemen resolusi azimut (Schreier,1993). Resolusi jarak ( Rr
RAR
), dan resolusi azimut ( Ra
Dari Gambar 4.a, Resolusi jarak Rr
Rr
RAR
=
RAR
RAR
) dapat dilihat pada Gambar 4.
dapat dihitung melalui hubungan berikut,
c.t 2 Sin
(1)
di mana = sudut masuk, t = panjang pulsa dalam satuan waktu dan c = kecepatan pulsa gelombang mikro (dalam vakum).
Lintasan wahana Sensor
H
Lintasan tanah
Arah Azimut (searah lintasan)
Arah Jarak
Jarak tanah
(melintang lintasan) Gambar 3. Geometri Pencitraan Radar
6
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(a)
(b)
H
H
Rr R
Ra
RAR
Gambar 4. (a) Resolusi jarak (b) Resolusi azimuth (Platschorre,1997)
Lebar sorot antena menentukan besar resolusi azimut Ra dan makin kecil nilai jarak tanah R , resolusi azimut juga makin kecil , lihat Gambar 4.b. Resolusi azimut dapat dihitung melalui hubungan berikut, RAR
Ra
RAR
= R .
= H tan .
dan
=
d
di mana H = tinggi sensor , = lebar sorot , = sudut masuk , gelombang mikro dan d panjang antena (Lillesands & Kiefer,1978).
(2)
= panjang RAR
Dari hubungan di atas, dapat dilihat bahwa makin panjang antena, harga Ra makin kecil dan ini menunjukkan bahwa resolusi makin tinggi. Akan tetapi makin panjang antena, merupakan kendala dan merupakan kelemahan dari sistim ini, karena makin panjang antena akan makin sulit penempatannya di wahana.
3.
RADAR APERTUR SINTETIK
Berawal dari kelemahan pada radar apertur riil yang memerlukan antena panjang untuk mendapatkan ketelitian tinggi, maka berkembang teknik baru dalam sistim penginderaan radar dengan antena yang relatif kecil yang dinamakan Radar Aperture Sintetik (Synthetic Aperture Radar). Radar apertur sintetik mengambil keuntungan dari gerakan wahana sepanjang lintasan, dan antena yang relatif kecil tadi mampu menggantikan fungsi dari antena yang panjang. Konsep radar apertur sintetik dapat dilihat dalam Gambar 5 .
7
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
L
H R
T
Gambar 5. Konsep radar apertur sintetik
R = adalah jarak tanah d = panjang antena
lebar sorot
L = panjang antena sintetik
= R.
= R.
d
=
(rad) d
(m)
d = Panjang antena dengan demikian makin besar jarak tanah, antena sintetik juga akan makin panjang. Hubungan di atas hanya berlaku untuk penjalaran satu arah, sedang dalam radar apertur sintetik penjalaran harus dua arah untuk membentuk antena sintetik tersebut. Maka untuk antena sintetik berlaku hubungan berikut (Kingsley, 1992),
s
=
2L
d 2R
=
(rad)
(3)
sehingga resolusi azimut untuk sistim radar apertur sintetik menjadi,
Ra = R. s =
d 2
(4)
Dengan demikian resolusi spasial pada sistim radar apertur sintetik tidak tergantung pada panjang gelombang dan tinggi wahana, hanya tergantung pada ukuran fisik panjang antena-nya. 4.
RADAR APERTUR SINTETIK INTERFEROMETRIS
Radar apertur sintetik interferometris merupakan teknik pencitraan yang dapat diterapkan dengan menggunakan pesawat terbang maupun satelit. Pada penerapan dengan pesawat terbang, digunakan dua antena yang bekerja pada saat yang sama. Teknik ini dinamakan lintasan tunggal (single pass). Penerapan dengan menggunakan
8
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
satelit hanya menggunakan satu antena, dan permukaan bumi diindera dengan cara pengulangan lintasan (repeat pass), karena antena mengindera tidak pada saat yang sama. Untuk lintasan tunggal dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7 di mana kedua antena dapat diletakkan di posisi melintang pesawat terbang (across track) ataupun di posisi memanjang pesawat (along track).
Pesawat terbang
B Bz By
r 2 - r1 = r1
2
(5)
r2
=
2
B y sin
+ B z cos
(6)
Gambar 6. Radar Apertur Sintetik Interferometris lintasan tunggal (single pass) - Sistem melintang pesawat ( across track) (Gens, 1996)
Dalam Gambar 6 di atas, kedua antena masing-masing dipasang di kiri dan kanan sayap pesawat terbang. Satu antena sebagai pemancar dan penerima, sedang antena lainnya berfungsi sebagi penerima saja. B adalah jarak antara antena kiri dan antena kanan, dan dinamakan basis (baseline) kanan, sedangkan B y dan Bz merupakan komponen basis dalam arah mendatar dan tegak. adalah sudut masuk, sedang r1 dan r2 adalah jarak miring (slant range), masing-masing dari antena pertama ke objek dan dari antena kedua ke objek yang sama di permukaan bumi. adalah beda fasa yang terjadi antara sinyal radar dari antena pertama dan dari antena kedua, merupakan panjang gelombang mikro yang digunakan. Pada awal tahun 2000, sistim ini diterapkan dipesawat ulang-alik ( Shuttle Radar Topographic Mission).
9
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Pesawat terbang
B Gambar 7. Radar Apertur Sintetik Interferometris lintasan tunggal (single pass) - Sistim memanjang pesawat (along track) (Gens, 1996)
Pada Gambar 7, kedua antena dipasang di muka dan di belakang pesawat terbang, sejajar dengan arah terbang pesawat. Jarak antara antena di muka dan di belakang pesawat disebut basis B. Kedua antena berfungsi sebagai pemancar dan penerima gelombang radar dengan panjang gelombang . Karena pengaruh letak dari kedua antena, maka akan terjadi perbedaan waktu (delay) sebesar t dalam perekaman oleh antena pertama dan antena kedua. Hal ini akan berakibat perbedaan fasa sebesar . Jika radiasi sinyal balik dari objek bergerak dengan kecepatan U, maka beda fasa yang terjadi adalah sebesar,
=
4
.U .t
=
4 .U .B .V
(7)
di mana V adalah kecepatan pesawat terbang. Dalam radar apertur sintetik interferometris sistim pengulangan lintasan (repeat pass), hanya diterapkan di satelit, baik ERS-1, ERS-2, Radarsat, EnviSAT maupun JERS dan dapat dilihat pada Gambar 8 berikut, Lintasan satelit S2 B
S1 r2
r1 Lintasan satelit Gambar 8. Radar Apertur Sintetik Interferometris - Sistim pengulangan lintasan ( repeat pass ) (Kampes, 1999)
10
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
S 1 dan S 2 masing-masing adalah sensor pertama membawa satu antena dan sensor kedua juga membawa satu antena. Satelit melintas permukaan suatu area di bumi pada saat yang tidak sama, dengan membentuk jarak antar lintasan sepanjang B dan jarak ini dinamakan basis (baseline ). Sudut adalah sudut masuk sedangkan r 1 dan r 2 adalah jarak miring dari sensor pertama dan kedua ke objek yang sama di permukaan bumi. Beda fasa antara dua sinyal balik yang diterima dari objek di permukaan bumi pada kedua posisi antena adalah :
=
5.
4
(r2 r1)
GEOMETRI RADAR BERBASIS SATELIT
(8)
APERTUR
SINTETIK
INTERFEROMETRI
Seperti ditulis sebelumnya, Radar apertur sintetik interferometris yang diterapkan di satelit ERS-1 dan ERS-2, dilakukan dengan pengulangan lintasan. Untuk ERS-1, pengulangan lintasan pada area yang sama dilakukan dalam perioda 35 hari, begitu juga untuk ERS-2. Sehingga jika akan digunakan pasangan citra dengan satelit yang sama, minimum diperlukan waktu selama 35 hari. Hal ini menyebabkan pengaruh yang cukup besar terhadap sinyal balik-nya, karena pada perioda 35 hari umumnya sudah terjadi perubahan pada liputan lahannya (tumbuhan, dll) dan ini berakibat langsung pada sinyal balik. Dengan diluncurkannya satelit ERS-2 yang mempunyai karakteristik yang sama dengan ERS-1 dan melintas dengan beda waktu hanya satu hari, mengakibatkan gabungan pasangan ERS-1 dan ERS-2 sangat menarik karena perubahan liputan lahannya relatif masih tetap. Gabungan ERS-1 dan ERS-2 dinamakan dengan pasangan tandem. Pada ERS-1 dan ERS-2, sensor meng-indera kearah samping kanan dengan sudut masuk 23 0 dan tegak lurus arah lintasan. Dengan demikian jika satelit pada posisi naik (ascending), sensor mengarah ke-timur, dan pada saat turun (descending) sensor mengarah ke barat. Setiap piksel pada citra radar sesuai dengan suatu bagian di permukaan bumi. Nilai kecerahan dari setiap piksel ditentukan oleh amplitudo dari sinyal balik yang diterima antena. Dengan diluncurkannya satelit EnviSAT, dimana salah satu sensornya adalah ASAR yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan satelit ERS, memungkinkan dilakukan lebih banyak penelitian dengan memanfaatkan data satelit EnviSAT ini. Geometri pencitraan baik pada satelit ERS-1 maupun ERS-2 dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini,
11
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Lintasan orbit Sensor
L H
Gambar 9. Geometri pencitraan pada satelit ERS (Platschorre,1997)
Dari gambar diatas, L adalah panjang pulsa, H adalah tinggi satelit, merupakan lebar sorot, dan adalah sudut masuk. Jika terdapat dua titik P dan R dengan jarak dan azimut tertentu, di-indera oleh satu sensor, maka kedua titik tersebut kemungkinan akan muncul di piksel yang sama sehingga tidak dapat dibedakan satu sama lain, padahal kedua titik tersebut mempunyai ketinggian yang tidak sama. Dengan demikian diperlukan sensor kedua untuk mengetahui ketinggian titik tersebut (Hartl,1996). Pada Gambar 10, terlihat bahwa jika sensor kedua melakukan pencitraan dengan posisi yang berbeda dari sensor pertama. Titik yang sama akan mempunyai fasa yang tidak sama di masing-masing citra dan beda fasa diantara kedua citra pada titik tersebut merupakan fungsi tinggi dari titik tersebut.
12
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Z
S2
B S1
H
r1
r2
R P X
h Y
Gambar 10. Geometri pencitraan radar apertur sintetik interferometris satelit (Hartl, 1996)
S 1 dan S 2 diperlukan untuk menentukan ketinggian h diatas permukaan referensi, B
merupakan basis, sudut yang dibentuk oleh basis dan garis mendatar, sedang adalah sudut masuk, r 1 dan r2 adalah jarak miring dari masing-masing sensor ke objek yang sama di permukaan bumi. H ketinggian sensor diatas permukaan referensi, sedang h tinggi objek. jika beda fasa adalah , maka dapat dituliskan,
r h
4 . r
= =
r1 - r 2
= H - r 1 Cos
Beda fasa terbatas pada pada rentang diukur dengan ambiguitas 2 .
6.
(9)
(10) -
dan dengan demikian hanya dapat
BASIS
Dari ulasan sebelumnya, salah satu yang menentukan dalam menghitung beda fasa adalah Basis, baik pada sistim satelit maupun pesawat terbang, dan sering disebut dengan Basis Interferometrik (Interferometric baseline).
13
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Basis didefinisikan sebagai jarak antara kedua posisi antena/sensor. Untuk penerapan di satelit, basis interferometrik B dan komponennya, lihat Gambar 11 .
S
S2
2
S2
B
Bt
B
S1
S1 a
S1
B b
Bd c
Gambar 11. Basis Interferometrik dan komponennya (a) Basis interferometrik dan orientasinya (posisi 1 sebagai posisi referensi) (b) Basis sejajar dan Basis tegak lurus
( B danB ) (c) Basis mendatar dan Basis tegak ( Bd danBt ) (DEOS, 1999)
Dari panjang Basis Interferometrik B dan sudut orientasi α , basis dapat dibagi menjadi dua komponen, masing-masing komponen sejajar dan komponen tegak lurus, atau komponen mendatar dan komponen tegak. Panjang Basis interferometrik dapat mempengaruhi keperluan-keperluan tertentu. Penggunaan panjang Basis Interferometrik dari satelit ERS-1 untuk keperluan tertentu ditunjukkan pada Tabel 2 (Solaas, 1994). Pengaruh Basis Interferometrik terhadap perubahan ketinggian akan meningkat jika panjang Basis Interferometrik makin pendek. Tabel 2. Penggunaan panjang Basis interferometrik dari satelit ERS-1 untuk keperluan tertentu (Solaas, 1994)
Aplikasi Praktis Model Permukaan Digital Pendeteksian perubahan permukaan
Panjang Basis < B
< 600 m
150 m < B
< 300 m
30 m < B
< 70 m
Dengan meningkatnya panjang Basis Interferometrik, maka derau fasa (phase noise) akan mengakibatkan makin rendahnya koherensi. Koherensi akan hilang sama sekali jika panjang basis interferometri tersebut mencapai batas kritisnya. Dekorelasi penuh akan terjadi bila Basis interferometrik B > 2768 meter (Kooij et al.,1995).
14
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
7.
PARAMETER-PARAMETER YANG MEMPENGARUHI BALIK PADA PENGINDERAAN RADAR
SINYAL
Umumnya sinyal balik pada sistim penginderaan radar di terima kembali di sensor pada kondisi yang sangat lemah, sehingga perlu dilakukan penguatan terhadap sinyal balik ini. Parameter yang berpengaruh terhadap sinyal balik ini dibagi menjadi dua bagian utama, masing-masing adalah, 1. Parameter sistim, 2. Parameter permukaan. 7.1 Parameter Sistim Dalam parameter sistim, dikenal beberapa hal yang mempengaruhi sinyal, masingmasing adalah Panjang gelombang, Polarisasi, dan Sudut masuk. Panjang Gelombang. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada sistim radar bekerja pada gelombang mikro dari panjang gelombang sekitar 5 mm hingga 1000 mm. Makin pendek panjang gelombang, makin tinggi resolusi yang dihasilkan, akan tetapi kemampuan penetrasinya makin kecil. Khusus untuk penggunaan Saluran-L dengan panjang gelombang 23,5 cm, dapat menembus hingga 20 meter, ini terjadi pada gurun Sahara pada padang pasir yang sangat kering. Polarisasi. Sangat tergantung pada orientasi dari medan elektrik dan medan magnetik pada gelombang elektromagnetik.
a
b
Gambar 12. Polarisasi pada sinyal radar; (a) polarisasi mendatar dan (b) polarisasi tegak (ASPRS,1998)
Sistim radar dapat memancarkan dan menerima radiasi elektromagnetik baik dalam polarisasi mendatar maupun tegak. Interaksi gelombang radar dengan permukaan bumi dapat merubah polarisasi, berdasarkan sifat dari targetnya. Polarisasi pada sinyal radar ditunjukkan pada Gambar 12.
15
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Sudut Masuk. Merupakan sudut yang dibentuk oleh arah tegak dengan arah pancaran radar ke objek. Sudut masuk berubah mulai dari jarak dekat hingga jarak jauh, sehingga hal ini berpengaruh terhadap medan pandang. Untuk sudut masuk yang curam ( < 20 0 ) akan memberikan pantulan maksimum. Pemilihan sudut masuk harus memperhatikan kondisi topografi yang diinderanya, karena sangat berpengaruh terhadap terjadinya distorsi akibat kondisi topografi tersebut. Disamping itu, dikenal juga sudut masuk lokal, yaitu sudut masuk sebenarnya yang terjadi di setiap titik di permukaan tanah. Sudut masuk dan sudut masuk lokal ditunjukkan dalam Gambar 13.
Sudut masuk
Sudut masuk
Sudut masuk lokal
Sudut masuk lokal
Gambar 13. Sudut masuk dan sudut masuk lokal (CNES, 2000)
7.2 Parameter Permukaan Parameter permukaan sangat erat hubungannya dengan kondisi permukaan yang diindera sistim radar. Interaksi antara radar dan material-material yang terdapat di permukaan dipengaruhi oleh beberapa unsur, antara lain, kekasaran permukaan, Geometri permukaan, dan Sifat dielektrika. Pancaran gelombang mikro yang berinteraksi dengan permukaan bumi akan dihamburkan oleh objek, di pantulkan secara spekular atau di pantulkan sempurna. Kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan merupakan istilah yang relatif dan sangat tergantung pada panjang gelombang , serta sudut masuk , dimana permukaan yang halus dan kasar memenuhi pernyataan Kriteria Reyleigh berikut (Sabin, 1978) h <
h >
25Cos
4,4Cos
halus (11) kasar
dengan demikian untuk panjang gelombang yang sangat besar, hampir semua permukaan bumi tampak halus, sedang untuk panjang gelombang yang sangat pendek, permukaan bumi akan tampak kasar. Pada citranya, untuk parmukaan yang kasar, akan
16
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
tampak cerah sedangkan untuk permukaan halus, akan tampak gelap. Pengaruh permukaan / objek terhadap sinyal balik ditunjukkan pada Gambar 14.
Sensor
a
b
c
Gambar 14. Pengaruh permukaan /objek terhadap sinyal balik. (a) dihamburkan; (b) spekular; (c) dipantulkan sempurna (Image Center, 1996)
Geometri Permukaan. Seperti pada pemotretan udara (sistim optik), selalu dihadapkan pada objek-objek yang mempunyai ketinggian, sehingga menimbulkan pergeseran relief pada hasil citranya. Pada foto udara, pemotretan dilakukan dengan sumbu kamera tegak, sehingga pergeseran relief terjadi secara radial menjauhi titik nadir. Sedangkan pada citra radar, pergeseran relief terjadi tegak lurus terhadap lintasan terbang dan mendekati sensor. Karena bentuk geometri pencitraan dengan radar selalu dalam arah samping dan permukaan yang di indera tidak selalu datar, maka dengan adanya bentuk permukaan yang tidak datar tersebut, sistim radar akan selalu dihadapkan pada distorsi yang diakibatkan adanya kondisi tersebut. Distorsi yang diakibatkan terdiri dari (Abiyoto,1998), a.
Bayangan (shadowing ),
b.
Pemendekan ( foreshortening ),
c.
Tumpang tindih ( layover ).
Ketiga jenis distorsi tersebut sering disebut dengan distorsi topografis. Bayangan ( shadow ). Merupakan gambaran objek yang tidak tercakup oleh gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh sistim radar. Sehingga akibat tidak adanya sinyal balik yang diterima oleh sensor, maka daerah bayangan tersebut akan tampak gelap. Terjadinya bayangan akibat tertutup oleh bentuk topografi yang lebih tinggi pada arah jarak ditunjukkan dalam Gambar 15.
17
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Proyeksi pada bidang miring
A’ B’
bayangan
D’
B
A
C
D
Gambar 15. Terjadinya bayangan akibat tertutup oleh bentuk topografi pada arah jarak
Pemendekan (Foreshortening). Adalah pemendekan yang terjadi terhadap jarak sebenarnya. Bila bidang AB tegak lurus terhadap arah datang sinyal, maka jarak proyeksinya akan sama dengan nol. Pemendekan yang terjadi pada sistim radar
ditunjukkan dalam Gambar 16. Proyeksi pada bidang miring Pemendekan
A’ B’ B
A
C
Gambar 16. Pemendekan yang terjadi pada sistim radar
Pembalikan ( layover) . Distorsi ini terjadi bila titik di puncak dan titik di dasar objek terproyeksi terbalik terhadap posisi sebenarnya dilapangan . Hal ini bisa terjadi bila sinyal balik dari puncak objek diterima lebih cepat dibandingkan dengan sinyal balik dari dasar objek. Kondisi ini sangat mungkin terjadi di wilayah yang bergunung dengan kecuraman yang sangat tajam. Tumpang tindih yang terjadi pada sistim radar ditunjukkan dalam Gambar 17.
18
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Proyeksi pada bidang miring Pembalikan
B’ A’
B
A
C
Gambar 17 Tumpang tindih yang terjadi pada sistim radar
Untuk mendapatkan citra tanpa memperhitungkan kondisi topografis, dapat dilakukan dengan teknik rektifikasi, yang sering disebut dengan pengolahan citra orthogonal (ortho-image). Pengolahan ini dilakukan koreksi pada setiap posisi dan ukuran piksel, kemudian diproyeksikan secara orthogonal. Sifat Dielektrika. Sering diindikasikan sebagai Konstanta dielektrika kompleks (Complex Dielectric Constant – CDC), yang mengindikasikan apakah energi gelombang mikro tersebut diserap, dipantulkan atau ditransmisikan. Kelembaban suatu material, sangat mempengaruhi sifat elektrisitas, sebagai contoh, pada konstanta dielektrika kompleks tinggi ( air = 80 ) merupakan reflektor yang baik. Material dengan konstanta dielektrika kompleks rendah akan menyerap enersi dan oleh karenanya dapat ditembus. Umumnya makin besar panjang gelombang radar yang digunakan, penembusan enersi akan makin dalam pada suatu material.
19
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
8. BEBERAPA CONTOH HASIL PENGOLAHAN a. Peta arus permukaan laut didaerah Amelan, Belanda. Hasil Pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometris data pesawat terbang
b. Model tinggi permukaan dijital (DEM / Digital Elevation Model) Hasil Pengolahan Radar Apertur Sintetik Inteferometris data pesawat terbang, metoda across track, oleh DLR Jerman, daerah West-Terschelling, Belanda. Skala menunjukkan tinggi dalam meter
20
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
c. Interferogram hasil pengolahan Radar Apertur Sintetik Interferometris data satelit, untuk wilayah Gunung Cikuray dan Papandayan (Ismullah,2002).
d. Hasil pengolahan phase unwrapping dari interferogram yang ditunjukkan pada butir c, daerah Gunung Cikuray dan Papandayan.
21
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
e. Model Tinggi Permukaan Dijital hasil konversi fasa menjadi tinggi, dari hasil phase unwrapping butir d, daerah Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan. 2700.00 2600.00 2500.00 2400.00 2300.00 2200.00 2100.00 2000.00 1900.00 1800.00 1700.00 1600.00 1500.00 1400.00 1300.00 1200.00 1100.00 1000.00
f.
Peta Garis Kontur dari hasil Radar Apertur Sintetik Interferometris daerah Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan, Jawa Barat, interval 25 meter. 9195000.00
9194000.00
9193000.00
9192000.00
9191000.00
9190000.00
9189000.00
9188000.00
9187000.00
9186000.00
807000.00
22
809000.00
811000.00
813000.00
815000.00
Perkembangan Radar dalam Penginderaan Jauh Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
DAFTAR REFERENSI Abyoto Kun W. Penerapan Transformasi wavelet untuk reduksi spekel,Ektraksi ciri dan Segmentasi citra berdasarkan Tekstur. Disertasi Doktor. Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 1998. 168 Hal. ASPRS. Manual of Remote Sensing 3rd edtion, Vol. 2. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third Avenue, New York.1998. CNES. ERS-1, Landsat , SPOT : Applications a complementary approach. Course material. BPPT, 1993. CNES. InSAR : Theory and Applications. Workshop materials, BPPT 8-16 Nov 2000, Jakarta, 2000. DEOS. Delft Object Oriented Radar Interferometry Software:User manual and Technical Documentation. Delft University of Technology, Delft 1.2 edition. 1999. ESA-ESRIN. SAR interferometry orbit listing. 1999 Gens R and Genderen JL van. Analysis the geometric parameters of SAR Interferometry for space borne systems. In International Archive of Photogrammetry and Remote Sensing XXXI, part B2, Vienna, pages 107-110, 1996. Hanssen Ramon and Usai Stefania. Interferometric phase analysis for monitoring slow deformation processes. In 3rd ERS Symp. On space at the service of our Environment, Florence, Italy, 17-21 March 1997, ESA SP-414, pp. 487-491, 1997. Hartl P. Sinthetic aperture radar, theory and applications. Faculty of Geodesy-Delft University of Technology. Lecture note, 1996. Image Center. Radar Remote Sensing. Course materials. Ontario, Canada, 1996. Intermap . Radar Theory and systems. Course materials. Intermap Technologies ,Gurdwara road,suit 200, Nepean. Ontario, Canada, 1996. Kampes B and Hanssen R. Delft public domain radar interferometry software: preocessing consideration and futur strategies. EOS transactions AGU, 81(19):S162, May-9, 2000. Kooij M , Halsema v D , Groenewoud, Mets W, Overgaauw G J, and Visser P. SAR Land Subsidence Monitoring. B C R S , 1995. Lillesands and Kiefer. Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Son, pp. 422, 1978. Radarsat. Radarsat : Theory and Applications. Workshop and Seminar, Denpasar Bali, 26 April – 4 May 1999, Bali, Indonesia, 1999. Schreier G, editor. SAR Geocoding:data and systems. Whichmann Verlag. Karlsruhe, 1993. Solaas,GA. ERS-1 Interferometric baseline algorithm verification. ESA-ESRIN, Proj. Eng. Department, ERS Mission section. 1994. The Encyclopedia AMERICANA ,International edition vol. 14, 1968. Library of Congress catalog number : 68-12554. Copy ight by Encyclopedia Americana Corporation.
23
Ishak Hanafiah Ismullah Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
BIOGRAFI PENULIS Ishak Hanafiah Ismullah Prof. Dr. Ir. Ishak Hanafiah Ismullah, DEA lahir pada tanggal 7 Januari 1947 di Yogyakarta. Putra dari pasangan Bapak Ismullah Adi Putra (Alm.) dan Ibu Iswari ini menjalani masa sekolah berpindah-pindah di berbagai kota di Indonesia, Sekolah Dasar di Yogyakarta, Sekolah Menengah Pertama di Palembang, dan Sekolah Menengah Atas di Mataram. Professor yang juga pecinta musik dan olahraga ini kemudian melanjutkan pendidikannya ke ITB sebagai mahasiswa Teknik Elektro pada tahun 1965. Selama masa kuliah, Beliau juga aktif di berbagai kegiatan mahasiswa seperti Dema ITB, Resimen Mahasiswa Mahawarman ITB, dan juga Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Setelah menyelesaikan tahap Sarjana Muda pada tahun 1972, atas dasar ketertarikan yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu alam, beliau melanjutkan studinya di Teknik Geodesi ITB dan memperoleh gelar Insinyur pada tahun 1975. Kemudian, Beliau melanjutkan kuliah dengan menekuni bidang fotogrametri di ITC Belanda dan juga mendalami bidang Teledetection di Universite Toulouse III, Prancis hingga tahun 1982. Di negara ini pula Beliau menikahi istrinya, Sri Murni Dwi Judhianty, seorang sarjana Teknik Mesin UI yang saat itu juga berkuliah di Prancis. Pasangan ini dikarunia tiga orang anak, yaitu Sarah, Daud, dan Ibrahim. Beliau pun meraih gelar Doktornya pada tahun 2002 di ITB. Beliau telah mengabdikan hidupnya sebagai dosen di ITB selama lebih dari 20 tahun, dan resmi mendapatkan gelar Professor pada tahun 2005 dengan bidang keahlian penginderaan jauh khususnya menggunakan Radar (Radio Detection and Ranging) dan telah menghasilkan banyak sekali penelitian yang ditekuni bersama kolega-koleganya. Pada awal tahun 2012, Beliau mengakhiri masa tugasnya sebagai pengajar di ITB.
24
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model: Sebuah Sistem untuk Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Muhamad Sadly Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gedung II BPPT, lantai 19, Jl. M. H. Thamrin 8, Jakarta 10340 Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Dalam riset ini diusulkan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model sistem penentuan lokasi keberadaan ikan di laut (Fishing Ground) untuk peningkatan efektifitas perikanan tangkap ikan pelagis ekonomis. Knowledge-Based Expert System Model yang diintegrasikan dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, penentuan lokasi penangkapan ikan masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Model yang dikembangkan disini dinamakan Perangkat Lunak SIKBES-IKAN, atau Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intellgent Fish Tracker). Kegiatan ini direncanakan akan dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu pada tahapan pertama difokuskan pada studi literatur, pembangunan basis data spasial kelautan dan perikanan, pengumpulan data penginderaan jauh dan data lapangan, serta perancangan model prediksi lokasi fishing ground. Pada tahapan kedua, merupakan implementasi sistem yang difokuskan pada pengembangan model prediksi, pengujian dan validasi, serta pembangunan sistem informasi fishing ground berbasis website spasial (online system). Dengan usulan ini, akan diperoleh model prediksi lokasi keberadaan ikan di laut yang lebih akurat dibanding dengan model konvensional yang selama ini digunakan. Kegunaan dari hasil riset ini sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses. Sedangkan, kontribusi dari hasil riset ini bagi iptek adalah pengembangan model SIKBES-IKAN untuk aplikasi dalam pengembangan Sistem Perikanan Tangkap Terpadu yang mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari berbasis website spasial (online system). Model yang dikembangkan memiliki ciri: intelligent decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. Diharapkan sistem ini dapat menyediakan informasi yang tepat guna mengenai lokasi keberadaan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat serta diharapkan bisa membantu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan khususnya, perekonomian daerah dan devisa negara dari sektor
25
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
industri perikanan tangkap. SIKBES-IKAN akan diimplementasikan di wilayah perairan Teluk Tomini, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah dan perairan Selat Makassar dan sekitarnya, Provinsi Sulawesi Selatan. Kata kunci : Knowledge Based Expert System, Fishing Ground, Remote Sensing, intelligent decision support system
Abstract In this research proposed a new approach in the development of fishing ground prediction model in the sea, especially for Economic Pelagic Fish. Knowledge-Based Expert System is integrated with Remote Sensing and Geographic Information System (GIS) decided as a new approach in order to improve the existing conventional method. The main problem of a conventional method is the estimation of fishing ground using manual system and the result obtained is not optimal and impractical in its implementation. Model developed called SIKBES-IKAN or Intelligent Fish Tracker. SIKBES-IKAN is an integrated software consisting of Knowledge-Based Expert System/KBES, Remote Sensing and Geographic Information System (GIS). It is used to provide strategic data and information on highly potential fishing ground location while maintaining balance to prevent overfishing. SIKBES-IKAN can be used for government and private agencies that manage and plan the sea resources in Indonesia. These activities consist of two phases, i.e. in the 1st phase are focused on literature review, the development of marine and fishery spatial database, remote sensing and insitu data collection, and design of fishing ground prediction model. In the 2 nd phase are focused on the development, testing and validation of fishing ground prediction model. Finally, building the fishing ground information system website spatial base (online system). SIKBES-IKAN can provide the fishing ground prediction more accurate than conventional method. Also, SIKBES-IKAN is capable of providing technology solutions to address these issues in the conventional method. SIKBES-IKAN having the concept: advanced, profitable, prosperity and sustainable in website spatial base (online system). Model developed is indicated by the characteristics as intelligent decision support system, cost minimizing objective function and economic beneficial. Furthermore, this system can provide appropriate information of fishing ground easily accessible, fast and accurate and also this model can help the fishermen to increase their income, local economic, country foreign exchange from fishery industry sector. The model will installed and implemented in several regions in Indonesia, for example in the waters of the Gulf of Tomini Parigi Moutong District, Central Sulawesi Province and the waters of Makassar Straits and surrounding, South Sulawesi. Keywords : Knowledge Based Expert System, Fishing Ground, Remote Sensing, intelligent decision support system
26
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
1. LATAR BELAKANG Sistem Informasi Knowledge-Based Expert System Fishing Ground (SIKBES-FG) merupakan aplikasi database yang dibangun oleh Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai bagian dari upaya menginplementasikan hasil kajian-kajian teknolgi khususnya di sektor perikanan dan kelautan. Aplikasi ini disusun dengan menggunakan suatu pendekatan baru (new approach) di dalam membangun model sistem penentuan lokasi keberadaan ikan di laut (Fishing Ground) untuk peningkatan efektifitas perikanan tangkap ikan pelagis ekonomis. Knowledge-Based Expert System Model yang diintegrasikan dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) beserta perhitungan nilai ekonominya dipilih sebagai pendekatan baru di dalam upaya memperbaiki metode konvensional yang saat ini masih digunakan. Kelemahan utama dari metode konvensional adalah, penentuan lokasi penangkapan ikan masih dilakukan secara manual, akibatnya hasil yang diperoleh juga tidak optimal dan tidak praktis di dalam implementasinya. Lebih lanjut, model yang dikembangkan di sini mengintegrasikan fishing ground dengan parameter sumberdaya perikanan tangkap (sosial, ekonomi dan valuasinya) sehingga dapat membantu pengguna/user didalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan dan perikanan. Model yang dikembangkan disini dinamakan “SIKBES-IKAN” atau disebut juga Sistem Penjejak Ikan nan cerdas (Intelligent Fish Tracker) Kegiatan ini difokuskan pada: (a). Kajian Regional kondisi lingkungan perairan, Kajian kondisi fisik oseanografi (in situ); Kajian remote sensing; Kajian tingkah laku dan dinamika populasi ikan pelagis ekonomis penting. (b). Kajian Lokal (wilayah perairan Teluk Tomini); Kajian Knowledge-based model; Kajian ekonomi dan analisis dampak. Kegiatan diseminasi, berupa sosialisasi hasil akan dilakukan dalam forum seminar, workshop, pelatihan. Dalam penyusunan sistem informasi ini terdapat empat komponen utama yang berperan sangat besar, yaitu Sumber Perangkat Keras (hardware), meliputi segala bentuk fisik, peralatan dan benda yang digunakan dalam memproses informasi. Hal tersebut tidak melibatkan mesin saja tetapi juga melibatkan data media seperti magnetic disk : Sumber Perangkat Lunak (software), meliputi segala informasi dan instruksi. Perangkat lunak tidak hanya dalam menginstruksi operasi disebut program tetapi ada juga yang berbentuk prosedur ; Manusia, dibutuhkan untuk menjalankan dalam mengoperasikan semua Sistem Informasi. Manusia yang dimaksud adalah spesialis dan orang pengguna komputer ; Data Informasi, merupakan sesuatu yang berharga di dalam sumber pengorganisasian. Data dan Informasi disimpan data bases, model bases dan knowledge base dan dianggap sebagai bagian dari sumber data atau sumber informasi di dalam organisasi. Di akhir penyusunan diharapkan sistem ini dapat penyediaan informasi yang tepat guna mengenai daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat; informasi mengenai potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan suatu perairan untuk menghidari ekploitasi sumberdaya ikan yang berlebih (overfisihing) agar bisa membantu untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan
27
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
selektivitas dalam Operasi Penangkapan Ikan (OPI) untuk ikan pelagis penting baik skala lokal maupun regional. 2. TUJUAN Tujuan utama pembangunan Sistem Informasi Perikanan Tangkap Terpadu Berbasis Knowledge-Based Expert System (SIKBES-IKAN) ini adalah :
Membangun dan mengembangkan basis data spasial beserta valuasi ekonomi terhadap mengenai karakteristik, sifat fisik perairan, zat hara dan habitat ikan pelagis penting baik yang terdapat dalam suatu perairan lokal maupun perairan skala regional. Membangun dan mengembangkan Knowledge-Based Expert System Model yang diintegrasikan dengan sistem informasi geografis (GIS) menggunakan data penginderaan jauh (remote sensing) untuk prediksi lokasi penangkapan ikan. Menyediakan informasi yang tepat guna melalui jaringan website mengenai daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat dan near realtime. Menyediakan informasi estimasi ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan di suatu perairan. Memberikan masukan untuk rekayasa operasional teknis dan kelembagaan dalam mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam khususya sektor kelautan dan perikanan.
3. KEUNGGULAN SIKBES-IKAN Keunggulan utama dari software SIKBES-IKAN adalah mampu memberikan solusi teknologi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pada metode konvensional (yang merupakan salah satu peran BPPT). Keunikan Software SIKBES-IKAN ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai sistim pendukung keputusan secara cerdas (intelligenct decision support system), fungsi obyektif meminimumkan biaya (cost minimizing objective function), bermanfaat secara ekonomi, serta mempunyai konsep Maju, Menguntungkan, Sejahtera dan Lestari. Lebih lanjut, Prediksi tidak sepenuhnya tergantung pada pengalaman dan pengetahuan operator. Dapat membantu pengguna/user dalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan dan perikanan. Dapat memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat, dan relatif mudah untuk diakses. SIKBES-IKAN dapat digunakan untuk Pemerintah dan instansi swasta dalam mengelola dan menyusun rencana strategis sumberdaya kelautan di Indonesia. Potensi aplikasi SIKBES-IKAN sebagai sumber informasi strategis daerah penangkapan ikan di Indonesia yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan optimasi hasil tangkap, bisa digunakan di instansi pemerintah untuk pengelolaan penangkapan ikan bagi industri.
28
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
4. PEMBANGUNAN SISTEM SIKBES-IKAN: DESKRIPSI DAN METODOLOGI 4.1. Deskripsi Perangkat lunak SIKBES-IKAN dibangun dalam rangka memindahkan kearifan dan pengetahuan tentang kelautan dan perikanan yg diwarisi secara turun-temurun menjadi pengetahuan teknis untuk prediksi yang lebih akurat keadaan perikanan guna memastikan kelestarian dan optimasi pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia. Pada tahun 2008, perangkat lunak SIKBES-IKAN sudah dilindungi UU Hak Cipta dari Ditjen. HKI, Departemen Hukum dan HAM RI. Selanjutnya dalam rangka implementasi dan komersialisasi aplikasi sistem ini lebih lanjut, BPPT telah melakukan sosialisasi ke institusi kelautan dan perikanan, industri perikanan serta pemerintah daerah di Indonesia. Perangkat lunak SIKBES-IKAN memungkinkan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pengguna (user) dalam kerangka membantu menyusun perencanaan strategis dibidang kelautan dan perikanan berdasarkan data fishing ground (FG) yang diperoleh melalui sistem ini, adalah sebagai berikut: • • • • • • • • • • • • • •
Dimana posisi Fishing Ground (FG) yang terdeteksi? Berapa jarak dari pos pendaratan ikan ke titik FG ? Jenis armada / kapal (tonase) apa yang layak digunakan ? Berapa lama waktu tempuh dan arah dari pos pendaratan ikan ke titik FG ? Jenis alat tangkap apa yang layak digunakan ? Prasarana penunjang apa yang harus dlengkapi ? Jenis ikan apa yang kemungkinan menjadi target tangkapan ? Berapa besar modal yang harus dikeluarkan ? Berapa besar biaya operasional yang harus dikeluarkan ? Berapa besar produksi tangkapan yang akan dihasilkan ? Berapa kemungkinan keuntungan yang akan diperoleh ? Kombinasi mana yang paling menguntungkan untuk dilakukan penangkapan ? Berapa besar bagi hasil keuntungan untuk setiap kelompok orang yang terlibat ? Kearah mana kemungkinan titk FG akan bergerak ?
4.2. Metodologi Metodologi yang akan dijabarkan berikut ini disusun secara hierarki disusun sedemikian rupa agar didapatkan hasil kajian yang komprehensif, sistematik dari hulu yang berisi mengenai pengembangan metode baru dalam prediksi lokasi penangkapan ikan (fishing ground) dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) hingga ke hilir yang berisi implementasi metode baru tersebut dalam penentuan fishing ground jenis ikan pelagis ekonomis sampai pada pembangunan perangkat lunak Sistem Informasi Perikanan Tangkap Terpadu (SIKBES-IKAN) berbasis expert system yang mana mengintegrasikan lokasi penangkapan ikan (fishing ground) dengan parameter sumberdaya perikanan tangkap (sosial, ekonomi dan valuasinya) sehingga dapat membantu pengguna/user dalam menyusun perencanaan strategis di bidang kelautan
29
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
dan perikanan yang bercirikan: intelligenct decision support system, cost minimizing objective function dan bermanfaat secara ekonomi. (1). Pengembangan Model Integrasi Knowledge-Based Expert System-Remote Sensing-GIS Pada Gambar 1 diperlihatkan integrasi antara Sistem Pakar (expert system), Sistem Informasi Geografis (SIG) dan penginderaan jauh (remote sensing), yang merupakan konsep dasar yang diguanakan dalam pembangunan model. Sistem integrasi di sini merupakan metode baru yang digunakan dalam memetakan fishing ground dan valuasi ekonominya dan dirancang untuk menjawab 3 (tiga) pertanyaan yang biasa dijumpai di dalam studi ilmu kebumian. Komponen GIS & RS difasilitasi untuk menjawab pertanyaan pertanyaan ”What” dan ”Where”, yaitu RS & GIS database dan spatial analysis. Komponen Expert System disusun dengan 2 (dua) modul utama, yaitu : Knowledge-Base dan inference engine yang difasilitasi untuk menjawab pertanyaan ”Why”. Basis pengetahuan (knowledge base) dari sebuah expert system dibangun berdasarkan hasil dari pengambilan pengetahuan (knowledge acquisition) di dalam bentuk ”production rules”. Inference engine dalah sebuah alat pemroses pengetahuan (knowledge processing tool) pada komponen expert system (sistem pakar). Tugas utamanya adalah menggabungkan fakta-fakta (facts) dengan aturan-aturan (rules) untuk mengembangkan atau untuk menyimpulkan atau untuk menggambarkan kesimpulan tentang fakta-fakta baru.
Gambar 1. Sistem Integrasi Expert System, GIS dan Remote Sensing yang digunakan dalam membangun SIKBES-IKAN
30
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(2). Lokasi Studi dan Akuisisi Data Daerah penelitian terletak di daerah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (Gambar 2). Sebagai data input, kita menggunakan Suhu Permukaan Laut (SST), Laut Permukaan Klorofil-a (SSC) dan data Kekeruhan berasal dari data satelit MODIS NASA. Sedangkan untuk memverifikasi hasil Perikanan Ground Model Prediksi, kami mengumpulkan data in-situ dari titik penangkapan ikan di kedua daerah, dan analisis statistik sederhana digunakan untuk memahami persentase akurasinya.
