Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pemantauan, Deteksi, dan Kajian Lingkungan
Editor: Dr. Bidawi Hasyim. Dr. Bambang Trisakti. Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si. Desain sampul: M. Priyatna, S.Si., MTI. Desain tata letak: Crestpent Press Cetakan Pertama : Desember 2014
ISBN No : 978-602-14437-3-6
Dicetak dan diterbitkan oleh :
CRESTPENT PRESS Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM) Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor 16144 Telp/Fax. (0251) 8359072, email:
[email protected]
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pengantar Penerbit
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas diselesaikannya buku dengan judul “Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pemantauan, Deteksi, dan Kajian Lingkungan”. Buku ini memaparkan tentang Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam aplikasinya di berbagai kondisi lingkungan dalam mendukung pembangunan di Indonesia Diharapkan, buku ini memberikan pandangan mengenai kemajuan teknologi penginderaan jauh dengan data, informasi yang lebih baik dan cakupan yang lebih luas dalam pemantauan kondisi lingkungan di beberapa kawasan yang terdapat di seluruh Wilayah Indonesia, Pada kesempatan ini, disampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pihak khususnya para peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dari bidang Lingkungan yang telah berupaya menuangkan pemikirannya untuk menyusun buku ini . Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan dan juga dapat dimanfaatkan oleh pembacanya
Penerbit
ii
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
KATA PENGANTAR
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang rawan terhadap persoalan lingkungan. Berbagai kejadian kerusakan lingkungan mengharuskan kita untuk secara terus menerus meningkatkan kepedulian terhadap persoalan lingkungan. Kemajuan teknologi penginderaan jauh satelit yang dapat menghasilkan data dan linformasi yang realtime (up to date) dengan cakupan yang luas, dan historikal data yang baik, memungkinkan kita untuk berkontribusi dalam upaya pemantauan kondisi lingkungan di beberapa kawasan yang terdapat di seluruh Wilayah Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, telah mencanangkan pembangunan Pusat Pemantauan Bumi Nasional dimana salah satu unsur utamanya adalah pemantauan lingkungan dan mitigasi bencana berbasiskan data penginderaan jauh. Berbagai hasil kegiatan terkait dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan maupun deteksi kondisi lingkungan yang telah dan sedang dilaksanakan, beserta metodologi yang digunakan akan diuraikan dalam buku ini. Buku ini bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada pembaca mengenai Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam aplikasinya di berbagai kondisi lingkungan dalam mendukung pembangunan di Indonesia. Kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan tidak hanya bagi upaya penyempurnaan penulisan buku serupa di masa yang akan datang, tetapi juga bagi penentuan arah kebijakan Pusfatja untuk tahun berikutnya. Pada kesempatan ini saya menyampaikan penghargaan kepada semua pihak, khususnya para peneliti dari Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, dan para penelaah, yang telah berupaya keras untuk menyusun dan menerbitkan buku ini. .
Jakarta, November 2014
Dr. M. Rokhis Khomarudin
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
iii
SEKAPUR SIRIH Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pemantauan, Deteksi, dan Kajian Lingkungan Dr. M. Rokhis Khomarudin
1. STATUS PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN Perubahan hutan, perluasan wilayah perkotaan, pencemaran sungai, perubahan lahan pertambangan, penurunan kualitas danau, pencemaran laut dan permasalahan lingkungan merupakan suatu masalah yang sering terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Pemantauan lingkungan merupakan suatu hal yang penting, untuk dapat mengetahui permasalahan lingkungan di suatu wilayah, mencari solusinya dan tidak meluas menjadi masalah yang lebih besar. Pemantauan kondisi lingkungan biasanya menggunakan pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan, serta analisa laboratorium. Pemantauan dengan cara tersebut banyak memakan waktu, biaya dan biasanya lokasinya sangat terbatas. Teknologi penginderaan jauh yang berkembang saat ini memungkinkan digunakan untuk memantau kondisi lingkungan secara cepat dan meliputi lokasi yang luas, dengan akurasi yang memadai. Pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan seperti perubahan hutan, perluasan wilayah perkotaan, pencemaran laut, kebakaran hutan, ruang terbuka hijau, limbah B3, dan penurunan muka tanah (land subsidence) telah banyak dilakukan dengan bantuan teknologi penginderaan jauh. Selain keunggulan, pemanfaatan teknologi juga memiliki kelemahan, sehingga penelitian dan pengembangannya masih perlu terus dilakukan. Penelitian untuk menjawab tantangan dalam pemanfaatan teknologi ini masih terbuka dan menarik untuk dilakukan sehingga dihasilkan suatu metode yang tepat dan akurat untuk memantau lingkungan dengan penginderaan jauh. Secara umum kegiatan penelitian dan pengembangan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan telah dilakukan di Indonesia, antar lain adalah kajian pemantauan degradasi hutan oleh Sofan, et. al. (2012), kajian deteksi daerah terkena limbah B3 oleh Haryani, et. al. (2013), ruang terbuka hijau oleh Haris (2006), penurunan muka tanah oleh Bayuaji et. al. (2010), lingkungan perkotaan oleh Tursilowati, et. al. (2012), pemantauan sebaran asap oleh Zubaidah, et. al. (2004), dan lingkungan habitat hewan Febriani (2009). Secara umum perkembangan kegiatan penelitian dan pengembangan ini berlangsung dengan baik karena kemanfaatannya dapat dirasakan secara langsung, baik untuk pemegang kebijakan maupun untuk keperluan penerapan di lapangan.