Gambar 2. Lokasi Kegiatan Implementasi SIKBES-IKAN
(3). Perancangan Ontology Knowledge-Based Expert System Untuk Prediksi Lokasi Keberadaan Ikan (Fishing Ground Prediction) Proses penentuan lokasi potensial keberadaan ikan (fishing ground) selanjutnya melalui para ahli/pakar (experts) disusun basis pengetahuan (knowledge base) tentang hubungan antara parameter-parameter yg mempengaruhi penentuan lokasi keberadaan ikan. Pada Gambar 2 diperlihatkan alur sistem yang digunakan di dalam membangun SIKBESIKAN. Dalam penelitian ini, kami menggunakan 3 (tiga) parameter oseanografi (SST, Klorofil-a Kekeruhan, dan) sebagai input data Pengetahuan Berbasis Sistem Pakar (Knowledge Based Expert System/KBES) untuk menentukan lokasi potensial penangkapan ikan. Parameter ini kemudian juga diproses untuk menyelidiki dan mengidentifikasi fenomena oseanografi (upwelling, front, dan eddy) di daerah studi yang diduga memiliki korelasi kuat dengan lokasi potensial penangkapan ikan. Dalam penerapan KBES menggunakan data harian dari SST, Chl-a, dan Kekeruhan (turbidity) sebagai variabel input untuk menghasilkan informasi sehari-hari pembentukan daerah potensial penangkapan ikan. Proses perumusan hubungan antar parameter (ontologi) dalam rangka menghasilkan lokasi potensial keberadaan ikan (fishing tground) diperlihatkan pada Gambar 3. Dari Gambar 3, diperlihatkan alur sistem SIKBES-IKAN, dimanan hubungan antar parameter (Chl, SST, Turbidity) serta arus laut untuk memprediksi pergerakan ikan,
31
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
yang akhirnya melakkan prediksi lokasi keberadaan ikan. Disamping prediksi FG, maka sistem SIKBSE-IKAN juga dirancang untuk membantu pengambil keputusan (decision makers) didalam membuat perencanaan strategis bidang kelautan dan perikan di wilayahnya serta bagaimana menghitung nilai ekonomi yang didapat nelayan dalam bentuk rekomendasi. Hasil dari rumusan ontology ini, selanjutnya diturunkan menjadi aturan-aturan (rules) yang digunakan didalam membangun model prediksi FG. Aturanaturan (heuristic rules) diturunkan dari knowledge base sistem perikanan tangkap yang merupakan hubungan antar parameter-parameter oseanografi dan fenomenanya dalam rangka mendapatkan lokasi potensial keberadaan ikan.
PREDIKSI PERGERAKAN
Gambar 3. Alur Sistem SIKBES-IKAN
(4). Konsep Model prediksi untuk Fishing Ground (A proposed cyclical modeling approach) Konsep pemodelan yang digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan Knowledge based expert system yang diintegrasi dengan GIS dan data penginderaan jauh didasarkan pada pendekatan model yang bersiklus (seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3). Model ini terdiri dari tiga (3) tahap, seperti yang dijelaskan di bawah ini: (a). Tahap Pengamatan: untuk menentukan karakteristik perilaku ikan, kondisi fisik laut dan menggunakan metode pengenalan pola daerah penangkapan ikan dan yang bukan daerah penangkapan ikan; (b). Analisis dan interpretasi data (SST, Chl-a, dan turbidity);
32
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(c). Pemodelan dan tahap pengujian/verifikasi : pengujian dan validasi menggunakan data in-situ untuk prediksi daerah penangkapan ikan (fishing ground)
Gambar 4. Konsep Model Prediksi Fishing Ground (A proposed cyclical modeling approach)
Dari model ini, kita akan memahami bahwa terbukti dari kinerja model akan tergantung pada data umpan balik (feedback) dari pengamatan lapangan dan basis pengetahuan sistem pakar (knowledge base) dalam penyelidikan lebih lanjut yang dapat dilakukan dan disesuaikan dengan prediksi yang lebih akurat daerah penangkapan yang ada dan fenomena oseanografi. Aturan-aturan (heuristic rules) dalm bentuk IF-THEN Rule diformulasikan berdasarkan knowledge base yang telah disusun oleh para pakar (experts) untuk memprediksi lokasi keberadaan ikan (fishing ground). Aturan-aturanj (Heuristic Rules) yang telah diformulasikan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Heuristic Rules yang digunakan dalam Prediksi Fishing Ground
33
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Beberapa hasil yang diperoleh dalam pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (intelligent fish tracker) untuk mendukung program Ketahanan Pangan Nasional di Bidang Kelautan dan Perikanan antara lain: Perangkat Lunak SIKBES-IKAN: model integrasi antara Expert system dengan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk prediksi lokasi keberadaan ikan (fishing ground) yang sangat bermanfaat di dalam memberikan data dan informasi fishing ground yang cepat, akurat, dan mudah untuk diakses, yang dapat dipergunakan untuk membantu nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan agar menjadi efektif dan tepat sasaran; Basis data spasial sumberdaya perikanan; Peta lokasi keberadaan ikan (fishing ground map); Model valuasi ekonomi sumberdaya perikanan tangkap. Pada Gambar 5. di ilustrasikan peta lokasi keberadaan ikan (fishing ground map) di wilayah pesisir Teluk Tomini (Sulawesi Tengah) dengan menggunakan KBES-GS-RS FG model yang terpaket dalam sistem SIKBES-IKAN. Dengan menerapkan perangkat lunak SIKBES-IKAN, maka sebagai masukan digunakan 3 parameter, yaitu: suhu permukaan laut (SST), Konsentrasi klorofil (chl) dan Turbidity. Sistem SIKBES-IKAN akan melakukan proses dan analisa, sampai menghasilkan fishing ground map. Hasil pada Gambar 5 menunjukkan bahwa peta daerah penangkapan ikan yang dihasilkan dari model dapat dibagi menjadi dua (2) kategori. Kategori pertama adalah FG daerah potensial yang ditandai dengan titik warna merah, dan kategori kedua adalah wilayah semi FG potensial ditandai dengan titik berwarna hijau. Sementara titik-titik warna hitam merupakan daerah non FG. Peta lokasi keberadaan ikan (FG map) beserta titik koordinatnya selanjutnya diinformasikan kepada Nelayan. FG map ini sangat penting di dalam memberikan panduan kepada para nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan dengan panduan ini, Nelayan bisa menangkap ikan lebih efektif dan yang lebih penting lagi nelayan dapat menghemat penggunaan bahan bakar kapalnya. Sistem SIKBES-IKAN diterapkan dan dijalankan dengan mempertimbangkan informasi lingkungan laut diidentifikasi oleh tiga (3 parameter SST harian, kekeruhan Klorofil-a,) sebagai data input. Setiap hari dan hasil variabilitas model dalam menghasilkan diperkirakan luas daerah potensial penangkapan yang akurat tergantung pada cakupan awan serta situasi meteorologi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa daerah potensial penangkapan ikan sebagian besar terkonsentrasi di perbatasan dekat (depan) dari tingkat konsentrasi tinggi rendahnya klorofil-a. Pada Gambar 6 diperlihatkan hasil analisisi statistik (data keluaran dan data lapangan/in-situ) unjuk kerja dari model yang dikembangkan. Untuk memahami tingkat akurasi dari model ini, dengan membandingkan hasil harian model (output model)dan data observasi lapangan harian daerah penangkapan ikan dalam waktu yang sama dari perolehan data dan observasi. Hasil yang ditunjukkan dalam Gambar 6, menunjukkan bahwa persentase rata-rata tingkat akurasi hasil model di kedua wilayah di daerah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan relatif tinggi dengan tingkat akurasi 86%. Sedangkan hasil harian model prediksi di wilayah pesisir Teluk Tomini, Sulawesi Tengah dalam kisaran 68% sampai 95%.
34
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Map of Potential Fishing Ground
Chlorophyll map Tomini bay
Turbidity map Tomini bay Knowledge Base Engineer + GIS (KB Expert Systems GIS)
Sea Surface map Tomini bay
Gambar 5. FG peta yang dihasilkan oleh SIKBES-IKAN di perairan Teluk Tomini, Sulawesi Tengah
Sebagaimana disebutkan di atas, variabilitas tingkat akurasi hasil prediksi model tanah potensial penangkapan ikan tampaknya harus kuat berkorespondensi dengan tingkat penutupan awan di mana di daerah tropis menjadi masalah. Untuk menghilangkan dan meningkatkan tingkat akurasi dalam akuisisi data satelit, pengembangan proses teknis dari satelit data untuk daerah tropis direkomendasikan.
35
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 6. Hasil analisis statistik sederhana antar model dan data lapangan dari daaerah penangkapan ikan
6. KESIMPULAN Indonesia adalah negara maritim yang memiliki sumberdaya kelautan sangat besar, terutama potensi perikanan. Pengelolaan penangkapan ikan laut yang baik dan seimbang memerlukan informasi potensi sumberdaya ikan laut yang baik dan akurat. PTISDA BPPT telah berhasil membangun suatu model prediksi lokasi keberadaan ikan beserta valuasi ekonominya dengan sukses dan unjuk kerja yang tinggi. Model ini merupakan suatu terobosan baru, yaitu membangun model prediksi lokasi keberadaan ikan (fishing ground) di laut jenis ikan pelagis ekonomis menggunakan pendekatan integrasi antara metode sistem pakar (Knowledge-Based Expert System/KBES), Penginderaan Jauh (Remote Sensing), Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) dan teknik valuasi ekonomi yang mampu menyediakan informasi estimasi ekonomi pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan di suatu perairan. Model yang dikembangkan ini dinamakan perangkat lunak “SIKBES-IKAN”, atau sang penjejak ikan nan cerdas (intelligent fish tracker). Sistem yang dibangun mampu memindahkan kearifan dan pengetahuan tentang kelautan dan perikanan yang diwarisi secara turun-menurun menjadi pengetahuan teknis untuk prediksi yang lebih akurat keadaan perikanan guna memastikan kelestarian dan optimasi pemanfaatan sumberdaya laut di Indonesia, bukan hanya berdasarkan pengalaman atau intuisi perorangan saja. Mulai pada tahun 2009 hingga saat ini, software SIKBES-IKAN telah di implementasikan di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya di perairan teluk Tomini kabuapaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi
36
Pengembangan Sistem Penjejak Ikan Nan Cerdas (Intelligent Fish Tracker) dengan Pendekatan Integrasi Expert Systems, Remote Sensing dan GIS Model Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tengah. Sistem ini dapat menyediaan informasi yang tepat guna mengenai daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang mudah diakses, cepat dan akurat; informasi mengenai potensi lestari perikanan, kondisi lingkungan dan habitat ikan suatu perairan untuk menghidari ekploitasi sumberdaya ikan yang berlebih (overfisihing) agar bisa membantu untuk meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan selektivitas dalam Operasi Penangkapan Ikan (OPI) untuk ikan pelagis penting baik skala lokal maupun regional. DAFTAR REFERENSI Atkinson, P. M. and A. R. L. Tatnall. 1997. Neural networks in remote sensing. Int. J. Remote Sensing. Vol. 18, No. 4. Hendiarti, N., Siegel, H., Ohde, T., 2004. Investigation of different coastal processes in Indonesian waters using SeaWiFS data. Deep Sea Research Part II 51 : 85-97. Ignizio, J.P. Introduction to Expert Systems: the development and implementation of rule-based expert system. NewYork: McGraw-Hill, Inc. James C. Hendee. 1998. An Expert System for Marine Environmental Monitoring in the Florida Keys national Marine Sanctuary and Florida Bay. Proceedings of the Second International Conference on Environmental Coastal Regions, ed. C.A. Brebbia. Computational Mechanics ublications/WIT Press. Southampton, pp. 57-66. Kemmerer, A.J. 1980. Environmental preferences and behavior patterns of Gulf menhaden (Brevoortia patronus) inferred from fishing and remotely sensed data. ICLARM Conf. Proc., (5):345–70. Laurs, R.M. et al. 1984. Albacore tuna catch distributions relative to environmental features observed from satellites. Deep-Sea Res., 31(9):1085–99. Mockler, R.J. & Dologite, D.G. 1992. Knowledge-Based Systems. An Introduction to Expert Systems. Macmillan Publishing, New York. Poul Degnbol. 2004. The Knowledge base for fisheries management in developing countries: alternative approaches and methods. Institute for Fisheries Management and Coastal Community Development. Bergen Norway Published. Sadly, Muhamad. 2005. Assessment and Applicfations of the Knowledge-based Expert System in Natural Resources Management. Technical Report P-TISDA, BPPT. Sadly, Muhamad., N. Hendiarti, S.I. Sachoemar, Y. Faisal. 2009. Fishing Ground Prediction Using a Knowledge-Based Expert System Geographical Information System Model in the South and Central Sulawesi Coastal Waters of Indonesia. International Journal of Remote Sensing (IJRS), Vol. 30, Nos.23-24, 20 December 2009, 6429-6440, Tailor & Francis (ISSN:0143-1161). Venegas, R., P.T. Strub, E. Beier, Letelier, T. Cowles, and A.C. Thomas. 2007. Assessing satellite-derived variability in chlorophyll pigments, wind stress, sea surface height, and temperature in the northern California Current System. J. Geophys. Res. In Press.
37
Muhamad Sadly Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
BIOGRAFI PENULIS Dr. Ir. Muhamad Sadly, M.Eng. Dr. Muhamad Sadly lahir di Makassar (Sulawesi Selatan) pada 14 Desember 1963. Menamatkan SD, SMP dan SMA di Kota Makassar. Pendidikan Tinggi diawali di Universitas Indonesia Jurusan Teknik Elektro dan meraih gelar Insinyur UI tahun 1988. Meraih Master of Engineering (M.Eng.) dari Department of Information and Computer Sciences, Faculty of Engineering, Chiba University, Japan pada Tahun 1996 dengan riset pengembangan algoritma/model untuk aplikasi bidang penginderaan jauh terkait dengan pengelolaan SDA. Memperoleh gelar Doktor (Doctor of Philosophy) pada tahun 2000 dari Department of Information & Computer Engineering, Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan. Pada Bulan Maret 1989 diterima bekerja di Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Alam (sekarang Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam/PTSDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan sampai sekarang masih tetap bekerja di PTISDA BPPT. Pada Tahun 2004-2009 penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Teknologi Pemodelan Sistem SDA pada Pusat Teknologi Inventarisasi SDA (PTISDA), BPPT. Kemudian, pada tanggal 7 Agustus 2009, dilantik sebagai Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA), BPPT. Penulis juga aktif pada beberapa organisasi profesi, baik skala nasional maupun skala internasional. Berbagai jejaring kerjasama luar negeri (International Networking) bidang R & D dalam Penginderaan jauh telah dibangun, diantaranya dengan Jepang, Belgy, U.S.A, dan Taiwan. Puluhan karya ilmiah telah di publikasikan, baik pada publikasi skala nasional maupun pada skala internasional. Penghargaan yang ia peroleh, antara lain: Piagam Satya Karya Satya X dan XX Tahun 1999 dan 2009; Sebagai Peneliti Utama (PU) pada Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Bidang Kelautan untuk Mendukung Kemandirian Agribisnis Budidaya Perikanan, dengan tema riset Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Identifikasi Ekosistem Terumbu Karang Dan Kesuburan Perairan di Kepulauan Bangka (2000-2001); Riset Unggulan Terpadu IX (RUT-IX), Bidang Informasi dan Mikroelektronika tentang “Perancangan Stasiun Bumi Penerima Data Satelit NOAA-AVHRR Dan Aplikasinya di Indonesia” (2002-2003). Sebagai Peneliti Utama Program Insentif Ristek (2007); Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden RI “SATYALANCANA WIRA KARYA Tahun 2008; Masuk dalam “101 Indonesia Innovations pada tahun 2009”, Salah satu Inventor dan pemegang hak cipta (copyright) Perangkat Lunak “SIKBES-IKAN”.
38
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi AuraOmi
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung *Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443; e-mail:
[email protected]
Abstrak Aerosol adalah partikel padatan atau cair yang tersuspensi dalam udara. Aerosol terbentuk dari emisi primer dan sekunder hasil reaksi gas-gas. Sedangkan O3 terbentuk dari hasil reaksi kimia gas-gas di troposfer dan reaksi radiasi matahari terhadap molekul oksigen di stratosfer. Oksidasi O3 terhadap gas NO2 dan SO2 akan menghasilkan aerosol sekunder. Keberadaan keduanya di atmosfer dapat mempengaruhi budget radiasi matahari yang mempengaruhi iklim, deposisi asam, dan visibilitas atmosfer. Dengan menggunakan data aerosol dalam Aerosol Optical Depth (AOD) pada panjang gelombang 483,5 nm dan total O 3 dari satelit Aura-NASA sensor OMI (The Ozone Monitoring Instrument) dari Oktober 2004 sampai Desember 2008 akan dilihat variabilitas musimannya. Hasil analisis AOD(483,5 nm) terluas terdapat di wilayah Jawa Barat dengan kisaran 1,662-2,193 pada musim DJF (Desember-Februari) dan terendah dengan kisaran 0,599-1,131 pada musim JJA (Juni-Agustus). Sedangkan total O3 terluas tetinggi pada kisaran 255,33-258,56 DU (Dobson Unit) pada musim SON (SeptemberNovember) dan terendah pada kisaran 245,67-248,89 DU (Dobson Unit) pada musim DJF (Desember-Februari) di seluruh Jawa. Hasil analisis di Jawa memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat jelas antara musim kering dan basah untuk total O3 yaitu maksimum pada musim peralihan kering ke basah pada bulan-bulan SON. Sebaliknya aerosol tinggi pada bulan-bulan basah DJF. Kata kunci: Aerosol, Aerosol Optical Depth (AOD), AURA-OMI, O3, musim
Abstract Aerosol is solid and liquid suspended in the air. Aerosols are produced by primary and secondary emissions as a product of gas reactions. In the other hand, Ozone is produced by gaseous chemical reactions in the troposphere and by the action of solar radiation on oxygen molecules in the stratosphere. Ozone will oxidize gaseous NO2 and SO2 to give secondary aerosol. Their existence in the atmosphere will influence solar radiation budget that lead to climate, acid deposition and atmospheric visibility effects. Aerosol data in form of Aerosol Optical Depth (AOD) with wavelength of 483.5 nm and Ozone total column from satellite AURA-NASA sensor OMI (The Ozone Monitoring Instrument) from October 2004 to December 2008 were used to analyze seasonal
39
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
variability. The largest area covered and the highest value of AOD(483,5 nm) was found in West Java with values of 1.662-2.193 during DJF (December to February) and the lowest was within values of 0.599-1.131 during JJA (June to August). The largest and the highest ozone total column was found within values of 255.33-258.56 DU (Dobson unit) during SON (September to November) and the lowest was within values of 245.67248.89 DU (Dobson unit) during DJF (December to February) in all regions of Java. Analysis’ result in Java showed clear differences between wet and dry seasons for ozone total column i.e. maximum during dry to wet transformation season in SON (September to November). On the contrary, aerosol was high during wet season. Keywords: Aerosol, Aerosol Optical Depth (AOD), AURA-OMI, Ozone, season 1. PENDAHULUAN Aerosol adalah partikel padatan atau cair yang tersuspensi dalam udara. Aerosol terbentuk dari emisi primer dan sekunder hasil reaksi gas-gas. Emisi SO2 dari pembakaran batubara yang meningkat akhir-akhir ini merupakan hal yang perlu diperhatikan, mengingat dampaknya terhadap terjadinya hujan asam setelah dikonversi menjadi aerosol sulfat. Oksidasi O3 terhadap gas NO2 dan SO2 akan menghasilkan aerosol sekunder yaitu aerosol nitrat dan sulfat. Aerosol sebagai media untuk reaksireaksi kimia yaitu kimia yang heterogen, yang paling penting dari reaksi ini menyebabkan pengrusakan ozon stratosfer. Selama musim dingin di daerah kutub, aerosol tumbuh membentuk Polar Stratospheric Clouds (PSCs) yaitu awan-awan stratosfer. Area permukaan yang luas dari partikel-partikel awan menyediakan tempat untuk reaksi kimia dan selanjutnya membentuk chlorine yang reaktif dan merusak ozon di stratosfer. Fakta-fakta pengrusakan ozon stratosfer terjadi sesudah letusan gunung berapi yang besar seperti gunung Pinatubo pada 1991 (NASA (ASD) Homepage, 2010). Beberapa observasi menjelaskan bahwa tahun 1991, letusan gunung Pinatubo (Philipina) menyebabkan penipisan lapisan ozon naik 20% pada musim semi berikutnya (Solomon et al., 1993). Dampak letusan gunung berapi akan berpengaruh pada penyebaran aerosol ke stratosfer dan juga terhadap kimia atmosfer dan transfer radiasi matahari. Letusan gunung berapi, selain memberikan kontribusi aerosol ke stratosfer, juga melepaskan SO2 dan selanjutnya akan membentuk partikel sulfat. Sulfat partikel yang terdapat dalam aerosol maupun hasil pembentukan dari gas SO2 diyakini sebagai tempat nukleisasi awan-awan stratosfer (Iwasaka et al., 1994). Proses heterogen yang meliputi awan-awan stratosfer di kutub mempunyai peranan dalam pengrusakan ozon di daerah stratosfer kutub, jika awan-awan stratosfer kutub (Polar Stratospheric Clouds /PSCs) diuraikan dan senyawa clorin (chlorine) bereaksi dengan permukaan PSCs (Solomon, 1989). Terakhir dikesankan bahwa kemungkinan partikel sulfat dapat diuraikan di stratosfer dan mengubah chlorine yang inert (tidak bereaksi) menjadi aktif dan merusak ozon stratosfer melalui reaksi heterogen asam sulfat dalam tetes-tetes hujan (Hofmann and Solomon, 1989). Hasil penelitian Iwasaka et al. (2002) di Cina mendapatkan struktur aerosol (partikel) stratosfer, terutama terkomposisi dari asam sulfat dalam tetes awan
40
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
dengan kisaran diameter ≥ 0,4 µm dan konsentrasinya 2-3 kali lebih besar dibandingkan tampa letusan gunung berapi. Ada tiga tipe aerosol mempengaruhi iklim secara signifikan. Yang pertama yaitu lapisan aerosol gunung berapi yang terbentuk di stratosfer sesudah gunung meletus seperti gunung Pinatubo. Kedua dari lapisan aerosol yang dominan adalah terbentuk oleh gas SO2 dan dirubah menjadi asam sulfat dalam tetes-testes hujan (droplets) di stratosfer setelah berminggu-minggu atau bulan sesudah letusan gunung berapi. Angin di stratosfer akan menyebarkan aerosol sampai secara praktis menyelimuti seluruh bumi, akibatnya aerosol akan tinggal di stratosfer selama kira-kira dua tahun. Mereka merefleksikan sinar matahari, mereduksi sejumlah energi yang sampai ke permukaan bumi, dan mendinginkannya. Pendinginan pada tahun 1993 adalah respon dari lapisan aerosol stratosfer sebagai hasil letusan gunung Pinatubo (NASA (ASD) Homepage, 2010). Menurut Ohta et al. (1997) hasil analisis koefisien kekeruhan atmosfer secara global yang diperoleh di daerah pedesaan di Jepang dari tahun 1954 - 1989 memperlihatkan kenaikan 0,028 telah menyebabkan penurunan rata-rata temperatur permukaan secara global sebesar 0,41oC. Pengaruh aerosol atmosfer pada radiasi matahari sangat bergantung pada ukuran penyebaran, bentuk, konsentrasi, dan sifatsifat optiknya. Letusan G. Pinatubo di Pilipina pada 15 Juni 1991 menimbulkan timbunan aerosol sebanyak 30Tg (30x1012 g) (McCormick et al., 1995). Tujuan dari penulisan ini adalah menghitung tingkat pengaruh aerosol terhadap total ozon di atmosfer. Mengingat adanya pengaruh lainnya seperti radikal OH terhadap pengrusakan ozon dan juga pengaruh kelembaban udara pada aerosol, maka analisis dikelompokan berdasarkan empat musim. Musim di Indonesia terdiri dari musim kering Juni-Agustus, basah Desember-Februari, peralihan basah ke kering Maret-Mei dan peralihan kering ke basah September-November. Dengan mengetahui distribusi total ozon per musim akan dapat menjelaskan penipisan lapisan ozon di Jawa. 2. TOTAL OZON Total ozon terdiri dari ozon stratosfer dan troposfer. Daerah paling rendah atau lapisan paling bawah disebut troposfer, dari permukaan bumi sampai ketinggian 10 km. Sesungguhnya seluruh aktivitas manusia terjadi di troposfer. Lapisan berikutnya adalah stratosfer, berkelanjutan dari 10 km sampai kira-kira 50 km. Sebagai yang diperlihatkan, ozon atmosfer terbanyak terkonsebtrasi di lapisan stratosfer, kira-kira 1530 km di atas permukaan bumi (EPA-USA, 2011). Sekitar 90% dari total konsentrasi ozon di atmosfer bumi terdapat di stratosfer dan disebut ozon yang baik. Ozon ini sangat bermanfaat untuk menjaga kelangsungan kehidupan di bumi karena kemampuannya dalam menyaring radiasi matahari ultraviolet (UV) terutama pada panjang gelombang yang berbahaya dibawah 240 nm. Ozon dibentuk di stratosfer oleh reaksi radiasi matahari terhadap molekul oksigen dalam proses yang disebut fotolisis: O2 pecah menjadi atom oksigen dan bergabung kembali dengan O 2 membentuk O3. Ozon dirusak secara alamiah melalui siklus katalitik oksigen, nitrogen, chlorine, bromine dan hidrogen (Bojkov, 1995). Dan sisanya 10% berada di lapisan troposfer dari atmosfer bawah sampai 10 km, bersifat racun, oksidator sehingga merugikan
41
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
kehidupan di bumi. Ozon troposfer terutama sebagai hasil dari proses pembakaran dan reaksi kimia gas-gas.
Ketinggian (km)
Perubahan konsentrasi ozon dapat disebabkan adanya pembentukan dan perusakan karena pengaruh alamiah dan antropogenik. Pengaruh alamiah antara lain adalah pengaruh aktivitas matahari, musim, ENSO (El Nino and South Oscillation) dan QBO (Quasi Biennial Oscillation). Pengaruh antropogenik disebabkan bertambahnya emisi senyawa perusak ozon seperti CFC, halon, metilbromida, karbon tetraklorida, senyawa halokarbon lainnya dan senyawa lain yang mempunyai potensi merusak ozon di stratosfer.
Gambar 1. Struktur vertikal lapisan ozon troposfer (permukaan-10 km) dan stratosfer (10-50 km) Sumber: Bojkov, WMO 1995; World Meteorological Organization, 1998, Scientific Assessment of Ozone Depletion: 1998, WMO Global Ozone Research and Monitoring Project - Report No. 44, Geneva, 1998 (http://www.epa.gov/ozone/science/sc_fact.html#o3alt)
3. METODOLOGI Data-data yang digunakan dalam analisis yaitu total kolom AOD483,5nm (Aerosol Optical Depth pada panjang gelombang (= 483,5 nm) dan total kolom ozon dalam Dobson Unit (DU) diperoleh dengan cara mengunduh melalui situs giovanni-NASA (http://daac.gsfc.nasa.gov/giovanni/). Situs giovanni-NASA merupakan interface yang dikelola oleh NASA untuk mempermudah pengguna dalam mengunduh data-data hasil observasi satelit yang dikelolanya. Untuk AOD483,5nm dipilih data Aura-OMI (Observation Monitoring Instrument) level 2g dan total kolom O 3 dipilih data AuraOMI level 3. Data AOD483,5nm level 2g telah berupa grid 0,250 x 0,250 atau setara dengan luas wilayah 25 km x 25 km, sedangkan data total kolom O3 level 3 berupa grid 1o1o atau setara dengan luas wilayah 100 km x 100 km.
42
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Data AOD483,5nm dan total kolom O3 diunduh berdasarkan rata-rata musiman untuk wilayah Jawa (5,50 LS-90 LS; 1050 BT-1150 BT) yaitu bulan Desember 2004 - Februari 2005, Maret 2005 - Mei 2005, Juni 2005 - Agustus 2005, September 2005 - November 2005, Desember 2005 - Februari 2006, dan seterusnya hingga September 2008 November 2008. Selanjutnya dengan menggunakan spreadsheet EXCEL data-data tersebut dikelompokkan dan dirata-ratakan berdasarkan musim selama 4 tahun (20042008) yaitu Desember-Februari (DJF) mewakili musim basah, Juni-Agustus (JJA) mewakili musim kering serta Maret-Mei (MAM) dan September-November (SON) mewakili musim peralihan. Selanjutnya perangkat lunak Arc View/GIS versi 3.3 digunakan untuk membuat peta kontur rata-rata musiman AOD483,5nm dan total ozon (O3) untuk wilayah Jawa dengan metode interpolasi menjadi grid 0,01ox0,01o. Berdasarkan peta kontur tersebut maka dapat ditentukan nilai AOD 483,5nm dan total kolom O3 per-kabupaten di Jawa. Dari peta distribusi AOD483,5nm dan total ozon dianalisis penyebaran aerosol dan pengaruhnya terhadap total ozon atau sebaliknya. Kajian pengaruh AOD483,5nm terhadap total ozon dengan metode korelasi Pearson dari SPSS. 15 untuk tingkat kepercayaan 95% atau =0,05 (Santosa S., 2001 dan Seni, 2005). Analisis korelasi Pearson menggunakan data rata-rata bulan untuk wilayah Jawa dari AOD483,5nm dan total ozon. 4. HASIL DAN DISKUSI 4.1 AOD483,5 nm (Aerosol Optical Depth 483,5 nm) Dari Gambar 2 dan Tabel 1, nilai AOD 483,5 nm (Aerosol Optical Depth 483,5 nm) tertinggi terdapat pada bulan-bulan DJF di Banten, Jakarta dan Jawa Barat yaitu sebesar 1,131-2,193. Juga di Sleman, Brebes, Magelang, Wonosobo dan Bondowoso tinggi pada musim DJF dengan kisaran 1,131-2,193. Sedangkan Kota Banjar nilai AOD483,5 nm adalah 2,725. Demikian pula pada musim peralihan SON, nilai AOD 483,5 nm tinggi yaitu dalam kisaran 1,131-3,256 di daerah Banten, Jawa Barat, Jakarta, Brebes dan Sleman adalah wilayah dengan kepadatan transportasi, sedangkan Magelang, Wonosobo dan Bondowoso mempunyai gunung berapi (Global Volcanism Program (GVP), 2009). Di daerah Kuningan, Sleman, Wonosobo, Magelang dan Bondowoso mempunyai nilai > 2,000 pada musim SON, perlu diketahui wilayah tersebut terdapat gunung berapi sehingga memberikan kontribusi partikel ke atmosfer. Pada musim peralihan kondisi atmosfer dengan konsentrasi aerosol yang tinggi diduga kuat adanya kontribusi dari musim kemarau. Dan kurangnya proses pencucian atmosfer oleh hujan akan menaikkan konsentrasi aerosol di atmosfer di bulan-bulan SON.
43
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 2. Rata-rata musiman DJF, MAM, JJA dan SON dari AOD483,5 nm berdasarkan data Aura OMI level 2g di Jawa 2004-2008
Sedangkan untuk kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya nilai AOD483,5 nm dalam kisaran cukup tinggi yaitu 1,131-1,662 dikarenakan industri dan transportasi. Secara keseluruhan Jakarta diikuti Merak, Semarang dan Cirebon sepanjang pantai Pantura sampai Surabaya (Sidoarjo dan Mojokerto), dan Probolinggo mempunyai nilai aerosol tinggi dengan AOD483,5 nm yang tinggi 1,131-1,662 dibandingkan kota-kota lainnya di Jawa. Kota-kota tersebut merupakan daerah dengan transportasi dan industri yang padat. Bulan-bulan dengan konsentrasi aerosol tinggi terjadi pada musim SON diikuti DJF, MAM dan terakhir JJA. Pada musim penghujan aerosol dengan AOD483,5 nm tinggi 1,131-1,662 dan 1,662-2,725 di musim penghujan di Jawa Barat, Banten, Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur disebabkan tingkat kelembaban yang tinggi dan terbentukannya inti kondensasi musim penghujan sehingga ketebalan optik menjadi tebal atau tinggi.
44
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 1. Rata-rata AOD483,5 nm (Aerosol Optical Depth pada panjang gelombang ( 483,5 nm) berdasarkan lokasi dan musiman (DJF; MAM; JJA; SON) dari data Aura OMI level 2g periode 2004-2008 di Jawa. Aerosol Optical Depth (AOD483,5nm) Provinsi BANTEN
DKI JAKARTA JAWA BARAT
D I YOGYAKARTA
BALI
LAMPUNG
JAWA TENGAH
kabupaten Kota Tangerang Lebak Pandeglang Serang Kota Jakarta Utara Bandung Bekasi Bogor Ciamis Cianjur Cirebon Garut Indramayu Karawang Kota Bandung Kota Banjar Kota Depok Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Bantul Gunung Kidul Kulon Progo Sleman Badung Bangli Buleleng Jembrana Karang Asem Tabanan Lampung Barat Lampung Selatan Lampung Timur Tanggamus Banjarnegara Banyumas Batang
djf Rata-rata (DU) 1,049 0,926 1,020 1,425 1,144 1,766 1,503 1,913 0,757 0,819 1,551 0,920 1,258 1,540 2,074 1,955 1,676 1,752 1,604 1,460 1,819 1,655 0,807 1,033 0,828 1,368 0,578 1,053 1,201 0,702 0,781 0,852 0,803 1,290 1,500 1,701 0,894 1,630
mam Rata-rata (DU) 1,808 1,490 1,159 1,451 1,219 1,219 1,075 1,414 1,385 1,070 0,987 0,620 0,886 1,082 0,666 1,022 1,296 1,678 1,471 1,485 1,039 1,377 1,103 1,413 0,986 0,848 0,993 1,115 0,474 0,767 1,091 1,214 0,414 0,720 1,768 1,543 2,394 0,819 1,024
jja Rata-rata (DU) 0,905 1,321 1,042 1,267 0,920 1,282 0,989 1,524 1,338 0,902 0,844 1,079 0,855 0,847 1,057 1,465 1,165 1,335 0,860 1,101 0,795 1,170 0,824 1,329 1,134 0,872 0,978 1,198 0,237 0,975 0,402 0,954 0,569 0,988 0,637 1,766 1,818 1,544 1,281 0,976 0,771
son Rata-rata (DU) 1,443 1,792 1,215 1,193 1,230 1,760 1,381 1,242 0,914 1,264 1,386 0,967 1,648 1,183 1,315 1,550 1,382 2,846 1,744 1,636 1,222 0,508 1,646 1,408 1,355 0,854 1,005 2,203 0,548 0,452 0,573 0,783 0,489 1,634 1,345 1,594 1,196 1,794 0,283 1,003 2,796
45
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
JAWA TIMUR
46
Blora Brebes Cilacap Demak Grobogan Karanganyar Kebumen Klaten Kota Tegal Kudus Magelang Pati Pekalongan Pemalang Purbalingga Purworejo Rembang Semarang Sragen Sukoharjo Tegal Temanggung Wonogiri Wonosobo Bangkalan Banyuwangi Blitar Bojonegoro Bondowoso Jember Jombang Kediri Lamongan Lumajang Madiun Magetan Malang Mojokerto Nganjuk Ngawi Pacitan Pamekasan Pasuruan Ponorogo Probolinggo Sampang Sidoarjo
1,213 1,342 1,130 1,273 1,217 0,912 1,029 1,503 1,255 1,462 1,411 2,354 1,133 1,159 1,326 1,554 1,613 1,027 2,122 1,457 1,110 1,399 1,300 1,107 1,067 1,521 2,007 1,091 0,871 1,009 1,621 1,048 1,545 1,540 0,747 1,349 1,973 1,919 0,812 0,820 1,003 1,405 0,625 1,671
1,544 2,589 0,858 1,055 0,869 0,823 0,336 1,561 0,960 1,320 1,657 1,133 0,686 0,603 0,612 0,936 1,664 1,173 0,869 1,521 1,253 0,922 1,402 2,377 1,059 0,593 0,598 1,275 1,519 1,071 2,260 0,859 0,957 0,662 1,642 0,956 0,848 1,244 0,770 1,012 1,239 0,883 0,607 1,632 2,674 0,853 0,927
1,063 0,838 1,166 0,765 1,027 1,149 1,079 0,985 0,734 0,804 0,968 0,890 0,912 0,930 1,008 1,172 0,933 0,901 1,023 1,235 0,767 1,038 1,029 1,239 0,794 0,795 0,902 1,039 0,523 0,826 1,238 1,303 0,943 1,069 0,975 0,915 1,086 0,942 0,793 1,036 0,713 0,537 0,730 1,167 0,730 0,660 0,827
1,583 1,506 0,645 1,687 1,394 1,070 0,860 1,287 1,332 1,219 2,035 1,119 1,003 0,875 2,377 1,295 1,074 1,467 1,253 1,627 1,052 1,443 0,922 2,484 0,898 0,800 1,083 1,387 1,260 1,053 0,842 1,028 1,251 0,935 1,384 0,977 0,864 1,166 1,285 1,624 1,549 1,268 0,802 1,205 1,333 1,033 0,481
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Situbondo Sumenep Trenggalek Tuban Tulungagung
1,302 1,074 1,023 1,481 1,050
0,741 0,761 0,898 0,994 0,712
0,456 0,567 1,032 0,858 0,818
1,034 0,866 0,851 1,145 1,462
4.2 Distribusi Total Ozon Gambar 3 memperlihatkan konsentrasi rata-rata musiman total kolom ozon dari data Aura OMI level 2g di Jawa dari 2004 sampai 2008, dengan konsentrasi tinggi pada musim SON (September-Oktober-November). Distribusi total ozon pada musim SON di pulau Jawa hampir merata dengan konsentrasi rata-rata 255,33-258,56 DU. Tingginya konsentrasi total ozon pada musim peralihan SON diduga kuat ada peningkatan ozon prekursor seperti CO, NOx, CH4, NMHC di lapisan bawah atmosfer. Gas-gas ini dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil berupa gas buang. Sedang pembakaran biomass seperti kebakaran hutan akan menghasilkan gas-gas seperti CO, NH3, CH4, CH3Cl dan NOx yang diantaranya berpotensi terhadap pembentukan ozon. Bila ozon precursor di troposfer meningkat, maka ozon troposfer akan meningkat pula tentunya. Mekanisme ini tentunya bisa dilihat dari proses pembentukan dan pengrusakan ozon (Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998), contohnya pembentukan ozon karena CO. a.
Reaksi pembentukan ozon troposfer karena adanya CO HO + CO + O2 HO2 + CO2 HO2 + NO
NO2 + HO
NO2 + hv
NO + O
O + O2 + M
O3 + M
CO + 2 O2
CO2 + O3
Dari distribusi spasial Gambar 3 dan Tabel 2 tersebut didapati konsentrasi ozon tinggi di kota Jakarta, Serang, Kota Tangerang, dan kota-kota di Jawa Timur seperti Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan yang merupakan kota-kota penompang atau penyanggah transportasi padat ke daerah Surabaya juga Kediri. Kota-kota tersebut adalah wilayah dengan transpotasi dan industri yang cukup padat dan tentunya memberikan kontribusi gas buang dari pembakaran bahan bakar fosil yang tinggi dibandingkan kota-kota lainnya. Pada musim penghujan DJF (2004-2008) didapati konsentrasi rata-rata total O3 adalah terendah yaitu dalam kisaran 245,67-248,89 DU dibandingkan tiga musim lainnya seperti MAM, JJA dan SON. Adapun pantai utara Jawa Timur agak lebih tinggi dengan kisaran 248,89-252,11 DU sebaliknya Cilacap, Bandung, Cianjur, Garut dan Padeglang didapati konsentrasi rata-rata total O3 dalam kisaran 242,44245,67 DU pada musim DJF (2004-2008). Nilai rata-rata total O3 yang rendah pada musim penghujan dikarenakan terjadi pengrusakan O3 seperti oleh ditunjukkan pada mekanisme pengrusakan ozon troposfer maupun stratofer dikarenakan oleh adanya gugus hidroksil (HO). Awan mengandung H2O yang
47
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
berpotensi secara langsung menghancurkan ozon terutama pada ketinggian diatas 40 km. Radikal OH dan HO2 yang dihasilkan dari fotokimia air adalah: H2O + O* 2HO Reaksi pengrusakan ozon seperti di bawah ini (Anderson and Herschbach, 1985; Meszaros, 1981; Seinfeld and Pandis, 1998). b. Reaksi pengrusakan ozon troposfer karena reaksi fotolisa Ozon troposfer dirusak oleh reaksi fotolisa: O 3 + hv O(1D) + O2 O3 + hv O(3P) + O2 O(1D) yang bersifat metastabil dihilangkan oleh O 2 dan N2 menjadi: O(1D) + M O(3P) + M c. Bila bereaksi dengan H2O akan membentuk gugus hidroksil (HO) yang dapat terjadi di troposfer dan stratosfer yang berpotensi merusak ozon karena gugus hidroksil (HO): O(1D) + H2O HO + HO Ozon dapat bereaksi langsung dengan nitrogen oksida (NO): O3 + NO NO2 + O2
Gambar 3. Rata-rata musiman DJF, MAM, JJA dan SON dari total kolom ozon (data Aura OMI level 2g) di Jawa 2004-2008
48
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 2. Rata-rata total kolom ozon (O3) berdasarkan lokasi musiman (DJF; MAM; JJA; SON) dari data Aura OMI level 2g periode 2004-2008 di Jawa O3 (Dobson Unit) provinsi BANTEN
kabupaten
Kota Tangerang Lebak Pandeglang Serang DKI JAKARTA Kota Jakarta Utara JAWA BARAT Bandung Bekasi Bogor Ciamis Cianjur Cirebon Garut Indramayu Karawang Kota Bandung Kota Banjar Kota Depok Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya DI Bantul YOGYAKARTA Gunung Kidul Kulon Progo Sleman BALI Badung Bangli Buleleng Jembrana Karang Asem Tabanan LAMPUNG Lampung Barat Lampung Selatan Lampung Timur Tanggamus JAWA Banjarnegara TENGAH Banyumas Batang Blora
djf Rata-rata DU 248,0 247,0 246,8 247,3 248,0 246,3 247,5 248,3 247,0 245,8 249,0 246,3 247,5 247,5 246,0 246,0 249,0 248,0 248,0 248,0 248,0 245,4 248,3 247,3 248,0 247,5 247,0 247,0 246,0 249,0 249,0 248,0 249,0 248,0 245,0 246,0 247,0 246,0 247,0 247,5 248,0 248,0
mam Rata-rata DU 256,0 252,4 253,4 255,0 256,0 251,7 254,5 253,5 250,3 250,2 252,5 250,3 253,0 253,0 252,0 251,0 255,0 253,0 252,5 254,0 253,0 250,8 253,3 251,0 251,0 251,0 251,0 250,0 248,0 250,0 251,0 250,0 250,0 250,0 252,0 253,5 254,0 252,7 250,0 250,5 253,0 252,0
jja Rata-rata DU 256,0 253,2 253,6 255,3 256,0 251,3 254,5 253,5 250,7 251,2 253,0 250,3 252,0 254,0 250,0 252,0 254,0 252,0 252,5 253,0 253,7 251,4 253,7 251,0 250,0 250,5 250,0 250,0 247,0 250,0 250,0 250,5 249,0 250,0 253,0 253,8 255,0 252,3 251,0 252,5 252,0 251,0
son Rata-rata DU 257,0 256,4 257,0 258,3 259,0 255,7 257,5 257,8 255,7 256,0 257,0 255,3 256,5 257,0 256,0 256,0 257,0 257,0 256,5 256,0 257,0 255,8 256,0 255,5 256,0 256,0 256,0 256,0 256,0 257,0 258,0 257,5 257,0 258,0 254,0 255,5 256,0 255,3 256,0 257,5 258,0 256,0
49
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
JAWA TIMUR
50
Brebes Cilacap Demak Grobogan Karanganyar Kebumen Klaten Kota Tegal Kudus Magelang Pati Pekalongan Pemalang Purbalingga Purworejo Rembang Semarang Sragen Sukoharjo Tegal Temanggung Wonogiri Wonosobo Bangkalan Banyuwangi Blitar Bojonegoro Bondowoso Jember Jombang Kediri Lamongan Lumajang Madiun Magetan Malang Mojokerto Nganjuk Ngawi Pacitan Pamekasan Pasuruan Ponorogo Probolinggo Sampang Sidoarjo Situbondo
248,5 247,0 247,0 247,7 249,0 247,0 248,0 248,0 248,0 249,0 247,0 248,5 248,5 247,0 246,0 248,0 249,0 249,0 248,0 248,0 248,5 247,7 246,0 248,0 248,0 246,5 248,0 249,0 247,8 250,0 248,7 248,5 248,0 249,0 250,0 247,7 249,0 248,0 247,0 247,0 248,0 249,3 248,3 250,5 247,0 249,0 249,7
253,0 250,3 251,0 251,3 254,0 250,0 251,0 253,0 252,0 250,0 252,0 252,5 253,0 252,0 250,0 253,0 252,5 251,5 251,0 253,0 252,5 250,3 250,0 251,0 251,0 249,5 251,7 251,0 250,5 252,0 251,3 251,5 250,5 250,0 252,0 250,0 253,0 250,0 250,0 250,0 250,0 253,3 251,3 252,5 251,0 252,0 251,3
252,0 251,0 252,0 250,7 251,0 250,0 250,0 252,0 251,0 249,0 250,0 252,5 251,5 253,0 250,0 251,0 252,0 251,0 250,0 253,0 250,5 249,7 251,0 251,0 250,5 250,0 250,7 250,0 250,0 252,0 252,3 251,5 250,0 251,0 252,0 250,4 251,0 251,0 251,0 250,0 249,0 253,0 250,7 251,5 249,0 253,0 250,3
257,0 256,0 256,0 255,7 257,0 256,0 256,0 257,0 256,5 256,0 257,0 257,5 256,5 258,0 256,0 256,0 256,5 256,5 256,0 257,0 256,5 256,3 256,0 257,0 257,0 256,5 257,3 257,0 257,0 260,0 258,3 257,0 257,5 256,0 255,0 257,3 258,0 257,0 257,0 257,0 256,0 258,3 256,7 258,0 256,0 258,0 258,0
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Sumenep Trenggalek Tuban Tulungagung
4.3
247,5 247,0 248,0 248,0
250,5 251,0 252,3 250,0
249,5 249,0 251,7 250,0
254,3 256,0 256,7 257,0
Pengaruh Aerosol terhadap total O3
1,400
258
1,200
256 O3 AOD483,5 nm
1,000
254
252
0,800
250
0,600
248
0,400
246
0,200
244
0,000
242 DJF
MAM
JJA
Total Ozon (DU)
AOD 453,5 nm
Dari observasi menjelaskan bahwa tahun 1991, letusan gunung Pinatubo (Philipina) yang mengeluarkan mineral aerosol dan SO2 telah menyebabkan penipisan lapisan ozon naik 20% pada musim semi berikutnya (Solomon et al., 1993). Sulfat partikel yang terdapat dalam aerosol maupun hasil pembentukan dari gas SO2 diyakini sebagai tempat nukleisasi awan-awan stratosfer (Iwasaka et al., 1994) yang akan berpengaruh terhadap penipisan total ozon karena pengrusakan ozon oleh Cl di stratosfer. Menurut Hofmann and Solomon, 1989, kemungkinan partikel sulfat dapat diuraikan di stratosfer dan mengubah chlorine yang inert (tidak bereaksi) menjadi aktif dan merusak ozon stratosfer melalui reaksi heterogen asam sulfat dalam tetes-tetes hujan. Dari Gambar 4 terdapat pengaruh aerosol yang dinyatakan dalam rata-rata AOD483,5 nm terhadap ratarata total O3 di Jawa (2004-2008) yaitu AOD483,5 nm meningkat sebaliknya konsentrasi total O3 turun pada musim DJF, MAM dan JJA kecuali musim SON memperlihatkan rata-rata total O3 tinggi yaitu 256,673 DU dan rata-rata AOD483,5 nm juga tinggi yaitu 1,261.