iv
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
1.1. Degradasi Hutan Penelitian dan pengembangan pemanfaatan data penginderaan jauh untuk deteksi atau pemantauan degradasi hutan telah banyak berkembang di dunia. Berbagai model telah dikembangkan untuk mendeteksi atau memantau degradasi hutan dengan data satelit penginderaan jauh. Salah satu model yang dikembangkan adalah model spectral mixture analysis (Souza, et. al., 2003). Di Indonesia, penelitian dan pengembangan untuk mendeteksi atau memantau degrasi hutan masih sedikit, namun lebih banyak untuk melihat perubahan vegetasi hutan. Salah satu penelitian yang dikembangkan di Indonesia adalah Sofan, et. al. (2012) dengan mengadopsi metode yang dikembangkan oleh Souza, et. al. (2003). Berbagai cara lain untuk mendeteksi degradasi hutan dengan data penginderaan jauh antara lain dengan metode visual interpretation (Nandy, et. al. , 2011), change detection (Filler, et. al. ,2009), spatio-temporal analysis (Lambin, et. al., 1999), dan automatic CLASlite method (Asner, et. al., 2009). Berbagai metode tersebut dapat digunakan untuk mendeteksi degradasi hutan menggunakan data penginderaan jauh dengan akurasi yang memadai. Penelitian mengenai degradasi hutan ini digunakan oleh beberapa institusi untuk menghitung perubahan penyerapan karbon dalam program REDD, seperti yang dilakukan oleh Olander, et. al. (2008), Angelsen, et. al. (2009), Kisinger, et. al. (2012), dan Brewer, et. al. (2011). Penginderaan jauh merupakan data utama yang digunakan dalam kegiatan Reduction Emission From Deforestration and Forest Degradation (REDD). Pengembangan metode untuk deteksi degradasi hutan masih perlu dilakukan sehingga menghasilkan suatu metode yang standar untuk pengolahan data penginderaan jauh, baik dengan menggunakan data resolusi spasial rendah, menengah, maupun tinggi. Penyesuaian waktu pemantauan juga merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan, misalnya perubahan degradasi hutan per tahun dan dalam wilayah yang luas memerlukan data spasial rendah yang perolehan datanya kontinu seperti MODIS. Untuk wilayah-wilayah yang tidak luas, SPOT-6 atau Landsat-8 merupakan pilihan utama dalam mendeteksi degradasi hutan. Untuk wilayah Indonesia, selain untuk keperluan REDD, penelitian degradasi hutan sangat penting untuk dilakukan dalam kaitannya dengan bencana banjir dan longsor. 1.2. Limbah B3 Deteksi daerah terkena limbah B3 menggunakan data penginderaan jauh secara potensi dapat dilakukan. Hal ini diungkap oleh Slonecker, et. al. (2010) yang melakukan review pemanfaatan data penginderaan jauh untuk deteksi daerah yang terkena limbah B3. Dalam review diungkapkan bahwa data satelit penginderaan jauh resolusi tinggi dan multispektral memperlihatkan perubahan wilayah yang terkena limbah B3 atau tidak. Digambarkan pula dalam tulisannya bahwa wilayah yang terkena arsenik memiliki nilai reflektansi yang berbeda dibandingkan dengan wilayah yang tidak terkontaminasi arsenik. Lebih lanjut, Slonecker, et.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
v
al. (2010) menjelaskan bahwa spectral library merupakan hal yang penting untuk pengembangan lebih lanjut guna mendeteksi daerah terkena limbah B3. Sebelumnya Singhroy, et. al. (1996) menggunakan penginderaan jauh untuk mendeteksi perubahan vegetasi di suatu lahan yang terkena limbah B3. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Landsat TM dan CASI dapat digunakan untuk memantau perubahan vegetasi di lahan yang terkena limbah B3. Dalam tulisannya disebutkan bahwa data penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau wilayah yang terkena material-material limbah berbahaya lainnya. Faisal, et. al. (2012) juga melakukan penelitian dengan data penginderaan jauh untuk mendeteksi daerah yang terkena limbah B3. Dalam penelitiannya ditunjukkan bahwa dengan kandungan CH4 suatu wilayah berkorelasi dengan Land Surface Temperature (LST) yang diturunkan dari data Landsat. Hal sama juga ditunjukkan dalam riset ini bahwa kontur LST berkorelasi dengan suatu wilayah pembuangan yang terkontaminasi limbah B3. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Landsat TM dapat digunakan untuk mendeteksi daerah pembuangan sampah yang terkena limbah B3. Penelitian yang komprehensif dilakukan oleh Vijdea, et. al. (2004) menggunakan data penginderaan jauh untuk memantau kondisi wilayah Pecomines untuk memantau perkembangan limbah pertambangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penginderaan jauh efektif untuk kegiatan tersebut. Berdasarkan berbagai literatur yang ada mulai tahun 2012, Lapan mengembangkan suatu metode pemanfaatan data penginderaan jauh untuk deteksi daerah yang terkena limbah B3. Pada tahun 2013 dilakukan survey lapangan dan diskusi dengan pihak Pertamina yang menunjukkan hasil bahwa penelitian yang dilakukan Lapan sejalan dengan perlakuan penanganan Limbah B3 di wilayah mereka. Hal ini menunjukkan hal yang sangat baik, bahwa data penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau perubahan lahan tercemar hasil perlakukan penanganan limbah B3 di suatu wilayah dan upaya penangannya. Haryani, et. al. (2013) juga mengungkapkan bahwa nilai spektral suatu wilayah yang terkena limbah B3 berbeda dengan wilayah yang tidak terkena limbah B3. Potensi pendeteksian limbah B3 dengan data penginderaan jauh dapat ditunjukkan dari hasil riset ini. Berdasarkan hasil review dan saran dari penelitian yang diungkap oleh Slonecker, et. al. (2010) dan juga Haryani, et. al. (2013), bahwa hal yang penting dalam penelitian ini adalah r library dari daerah yang terkena limbah B3 baik acid sludge, arsenik, maupun spectral material berbahaya lainnya. Pengetahuan spectral library dari kondisi wilayah tersebut akan dapat memudahkan untuk mendeteksinya dengan menggunakan data penginderaan jauh.