SON
Musim
Gambar 4. Rata-rata AOD483,5 nm dan rata-rata total O3 di Jawa dari 2004 sampai 2008 dari data satelit Aura-NASA sensor OMI
Dengan uji korelasi Pearson dengan (ternyata pengaruh aerosol terhadap total O 3 cukup kuat dengan koefisien korelasi sebesar -0,807 dan signifikan p=0,40 > 0,05 untuk musim DJF, MAM dan JJA. Korelasi negatif memgambarkan aerosol yang tinggi terutama pada musim penghujan DJF menyebabkan penurunan total O3. Nilai (alpha) adalah nilai koefisien kepercayaan yang dalam perhitungan ini digunakan (alpha)
51
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
0,05 atau tingkat kepercayaan 95% (Seni, 2005). Tingginya konsentrasi total O 3 pada musim SON di Jawa diduga ada peningkatan O3 prekursor seperti dijelaskan pada subbab sebelumnya. 5. KESIMPULAN Hasil analisis di Jawa memperlihatkan adanya perbedaan yang sangat jelas antara musim kering dan basah untuk total O 3 yaitu maksimum pada musim peralihan kering ke basah pada bulan-bulan SON dan minimum pada bulan-bulan DJF. Penipisan total O3 di Jawa dipengaruhi oleh gugus hidroksil (HO) dan aerosol pada musim hujan. Kota Jakarta, Serang, Kota Tangerang, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan sebagai kota dengan transpotasi dan industri yang cukup padat telah memberikan kontribusi gas buang dari pembakaran bahan bakar fosil yang tinggi dibandingkan kota-kota lainnya dan berdampak pada tingginya total O 3 di wilayah tersebut. Sebaliknya aerosol tinggi pada bulan-bulan basah DJF di Jawa. Pengaruh aerosol terhadap penurunan total O 3 sangat signifikan pada musim basah (penghujan DJF) dengan angka korelasi yang cukup kuat yaitu sebesar -0,807. Maka pada di Jawa terdapat peluang penipisan total O 3 pada musim penghujan DJF dan penebalan total O 3 pada musim peralihan kering ke basah SON.
DAFTAR REFERENSI Anderson J.G. and Herschbach D.R., 1985, Atmospheric Ozone 1985 Volume I, World Meteorology Organization Global Ozone Research and Monitoring Project-Report No. 16, NASA, hal. 117-119. Bojkov, R.D., 1995, The Changing Ozone Layer, World Meteorological Organization and United Nations Environment Programme, pp. 1-25. Global Volcanism Program (GVP), downloaded, February 18, 2009, http://www.volcano.si.edu. Houghton J., 1986, The Physics of Atmospheres Second Edition, Cambridge University Press, 39-56. Iwasaka Y., Okuhara Y., Watanabe M, Hayashi M., Shi G., Gong Z., and Zhou J., 2002, Balloon-Borne Measurements of Atmospheric Aerosol Particles at Beijing, China in Summer of 1993 : Morphology, Size and Concentration, International Fall School of Atmospheric Environment and Atmospheric Aerosol and Dust in Asia, Nov. 10-20, Nagoya University, pp.76-82 McCormick M. P., Thomason L. W., and Trepte C.R. (1995), Atmospheric effects of the Mt Pinatubo Eruption, Nature, Vol. 373, pp. 399-404. Meszaros E., 1981, Atmospheric Chemistry (Fundamental Aspects), Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam – Oxford – New York, Studies in Environment Science, Vol. II pp. 48-49. NASA Langley's Atmospheric Sciences Division (ASD) Homepage, downloaded, September 2010.
52
Analisis Aerosol dan Total O3 di Jawa Hasil Observasi Aura-Omi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Ohta S., Murao N., Yamagata S., Fukazawa T., Hasegawa S., dan Arao K., 1997, Variation in Atmospheric Turbidity in The Area Around Japan, Journal of Global Environment Engineering, Environ. , Vol. 3, pp. 9-21. Parker D. E. , Wilson H., Jones P. D., Christy J. R., dan Polland C. K., 1995, The Impact of Mount Pinatubo on Worldwide Temperatures, International Journal of Climatology. Santosa S., 2001, SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi 7.5, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia-Jakarta, 217-254. Seinfeld J.H., and Pandis S.N., 1997, Atmospheric Chemistry and Physics, John Wiley and Sons Inc., pp. 1143-1145. Seni, M. S., 2005, Tugas makalah: Analisis Multiregresi, STT Telkom Bandung, http://www.stttelkom.ac.id. Smirnov A.V., and K.S. Shifrin, Relationship of optical thickness to humidity of air above the ocean, Izv. Acad. Sci. USSR Atmos. Oceanic Phys., Engl. Transl., 25, 374-379, 1989. Solomon et al., 1993, The Ozone Layer, Ozone Layer.htm, download, February 5-2009. World Meteorological Organization, 1998. Scientific Assessment of Ozone Depletion: 1998, WMO Global Ozone Research and Monitoring Project - Report No. 44, Geneva, 1998.
BIOGRAFI PENULIS Tuti Budiwati Tuti Budiwati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia di ITS tahun 1985. Mulai bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Bandung sejak Oktober 1986 dan mendalami kimia atmosfer. Tahun 1988 sampai 1989 selama satu tahun ikut Program trainining STMDP di Saitama University dalam studi kimia atmosfer. Pendidikan S2 diperoleh di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Lingkungan-Hokkaido University, Sapporo Japan tahun 1996. Penelitian: Hujan asam, kimia atmosfer, aerosol, dan radiasi matahari Fungsional : Peneliti Madya, Ilmu Pengetahuan Atmosfer Kecenderungan SO42- dan NO3- Dalam Air Hujan di Jawa. Karakteristik Kimia Aerosol Atmosfer di Jakarta. Pengaruh Ozon Terhadap Hujan Asam di Bandung. Variabilitas koefisien pencucian dari sulfat, nitrat, amonium dan sodium aerosol di Kototabang dan Jakarta.
53
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Wiwiek Setyawati Wiwiek Setyawati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia dari Sheffield University, Inggris tahun 1998. Mulai aktif bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung sejak tahun 2000 di Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara yang sejak tahun 2010 berganti nama menjadi Bidang Komposisi Atmosfer. Tahun 2007 mendapatkan gelar Master Teknik Lingkungan dari ITB. Jabatan Fungsional saat ini adalah Peneliti Muda pada bidang Sains Atmosfer dan Lingkungannya dengan fokus penelitian polusi udara, aerosol dan Gas Rumah Kaca (GRK). Konsentrasi Logam Timah Hitam (Pb) dan Total Suspended Partikulat Matter (TSP) di Udara Ambien Kota Bandung dan Ciater. Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Peningkatan Aerosol di Atmosfer Indonesia 2005-2008. Pengaruh Gas-gas Rumah Kaca dan aerosol terhadap temperatur di Stratosfer dan Mesosfer Hasil Pengamatan HALOE. Seasonal characteristics of nitric oxide and water vapor over Indonesia's region and their influence to stratospheric ozone as observed by HALOE
54
Analisis Total Kolom So2 di Sumatera dan Jawa Periode 20042008 Hasil Observasi Sciamachy
Wiwiek Setyawati1 dan Tuti Budiwati2 1,2 Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer Dan Iklim-LAPAN Jl. Dr. Djundjunan 133, Bandung Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443; e-mail:
[email protected] Abstrak Inventori emisi gas-gas seperti total kolom SO2 adalah hal sangat penting untuk kajian deposisi asam maupun kualitas udara. SO2 dihasilkan dari aktivitas manusia seperti pembakaran minyak, batubara, hasil proses kimia industri dan alam seperti gunung berapi. Gunung berapi tersebar di seluruh Indonesia terutama sepanjang Sumatera dan Jawa di bagian pantai Hindia atau bagian Barat dan Selatan pulau-pulau tersebut. Hasil observasi dengan satelit SCIAMACHY dan pengolahan data total kolom SO 2 tahun 2004-2008 menggunakan metode statistik memberikan gambaran rata-rata musiman total kolom SO2 per-wilayah Kabupaten di Sumatera dan Jawa. Distribusi spasial total kolom SO2 ditemukan merata dalam kisaran 0,04-0,08 DU (Dobson Unit) di Jawa dan Sumatera pada bulan DJF (Desember-Februari). Selanjutnya distribusi spasial total kolom SO2 secara berurutan dari tinggi ke rendah adalah DJF (Desember-Februari) > SON (September-November) > MAM (Maret-Mei) > JJA (Juni-Agustus). Pulau Jawa dengan gunung-gunungnya yang sering meletus terutama di Jawa Timur menunjukkan dampak letusan tersebut di kawasannya. Demikian pula di Sumatera pengaruh gunung berapi dimana mereka berada akan menyumbangkan emisi SO2 lebih besar dibandingkan dari aktivitas manusia. Kata kunci: Gunung berapi, SCIAMACHY, total kolom SO 2, musiman, wilayah kabupaten
Abstract Emission inventory of gases such as SO2 total column is a very important part of acid deposition or air quality analysis. Gaseous SO2 is produced by human activities such as oil and coal combustion, chemical industries process and natural activity such as volcanoes. Volcanoes are distributed all over Indonesia’s regions, mainly in Sumatera and Java in Hindia coastline or West and South parts of those islands. Observation results by Sciamachy satellites and SO2 total column data analysis from 2004-2008 by using statistics method produced seasonally average of SO2 total column for each county in Sumatera and Java. SO2 total column is distributed spatially evenly with values between 0.04-0.08 DU (Dobson Unit) in Java and Sumatera during DJF (December to February). Furthermore, spatial distribution of SO2 total column from
55
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
highest to lowest is DJF (December to February) > SON (September to November) > MAM (March to May) > JJA (June to August). Java island with its’ active volcanoes mainly in East Java showed eruption effect around the region. So as in Sumatera, volcanoes eruption effect to areas where they were located contributed higher SO2 emission than human activities. Keywords: Volcanoes, SCIAMACHY, SO2 total column, season, county regions 1. PENDAHULUAN Inventori emisi gas-gas seperti total kolom SO2 adalah hal sangat penting untuk kajian deposisi asam maupun kualitas udara. SO2 dihasilkan dari aktivitas manusia seperti pembakaran minyak, batubara, hasil proses kimia industri dan alam seperti gunung berapi (Meszaros, 1981). Penggunaan bahan bakar dari 2000 sampai 2006 menunjukkan kenaikan dari total 496.589.150 menjadi 577.533.310 Equivalent Barrel Oil (EBO) (KNLH, 2008). Diantara sektor-sektor pengguna bahan bakar seperti sektor industri, rumah tangga, komersial, transportasi dan lainnya, maka sektor industri merupakan konsumen terbesar sekitar 37,2 % dari total pengguna energi diikuti sektor transportasi (KNLH, 2008). Tingginya penggunaan energi di sektor indutri dan transportasi akan mengemisikan polutan seperti NO2, SO2, dan aerosol ke atmosfer yang berpotensi mengakibatkan deposisi asam dan pemanasan global. Peningkatan gas buang seperti NH3, NO2, SO2, dan aerosol akan mempengaruhi kadar keasaman air hujan (Seinfeld dan Pandis, 1998). Penggunaan bahan bakar solar dengan kandungan sulfur tinggi masih banyak dijumpai di SPBU di Indonesia dengan standar maksimum 3500 ppm, berbeda dengan standar Euro-2 yang mensyaratkan kandungan sulfur dalam solar sebesar 500 ppm. Hasil pemantauan tahun 2007 terhadap kandungan sulfur dalam solar didapati rata-rata sebesar 2156 ppm dengan kisaran 400-4600 ppm, tahun 2006 kandungan sulfur dalam solar rata-rata sebesar 1494 ppm dengan kisaran 700-3300 ppm (KNLH, 2008). Selain itu pemakaian batubara untuk pembangkit listrik seperti di Suralaya dan Cilacap juga industri akan meningkatkan konsentrasi gas SO2 di atmosfer. Selain dari sumber penggunaan energi yang berdampak terhadap emisi SO 2 juga dari sumber vulkanologi akan memberikan kontribusi SO2 di atmosfer. Wilayah Indonesia terdiri dari gunung berapi yang aktif dari Aceh sampai Sumatera Selatan memanjang sepanjang pantai barat dan sepanjang pantai selatan pulau Jawa sampai ke NTB, NTT, Sulawesi Utara, Pulau Halmahera dan Papua. Wilayah Indonesia yang bebas dari gunung berapi adalah pulau Kalimantan. Pulau Sumatera mempunyai sekitar 13 gunung berapi memanjang dari Aceh sampai Sumatera Selatan di sepanjang pantai barat menghadap laut Hindia menghadap laut Hindia dan pulau Jawa mempunyai sekitar 18 gunung berapi yang tersebar disepanjang pantai selatan dari ujung barat (Provinsi Banten) sampai timur (Jawa Timur) (Gambar 1; GVP, 2008). Letusan gunung berapi akan menyumbangkan sulfur ke sampai stratosfer. SO 2 yang diemisikan dari letusan gunung berapi sekitar 1-25 % volume, H2S sebesar 1-10 % volume, COS sebesar 10-4-10-2 % dan CS2 sebesar 10-4-10-2 % volume gas yang
56
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
diemisikan. H2S di atmosfer akan dikonversikan menjadi SO2. Komponen sulfur didominasi oleh SO2, dengan emisi per tahun sekitar 1,5 sampai 50 Tg SO 2 (Textor et al., 2003). Gas SO2 di atmosfer akan dirubah menjadi sulfat oleh reaksi kimia yaitu melalui reaksi oksidasi dilanjutkan pelarutan dengan H 2O (dalam tetes hujan misalnya). Maka gunung berapi adalah sumber alam yang menyumbangkan unsur asam ke atmosfer atau dikatakan berpotensi dalam pembentukan deposisi asam. Analisis data satelit total kolom SO2 secara spasial di wilayah Sumatera dan Jawa akan memberikan gambaran SO2 per-wilayah Kabupaten di Sumatera dan Jawa dan potensinya terhadap deposisi asam di wilayah tersebut.
Gambar 1. Peta gunung berapi utama di Indonesia (sumber: http://vulcan.wr.usgs.gov/Volcanoes/Indonesia/Maps/map_indonesia_volcanoes.html)
2. METODOLOGI Data total kolom SO2 merupakan hasil pengayaan data sensor atmosfer SCHIAMACHY (Scanning Imaging Absorption Spectrometer for Atmospheric Cartography) yang terpasang pada The European Environmental Satellite ENVISAT (http://www.oma.be/BIRA-IASB/Molecules/SO2archive/vs/month.php). Lokasi tempat pengayaan adalah Sumatera pada 94,58o-109,08o BT: 6,21o LU-6,27o LS dan Jawa pada 104,54o-116,29o BT: 5,20o -8,95o LS. Pengayaan data total kolom SO2 dalam satuan Dobson (Dobson Unit, DU) dari bulan Januari 2004 hingga Desember 2008 dalam grid 0,25o0,25o atau sekitar 25 km25 km untuk rata-rata musiman yaitu musim DJF (Desember-Januari-Februari); MAM (Maret-April-Mei); JJA (Juni-Juli-Agustus) dan SON (September-Oktober-November). Selain itu dilakukan pengayaan data rata-rata bulanan densitas kolom vertikal SO2 dalam satuan Dobson (Dobson Unit, DU) dari bulan Januari 2004 hingga Desember 2008 dalam grid 0,25 o0,25o atau sekitar 25 km25 km. Selanjutnya dibuat kecenderungan total kolom SO2 selama 2004-2009 di Sumatera dan Jawa. Satuan Dobson adalah ketebalan lapisan 0,01 mm di atas permukaan bumi pada pada tekanan standar 1013,25 hPa dan temperatur standar 0,0 o
57
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Celsius. Atau 1 Dobson Unit (DU) adalah 2,68671020 molekul per meter2 atau 4,461510-04 mol per meter2. Dengan menggunakan metode statistik SPSS Versi 7.5 (Santosa S., 2001) dibuat ratarata musiman yaitu musim DJF; MAM; JJA dan SON. Pembagian musim berdasarkan perubahan musim di Indonesia terdiri dari musim hujan pada bulan-bulan DJF, kemarau pada bulan-bulan JJA dan dua musim peralihan yaitu bulan-bulan MAM dan SON (Tjasyono, 2004; Gregor and Nieuwolt, 1998). Selanjutnya data total kolom SO2 rata-rata musiman dipetakan menggunakan perangkat lunak Arc View/GIS ver. 3.3 dengan resolusi 0,01o0,01o. Dan dari peta distribusi total kolom SO2 dengan perangkat lunak View/GIS ver. 3.3 dapat diberikan gambaran ratarata musiman total kolom SO2 per-wilayah Kabupaten di Sumatera dan Jawa. 3. HASIL DAN DISKUSI 3.1 Total Kolom SO2 Jawa Gambar 2 dan Tabel 1 memperlihatkan distribusi konsentrasi total kolom SO 2 tinggi di ujung Jawa Timur. Daerah dengan konsentrasi tinggi pada semua musim dibandingkan dengan daerah lainnya adalah Bondowoso, Lumajang, Jember dan Banyuwangi. Di wilayah yang tersebut ini terdapat gunung berapi seperti G. Kelut, G. Ijen, G. Raung, Kaldera Tengger yang aktif mengepulkan asap belerang (sulfur) ke atmosfer. Pada tahun 2007 banyak gunung berapi di Jawa Timur yang meletus seperti G. Kelud di Blitar dekat Lumajang, Kaldera Tengger dekat Lumajang, G. Raung dekat Jember dan Banyuwangi. Tahun 2008, Semeru meletus dan tentunya memberikan kontribusi gas SO2 dan aerosol di wilayah Malang, Lumajang dan Blitar. Pada tahun 2007, G. Kelud, G. Raung dan G. Semeru di Jawa Timur meletus dari Agustus 2007 sampai awal 2008. Demikian pula G. Krakatau di selat Sunda meletus sejak Oktober 2007 sampai awal tahun 2008 dan Merapi di Yogyakarta Jawa Tengah yang juga meletus sejak tahun 2006 sampai 2007 masih mengepulkan asap. Hasil perhitungan Graf et al. (1977) dengan menggunakan model iklim didapatkan bahwa gunung berapi menyumbangkan sulfur global sekitar 4,5 kali dari pada emisi antropogenik, jadi lebih kecil dibandingkan emisi antropogenik. Dengan rincian yaitu emisi sulfur dari antropogenik adalah 65,6% dan dari gunung berapi sebesar 13,7% dari total sulfur global. Dan jumlah SO 2 dari emisi gunung berapi yang disumbangkan ke atmosfer lebih kecil yaitu 1,3 kali emisi SO 2 dari antropogenik global, yaitu dari emisi antropogenik sebesar 46,1 % dan dari gunung berapi sebesar 34,9% dari total SO2 global. Akibat letusan gunung berapi akan diinjiksikan dalam jumlah besar gas-gas seperti SO2, H2O, H2S, CO2, HCl dan abu vulkanik (terutama partikel silikat) ke stratosfer dan berdampak pada iklim global.
58
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 2. Total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004 sampai 2008 di Jawa
Nilai konsentrasi total kolom SO2 terindikasi cukup tinggi yaitu 0,040-0,080 DU (Gambar 2) di selat Sunda pada musim SON dan DJF akibat letusan G. Krakatau dan berdampak pada kondisi konsentrasi di provinsi Lampung dan Banten juga Jakarta pada musim tersebut cukup tinggi (Tabel 1). Hasil proyeksi Budiyono dan Samiaji (2009) dengan software Rains Asia adalah peta emisi polutan dari pemakaian energi atau sumber antropogenik, diperoleh bahwa dominan emisi SO2 dan deposisi SOx terbesar berada di wilayah pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah), Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Dari Tabel 1 kota-kota yang bebas dari gunung berapi tetapi mempunyai kepadatan tranportasi cukup tinggi ternyata mempunyai konsentrasi SO 2 tinggi dalam kisaran 0,070-0,090 DU pada musim DJF yaitu Kota Jakarta, Kota Tangerang, Serang, Bekasi, Indramayu, Karawang, Kota Banjar, Banjarnegara, Batang, Blora, Brebes, Cilacap, Demak, Kota Tegal, Kudus, Pemalang. Sedangkan kota-kota di Jawa Timur dengan kepadatan transportasi tinggi mempunyai konsentrasi total kolom SO2 hampir dalam kisaran 0,100-0,200 DU seperti daerah Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Pasuruan dan Probolinggo. Dua kota terakhir yaitu Pasuruan dan Probolinggo mempunyai konsentrasi total kolom SO2 cukup tinggi dibandingkan kota lainnya yaitu 0,210 DU dan 0,197 DU. Hal ini dipengaruhi oleh adanya gunung berapi yaitu gunung Semeru, Kelut dan Bromo yang sangat aktif mengeluarkan gas SO2.
59
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 1. Konsentrasi rata-rata total kolom SO2 musiman (DJF; MAM; JJA; SON) berdasarkan lokasi dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004-2008 di Jawa. SO2 (Dobson Unit) provinsi kabupaten BANTEN
DKI JAKARTA JAWA BARAT
D I YOGYAKARTA
BALI
LAMPUNG
JAWA TENGAH
60
Kota Tangerang Lebak Pandeglang Serang Kota Jakarta Utara Bandung Bekasi Bogor Ciamis Cianjur Cirebon Garut Indramayu Karawang Kota Bandung Kota Banjar Kota Depok Kuningan Majalengka Purwakarta Subang Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Bantul Gunung Kidul Kulon Progo Sleman Badung Bangli Buleleng Jembrana Karang Asem Tabanan Lampung Barat Lampung Selatan Lampung Timur Tanggamus Banjarnegara Banyumas
djf Rata-rata DU 0,108 0,035 0,042 0,079 0,106 0,066 0,086 0,039 0,065 0,051 0,065 0,062 0,079 0,079 0,056 0,074 0,062 0,068 0,077 0,064 0,079 0,050 0,067 0,061 0,054 0,064 0,048 0,056 0,076 0,053 0,086 0,125 0,049 0,061 0,044 0,055 0,044 0,059 0,074 0,068
mam Rata-rata DU 0,066 0,023 0,029 0,070 0,074 0,040 0,060 0,029 0,047 0,029 0,048 0,041 0,072 0,043 0,037 0,045 0,044 0,061 0,038 0,030 0,046 0,027 0,031 0,047 0,069 0,055 0,074 0,059 0,056 0,034 0,026 0,102 0,016 0,062 0,032 0,036 0,045 0,020 0,056 0,058
jja Rata-rata DU 0,051 0,024 0,026 0,056 0,038 0,011 0,023 0,027 0,031 0,009 0,008 0,017 0,034 0,030 0,014 0,014 0,044 0,012 0,008 0,028 0,020 0,013 0,019 0,016 0,027 0,030 0,043 0,022 0,008 0,027 0,048 0,069 0,013 0,045 0,012 0,033 0,024 0,009 0,023 0,018
son Rata-rata DU 0,102 0,046 0,048 0,079 0,089 0,065 0,058 0,069 0,027 0,052 0,041 0,039 0,032 0,041 0,046 0,068 0,074 0,035 0,026 0,051 0,040 0,057 0,030 0,046 0,071 0,097 0,060 0,072 0,043 0,071 0,026 0,105 0,045 0,082 0,038 0,031 0,037 0,032 0,054 0,065
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
JAWA TIMUR
Batang Blora Brebes Cilacap Demak Grobogan Karanganyar Kebumen Klaten Kota Tegal Kudus Magelang Pati Pekalongan Pemalang Purbalingga Purworejo Rembang Semarang Sragen Sukoharjo Tegal Temanggung Wonogiri Wonosobo Bangkalan Banyuwangi Blitar Bojonegoro Bondowoso Jember Jombang Kediri Lamongan Lumajang Madiun Magetan Malang Mojokerto Nganjuk Ngawi Pacitan Pamekasan Pasuruan Ponorogo Probolinggo Sampang Sidoarjo
0,077 0,103 0,073 0,073 0,092 0,081 0,046 0,055 0,056 0,080 0,091 0,083 0,109 0,077 0,092 0,062 0,051 0,093 0,075 0,086 0,040 0,099 0,077 0,042 0,066 0,114 0,198 0,103 0,113 0,163 0,148 0,165 0,112 0,129 0,189 0,100 0,085 0,135 0,138 0,111 0,098 0,038 0,105 0,210 0,051 0,197 0,094 0,171
0,045 0,054 0,058 0,059 0,036 0,052 0,065 0,047 0,040 0,041 0,032 0,052 0,033 0,053 0,058 0,063 0,052 0,033 0,056 0,077 0,047 0,075 0,059 0,046 0,046 0,084 0,244 0,081 0,064 0,131 0,198 0,129 0,105 0,084 0,179 0,098 0,081 0,145 0,081 0,129 0,083 0,058 0,061 0,146 0,051 0,149 0,064 0,081
0,030 0,028 0,011 0,035 0,036 0,018 0,041 0,018 0,026 0,022 0,024 0,014 0,009 0,028 0,021 0,018 0,034 0,010 0,019 0,029 0,034 0,012 0,016 0,033 0,017 0,010 0,135 0,058 0,027 0,111 0,127 0,097 0,052 0,041 0,094 0,051 0,050 0,082 0,052 0,046 0,042 0,049 0,021 0,118 0,048 0,110 0,020 0,048
0,018 0,067 0,035 0,052 0,042 0,055 0,097 0,070 0,077 0,022 0,030 0,066 0,021 0,034 0,037 0,066 0,077 0,032 0,060 0,120 0,087 0,037 0,035 0,092 0,032 0,063 0,152 0,157 0,068 0,127 0,174 0,188 0,157 0,082 0,197 0,111 0,096 0,185 0,117 0,107 0,109 0,085 0,045 0,179 0,091 0,174 0,051 0,103
61
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Situbondo Sumenep Trenggalek Tuban Tulungagung
0,167 0,064 0,050 0,106 0,067
0,132 0,027 0,051 0,056 0,049
0,100 0,017 0,072 0,018 0,065
0,114 0,025 0,108 0,051 0,131
3.2 Total Kolom SO2 Sumatera Gambar 3 memperlihatkan konsentrasi rata-rata total kolom SO2 dalam kisaran 0,04-0,08 DU pada musim DJF adalah lebih tinggi dan merata dibandingkan musim lainnya di Sumatera selama periode 2004 sampai 2008. Dari distribusi spasial total kolom SO2 didapati nilai yang tinggi di provinsi Jambi (Gambar 3), tepatnya di kabupaten Bungo dengan nilai berurutan dari musim DJF; MAM; JJA dan SON yaitu 0,090 DU; 0,060 DU; 0,051 DU dan 0,101 DU (Tabel 2). Provinsi Jambi adalah wilayah yang mempunyai gunung berapi aktif seperti Dempo dan Kaba yang mengeluarkan gas SO2 ke atmosfer. Selain itu juga kabupaten-kabupaten Pariaman, Pesisiran Selatan Sawahlunto, Solok dan Tanah Datar pada musim DJF dan SON mempunyai konsentrasi total SO2 yang tinggi dalam kisaran 0,06-0,09 DU. Kabupatenkabupaten tersebut terletak di sepanjang pesisir yang menghadap lautan Hindia dengan gunung berapi sebagi sumber alamiah dari SO2 seperti Tandikat, Talang, Merapi, Sumbing dan Kerinci di Sumatera Barat; Dempo dan Kaba di Jambi; Gunung Besar dan Sueh di Sumatera Selatan. Pengaruh adanya gunung berapi di Sumatera cukup dominan terhadap konsentrasi total kolom SO2 dibandingkan sumber transportasi dan industri. Kota Medan terbilang kota dengan tingkat transportasi tinggi, ternyata mempunyai konsentrasi rata-rata total kolom SO2 adalah 0,046 DU> 0,043 DU> 0,031 DU> 0,03 DU dari musim SON>DJF>MAM>JJA. Dan berdasarkan pengukuran kualitas udara oleh Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2002 menunjukkan, kualitas udara di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan berada dalam kategori baik hanya terjadi 22-62 hari dalam setahun. Buruknya kondisi udara di kota-kota tersebut lebih disebabkan oleh pencemaran udara dari kendaraan bermotor, sebagai sumber bergerak (Lab. Smart Systems Tech - UI, 2003).
62
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 3. Rata-rata total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT berdasarkan musim DJF, MAM, JJA dan SON periode 2004 sampai 2008 di Sumatera
63
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 2. Konsentrasi rata-rata total kolom SO2 musiman (DJF; MAM; JJA; SON) berdasarkan lokasi dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004-2008 di Sumatera. SO2 (Dobson Unit) provinsi
kabupaten
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Aceh Barat Aceh Barat Daya Aceh Besar Aceh Jaya Aceh Selatan Aceh Singkil Aceh Tamiang Aceh Tengah Aceh Tenggara Aceh Timur Aceh Utara Bireuen Gayo Lues Nagan Raya Pidie Simeulue Asahan Dairi Deli Serdang Humbang Hasundutan Karo Kota Medan Labuhan Batu Langkat Mandailing Natal Nias Nias Selatan Pakpak Bharat Simalungun Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Tapanuli Utara Toba Samosir Bengkalis Indragiri Hilir Indragiri Hulu Kampar Karimun Kepulauan Riau Kota Batam
SUMATERA UTARA
RIAU
Kep.RIAU
64
djf Rata-rata DU 0,026 0,027 0,031 0,026 0,043 0,050 0,032 0,045 0,028 0,044 0,032 0,050 0,018 0,032 0,027 0,051 0,043 0,054 0,039 0,043 0,026 0,050 0,047 0,025 0,034 0,024 0,043 0,059 0,030 0,044 0,036 0,043 0,044 0,047 0,038 0,045 0,042 0,072 0,038 0,040
mam Rata-rata DU 0,017 0,017 0,021 0,016 0,028 0,028 0,033 0,035 0,017 0,051 0,045 0,033 0,021 0,021 0,027 0,028 0,035 0,033 0,031 0,027 0,030 0,033 0,041 0,021 0,052 0,022 0,024 0,027 0,042 0,035 0,031 0,030 0,046 0,063 0,044 0,043 0,039 0,076 0,037 0,081
jja Rata-rata DU 0,018 0,018 0,018 0,013 0,009 0,016 0,024 0,012 0,016 0,014 0,016 0,026 0,024 0,015 0,013 0,021 0,031 0,027 0,030 0,017 0,031 0,025 0,031 0,024 0,022 0,015 0,005 0,025 0,035 0,017 0,012 0,017 0,027 0,028 0,020 0,026 0,010 0,044 0,025 0,036
son Rata-rata DU 0,021 0,017 0,032 0,023 0,038 0,020 0,024 0,026 0,041 0,029 0,033 0,038 0,031 0,016 0,029 0,029 0,042 0,044 0,042 0,036 0,034 0,052 0,045 0,033 0,046 0,037 0,033 0,025 0,040 0,050 0,034 0,050 0,045 0,055 0,050 0,049 0,047 0,058 0,040 0,061
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
BENGKULU
JAMBI
KEP. BANGKA BELITUNG
Kota Dumai Kuantan Singingi Natuna Pelalawan Rokan Hilir Rokan Hulu Siak Agam Kepulauan Mentawai Kota Padang Kota Pariaman Lima Puluh Kota Padang Pariaman Pasaman Pesisir Selatan Sawahlunto Sijunjung Solok Tanah Datar Banyuasin Kota Palembang Lahat Muara Enim Musi Banyuasin Musi Rawas Ogan Komering Ilir Ogan Komering Ulu Bengkulu Selatan Bengkulu Utara Kaur Mukomuko Rejang Lebong Seluma Batanghari Bungo Kerinci Kota Jambi Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo Bangka Bangka Barat Bangka Selatan Bangka Tengah Belitung
0,058 0,052 0,018 0,044 0,046 0,043 0,051 0,088 0,036 0,050 0,040 0,062 0,077 0,053 0,070 0,067 0,081 0,091 0,038 0,038 0,041 0,045 0,055 0,045 0,049 0,034 0,037 0,037 0,038 0,038 0,039 0,032 0,061 0,090 0,070 0,054 0,058 0,060 0,047 0,059 0,058
0,046 0,032 0,014 0,041 0,043 0,041 0,062 0,035 0,032 0,029 0,036 0,028 0,039 0,022 0,064 0,042 0,063 0,059 0,028 0,011 0,027 0,035 0,027 0,030 0,023 0,031 0,029 0,044 0,027 0,034 0,028 0,025 0,029 0,060 0,058 0,012 0,035 0,033 0,026 0,035 0,035
0,032 0,023 0,013 0,014 0,022 0,017 0,024 0,010 0,012 0,029 0,023 0,011 0,017 0,012 0,043 0,027 0,042 0,023 0,021 0,011 0,013 0,004 0,015 0,011 0,012 0,012 0,001 0,009 0,012 0,004 0,011 0,010 0,013 0,051 0,046 0,014 0,034 0,007 0,021 0,022 0,015
0,050 0,054 0,031 0,047 0,047 0,055 0,047 0,057 0,028 0,057 0,051 0,035 0,063 0,037 0,076 0,053 0,095 0,064 0,045 0,041 0,028 0,050 0,046 0,051 0,046 0,049 0,045 0,033 0,047 0,034 0,041 0,014 0,059 0,101 0,065 0,028 0,059 0,048 0,050 0,058 0,046
0,073 0,030 0,036 0,037 0,029 0,028
0,055 0,031 0,029 0,030 0,038 0,022
0,028 0,008 0,013 0,013 0,016 0,021
0,057 0,032 0,030 0,037 0,026 0,043
65
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Belitung Timur Lampung Barat Lampung Selatan Lampung Tengah Lampung Timur Lampung Utara Tanggamus Tulang Bawang Way Kanan
LAMPUNG
0,026 0,045 0,055 0,048 0,039 0,034 0,056 0,036 0,031
0,010 0,033 0,036 0,029 0,041 0,038 0,021 0,029 0,039
0,013 0,014 0,033 0,017 0,021 0,021 0,012 0,011 0,014
0,027 0,047 0,031 0,048 0,040 0,039 0,034 0,042 0,045
3.3 Trend Total Kolom SO2 Trend rata-rata bulanan total kolom SO2 terlihat menurun dari 2004 sampai 2008 baik di Jawa-Bali maupun Sumatera (Gambar 4). Untuk Jawa-Bali terdapat penurunan sekitar 7x10-6 DU per bulan dan Sumatera terdapat penurunan sekitar 6x10 -6 DU per bulan hampir sama dengan Jawa-Bali. Pola variabilitas bulanannya adalah minimum
0,120
a)Tren rata2 bulanan SO2 Sciamachy utk wilayah JawaBali y = -7E-06x + 0,333 R² = 0,028
0,100
SO2 (DU)
0,080 0,060 0,040 0,020
Jan-04 Mar-04 Mei-04 Jul-04 Sep-04 Nop-04 Jan-05 Mar-05 Mei-05 Jul-05 Sep-05 Nop-05 Jan-06 Mar-06 Mei-06 Jul-06 Sep-06 Nop-06 Jan-07 Mar-07 Mei-07 Jul-07 Sep-07 Nop-07 Jan-08 Mar-08 Mei-08 Jul-08 Sep-08 Nop-08
0,000
Bulan b)Tren rata2 bulanan SO2 Sciamachy utk wilayah Sumatera 0,070 y = -6E-06x + 0,279 R² = 0,053
0,060
SO2 (DU)
0,050 0,040 0,030 0,020 0,010
Jan-04 Mar-04 Mei-04 Jul-04 Sep-04 Nop-04 Jan-05 Mar-05 Mei-05 Jul-05 Sep-05 Nop-05 Jan-06 Mar-06 Mei-06 Jul-06 Sep-06 Nop-06 Jan-07 Mar-07 Mei-07 Jul-07 Sep-07 Nop-07 Jan-08 Mar-08 Mei-08 Jul-08 Sep-08 Nop-08
0,000
Bulan
pada bulan-bulan JJA dan maksimum di bulan-bulan DJF dan SON.
66
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 4. Trend total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004 sampai 2008 di Jawa-Bali (a) dan Sumatera (b)
Total Kolom SO2 (DU)
Gambar 4 memperlihatkan nilai rata-rata musimam total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) di Jawa lebih tinggi dibandingkan Sumatera untuk semua musim. Rata-rata musimam total kolom SO2 Jawa adalah 0,088 > 0,076 > 0,067 > 0,037 DU berurutan dari DJF >SON >MAM> JJA. Sedangkan di Sumatera berurutan dari DJF > SON > MAM > JJA adalah 0,045 > 0,043 > 0,035 > 0,019 DU. Perbedaan rata-rata musimam total kolom SO2 Jawa dan Sumatera disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi dan industri yang lebih rendah. 0,100 0,090 0,080 0,070 0,060 0,050 0,040 0,030 0,020 0,010 0,000
Jawa Sumatera
DJF
MAM
JJA
SON
Musim
Gambar 5. Rata-rata musimam total kolom SO2 dalam Dobson Unit (DU) dari data SCIAMACHY pada satelit ENVISAT periode 2004 sampai 2008 di Jawa dan Sumatera
4. KESIMPULAN Rata-rata musimam total kolom SO2 Jawa adalah 0,088 > 0,076 > 0,067 > 0,037 DU berurutan dari DJF > SON > MAM > JJA. Sedangkan di Sumatera berurutan dari DJF > SON > MAM > JJA adalah 0,045 > 0,043 > 0,035 > 0,019 DU. Perbedaan rata-rata musimam total kolom SO2 Jawa dan Sumatera disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi dan industri yang lebih rendah. Pengaruh gunung berapi dimana mereka berada akan menyumbangkan emisi SO2 lebih besar dibandingkan dari aktivitas manusia baik di Jawa maupun Sumatera. Dan tentunya wilayah-wilayah di Jawa dan Sumatera yang mempunyai gunung berapi berpotensi berpotensi mengakibatkan deposisi asam disamping daerah perkotaan yang padat transportasi. DAFTAR REFERENSI Budiyono A. dan Samiaji T., 2009, Proyeksi Emisi Polutan, Deposisi SOx dan Konsentrasi SO2 dari Pemakaian Energi, Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014; LAPAN, Bandung 27-28 Juli 2009. Global Volcanism Programme (GVP), 2008, http://www.volcano.si.edu
67
Tuti Budiwati dan Wiwiek Setyawati Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Graf H.-F., J. Feichter, and Langmann B., 1997, Volcanic Sulfur Emissions: Estimates of Source Strength and its Contribution to the Global Sulfate Distribution, Journal of Geophysical Research, 102, 10727-10738. KNLH, 2008, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2007, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, hal.16-17. Lab. Smart Systems Tech - UI, 2003, Mengatasi Pencemaran Udara dengan EURO 2, 21Oktober-2003; 20:16, Indeks Standar Pencemaran Udara, http://labsst.fisika.ui.ac.id/ISPU/211020032016.htm, hal.1. Meszaros, E., 1981, Atmospheric Chemistry (Fundamental Aspects), Elsevier Scientific Publishing Company Amsterdam – Oxford – New York, Studies in Environment Science, Vol. II pp. 48-49. Mc. Gregor G.R. and Nieuwolt S., 1998, Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, pp. 125-133. Santosa S., 2001, SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi 7.5, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia-Jakarta, 217-254. Seinfeld J.H. and Pandis S.N., 1998, Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change, John Wiley and Sons. INC., New York, hal.1030-1033. Tjasyono B. H.K, 2004, Klimatologi (Edisi 2), Penerbit ITB, ISBN 979-3507-05-5, hal. 3. Textor C., Graf H.-F., Herzog M., and Oberhuber J. M., 2003, Injection of Gases into The Stratosphere by Explosive, accepted for publication by Journal of Geophysical Research.
BIOGRAFI PENULIS Tuti Budiwati Tuti Budiwati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia di ITS tahun 1985. Mulai bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Bandung sejak Oktober 1986 dan mendalami kimia atmosfer. Tahun 1988 sampai 1989 selama satu tahun ikut Program trainining STMDP di Saitama University dalam studi kimia atmosfer. Pendidikan S2 diperoleh di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Lingkungan-Hokkaido University, Sapporo Japan tahun 1996. Penelitian: Hujan asam, kimia atmosfer, aerosol, dan radiasi matahari Fungsional : Peneliti Madya, Ilmu Pengetahuan Atmosfer Kecenderungan SO42- dan NO3- Dalam Air Hujan di Jawa. Karakteristik Kimia Aerosol Atmosfer di Jakarta. Pengaruh Ozon Terhadap Hujan Asam di Bandung. Variabilitas koefisien pencucian dari sulfat, nitrat, amonium dan sodium aerosol di Kototabang dan Jakarta.
68
Analisis Total Kolom SO2 di Sumatera dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi Schiamacy Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Wiwiek Setyawati Wiwiek Setyawati mendapatkan Sarjana Teknik Kimia dari Sheffield University, Inggris tahun 1998. Mulai aktif bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung sejak tahun 2000 di Bidang Pengkajian Ozon dan Polusi Udara yang sejak tahun 2010 berganti nama menjadi Bidang Komposisi Atmosfer. Tahun 2007 mendapatkan gelar Master Teknik Lingkungan dari ITB. Jabatan Fungsional saat ini adalah Peneliti Muda pada bidang Sains Atmosfer dan Lingkungannya dengan fokus penelitian polusi udara, aerosol dan Gas Rumah Kaca (GRK). Konsentrasi Logam Timah Hitam (Pb) dan Total Suspended Partikulat Matter (TSP) di Udara Ambien Kota Bandung dan Ciater. Pengaruh Kebakaran Hutan Terhadap Peningkatan Aerosol di Atmosfer Indonesia 2005-2008. Pengaruh Gas-gas Rumah Kaca dan aerosol terhadap temperatur di Stratosfer dan Mesosfer Hasil Pengamatan HALOE. Seasonal characteristics of nitric oxide and water vapor over Indonesia's region and their influence to stratospheric ozone as observed by HALOE
69
Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida di Indonesia
Novita Ambarsari(1), Ninong Komala(2) (1) (2) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Junjunan no. 133 Bandung 40173 Email : (1)
[email protected], (2)
[email protected]
Abstrak Karbon monoksida (CO) merupakan salah satu pencemar yang terdistribusi paling luas di udara. Di daerah dengan populasi tinggi, rasio mixing CO bisa mencapai 1 hingga 10 ppmv. Sumber gas CO sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil yang bereaksi dengan udara menghasilkan gas buangan, salah satunya adalah karbon monoksida. Daerah dengan tingkat populasi yang tinggi dengan jalur lalu lintas yang padat akan memiliki kadar CO yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Gas CO juga berasal dari proses industri dan secara alami gas CO terbentuk dari proses meletusnya gunung berapi, proses biologi, dan oksidasi hidrokarbon seperti metana yang berasal dari tanah basah dan kotoran mahluk hidup. Selain itu, secara alami CO juga diemisikan dari laut, vegetasi, dan tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi konsentrasi CO di Indonesia secara spasial dan temporal. Data yang digunakan adalah data CO rata-rata bulan tahun 2002-2009 hasil pengukuran instrumen Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) yang ditempatkan pada satelit Aqua milik NASA. Metode analisis yang digunakan adalah analisis spasial dan time series untuk mengetahui variasi berdasarkan lokasi, trend sepanjang tahun pengukuran, variasi bulanan, dan variasi musiman. Hasil yang ingin dicapai adalah diperolehnya kondisi CO di wilayah Indonesia dari tahun ke tahun dan di lokasi dengan konsentrasi CO yang cenderung lebih tinggi dibandingkan yang lain untuk diketahui perubahannya. Penelitian ini bermanfaat untuk monitoring kualitas udara dan mengetahui status polusi udara di Indonesia yang dapat dijadikan masukan untuk membuat kebijakan pengurangan tingkat polusi udara di Indonesia. Kata kunci : karbon monoksida, polusi udara, AIRS, AQUA
Abstract Carbon monoxide (CO) is one of the most widely distributed pollutants in the air. In areas with high populations, mixing ratio of CO can reach a maximum of 10 ppmv. Source of CO mostly comes from fossil fuels burning that react with air to produce exhaust gases, one of which is carbon monoxide. Areas with high population levels with heavy traffic will have higher CO levels compared with rural areas. CO also comes from industrial processes and CO formed naturally from volcanic eruption processes,
70
Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
biological processes, and oxidation of hydrocarbons such as methane from wet soil and dung of creatures. In addition, CO is also emitted naturally from the sea, vegetation, and soil. This study aims to determine the concentration of CO in Indonesia variation in spatial and temporal. The data used is the average CO data in the year 2002-2009 from the measurement of Infra Red Atmospheric Sounder (airs) instruments that are placed on NASA's Aqua satellite. Analytical methods used are spatial and time series analysis to find variations based on location, the measurement of trends throughout the year, monthly variations, and seasonal variations. Results to be achieved is gained on Indonesian territory CO condition from year to year and in locations with a concentration of CO which tended to be higher than the others to note the changes. This research is useful for monitoring air quality and find out the status of air pollution in Indonesia, which can be used as inputs for making policy reduction of air pollution levels in Indonesia. Keywords : carbon monoxide, air pollution, AIRS, AQUA 1. PENDAHULUAN Karbon monoksida merupakan salah satu polutan yang terdistribusi paling luas di udara. Setiap tahun, CO dilepaskan ke udara dalam jumlah yang paling banyak diantara polutan udara yang lain, kecuali CO2. Di daerah dengan populasi tinggi, rasio mixing CO bisa mencapai 1 hingga 10 ppmv (Coll, 2006). Sekitar 70 % radikal OH di atmosfer bereaksi dengan CO. Oleh karena itu, konsentrasi CO berpengaruh besar terhadap keberadaan radikal OH. Radikal OH berperan utama sebagai agen pembersih atmosfer untuk menghilangkan polutan udara atau gas rumah kaca terutama metana dari atmosfer (Henne, 2007). Perubahan CO menjadi senyawa lain di atmosfer diperkirakan berhubungan dengan terjadinya perubahan iklim, karena CO diketahui berperan penting dalam pengendalian jumlah radikal OH di atmosfer (Coll, 2006). Oksidasi karbon monoksida secara tidak langsung juga dapat berpengaruh terhadap energi radiasi berkaitan dengan terbentuknya karbon dioksida dan ozon troposfer. Berkaitan dengan reaksi fotokimia yang lambat, CO diketahui mempunyai peranan penting dalam siklus pembentukan O 3 terutama dalam skala yang luas di atmosfer bebas, sedangkan VOCs mempunyai peranan penting dalam pembentukan O 3 pada skala lokal (Coll, 2006). Sumber utama CO berasal dari proses pembakaran tidak sempurna pada bahan bakar minyak, pembakaran biomasa, dan proses oksidasi fotokimia pada metana dan hidrokarbon lainnya di atmosfer. Sumber utama CO berasal dari wilayah daratan yang memiliki faktor terpenting sumber CO yaitu emisi antropogenik dan pembakaran biomassa di musim-musim kering/ kemarau di wilayah tropis dan pada periode hangat di wilayah lintang tinggi. Oksidasi fotokimia metana dan hidrokarbon menjadi sumber penting CO di daerah lintang tropis begitu juga untuk daerah lintang tinggi di musim panas. Penyebab utama terurainya CO adalah akibat reaksi dengan radikal OH yang memicu pembentukan CO2 dan perusakan ozon. Pada kondisi daerah yang terpolusi,
71
Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
nitrogen oxida dapat menjadi penyebab terurainya CO yang memicu pembentukan CO 2 dan ozon (Makarova, et al., 2003). Berbagai teknologi pengukuran karbon monoksida berbasis penginderaan jauh maupun pengukuran insitu menghasilkan data pengamatan yang rutin untuk mengetahui perubahan konsentrasi CO di atmosfer secara spasial maupun temporal (Clerbaux, et al., 2008). Pada masa lalu, konsentrasi CO di atmosfer hanya bisa diukur dengan instrumen yang ditempatkan pada beberapa lokasi pengamatan yang terpisah-pisah dan pengukuran dengan pesawat terbang. Saat ini, berbagai instrumen yang ditempatkan pada satelit pengorbit polar untuk mengamati amosfer telah meningkatkan kemampuan untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas manusia maupun alam terhadap perubahan komposisi atmosfer (Barret, et al., 2005). Pada penelitian ini telah dilakukan analisis spasial dan temporal total kolom karbon monoksida (CO) di Indonesia dengan menggunakan data-data hasil observasi instrumen Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit Aqua untuk waktu pengukuran bulan September 2002 sampai dengan Desember 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan (kecenderungan) dan distribusi konsentrasi CO di Indonesia. 2. METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data total kolom CO (10E 18 molekul/cm2) di wilayah Indonesia (6˚ LU – 11˚ LS dan 95˚ BT-145˚ BT) hasil observasi Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit Aqua. Data yang diperoleh merupakan data rata-rata bulan yang diunduh dari website resmi NASA (http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daac-bin/G3/gui.cgi?instance_id=AIRS_Level3Month) dengan grid 1 derajat x 1 derajat. Data bulanan diolah menjadi data rata-rata musiman (Desember-Januari-Februari, Maret-April-Mei, Juni-Juli-Agustus, dan September-Oktober-November) untuk dianalisis pengaruh musim terhadap konsentrasi CO dan distribusi CO musiman di Indonesia (analisis spasial) serta standar deviasinya. Data bulanan diolah juga menjadi data trend dan variasi tahunan konsentrasi CO di Indonesia (analisis time series) untuk mengetahui kecenderungan perubahan konsentrasi CO dan karakteristik kenaikan dan penurunan serta faktor-faktor yang kemungkinan berpengaruh terhadap konsentrasi CO di Indonesia. Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) merupakan suatu instrumen yang ditempatkan pada sistem observasi bumi ke 2, satelit pengorbit polar EOS Aqua. Kombinasi antara AIRS dengan Advanced Microwave Sounding Unit (AMSU) dan Humidity Sounder for Brazil (HSB), AIRS menjadi grup sensor sounding atmosfer untuk sinar tampak, infra merah, dan gelombang radio [AIRS brosure]. Karakteristik instrumen AIRS secara lebih lengkap ditunjukkan pada Gambar 1.
72
Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 1. Karakteristik AIRS (Sumber : Atmospheric Infra Red Sounder Brosures)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.
Variasi spasial total kolom CO
Distribusi spasial total kolom CO di Indonesia ditunjukkan pada gambar 2 berikut ini.
(a)
(b)
73
Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(c)
(d)
Gambar 2. Distribusi spasial total kolom CO di Indonesia dari AIRS untuk bulan (a) Desember-Januari-Februari (DJF), (b) Maret-April-Mei (MAM), (c) Juni-Juli-Agustus (JJA), (d) September-Oktober-November (SON)
Gambar 2 menunjukkan distribusi spasial total kolom CO di Indonesia untuk bulan Desember-Januari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA) tahun 2003-2009 dan bulan September-Oktober-November (SON) tahun 2002-2009. Pada gambar terlihat distribusi CO dominan di wilayah Indonesia bagian barat terutama Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Variasi distribusi CO di Indonesia untuk bulan DJF tahun 2003-3009 adalah 1,3x1018 hingga 2,1 x1018 molekul/cm2. Variasi distribusi CO untuk bulan MAM tahun 2003-2009 adalah 1,2x1018 hingga 2,0x1018 molekul/cm2. Variasi distribusi CO bulan JJA tahun 2003-2009 adalah 1,1x1018 hingga 1,9x1018 molekul/cm2, dan variasi distribusi CO untuk bulan SON tahun 2002-2009 adalah 1,3x1018 molekul/cm2 (Atmospheric Infra Red Sounder Brosures) (Barret & Hurtmans, 2005) hingga 2,4x10 molekul/cm2. Rata-rata konsentrasi CO bulan DJF, MAM, JJA tahun 2003-2009 masing-masing adalah 1,87x1018 molekul/cm2; 1,79x1018 molekul/cm2, dan 1.69x1018 molekul/cm2. Rata-rata konsentrasi CO bulan SON tahun 2002-2009 adalah 1.961 x1018 molekul/cm2. Distribusi CO maksimum pada bulan SON (September-Oktober-November) terlihat dari variasi dan rata-rata konsentrasi CO di bulan SON terutama di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan distribusi CO minimum pada bulan JJA (Juni-Juli-Agustus). Hal ini disebabkan pada bulan Oktober tahun 2002, 2004, dan 2006 di Indonesia terjadi kekeringan panjang dan kebakaran hutan yang menyebabkan konsentrasi CO mengalami peningkatan sangat tajam (gambar 3) dengan total kolom mencapai 4,8x1018 molekul/cm2 pada bulan Oktober tahun 2006 di wilayah Kalimantan dan Sumatera (Mc. Millan, et al.).
74
Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 3. Distribusi CO di Indonesia untuk bulan Oktober tahun 2002, 2004, dan 2006 dari AIRS.
Peristiwa kekeringan ditandai dengan nilai curah hujan yang mengalami anomali yang dapat dilihat dari nilai Southern Oscillation Index (SOI) dan nilai curah hujan (mm/hari) yang negatif (gambar 4). Dengan jumlah curah hujan yang sangat sedikit menyebabkan jumlah radikal OH yang berasal dari uap air di atmosfer menurun. Akibatnya, konsentrasi CO meningkat.
Gambar 4. Curah hujan di Indonesia (mm/hari) yang memiliki pola yang sama dengan SOI di Indonesia (kiri). Anomali curah hujan dan SOI yang menunjukkan nilai negatif pada tahun 2002, 2004, dan 2006 yang menandakan terjadinya kekeringan saat tersebut (Sumber: Mc. Millan, et al.)
75
Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Standar deviasi distribusi spasial total kolom CO di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 5 berikut ini.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 5. Standar deviasi distribusi spasial total kolom CO di Indonesia untuk bulan (a) Desember-Januari-Februari (DJF), (b) Maret-April-Mei (MAM), (c) Juni-Juli-Agustus (JJA), (d) September-Oktober-November (SO).
Standar deviasi konsentrasi CO di Indonesia untuk bulan DJF, MAM, JJA tahun 20032009 memiliki variasi nilai antara 0,01-0,15 x 1018. Standar deviasi maksimum terjadi pada bulan SON dengan nilai mencapai 0,6x1018 molekul/cm2 terutama di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Hal ini disebabkan peristiwa kekeringan pada tahun 2002, 2004, dan 2006. 3.2
Variasi temporal total kolom CO
Kecenderungan CO di Indonesia dari September 2002 hingga desember 2009 ditunjukkan pada Gambar 6. CO di Indonesia cenderung mengalami penurunan dengan nilai -0,0014 molekul/cm2 per bulannya. Nilai maksimum total kolom CO terjadi pada tahun 2006 akibat kejadian kebakaran hutan yang besar di akhir tahun 2006.
76
Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Konsentrasi total kolom CO di Indonesia dari tahun 2002 sampai 2009 berkisar antara 1,6 hingga 2,8 x 1018 molekul/cm2.
Gambar 6. Trend CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember 2009
Variasi tahunan total kolom CO di Indonesia tampak pada Gambar 7. Nilai maksimum terjadi pada bulan Oktober tahun 2006, 2004, dan 2002.
Gambar 7. Variasi tahunan CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember 2009
Nilai maksimum pada Oktober 2006 mencapai 2,8 x 1018 molekul/cm2, nilai maksimum pada bulan Oktober 2004 mencapai 2,2 x 1018 molekul/cm2, dan nilai maksimum pada bulan Oktober 2002 mencapai 2,4 x 1018 molekul/cm2. Konsentrasi CO yang memiliki pola selalu maksimum di bulan Oktober ini diperkirakan berkaitan dengan Southern Oscillation Index (SOI) di bulan Oktober yang diperoleh dengan mengurangi curah hujan pada bulan Oktober tahun saat terjadinya anomali dengan nilai rata-rata curah hujan di bulan Oktober selama 10 tahun (Mc. Millan, et al.) Variasi musiman total kolom CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember 2009 tampak pada Gambar 8. Nilai maksimum CO di bulan SON setiap tahunnya semakin jelas tampak pada Gambar 8. Pada Gambar 8 kiri terlihat pola konsentrasi CO
77
Novita Ambarsari dan Ninong Komala Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
pada bulan SON lebih tinggi daripada pola CO pada musim lainnya khususnya pada tahun 2002, 2004 dan 2006. Begitu juga pada Gambar 8 kanan yang menunjukkan CO maksimum pada SON tahun 2006. Pola CO yang selalu maksimum di musim tersebut kemungkinan besar memang terkait dengan peristiwa kekeringan dan fenomena SOI di bulan Oktober.
Gambar 8. Variasi musiman CO di Indonesia dari September 2002 hingga Desember 2009. Variasi permusim (kiri), variasi pertahun (kanan).
4. KESIMPULAN Dari data September 2002-Desember 2009 dipeoleh hasil bahwa distribusi CO dominan di wilayah Indonesia bagian barat terutama Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Variasi distribusi CO di Indonesia untuk bulan DJF tahun 2003-3009 adalah 1,3x1018 hingga 2,1 x1018 molekul/cm2. Untuk bulan MAM tahun 2003-2009 adalah 1,2x1018 hingga 2,0x1018 molekul/cm2. Variasi distribusi CO bulan JJA tahun 2003-2009 adalah 1,1x1018 hingga 1,9x1018 molekul/cm2, dan variasi distribusi CO untuk bulan SON tahun 2002-2009 adalah 1,3x1018 molekul/cm2 hingga 2,4x10 molekul/cm2. Rata-rata konsentrasi CO bulan DJF, MAM, JJA tahun 2003-2009 masing-masing adalah 1,87x1018 molekul/cm2; 1,79x1018 molekul/cm2, dan 1.69x1018 molekul/cm2. Rata-rata konsentrasi CO bulan SON tahun 2002-2009 adalah 1.961 x1018 molekul/cm2. Dari data variasi temporal, nilai maksimum total kolom CO terjadi pada tahun 2006 akibat kejadian kebakaran hutan yang besar di akhir tahun 2006. Konsentrasi total kolom CO di Indonesia dari tahun 2002 sampai 2009 berkisar antara 1,6 hingga 2,8 x 10 18 molekul/cm2. Untuk pola musiman, pola konsentrasi CO pada bulan SON lebih tinggi daripada pola CO pada musim lainnya khususnya pada tahun 2002, 2004 dan 2006. DAFTAR REFERENSI Atmospheric Infra Red Sounder Brosures. 2010. http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/AIRS/ documentation/AIRS_brochure.pdf. diakses tanggal 24 November 2010. Barret, S. Turquety, D. Hurtmans, 2005, Global carbon monoxide vertical distributions from spaceborne high-resolution FTIR nadir measurements, Atmos. Chem. Phys., 5, 2901–2914.
78
Aplikasi Teknologi Penginderaan Jauh untuk Observasi Variabilitas Karbon Monoksida diIndonesia Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
C. Clerbaux, M. George, S. Turquety, 2008, “CO measurements from the ACE-FTS satellite instrument: data analysis and validation using ground-based, airborne and spaceborne observations”, Atmos. Chem. Phys., 8, 2569–2594. Coll, 2006, “On The Determining Role of CO in Local Ozone Production”, Eropa. S. Henne, 2007, “Representativeness and climatology of carbon monoxide and ozone at the global GAW station Mt. Kenya in equatorial Africa”, Swizterland, Atmospheric Chemistry and Physics Discussion, 7, 17769-17824. Mc. Millan, et.al, Global Climatology of Tropospheric CO from the Atmospheric InfraRed Sounder (AIRS), http://ams.confex.com/ams/pdfpapers/134987.pdf. M. V. Makarova, A. V. Poberovskii, and Yu. M. Timofeev, 2003, “Temporal Variability of Total Atmospheric Carbon Monoxide over St. Petersburg”, Izvestiya, Atmospheric and Oceanic Physics, Vol. 40, No. 3, 2004, pp. 313–322.
BIOGRAFI PENULIS Novita Ambarsari Novita Ambarsari, lahir di Bandung pada tanggal 23 November 1984. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis berasal dari keluarga sederhana dengan kedua orangtua yang berprofesi sebagai PNS. Pendidikan penulis dimulai dari SDN. Citarip Barat, sebuah sekolah dasar negeri yang lokasinya tidak jauh dari rumah orang tua penulis. Kemudian, dilanjutkan di SMPN 11 Bandung. Lulus sekolah menengah pertama, penulis dapat melanjutkan ke SMU terbaik di bandung, yaitu SMAN 3 Bandung. Pendidikan tinggi penulis untuk gelar sarjana ditempuh di ITB tahun 2003 mengambil jurusan Kimia Fakultas MIPA dan lulus tepat waktu pada bulan Juli 2007. Akhir tahun 2007, penulis mengikuti seleksi untuk menjadi PNS di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dan mulai resmi bekerja sebagai peneliti di LAPAN sejak Januari 2008. Penulis mendapat penempatan di LAPAN Bandung, tepatnya di Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (Pusfatsatklim) bidang pengkajian ozon dan polusi udara. Bidang kepakaran penulis adalah sains atmosfer dan aplikasinya. Penulis bekerja sebagai peneliti di LAPAN hingga sekarang.
79
Aplikasi Indraja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD
Nur Febrianti Bidang Aplikasi Klimatologi dan Lingkungan Pusfatsatklim, LAPAN Jl. Dr. Djunjunan no. 133 Bandung Email:
[email protected]
Abstrak Kekeringan sudah bukan lagi merupakan suatu kejadian yang tidak biasa di Indonesia. Biasanya di Jawa dan Bali periode kering terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Namun apabila kekeringan yang terjadi lebih dari itu berarti telah terjadi anomali cuaca dan iklim. Penyimpangan cuaca dan iklim ini antara lain adalah akibat adanya El Nino, Dipole Mode serta pemanasan global. Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan dari satelite Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 1998 – 2009. Data TRMM 3B43 memiliki resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat dengan resolusi temporal bulanan. Metode yang digunakan untuk mendeteksi kekeringan yaitu dengan Standardized Precipitation Index (SPI). Hasil pengamatan kekeringan di Jawa dan Bali sejak 1998 – 2009 dengan menggunakan data TRMM, MEI, DMI, dan Peta Rawan kekeringan dari model SPI diketahui bahwa pada umumnya setiap kejadian MEI dan DMI positif maka akan menyebabkan curah hujan rendah yang cukup panjang, sehingga berindikasi terjadinya kondisi sangat kering. Namun hal ini tidak berlaku pada 1998 dimana curah hujan masih cukup tinggi sehingga peta rawan kekeringan memperlihatkan kondisi sangat basah. Sedangkan di tahun 2008 dimana DMI positif dan MEI negatif tetap menyebabkan curah hujan cukup kecil di Jawa dengan tipe kerawanan agak kering hingga sangat kering di sebagian Jawa Barat dan Jawa Timur. Kata Kunci: TRMM, ENSO, IOD, analisis kekeringan, SPI
Abstract Drought is no longer an unusual occurrence in Indonesia. Usually in Java and Bali dry periods occurred in June, July and August. However, if the drought that occurred more than it means there has been anomalous weather and climate. The anomaly of weather and climate, among others, is a result of El Nino, Dipole Mode and global warming. Rainfall data was used satellite data from the Tropical Rainfall Measuring rainfall Mission (TRMM) 1998-2009. TRMM 3B43 data has a spatial resolution 0.25 x 0.25 degrees with a monthly temporal resolution. Standardized Precipitation Index was utilized to estimate the drought event. Observations drought in Java and Bali since 1998 - 2009 by using TRMM data, MEI, DMI, and drought Prone Map of the SPI model is generally known that every positive occurrence MEI and DMI, it will cause low
80
Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
rainfall long enough, so that indicated the occurrence of very dry conditions. But this does not apply in 1998 where rainfall is high enough so that the drought-prone map shows very wet conditions. Meanwhile, in 2008 where DMI positive and negative MEI still cause small enough rainfall in Java with the type of vulnerability rather dry to very dry in parts of West Java and East Java. Keywords: TRMM, ENSO, IOD, drought analysis, SPI
1.
PENDAHULUAN
Penginderaan jauh (Remote sensing) dapat diartikan sebagai ilmu atau teknik untuk mendapatkan informasi tentang objek, wilayah atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang diperoleh dari suatu alat, tanpak kontak langsung dengan objek, wilayah atau gejala tersebut. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan untuk berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang kelautan, hidrologi, klimatologi, lingkungan dan kedirgantaraan. Salah satu wahana yang dapat digunakan untuk memperoleh data inderaja adalah satelit, seperti satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang diguna untuk pemantauan curah hujan. Satelit yang diluncurkan pada 1997 ini merupakan satelit orbital dan berada pada ketinggian 218 mil laut (350 km dpl ada juga yang menyebut 403 km dpl) pada kemiringan 35 derajat ke Khatulistiwa (Gambar 1).
Gambar 1. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (http://trmm.gsfc.nasa.gov/ )
Keberadaan satelit cuaca sangatlah membantu untuk mendapatkan data cuaca dan iklim di wilayah-wilayah yang belum memiliki stasiun observasi cuaca. Selain itu satelit ini dapat membatu kita untuk melihat kondisi cuaca secara luas. Sebagai satu Negara yang masih berkembang dengan sarana dan prasarana yang masih kurang memadai dalam hal
81
Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
pengamatan cuaca dan iklim untuk itu sangatlah perlu bagi Indonesia memanfaatkan teknologi ini seoptimal mungkin. Indonesia yang terletak di belt equator, dimana banyak hujan terjadi di wilayah ini masih belum dapat lepas dari ancaman bencana kekeringan yang hampir setiap tahun terjadi. Bencana kekeringan pernah terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia, walau dengan tingkat ancaman yang bervariasi. Kekeringan yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami intensitas kejadian dan luasan area kekeringan yang terus meningkat. Fenomena kekeringan merupakan musiman biasa bagi Indonesia yang memiliki dua musim, hujan dan kemarau. Ahli meteorologi mendefinisikan bahwa kekeringan merupakan kondisi tanpa hujan berkepanjangan atau masa kering di bawah normal yang cukup lama sehingga mengganggu keseimbangan hidrologi secara serius. Menurut Hounam et al. (1975) membatasi bahwa kondisi kekeringan terjadi jika jumlah curah hujan selama 21 hari berturut-turut lebih kecil atau sama dengan 30% dari curah hujan rata-rata. Selanjutnya Hounam juga membatasi jika 15 hari berturut-turut tidak hujan maka akan timbul kekeringan. Pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) menyebabkan Indonesia memiliki tiga pola curah hujan yaitu pola curah hujan Equatorial, Moonsunal, dan tipe curah hujan lokal (Aldrian, 2003). Jawa dan Bali sama-sama memiliki tipe curah hujan Moonsunal, sehingga pada bulan Juni sebagian besar wilayah Jawa dan Bali kekurangan air yang berakibat rendahnya daya simpan air dalam tanah dan DAS (Daerah Aliran Sungai), kondisi ini mendorong terjadinya kekeringan. Selain ITCZ, fenomena kejadian curah hujan di Indonesia dipengaruhi juga oleh El Niño-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD). Jika ENSO merupakan fenomena global yang terjadi di kawasan lautan pasifik, maka IOD sebagai mininya ENSO di kawasan Laut India. Kedua fenomena ini sangat erat pengaruhnya dengan kejadian iklim esktrim di Indonesia (Wolter et al., 1993, 1998; Saji et al., 1999). Untuk mengetahui berapa besar dampak kekuatan ENSO dan IOD yang terjadi dapat dilihat dari indexnya masing-masing yaitu Multiple ENSO Index (MEI) dan Dipole Mode Index (DMI). Sedangkan untuk mengetahui jumlah curah hujan untuk jangka waktu tertentu dan telah menyimpang dari normalnya dapat dilihat dari index kekeringan. Dari beberapa index kekeringan yang ada, ternyata tidak ada satu index yang lebih unggul, karena beberapa index lebih cocok daripada yang lain untuk keperluan tertentu. Misalnya, Index Kekeringan Palmer (Palmer Drought Index) telah banyak digunakan oleh Departemen Pertanian AS untuk menentukan bila waktu yang tepat memberikan bantuan darurat kekeringan, walaupun nampaknya Index Palmer relatif lebih baik ketika digunakan di area luas dengan topografi seragam. Sedangkan Pusat Mitigasi Kekeringan Nasional menggunakan index yang lebih baru yaitu Standardized Precipitation Index (SPI) untuk memantau kondisi kelembaban tanah (http://drought.unl.edu/). SPI dirancang untuk mengukur defisit curah hujan di beberapa skala waktu yang mencerminkan dampak kekeringan pada ketersediaan sumber daya air yang berbeda
82
Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(McKee et al., 1993). Perhitungan SPI untuk setiap lokasi didasarkan pada curah hujan jangka panjang untuk jangka waktu yang diinginkan (Edwards et al., 1997). Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan data penginderaan jauh dalam pemantauan kondisi kekeringan di wilayah Jawa dan Bali, yang dipengaruhi oleh kejadian ENSO dan IOD. Dari penelitian ini diharapkan Kita dapat menggunakan data penginderaan jauh seoptimal mungkin dan memperoleh informasi pola kejadian kekeringan di wilayah Jawa dan Bali pada saat fenomena ENSO dan IOD yang terjadi disaat bersamaan (simultan).
2.
DATA DAN METODOLOGI
2.1. Data dan Alat Data curah hujan yang digunakan merupakan data curah hujan rata-rata bulanan yang diunduh dari satelite TRMM 1998 sampai 2009 (12 tahun pengamatan). Data TRMM 3B43 dengan resolusi spasial 0,25 x 0,25 derajat. Data index ENSO tahun 1995 – 2009 diunduh dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/people/klaus.wolter/MEI/table.htm, sedangkan data IOD tahun 1995 – 2008 dari http://www.jamstec.go.jp/. Data Produksi Padi diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Software yang digunakan yaitu Microsoft Excel, Software Sistem Informasi Geografis, dan Model SPI yang diperoleh dari http://drought.unl.edu. 2.2. Metodologi Untuk mengkaji fenomena yang sedang terjadi di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dimana fenomena IOD dan ENSO tersebut dapat mempengaruhi besarnya curah hujan yang terjadi di Jawa-Bali. Maka MEI dan DMI kemudian diplot, sehingga diperoleh gambaran apakan kedua fenomena tersebut saling menguatkan atau sebaliknya saling melemahkan. Data curah hujan TRMM di ambil wilayah Jawa saja menggunakan program SIG (Sistim Informasi Geografis), sehingga diperoleh TRMM Jawa dan Bali yang terdiri dari 187 piksel. Kemudian setiap piksel tersebut di hitung indeks kekeringannya dengan menggunakan Metode SPI (Standardized Precipitation Index) yang tidak lain merupakan index kekeringan yang hanya didasarkan pada curah hujan. Dalam perhitungannya metode SPI ini membutuhkan informasi data curah hujan yang cukup panjang. Pada Metode SPI, curah hujan divariasikan dalam fungsi distribusi gamma. Kemudian dengan mengubah fungsi probabilitas kumulatif gamma ke dalam variabel normal standar Z acak dengan rata-rata dan deviasi standar nol dan satu. Sebuah persamaan baru dibentuk (persamaan i dan ii), dan transformasi dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap curah hujan dalam fungsi gamma telah mendapat nilai yang sesuai di fungsi Z. Dan probabilitas bahwa curah hujan kurang dari atau sama dengan jumlah curah hujan pun akan sama dengan probabilitas bahwa variasi baru kurang dari atau sama dengan nilai jumlah curah hujan. Semua fungsi probabilitas yang telah dipasang untuk data curah hujan stasiun yang berbeda dapat diubah dengan cara ini, dan divariasikan mengubah resultan selalu dalam satuan yang sama.
83
Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
c0 c1t c 2 t 2 Z SPI t 1 d t d t2 d t3 1 2 3
for0 H ( x) 0.5 ……………(i)
c0 c1t c 2 t 2 Z SPI t 1 d t d t2 d t3 1 2 3
for0.5 H ( x) 1.0 …………..(ii)
dimana :
1 t ln ( H ( x)) 2
1 t ln (1.0 H ( x)) 2
for0 H ( x) 0.5
for0.5 H ( x) 1.0
c0 = 2.515517 c1 = 0.802853 c2 = 0.010328 d1 = 1.432788 d2 = 0.189269 d3 = 0.001308 Dalam cara yang sama, probabilitas kumulatif dari setiap nilai SPI dapat ditemukan, dan ini akan sama dengan probabilitas kumulatif dari curah hujan yang sesuai. Tabel 1 di bawah ini memberikan probabilitas kumulatif untuk nilai-nilai berbagai SPI (Edwards et al., 1997). Tabel 1. SPI dan Probabilitas Kumulatif
SPI -3.0 -2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0
84
Probabilitas Kumulatif 0.0014 0.0062 0.0228 0.0668 0.1587 0.3085 0.5000 0.6915 0.8413 0.9332 0.9772 0.9938 0.9986
Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Sistem klasifikasi untuk menentukan intensitas kekeringan yang dihasilkan dari SPI ditunjukkan dalam tabel nilai SPI (Tabel 2). Lokasi-lokasi yang telah memiliki nilai SPI dan telah diklasifikasi tersebut kemudian di masukkan ke program SIG sehingga dapat dianalisis secara spasial. Tabel 2. Nilai SPI (McKee et al., 1993)
Nilai > 2,0 1,5 sampai 1,99 1,0 sampai 1,49 0,99 sampai -0,99 -1,0 sampai -1,49 -1,5 sampai -1,99 < -2
Klasifikasi ekstrim basah sangat basah agak basah dekat normal agak kering sangat kering ekstrim kering
Langkah-langkah kerja yang dilakukan pada penelitian ini secara ringkas disajikan dalam diagram alir dibawah ini (Gambar 2).
Gambar 2. Diagram alir prosedur kerja
85
Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan curah hujan dari satelit TRMM untuk kawasan Jawa diperoleh sebanyak 187 pixel dimana setiap tahunnya dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil rata-rata curah hujan selama pengamatan (12 tahun) sebesar 183 mm dimana curah hujan tertinggi terjadi pada awal tahun 1999 hingga mencapai sekitar 542 mm. Pada Gambar 3 juga dapat dilihat bahwa curah hujan bulanan di Jawa pada bulan kering yang kurang dari 50 mm/bulan dan terjadi lebih dari 3 bulan berturut-turut yaitu 2002, 2003, 2006, dan 2008. 600
Curah Hujan (mm/bulan)
500 400 300 200 100 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 3. Curah hujan Jawa dari Satelite TRMM dari tahun 1998 – 2009
Fenomena ENSO dan IOD dapat dilihat dari masing-masing index yaitu MEI dan DMI pada 1998 sampai 2009. Gambar 4 menunjukkan bahwa MEI dan DMI saling menguatkan terjadi pada 1998, 2003, 2006, dan 2007. Merujuk kepada Gambar 3, terlihat bahwa curah hujan pada bulan kering 2003 dan 2006 cukup kecil dan lama. Pada saat MEI dan DMI sama-sama positif maka peluang bencana kekeringan semakin besar terjadi karena curah hujan yang terjadi semakin kecil. Sebaliknya saat MEI dan DMI sama-sama negatif maka peluang curah hujan tinggi semakin besar. Namun yang menjadi tanda tanya disini adalah kejadian El Nino dan DMI Positif pada 1998 dimana curah hujan yang terjadi masih cukup tinggi ditahun itu. Sedangkan kondisi saling melemahkan terjadi pada 2000, 2004, 2005, dan 2008. Namun pada kondisi berlawanan atau saling melemahkan, maka besarnya curah hujan yang terjadi tergantung dari fenomena yang lebih mendominasi. Selain itu, kejadian ini juga dapat menyebabkan ketidak seragaman curah hujan di setiap daerah, karena tergantung lokasi daerah tersebut. Semakin mendekati Samudera Hindia, maka IOD lebih dominan, sedangkan semakin mendekati Samudera Pasifik maka ENSO lebih dominan. Untuk itu pada kondisi khusus ini besarnya curah hujan yang terjadi sulit untuk di prediksi.
86
Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
4 3 2 1 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 -1 -2 -3 MEI
DMI
-4
Gambar 4. Kejadian ENSO dan IOD 1998 – 2009
Wilayah Jawa yang memiliki tipe curah hujan Moonsunal cenderung mengalami kekurangan curah hujan pada bulan Juni-Juli-Agustus. Namun pada JJA 1998 dan 2005 (Gambar 5) Jawa dan Bali terlihat cukup basah, dimana pada 1998 terjadi La Nina dan DMI negatif. Sedangkan 2005 dimana terjadi El Nino lemah dan DMI negatif dominan sehingga peta rawan kekeringan di JJA 2005 cenderung mendekati normal. Hanya di beberapa daerah memperlihatkan kondisi basah. Peta rawan kekeringan Jawa pada bulan Juni-Juli-Agustus banyak yang menunjukkan kondisi mendekati normal basah, yaitu 1999, 2000, 2001, dan 2007. Pada JJA 1999 – 2001 ENSO dan IOD pada kondisi normal, sedangkan JJA 2007 terjadi La Nina kuat namun dapat dilemahkan oleh IOD positif yang cukup kuat juga. Sedangkan klasifikasi normal - sedikit kering di wilayah Jawa bagian timur dan Bali terjadi pada 2004 dan 2009, dimana pada tahun-tahun tersebut terjadi ENSO yang diperkuat dengan DMI positif. Selebihnya pada Gambar 5, peta rawan kekeringan JJA 2002, 2003, 2006, dan 2008 memperlihatkan banyak klasifikasi kering. Fenomena ENSO dan IOD saling menguatkan dengan index positif, kecuali 2008.
87
Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 5. Peta Rawan Kekeringan Jawa Bulan Juni-Juli-Agustus 1998 - 2009
88
Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Untuk melihat apakah kondisi rawan kekeringan ini dapat mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan, maka diambil studi kasus kekeringan Juni – Agustus 2003 di wilayah Jawa Barat. Di mana pada saat itu wilayah Jawa Barat terutama bagian utara terlihat berpotensi mengalami kondisi kekeringan hingga kriteria sangat kering. Dari Gambar 6 terlihat bahwa sekitar 56% wilayah Jawa Barat mengalami penurunan produksi padi pada saat berpotensi mengalami kekeringan. Penurunan produksi terbesar terjadi di Kabupaten Ciamis, Cirebon, Sukabumi, dan Tasikmalaya yaitu mencapai 33 ribu Ton dari rata-rata produksi padi pada periode waktu yang sama (yaitu rata-rata produksi padi pada bulan Mei sampai Agustus 2000 hingga 2005). Selain itu dari Gambar 6 juga terlihat bahwa Kabupaten Ciami, Cirebon, dan Tasikmalaya sangat sensitif terhadap menurunan curah hujan yang mengakibatkan penurunan produksi padi di wilayah tersebut. Kecuali wilayah Kabupaten Bandung, Bekasi, Bogor, Garut, Karawang, Purwakarta dan Subang yang tetap mengalami peningkatan produksi padi dari rata-rata produksi padi diperiode yang sama walau berpotensi mengalami kekeringan. hal ini dapat terjadi karena wilayah tersebut mungkin memiliki jaringan irigasi yang baik. Dimana sumber air irigasi berasal dari danau, waduk atau lain sebagainya.
Gambar 6. Kondisi SPI dan peubahan produksi Padi bulan Mei – Agustus 2003 di Jawa Barat
4.
KESIMPULAN
Pemanfaatan data satelit TRMM sebagai salah satu data hasil penginderaan jauh dapat diaplikasikan dalam pemantauan kekeringan. Hasil pengamatan kekeringan di Jawa dan Bali sejak 1998 – 2009 dengan menggunakan data TRMM, MEI, DMI, dan Peta Rawan kekeringan dari model SPI diketahui bahwa pada umumnya setiap kejadian MEI dan DMI positif maka akan menyebabkan curah hujan rendah yang cukup panjang,
89
Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
sehingga berindikasi terjadinya kondisi sangat kering. Namun hal ini tidak berlaku pada 1998 dimana curah hujan masih cukup tinggi sehingga peta rawan kekeringan memperlihatkan kondisi sangat basah. Sedangkan di tahun 2008 dimana DMI positif dan MEI negatif tetap menyebabkan curah hujan cukup kecil di Jawa dengan tipe kerawanan agak kering hingga sangat kering di sebagain Jawa Barat dan Jawa Timur. Pada studi kasus kondisi kedua indeks ini saling menguatkan (2003) ternyata produksi padi di Jawa Barat ikut mengalami penurunan. 5.
REKOMENDASI
Penggunaan SPI dalam upaya penentuan daerah yang berpotensi mengalami kekeringan dapat diterapkan di Indonesia. Dengan mengetahui wilayah yang sangat sensitif terhadap perubahan curah hujan apalagi yang dipengaruhi kejadian ekstrim seperti ENSO dan IOD maka dapat diterapkan pemberian air irigasi agar dapat mengatasi kondisi kekeringan tersebut. Sebaiknya pengolahan menggunakan metode SPI menggunakan data curah hujan yang panjang. DAFTAR REFERENSI Aldrian, E, and R. Dwi Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology, Int. J. Climatol. 23: 1435–1452 (2003). Edwards, D.C., and T.B. McKee. 1997. Characteristics of 20th century drought in the United States at multiple time scales. Climatology Report Number 97–2, Colorado State University, Fort Collins, Colorado. Everett, and Simonett. 1976. Principles, Concepts, and Philosophical Problems in Remote Sensing, In: Remote Sensing of Environment, Lintz, and Simonett: Addison-Wesley Publishing Company, London. Hounam, C.E., J.J. Burgos, M.S. Kalik, W.C. Palmer, and J. Rodda. 1975. Drought and Agriculture. Report of the CAgM Working Group on Assessment of Drought. Technical Note No. 138. WMO Publication No. 392, 127 pp. http://drought.unl.edu/. Diakses Februari 2010. http://trmm.gsfc.nasa.gov/overview_dir/background.html. Diakses Agustus 2010. http://www.esrl.noaa.gov/psd/people/klaus.wolter/MEI/table.html. Diakses Agustus 2010. http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/. Diakses Agustus 2010. Lillesand, T.M., R.W. Kiefer, and J.W. Chipman. 2003. Remote sensing and image interpretation (5th ed.). Wiley. ISBN 0-471-15227-7. Lindgren, D.T. 1985. Land use Planning and Remote Sensing, Doldrecht: Martinus Nijhoff Publisher.