vi
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
1.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Aplikasi penginderaan jauh untuk ruang terbuka hijau merupakan pemanfataan yang sering dilakukan oleh peneliti bidang penginderaan jauh, karena vegetasi merupakan objek yang mudah diinderaja dari satelit penginderaan jauh. Aplikasi deteksi ruang terbuka hijau didorong oleh peningkatan dan perluasan berbagai wilayah perkotaan di Indonesia. Hasil pemanfaatan penginderaan jauh untuk analisis RTH digunakan untuk estimasi penambahan ruang hijau agar wilayah kota menjadi lebih nyaman dan asri. Aplikasi ini juga dapat digunakan untuk menentukan peraturan koefisien dasar bangunan, perbandingan antara bangunan dan vegetasi. Beberapa contoh aplikasi khusus tentang ruang terbuka hijau disampaikan oleh Beiranvand, et. al. (2013), Bhaskar (2012), Odindi and Mhangara (2012), Shahabi, et. al. (2012), Hoffmann, et. al. (2012), Saati, et. al. (2010), Zhou and Wang (2010), Mahmoodzadeh (2007), Ruangrit and Sokhi (2004), dan McMahan, et. al. (2002). 1.4. Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence) Penurunan muka tanah merupakan masalah lingkungan yang dapat menyebabkan bencana bagi suatu wilayah. Hal ini biasanya terjadi di wilayah perkotaan dengan pemanfaatan air tanah yang instensif akibat banyaknya bangunan dan perumahan yang merupakan suatu beban bagi tanah, sehingga terjadi penurunan muka tanah. Masalah yang timbul akibat hal ini adalah meluasnya daerah rawan banjir. Pemanfaatan
data
penginderaan
jauh
sudah
banyak
dilakukan
terutama
dengan
menggunakan teknik interferometri Synthetic Aperture Radar (SAR). Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan bentuk lahan (deformasi) dan penurunan muka tanah (land subsidence). Ada 3 metode yang umumnya digunakan oleh para peneliti dalam melakukan pengolahan data SAR untuk kajian land subsidence, yaitu: Interferometry Synthetic Aperture Radar (InSAR), Differential Interferometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR), dan Persistent/permanenet Scatter Interferometry Synthetic Aperture Radar (PSInSAR). Ismullah (2004) menyatakan bahwa InSAR merupakan teknik pencitraan yang memanfaatkan perbedaan fasa gelombang elektromagnetik untuk mendapatkan informasi tinggi di suatu daerah. DInSAR merupakan teknologi pencitraan radar dengan input prameter fase, amplitude dan panjang gelombang untuk memperoleh topografi dan deformasi (Saputro et al, 2012). PSInSAR merupakan pengembangan dari teknik InSAR dan DInSAR dengan menekankan
pada
eliminasi
kesalahan
akibat
adanya
dekorelasi
temporal
dan
dishomogenitas atmosferik yang sering ditemui pada metode sebelumnya. Metode InSAR telah dilakukan oleh Hirose et al. (2001), Lubis et al. (2011), sedangkan DInSAR telah dikembangkan oleh Chaussard et al. (2013), Chatterjee et al. (2006), Syafiudin dan Chatterjee (2009). PSInSAR telah dilakukan oleh Yan et al. (2009), Osmanoglu et al. (2011), Hung et al. (2011), dan Ng et al. (2012). Secara umum dengan menggunakan teknik interferometri Synthetic Aperture Radar (SAR) berbagai data SAR yang telah tersedia, penurunan muka tanah dapat dihasilkan. Hasil
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
vii
penelitian dari berbagai sumber literatur di atas menunjukkan akurasi dari teknik ini cukup memadai. Perbandingan hasil pengolahan data SAR dengan pengukuran lapangan di berbagai wilayah menunjukkan pola yang sama. Secara umum penelitian penurunan muka tanah bukan pada pembuatan teknik pengolahan data SAR, namun pada penyebab terjadinya penurunan muka tanah di suatu wilayah. Penyebab turunnya muka tanah dalam beberapa riset yang telah dilakukan adalah karena tumbuhnya bangunan dan gedung di wilayah perkotaan, kawasan industri, pertambangan, karst, dan eksplorasi air tanah di berbagai wilayah. Dalam
hal
pengembangan
metodologi,
deteksi
penurunan
muka
tanah
dengan
menggunakan data SAR sudah terdapat teknik yang memadai dengan menggunakan teknik interferometri SAR. Tantangan ke depan di Indonesia adalah memetakan laju penurunan muka tanah di berbagai wilayah. Hal ini sangat bermanfaat untuk penanggulangan bencana terutama banjir. 1.5. Fenomena Pemanasan Perkotaan (Urban U Heat Island I d) Urban heat island merupakan suatu fenomena perbedaan suhu permukaan tanah di wilayah perkotaan dibandingkan dengan suhu permukaan tanah di sekitarnya. Deteksi urban heat island ini bermanfaat untuk mengidentifikasi tingkat kenyamanan suatu wilayah perkotaan dan perkembangannya. Penelitian-penelitian tentang hal ini biasanya dihubungkan dengan ruang terbuka hijau dan penambahan ruang terbuka hijau yang diperlukan agar suatu kota lebih terasa nyaman. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kegiatan ini sudah banyak dilakukan sejak adanya kanal thermal di satelit penginderaan jauh seperti kanal 6 pada Landsat TM dan kanal 10-14 di Citra ASTER. Penelitian pemanfaatan penginderaan jauh untuk urban heat island, secara umum digunakan untuk deteksi perubahan/perkembangan wilayah perkotaan (Kaya, et. al. , 2012), hubungannya dengan penutup/penggunaan lahan (Chen, et. al., 2006), Patki dan Alange , 2009), polusi udara Feizizadeh dan Blaschke, 2013), dan kebutuhan energi (Ukwattage dan Dayawansa, 2012). Selain dengan thermal, data microwave juga dapat digunakan untuk deteksi urban heat island (Kadygrov, et. al., 2009). Untuk pengembangan metode deteksi urban heat island lebih lanjut secara teoritis tidak begitu banyak tantangannya. Penelitian dengan satelit microwave merupakan tantangan tersendiri dalam mendeteksi urban heat island. Tantangan penelitian ini adalah menentukan hubungan antara urban heat island dengan tingkat kenyamanan kota dan juga potensi penambahan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. 1.6. Pemantauan Asap Kebakaran Lahan/hutan Kebakaran lahan dan hutan di Indonesia terjadi setiap tahun dan membawa dampak lingkungan yang sangat hebat bagi daerah lokasi kebakaran dan negara tetangga. Banyak masyarakat terkena gangguan kesehatan seperti ispa dan masalah pernafasan lainnya. Di