90
Aplikasi Inderaja untuk Mendeteksi Kekeringan di Jawa Terkait Aktivitas ENSO dan IOD Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
McKee, T.B., N.J. Doesken, and J. Kleist. 1993. The relationship of drought frequency and duration to time scales. Preprints, 8th Conference on Applied Climatology, pp. 179–184. January 17–22, Anaheim, California. Saji, N.H., Goswami B.N., Vinayachandran P.N., and Yamagata T. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360-363. Wolter, K., and M.S. Timlin. 1998. Measuring the strength of ENSO events - how does 1997/98 rank? Weather, 53, 315-324. Wolter, K., and M.S. Timlin. 1993. Monitoring ENSO in COADS with a seasonally adjusted principal component index. Proc. of the 17th Climate Diagnostics Workshop, Norman, OK, NOAA/NMC/CAC, NSSL, Oklahoma Clim. Survey, CIMMS and the School of Meteor., Univ. of Oklahoma, 52-57.
BIOGRAFI PENULIS Nur Febrianti, S.Si. Lahir di Jambi 04 Februari 1981. Menamatkan Sekolah Dasar di Jambi, SMPN 12 dan SMUN 3 di Padang 1999, serta memperoleh gelar sarjana di IPB Jurusan Geofisika dan Meteorologi 2004. Setelah lulus kuliah bekerja di LAPAN, dan diterima menjadi Pegawai Negri Sipil 2008 sampai sekarang di lembaga yang sama. Pelatihan tingkat international yang pernah diikuti yaitu antara lain Elucidation of ground based atmosphere observation network in equatorial asia kerjasama LAPAN dan JSPS-Jepang, 2008. dan Spring School on Fluid Mechanics and Geophysics of Environmental Hazards - Institute for Mathematical Sciences, National University of Singapore, 2009. Pengalaman penelitian di bidang iklim dan aplikasinya 2004 – sekarang. Semenjak 2005 hingga 2010 telah mempublikasikan delapan makalah penelitian yang terkait.
91
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43
Abd. Rahman As-syakur1) 2)* 1) Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, Denpasar-Bali 2) Center for Remote Sensing and Ocean Science (CReSOS) Universitas Udayana, DenpasarBali *
[email protected]
Abstrak Data penginderaan jauh TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) 3B43 selama 12 tahun telah digunakan untuk mencari pola spasial hubungan antara ENSO (El NiñoSouthern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) dengan curah hujan di Indonesia. Analisis statistik korelasi linier dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungannya dengan batasan analisa berupa analisis musiman yaitu musim lokal dan musim monsun. Pemanfaatan data penginderaan jauh memperlihatkan adanya interaksi spasial temporal hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD antara daratan dan lautan yang dapat mengambarkan faktor-faktor penyebab perbedaan kekuatan pengaruh kedua fenomena tersebut terhadap curah hujan secara spasial dan temporal. Secara umum pola temporal hubungan ENSO dan IOD dengan curah hujan di Indonesia adalah sama dimana tinggi saat musim monsun JJA dan SON serta tidak jelas saat musim monsun DJF dan MAM. Pola spasial hubungan kedua indeks dengan curah hujan tinggi di wilayah Pulau Sumatera bagian tenggara dan Pulau Jawa saat musim JJA dan SON. Saat musim monsun SON, IOD memiliki tingkat hubungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ENSO diwilayah tersebut. Secara spasial temporal terlihat bahwa ada pergerakan dinamis hubungan ENSO dan IOD dengan curah hujan di Indonesia dimana permulaan pengaruh ENSO dan IOD terjadi pada masa JJA di wilayah barat daya Indonesia dan berakhir pada masa DJF di wilayah timur laut Indonesia. Kata Kunci: curah hujan, pola spasial, ENSO, IOD, TMPA 3B43 Abstract The Remote sensing data of TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) 3B43 for 12 years has been used to observe the spatial patterns relationship of rainfall with ENSO (El Niño-Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) over Indonesia. Linier correlation statistical analysis was conducted to determine the relationship level by restriction analysis of seasonal analysis based on local season and monsoon activity. Application of remote sensing data can reveal an interaction of spatial temporal relationship of rainfall with ENSO and IOD between land and sea which can be used to describe the factors that cause differences power effects of both phenomena on rainfall are spatially and temporally. In general, the temporal patterns relationship of rainfall
92
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
with ENSO and IOD is the same patterns where high response during JJA and SON, and unclear response during DJF and MAM. Spatial patterns relationship of both phenomena with rainfall is high in southeastern part of Sumatra Island and Jawa Island during JJA and SON. During the SON season, IOD has a relationship level higher than ENSO in this part. In the spatial temporal seen, indicate the dynamic movement of the relationship between IOD and ENSO with rainfall in Indonesia, where the beginning of the influence of ENSO and IOD occurs during JJA in southwest part of Indonesia and ended in DJF period in northeast part of Indonesia. Keywords: rainfall, spatial patterns, ENSO, IOD, TMPA 3B43 1. PENDAHULUAN Indonesia terletak di wilayah yang dilewati oleh garis katulistiwa dan terletak di antara dua benua dan dua samudra. Posisi ini menyebabkan wilayah indonesia dipengaruhi oleh sirkulasi Hadley dan sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi tingkat variabilitas hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2007). Pergerakan matahari dari 23.5o LU ke 23.5o LS selama setahun menghasilkan aktivitas monsun yang juga berperan penting terhadap variabilitas hujan di Indonesia. Selain itu, adanya pengaruh kondisi lokal seperti topografi juga tidak bisa diabaikan karena merupakan salah satu kondisi penting yang mempengaruhi tingkat variabilitas hujan pada skala mikro (Haylock and McBride, 2001; Aldrian and Djamil, 2008). Anomali interaksi antara laut dan atmosfer di sekitar perairan Indonesia juga berpengaruh terhadap variabilitas hujan di Indonesia. Interaksi-interaksi tersebut seperti kejadian ENSO dan IOD. Kedua fenomena tersebut berperan penting terhadap kondisi ekstrim variabilitas hujan yang berdampak terhadap kondisi lingkungan dan sosial baik secara global maupun regional (Lou et al., 2010). Fluktuasi kejadian ENSO di Samudra Pasifik sangat berhubungan dengan curah hujan di Indonesia (Aldrian et al., 2007; Hendon, 2003a; Mulyana, 2002b; Nicholls, 1988; Ropelewski and Halpert, 1987). Hal yang sama juga terjadi pada fluktuasi kejadian IOD di Samudra Hindia (Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003b; Bannu et al., 2005). Kondisi ENSO baik El Nino atau La Nina menyebabkan penurunan atau peningkatan curah hujan di sebagian Indonesia yang berdampak pada makin panjangnya musim kemarau atau pendeknya musim kemarau (As-syakur, 2010; As-syakur dan Prasetia, 2010; Bell et al., 1999; Bell et al., 2000; Hendon, 2003a; Hamada et al., 2002; Philander, 1990; Tjasyono dkk., 2008). Kondisi yang sama juga terjadi bila kejadian IOD juga berlangsung. IOD positif (negatif) berdampak pada semakin panjang (pendek) dan keringnya (basahnya) musim kemarau di sebagian Indonesia (Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003b; Bannu et al., 2005; Tjasyono dkk., 2008). Curah hujan mempunyai tingkat variabilitas yang tinggi terhadap ruang dan waktu sehingga membutuhkan data observasi yang panjang serta dengan sebaran spasial yang memadai (Hong et al., 2010). Penakar hujan pada setiap pos pengamatan hujan merupakan suatu alat pengukur hujan yang efektif dan relatif akurat dalam menggambarkan kondisi hujan pada suatu tempat. Akan tetapi sebaran pos penakar hujan tidak merata khususnya di daerah tidak berpenghuni serta di sekitar lautan yang
93
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
mengakibatkan berkurangnya tingkat keakuratannya (Xie and Arkin, 1996; Petty and Krajewski, 1996). Saat ini, kemungkinan memperoleh data curah hujan yang diperlukan dalam berbagai aplikasi ilmiah dapat diperoleh dari satelit meteorologi (Petty, 1995). Satelit meteorologi dapat menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik dan waktu yang kontinyu (Xie et al., 2007). Keberadaan data yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang baik diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih kuantitatif tentang hubungan curah hujan di Indonesia dengan kondisi iklim pada skala yang lebih luas. Keadaan ini memberikan kesempatan yang baik dalam studi tentang pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia. Produk TRMM 3B43 atau disebut juga Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA), merupakan data kombinasi atau data hasil analisis penggabungan. TRMM 3B43 sudah diterapkan dalam berbagai aplikasi seperti pengamatan iklim/cuaca, analisis iklim, verifikasi model iklim, dan studi hidrologi (Xie et al., 2007). Data TRMM 3B43 merupakan yang pertama mengkombinasikan TRMM Precipitation Radar (PR) dan TRMM Microwave Imager (TMI) untuk mengkalibrasi perkiraan jumlah curah hujan dari pengukuran data Microwave dan Infrared (IR) (Huffman et al., 2007). Data TRMM 3B43 sangat baik digunakan untuk saat ini, karena di dalamnya juga terdapat hasil kalibrasi dari data penakar hujan (Mehta and Yang, 2008). Pada saat ini, beberapa kelompok peneliti telah melakukan validasi terhadap keakuratan data ini, seperti As-syakur et al., (2010) yang membandingkan TMPA dengan data pengukuran curah hujan di Bali, Chokngamwong and Chiu (2008) yang membandingkan TRMM dengan data pengukuran curah hujan di Thailand, Su et al. (2008) yang menggunakan TMPA untuk memprediksi kondisi hidrologi di Lembah La Plata, dan Islam and Uyeda (2007) yang memanfaatkan data TRMM untuk menjelaskan karakteristik iklim, khususnya hujan di Bangladesh. Hasilhasil penelitian tersebut menggarisbawahi tentang keunggulan TRMM 3B43 dan menyarankan untuk memanfaatkan data satelit ini secara lebih luas. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, dalam penelitian ini dicobakan penggunaan data curah hujan dari TRMM untuk mengetahui pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD di seluruh Indonesia. Selama ini studi tentang hubungan antara curah hujan di Indonesia dengan ENSO atau IOD lebih banyak dilakukan per lokasi yang memiliki pos penakar hujan atau dari pemanfaatan model yang datanya hanya bersumber dari penakar hujan (Seperti Aldrian et al., 2007; Hendon, 2003a; Saji and Yamagata, 2003b; Hamada et al., 2002; Mulyana, 2002a; Mulyana, 2002b; Nicholls, 1988; Ropelewski and Halpert, 1987). Sehingga dengan keberadaan data satelit yang memiliki resousi spasial dan temporal yang baik diharapkan akan lebih mampu memberikan informasi yang lebih baik tentang pola spasial hubungan antara curah hujan dengan kedua jenis indeks tersebut. Dalam penelitian ini, kondisi ENSO dijelaskan dengan nilai SOI (Southern Oscillation Index) dan kondisi IOD dijelaskan dengan nilai DMI (Dipole Mode Index). Penelitian ini memfokuskan pada analisis musiman.
94
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
2. DATA DAN METODE 2.1 Data Data curah hujan bulanan dari tahun 1998 sampai 2009 yang diperoleh dari TRMM 3B43 digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD. Cakupan area penelitian adalah pada 20° LU sampai 20° LS dan 80° BT sampai 160° BT (Gambar 1) dengan jumlah pixel TRMM 3B43 yang dianalisis sebanyak 51.200 pixel. Nilai SOI digunakan untuk menjelaskan peristiwa hangat (El Nino) dan dingin (La Nina) di Samudra Pasifik (Ropelewski and Jones, 1987; Ropelewski and Halpert, 1989; Können et al., 1998). Sedangkan nilai DMI digunakan untuk menjelaskan peristiwa IOD positif dan IOD negatif Samudra Hindia (Saji et al., 1999; Saji and Yamagata, 2003a; Saji and Yamagata, 2003b). SOI adalah indeks yang didasarkan pada perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin (Ropelewski and Jones, 1987) dan didefinisikan sebagai perbedaan standar antara tekanan standar bulanan di Tahiti dan Darwin (Können et al., 1998), sedangkan DMI didefinisikan sebagai gradien suhu permukaan laut (SPL) antara bagian timur dengan bagian barat samudra Hindia (Saji et al., 1999).
Gambar 1. Lokasi penelitian
TRMM disponsori oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency, yang dulu disebut NASDA-National Space Development Agency), dan telah mengumpulkan data dari November 1997 sampai saat ini (Kummerow et al., 2000). TRMM merupakan program penelitian jangka panjang yang didesain untuk studi tentang tanah, laut, udara, es, dan sistem total kehidupan di bumi (Islam and Uyeda, 2007). TRMM 3B43 merupakan bagian dari TMPA. TMPA adalah data kalibrasi berbasis skema berurut yang mengkombinasikan perkiraan hujan dari beberapa jenis satelit dan data penakar hujan. TMPA menyediakan cakupan data hujan global pada sabuk lintang 50° LU sampai 50° LS dengan resolusi
95
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
spasial 0.25° × 0.25° serta resolusi temporal tiga jam-an untuk TRMM 3B42 dan resolusi temporal bulanan untuk TRMM 3B43 (Huffman et al., 2007; Huffman et al., 2010). Algoritma yang digunakan untuk menghasilkan data TMPA didasarkan pada teknik dari Huffman et al. (1995, 1997) dan Huffman (1997). Data TRMM 3B43 diperoleh dari website ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/ s4pa/TRMM_L3/. Sedangkan data SOI dan DMI diperoleh dari website http://www.bom.gov.au/ dan http://www.jamstec.go.jp/. 2.2 Metode Metode untuk mendapatkan hubungan antara curah hujan dari TRMM 3B43 dengan nilai SOI dan DMI adalah menggunakan analisis statistik. Pengukuran hubungan antara data satelit dengan SOI dan IOD adalah dengan mencari nilai koefisien korelasi linier (r) yang didefinisikan berdasarkan persamaan berikut (von Storch and Zwiers, 1999):
r
n XY - X Y
n X - X 2
2
n Y - Y 2
2
(1)
Di mana X adalah nilai curah hujan dari TRMM 3B43, Y adalah nilai indeks (SOI atau DMI), dan n adalah jumlah data yang digunakan. Dari sudut pandang statistik, analisis korelasi digunakan untuk menggambarkan hubungan statistik linear antara dua variabel acak, dimana hal ini menunjukkan sepasang variabel yang berbeda bervariasi sama persis, satu variabel yang terkait dengan yang lain dapat diskalakan dalam bentuk positif atau negatif (von Storch and Zwiers, 1999). Analisis data dilakukan pada tiap pixel dengan koordinat sebagai identitas. Data diekstrak dari TRMM 3B43 pada setiap pixel untuk mendapatkan data per point/titik. Tiap point/titik memiliki informasi koordinat, bulan, tahun, dan nilai curah hujan. Kemudian data diurutkan sesuai dengan tujuan analisis. Proses pengurutan juga dilakukan pada nilai-nilai index (SOI dan DMI), dan selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai korelasi menggunakan persamaan koefisien korelasi linier (persamaan 1). Setelah diperoleh nilai korelasi, data titik/poin dikonversi ke format data raster yang memiliki resolusi spasial yang sama dengan data aslinya (0.25° × 0.25°). Proses-proses tersebut dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Microsoft Office Excel 2003 dan ArcGIS 9.3. Dua tipe analisis musiman dilakukan dalam penelitian ini, pertama didasarkan pada musim lokal dan yang kedua didasarkan pada aktivitas monsun. Secara lokal, musim dibagi menjadi dua tipe yaitu musim hujan dan musim kemarau. Sementara itu, berdasarkan aktivitas monsun, analisisnya dibagi menjadi empat tipe, yaitu DesemberJanuari-Februari (DJF), Maret-April-Mei (MAM), Juni-Juli-Agustus (JJA), and September-Oktober-November (SON). Secara umum di Indonesia musim hujan terjadi dari bulan November sampai April dan musim kemarau terjadi dari Mei sampai Oktober (Hendon, 2003a; Aldrian and Djamil, 2008). DJF menggambarkan puncak dari monsun barat laut Australia-Asia, dan JJA menggambarkan puncak monsun tenggara Australia-Asia. Sedangkan MAM dan SON menggambarkan transisi antara kedua masa
96
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
monsun (Aldrian and Susanto, 2003). Proses analisis dilakukan dengan mengkorelasikan data bulanan pada musim yang sama selama tahun pengamatan. Untuk mengetahui indeks yang paling berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia diperoleh dengan melakukan perbandingan tingkat korelasi antara kedua indeks tersebut. Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikan korelasi, digunakan derajat kepercayaan 95%. Nilai korelasi yang berada di bawah derajat kepercayaan 95% adalah tidak berkorelasi signifikan. Hasil analisis awal menunjukan bahwa nilai korelasi signifikan yang berada dibawah derajat kepercayaan 95% untuk analisis musim lokal dan musim monsun berturut-turut adalah antara 0.23 sampai -0.23 dan antara 0.33 sampai -0.33. Korelasi positif (negatif) antara curah hujan dengan SOI menunjukkan bahwa kondisi hangatnya SPL (Suhu Permukaan Laut) di Samudra Pasifik dapat mengakibatkan menurunnya (meningkatnya) curah hujan di Indonesia. Kondisi sebaliknya akan berlangsung bila peristiwa pendinginan SPL terjadi di Samudra Pasifik. Sementara itu, korelasi negatif (positif) antara curah hujan dan DMI mengindikasikan bahwa peristiwa pendinginan SPL di bagian timur Samudra Hindia dapat menurunkan (meningkatkan) curah hujan di Indonesia. Kondisi sebaliknya akan terjadi bila peristiwa penghangatan SPL terjadi di wilayah tersebut.
3.
HASIL
Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap fluktuasi hujan selama musim lokal disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan gambar tersebut secara umum pengaruh ENSO lebih luas efeknya dibandingkan IOD baik selama musim hujan maupun selama musim kemarau. Selama musim hujan, pengaruh ENSO lebih kuat dibandingkan pengaruh IOD walaupun dengan sebaran yang tidak terlalu luas untuk wilayah Indonesia. ENSO dan IOD tidak berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi Curah hujan di sebagian wilayah daratan Indonesia. Sebaran pengaruh ENSO hanya terjadi di sebagian pesisir utara Sumatera, Jawa bagian tengah, sebagian Kepulauan Nusa Tenggara, bagian timur Kalimantan, sebagian Sulawesi bagian utara dan selatan, sebagian kepulauan Maluku, serta disebagian kecil Papua. Sedangkan sebaran pengaruh IOD hanya terjadi di bagian timur Kalimantan, di sebagian wilayah Sulawesi, bagian timur kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Halmahera. Selama musim hujan, pengaruh ENSO kuat (r = 0.4-0.6) hanya terjadi di bagian utara dan pesisir timur Kalimantan, bagian utara Sulawesi, bagian utara kepulauan Halmahera, dan di bagian selatan Bali dan Lombok. Sedangkan pengaruh IOD kuat (r = 0.4-0.6) saat musim hujan hanya terdapat di Laut Jawa. Selama musim kemarau, sebaran pengaruh ENSO dan IOD terhadap fluktuasi hujan lebih luas dibandingkan saat musim penghujan. Efek kejadian ENSO terhadap curah hujan di Indonesia selama musim kemarau tersebar cukup merata. Sebagian besar curah hujan di wilayah Indonesia berfluktuasi seiring dengan fluktuasi nilai SOI kecuali sebagian Sumatera bagian barat, sebagian kalimantan bagian utara dan sebagian papua bagian timur laut. Efek ENSO kuat (r = 0.4-0.6) juga terlihat cukup luas sebarannya yaitu terlihat di sebagian Sumatera bagian barat, sebagian kalimantan bagian barat, sebagian Sulawesi bagian barat, sebagian maluku, sebagian Paua, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Di sisi lain, IOD juga berpengaruh kuat terhadap fluktuasi hujan saat
97
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
musim kemarau terutama di bagian timur Pulau Sumatera dan bagian barat Pulau Jawa. Secara umum efek IOD terhadap fluktuasi hujan saat musim kemarau di Indonesia hanya terpengaruh di selatan Indonesia yaitu bagian timur Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Bali, bagian barat kepulauan Nusa Tenggara, bagian barat laut Pulau Kalimantan, dan bagian barat Pulau Sulawesi. a)
c)
b)
d)
Gambar 2. Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap curah hujan di Indonesia berdasarkan musim lokal. (a) ENSO saat musim hujan; (b) ENSO saat musim kemarau; (c) IOD saat musim hujan; dan (d) IOD saat musim kemarau
Berdasarkan hasil analisis perbandingan antara kedua jenis indeks terlihat bahwa ENSO lebih berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di Indonesia dibandingkan IOD baik itu selama musim hujan maupun selama musim kemarau, seperti yang disajikan pada Gambar 3. Selama musim hujan pengaruh ENSO terhadap fluktuasi curah hujan lebih kuat dibandingkan IOD di wilayah bagian tengah Indonesia serta diluar bagian selatan dan utara Indonesia. Sedangkan di periran Laut Banda dan sekitarnya serta sebagian kecil Pulau Kalimantan dan Kepulauan Mentawai, Sumatera pengaruh IOD lebih kuat terhadap curah hujan di bandingkan dengan ENSO. Kondisi sebaliknya terjadi selama musim kemarau, di bagian barat Indonesia yaitu di Pulau Sumatera bagian timur, sebagian besar wilayah Pulau Jawa, sebagian wilayah Kepulauan Nusa Tenggara fluktuasi hujannya lebih dipengaruhi oleh kejadian IOD di bandingkan kejadian ENSO. Akan tetapi sebagian bagian barat Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Sebagian wilayah Papua pengaruh ENSO terhadap curah hujan lebih kuat dibandingkan pengaruh IOD.
98
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
a)
c)
Gambar 3. Pola spasial perbandingan pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan di Indonesia berdasarkan musim lokal. (a) perbandingan ENSO dan IOD saat musim hujan; dan (b) perbandingan ENSO dan IOD saat musim kemarau
Hasil kedua dari penelitian ini adalah pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap fluktuasi hujan selama musim monsun yang disajikan pada Gambar 4. Selama musim DJF fluktuasi nilai SOI berpengaruh terhadap curah hujan di bagian tengah Indonesia walaupun dengan sebaran yang tidak merata. Wilayah-wilayah yang terkena dampak pengaruh ENSO adalah Sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian Kepulauan Nusa Tenggara, bagian timur laut Pulau Kalimantan, sebagian wilayah Pulau Sulawesi, sebagian Kepulauan Maluku, dan sebagian wilayah Papua. Efek ENSO terbesar terhadap fluktuasi hujan saat musim ini terjadi diluar wilayah Indonesia yaitu Filipina dan sekitarnya. Sebaran spasial efek IOD terhadap fluktuasi curah hujan selama musim DJF lebih kecil dibandingan efek ENSO. Seperti halnya ENSO, efek IOD terhadap fluktuasi hujan juga hanya terjadi di wilayah timur Indonesia yaitu di Pulau Kalimantan bagian timur, Pulau Sulawesi bagian timur, Kepulauan Maluku bagian utara serta di sebagian kecil Papua. Kondisi yang lebih baik terjadi saat musim MAM. Selama musim MAM efek ENSO tidak terlalu luas dibandingkan musim-musim monsun lainnya, bahkan kejadian IOD memiliki dampak yang sangat kecil terhadap fluktuasi hujan di wilayah Indonesia. Efek ENSO hanya terjadi di sisi luar Indonesia yaitu di bagian utara dan selatan kecuali di Pulau Kalimantan bagian timur. Sisi luar Indonesia yang terkena dampak kejadian ENSO saat musim MAM adalah Pulau Sulawesi bagian utara, Kepulauan Maluku bagian utara, Kepulauan Nusa Tenggara bagian selatan serta Pulau Papua bagian selatan. saat musim ini kejadian IOD hanya berkorelasi dengan kejadian hujan di pesisir selatan Papua dan sedikit di wilayah Kepulauan Maluku. Akan tetapi jenis korelasinya adalah korelasi positif yang berarti saat terjadi IOD positif maka wilayah tersebut terjadi peningkatan curah hujan. Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD saat musim JJA mulai terlihat jelas dan mengelompok. Efek ENSO yang terluas saat musim monsun terjadi pada masa JJA ini. Hanya sebagian kecil wilayah Indonesia yang curah hujannya tidak berkorelasi signifikan dengan kejadian ENSO yaitu Pulau Sumatera bagian utara, Pulau Kalimantan bagian timur laut, Kepulauan Nusa Tenggara bagian timur, dan Papua bagian timur laut. Sedangkan efek IOD terhadap fluktuasi hujan di Indonesian terlihat sangat jelas mengelompok di bagian barat daya Indonesia yaitu di Pulau Sumatera bagian tenggara dan sebagian besar Pulau Jawa. Selama masa SON efek
99
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
ENSO dan IOD masih terlihat luas bahkan efek IOD terluas terjadi pada musim ini. Efek ENSO pada musim ini terlihat mulai melemah di wilayah barat Indonesia serta bergerak kearah timur Indonesia. Hubungan antara curah hujan dengan ENSO di wilayah Pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa lebih kecil dalam hal luas dan tingkat korelasinya dibandingkan saat musim JJA. Akan tetapi wilayah Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku masih memiliki hubungan yang kuat dengan ENSO. Efek IOD terhadap curah hujan di Indonesia selama musim ini mulai memasuki wilayah timur Indonesia. Selain mempengaruhi curah hujan di Pulau Sumatera bagian tenggara dan Pulau Jawa, efek IOD juga terlihat di Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku dan sebagian Papua. a)
e)
b)
f)
c)
g)
d)
h)
Gambar 4. Pola spasial hubungan antara curah hujan dengan ENSO dan IOD terhadap hujan di Indonesia berdasarkan musim monsun. (a) pengaruh ENSO saat DJF; (b) pengaruh ENSO saat MAM; (c) pengaruh ENSO saat JJA; (d) pengaruh ENSO saat SON; (e) pengaruh IOD saat DJF; (f) pengaruh IOD saat MAM; (g) pengaruh IOD saat JJA; dan (h) pengaruh IOD saat SON
100
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 5 menyajikan pola spasial perbandingan pengaruh ENSO dan IOD terhadap hujan di Indonesia berdasarkan musim monsun. Secara umum perbandingan kekuatan pengaruh dari kedua indeks tersebut terhadap fluktuasi hujan selama musim monsun memperlihatkan bahwa ENSO lebih berpengaruh dibandingkan IOD. Khusus pada masa JJA dan SON, kejadian IOD lebih berpengaruh terhadap fluktuasi hujan dibandingkan dengan ENSO untuk wilayah Pulau Sumatera bagian tenggara dan Pulau Jawa bagian barat. Selain itu IOD juga lebih berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di bandingkan dengan ENSO selama masa SON di sebagian wilayah Kepulauan Nusa tenggara dan sebagian Pulau Sulawesi bagian utara. a)
c)
b)
d)
Gambar 5. Pola spasial perbandingan pengaruh ENSO dan IOD terhadap hujan di Indonesia berdasarkan musim monsun. (a) perbandingan ENSO dan IOD saat DJF; (b) perbandingan ENSO dan IOD saat MAM; (c) perbandingan ENSO dan IOD saat JJA; dan (d) perbandingan ENSO dan IOD saat SON
4. PEMBAHASAN Pemanfaatan data penginderan jauh TRMM 3B43 untuk mengetahui hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD memberikan gambaran pola spasial yang sangat menarik. Dimana hubungan antara curah hujan dengan kedua jenis indeks tidak hanya menggambarkan kondisi didarat tetapi juga gambaran spasial interaksi hubungan kedua indeks dengan curah hujan antara daratan dan lautan. Hal ini bisa dilihat pada hubungan antara IOD dengan curah hujan saat musim kemarau serta saat musim monsun JJA dan SON (Gambar 2(d); 4(g); dan 4(h)) yang memperlihatkan bagaimana pengelompokan pola hubungan tersebut berada di wilayah lautan dan daratan yaitu di bagian selatan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kondisi yang sama juga terlihat dari gambaran spasial hubungan antara ENSO dengan curah hujan saat musim hujan serta saat musim monsun MAM (Gambar 2(a) dan 4(b)). Gambaran pola spasial menunjukkan saat sebagian
101
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
besar wilayah daratan Indonesia tidak berhubungan dengan ENSO, ternyata di bagian timur laut Indonesia terdapat zona pengelompokan hubungan curah hujan dan ENSO yang cukup tinggi yang membentang dari timur laut Pulau Kalimantan, utara Pulau Sulawesi, utara Kepulauan Maluku sampai utara Papua. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Ropelewski and Halpert (1987) serta Ropelewski and Halpert (1996) yang menyatakan bahwa di lokasi tersebut pengaruh ENSO terjadi dari bulan Oktober sampai Mei. Akan tetapi disisi lain, pemanfaatan data penginderaan jauh TRMM 3B43 masih belum bisa menganalisis efek kondisi lokal terhadap fluktuasi curah hujan karena masih memiliki resolusi spasial yang rendah yaitu 0.25 derajat. Hasil analisis kuantitatif memperlihatkan bahwa curah hujan di Indonesia sangat berhubungan dengan kejadian ENSO dan IOD khususnya pada musim kemarau dan musim monsun JJA dan SON. Kejadian kemarau berkepanjangan disebagian besar wilayah Indonesia erat kaitannya dengan peningkatan SPL di bagian tengah Samudra Pasifik serta pendinginan SPL dibagian timur Samudra Hindia. Akan tetapi bila terjadi pendinginan SPL di bagian tengah Samudra Pasifik dan pemanasan SPL di bagian timur Samudra Hindia akan menyebabkan peningkatan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia saat musim kemarau dan memajukan awal musim hujan. Sedangkan selama musim hujan dan musim DJF kejadian ENSO dan IOD hanya mempengaruhi di sebagian kecil wilayah Indonesia, bahkan saat musim monsun MAM kejadian IOD sama sekali tidak mempengaruhi curah hujan di Indoensia dan ENSO hanya mempengaruhi sebagian kecil lain wilayah Indonesia. Hasil ini senada dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ENSO dan IOD sangat mempengaruhi besaran hujan saat musim kemarau dan saat musim monsun JJA dan SON (Seperti Hendon, 2003a; Hamada et al., 2002; Philander, 1990; Haylock and McBride, 2001; Tjasyono dkk., 2008; Aldrian and Susanto, 2003; Saji and Yamagata, 2003b; Bannu et al., 2005). Hubungan yang tinggi antara curah hujan dengan ENSO dan IOD saat musim kemarau terjadi karena kedua fenomena tersebut mempengaruhi kondisi SPL di perairan Indonesia (Hendon, 2003a). SPL di sebagian wilayah Indonesia memiliki korelasi yang negatif dengan dengan kejadian ENSO saat musim kemarau (Hendon, 2003a; Sukresno, 2010). Saat terjadi penghangatan SPL di bagian tengah samudra pasifik, maka kondisi SPL di lautan Indonesia mengalami pendinginan yang lebih dingin dari kondisi normalnya. Kondisi ini mengakibatkan melemahnya angin monsun tenggara dan angin zonal timur-barat yang merupakan sumber konveksi di wilayah Indonesia. Pendingan SPL ini juga menghambat proses evapotranspirasi yang merupakan sumber uap air untuk proses terjadinya awan. Kondisi sebaliknya akan terjadi saat penghangatan SPL di bagian tengah Samudra Pasifik. Pendinginan SPL di Selatan Pulau Sumatera yang mengindikasikan kejadian IOD positif juga mempengaruhi proses evapotranspirasi di wilayah ini yang mengakibatkan menurunnya curah hujan hujan di daerah sekitarnya (Saji et al., 1999), kondisi sebaliknya terjadi bila fenomena IOD negatif berlangsung. Fenomena hubungan curah hujan dengan IOD saat musim monsun SON di wilayah Indonesia bagian tengah merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Secara umum hal ini
102
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
mungkin disebabkan oleh melemahnya (menguatnya) angin monsun tenggara yang berasal dari Autralia akibat pendinginan (penghangatan) SPL di bagian timur Samudra Hindia. Hubungan yang kurang jelas antara curah hujan dengan ENSO dan IOD saat musim hujan dapat dijelaskan dari berbagai aspek seperti pendapat Roswintiarti (1999) yang mengatakan bahwa hubungan yang kurang jelas terjadi karena puncak kejadian ENSO biasanya terjadi saat musim kemarau sehingga tidak terdapat hubungan antara kejadian ENSO dengan curah hujan saat musim hujan. Alasan yang sama juga dijelaskan oleh Juneng and Tangang (2005) yang mengatakan bahwa urutan kejadian ENSO dimulai pada masa musim monsun JJA dan berakhir pada masa musim monsun MAM. Sedangkan menurut Hamada et al. (2002) ketidak jelasan hubungan tersebut terjadi karena mekanisme hujan saat musim hujan berupa kelompok awan tidak terpengaruh akibat kejadian ENSO. Sebab lain lemahnya hubungan antara ENSO dengan dengan curah hujan saat musim hujan dijelaskan oleh Haylock and McBride (2001). Mereka mengatakan bahwa fluktuasi hujan saat musim hujan yang dikontrol oleh pengendali-pengendali iklim dalam skala meso dan sub meso diperkuat juga oleh kondisi lokal yang mencakup keadaan dan kondisi laut, keberadaan pulau-pulau besar dan kecil, serta kondisi topografi yang kompleks. Efek dari kompleksitas pengaruh pengendali-pengendali iklim tersebut yang beriringan melemahkan pengaruh ENSO terhadap curah hujan saat musim hujan. Di sisi lain, Hendon (2003a) dan Hendon (2003b) menghubungkan korelasi yang rendah antara ENSO dengan curah hujan saat musim hujan dengan kondisi SPL di lautan Indonesia. Menurutnya saat musim hujan kondisi SPL yang hangat di lautan Indonesia cenderung bertahan dan meredam efek dari ENSO yang terjadi di Samudra Pasifik. Keadaan ini dibuktikan oleh tidak jelasnya hubungan antara SPL di Indonesia dengan ENSO saat musim hujan (Hendon, 2003b; Sukresno, 2010). Kondisi-kondisi yang sama juga mungkin mengakibatkan rendahnya hubungan antara IOD dengan curah hujan saat musim hujan. Keadaan-keadaan tersebut menggambarkan bahwa interaksi laut-atmosfer di Indonesia dan sekitarnya berperan penting terhadap perbedaan kekuatan efek kejadian ENSO dan IOD terhadap fluktuasi curah hujan secara spasial dan temporal. Adanya zona pengelompokan-pengelompokan sebaran pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan baik secara secara spasial maupun temporal mengindikasikan adanya pengaruh lain, selain yang dijelaskan sebelumnya, yang membatasi efek ENSO dan IOD terhadap fluktuasi curah hujan di Indonesia dan sekitarnya. Zona pengelompokanpengelompokan tersebut bisa juga terjadi akibat keberadaan daerah konvergensi antar tropis (DKAT; ITCZ; Inter-Tropical Convergence Zone) yang merupakan daerah pertemuan sirkulasi Hedley dari utara dan selatan. Jalur DKAT sifatnya fluktuatif yang diakibatkan oleh pergerakan matahari dan kondisi suhu di permukaan bumi. Keberadaan jalur DKAT yang fluktuatif dan proses awal terjadiannya yang berbeda saat musim SON dan MAM mungkin dapat menjelaskan lebih rinci alasan hubungan yang kuat antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada saat musim monsun transisi SON serta hubungan yang tidak jelas antara ENSO dan IOD dengan curah hujan pada saat monsun transisi MAM. Akan tetapi hubungan tersebut harus diteliti lebih jauh dan
103
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
diintegrasikan dengan proses-proses lain yang beriringan dengan kejadian DKAT untuk memastikan adanya efek DKAT terhadap pengelompokan spasial dan temporal hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD diwilayah Indonesia. 5. KESIMPULAN Pola spasial hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia yang diobservasi menggunakan data TRMM 3B43 serta nilai SOI dan DMI periode 1998 sampai 2009 telah dilakukan dengan analisis musiman berdasarkan musim lokal dan musim monsun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan data penginderaan jauh dapat memberikan informasi interaksi pengelompokan spasial dan temporal yang baik tentang hubungan antara ENSO dan IOD dengan curah hujan untuk wilayah daratan dan lautan. Adanya zona pengelompokan-pengelompokan spasial dan temporal tersebut memberikan informasi tentang kemungkinan adanya pengendali iklim global lain yang mempengaruhi perbedaan kekuatan efek ENSO dan IOD seperti pengaruh dari zona DKAT. ENSO dan IOD memiliki pola temporal yang sama dalam mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Kedua fenomena tersebut mempengaruhi fluktuasi hujan selama musim kemarau serta saat musim monsun JJA dan SON. Sedangkan saat musim hujan serta musim monsun DJF dan MAM pengaruh kedua fenomena tersebut tidak jelas khusunya didalam wilayah Indonesia. Gambaran spasial menunjukan pengaruh ENSO dan IOD terhadap curah hujan di Indonesia terlihat sangat dinamis. Secara umum ENSO berpengaruh terhadap fluktuasi hujan di sebagian besar wilayah Indonesia, kecuali di ujung barat dan ujung timur Indonesia. Sedangkan IOD hanya berpengaruh di bagian selatan Indonesia khsusunya di Pulau Sumatera bagian tengara dan Pulau Jawa bagian barat. Berdasarkan pola spasial dan temporal yang dihasilkan maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara curah hujan dengan ENSO dimulai saat musim monsun JJA dengan lokasi penyebaran di bagian barat daya dan tengah Indonesia. Saat musim SON, efek ENSO mulai meninggalkan bagian barat Indonesia dan bergerak ke arah timur dan timur laut Indonesia. Musim DJF pengaruh ENSO mulai meninggalkan Indonesia dan bergerak ke arah utara dan sedikit ke arah selatan Indonesia. Sedangakn saat musim MAM, pengaruh ENSO di wilayah Indonesia sudah benar-benar menghilang dan mengelompok ke arah timur laut dan tenggara Indonesia. Keadaan yang sama juga terjadi pada fenomena IOD. Efek IOD dimulai pada musim JJA di bagian barat daya Indonesia. Musim SON sebaran efek IOD mulai meluas ke arah tengah dan timur Indonesia. Saat musim DJF, efek IOD meninggalkan wilayah barat daya Indonesia dan bergerak ke arah timur laut Indonesia. Dan saat musm MAM efek IOD di Indonesia menghilang. DAFTAR REFERENSI Aldrian, E., and R.D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology, 23. 1435–1452.
104
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Aldrian, E., L.D. Gates, and F.H.Widodo. 2007. Seasonal variability of Indonesian rainfall in ECHAM4 simulations and in the reanalyses: The role of ENSO. Theoretical and Applied Climatology, 87. 41–59. Aldrian, E., and Y.S. Djamil. 2008. Spatio-temporal climatic change of rainfall in East Java Indonesia. International Journal of Climatology, 28. 435–448. As-syakur, A.R., dan R. Prasetia. 2010. Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama Maret Sampai Juni 2010 Di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan. Dipresentasikan dalam Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Teknik Lingkungan Indonesia (IATPI) di Universitas Udayana pada tanggal 29 Juli 2010. Denpasar-Indonesia. As-syakur, A.R. 2010. Pola Spasial Pengaruh Kejadian La Nina Terhadap Curah Hujan di Indonesia Tahun 1998/1999; Observasi Menggunakan Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43. Dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVII dan Kongres Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) V di Institut Pertanian Bogor pada tanggal 9 Agustus 2010. Bogor-Indonesia. As-syakur, A.R., T. Tanaka, R. Prasetia, I.K. Swardika, and I.W. Kasa. 2010. Comparison of TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) products and daily-monthly gauge data over Bali Island. International Journal of Remote Sensing, In Press. Bannu, H. Kuze, N. Takeuchi, and D.A. Suriamihardja. 2005. Impacts of the sea surface temperature anomaly in the Pacific and Indian Oceans on the Indonesian climate. Paper in the 11th CEReS International Symposium on Remote Sensing on 13 to 14 December 2005 at Chiba University. Chiba-Japan. Bell, G.D., M.S. Halpert, C.F. Ropelewski, V.E. Kousky, A.V. Douglas, R.C. Schnell, and M.E. Gelman. 1999. Climate Assessment for 1998. Bulletin of the American Meteorological Society, 80(5). S1-S48 Bell, G.D., M.S. Halpert, R.C. Schnell, R.W. Higgins, J. Lawrimore, V.E. Kousky, R. Tinker, W. Thiaw, M. Chelliah, and A. Artusa. 2000. Climate Assessment for 1999. Bulletin of the American Meteorological Society, 81(6). S1-S50 Chokngamwong, R., and L.S. Chiu. 2008. Thailand Daily Rainfall and Comparison with TRMM Products. Journal of Hydrometeorology, 9. 256–266. Hamada, J., M.D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P.A. Winarso, and T. Sribimawati. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. Journal of the Meteorological Society of Japan, 80. 285-310 Haylock, M., and J.L. McBride. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. Journal of Climate, 14. 3882–3887 Hendon, H.H. 2003a. Indonesian rainfall variability: impacts of ENSO and local air–sea interaction. Journal of Climate, 16, 1775–1790. Hendon, H.H. 2003b. Impacts of air-sea coupling on variability of the Indonesian monsoon. In “Current issues in the parameterization of convection”: extended abstracts of presentations at the fifteenth annual BMRC Modelling Workshop 13–16 October 2003, P.J. Meighen and A.J. Hollis (ed.), pp. 109-112 (Australia: Bureau of Meteorology Research Centre). Hong, Y., R.F. Adler, G.J. Huffman, and H. Pierce. 2010. Applications of TRMM-Based MultiSatellite Precipitation Estimation for Global Runoff Prediction: Prototyping a Global Flood Modeling System. In Satellite Rainfall Applications for Surface Hydrology, M. Gebremichael and F. Hossain (ed.), pp. 245-266 (Netherlands: Springer Verlag).