viii
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Singapura masalah asap kebakaran yang berasal dari Provinsi Riau menyebabkan negara tersebut meliburkan semua aktivitas bisnis dan lainnya untuk menjaga kesehatan warganya. Pemantauan kualitas udara di dua negara sudah effektif dilakukan, tetapi untuk pemantauan trayektori asap belum banyak dilakukan. Pemantauan trayektori asap akan dapat memperkirakan daerah yang akan terkena asap sehingga antisipasi dini dapat dilakukan. Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk memantau asap sudah dilakukan di Indonesia maupun di dunia untuk memperlihatkan asal asap, daerah yang terkena, dan arah gerakan asap. Satelit-satelit penginderaan jauh resolusi rendah seperti NOAA AVHRR dan Terra/Aqua MODIS dapat menampilkan data setiap hari, sehingga dapat mendeteksi asap dengan baik. Penelitian dan pengembangan pemanfataan data penginderaan jauh untuk pemantauan asap dibagi menjadi 2 bagian yaitu pemantauan sebaran asap (Zubaidah dan Arief, 2004) dan pemantauan kondisi atau kualitas udara akibat asap (Amanollahi, et. al., 2011), dan Noh, et. al., (2009). Tantangan kedepan pemanfaatan data penginderaan jauh adalah klafisikasi asap secara digital untuk membedakan antara asap dan awan. Klasifikasi ini akan mempercepat proses pemantauan asap dengan data penginderaan jauh. Pembuatan haze monitoring system juga merupakan suatu tantangan agar pemantauan lebih cepat dan akurat. 1.7. Habitat Hewan dari Penutup Lahan Habitat hewan memiliki karakteristik tersendiri untuk setiap jenis hewan. Suatu habitat nyamuk misalnya merupakan suatu wilayah dengan lingkungan yang lembab dan banyak air. Biasanya lingkungan ada di rawa, sungai, embung, dan genangan-genangan yang dapat dideteksi dari data penginderaan jauh. Mengetahui habitat hewan adalah sangat penting untuk memantau kondisi hewan dan juga menghindari masalah penyakit jika hewan tersebut menimbulkan penyakit seperti nyamuk. Pengetahuan tentang lingkungan habitat hewan akan mengetahui tingkah laku dari hewan yang dipantau. Penginderaan jauh merupakan suatu alat yang digunakan untuk memantau kondisi lingkungan habitat hewan. Penelitian dan pengembangan penginderaan jauh untuk lingkungan habitat hewan telah banyak dilakukan seperti untuk Gajah (Tikhile, et. al. 2013; Febriani, 2009), Burung (Gottschalk, et. al. 2005), Nyamuk (Cleckner, et. al. 2011), hewan liar (Mckenzie, et. al. 2002), dan hewan langka lainnya (Ekwal, et. al. 2012). Kebanyakan riset yang terkait hal ini adalah memanfaatkan data penginderaan jauh untuk klasifikasi penutup lahannya dan kemudian digabungkan dengan informasi lainnya dalam Sistem Informasi Geografis untuk mengetahui habitat hewan yang akan di identifikasi. Hal ini menarik karena hewan-hewan langka yang mungkin masih hidup dalam hutan dapat diidentifikasi jika diketahui kondisi lingkungannya dan habitatnya.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
ix
2. PENUTUP Buku Bunga rampai ini akan memberikan kajian dan review pemanfaatan data penginderaan jauh untuk berbagai masalah lingkungan seperti degradasi hutan, limbah B3, ruang terbuka hijau, penurunan muka tanah, pemantauan asap, lingkungan habitat hewan, serta kondisi iklim/curah hujan sebagai parameter fisik lingkungan. Potensi data penginderaan jauh dapat membantu berbagai macam kegiatan tersebut. Metode-metode pemantauannya telah dikembangkan di Indonesia maupun oleh para ilmuwan di berbagai dunia, tinggal bagaimana untuk mengembangkannya dan memanfaatkannya agar data dan metode penginderaan jauh dapat berguna bagi masyarkat.
DAFTAR PUSTAKA Amanollahi J., Abdullah, A.M., Raml, M.F. and Pirasteh, S. 2011. Real Time Assessment of Haze and PM10 Aided by MODIS Aerosol Optical Thickness over Klang Valley, Malaysia. World Applied Sciences Journal 14 (Exploring Pathways to Sustainable Living in Malaysia: Solving the Current Environmental Issues): 08-13. Angelsen, A., Brown, S., Loisel, C., Peskett, L., Streck, C. and Zarin, D. 2009. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD): An Options Assessment Report. The Government of Norway. Meridian Institute, Connecting People to Solve Problem. Asner, G.P., Knapp, D.E., Balaji, A.,and Acosta, G.P. 2009. Automated mapping of tropical deforestation and forest degradation: CLASlite. Journal of Applied Remote Sensing, Vol. 3. Bayuaji, L., Sumantyo, J.T.S., and Kuze, H. 2010. ALOS PALSAR D-InSAR for land subsidence mapping in Jakarta, Indonesia. Can. J. Remote Sensing, Vol. 36, No. 1, pp. 1–8. Beiranvand, A., Eslambnyad, E., and Soosani, J. 2013. Evaluation of Khorramabad’s physical changes and its green space using remote sensing data. European Journal of Experimental Biology, Vol 3(3):431-438. Bhaskar, P. 2012. Urbanization and Changing Green Spaces in Indian Cities (Case Study – City Of Pune). International Journal of Geology, Earth and Environmental Sciences ISSN: 2277-2081 (Online) An Online International Journal Available at http://www.cibtech.org/ jgee.htm 2012 Vol. 2 (2) May-August, pp.148- 156. Brewer, C.K.; Monty, J.; Johnson, A; Evans, D; Fisk, H. 2011. Forest carbon monitoring: A review of selected remote sensing and carbon measurement tools for REDD+. RSAC10018-RPT1. Salt Lake City, UT: U.S. Department of Agriculture, Forest Service, Remote Sensing Applications Center. 35 p. Chen, X.L., Zhao. H.M., Li, P.X., and Yin, Z.Y. 2006. Remote sensing image-based analysis of the relationship between urban heat island and land use/cover changes. Remote Sensing of Environment 104 :133–146.