105
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Huffman, G.J., R.F. Adler, B. Rudolf, U. Schneider, and P.R. Keehn. 1995: Global precipitation estimates based on a technique for combining satellite-based estimates, rain gauge analysis, and NWP model precipitation information. Journal of Climate, 8. 1284-1295. Huffman, G.J. 1997. Estimates of root-mean-square random error for finite samples of estimated precipitation. Journal of Applied Meteorology, 36(9). 1191-1201. Huffman, G.J., R.F. Adler, P. Arkin, A. Chang, R. Ferraro, A. Gruber, J. Janowiak, A. McNab, B. Rudolph, and U. Schneider. 1997. The global precipitation climatology project (GPCP) combined precipitation dataset. Bulletin of the American Meteorological Society, 78, 5-20. Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, G. Gu, E.J. Nelkin, K.P. Bowman, Y. Hong, E.F. Stocker, and D.B. Wolff. 2007. The TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA): Quasi-Global, Multiyear, Combined-Sensor Precipitation Estimates at Fine Scales. Journal of Hydrometeorology, 8 (1). 38-55. Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, and E.J. Nelkin. 2010. The TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis (TMPA). In Satellite Rainfall Applications for Surface Hydrology, M. Gebremichael and F. Hossain (ed.), pp. 3-22 (Netherlands: Springer Verlag). Islam, M.N., and H. Uyeda. 2007. Use of TRMM in determining the climatic characteristics of rainfall over Bangladesh. Remote Sensing of Environment, 108. 264–276. Juneng, L., and F.T. Tangang. 2005. Evolution of ENSO-related rainfall anomalies in Southeast Asia region and its relationship with atmosphere–ocean variations in Indo-Pacific sector. Climate Dynamics, 25. pp. 337–350. Können, G.P., P.D. Jones, M.H. Kaltofen, and R.J. Allan, 1998. Pre-1866 Extensions of the Southern Oscillation Index Using Early Indonesian and Tahitian Meteorological Readings. Journal of Climate, 11. 2325–2339 Kummerow, C., J. Simpson, O. Thiele, W. Barnes, A.T.C. Chang, and E. Stocker. 2000. The status of the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) after two years in orbit. Journal of Applied Meteorology, 39. 1965−1982. Luo, J-J., R. Zhang, S.K. Behera, Y. Masumoto, F.F. Jin, R. Lukas, and T. Yamagata. 2010. Interaction between El Niño and extreme Indian Ocean Dipole. Journal of Climate, 23. 726–742 Mehta, A.V., and S. Yang. 2008. Precipitation climatology over Mediterranean Basin from ten years of TRMM measurements. Advanced Geosciences, 17. 87–91. Mulyana, E. 2002a. Hubungan Antara ENSO dengan Variasi Curah Hujan Di Indonesia. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 3(1). pp. 1-4. Mulyana, E. 2002b. Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan Di Indonesia. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca, 3(1). pp. 39-43. Nicholls, N. 1988. El Niño-Southern Oscillation and Rainfall Variability. Journal of Climate, 1. 418-421 Petty, G.W., and W.F. Krajewski. 1996. Satellite estimation of precipitation over land. Hidrological Science, 41(4). 433-451 Petty, G.W. 1995. The Status of Satellite-Based Rainfall Estimation over Land. Remote Sensing of Environment, 51. 125-137 Philander, S.G. 1990. El Niño, La Niña, and the Southern Oscillation. Academic Press, San Diego, CA, 289 pp.
106
Pola Spasial Hubungan Curah Hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia - Observasi Menggunakan Data TRMM 3B43 Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Ropelewski, C.F., and P.D. Jones .1987. An Extension of the Tahiti-Darwin Southern Oscillation Index. Monthly Weather Review, 115. 2161-2165 Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1987. Global and regional scale precipitation patterns associated with the El Niño–Southern Oscillation. Monthly Weather Review, 115. 1606– 1626 Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1989. Precipitation patterns associated with the high index phase of the Southern Oscillation. Journal of Climate, 2. 268-284 Ropelewski, C.F., and M.S. Halpert. 1996. Quantifying Southern Oscillation-precipitation relationships. Journal of Climate, 9. 1043-1059 Roswintiarti, O. 1999. Statistical Analysis and Numerical Simulations of the Intertropoical Convergence Zone during Normal and ENSO Years. Ph.D. Dissertation, North Carolina State University, USA. Saji, N.H., and T. Yamagata. 2003a. Structure of SST and surface wind variability during Indian Ocean Dipole Mode years: COADS observations. Journal of Climate, 16. 2735–2751 Saji, N. H., and T. Yamagata. 2003b. Possible impacts of Indian Ocean dipole mode events on global climate. Climate Research, 25. 151–169. Saji, N.H., B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363. Su, F., Y. Hong, and D.P. Lettenmaier. 2008. Evaluation of TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) and Its Utility in Hydrologic Prediction in the La Plata Basin. Journal of Hydrometeorology, 9. 622–640. Sukresno, B. 2010. Empirical Orthogonal Functions (EOF) Analysis of SST Variability in Indonesian Water Concerning With ENSO and IOD. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, Volume XXXVIII, Part 8. pp. 116-121. Tjasyono, B., A. Lubis, I. Juaeni, Ruminta, dan S.W.B. Harijono. 2008. Dampak variasi temperatur samudera pasifik dan hindia ekuatorial terhadap curah hujan di Indonesia. Jurnal sains dirgantara LAPAN, 5(2). pp. 1-13. von Storch, H., and F.W. Zwiers. 1999. Statistical Analysis in Climate Research. Cambridge University Press, UK. 484 pp. Xie, P., and P.A. Arkin. 1996. Analyses of global monthly precipitation using gauge observations, satellite estimates and numerical model predictions. Journal of Climate, 9. 840–858. Xie, P., A. Yatagai, M. Chen, T. Hayasaka, Y. Fukushima, C. Liu, and S. Yang. 2007. A GaugeBased Analysis of Daily Precipitation over East Asia. Journal of Hydrometeorology, 8. 607–626.
107
Abd. Rahman As-syakur Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
BIOGRAFI PENULIS Abd. Rahman As-syakur Abd. Rahman As-syakur, berasal dari Kota Dompu. Sejak tahun 2005 sampai saat ini merupakan staf peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana dan sejak tahun 2007 sampai saat ini juga merupakan staf peneliti pada Center for Remote Sensing and Ocean Science (CReSOS) Universitas Udayana. Pendidikan Strata 1 (S1) diselesaikan di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada tahun 2005, sedangkan Strata 2 (S2) juga diselesaikan di Universitas Udayana pada tahun 2009 melalui Program Magister Ilmu Lingkungan dengan konsentrasi Oceanography and Remote Sensing. Pada Oktober 2009 sampai Maret 2010, penulis mendapat kesempatan sebagai mahasiswa peneliti di Universitas Yamaguchi, Jepang. Beberapa artikel hasil penelitian tentang penginderaan jauh, sistem informasi geografi, dan klimatologi telah dipresentasikan pada seminar nasional dan international serta diterbitkan di beberapa jurnal nasional, jurnal international, dan prosiding seminar nasional seperti pada jurnal Bumi Lestari, jurnal Pijar MIPA, International Journal of Remote Sensing, Remote Sensing, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XVI Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), dan Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan VI Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI). Selain itu beberapa artikel lainnya masih dalam proses evaluasi oleh para pemeriksa naskah seperti pada jurnal Lingkungan Tropis, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan XVII MAPIN, dan International Journal of Remote Sensing.
108
Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang
Eddy Hermawan (1) dan Nur Febrianti(2) (1) (2) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jln. Dr. Djundjunan 133, Bandung 40173 E-mail : (1)
[email protected] dan (2)
[email protected]
Abstrak Salah satu rekomendasi yang disampaikan pada acara pertemuan sidang IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) ke 31 tanggal 26-29 Oktober 2009 di Bali dan juga pertemuan GEOSS (Global Earth System to System) ke 4 tanggal 10-12 Maret 2010 dan juga di Bali telah merekomendasikan bahwa interkonekasi fenomena atmosfer yang terjadi di atas kawasan Indonesia perlu dikaji lagi lebih mendalam terkait dampak yang ditimbulkannya terhadap iklim global. Atas dasar itulah, maka makalah ini dibuat dengan tujuan utamanya menganalisis perilaku hasil silang antara fenomena El-Niño yang diwakili oleh kawasan SST Niño 3.4 dengan Dipole Mode Indeks (DMI) selama 29 tahun pengamatan periode Januari 1979 hingga Desember 2008. Berbasis kepada hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis wavelet dan juga FFT (Fast Fourier Transform), kami mendapatkan bahwa osilasi baru tersebut berkisar sekitar lima belas tahunan. Jika siklus ini berjalan sempurna (tanpa ada faktor lain yang mengganggunya), maka berbasis kejadian tahun 1997, diperkirakan tahun 2012/2013 nanti, kita akan mengalami musim kering yang berkepanjangan seperti kejadian tahun 1997. Dan untuk mengetahui kawasan mana saja yang akan dilanda mengalami kekeringan terlebih dahulu, hasil analisis data GPCP (Global Precipitation Climatology Project). Untuk meyakinkan apakah skenario ini akan menjadi kenyataan, maka dilakukanlah analisis data siklus 11 tahunan matahari yang dikenal dengan siklus bilangan sun-spot, dimana pada siklus ke-24 nanti yang diduga akan jatuh pada tahun 2012/2013. Penjelasan lebih lanjut tentang interkoneksi yang terjadi terkait juga dengan peran siklus ke-24 matahari dan juga prediksi musim kering yang berkepanjangan serta mekanisme pembentukannya akan kami bahas secara penuh pada full makalah nanti. Kata kunci : Interkoneksi, SST Niño 3.4, DMI, Siklus ke-24 matahari dan kekeringan
109
Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
1. PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui bersama hampir sebagian besar wilayah permukaan bumi ini (sekitar 70%) diselimuti oleh lautan, dan sisanya oleh daratan. Dengan kata lain, airlah yang ternyata mendominasi planet kita yang satu-satunya ini. Indonesia merupakan suatu negara dengan luasan perairan relatif cukup besar yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di daerah khatulistiwa lainnya yang kita kenal sebagai Indonesia Maritime Continent (IMC) atau lebih dikenal dengan istilah “Benua Maritim Indonesia” (BMI). Hal ini disebabkan letak geografisnya yang unik, yakni diapit oleh dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudera besar (Hindia dan Pasifik). Konsekwensinya, kawasan ini dianggap sebagai salah satu kawasan penting dunia sebagai penyimpan bahang (panas) terbesar bagi pembentukan awan-awan cumulonimbus (Hermawan, 2003). Berdasarkan hal tersebut maka sangat menarik apabila melakukan pengkajian mengenai lautan maupun interaksinya baik itu dengan daratan maupun dengan atmosfer. Membahas mengenai cuaca atau iklim tidak akan lepas dari hubungan/interaksi antara daratan, lautan maupun udara di wilayah tersebut. Pola pergerakan semu matahari merupakan suatu sumber energi pembentuk cuaca atau iklim yang berbeda di wilayah tropis, subtropis dan kutub. Pola pergerakan semu matahari pada lintang yang berbeda membawa pengaruh terhadap jumlah energi yang diterima oleh wilayah-wilayah di permukaan bumi. Hal ini menyebabkan adanya interaksi antara daratan, lautan maupun udara. Pembahasan mengenai interaksi antara daratan, lautan dan udara serta pengaruhnya merupakan suatu kajian yang menarik untuk memprediksi cuaca/iklim. Samudera Hindia adalah salah satu lautan terbesar di dunia sehingga merupakan bahan kajian yang cukup menarik untuk memahami variabilitas iklim di sekitar wilayah tersebut termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, dua kelompok peneliti dari Jepang menemukan suatu fenomena yang mirip dengan El Niño di daerah Samudera Hindia. Fenomena tersebut menunjukan bahwa suhu masa air di sepanjang ekuator Samudera Hindia cenderung berosilasi. Massa air hangat (dingin) ini terakumulasi di bagian timur Samudera Hindia dekat Indonesia sedangkan massa air dingin (hangat) di bagian Barat Samudera Hindia dekat Afrika. Hal ini mengakibatkan perubahan SST dalam skala besar sehingga berpengaruh terhadap pola iklim di daerah sekitarnya, temasuk pola curah hujan yang terjadi di Indonesia. Iklim di Indonesia yang secara geografis merupakan benua maritim dicirikan oleh keragaman curah hujan yang cukup besar antar daerah. Selain mendapat pengaruh dari sirkulasi udara pada skala global maupun regional, pembentukan awan dan hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh kondisi lokal, seperti topografi dan suhu permukaan laut di perairan Indonesia. Pulau Sumatera secara keseluruhan juga memiliki karakteristik iklim yang khas secara regional maupun lokal. Wilayahnya memiliki barisan pegunungan yang membujur dari utara sampai selatan, dikelilingi oleh lautan yang terdiri dari Samudera Hindia, Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Karimata, dan dekat dengan Laut Cina Selatan. Hal ini menyebabkan proses pembentukan awan dan hujan di Sumatera mendapat pengaruh dari kondisi alam tersebut selain pengaruh dari pergerakan posisi semu matahari dan sirkulasi global.
110
Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Karakteristik iklim, khususnya hujan di Pulau Sumatera dapat dianalisis secara akurat berdasarkan data iklim dari stasiun meteorologi. Namun untuk analisis spasial, hal ini sangat ditentukan oleh kerapatan jaringan penakar hujan. Untuk daerah-daerah dengan jaringan penakar hujan yang cukup rapat dan merata seperti di Pulau Jawa hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun untuk wilayah-wilayah seperti Sumatera, kerapatan jaringan penakar hujan tidak sama untuk seluruh propinsi dan juga tidak sebanyak jaringan yang ada di Pulau Jawa. Disini terlihat bahwa Indonesia merupakan satu kawasan daerah tropis yang unik dimana dinamika atmosfernya dipengaruhi oleh kehadiran angin pasat, aliran angin monsunal, iklim marine dan pengaruh berbagai kondisi lokal. Cuaca dan iklim di Indonesia mempunyai karakteristik khusus yang hingga kini mekanisme proses pembentukannya belum banyak diketahui. Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka waktu tertentu dan cuaca menyatakan status atmosfer pada sembarang waktu tertentu. Dua unsur utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia sebagai daerah tropis ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi curah hujannya cukup besar. Oleh karena itu curah hujan merupakan unsur iklim yang paling sering diamati dibandingkan dengan suhu. Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh lokal (Mcbride, 2002). Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian “chaotic” dari variabilitas monsun (Ferranti (1997), dalam Aldrian (2003)). Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi-tahunan di Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar-tahunan di Indonesia. Pada makalah ini kami ingin menunjukkan tentang peranan data iklim global, khususnya kombinasi antara data DMI dengan ESPI sebagai langkah awal di dalam kita mengantisipasi terjadinya kondisi ektrim kering yang bakal terjadi di sekitar pertengahan Oktober 2012 nanti.
2. LANDASAN TEORI SISTEM DINAMIKA ATMOSFER DI INDONESIA Dinamika atmosfer Indonesia sangatlah kompleks. Tidak hanya faktor Monsun yang relatif dominan berperan, juga faktor lain seperti kombinasi interaksi antara fenomena ENSO (El-Niño and Southern Oscillation), DMI (Dipole Mode Index) dan faktor lokal juga berperan besar. Belum lagi masalah fenomena MJO (Madden-Julian Oscillation) yang hingga kini mekanisme pembentukannya belum sepenuhnya diketahui dengan baik dan benar. Salah satu faktor terjadinya variabilitas iklim khususnya curah hujan antar tahunan di wilayah Indonesia adalah fenomena berskala global yang dikenal dengan nama ENSO. Secara umum peristiwa ENSO berulang antara 2-7 tahun. Di Indonesia, peristiwa ENSO diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La-Niña yang justru
111
Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
menghasilkan curah hujan melebihi batasan normalnya (Ropelweski dan Halpert, 1987). Terdapat hubungan yang erat antara curah hujan di Indonesia dan indikator ENSO seperti dengan suhu permukaan laut (SST=Sea Surface Temperature) di wilayah Pasifik Timur (dikenal dengan daerah Niño) atau dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI=Southern Oscillation Index) sebagaimana yang telah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti (Haylock dan McBride 2001; Hendon, 2003; Aldrian, 2002; Gunawan dan Gravenhorst, 2005). Dalam dekade terakhir, fenomena yang mirip dengan ENSO, tetapi berada di samudera Hindia telah mulai manarik perhatian para peneliti bidang atmosfer dan kelautan karena ternyata memberi dampak yang saling menguatkan atau memperlemah pengaruh ENSO. Peristiwa osilasi yang terjadi di wilayah barat Indonesia ini dikenal dengan sebutan DMI (Dipole Mode Index) setelah pertama kali di kemukakan oleh peneliti Jepang Yamanaga dan Saji di tahun 1992. DMI merupakan fenomena interaksi antara laut dan atmosfer di Samudera Hindia yang ditetapkan berasarkan selisih suhu permukaan laut di perairan sebelah timur benua Afrika dan di perairan Samudera Hindia sebelah barat pulau Sumatera. Selisih suhu permukaan laut kedua tempat tersebut disebut Indeks Dipole Mode (Dipole Mode Index, DMI). Pada saat DMI positif, maka pusat tekanan rendah berada di pantai timur Afrika yang menyebabkan bergesernya pusat pusat konveksi di wilayah Indonesia bagian barat menuju ke arah timur sehingga intensitas curah hujan di wilayah Indonesa bagian barat umumnya rendah. Sebaliknya, pada saat DMI negatif, justru pusat tekanan rendah berada di pantai barat P. Sumatera, sehingga pusat pusat konveksi bergeser ke arah pantai barat P. Sumatera, intensitas curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat umumnya akan relatif tinggi. Selain itu, Dipole Mode umumnya terjadi secara bebas, tidak saling mengikat dengan El-Niño dan Osilasi Selatan serta merupakan fenomena kopel atmosfer-laut yang unik di Samudera Hindia Tropis (Saji et al., 1999; Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001). Kajian tentang peran El-Niño dan Dipole Mode, secara terpisah sebagai fenomena dalam sistem iklim di kawasan tropis telah banyak dilakukan. Namun perilaku dan peran fenomena tersebut secara bersama-sama, terhadap curah hujan belum banyak diketahui (Saji et al, 1999). Sementara penjalaran osilasi ke arah timur dengan periode antara 30-60 harian di atmosfer tropis pertama kali diteliti oleh Rolland Madden dan Paul Julian pada tahun 1971 (Chang & Lim, 1986). Osilasi ini merupakan sirkulasi skala besar yang terjadi di daerah ekuator dan berpusat di Samudera Hindia dan bergerak ke arah timur antara 10 0 LU dan 100 LS. Fenomena inilah yang biasa disebut dengan Madden Julian Oscillation (MJO). Ada dua mekanisme utama yang biasa dipakai untuk menjelaskan proses pembentukannya, yaitu teori CISK (Conditional Instability of the Second Kind), (Lau and Peng, 1987), dan Evaporation-wind feedback, (Neelin, et.al., 1987).
112
Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Menganalisis variabilitas curah hujan tidak lepas dari pengetahuan tentang pola dasar curah hujan yang ada di wilayah Indonesia. Aldrian (2003) telah menggunakan data curah hujan periode 1961-1990 untuk mengelompokkan pola hujan kedalam tiga tipe hujan yaitu tipe Monsun, tipe anti Monsun, dan tipe dua puncak. Pengelompokkan ini didasarkan pada pola distribusi curah hujan bulanan. Tipe hujan Monsun, sesuai namanya dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada bulan-bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dan curah hujan rendah terjadi pada bulan-bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Sebagian besar wilayah Indonesia memiliki pola hujan seperti ini. Pola hujan tipe antimonsun berpola kebalikan dari tipe hujan monsun dalam arti waktu terjadinya periode curah hujan maksimum dan minimum. Daerah yang memiliki pola ini tidak seluas tipe monsun, dan terdapat di daerah Sulawesi Tengah bagian timur, Maluku dan bagian utara Papua. Pola hujan tipe dua puncak terdapat disekitar ekuator dari pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Terlepas dari itu semua, yang penting adalah dapatkah keberadaan data iklim global (dalam bentuk indeks) seperti ENSO, DMI, Monsun dan MJO dapat digunakan dalam ikut mendukung penentuan awal musim di Indonesia, ”khususnya di kawasan sentra produksi tanaman pangan”. Hal ini penting dilakukan agar kejadian ekstrim kering berkepanjangan seperti yang terjadi di tahun 1982 dan 1997 dapat diantisipasi kehadirannya. Dengan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi atau turun di suatu wilayah dipengaruhi oleh iklim global, maka besarnya curah hujan yang akan turun di suatu wilayah merupakan fungsi dari fenomena global di atas yang dapat disederhanakan menjadi : CH = f (ENSO, DMI, Monsun, MJO) + Error Yang perlu diingat adalah adanya keterkaitan (interaksi) yang erat antara fenomena iklim global satu dengan lainnya. Kejadian ekstrim kering tahun 1997, terjadi akibat dua fenomena global yakni El-Nino dan DMI+ terjadi secara simultan (bersamaan). Dengan kata lain, mereka ada kalanya saling menguatkan, namun kadang pula saling melemahkan seperti nampak pada Gambar 1. Apa yang menyebabkan adanya perbedaan pola distribusi curah hujan di satu wilayah sentra produksi tanaman pangan dengan wilayah lainnya hingga kini belum banyak dilakukan orang. Belum banyak diketahui tentang perilaku interaksi yang terjadi diantara fenomena iklim global yang ada, baik antara ENSO dengan Dipole Mode, ENSO dengan Monsun, ENSO dengan MJO, Dipole Mode dengan Monsun, Dipole Mode dengan MJO, ataupun antara Monsun dengan MJO. Apakah Dipole Mode di Samudra Hindia mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perilaku curah hujan di kawasan Indonesia bagian barat. Hal ini pun masih perlu dikaji lebih mendalam. Sampai saat ini belum ada satu model iklim pun yang mampu menjelaskan keterkaitan antara fenomena ENSO, IOD, Monsoon, dan MJO dengan pola distribusi curah hujan yang terjadi di wilayah sentra produksi tanaman pangan.
113
Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 1. Time series data DMI vs Nino 3.4 periode Januari 1997 - Desember 1998
Perhatian utama dalam program penelitian kami kali ini adalah ingin mengembangkan suatu model prediksi pola distribusi curah hujan di wilayah produksi tanaman pangan yang tersebar di beberapa kawasan di Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. 3.
DATA DAN METODE ANALISIS
Ada tiga data utama yang kami gunakan dalam penelitian ini, yakni data Dipole Mode Indeks yang kami dapat dari http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod, data SST Niño3.4 yang kami dapat dari http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices, dan data ESPI (ENSO Precipitation Index) yang kami dapat dari http://precip.gsfc.nasa.gov/ESPItable.html. Perlu dicatat disini bahwa seluruh data di atas kami set dari bulan Januari 1979 hingga Desember 2008. Sementara untuk data pendukung, kami gunakan data GPCP (Global Precipitation Climatology Project) periode Oktober 1996, 1997, dan 1998. Sementara metode analisis yang kami pakai utamanya adalah teknik spektral, yakni menggunakan analisis PSD=Power Spectral Density untuk mengetahui osilasi dominan dari masing-masing indeks fenomena iklim
114
Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
dan cuaca global. Salah satu hasil analisis data di atas, dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2. PSD untuk berbagai data iklim global
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Langkah pertama yang kami tunjukkan adalah menganalisis time series daripada data Dipole Mode Index (DMI), SST Niño3.4, ESPI (ENSO Precipitation Index) periode Januari 1979 hingga Desember 2008 seperti nampak pada Gambar 3 berikut ini.
115
Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 3. Time series DMI, SST Niño3.4, dan ESPI periode Januari 1979 - Desember 2008
Dari Gambar 3 di atas terlihat jelas adanya kesamaan pola yang dihasilkan oleh data ESPI (ditunjukkan dengan warna hitam) dan SST Niño3.4 (ditunjukkan dengan warna hijau), sementara data DMI (ditunjukkan dengan warna merah) menunjukkan pola yang sedikit agak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi kesamaan pola antara data ESPI dan SST Niño3.4, sehingga kita boleh menggunakan salah satu diantara keduanya. Untuk diperoleh hasil analisis yang lebih tajam (akurat), maka dilakukanlah analisis osilasi dominan daripada ketiga parameter di atas menggunakan teknik spektral, yakni FFT (Fast Fourier Transform) dan juga wavelet seperti nampak pada Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. PSD data DMI, SST Niño3.4, dan ESPI periode Januari 1979 - Desember 2008
Disini terlihat jelas bahwa SST Niño3.4 memiliki nilai PSD paling besar, sementara dua parameter lainnya (DMI dan ESPI) memiliki nilai yang hampir relatif sama. Yang perlu dicatat disini adalah nilai osilasi dominan daripada ketiga parameter di atas, yakni 45 bulanan (~3.8 tahun), 60 bulanan (~5 tahun), dan 36 bulanan (~3 tahun), masingmasing untuk data SST Niño3.4, ESPI, dan DMI. Dengan asumsi data SST Niño3.4 dapat diwakilkan oleh data ESPI, maka sesuai dengan landasan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa akan terjadi kering yang relatif sangat panjang melebihi kondisi normal (lebih dari 6 bulan), maka yang sangat
116
Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bila kedua parameter tadi (ESPI dan DMI) digandakan. Hasilnya, dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6 berikut ini.
Gambar 5. Sama dengan Gambar 4, tetapi hasil silang (digandakan atau dikalikan) antara data DMI dan data ESPI
Gambar 6. Sama dengan Gambar 4, tetapi menggunakan analisis wavelet
117
Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Satu hal yang menarik disini adalah adanya osilasi “baru” yang dikenal sebagai osilasi 180 bulanan atau osilasi 15 tahunan (lihat Gambar 5 di atas). Juga terlihat jelas di Gambar 5, adanya kenaikan variasi rata-rata yang sangat signifikan di “sekitar” bulan Oktober 1997. Kita tahu, pada saat itu, hampir seluruh kawasan Indonesia dilanda musim kering yang berkepanjangan seperti nampak pada Gambar 7(a), (b), dan (c) berikut ini. Disini terlihat dengan jelas, adanya perbedaan yang sangat signifikan intensitas curah hujan di atas Indonesia sebelum, selama dan setelah kejadian ektrim kering di bulan Oktober 1997.
(a)
(b)
(c) Gambar 7. Intensitas curah hujan rata-rata di atas Indonesia selama bulan (a) Oktober 1996; (b) Oktober 1997; dan (c) Oktober 1998
5.
KESIMPULAN
Walaupun ENSO dan Dipole Mode bukanlah merupakan osilasi dominan dalam sistem dinamika atmosfer Indonesia yang memang tergolong unik dan kompleks, namun kehadiran keduanya, apalagi jika keduanya bergabung menjadi satu dalam waktu yang bersamaan (simultan), maka akan menimbulkan dampak yang sangat serius (severe). Dengan asumsi bahwa keduanya fenomena atmosfer di atas berosilasi sempurna, dan
118
Analisis Interkoneksi Fenomena Atmosfer di Atas Kawasan Indonesia Terkait dengan Proyeksi Iklim di Masa Mendatang Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
dengan menggunakan standard masa kering panjang tahun 1997, maka diduga tahun 2012 nanti, tepatnya di sekitar bulan Oktober, Indonesia kembali akan dilanda musim kering panjang seperti hal nya di tahun 1997. DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Susanto D. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology. Aldrian E, Susanto D. 2003. Simulations of Indonesian Rainfall with a Hierarchy of Climate Models. Disertasi pada Hamburg, Jerman. Bannu. 2003. Analisis Interaksi Monsun, Enso, dan Dipole Mode serta Kaitannya dengan Variabilitas Curah Hujan dan Angin Permukaan di Benua Maritim Indonesia. Tesis Magister pada GM ITB Bandung. Berliana, Sinta. 1995. The Spectrum Analysis of Meteorological Elements in Indonesia. Nagoya University. Japan. Davidson NE. 1984. Short-term fluctuations in the Australian Monsoon During Winter Monex. Monthly Weather Review 112: 1697–1708 Davidson NE, McBride JL, McAvaney BJ. 1984. Divergent Circulations During The Onset of The 1978–79 Australian Monsoon. Monthly Weather Review 112: 1684–1696. Gusmira, Eva. 2005. Pengaruh Dipole Mode terhadap Angin Zonal dan Curah Sumatera Barat. Tugas Akhir pada GM ITB Bandung : tidak diterbitkan.
Hujan di
Hermawan, Eddy. 2003. The Characteristics of Indian Ocean Dipole Mode Premiliminary Study of the Monsoon Variability in the Western Part of Indonesian Region. Jurnal Sains Dirgantara,Vol. 1 No.1 Desember 2003. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ( LAPAN ). Jakarta. Khrisnamurti, T. N. 1971. Tropical East-West Circulations During The Northern Summer. J. Atmos. Sci. Mukarami, Takio dan Zadrach L. Dupe. 2000. Interannual Variability of Convective Intensity Index Over Indonesia and Its Relationship with Enso. J. Meteorologi dan Geofisika, Vol. 1, No. 4, p. 1-23. Mulyana, Erwin. 2001. Interannual Variation of Rainfall over Indonesia and Its Relation to the Atmospheric Circulation, ENSO and Indian Ocean Dipole Mode. Hokaido University. Japan. Prawirowardoyo, Susilo. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB. Bandung. Saji NH, B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran and T. Yamagata. 1999. A Dipole Mode in The Tropical Indian Ocean. in Macmillan Magazines ltd, Nature, Vol.401. Saji NH., and T. Yamagata. 2001. The Tropical Indian Ocean Climate System from The Vantage Point of Dipole Mode Events. Submitted to Journal of Climate. Saji NH., and T. Yamagata. 2003. Structure of SST and Surface Wind Variability During Indian Ocean Dipole Events : COADS observations. J. Climate, in press. Soenarmo, Sri Hartati. 2001. Meteorologi Tropis. Dept. GM-ITB. Penerbit ITB. Shyamala, B dan S. Sudevan. 2002. Satellite Studies of Monsoon Process. Regional Meteorological Centre, Colaba.
119
Eddy Hermawan dan Nur Febrianti Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Suryachandra A. Rao, Swadhin K. Behera, Yukio Masumoto, and Toshio Yamagata. 2001. Interannual Subsurface Variability in The Tropical Indian Ocean With Special Emphasis on The Indian Ocean Dipole. Japan Tjasjono, bayong. 2004. Klimatologi Umum. Penerbit ITB Bandung.
BIOGRAFI PENULIS Nur Febrianti, S.Si. Lahir di Jambi 04 Februari 1981. Menamatkan Sekolah Dasar di Jambi, SMPN 12 dan SMUN 3 di Padang 1999, serta memperoleh gelar sarjana di IPB Jurusan Geofisika dan Meteorologi 2004. Setelah lulus kuliah bekerja di LAPAN, dan diterima menjadi Pegawai Negri Sipil 2008 sampai sekarang di lembaga yang sama. Pelatihan tingkat international yang pernah diikuti yaitu antara lain Elucidation of ground based atmosphere observation network in equatorial asia kerjasama LAPAN dan JSPS-Jepang, 2008. dan Spring School on Fluid Mechanics and Geophysics of Environmental Hazards - Institute for Mathematical Sciences, National University of Singapore, 2009. Pengalaman penelitian di bidang iklim dan aplikasinya 2004 – sekarang. Semenjak 2005 hingga 2010 telah mempublikasikan delapan makalah penelitian yang terkait.
120
Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM
Erma Yulihastin Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djunjunan 133 Bandung 40173, Telp. (022) 6037445 Email:
[email protected];
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas karakteristik curah hujan konvektif dan stratiform di Indonesia berdasarkan data hasil pengukuran curah hujan oleh radar presipitasi Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Data yang digunakan adalah curah hujan konvektif dan stratiform rata-rata bulanan di permukaan (2 km) 2A25 Satelit TRMM periode 10 tahun (1998-2007). Lokasi penelitian adalah wilayah BMI dengan batas wilayah (90-150BT, 10LS-10LU). Hasil penelitian pada curah hujan konvektif menunjukkan bahwa di wilayah monsunal BMI, periode musim hujan terjadi pada bulan November hingga April dengan nilai antara 2 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada Mei hingga Oktober dengan nilai curah hujan antara 0 hingga 4 mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan konvektif terjadi pada Desember-Januari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 3.5 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan konvektif terjadi pada Juli-Agustus-September di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 0 hingga 1.5 mm/hari. Pada curah hujan stratiform, periode musim hujan terjadi pada rentang yang lebih pendek dibandingkan curah hujan konvektif, yaitu sejak Desember hingga Maret dengan nilai antara 2 hingga lebih dari 5 mm/hari di wilayah monsunal BMI. Sedangkan musim kemarau terjadi pada rentang yang lebih panjang yaitu sejak April hingga November dengan nilai curah hujan antara 0 hingga 4.5 mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan stratiform terjadi pada DesemberJanuari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 3.5 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan konvektif terjadi pada Juni-Juli-Agustus di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 0 hingga 1.5 mm/hari. Analisis temporal untuk tiga wilayah tipe curah hujan monsunal (90-150 BT, 5-10 LS), ekuatorial (90-100 BT, 0-2 LU), lokal atau antimonsunal (120-135 BT, 2-4 LU), menunjukkan tampak bahwa baik curah hujan konvektif maupun curah hujan stratiform memiliki pola yang sama. Pada wilayah monsunal, curah hujan konvektif dan stratiform mencapai nilai tertinggi sekitar 3 mm/hari pada bulan Februari. Pada wilayah ekuatorial, puncak curah hujan konvektif terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada bulan April (>3 mm/hari) dan November (>4 mm/hari). Sedangkan untuk curah hujan stratiform terjadi pada bulan Juli (>4 mm/hari) dan November (>5 mm/hari). Pada wilayah lokal atau antimonsunal, curah hujan konvektif tertinggi terjadi pada bulan Juni (3.5 mm/hari) dan curah hujan stratiform tertinggi pada bulan Mei (3 mm/hari).
121
Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Kata kunci: Satelit TRMM, Konvektif, Stratiform, BMI Abstract This research studied about characteristic of convective and stratiform rain in the Indonesia Maritime Continent (IMC) based on TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) satellite using precipitation radar observation. Data were used namely a tenyears (1998-2007) of monthly and near surface (2 km) of the convective and stratiform rain. Research area of studied was IMC (90-150E, 10S-10N). Research analysis were spatial and temporal method. The result showed that for convective rain, rainy season occured over monsoonal area of IMC from November to April, 2 until more than 5 mm/day. Dry season occured from May to October, 0 - 4 mm/day. The peak of rainy season due to convective occurred in December-January-February over monsoonal area of IMC, from 3.5 to more than 5 mm/day. Whereas the peak of dry season occurred in July-August-September from 0 to 1.5 mm/day. On the other side, based on the stratiform rain, rainy season occurred in the shorter period from December to March over monsoonal area of IMC, 2 until more than 5 mm/day. Dry season occured from April to November, 0 – 4.5 mm/day. The peak of rain season occurred in December-January-February over monsoonal area of IMC, from 3.5 to more than 5 mm/day. Whereas the peak of dry season occurred in June-July-August from 0 to 1.5 mm/day. Temporal analysis for the three area of rainy type namely monsoonal (90150E, 5-10S), equatorial (90-100E, 0-2 N), local or antimonsoonal (120-135E, 2-4 N), described that convective and stratiform rain have the same pattern. For monsoonal area, convective and stratiform rain reached highest value at about 3 mm/day in February. For equatorial area, peaks value of convective rain was reached twice in April (>3 mm/day) and November (>4 mm/day). Whereas stratiform rain occurred in July (>4 mm/day) and November (>5 mm/day). For local or antimonsoonal area, convective rain reached highest in June (3.5 mm/day) and stratiform rain in May (3 mm/day). Keywords: TRMM Satellite, Convective, Stratiform, IMC 1. PENDAHULUAN Studi mengenai karakteristik curah hujan konvektif dan stratiform di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI) secara spesifik belum banyak dilakukan. Padahal, curah hujan di BMI memiliki karakteristik yang sangat kompleks dan unik baik secara spasial maupun temporal. Karena proses pembentukan curah hujan konvektif dan stratiform memiliki perbedaan, maka penelitian secara mendetail mengenai dua tipe curah hujan tersebut penting dilakukan untuk memahami secara lebih mendalam mekanisme dan proses terjadinya curah hujan di wilayah BMI. Sebagaimana diketahui, curah hujan di wilayah benua Maritim Indonesia memiliki pola curah hujan monsunal, lokal, dan ekuatorial (Aldrian dan Susanto, 2003; Mustofa, 2000). Curah hujan berpola monsunal ini terkait dengan siklus tahunan (Ramage, 1968; Chang dkk, 2005; Chang dkk., 2006) yang terbentuk di wilayan Benua Maritim Indonesia karena pengaruh monsun. Sementara curah hujan lokal merupakan curah hujan berpola antimonsunal yang banyak
122
Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
dipengaruhi oleh faktor lokal wilayah tersebut. Sedangkan curah hujan ekuatorial berpola semitahunan dengan dua maksima dalam satu tahun, dipengaruhi oleh posisi semu matahari terhadap bumi. Oleh karena itu, kajian mendalam mengenai curah hujan konvektif dan stratiform dalam tiga pola tersebut perlu untuk dilakukan. Curah hujan konvektif terbentuk dari suatu sistem konvektif skala meso, hasil dari proses pematangan awan-awan konvektif (Cetrone dan Houze, 2009). Curah hujan konvektif dalam level yang lebih rendah disebut dengan curah hujan shallow yang mekanismenya banyak dipengaruhi oleh sirkulasi panas laten di atas Lautan (Kodama, 2009; Liu dan Zipser, 2009) Data curah hujan permukaan (near surface rain) yang diperoleh dari satelit TRMM dipandang lebih merepresentasikan intensitas curah hujan yang sebenarnya terjadi di atmosfer (bukan yang jatuh di permukaan tanah), sebab satelit ini mengukur butiran hujan dengan menggunakan radar presipitasi. Curah hujan permukaan yang diperoleh dari satelit TRMM merupakan nilai rata-rata curah hujan pada ketinggian sekitar 1.5 hingga 2 kilometer, atau sama dengan ketinggian pada level tekanan 850 milibar (TRMM, 2005; Schumacher C. dan Houze, 2003). Selain itu, satelit TRMM yang memiliki lintasan atau cakupan wilayah tropis (30 lintang) hingga saat ini masih menjadi satu-satunya wahana satelit yang paling tinggi resolusinya dalam mengukur curah hujan di wilayah tropis sehingga tepat digunakan untuk studi mengenai karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis (Suryantoro dkk, 2009). Dengan memahami karakteristik jangka panjang 10 tahun mengenai curah hujan konvektif dan stratiform dalam variasi spasial dan temporal melalui wahana satelit TRMM, maka diharapkan pemahaman mengenai curah hujan di BMI menjadi lebih komprehensif dan detail. 2. DATA DAN METODE Data curah hujan permukaan (near surface rain) dari Satelit TRMM 2A25 versi 6 selama periode waktu satu tahun (1998-2007) digunakna dalam penelitian ini. Curah hujan permukaan yang dimaksud dalam data tersebut adalah intensitas rata-rata hujan pada ketinggian 1.5-2 km dari permukaan laut, dalam satuan milimeter. Curah hujan tersebut dihasilkan dari pengukuran radar presipitasi terhadap butiran hujan yang ada di atmosfer. Radar presipitasi merupakan salah satu sensor yang melekat dalam satelit TRMM. Resolusi spasial data curah hujan tersebut adalah 2.5X2.5 derajat. Wilayah penelitian di kawasan BMI berada pada rentang 90-150 BT, dan 10 LU-10 LS. Data ini diolah menggunakan software pengolah data GrADS (Grid Analysis and Display System) versi 20. Gambar spasial curah hujan dan angin zonal ditampilkan menggunakan gradasi warna, sementara gambar vektor angin pada level ketinggian 850 milibar dan 200 milibar ditampilkan dalam bentuk vektor angin yang meliputi arah dan besar kekuatan angin. Variasi temporal curah hujan bulanan selama sepuluh tahun digambarkan dalam bentuk grafik deret waktu untuk kawasan monsunal yang membentang di bagian selatan BMI
123
Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(90-150 BT, 5-10 LS). Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial dan temporal.
3.
ANALISIS
3.1 Karakteristik Spasial Curah Hujan Konvektif
Gambar 1. Curah hujan konvektif permukaan (2 km) 1998-2007 TRMM 2A25 di BMI (90-150 BT, 10 LS-10LU)
124
Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Klimatologi curah hujan konvektif selama periode 9 tahun seperti tampak pada Gambar 1 menunjukkan bahwa periode musim hujan berlangsung sejak November hingga April. Hal ini dapat dikenali dari pola curah hujan monsunal yang terjadi di Pulau Jawa dan sekitarnya dengan intensitas lebih dari 4.5 milimeter/hari. Sedangkan periode musim kemarau di BMI terjadi sejak Mei hingga Oktober, ditandai dengan intensitas curah hujan kurang dari 4 milimeter/hari. Puncak curah hujan konvektif di wilayah monsunal BMI (Jawa dan sekitarnya) terjadi pada bulan Februari. Hal ini tampak pada distribusi intensitas curah hujan antara 2.5 sampai lebih dari 5 milimeter/hari. Dibandingkan dengan bulan Desember dan Januari, curah hujan yang memiliki nilai lebih dari 4.5 milimeter/hari mencakup area yang paling luas (Jawa dan Nusa tenggara) daripada area pada bulan Januari yang hanya mencakup pulau Jawa dan bulan Desember yang meliputi hanya sebagian pulau Jawa. Curah hujan konvektif paling minimum terjadi pada bulan Agustus. Ini ditandai dengan nilai curah hujan konvektif di wilayah monsunal BMI kurang dari 1 milimeter/hari. Curah hujan paling minimun tersebut mencakup area yang paling luas dibandingkan bulan Juli, Juni, atau September. Lihat kembali Gambar 1. 3.2 Karakteristik Spasial Curah Hujan Stratiform Sementara itu, seperti diperlihatkan Gambar 2, curah hujan stratiform di BMI (Jawa dan sekitarnya) berlangsung dalam periode yang lebih pendek dibandingkan curah hujan konvektif yaitu sejak November hingga Maret, dan memiliki rentang nilai curah hujan antara 2.5 hingga lebih dari 4.5 milimeter/hari. Musim kemarau berlangsung antara bulan April hingga Oktober dengan intensitas curah hujan kurang dari 2 milimeter/hari. Puncak curah hujan stratiform di wilayah monsunal BMI (Jawa dan sekitarnya) terjadi pada bulan Februari. Hal ini tampak pada distribusi intensitas curah hujan antara 3 sampai lebih dari 5 milimeter/hari. Dibandingkan dengan bulan Desember dan bulan Januari yang memiliki curah hujan 2.5 hingga lebih dari 5 milimeter per hari. Sama seperti pada curah hujan konvektif, curah hujan stratiform paling minimum pun terjadi pada bulan Agustus. Ini ditandai dengan nilai curah hujan stratiform di wilayah monsunal BMI kurang dari 1 milimeter/hari. Curah hujan paling minimun tersebut mencakup area yang paling luas dibandingkan bulan Juli, Juni, atau September.