x
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Cleckner, H.L., Allen, T.R., and Bellows, A.S. 2011. Remote Sensing and Modeling of Mosquito Abundance and Habitats in Coastal Virginia, USA. Remote Sens. Vol. 3, 2663-2681; doi:10.3390/rs3122663. Ekwal, I., Tahir, H., and Tahir, M. 2012. Modelling of Habitat Suitability Index for Muntjac (Muntiacus muntjak) Using Remote Sensing, GIS and Multiple Logistic Regression Journal of Settlements and Spatial Planning, vol.3, no. 2 : 93-102. Faisal, K., Al Ahmad, M., and Shaker, A. 2012. Remote Sensing Techniques as a Tool for Environmental Monitoring. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXIX-B8, 2012 XXII ISPRS Congress, 25 August – 01 September 2012, Melbourne, Australia. Febriani, R. 2009. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Gajah Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Taman Nasional Gunung Leuser (Studi Kasus di Resort Tangkahan, Resort Cinta Rajad dan Resort Sei Lepan. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Feizizadeh, B and Blaschke, T. 2013. Examining Urban Heat Island Relations to Land Use and Air Pollution: Multiple Endmember Spectral Mixture Analysis for Thermal Remote Sensing. IEEE Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, VoL. 6, No. 3. Filler, C., Keenan, R.J., Allen, B.J., and McAlpine, J.R. 2009. Deforestation and forest degradation in Papua New Guinea. Ann. For. Sci. 66 : 813. Gottschalk, T.K., Huettmann, F., and Ehlers, M. 2005. Thirty years of analysing and modelling avian habitat relationships using satellite imagery data: a review. International Journal of Remote Sensing Vol. 26, No. 12, 20: 2631–2656. Haris, V.I. 2006. Analisis Distribusi dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh (Studi Kasus di Kota Bogor). Skripsi. IPB. Bogor. Haryani, N.S., Sulma, S., and Pasaribu, J.M. 2013. Detection Of Acid Sludge Contaminated Area Based On Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Value. Proceeding. ACRS 34th Denpasar Bali. Hoffman, P., Strobl, J., and Nazarkulova, A. 2011. Mapping Green Spaces in Bishkek—How Reliable can Spatial Analysis Be? Remote Sens. 2011, 3, 10881103; doi:10.3390/rs3061088. Hirose, K., Maruyama, Y., Murdohardono, D., Effendi, A., and Abidin, H. 2001. Land Subsidence detection using JERS-1 SAR Interferometry. Paper presented in 22nd Asian Conference on Remote Sensing, 5-9 November 2001, Singapore. Hung, W.-C., C. Hwang, Y.-A. Chen, C.-P. Chang, J.-Y. Yen, A. Hooper, and C.-Y. Yang, 2011. Surface deformation from persistent scatterer SAR interferometry and fusion with leveling data: A case study over the Choushui River Alluvial Fan, Taiwan. Remote Sensing of Environment, 115:957-967.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
xi
Kadygrov, E.N., Vorobeva,E.A., Kuznetsova, I.N., Folomeev, V.V., and Miller, E.A. 2009. Application of Microwave Radiometry for Urban Heat Island Study. Progress In Electromagnetics Research Symposium Proceedings, Moscow, Russia. Kaya, S., Basar, U.G., Karaca, M., and Seker, D.Z. 2012. Assessment of Urban Heat Islands Using Remotely Sensed Data. Ekoloji 21, 84, 107-113. doi: 10.5053/ekoloji.2012.8412 Kissinger, G., M. Herold, V. De Sy. 2012. Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Lexeme Consulting, Vancouver Canada. Lubis, A. M., T. Sato, N. Tomiyama, N. Isezaki, and T. Yamanokuchi, 2011. Ground Subsidence in Semarang-Indonesia Investigated by ALOS-PALSAR Satellite SAR Interferometry. Journal of Asian Earth Sciences 40:1079-1088. Mahmoodzadeh, H. 2007. Digital Change Detection Using Remotely Sensed Data for Monitoring Green Space Destruction in Tabriz. Int. J. Environ. Res. 1 (1): 35-41, Winter. McMahan, B., Weber, K.T., and Sauder, J.D. 2002. Using Remotely Sensed Data in Urban Sprwal and Green Space Analyses. Intermountain Journal of Sciences. Vol. 8. No. 1:30-37. McKenzie, J.S., Morris, R.S., Pfeiffer, D.U., and Dymond, J.R. 2002. Application of Remote Sensing to Enhance the Control of Wildlife-Associated Mycobacterium bovis Infection. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing Vol. 68, No. 2, pp. 153-159. Nandy, S., Kushwaha, S.P.S., and Dadhwal, V.K. 2011. Forest degradation assessment in the upper catchment of the river Tons using remote sensing and GIS. Ecological Indicators 11: 509–513. Ng, A. H., L. Ge, X. Li, H. Z. Abidin, H. Andreas, K. Zhang, 2012. Mapping land subsidence in Jakarta, Indonesia using persistent scatterer interferometry (PSI) technique with ALOS PALSAR. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 18:232-242. Noh, Y.M., Mueller, D., Shin, D.H., Lee, H., Jung, J.S. Lee, K.H., Cribb, M., Li, Z., and Kim, Y.J. 2009. Optical and microphysical properties of severe haze and smoke aerosol measured by integrated remote sensing techniques in Gwangju, Korea. Atmospheric Environment 43 :879–888. Odindi, J. O. and Mhangara, P. 2012. Green Spaces Trends in the City of Port Elizabeth from 1990 to 2000 using Remote Sensing. Int. J. Environ. Res., 6(3):653-662, Summer. Olander, L.P., Gibbs, H.K., Steininger, M., Swenson, J.J., and Murray, B.C. 2008. Reference scenarios for deforestation and forest degradation in support of REDD: a review of data and methods. Environ. Res. Lett. 3 (11pp). Osmanoglu, B., T.H. Dixon, S. Wdowinski, E. Cabral-Cano, and Y. Jiang, 2011. Mexico City subsidence observed with persistent scatterer InSAR. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 13(1):1-12.
xii
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Patki, P.N. and Alange, P.R. 2009. Study of Influence of Land Cover on Urban Heat Islands in Pune Using Remote Sensing. IOSR Journal of Mechanical and Civil Engineering (IOSR-JMCE) ISSN: 2278-1684 PP: 39-43 www.iosrjournals.org. Ruangrit, V. and Sokhi, B.S. 2004. Remote Sensing And Gis For Urban Green Space Analysis – A Case Study Of Jaipur City, Rajasthan. ITPI Journal 1 : 2 : 55-67. Saati, M., Bagheri, M., and Zamanian, F. 2010. Application of Remote Sensing in Development of Green Space. World Academy of Science, Engineering and Technology Vol. 40. Saputra, E.A., S. Kahar, dan B. Sasmito, Deteksi penurunan muka tanah kota Semarang dengan teknik differential interferometric synthetic aperture radar (DInSAR) menggunakan software ROI_PAC berbasis open source. Jurnal geodesi Undip. 1(1). (ISSN:2337-845X). Shahabi, H., Zabihian, H., and Shikhi, A. 2012. Application of Satellite Images and GIS in Evaluation of Green Space Destruction in Urban Area (Case study:Boukan City). International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT) Vol. 1 Issue 7, September. Singhroy, V. 1996. Remote Sensing For Characterizing and Monitoring of Hazardous Waste Sites- Case Studies in Canada and Germany. International Archieves of Photogrammetry and Remote Sensing Vo. XXXI Part B7. Vienna. Slonecker, T., Fisher, G.B., Aiello, D.P., and Haack, B. 2010. Visible and Infrared Remote Imaging of Hazardous Waste: A Review. Remote Sens. Vol 2: 2474-2508; doi:10.3390/rs2112474. Sofan, P., Vetrita, Y., Khomarudin, M.R. 2012. Spektal Mixture Analisis untuk Identifikasi Degradasi Hutan di Kalimantan Barat Berdasarkan Data Multitemporal Landsat. Prosiding PIT XIX Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh (MAPIN), 2012, Makassar. Souza, C., Firestone, L., Silva, L.M., and Roberts, D. 2003. Mapping Forest Degradation in the Eastern Amazon from SPOT 4 through Spectral Mixture Models. Remote Sensing of Environment 87 : 494-506. Syafiudin, M. F. dan R. S. Chatterjee, 2009. Potensi pemanfaatan teknologi Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (D-InSAR) berbasis satelit untuk pemantauan penurunan muka tanah di cekungan Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika, 15(1). Tikhile, P.,Gavade,V.V., Pati, R.R., and Palkar, M. 2013. Elephant Habitat Suitability in Southern Part of Kolhapur District with Geoinformatics Approach. Academic Journal of Plant Sciences 6 (2): 82-88. Tursilowati, L., Sumantyo, J.T.S, Kuze, H., and Adiningsih, E.S. 2012. The Integrated WRF/Urban Modeling System and Its Application to Monitoring Urban Heat Island in Jakarta, Indonesia. Journal of Urban and Environmental Engineering (JUEE), v.6, n.1, p.1-9.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
xiii
Ukwattage, N.L. and Dayawansa, N.D.K. 2012. Urban Heat Islands and the Energy Demand: An Analysis for Colombo City of Sri Lanka Using Thermal Remote Sensing Data. International Journal of Remote Sensing and GIS, Volume 1, Issue 2, 124-131. Vîjdea, A.M., Sommer, S., and Mehl. W. 2004. Use Of Remote Sensing For Mapping And Evaluation Of Mining Waste Anomalies At National To Multi-Country Scale A Case Study To Integrate Remote Sensing Information With Thematic Data Layers And National Inventories On Mining Features In Pre-Accession Countries A Report Of The Jrc Enlargement Project: Inventory, Regulations And Environmental Impact Of Toxic Mining Wastes In Pre-Accession Countries Pecomines. ISBN 92-894-7792-X. Yan, Y., P. L-Quiroz, M-P. Doin, F. Tupin, and B. Fruneau, 2009. Comparison of two methods in multi-temporal differential SAR interferometry: Application the measurement of Mexico city subsidence. The Fifth International Workshop on the Analysis of Multi-temporal Remote Sensing Images. Zhou, X., and Wang, Y.C. 2011. Spatial–temporal dynamics of urban green space in response to rapid urbanization and greening policies. Landscape and Urban Planning 100 : 268–277. Zubaidah, A., and Arief, M. 2004. Distribusi Spasial Hotspot dan Sebaran Asap Indikator Kebakaran Hutan/Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan Tahun 2002. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vo. 1 No.1: 56-65.
xiv
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS
Dr. rer. nat. M. Rokhis Khomarudin
Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Doktor (Dr), pada Ludwig-Maximilians-Universität (LMU) Munich –Germany, 2010 x Magister Sains (M.Si.), pada program studi Agroklimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), 2005. x Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 1998 Profesi sebagai Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, selain itu aktif sebagai fungsional peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sejak 1 Maret 1999. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan, pengembangan model diaplikasikan untuk berbagai tipe bencana. Organisasi profesi yang diikuti adalah Anggota pada Indonesian Agricultural Meteorology Society, Anggota pada Indonesian Remote Sensing Society, Anggota pada American Geoscience Union, dan Anggota pada European Geoscience Union.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
xv
DAFTAR ISI PENGANTAR PENERBIT.............................................................................................................................ii ii KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................iii iii SEKAPUR SIRIH.........................................................................................................................................iv DAFTAR ISI ............................................................................................................................................. xvi METODE UNTUK DETEKSI KAWASAN YANG TERDAMPAK LIMBAH B3 BERBASIS DATA PENGINDERAAN JAUH1 Nanik Suryo Haryani, Sayidah Sulma, a Junita Monika Pasaribu, Hidayat ................................................ 1 ANALISIS CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU DI DAERAH PERKOTAAN Nur Febrianti, Kusumaning Ayu DS, Parwati Sofan ............................................................................... 13 PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN PENURUNAN MUKA TANAH (LAND SUBSIDENCE) Junita Monika Pasaribu, Jalu Tejo Nugroho, Wiweka ........................................................................... 25 PEMANFAATAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK DETEKSI TUMPAHAN MINYAK DI PERAIRAN PANTAI DAN LAUT Sayidah Sulma, M. Rokhis Khomarudin, Nanik Suryo Haryani .............................................................. 43 43 PEMANFAATAN DATA MODIS DALAM MENDUKUNG INFORMASI SPASIAL PEMANTAUAN KABUT ASAP (HAZE) DI PROPINSI RIAU DENGAN MENGGUNAKAN GOOGLE EARTH Muhammad Priyatna, M. Rokhis Khomarudin, Kusumaning Ayu DS ................................................... 55 55 PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI SUMATERA Any Zubaidah, Yenni Vetrita, Muhammad Priyatna.............................................................................. 67 67 PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN MANGROVE Yenni Vetrita, Suwarsono, 3DUZDWL6RIDQ .............................................................................................. 77 77 PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN, SUATU TINJAUAN Suwarsono dan Indah Prasasti .............................................................................................................. 89 89 PENGEMBANGAN DETEKSI HEWAN DIKORELASIKAN DENGAN KERAGAMAN HAYATI MELALUI PENGINDERAAN JAUH Wiweka, Hidayat, Totok Suprapto....................................................................................................... 101 101 ANALISIS CURAH HUJAN BULANAN TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSION (TRMM) DAN STASIUN PENAKAR HUJAN DI WILAYAH PAPUA TAHUN 1998 - 2010 Jalu Tejo Nugroho, Nur Febrianti, i Any Zubaidah................................................................................. 113 113