125
Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 2. Curah hujan stratiform permukaan (2 km) 1998-2007 TRMM 2A25 di BMI (90-150 BT, 10 LS-10LU)
126
Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
3.3 Variasi Tahunan Curah Hujan Konvektif Grafik deret waktu rata-rata bulanan selama sepuluh tahun menunjukkan curah hujan konvektif untuk wilayah monsunal memiliki satu puncak dan satu lembah. Puncak curah hujan terjadi pada bulan Februari (2,783 mm/hari) sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus (0.151 mm/hari). Hal ini seperti tampak pada Gambar 3. Di wilayah ekuatorial, grafik memiliki dua maksimum dan dua minimun. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan April (3.593 mm/hari) dan November (4.219 mm/hari) sementara minimum berlangsung pada bulan Mei (2.824 mm/hari) dan Agustus (3.176 mm/hari). Temuan yang berbeda dengan penelitian sebelumnya diperlihatkan oleh grafik curah hujan konvektif untuk wilayah lokal atau antimonsunal. Curah hujan memiliki tiga nilai maksimum dan tiga nilai minimum. Tiga nilai maksimum masing-masing terjadi pada bulan Januari, Maret, Juni dengan nilai berturut-turut: 2.974 mm/hari, 2.501 mm/hari, 3.37 mm/hari. Adapun nilai minimum curah hujan terjadi pada bulan Februari (1.99 mm/hari), April (1.949 mm/hari), dan Agustus (2.069 mm/hari).
curah hujan konvektif (mm/hari)
35 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan Kemonsunal (90-150BT,5-10LS)
equatorial (90-100BT,0-2LU)
lokal (120-135BT, 2-4LU)
Gambar 3. Rata-rata tahunan curah hujan konvektif permukaan (2 km) 1998-2007 TRMM 2A25 tipe monsunal, ekuatorial, lokal
3.4 Variasi Tahunan Curah Hujan Stratiform Pada Gambar 4, pola yang hampir sama dengan curah hujan konvektif monsunal digambarkan oleh grafik curah hujan stratiform, yang juga memiliki satu puncak dan satu lembah. Nilai maksimum sebesar 2,907 mm/hari terjadi pada bulan Februari sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus (0.134 mm/hari).
127
Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Namun, berbeda dengan konvektif yang memiliki dua puncak dan dua lembah, di wilayah ekuatorial curah hujan stratiform memiliki tiga maksimum dan tiga minimun. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan April (3.352 mm/hari), Juli (3.716 mm/hari), November (5.356 mm/hari). Nilai minimum berlangsung pada bulan Februari (2.526 mm/hari), Mei (2.695 mm/hari), Agustus (2.772 mm/hari). Demikian juga dengan curah hujan stratiform untuk wilayah lokal atau antimonsunal yang memiliki tiga nilai maksimum dan tiga nilai minimum. Tiga nilai maksimum masing-masing terjadi pada bulan Februari, Mei, November dengan nilai berturut-turut: 2.663 mm/hari, 3.236 mm/hari, 2.783 mm/hari. Adapun nilai minimum curah hujan terjadi pada bulan Maret (1.73 mm/hari), Agustus (1.761 mm/hari), dan Desember (1.784 mm/hari).
curah hujan konvektif (mm/hari)
35 30 25 20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan Kemonsunal (90-150BT,5-10LS)
equatorial (90-100BT,0-2LU)
lokal (120-135BT, 2-4LU)
Gambar 4. Rata-rata tahunan curah hujan statiform permukaan (2 km) 1998-2007 TRMM 2A25 tipe monsunal, ekuatorial, lokal
4. KESIMPULAN Hasil penelitian pada curah hujan konvektif menunjukkan bahwa di wilayah monsunal BMI, periode musim hujan terjadi pada bulan November hingga April dengan nilai antara 2 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada Mei hingga Oktober dengan nilai curah hujan antara 0 hingga 4 mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan konvektif terjadi pada Desember-Januari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 3.5 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan konvektif terjadi pada Juli-Agustus-September di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 0 hingga 1.5 mm/hari. Pada curah hujan stratiform, periode musim hujan terjadi pada rentang yang lebih pendek dibandingkan curah hujan konvektif, yaitu sejak Desember hingga Maret dengan nilai antara 2 hingga
128
Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
lebih dari 5 mm/hari di wilayah monsunal BMI. Sedangkan musim kemarau terjadi pada rentang yang lebih panjang yaitu sejak April hingga November dengan nilai curah hujan antara 0 hingga 4.5 mm/hari. Puncak musim hujan pada curah hujan stratiform terjadi pada Desember-Januari-Februari di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 3.5 hingga lebih dari 5 mm/hari. Sementara puncak musim kemarau pada curah hujan konvektif terjadi pada Juni-Juli-Agustus di wilayah monsunal BMI dengan nilai antara 0 hingga 1.5 mm/hari. Analisis temporal untuk tiga wilayah tipe curah hujan monsunal (90- 150 BT, 5- 10 LS), ekuatorial (90- 100 BT, 0- 2 LU), lokal atau antimonsunal (120- 135 BT, 2- 4 LU), menunjukkan tampak bahwa baik curah hujan konvektif maupun curah hujan stratiform memiliki pola yang sama. Pada wilayah monsunal, curah hujan konvektif dan stratiform mencapai nilai tertinggi sekitar 3 mm/hari pada bulan Februari. Pada wilayah ekuatorial, puncak curah hujan konvektif terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada bulan April (>3 mm/hari) dan November (>4 mm/hari). Sedangkan untuk curah hujan stratiform terjadi pada bulan Juli (>4 mm/hari) dan November (>5 mm/hari). Pada wilayah lokal atau antimonsunal, curah hujan konvektif tertinggi terjadi pada bulan Juni (3.5 mm/hari) dan curah hujan stratiform tertinggi pada bulan Mei (3 mm/hari).
5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Yasu-Masa Kodama (Hirosaki University ) dan Prof. Toshitaka Tsuda (RISH, Kyoto University) yang telah menyediakan data-data curah hujan TRMM yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini didukung oleh Asia-Africa Science Platform Program, Japan Society for Promotion of Science (JSPS) dalam program undangan riset di Jepang (Hirosaki University) bekerja sama dengan LAPAN, Indonesia.
DAFTAR REFERENSI Aldrian E. and Susanto R.D., Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature, Int. J. Climatol. 23, 1435– 1452 (2003). Cetrone J. and Houze RA Jr., Anvil Clouds of Tropical Mesoscale Convective Systems in Monsoon Regions, Q.J.R. Meteorol. Soc. 135, 305-317 (2009). Chang C.-P et al., Annual Cycle of Southeast Asia-Maritime Continent Rainfall and the Asymmetric Monsoon Transition, Journal of Climate, 18, 287-301 (2005). Chang C.P. dkk, 2006. Chapter 3: The Asian Winter-Australian Summer Monsoon: An Introduction, The Asian Monsoon, Praxis Publishing, UK. Kodama Y.-M. et al., Climatology of Warm Rain and Associated Latent Heating Derived from TRMM PR Observations, Journal of Climate, 22, 4908-4929 (2009). Liu C. and Zipser E.J., Warm rain in the Tropics: Seasonal and Regional Distributions Based on 9 yr of TRMM Data, Journal of Climate, 22, 767–779 (2009).
129
Erma Yulihastin Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Mustofa M.A., 2000, Identifikasi Daerah Monsun dan Curah Hujan Berdasarkan Sifat Angin Permukaan di Indonesia Bagian Barat, Tesis Master, Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, ITB, Bandung. Ramage C.S., Role of a Tropical ‘Maritime Continent’ in the Atmospheric Circulation, Mon. Weather Rev. 96:365-370 (1968). Schumacher C. and Houze RA Jr., The TRMM Precipitation Radar’s View of Shallow, Isolated Rain, Journal of Applied Meteorology, 42, 1519-1524 (2003). Suryantoro Arief, dkk., 2009. Variasi Spasiotemporal Profil Vertikal Curah Hujan Indonesia Berbasis Observasi Radar Presipitasi Satelit TRMM, Prosiding Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014, ISBN 978-9791458-33-7. TRMM Precipitation Radar Team, TRMM Precipitation Radar Algorithm instruction manual for version 6. JAXA and NASA Rep., 180 pp (2005).
BIOGRAFI PENULIS Erma Yulihastin Erma Yulihastin, lahir pada tanggal 4 Juli 1979 di Lamongan, Jawa Timur. Bungsu dari dua bersaudara ini menamatkan sekolah hingga SMU di Lamongan. Senang menulis karangan sejak SD. Pada tahun 1997 ia melanjutkan pendidikan ke Institut Teknologi Bandung Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Sejak Januari 2008 ia bekerja di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) sebagai Peneliti Bidang Pemodelan Iklim Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. Beberapa karya tulis ilmiah yang telah diterbitkan terkait dengan kepakarannya sebagai Peneliti Sains Atmosfer, antara lain: 1) Variabilitas OLR Sebagai Indikasi Onset Monsun di Jawa, Prosiding Nasional, ISBN 978-979-1458-33-7 (2009), 2) Pengaruh El Nino 1997 terhadap Variabilitas Ozon Total Indonesia, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, ISSN 1907-0713 (2009), 4) Contribution Of Shallow Rain To Develop Local Rainfall Type over Maritime Continent Based on TRMM PR Data, International Preceeding, ISBN 978-602-95634-1-2 (2010). Ia juga aktif menulis artikel ilmiah populer yang tersebar di berbagai media massa, seperti: Indonesia Mampu Prediksi Iklim (www.beritaiptek.com, Juni 2008), Tahun Ini Tidak Ada Kekeringan (www.beritaiptek.com, Juli 2008), Musim Kemarau 2008 Cenderung Basah (Tribun Jabar, Juli 2008), Jawa Pulau Terkering Tahun Ini (SINDO, Juli 2008), Cuaca Ekstrem di Bandung (Pikiran Rakyat, Juli 2008), Kekeringan Ekstrem di Jawa (Pikiran Rakyat, Agustus 2008), Dewan Perubahan Iklim Versus Peneliti (Kompas, Agustus 2008), Kekeringan di Jawa Tidak Terkait ElNino (Kompas, Agustus 2008), Bandung Tidak Dingin Lagi (Kompas, September 2008), Menuju Indonesia Cerdas Iklim (Pikiran Rakyat, Januari 2009), Indonesia Penentu Iklim Dunia (Pikiran Rakyat, Januari 2009), Puncak Musim Hujan Bergeser (Pikiran Rakyat, Februari 2009), Banjir Bukan Karena Hujan Ekstrem (Pikiran Rakyat, Februari 2009),
130
Karakteristik Hujan Konvektif dan Stratiform di Indonesia Berbasis Data Radar Presipitasi Satelit TRMM Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Cuaca Bandung Berubah Cepat (Pikiran Rakyat, Maret 2009), Puting Beliung, ”Small Tornado” yang Sulit Diprediksi (Pikiran Rakyat, April 2009), Kemarau Kering dan Lama (Pikiran Rakyat, Juli 2009), El Nino Vs Badai Ketsana (Pikiran Rakyat, Oktober 2009), Prakiraan Iklim Indonesia 2010 (Pikiran Rakyat, Januari 2010), Hujan harian di bandung (Pikiran rakyat, Februari 2010), Cuaca Ekstrem Penyebab Banjir, (Pikiran Rakyat, April 2010), Musim Hujan atau Kemarau? (Pikiran Rakyat, Mei 2010), Ancaman Banjir di Musim Kemarau (Kompas, Juni 2010), Hujan Badai di Musim Kemarau (Tribun, Juni 2010), Pemanasan Global dan Anomali Kemarau (Pikiran Rakyat, Juli 2010). Bukunya mengenai sains atmosfer yang telah terbit adalah “Peranan Atmosfer Bumi,” Azka Press, April 2008. Selain itu, ia pun aktif mengikuti seminar dan pertemuan ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional, yakni: Seminar Hari Bumi, LAPAN Bandung, Indonesia (2008 dan 2009). Workshop Sains Atmosfer, LAPAN Bandung, Indonesia (2008). Lecture of Optical observation of clouds and the Atmosphere, AASP JSPS-LAPAN, Indonesia (2008). Spring School on Fluid Mechanics and Geophysics of Environmental Hazards (2009), NUS, Singapore. Lecture of Satellite and Ground Based Observation of Atmospehere, AASP JSPS-LAPAN, Bandung (2009). Seminar Prediksi Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014, LAPAN, Bandung (2009). Invited researcher of Asia Africa Platform Program, Japan Society for The Promotion Science (AAP-JSPS), Department of Earth Science and Environment, Hirosaki University, Jepang (2009). The International School on Atmosphere Radars, Profiling, Modeling and Forecasting, National Central University, Jhong Li, Taiwan (2009). Workshop Methods and Tools for Water related Adaptation to Climate change and Climate proofing, Bandung (2010). The 5th Kyoto University Southeast Asia Forum Conference of the Earth and Space Science, ITB, Bandung (2010). Seminar Sains Atmosfer 1: Sains Atmosfer dalam Menghadapi Perubahan Iklim, LAPAN, Bandung (2010). Saat ini Erma tinggal di Bandung dan komunikasi dengannya dapat dilakukan melalui email:
[email protected] dan www.yulihastin.blogspot.com.
131
Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung
Dandy Aditya Novresiandi , Budhy Soeksmantono, Ketut Wikantika Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung E-mail :
[email protected]
Abstrak Penginderaan jauh menawarkan cara yang lebih mudah, cepat, hemat serta mencakup area yang lebih luas untuk perhitungan stok karbon. Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan stok karbon dengan metode penginderaan jauh di Cekungan Bandung dari data citra Satelit Landsat untuk tahun 1999, 2002 dan 2005. Stok karbon dihitung dengan menggunakan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang diekstrak dari data citra satelit untuk kemudian digunakan dalam model perhitungan stok karbon. Berdasarkan perhitungan, diperoleh jumlah stok karbon pada tahun 1999 sebesar 522272.91 ton, tahun 2002 sebesar 494512.98 ton, dan tahun 2005 sebesar 561683.33 ton. Karena tidak adanya data pengukuran lapangan di Cekungan Bandung untuk melakukan validasi, maka hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai nilai pendekatan jumlah stok karbon di Cekungan Bandung sebagai informasi yang berguna untuk berbagai pihak dalam upaya pemantauan kondisi emisi gas di Cekungan Bandung. Kata kunci : Stok Karbon, NDVI, Cekungan Bandung
Abstract Remote sensing offers an easier, faster, efficient way and it covers larger area for measuring carbon stocks. In this study, the carbon stock in Bandung Basin is measured by remote sensing methods from Landsat satellite imagery data for 1999, 2002 and 2005. Carbon stock is measured by the Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) derived from satellite imagery data for later use in model estimation of carbon stocks. The results of the measurements for total estimated carbon stocks in 1999, 2002 and 2005 respectively are 522272.91 tons, 494512.98 tons, and 561683.33 tons. Due to no field measurement data in Bandung Basin to perform validation, the results of this study can be used as an estimation of carbon stocks in Bandung Basin. This information is useful for people to monitor emission gasses in Bandung Basin. Keywords : carbon stocks, NDVI, Bandung Basin
132
Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
1.
PENDAHULUAN
Pemanasan global merupakan sebuah fenomena peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Peningkatan suhu tersebut akan berdampak langsung pada perubahan iklim dunia yang memiliki efek jangka panjang terhadap manusia dan lingkungan (EPA, 2007). Perlu diketahui bahwa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir ini menunjukan bahwa fenomena pemanasan global ini terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Karbon dioksida merupakan salah satu zat yang termasuk dalam gas rumah kaca. Zat ini secara alami timbul dari berbagai proses alami seperti letusan vulkanik, pernafasan hewan dan manusia serta pembakaran material organik. Selain itu karbon dioksida juga dapat timbul dari aktivitas-aktivitas manusia, khususnya penggunaan bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi. Namun, seiring dengan meningkatnya jumlah manusia maka kebutuhan akan penggunaan bahan bakar fosil untuk kebutuhan manusia semakin bertambah sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah karbon dioksida di atmosfir. Untuk menanggulangi hal itu, tumbuhan dapat mengurangi jumlah karbon dioksida di atmosfir dengan menggunakan karbon dioksida dalam berbagai proses pertumbuhannya. Melalui berbagai proses tersebut, tumbuhan dapat menyimpan karbon dioksida di dalam tubuhnya sebagai stok karbon. Stok karbon adalah jumlah karbon absolut yang tersimpan dalam biomassa tumbuhan pada waktu tertentu (IPCC, 2003). Oleh karena itu tumbuhan sangatlah potensial untuk membantu mengatasi fenomena pemanasan global dengan menyerap karbon dioksida yang ada di atmosfir dan menyimpannya sebagai stok karbon (Nowak & Crane, 1998). Untuk mengetahui sejauh mana peran tumbuhan dalam mereduksi karbon dioksida yang ada di atmosfer, maka diperlukan suatu informasi banyaknya jumlah karbon dioksida yang disimpan oleh tumbuhan di suatu area secara mewaktu (Myeong, et al., 2006). Secara tradisional, penelitian dilakukan dengan pengukuran lapangan. Namun, metode ini memiliki banyak kekurangan karena area penelitian yang terbatas serta membutuhkan biaya dan tenaga yang besar. Seiring dengan kemajuan teknologi, maka penginderaan jauh dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mendapatkan informasi stok karbon tersebut (Asner, 2009). Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisa data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer, 1997). Data yang diperoleh dari penginderaan jauh berupa citra satelit dari pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik objek-objek di permukaan bumi yang berhasil diterima sensor, data tersebut dapat diolah menjadi suatu produk sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Dengan memanfaatkan metode penginderaan jauh, maka dapat dihitung jumlah karbon dioksida yang disimpan oleh tumbuhan di suatu daerah dengan menggunakan indeks spektral NDVI untuk mendelineasi vegetasi dari citra suatu daerah, lalu mengkonversi nilai indeks spektral yang didapatkan dengan menggunakan perhitungan suatu persamaan untuk menghitung jumlah karbon dioksida yang disimpan oleh tumbuhan di suatu daerah. Indeks spektral dapat digunakan untuk memperkirakan simpanan karbon
133
Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
dioksida oleh tumbuhan karena setengah dari berat kering biomassa tumbuhan adalah karbon dioksida (Myeong, et al., 2006). Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra band 3 dan 4 dari citra satelit Landsat-7 ETM+ dan Landsat-5 TM tahun 1999, 2002 dan 2005. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah menghitung stok karbon berdasarkan NDVI di kawasan Cekungan Bandung secara mewaktu serta menganalisis kecocokan persamaan tersebut untuk diterapkan di Cekungan Bandung. 2.
DATA DAN WILAYAH STUDI
Penelitian ini menggunakan wilayah Cekungan Bandung sebagai wilayah penelitian. Luas dari wilayah Cekungan Bandung dihitung dari citra hasil pemotongan adalah 3230.09 Km2 .
Gambar 2 Wilayah Studi
Menurut Purnomo, (2010) Cekungan Bandung merupakan daerah yang memiliki geomorfologi yang bervariasi, sehingga memiliki tutupan lahan yang beragam. Tutupan lahan yang terdapat di Cekungan Bandung pada bagian utara dan selatan berupa vegetasi hutan dan perkebunan, sedangkan pada bagian timur dan barat berupa vegetasi yang termasuk pada pertanian palawija. Tutupan lahan berupa sawah pertanian dan perairan untuk perikanan juga terdapat di bagian selatan Kota Bandung. Tutupan lahan berupa danau terdapat di sebelah timur dan selatan Cekungan Bandung. Tingkat konversi lahan di Cekungan Bandung mulai meningkat seiring dengan pembangunan permukiman modern dan industri serta perubahan budaya masyarakat. Dalam penelitian ini digunakan data-data sebagai berikut: Tabel 1. Data yang digunakan No 1 2 3
134
Data Citra Landsat 5 TM (path 122 row 065 wilayah Jawa Barat tahun 2005) Citra Landsat 7 ETM (path 122 row 065 wilayah Jawa Barat tahun 1999 dan 2002) Peta Rupa Bumi Dijital dengan skala 1:25.000
Sumber LAPAN LAPAN Center for Remote Sensing ITB
Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
3.
METODE
Untuk dapat memantau cakupan vegetasi dalam area yang luas dapat digunakan teknologi penginderaan jauh (Myeong, et al., 2006). Pemantauan tersebut digunakan untuk menghitung stok karbon pada suatu kawasan yang relatif luas dengan melakukan pengolahan data citra satelit, sehingga didapatkan jumlah stok karbon yang disimpan oleh tumbuhan pada area tersebut pada suatu waktu. 3.1. Pemotongan Citra dan Penghilangan Daerah Liputan Awan dan Bayangan Awan Data citra satelit yang didapat, dipotong mengikuti bentuk dari area penelitian. Selain itu daerah yang diliputi awan dan bayangan awan dihilangkan dengan cara dijitasi secara manual. Proses ini dapat mengurangi jumlah area yang diikutsertakan dalam proses pengolahan data selanjutnya. 3.2. Konversi Nilai Digital Number ke Reflektan Untuk melakukan perbandingan yang baik terhadap satu citra pada satu waktu dan citra lain pada waktu pengambilkan data yang berbeda harus dilakukan suatu koreksi yakni dengan mengubah nilai DN ke reflektan sebagai kompensasi dari perbedaan kondisi kalibrasi sensor dan lingkungan pada setiap waktu pengambilan data oleh satelit (Myeong, et al., 2006). Sebelum dapat di ubah ke reflektan, DN harus diubah ke spektral radians terlebih dahulu (Huang, et al., 2000). Radians didapatkan dari DN dengan persamaan sebagai berikut: (1)
Atau juga dapat diekspresikan sebagai berikut: (2)
Dimana L adalah spektral radians dalam (W m-2 sr-1 m-1), λ adalah band spektral, gain adalah band spektral gain, bias adalah band spektral offset, DNMIN = 1, DNMAX = 255, LMIN dan LMAX adalah spektral radians untuk setiap band pada DNMIN dan DNMAX . Selanjutnya, spektral radians diubah menjadi reflektan dengan persamaan: (3)
Dimana adalah reflektan pada lapisan atas atmosfir tanpa unit, Lλ spektral radians, Esunλ adalah konstanta iradian exoatmosferik matahari, θ s adalah sudut zenith matahari dalam derajat, π sebesar 3.14159 dan d adalah jarak bumi-matahari dalam unit astronomi (UA). Koreksi ini mengatasi perbedaan sudut matahari pada waktu pengambilan data yang berbeda (Myeong, et al., 2006). 3.3. Image Resampling Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Myeong, et al., 2006), dilakukan proses interpolasi intensitas (image resampling) untuk mengubah ukuran pixel citra. Pada
135
Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
proses image resampling yang dilakukan di penelitian ini, digunakan metode tetangga terdekat (nearest neighbor). 3.4. Koreksi Geometrik Untuk memperbaiki kesalahan geometrik acak yang terjadi, maka harus dilakukan dengan cara meningkatkan ketelitian geometrik dengan menggunakan titik kontrol tanah (GCP) secara merata dari beberapa objek yang dapat diidentifikasi pada citra sehingga diperoleh koordinat dalam sistem geografik (x,y) dan dalam sistem koordinat citra sebagai titik sekutu (Purwadhi & Santojo, 2008). GCP didapatkan dari peta dasar atau citra lain dengan cakupan daerah yang sama yang posisi geometrisnya telah dikoreksi. Setelah itu dapat dibentuk hubungan matematis untuk melakukan transformasi koordinat. Proses transformasi koordinat yang dilakukan menggunakan model polinomial derajat satu atau transformasi affine-2D. Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat ketelitian koordinat citra yang telah dikoreksi geometrik dapat dilakukan dengan menempatkan Independent Check Point (ICP) secara merata didalam kawasan cakupan GCP pada citra yang dikoresi (Ramadhani, 2010). 3.5. Koreksi Radiometrik Untuk melakukan penelitian yang melibatkan perbandingan antara citra yang berbeda kondisi radiometriknya adalah hal yang sulit untuk dilakukan (Myeong, et al., 2006). Maka dilakukan koreksi radiometrik dengan metode pseudo-invariant features (PIF). Prinsip dari metode ini adalah menggunakan satu citra sebagai referensi dan citra lainnya sebagai subjek dan kemudian menyeragamkan aspek-aspek radiometrik citra lainnya terhadap citra referensi dengan menggunakan fitur invariant, yakni bentukanbentukan yang diasumsikan tidak berubah posisinya terhadap waktu pengambilan data (Hong, 2007) sebagai parameternya. Pada metode ini digunakan nilai batas sebesar 0.02% dari nilai intensitas tergelap dan tercerah pada citra untuk mengidentifikasi fitur invariant yang akan digunakan untuk membentuk hubungan linier dengan persamaan regresi (Ramsey, et al., 2001). Persamaan regresi linier yang dibentuk selanjutnya akan diterapkan pada citra untuk menyamakan aspek-aspek radiometrik dengan citra referensi dengan persamaan (Myeong, et al., 2006) : (4)
Dimana DNref adalah nilai dijital dari citra referensi, DNsub adalah nilai dijital dari citra subjek, a adalah nilai kemiringan dari transformasi linier dan b adalah nilai potong dari transformasi linier dalam persamaan regresi linier. Pada penelitian ini citra satelit tahun 2002 dijadikan citra referensi, sedangkan citra satelit tahun 1999 dan 2002 dijadikan citra subjek. Untuk menguji koreksi radiometrik dengan metode ini, dapat dilakukan dengan menghitung nilai dari akar kuadrat rataratanya (RMSE) pada saat sebelum dan sesudah melakukan koreksi, nilai RMSERAD seharusnya berkurang setelah koreksi radiometrik berhasil (Myeong, et al., 2006). Nilai RMSERAD dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
136
Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
(5)
Dimana n adalah jumlah pixel yang dilibatkan dalam perhitungan koreksi radiometrik. 3.6. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Salah satu cara yang umum dilakukan untuk memantau vegatasi dengan cakupan yang luas adalah dengan menggunakan indeks spektral (Asrar, et al., 1985). Indeks spectral yang umum digunakan adalah NDVI, yakni sebuah teknik perbandingan band spektral yang menghasilkan model raster yang memperkirakan tingkat keaktifan fotosintesis di setiap pixel. Persamaan dari model NDVI adalah sebagai berikut : (6) Dimana VIS adalah spektrum gelombang merah (visible) dan NIR adalah spektrum gelombang mendekati inframerah (near-infrared). Nilai yang dihasilkan dari NDVI yakni antara -1 dan 1. 3.7. Perhitungan Stok Karbon Persamaan perhitungan stok karbon yang digunakan pada penelitian ini menggunakan persamaan yang telah dikembangkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Myeong, et al., 2006). Pada penelitian sebelumnya, persamaan perhitungan karbon dikembangkan berdasarkan persamaan regresi yang menggunakan NDVI sebagai variabel bebas dan data stok karbon yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan sebagai variabel terikat, pada pelaksanaannya persamaan didapatkan dari 190 plot yang dibuat melalui sampel acak bertingkat. Data stok karbon hasil pengukuran lapangan dilakukan di kota Syracuse, New York, Amerika Serikat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan model Urban Forest Effect (UFORE), yakni sebuah model pengukuran stok karbon lapangan dengan menghitung spesies pohon, diameter pohon setinggi dada (diameter at breast height biasa disingkat DBH) dan tinggi dari pohon tersebut (Nowak & Crane, 1998). Stok karbon yang didapatkan adalah dalam unit (kg C/pixel), dengan ukuran pixel (25 x 25 m). Persamaan umum yang digunakan adalah : (7)
Kemudian dari hasil penelian yang dilakukan didapatkan persamaan sebagai berikut: (8) 2
Tingkat kedekatan persamaan ini memiliki nilai r sebesar 0.67, sehingga termasuk ke dalam nilai signifikan yang tinggi (Myeong, et al., 2006). 4. HASIL PENELITIAN Berikut akan disajikan hasil dari penelitian yang telah dilakukan berupa visualisasi NDVI kawasan Cekungan Bandung tahun 1999, 2002 dan 2005.
137
Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Sedangkan stok karbon yang disimpan oleh tumbuhan di wilayah Cekungan Bandung berdasarkan hasil perhitungan untuk tahun 1999 sebesar 522272.92 ton, selanjutnya untuk tahun 2002 sebesar 494512.99 ton dan untuk tahun 2005 sebesar 561683.34 ton.
Gambar 3 Peta NDVI Cekungan Bandung Tahun 1999
Gambar 4 Peta NDVI Cekungan Bandung Tahun 2002
Gambar 3 Peta NDVI Cekungan Bandung Tahun 2005
5. ANALISIS 5.1. Pengolahan Data Proses pengolahan data yang telah dilakukan menghasilkan nilai-nilai ketelitian yang cukup baik, hasilnya semua nilai σGCP dan RMSEICP berada di bawah 0.5 pixel. Sedangkan persyaratan akurasi koreksi geometrik secara umum adalah ±1 pixel (Purwadhi & Santojo, 2008). Berikut akan disajikan nilai ketelitian dari proses koreksi geometrik : Tabel 2. Nilai σGCP dan RMSEICP proses koreksi geometrik Tahun σ GCP (pixel) RMSE ICP (pixel)
138
1999
2002
2003
0.394092744
0.244019373
0.286261165
0.274062037
0.28033908
0.281744565
Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Sedangkan nilai ketelitian dari proses koreksi radiometrik adalah : Tabel 3. Nilai RMSERAD sebelum dan sesudah koreksi radiometrik Tahun 1999 2005
RMSERAD sebelum koreksi radiometrik Band 3 Band 4 3.613659353 6.007165635 11.67932607 6.395386933
RMSERAD sesudah koreksi radiometrik Band 3 Band 4 2.365880511 5.982899513 2.442150154 4.330583127
Nilai RMSERAD sesudah koreksi radiometrik lebih kecil daripada sebelum dikoreksi, hal ini mengindikasikan keberhasilan koreksi yang dilakukan. 5.2. Perhitungan Stok Karbon Hasil dari penelitian ini adalah jumlah stok karbon yang disimpan oleh tumbuhan di wilayah Cekungan Bandung tahun 1999, 2002 dan 2005. Terdapat perbedaan jumlah stok karbon yang dihitung pada masing-masing tahun, namun perbedaan jumlah ini dipengaruhi oleh luas daerah yang diikutsertakan dalam perhitungan stok karbon pada masing-masing tahun. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada citra satelit tahun 1999 dan 2002 terdapat daerah yang diliputi oleh awan dan bayangan awan, sedangkan pada citra satelit tahun 2005 tidak terdapat daerah yang diliputi oleh awan dan bayangan awan. Hal ini sangat mempengaruhi hasil penelitian karena total area yang dihitung pada masing-masing tahun tidaklah sama, sedangkan total area yang seharusnya dihitung ialah sebesar 3230.09 Km2. Berikut akan disajikan besarnya daerah yang diikutsertakan dalam proses pengolahan data : Tabel 4. Jumlah area yang terhitung Tahun Jumlah Area Terhitung (Km2) Perbedaan Area (Km2)
1999
2002
2005
3005.92
2847.28
3230.09
224.08
382.72
0.00
Jadi hanya pada citra satelit tahun 2005 yang luas wilayahnya sama dengan luas wilayah area penelitian. Namun, apabila area yang hilang pada tahun 1999 dan 2002 perbedaanya dikompensasikan pada korelasi jumlah stok karbon dalam 1 Km2 yang diperoleh dari perhitungan stok karbon tahun 2005 (1 Km2 = 173.89 ton) dan dihitung jumlah stok karbon estimasi, maka hasilnya mendekati jumlah stok karbon pada tahun 2005. Perhitungan tersebut akan disajikan dalam tabel berikut :
139
Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 5. Estimasi stok karbon Tahun Stok Karbon (ton) 2
Perbedaan Area (Km ) Perbandingan Perbedaan Stok Karbon (ton) Stok Karbon Estimasi dengan asumsi tidak ada daerah yang terkontaminasi awan dan bayangan awan (ton)
1999
2002
2005
522272.92
494512.99
561683.34
224.08
382.72
0.00
1km2 = 173.89 ton 39410.42
67170.35
0.00
561238.14
561064.61
561683.34
Dengan kata lain, jumlah stok karbon pada tahun 1999, 2002 dan 2005 di wilayah Cekungan Bandung cenderung stabil. 5.3. Persamaan Perhitungan Stok Karbon Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya (Myeong, et al., 2006). Persamaan perhitungan karbon dikembangkan berdasarkan persamaan regresi yang menggunakan NDVI sebagai variabel bebas dan data stok karbon yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan. Data stok karbon hasil pengukuran lapangan dilakukan di kota Syracuse, New York, Amerika Serikat dan dilakukan dengan menggunakan model Urban Forest Effect (UFORE). Apabila ditinjau dari perbandingan sebaran keanekaragaman vegetasi yang terdapat di kota Syracuse dan Cekungan Bandung maka terdapat perbedaan spesies pohon yang juga memiliki nilai DBH dan tinggi dari pohon-pohon yang berbeda. Beberapa perbedaan spesies pohon yang terdapat di Syracuse (Weiner, 2001) dan Cekungan Bandung adalah sebagai berikut: Tabel 6. Perbandingan perbedaan spesies tumbuhan Syracuse, NewYork Gleditsia triacanthos (Honey locust) Acer platanoides (Norway Maple) Rhamnus (Buckthorns) Thuja occidentalis (Eastern Arborvitae,Northern Whitecedar) Acer saccharum (Sugar Maple)
140
Cekungan Bandung Pinus merkusi Khaya anthoteca (Mahoni Uganda) Aghatis damara Cinnamonum burmanii Ficus benyamina Taxsodium Mucronat (Cemara Meksiko) Kigelia aethiopica
Perhitungan Stok Karbon Berdasarkan NDVI di Cekungan Bandung Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Namun karena tidak ada data stok karbon di wilayah Cekungan Bandung yang dapat digunakan untuk melakukan validasi dari jumlah stok karbon yang didapat dari penelitian ini, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan suatu nilai pendekatan jumlah stok karbon di wilayah Cekungan Bandung dengan teknik penginderaan jauh. 6. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Jumlah Stok Karbon yang disimpan oleh tumbuhan di wilayah Cekungan Bandung untuk tahun 1999 sebesar 522272.92 ton, sedangkan untuk tahun 2002 sebesar 494512.99 ton dan untuk tahun 2005 sebesar 561683.34 ton. 2. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan suatu nilai pendekatan jumlah stok karbon di wilayah Cekungan Bandung dengan teknik penginderaan jauh, meskipun persamaan yang digunakan untuk perhitungan stok karbon diturunkan dari data stok karbon lapangan dari daerah yang memiliki perbedaan keanekaragaman vegetasi dengan daerah penelitian.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada staff dari Center for Remote Sensing ITB dan LAPAN atas segala bantuan dan masukan dalam kelancaran penelitian ini. DAFTAR REFERENSI Asner, G. P. (2009). Measuring Carbon Emissions from Tropical Deforestation : An Overview. Environmental Defense Fund , 4. Asrar, G., Kanemasu, E. T., Jackson, R. D., & Pinter, P. J. (1985). Estimation of total aboveground phytomass production using remotely sensed data. Remote Sensing of Environment, 11 , 211-220. Environmental Protection Agency, U. S. (2007). Frequently Asked Question about global warming and climate change : Back to Basic. The Intergovernmental Panel on Climate Change's (IPCC) Fourth Assessment Report, (p. 2). Hong, G. (2007). Image Fusion, Image Registration, and Radiometric Normalization for High Resolution Image Processing. Canada: University of New Brunswick. Huang, C., Yang, L., Homer, C., Wylie, B., Vogelman, J., & DeFelice, T. (2000). At-Satellite Reflectance : A First Order Normalization of Landsat 7 ETM+ Images. USGS , 2. IPCC, I. P. (2003). Expert Meeting Report. Science Statement on Current Scientific Understanding of the Processes Affecting Terrestrial Carbon Stocks and Human Influences upon Them (p. 19). Geneva: IPCC. Lillesand, T. M., & Kiefer, R. W. (1997). Penginderaan Jauh dan Intepretasi Citra. terjemahan Dulbahri, Prapto Suharsono, Hartono, Suharyadi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
141
Dandy Aditya Novresiandi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Myeong, S., Nowak, D. J., & Duggin, M. J. (2006). A temporal analysis of urban forest carbon storage using remote sensing. Remote Sensing of Environment 101 , 277. Nowak, D. J., & Crane, D. E. (1998). The Urban Forest Effects (UFORE) Model : Quantifying Urban Forest Structure and Functions. Integrated Tools Proceedings , 716. Purnomo, R. (2010, November 26). Karakteristik Agroekosistem Kabupaten Bandung.http://www.agrilands.net/read/full/agriwarta/2010/11/26/karakteristikagroekosistem-kabupaten-bandung.html (diakses tanggal: 7 September 2011). Purwadhi, F. S., & Santojo, T. B. (2008). Pengantar Intepretasi Citra Penginderaan Jauh. Semarang: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dan Universitas Negeri Semarang. Ramadhani, S. A. (2010). Analisis Backscattering Coefficient Citra ENVISAT ASAR untuk Identifikasi Tumpahan Minyak (Oil Spill). Bandung: Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung. Ramsey, R. D., Washington-Allen, R. A., Van Niel, T. G., Sajwaj, T., & Callahan, K. (2001). Identification of Pseudo-Invariant Features from Remotely Sensed Imagery. Remote Sensing for Ecosystem Assessment . Weiner, M. (2001, April 27). Census of trees sees healthy population – Syracuse, one of Upstate's leafiest cities, is coming back after the devastating 1998 Labor Day Storm. Syracuse, New York: The Post-Standard.
BIOGRAFI PENULIS Dandy Aditya Novresiandi Dandy Aditya Novresiandi lulus dari Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2011 dan sekarang sedang melakukan penelitian dalam bidang penginderaan jauh. Bidang penelitian yang ditekuninya adalah aplikasi penginderaan jauh di bidang lingkungan, stok karbon dan tutupan lahan.
142
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging
Lissa Fajri Yayusman1, Daniel Adi Nugroho2, Ketut Wikantika1 1 Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung 2 PT McElhanney Indonesia e-mail :
[email protected]
Abstrak Dalam identifikasi dan pengelolaan potensi hutan atau perkebunan, kebutuhan data struktural sangat penting. Perkebunan kelapa sawit yang memiliki potensi tinggi pada sektor lingkungan dan ekonomi memerlukan pengelolaan yang baik dan terencana. Pengukuran parameter struktural pada perkebunan kelapa sawit akan memberikan informasi yang diperlukan dalam rangka pemantauan dan pengelolaan area tersebut. Light Detection and Ranging atau LiDAR, dengan keunggulan multiple return, tidak hanya mampu memindai struktur hutan dari sisi atas saja, namun juga dapat mengukur bagian-bagian kanopi pohon dan objek-objek lain di bawahnya. Pantulan pulsa laser yang juga diperoleh dari permukaan tanah memungkinkan pula untuk melakukan pemodelan elevasi permukaan tanah yang tertutup oleh kanopi pohon berupa Digital Terrain Model (DTM). Dengan metode rasterisasi, dapat dibentuk pemodelan elevasi kanopi pohon Canopy Height Model (CHM) dengan mengurangkan Digital Surface Model (DSM) dan DTM. Berdasarkan penelitian ini, diperoleh ketinggian pohon 49,15% antara 10,3-20,3 meter, 42,75% antara 0,3-10,3 meter, 8,1% antara 0-0,3 meter, 0,02 % antara 20,3-30,3 meter, dan total volume kanopi 8684,242 m3 pada area studi. Kata kunci: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, parameter struktural hutan, tinggi pohon, volume kanopi. Abstract In the forest and plantation potential identification and management, the need of structural data is very important. Oil palm plantations, which have high potential in environmental and the economy sector, require good management and planning. Measurement of structural parameters on oil palm plantations will provide the necessary information of the area. Light Detection and Ranging or LIDAR technology, with the advantage of multiple returns, is not only able to scan the forest structure from the top side, but also can measure parts of the canopy of trees and other objects underneath. The returns of laser pulse is also obtained from the soil surface, makes it possible to perform modeling of land surface elevation under tree canopy in the form of Digital Terrain Model (DTM). By converting the point cloud into raster, the elevation of tree canopy can be modeled into Canopy Height Model (CHM) by subtracting the
143
Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Digital Surface Model (DSM) and the DTM. Based on this research, tree height distributions in the area are 49.15% between 10.3-20.3 meter, 42.75% between 0.310.3 meter, 8.1% between 0-0.3 meter, and 0.02 % between 20.3-30.3 meter, while the total volume of canopy is 8684.242 m3. Keywords: Light Detection and Ranging, Canopy Height Model, forest structural parameter, tree height, canopy volume. 1.
PENDAHULUAN
Hutan merupakan media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang merupakan kesatuan siklus yang mendukung kehidupan (Reksohadiprodjo, et al., 2000). Proteksi terhadap berbagai Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung dalam hutan merupakan aspek yang sangat penting dalam rangka menjaga keseimbangan lingkungan. Parameter struktural hutan, seperti ketinggian pohon, lebar tajuk dan tutupan kanopi, juga diperlukan dalam studi biomassa, siklus biogeokimia, fungsi-fungsi ekologi, proses pertukaran energi, cadangan air, serta transfer radiasi dalam sistem hutan (Huang, et al., 2009). Oleh karena itu, pengukuran parameter struktural hutan menjadi langkah krusial untuk mengidentifikasi potensi serta membantu dalam rangka pengambilan keputusan pada pengelolaan hutan. Proses pengukuran parameter struktural hutan secara konvensional umumnya dilakukan melalui pendataan secara manual pada setiap pohon berupa ketinggian, lebar kanopi, Diameter at Breast Height (DBH), serta koordinat masing-masing pohon. Adapun cara lain dengan mengambil beberapa sampel untuk setiap kelas atau spesies vegetasi, kemudian dilakukan ekstrapolasi untuk memprediksi parameter pada pohon-pohon lain yang sama kelas atau spesiesnya pada hutan tersebut. Cara seperti ini tentu saja memerlukan waktu yang sangat lama atau tingkat akurasi yang rendah. Sehingga diperlukan teknologi baru yang cepat dan akurat sebagai pendukung. Penginderaan jauh sebagai metode yang dapat mengidentifikasi objek di permukaan bumi tanpa langsung bersentuhan dengan objeknya menawarkan teknologi yang dapat membantu proses pengukuran dan inventarisasi secara cepat dan akurat bahkan untuk area yang luas. Sebelumnya, teknologi fotogrametri udara dan InSAR (Interferometry Synthetic Aperture Radar) telah digunakan untuk memperoleh informasi struktural hutan dengan berbagai skala pengukuran (Gong, et al., 2002). Namun demikian, teknologi-teknologi tersebut membutuhkan proses image matching dari beberapa sudut pengambilan yang berbeda-beda untuk mendapatkan informasi secara 3-Dimensi, sehingga sering kali mengalami kesulitan dalam pengambilan data dan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Teknologi LiDAR (Light Detection and Ranging) merupakan salah satu teknologi penginderaan jauh yang dapat menyediakan informasi vertikal dari objek di permukaan bumi (Diedershagen, et al., 2003). Selain dapat memberi informasi mengenai karakteristik topografi permukaan tanah, data LiDAR juga memungkinkan untuk mengetahui tutupan kanopi pohon, parameter vegetasi (seperti tinggi dan kerapatan
144
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
pohon), serta dimensi kanopi yang sangat penting dalam pemodelan aktivitas lingkungan (Popescu, et al., 2003). Pada tahun 1980-an, Canadian Forestry Service mendemonstrasikan penerapan LiDAR untuk mengestimasi ketinggian batang pohon, kerapatan tajuk, serta elevasi permukaan tanah di bawah kanopi hutan (Aldred, et al., 1985). Kemampuan LiDAR ini menjadikan hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk manajemen hutan dan analisis kehutanan lebih lanjut seperti perhitungan biomassa, stok karbon, serta analisis aliran air. Kelapa sawit (Elaeis Sp.) merupakan jenis tanaman palem yang banyak dibudidayakan saat ini. Selain iklim Indonesia yang sangat mendukung untuk pertumbuhan tanaman ini, produk yang dihasilkan berupa minyak sawit yang membawa nilai ekonomi tinggi ini membuat perkebunan kelapa sawit semakin banyak dibudidayakan di Indonesia. Pertumbuhan kelapa sawit memiliki karakteristik dan kebutuhan tersendiri, oleh karena itu diperlukan pemantauan dan pengelolaan yang baik. Maka dalam penelitian ini akan dilakukan pemanfaatan teknologi LiDAR untuk pengukuran parameter struktural perkebunan kelapa sawit. 2.