xvi
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
METODE UNTUK DETEKSI KAWASAN YANG TERDAMPAK LIMBAH B3 BERBASIS DATA PENGINDERAAN JAUH Nanik Suryo Haryani, Sayidah Sulma, Junita Monika Pasaribu, Hidayat
Abstract Hazardous waste from industrial and mining activity which was discarded without any treatment has led to environmental pollution. The area which has affected by hazardous waste can detected by using remote sensing data. Several method for hazardous waste detection using remote sensing data has been analyzed based on spectral and thermal value. Spectral analysis is performed by using the Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) method and Red Edge Method, while thermal analysis is performed by using Land Surface Temperature method. Vegetation index using the NDVI method was applied to Landsat 7 ETM+, where the index was derived from the ratio of vegetation reflectance between red band and near infrared (NIR) band. Land Surface Temperature (LST) method was applied to Landsat 7 ETM+ thermal band, while the red edge method was applied also to Landsat 7 ETM+ data for visible and NIR band. The Red Edge phenomenon is characterized by the shifting of wavelength bands in red and NIR bands on the wave range of 680-760 nm. Key word: Landsat, Hazardous waste, NDVI, LST, Red Edge
Abstrak Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berasal dari aktivitas industri maupun pertambangan yang dibuang tanpa adanya pengelolaan terlebih dahulu, telah menyebabkan pencemaran lingkungan. Kawasan yang terdampak limbah B3 dapat dideteksi dengan menggunakan data penginderaan jauh. Beberapa metode untuk deteksi limbah B3 berbasis data penginderaan jauh dianalisis berdasarkan spektral dan thermal. Analisis spektral dilakukan dengan menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan metode red edge, sedangkan analisis thermal dilakukan dengan menggunakan metode Land Surface Temperatur (LST). Indeks vegetasi dengan menggunakan metode NDVI yang diaplikasikan pada data Landsat 7 ETM+, diperoleh dari rasio reflektansi vegetasi antara kanal merah dan kanal inframerah dekat (NIR). Metode Land Surface Temperatur (LST) diaplikasikan pada kanal thermal, sedangkan metode red edge dengan menggunakan data Landsat 7 ETM+ untuk kanal visible dan NIR. Fenomena red edgeditandai dengan bergesernya nilai panjang gelombang band red dan band NIR pada kisaran gelombang 680 – 760 nm. Kata kunci : landsat, limbah B3, NDVI, LST, Red Edge.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
1
1. PENDAHULUAN Limbah merupakan bahan buangan yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi yang berasal dari industri, pertambangan maupun domestik atau rumah tangga. Berdasarkan jenis bahan buangan atau limbahnya, apabila setiap materi yang karena konsentrasi dan atau sifat dan atau jumlahnya mengandung bahan berbahaya dan beracun dan membahayakan manusia, mahluk hidup dan lingkungan disebut limbah B3. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain (PP No 18 Tahun 1999). Kegiatan deteksi kawasan yang terdampak limbah B3 sangat penting dilakukan untuk antisipasi dan penanganan dini agar dampak limbah B3 tersebut tidak meluas dan membahayakan lingkungan yang ada di sekitarnya. Permasalahan limbah B3 dalam konteks lingkungan hidup di Indonesia menjadi fokus permasalahan lingkungan saat ini. Berbagai aktivitas industri maupun pertambangan telah menimbulkan kawasan yang terdampak oleh limbah B3. Kejadian tersebut salah satunya disebabkan oleh pembuangan limbah B3 ke lingkungan sekitarnya, walaupun sesungguhnya Peraturan Perundangan telah mengatur larangan membuang limbah B3 ke lingkungan. Beban biaya yang tinggi untuk mengelola limbah B3 sering menjadi alasan membuang limbah B3 ke lingkungan tanpa dilakukan pengolahan limbah terlebih dahulu. Kawasan yang terdampak limbah B3 biasanya dilakukan dengan analisis lapangan daerah tercemar dan analisis laboratorium memerlukan waktu dan biaya yang relatif mahal. Perkembangan teknologi saat ini memungkinkan untuk mendeteksi kawasan terdampak limbah B3 tersebut dengan cara tidak menyentuh objek yang di analisis. Teknologi ini disebut sebagai teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Keunggulan teknologi remote sensing adalah cakupan yang luas, real time (up to date), historikal data yang baik, dan memiliki karakterik spektral yang memungkinkan untuk mendeteksi kawasan terdampak limbah B3. Penelitian ini bertujuan menganalisis beberapa metode yang digunakan untuk
deteksi
kawasan terdampak limbah B3 berbasis data penginderaan jauh satelit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari metode NDVI, LST dan red edge menunjukkan bahwa data penginderaan jauh satelit terutama dengan kanal merah, kanal inframerah dekat, serta kanal thermal mampu mendeteksi kawasan yang terdampak limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di suatu wilayah.
2
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
2. DATA DAN METODE 2.1 Data Data yang digunakan dalam mendeteksi adanya kawasan yang terdampak oleh limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam penelitian ini adalah data Landsat dari tahun 1995 – 2012, dengan path/row 116/061, dan lokasi penelitian di Balikpapan – Kalimantan Timur. 2.2 Metode Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya kawasan yang terdampak oleh limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), antara lain: Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), Land Surface Temperatur (LST), dan red edge. a.
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dimana nilai index NDVI ini mempunyai rentang dari -1.0 (minus 1) hingga 1.0 (positif 1). Nilai yang mewakili vegetasi berada pada rentang 0.1 hingga 0.7, diatas nilai ini menggambarkan tingkat kesehatan tutupan vegetasi. Data satelit yang dapat digunakan dalam formulasi ini, menggunakan data Landsat TM/ETM : band 3 (0.63-0.69 μm) dan band 4 (0.76-0.90 μm)
b. Land Surface Temperature (LST), dimana dalam hal ini dilakukan pengamatan kondisi suhu permukaan lahan berdasarkan data Landsat 7 ETM+ multi temporal. Tahapan meliputi pengumpulan data, penyusunan algoritma LST data Landsat 7 ETM+ dari perbandingan
dengan
LST
data
Terra-MODIS
kemudian
Kemudian
dilakukan
perhitungan statistik untuk mendapatkan korelasi antara LST MODIS dan rata-rata nilai Tb Landsat yang telah diekstraksi.