DATA DAN AREA STUDI
Pada penelitian ini, area studi yang digunakan ialah area perkebunan kelapa sawit seluas 1 km2. Perkebunan ini terletak di Sumatera Selatan pada 3 44’ 25.3228” LS sampai dengan 3 44’ 57.9334” LS serta 103 36’ 21.2987” BT sampai dengan 103 36’ 53.7612” BT.
Gambar 1. Lokasi area studi
Kelapa sawit (Elaeis sp.) merupakan salah satu jenis tanaman dari famili Arecaceae yang merupakan suku pinang-pinangan atau biasa disebut palem. Kelapa sawit akan tumbuh dengan baik pada iklim tropis pada ketinggian antara 0-500 m dari permukaan laut. Tanaman ini memiliki daun yang tersusun menyirip dengan lebar masing-masing
145
Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
daun cukup kecil sehingga celah antar daun cukup banyak. Sedangkan bentuk kanopinya melebar pada bagian atasnya. Selain terdiri dari perkebunan kelapa sawit, kurang lebih 30% dari area studi ini juga terdiri area pertambangan. Sehingga elevasi permukaan tanah yang dimiliki cukup beragam, yaitu cukup landai pada area perkebunan, namun sangat curam pada area pertambangan. Sedangkan data yang digunakan berupa data point cloud LiDAR berformat .LAS dengan jumlah point cloud 233.020 titik dankerapatan 0,225 titik/m2 yang diakuisisi pada September 2009. Data point cloud memiliki koordinat 3-Dimensi yang mengacu pada WGS 1984 dan sistem proyeksi UTM zona 48 S. Selain itu digunakan pula data orthophoto true color dengan ketelitian 15 cm yang diambil secara bersamaan dengan akuisisi data LiDAR. Orthofoto digunakan sebagai data pendukung untuk membantu dalam pengolahan data LiDAR dalam hal identifikasi objek. 3.
METODOLOGI
3.1 Klasifikasi point clouds Data RAW LiDAR hasil proses awal pada komponen-komponennya akan berupa point clouds yang belum terklasifikasi yang dapat berasal dari berbagai komponen seperti yang terdapat dalam persamaan (Meng, et al., 2010): (1) di mana merupakan pengukuran dari sensor LiDAR, sebagai elevasi permukaan tanah, sebagai elevasi objek selain permukaan tanah, dan merupakan hasil pengukuran yang tidak diinginkan. Noise umumnya berasal dari gangguan pada wahana terbang, sensor, atau objek lain seperti burung dan awan (Meng, et al., 2010). Oleh sebab itu, data point cloud harus diklasifikasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Proses klasifikasi atau penyaringan dilakukan untuk memisahkan antara point cloud hasil pemantulan dari satu jenis objek dengan jenis objek lainnya, maupun dengan hasil pemantulan dari permukaan tanah (Sithole, 2005). Dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap klasikasi objek, yaitu ground filtering, klasifikasi vegetasi, serta klasifikasi objekobjek lainnya. Klasifikasi dilakukan melalui dua metode, yakni semi-otomatis dan manual. Klasifikasi semi-otomatis berarti proses klasifikasi yang dilakukan dengan bantuan perangkat lunak computer secara otomatis namun dalam penentuan batas-batas yang diperlukan, ditentukan sendiri oleh pengguna. Penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak Microstation v8 yang diintegrasikan dengan TerraSolid untuk proses klasifikasi. Tahap klasifikasi yang pertama adalah ground filtering, di mana pada tahap ini dilakukan pemisahan antara ground point dengan non-ground point. Proses ini menggunakan parameter:
146
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
1. Maximum building size : ukuran panjang atau lebar terbesar dari semua bangunan pada area survei, yang juga berarti jarak maksimum antara dua buah titik permukaan tanah. 2. Terrain angle : sudut kemiringan terbesar yang diperbolehkan bagi dua buah titik yang berketetanggaan untuk dapat dianggap sebagai satu kelas permukaan tanah. 3. Iteration angle : perubahan sudut kemiringan maksimum antara dua iterasi selama analisis permukaan tanah. 4. Iteration distance : jarak maksimum antara suatu titik yang akan diklasifikasi tegak lurus dengan model permukaan tanah yang sudah ada.
Gambar 2. Parameter ground filtering dalam perangkat lunak Terra Solid (Hugelschaffer, 2004)
Dalam proses ground filtering, penelitian ini menggunakan batasan parameter sebagai berikut: Tabel 1. Tabel parameter ground filtering
Parameter Maximum building size Maximum terrain angle Iteration angle Iteration distance
Nilai 60 meter 88 derajat 6 derajat ke permukaan tanah 1 m ke permukaan tanah
Karakteristik umum yang dimiliki perkebunan kelapa sawit pada umumnya cukup landai. Namun, area pertambangan memiliki tingkat kecuraman sangat tinggi pada permukaan tanahnya. Hal ini dibuktikan dengan sangat banyaknya ground point yang tidak terklasifikasi pada proses klasifikasi semi-otomatis. Oleh karena itu, setelah proses ground filtering dilakukan untuk seluruh area, dilakukan pula ground filtering khusus pada area pertambangan saja. Proses ground filtering ini dilakukan dengan terlebih dahulu mendeliniasi area pertambangan dari area di sekitarnnya.
147
Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 3. Poligon batas area pertambangan
Batasan parameter yang digunakan pada tahap ini adalah : Tabel 2. Tabel parameter ground filtering area pertambangan
Parameter Maximum building size Maximum terrain angle Iteration angle Iteration distance
Nilai 60 meter 88 derajat 12 derajat ke permukaan tanah 1 m ke permukaan tanah
Kemudian dilakukan klasifikasi vegetasi menjadi vegetasi rendah, sedang, dan tinggi di mana parameternya ditentukan berdasarkan keperluan penelitian. Pada penelitian ini vegetasi rendah didefinisikan sebagai rumput-rumputan, vegetasi sedang sebagai semak belukar, dan vegetasi tinggi sebagai pohon-pohon. Setelah klasifikasi vegetasi selesai, maka objek-objek lainnya akan diklasifikasi ke dalam kelas objek-objek lain karena tidak diperlukan dalam penelitian ini. Tabel 3. Tabel parameter klasifikasi vegetasi
Kelas Vegetasi Vegetasi rendah Vegetasi sedang Vegetasi tinggi
Tinggi (dari permukaan tanah) 0 – 0.30 meter 0.31 – 1 meter >1 meter
Pada klasifikasi semi-otomatis sering kali terjadi kesalahan klasifikasi. Oleh karena itu, diperlukan pula pengecekan dan klasifikasi secara manual untuk memastikan semua data berada pada kelas yang sesuai. Klasifikasi secara manual dilakukan dengan melakukan pengecekan data dari tampak samping (side seeing), pengecekan dengan bantuan data ortofoto, maupun dengan membuat editable shaded model yaitu model permukaan tanah sementara.
148
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
3.2 Rasterisasi data point clouds Rasterisasi merupakan proses mengkonversikan data vektor menjadi data raster. Pada penelitian ini dilakukan konversi terhadap seluruh groud points menjadi raster untuk memperoleh raster permukaan tanah atau DTM berformat 2-Dimensi. Di mana nilai ketinggian direpresentasikan sebagai nilai kecerahan pada setiap piksel. Besarnya resolusi piksel dipengaruhi oleh rata-rata jarak antara titik, yaitu 2,075 m. Sehingga besar resolusi piksel ialah 6 meter atau tiga kali dari rata-rata jarak antar titik (Esri, 2010).
Gambar 4. DTM hasil rasterisasi ground point
Karena kerapatan titik untuk ground point sangat rendah, cukup banyak piksel yang tidak memiliki nilai atau null value. Maka dilakukan interpolasi pada piksel-piksel tersebut dengan memanfaatkan algebra peta dengan fungsi sebagai berikut (Esri, 2010): Con(IsNULL([inputraster]), FOCALMEAN ([inputraster],RECTANGLE, 3, 3, data), [inputraster])
149
Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 5. DTM yang telah diinterpolasi
Rasterisasi juga dilakukan pada ground points, low, medium, dan high vegetation points. Gabungan dari kedua kelas ini dirasterisasi untuk membuat model permukaan DSM. Oleh karena itu, dalam proses rasterisasi hanya nilai data titik dengan nilai ketinggian tertinggi (first return) saja yang akan direpresentasikan sebagai nilai ketinggian pada DSM.
Gambar 6. DSM hasil rasterisasi ground dan vegetation points
3.3 Pengukuran Distribusi Ketinggian Pohon Perhitungan distribusi ketinggian pohon dilakukan dengan membuat Canopy Height Model (CHM). Model 3-Dimensi ini dibuat dengan mengurangkan nilai-nilai ketinggian pada DSM dengan nilai ketinggian pada DTM yang telah dibuat sebelumnya.
150
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Berdasarkan CHM yang dihasilkan, ketinggian maksimum dari pohon adalah 24.845 meter dan yang terendah adalah -0.07. Sedangkan pada penelitian ini kelas vegetasi rendah atau yang dianggap sebagai pantulan dari rumput-rumputan merupakan vegetasi dengan ketinggian sampai dengan 0.30 meter dari permukaan tanah. Untuk mendukung keperluan perhitungan kanopi pohon berdasarkan penelitian Naesset (2004) dan Hollaus,dkk. (2009), maka distribusi tinggi pohon akan dibagi menjadi 3 buah kelas dengan interval 10 meter di mana ketinggian sampai 0.30 meter tidak akan diperhitungkan. 3.4 Perhitungan Volume Kanopi Berdasarkan data ketinggian pohon dan hasil perhitungan parameter , maka dapat dilakukan perhitungan volume kanopi pohon. Volume kanopi dihitung berdasarkan jumlah kelas ketinggian pohon dengan interval 10 meter. 4.
HASIL PENELITIAN
Distribusi ketinggian pohon beserta parameter porsi relatif ketinggian pantulan pertama (kanopi pohon) pada suatu kelas interval di daerah studi ( ) adalah: Tabel 4. Tabel hasil pengukuran ketinggian pohon dan parameter p,fei
0
H Maximum 0,3
Rata-rata (Chmean) 0,120119
1
0,301
10,3
2
10,301
20,3
3
20,301
30,3
Kelas
H Minimum
-
Jumlah
Jumlah Piksel
p,fei
2253
0,080779
6,937095
11923
0,427486
11,62341
13707
0,491449
22,38798
8
0,000287
27891
1
151
Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 7. Canopy Height Model hasil pengolahan data
Sedangkan volume kanopi pohon pada area studi ini adalah: Vcan,1 = 0,427486 x 1000 m x 6,937095 = 2965,508 m3 Vcan,2 = 0,491449 x 1000 m x 11,62341 = 5712,313 m3 Vcan,3 = 0,000287 x 1000 m x 22,38798 = 6,422 m3 dengan 6 x 6 sebagai resolusi dari piksel pada raster CHM. Sedangkan volume kanopi pohon secara keseluruhan ini didefinisikan sebagai jumlah dari semua kelas: (2) Maka volume kanopi pohon pada area studi 100 Ha perkebunan kelapa sawit, Sumatera Selatan ini adalah 8684,242 m3. 5.
ANALISIS
5.1 Analisis Klasifikasi Point Clouds Klasifikasi data point cloud dibagi menjadi lima buah kelas utama melalui proses klasifikasi semi-otomatis dan manual. Secara umum, pada hasil klasifikasi semiotomatis tidak banyak ditemukan titik-titik yang mengalami kesalahan klasifikasi. Hasil ini mengindikasikan bahwa parameter yang digunakan sudah cukup merepresentasikan area studi secara umum. Sementara beberapa titik yang mengalami kesalahan klasifikasi dapat disebabkan oleh parameter yang diterapkan tidak cocok untuk semua tempat dan adanya anomali elevasi yang tidak dapat diidentifikasi.
152
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Adapun hasil klasifikasi yang cukup banyak mengalami kesalahan ialah pada klasifikasi vegetasi rendah. Vegetasi yang sangat rendah atau puncaknya dekat sekali dengan permukaan tanah sering kali tidak terekam oleh sensor karena sensor merekam pantulan yang memiliki besar gelombang cukup tinggi. Tentunya vegetasi yang terlalu dekat dengan tanah memilki gelombang pantul yang tidak cukup tinggi bila dibandingkan dengan gelombang pantul dari permukaan tanah dalam selang waktu yang sangat singkat sehingga hanya pantulan dari permukaan tanah saja yang terekam. 5.2 Analisis Proses Rasterisasi Pengukuran parameter struktural dilakukan dengan metode area karena data point cloud LiDAR yang digunakan memiliki kerapatan titik yang cukup rendah. Sedangkan perhitungan parameter struktural hutan memerlukan kerapatan titik yang sangat tinggi agar bentuk vegetasi dapat direpresentasikan dengan baik. Karakteristik tanaman kelapa sawit yang memiliki kanopi melebar di bagian atasnya serta ketinggian daun-daun yang dapat melebihi puncak batangnya juga mengakibatkan proses deteksi individual pohon sulit dilakukan. Pada hasil rasterisasi, diperoleh DTM dan DSM yang juga memiliki nilai elevasi negatif. Hal ini disebabkan karena area perkebunan kelapa sawit ini berada pada ketinggian yang cukup rendah. Sedangkan menurut DTM dan DSM yang diperoleh, dapat dilihat bahwa daerah yang memiliki elevasi negatif berada pada area galian tambang. 5.3 Analisis Pengukuran Ketinggian Pohon Pada CHM yang dihasilkan juga terdapat nilai negative sehingga tidak masuk akal. Kesalahan ini dapat disebabkan oleh adanya point cloud vegetasi yang masih mengalami kesalahan klasifikasi dan luput dari pengecekan. Point cloud yang seharusnya merupakan groud point diklasifikasi sebagai vegetasi yang elevasinya lebih rendah dari pada elevasi permukaan tanah di sekitarnya. Maka saat permukaan tanah diinterpolasi, vegetasi tersebut akan teridentifikasi berada di bawah permukaan tanah dan mengakibatkan nilai negatif pada raster CHM. 5.4 Analisis Perhitungan Volume Kanopi Perhitungan volume kanopi pohon menunjukkan hasil yang cukup masuk akal untuk area studi. Di tambah dengan kerapatan antar pohon yang cukup tinggi membuat volume kanopi lebih representatif karena pemodelan ketinggiannya secara umum kontinyu. Namun, tingkat akurasi perhitungan tentunya akan cukup berkurang karena penggunaan nilai rata-rata setiap kelas sebagai representasi elevasi kelas yang memiliki interval cukup tinggi yaitu 10 meter. 6. KESIMPULAN Berdsarkan studi ini juga dapat disimpulkan bahwa parameter struktural perkebunan kelapa sawit, Sumatera Selatan, memiliki parameter distribusi ketinggian pohon:
153
Lissa Fajri Yayusman, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Tabel 5. Tabel hasil perhitungan ketinggian pohon
Kelas 1 2 3
H minimum 0 0.301 10.301 20.301
H maximum 0.3 10.3 20.3 30.3
p,fei 0.080779 0.427486 0.491449 0.000287
Selain itu juga diperoleh hasil perhitungan volume kanopi pohon pada area studi sebesar 8684,242 m3. Dari seluruh tahapan studi yang dilakukan juga dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak metode untuk melakukan pengukuran parameter struktural hutan dan perkebunan. Metode rasterisasi yang digunakan pada studi ini cukup efektif untuk melakukan pengukuran parameter struktural perkebunan kelapa sawit. Metode ini disesuaikan dengan kondisi data dan area studi yang dipakai. Namun, secara keseluruhan hasil dari metode ini kurang representatif atau akurat karena pengukuran dilakukan secara global berdasarkan area, dan bukanlah berdasarkan perhitungan pada masing-masing individual pohon. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada staff dari Center for Remote Sensing ITB atas segala bantuan dan masukan dalam kelancaran penelitian ini dan juga kepada PT. McElhanney Indonesia yang telah membantu dalam penyediaan data lapangan. DAFTAR REFERENSI Aldred, A., & Bonner, M. 1985. Application of Airborne Lasers to Forest Surveys. Diedershagen, O., Koch, B., & Weinacker, H. 2003. Automatic Estimation of Forest Inventory Parameters Based on LiDAR, Multispectral and FOGIS Data. Technical Session. Esri. 2010. Lidar Analysis in ArcGIS 9.3.1 for Forestry Applications. Esri White Paper. Gong, P., Sheng, Y., & Biging, G. 2002. 3D Model-Based Tree Measurement from High Resolution Aerial Imagery. Huang, H., Gong, P., Cheng, X., Clinton, N., & Li, Z. 2009. Improving Measurement of Forest Structural Parameters by Co-Registering of High Resolution Aerial Imagery and Low Density LiDAR Data. Sensors 2009, 9, 1541-1558. Hugelschaffer, D. 2004. Use of LiDAR in Forestry Applications. Meng, X., Currit, N., & Zhao, K. 2010. Ground Filtering Algorithms for Airborne LiDAR Data: A Review of Critical Issues. Journal of Remote Sensing 2010, 2, 833-860.
154
Perhitungan Parameter Struktural Hutan Menggunakan Data Light Detection and Ranging Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Popescu, S. C., Wyne, R. H., & Nelson, R. F. 2003. Measuring Individual Tree Crown Diameter with Lidar and Assessing Its Influence on Estimating Forest Volume and Biomass. Canadian Journal of Remote Sensing, Vol 29, No. 5, pp. 564-577. Reksohadiprodjo, S., & Brodjonegoro. 2000. Ekonomi Lingkungan. Sithole, G. 2005. Segmentation and Classification of Airborne Laser Scanner Data. Delft, The Netherlands: NCG.
BIOGRAFI PENULIS Lissa Fajri Yayusman
Lissa lahir di Bekasi, Jawa Barat pada 18 November 1990. Anak kedua dari tiga bersaudara ini menempuh pendidikan SD, SMP, dan SMA di Kota Bekasi. Kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Teknik dalam bidang Teknik Geodesi dan Geomatika pada tahun 2011. Saat ini Lissa masih aktif berkarya dalam bidang penginderaan jauh di Pusat Penginderaan Jauh ITB.
155
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi (Studi Kasus : Kota Davao, Filipina)
Muhammad Arief Vannessyardi1, Daniel Adi Nugroho2, Ketut Wikantika1 1 Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung. 2 PT McElhanney Indonesia e-mail :
[email protected]
Abstrak Fenomena meningkatnya pertumbuhan urbanisasi dan industrialisasi berpengaruh terhadap kebutuhan sistem perencanaan kota yang baik. Banyak teknik yang dapat digunakan untuk membangun sistem perencanaan kota, salah satu teknik yang akurat dan memiliki kepadatan data yang tinggi adalah teknik dengan menggunakan LIDAR(Light Detection and Ranging). Model kota 3D dapat dihasilkan dari data LIDAR. Hasil utama dari teknik LIDAR adalah Digital Surface Model (DSM) dan Digital Elevation Model (DEM) yang nantinya dapat digunakan untuk membangun model kota 3 dimensi. Model kota 3D dari daerah pusat kota dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam aplikasi, contohnya adalah operasi militer, manajemen bencana alam, pemetaan gedung dan ketinggian gedung, simulasi gedung baru, pembaharuan dan pelestarian data kadaster, rekonstruksi bangunan, dll. Pada penelitian ini penulis menggunakan data LIDAR dan orthophoto dari kota Davao di Filipina. Metode yang penulis gunakan dalam pembuatan model kota tiga dimensi ini adalah building extraction menggunakan data LIDAR dan orthophoto. DEM area penelitian dihasilkan dengan cara pembuatan TIN dari point cloud yang berada pada kelas ground area penelitian. Hasil akhir yang diharapkan adalah model bangunan 3D diatas DEM area penelitian. Kata kunci: model kota 3D, LIDAR, orthophoto, DEM, DSM, building extraction.
Abstract The phenomenon of the increasing growth of urbanization and industrialization affect the need for good city planning system. Many techniques can be used to build the city planning system, one technique that is accurate and has a high density of data is a technique using a LIDAR (Light Detection and ranging). 3D city models can be generated from LIDAR data. The main results of the lidar technique is a Digital Surface Model (DSM) and Digital Elevation Model (DEM) that can later be used to construct three-dimensional models of cities. 3D city models from the downtown area can be utilized for various applications, for example, are military operations disaster management, mapping of buildings and building heights, simulating the new building, renewal and preservation of cadastral data, reconstruction of buildings, etc.. In this
156
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
study the authors used data from the LIDAR and orthophoto of Davao city in the Philippines. The method used in the manufacture of three-dimensional model of the city is building extraction using LIDAR and orthophoto data. DEM of research area generated by the manufacture of TIN from point cloud that is on ground class of research area. The end result, as expected, is a 3D building model over the study area DEM. Keywords: 3D city model, LIDAR, orthophoto, DEM, DSM, building extraction. 1. PENDAHULUAN Kebutuhan akan adanya Digital Terrain Model (DTM) yang berketelitian tinggi semakin meningkat. Salah satu teknik baru untuk pengadaan DTM berketelitian tinggi adalah dengan menggunakan LIDAR. LIDAR merupakan suatu teknologi baru yang menggunakan sinar laser, yang dibawa pada pesawat udara, untuk melakukan pengukuran jarak. Diluncurkannya satelit Global Positioning System memungkinkan ditentukannya posisi suatu wahana yang bergerak dengan ketelitian yang tinggi, dengan mengacu pada suatu sistem koordinat tertentu. Jika posisi sensor dapat ditentukan dengan ketelitian yang cukup tinggi, dan juga jarak dan sudut antara sensor dengan titik obyek di permukaan bumi, maka posisi obyek tersebut dapat juga ditentukan. Saat ini berbagai perusahaan pembuat alat ini mengklaim bahwa ketelitian yang didapatkan dari LIDAR sekitar 6 inchi (± 15 cm). Tingkat ketelitian seperti ini memungkinkan dibuatnya Digital Terrain Model (DTM) yang sangat teliti. Karakteristik menarik dari LIDAR adalah dapat diaturnya frekuensi pancaran sinyal, yang memungkinkan diaturnya densiti titik tiap satuan luas tertentu. LIDAR telah menjadi teknik yang diciptakan untuk menurunkan informasi geometris dalam tiga dimensi dengan akurasi desimeter (+ 1,5 dm atau +15 cm)(Lohr, 1998, Wehr dan Lohr, 1999). Menggunakan teknik LIDAR ini, DSM yang akurat dalam menggambarkan dasar dan fitur di atas permukaan tanah dapat dibangun dalam waktu yang relatif singkat. Dataset LIDAR dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam aplikasi (Gruen et al. 1995, 1997). Salah satu aplikasi dari LIDAR adalah pembuatan model 3D dari bangunan dan benda-benda buatan manusia lainnya serta pembangunan DEM dengan cara ‘melucuti’ fitur-fitur yang ada di atas permukaan tanah (Hug, 1996, Jaafar et al, 1999a). 2. KONSEP LIDAR Sistem LIDAR mengacu pada suatu sistem koordinat WGS 84 dan sistem navigasi yang digunakan adalah alat INS (Inertial Navigation System) yang dapat mencatat sikap pesawat udara. Hal yang perlu diketahui adalah integrasi alat GPS/IMU dalam hal mencatat waktu dengan ketelitian tinggi. GPS mencatat waktu (sampling rate) setiap detik, sedangkan IMU mencatat sikap pesawat (roll, pitch, yaw) 200 posisi setiap detik dan data LIDAR sebanyak 50.000 sampai 200.000 pulsa setiap detik. Sehingga
157
Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
trayektori atau lintasan pesawat dalam koordinat (x,y,z) dapat diketahui. Dari beberapa faktor inilah yang membuat ketelitian data LIDAR diperoleh dari saling keterkaitan beberapa komponen utama sistem LIDAR.
Gambar 1. Interaksi Antar Komponen LIDAR
Pengamatan posisi yang dilakukan komponen GPS adalah dengan metode differensial kinematik dengan menggunakan data fase yang memiliki ketelitian lebih tinggi dibandingkan dengan data pseudorange. Data yang dihasilkan oleh GPS adalah berupa nilai-nilai koordinat titik ketika wahana udara melakukan scanning terhadap permukaan tanah. Pada komponen INS di dalamnya terdapat instrumen IMU (Inertial Measurement Unit) yang dapat mendeteksi pergeseran rotasi wahana terbang (pitch, roll, dan heading) terhadap sumbu-sumbu sistem referensi terbang sehingga didapatkan besar sudut gerak rotasi sumbu-sumbu koordinat wahana udara terhadap sumbu-sumbu koordinat sistem referensi terbang. Selain itu IMU juga mampu mendeteksi perubahan percepatan pada wahan udara. Komponen sistem sensor laser terdiri atas sensor laser dan cermin. Sensor laser melakukan pengukuran jarak antara sensor terhadap permukaan tanah. Pengukuran jarak ada yang menggunakan prinsip beda waktu dan ada yang menggunakan prinsip beda fase (Baltsavias, 1999b). Pada pengukuran jarak dengan prinsip beda waktu, maka
R merupakan jarak antara sensor dan obyek yang diukur, c merupakan kecepatan cahaya, sedangkan t merupakan waktu tempuh sinyal. Karena sinyal menempuh perjalanan dari sensor ke obyek, dan kembali lagi ke sensor, maka faktor 2 harus dimasukkan. Pengukuran waktu tempuh sinyal dapat dilakukan sampai mendekati level 10-10 detik (Ackermann, 1999).
158
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Kepadatan dari suatu data LIDAR merupakan parameter penting dalam pengukuran. Kepadatan sebuah data yang dihasilkan oleh komponen laser scanner sangat bergantung dari aplikasi data yang diinginkan dan dipengaruhi oleh ketinggian pesawat, kecepatan pesawat, frekuensi scan, pola scanning, kekuatan pulsa, geometri tanah dan reflektifitas dari objek yang dipantulkan. Ketiga data yang dihasilkan oleh GPS, INS, dan laser scanner tersebut diolah secara berurutan untuk mendapatkan produk akhir berupa data titik-titik ketinggian permukaan bumi atau DTM. DTM adalah representasi statistik permukaan tanah yang kontinyu dari titik-titik yang diketahui koordinat x, y, z-nya pada suatu sistem koordinat tertentu. (Petrie dan Kerrie, 1991) DTM adalah informasi digital mengenai ketinggian (atau variansi relief) dari suatu area. (Spatial Data System Consulting, 2002) dari berbagai referensi di atas dapat disimpulkan bahwa DTM adalah pemodelan permukaan bumi ke dalam suatu model digital permukaan tanah tga dimensi dari titik-titik yang mewakili permukaan tanah tersebut yang telah diketahui koordinat tiga dimensinya. Pada penelitian ini akan memfokuskan pada pemodelan kota tiga dimensi dari area studi kota Davao di Filipina dengan menggunakan metode building extraction dari data point cloud LIDAR dan orthophoto area penelitian. 3. SPESIFIKASI DATA Area studi pada penelitian ini terletak pada Kota Davao, Filipina yang berada pada zona UTM 51 Utara. Area studi adalah sebuah petak lahan seluas 0.5 km x 1 km yang terletak pada 7° 04' 5.2860" Lintang Utara sampai 7° 04' 37.9084" Lintang Utara dan 125° 36' 35.1546" Bujur Timur sampai 125° 36' 51.6195" Bujur Timur. Data point cloud LIDAR yang diteliti berformat LAS dan memiliki point cloud berjumlah 1.683.013 titik dengan ukuran data sebesar 32,1 MB. Data orthophoto yang digunakan berformat Tiff dan memiliki ukuran pixel sebesar 0.5 m x 0.5 m dengan ukuran data sebesar 1,61 MB. 4. METODE 4.1 Point Classification Tahap yang paling penting dalam mengolah data point cloud LIDAR untuk pemodelan kota tiga dimensi adalah proses point classification. Dalam tahap ini dilakukan pemisahan point cloud LIDAR yang masih belum terklasifikasi ke dalam kelas-kelas objek yang memiliki sifat dan karakteristik yang relatif sama. Pada umumnya terdapat 5 kelas yang biasanya digunakan pada saat melakukan klasifikasi point cloud LIDAR, yaitu kelas ground, low vegetation, medium vegetetion, high vegetation, dan kelas building. Walaupun pada tahap ini penulis mengklasifikasi data point cloud LIDAR ke dalam 5 kelas tersebut, namun pada akhirnya kelas yang akan digunakan untuk pemodelan kota tiga dimensi adalah kelas ground dan building.
159
Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
4.1.1 Automatic Classification Terdapat dua proses penting di dalam tahapan point classifcation, yaitu proses automatic classification dan manual classification. Pada proses automatic classification, point cloud LIDAR secara otomatis diklasifikasikan oleh program ekstensi Terra Scan ke dalam lima kelas yang sudah disebutkan di atas sesuai dengan kemiripan sifat dan karakteristik dari masing-masing kelas. 4.1.2 Manual Classification Proses manual classification adalah proses pemeriksaan data point cloud hasil klasifikasi dari proses automatic classification, apakah sudah masuk ke dalam kelas yang tepat sesuai dengan karakteristik dari point cloud tersebut. Pada tahapan manual classification ini penulis harus memeriksa secara teliti semua point cloud yang ada di area studi dengan cara melakukan cross section atau membuat penampang melintang dari point cloud yang sudah terklasifikasi. Jika setelah memeriksa penampang melintang dari point cloud tersebut dan ternyata didapat beberapa titik yang menyimpang dari kelas yang seharusnya, maka penulis harus secara manual memasukkan titik-titik tersebut ke dalam kelas-kelas yang sesuai menurut interpretasi dan pemahaman penulis terhadap objek tersebut.
Gambar 2. cross section
Pada Gambar 2 dapat dilihat terdapat point cloud yang secara jelas menggambarkan kelas ground dan kelas vegetation sehingga bila terdapat titik-titik yang menyimpang dapat terlihat dengan jelas dan dapat langsung kita masukkan ke kelas yang sesuai secara manual.
160
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 3. cross sction
Pada Gambar 3 dapat dilihat adalah contoh pemeriksaan penampang melintang dari point cloud pada kelas ground, vegetation, dan building yang menginterpretasikan objek tanah, pepohonan dan bangunan. Setelah point cloud terkalsifikasi secara otomatis dan manual, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah pemisahan titik-titik dalam kelas ground dan kelas building dari kelaskelas yang lain untuk selanjutnya dilakukan pengolahan lebih lanjut. Titik-titik pada kelas ground akan selanjutnya diolah menjadi DEM TIN (Triangular Irregular Network) sedangkan titik-titik dalam kelas building akan diolah menjadi model bangunan tiga dimensi. 5. HASIL Hasil yang didapatkan setelah dilakukan pengolahan terhadap data point cloud LIDAR dan data orthophoto menggunakan program Microstation dengan ekstensi Terra Scan, Terra Model , dan Terra Photo dari penyedia program Terra Solid. Terra Scan digunakan untuk melakukan klasifikasi point cloud dan ekstraksi Model bangunan, Terra Model digunakan untuk pembuatan DEM, dan Terra Photo digunakan untuk meng-overlay hasil dari model DEM dan model bangunan dengan orthophoto. 5.1 Pembuatan Model Bangunan 3D
Gambar 4. Classified Point cloud
161
Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 4 menampilkan point cloud yang sudah melewati proses semi-auto dan manual classification, dapat dilihat point cloud yang berwarna merah masuk ke kelas ground, biru muda ke kelas vegetation dan ungu ke kelas building.
Gambar 5. Building Point cloud Extraction
Gambar 6. Building Model Extraction
Gambar 6 menampilkan hasil dari pemodelan bangunan yang di-extract dari point cloud pada kelas building saja, seperti terlihat pada Gambar 5.
Gambar 7
Gambar 7 menampilakan pemeriksaan model bangunan dengan orthophoto secara manual untuk memeriksa apakah bentuk-bentuk atap dari kerangka model sudah sesuai dengan bentuk-bentuk atap bangunan pada orthophoto.
162
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 8. Pemeriksaan dan Pengeditan tiap-tiap Model
Bila pada tahap pemeriksaan kerangka model dengan orthophoto ternyata ada beberapa bentuk kerangka atap atau bangunan yang tidak sesuai dengan bentuk pada orthophoto, maka model kerangka bangunan tersebut harus di-edit secara manual satu per satu setiap bangunannya. Seperti terlihat pada Gambar 8 Hasil akhir yang didapat dari pemodelan bangunan tiga dimensi ini adalah model bangunan tiga dimensi yang sudah diperiksa dengan orthophoto dan di-overlay dengan orthophoto untuk memberikan warna pada setiap bangunan sesuai keadaan sesungguhnya seperti terloihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Hasil Model Bangunan Tiga Dimensi
5.2 Pembuatan Digital Terrain Model Digital Terrain Model (DTM) dari area penelitian dibuat dengan cara pembuatan TIN yang dibentuk dari point cloud pada kelas ground yang sudah dipisahkan dari kelaskelas yang lain untuk kemudian selanjutnya diolah menjadi DTM TIN, seperti yang akan diperlihatkan pada Gambar 10.
163
Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 10. Proses Pembentukan DTM dari Point Cloud Ground menjadi DTM TIN
5.3 Pembuatan Model Kota Tiga Dimensi Hasil Akhir dari penelitian ini adalah model kota tiga dimensi yang didapat dari hasil overlay dari 3 komponen utama, yaitu: model bangunan yang di-extract dari area penelitian, DTM TIN dari area penelitian dan orthophoto area penelitian.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 11. (a)Overlay Model Bangunan dan DTM TIN, (b)Hasil Akhir Model Bangunan Tiga Dimensi Hasil Overlay 3 komponen, (c) dan (d)Model Kota Tiga Dimensi Skala Diperbesar.
164
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
6. ANALISIS 6.1 Analisis Data Data LIDAR berformat LAS yang digunakan memiliki kerapatan (point cloud density) sebesar 2 point cloud per 1 m2. Padahal untuk melakukan pemodelan tiga dimensi sebaiknya menggunakan data LIDAR yang memiliki kerapatan point cloud sebesar 6-9 point cloud per 1 m2. Oleh sebab itu walaupun pemodelan tiga dimensi yang dilakukan sudah cukup menggambarkan keadaan kota Davao, namun sesungguhnya pemodelan kota tiga dimensi yang dilakukan masih dapat lebih dimaksimalkan lagi jika menggunakan data LIDAR dengan kerapatan point cloud yang lebih tinggi. Pada penelitan ini dikarenakan banyaknya objek yang terdapat pada area pemodelan sehingga diperlukan waktu yang lebih untuk pengolahan data dan analisis objek karena harus dilakukan analisis satu persatu. Data orthophoto yang digunakan memiliki resolusi pixel 0.5 m x 0.5 m sehingga memiliki ketelitian yang kurang bagus. Pada saat dilakukan pembandingan atau pemeriksaan antara objek model bangunan hasil pengolahan dengan objek yang sama pada orthophoto, objek bangunan pada orthophoto kurang terlihat jelas pada saat dilakukan perbesaran skala sehingga batas-batas atap bangunannya kurang terlihat jelas. Akibatnya hasil pemeriksaan objek bangunan kurang meyakinkan. Pada data orthophoto tersebut juga terdapat pergeseran relief pada beberapa objek bangunan yang tersebar secara acak. 6.2 Analisis Pengolahan Pada saat melakukan pengolahan data point cloud LIDAR menggunakan metode klasifikasi manual, pengklasifikasian point cloud LIDAR ke dalam kelas-kelasnya dilakukan manual secara perorangan sehingga hasil dari klasifikasinya akan bersifat subjektif bergantung kepada pemahaman dari masing-masing individu terhadap penginterpretasian point cloud LIDAR terhadap objek yang bersangkutan. Pada saat melakukan pemodelan bangunan tiga dimensi dan pemeriksaan model bangunan tiga dimensi terhadap objek bangunan di orthophoto juga dilakukan secara manual perorangan, sehingga pemahaman masing-masing individu dalam menginterpretasikan objek-objek bangunan juga dapat bersifat subjektif. 6.3 Analisis Hasil Seperti terlihat pada Gambar 12, pada daerah bangunan yang rapat dan kecil atau kumuh sepertinya model tiga dimensi dari bangunan hasil pemodelan masih belum dapat dengan maksimal merepresentasikan objek yang sebenarnya dikarenakan kurang maksimalnya data LIDAR dan orthophoto yang digunakan. Akibatnya terjadi perbedaan bentuk antara kerangka atap model yang terbentuk dari point cloud LIDAR dengan kerangka atap objek yang bersangkutan pada orthophoto.
165
Muhammad Arief Vannessyardi, dkk. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Gambar 12. Daerah kumuh atau bangunan rapat
7. KESIMPULAN Pada Gambar 10 dapat dilihat adalah DTM hasil dari pengolahan data point cloud yang terdapat pada kelas ground. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode building extraction dengan menggunakan data LIDAR dan orthophoto dapat dilakukan pemodelan bangunan tiga dimensi yang cukup merepresentasikan area penelitian seperti terlihat pada Gambar 11(b), (c), (d) walaupun data yang digunakan masih kurang maksimal. Diharapkan dengan adanya pemodelan kota tiga dimensi ini dapat diaplikasikan di kotakota di Indonesia untuk memperbaiki sistem tata kota, pemodelan manajemen bencana, rekonstruksi dan perencanaan bangunan, operasi militer, dll. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff Center for Remote Sensing dan PT McElhanney atas segala bantuannya dalam menunjang kelancaran penelitian ini. DAFTAR REFERENSI Jadhav, A., Gambhir D. Use of LIDAR in Extraction of 3D City Models in Urban Planning. Masaomi Okagawa M. 2002. Algorithm of Multiple Filter to Extract DSM from LiDAR Data. Huber, M., Schickler, W., Hinz, S., Albert Baumgartner, A. 2002. Fusion of LIDAR Data and Aerial Imagery for Automatic Reconstruction of Building Surfaces. You, S., Hu, J., Neumann, U., Fox, P. Urban Site Modeling From LiDAR. Charaniya, A.P. 3D Urban Reconstruction from Aerial LiDAR data. Ackermann, F., 1999. Airborne Laser Scanning Present Status and Future Expectations. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 54 Baltsavias, EP., 1999b, Airborne Laser Scanning : Basic Relations and Formulas, ISPRS Journal of Photogrammetry & Remote Sensing 54 (1999)
166
LIDAR (Light Detection and Ranging) untuk Pemodelan Kota Tiga Dimensi Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, 2011
Hug, C., 1996. Combined use of laser scanner geometry and reflectance data to identify surface objects. OEEPE-Workshop ‘3D city models’, Bonn, Germany, 9 – 11 October 1996. Jaafar, J., Priestnall, G., Mather, P.M. and Vieira, C.A., 1999a. Construction of DEM from LIDAR DSM using morphological filtering, conventional statistical approaches and Artificial Neural Networks. RSS’99 - Earth Observation, From data to information, Proceedings of the 25th Annual Conference and Exhibition of the Remote Sensing Society, Cardiff, 8-10 September 1999, pp. 299-306. Remote Sensing Society, Nottingham. Lohr, U., 1998. Laserscanning for DEM generation, In: GIS technologies and their environmental applications, Brebbia C. A. and Pascolo P. (eds). Computational Mechanics Publications, Southampton, pp. 243-249. Wehr, A. and Lohr, U., 1999. Airborne laser scanning – an introduction and overview. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 54, pp. 68-82. Gruen, A., Kubler, O., and Agouris, P., (eds), 1995. Automatic extraction of man-made objects from aerial and space images, Birkhauser Verlag, Basel. Gruen, A., Baltsavias, E. P., and Henricsson, O., (eds), 1997. Automatic extraction of man-made objects from aerial and space images (II), Birkhauser Verlag, Basel.
BIOGRAFI PENULIS Muhammad Arief Vannessyardi Penulis bernama lengkap Muhammad Arief Vannessyardi dan biasa dipanggil Arief atau Ivan. Penulis lahir di Washington DC pada tanggal 25 September 1989 dan merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Pendidikan terakhir penulis adalah Sarjana Teknik Geodesi dan Geomatika lulusan Institut Teknologi Bandung.
167
BIOGRAFI
Ketut Wikantika Ketut Wikantika lahir di Singaraja, Bali pada 17 Desember 1966. Menempuh pendidikan dasar dari TK hingga SMA di kota yang sama, kemudian mengawali pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 1991, gelar insinyur diperoleh setelah menyelesaikan masa kuliah di Teknik Geodesi. Kemudian pada tahun 1998 berhasil meraih gelar Master of Engineering (M.Eng.) dari Chiba University, Jepang dalam bidang image informatics dan memperoleh gelar Ph.D. pada tahun 2001 dalam bidang penginderaan jauh dari universitas yang sama. Semenjak tahun 1994 hingga saat ini telah aktif mengajar sebagai dosen di Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, ITB, dan pada tahun 2005 diangkat sebagai ketua Pusat Penginderaan Jauh ITB. Kemudian pada Agustus 2011 memperoleh amanah sebagai guru besar ITB dengan bidang penelitian penginderaan jauh lingkungan. Beberapa karya ilmiah di bidang penginderaan jauh telah banyak dipublikasikan baik secara nasional maupun internasional. Berbagai bentuk kerja sama riset pun telah dilakukan dengan berbagai lembaga yang berkaitan. Hingga saat ini Ketut Wikantika masih aktif dalam berbagai organisasi dan forum ilmiah seperti Asosiasi Kartografi Indonesia, Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia, dan juga Ikatan Surveyor Indonesia.
Lissa Fajri Yayusman Lissa lahir di Bekasi, Jawa Barat pada 18 November 1990. Anak kedua dari tiga bersaudara ini menempuh pendidikan SD, SMP, dan SMA di Kota Bekasi. Kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung dan memperoleh gelar Sarjana Teknik dalam bidang Teknik Geodesi dan Geomatika pada tahun 2011. Saat ini Lissa masih aktif berkarya dalam bidang penginderaan jauh di Pusat Penginderaan Jauh ITB.
168
169