Persamaan regresi yang diperoleh kemudian
digunakan untuk menghitung LST dari Landsat. Selanjutnya dilakukan perhitungan LST Landsat 7 ETM+ multitemporal dan pemantauan LST pada daerah tercemar. c. Red Edge, metode ini dilakukan dengan langkah-langkah, antara lain: koreksi data Landsat untuk sHWLDSWDQJJDOGDWDVHWHODKLWXPDVXNNDQIRUPXODGHQJDQUXPXV¨5¨ڣ selanjutnya lakukan ekstraksi reflektansi dan ekstraksi panjang gelombang.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya kawasan yang terdampak oleh limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yaitu perbandingan antara spektral Near Infra Red (NIR) dikurangi Red (R) dibagi dengan jumlah spektral Near Infra Red (NIR) dan Red (R). Band spektral yang diproses memiliki data reflektan dan dari nilai ini dihitung NDVI. Rasio indeks ini bergantung pada perubahan reflektansi vegetasi antara panjang gelombang spektrum elektromagnetik merah dan
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
3
inframerah dekat. Perhitungan NDVI yang digunakan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Dimana NIR adalah nilai reflektan kanal inframerah dekat (Band 4) dan Red adalah nilai reflektan kanal merah (Band 3). Reflektan kanal merah akan berkurang dengan meningkatnya penyerapan klorofil, dimana reflektan kanal inframerah dekat bergantung pada struktur daun dan akan meningkat dengan meningkatnya biomasa tanaman hijau, jadi NDVI sangat sensitif terhadap jenis, densitas dan kondisi tutupan vegetasi. Nilai NDVI yang tinggi dapat menunjukkan kesehatan atau ketebalan daun dan rendahnya nilai NDVI menunjukkan stres vegetasi dan vegetasi yang jarang. Untuk menghitung nilai NDVI pada semua musim dicari nilai rata-rata NDVI pada musim kering dan musim basah. Hasil perhitungan rata-rata NDVI setiap musim, selanjutnya dihitung anomali NDVI.
Nilai NDVI dan anomali NDVI
kemudian dibandingkan dengan proses pemulihan lahan yang telah dilakukan di kawasan yang terdampak limbah B3 tersebut. Sebagai contoh hasil pengolahan NDVI melalui citra Landsat tanggal 6 Agustus 2001 seperti pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. NDVI dari citra landsat
Gambar 2. Anomali NDVI dari citra landsat
Pada Gambar 1 yang merupakan hasil pengolahan dari citra landsat tanggal 6 Agustus 2001 dapat dilihat bahwa nilai NDVI (Normalize Defference Vegetation Index) berkisar antara 0 hingga 0,8 dimana lingkaran merah menunjukkan lokasi daerah penelitian acid sludge di Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur (Haryani, et.al, 2013). Hasil pengolahan data yang telah dilakukan pada lokasi yang terdampak limbah B3, menggunakan data Landsat dari
4
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
tahun 1997 - 2012 pada musim penghujan (musim basah), sedangkan pengolahan data pada musim kemarau (musim kering) dari tahun 1995 - 2007. Hasil pengolahan NDVI pada musim kering berkisar antara -0,15 hingga 0,39, sedangkan hasil pengolahan NDVI pada musim basah berkisar antara -0,05 hingga 0,35. Hasil pengolahan nilai NDVI rendah, hal ini menunjukkan adanya stress vegetasi dan vegetasi yang jarang. Hasil pengolahan data untuk anomali NDVI dihitung berdasarkan perhitungan nilai NDVI dikurangi dengan mean NDVI (Gambar 2). Hasil pengolahan data untuk anomali NDVI yang telah dilakukan pada lokasi yang terdampak limbah B3, untuk data pada musim penghujan (musim basah) berkisar antara antara -0,20 hingga 0,19, sedangkan hasil pengolahan anomali NDVI pada musim kering berkisar antara -0,12 hingga 0,13. Nilai anomali NDVI positif menunjukkan adanya aktivitas vegetasi yang tinggi, sebaliknya nilai anomali NDVI negatif menunjukkan adanya aktivitas vegetasi yang rendah. Secara umum pola NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan anomali NDVI pada musim kering memiliki hubungan yang signifikan dengan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 yang telah dilakukan dibandingkan dengan pola NDVI dan anomali NDVI pada musim basah. 3.2 Land Surface Temperatur (LST) Aplikasi panjang gelombang thermal infrared dalam citra satelit penginderaan jauh dapat digunakan untuk pemantauan lingkungan, dalam aplikasinya untuk penelitian limbah B3, dimana perbedaan temperatur merupakan ciri atau tanda yang penting untuk penentuan karakteristik permukaan dari obyek. Pemanfaatan band inframerah termal untuk pemantauan daerah terdampak limbah B3 juga telah dilakukan pada beberapa penelitian. Faisal et al (2012) melakukan kajian untuk pemantauan lokasi pembuangan limbah atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di beberapa TPA di antaranya di Canada dan Kuwait. Penelitian yang dilakukan dengan cara pemantauan Land Surface Temperature (LST) atau suhu permukaan tanah menggunakan data Landsat Multi Temporal. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa LST di lokasi penimbunan limbah memiliki nilai yang lebih tinggi rata-rata 10° C dibandingkan lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian ini juga ditemukan beberapa daerah yang dicurigai menjadi tempat pembuangan limbah. Jauh sebelum penelitian di atas, potensi pemanfaatan panjang gelombang inframerah termal jauh juga telah dikaji oleh banyak peneliti diantaranya Mansor et al (1994) untuk memantau pembakaran batubara di bawah permukaan tanah. Pada penelitiannya menggunakan data multispektral NOAA 9-AVHRR dan data Landsat 5-TM untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci. Hasil penelitian ini menunjukkan daerah dengan anomali Brightness Temperature yang tinggi diduga sebagai daerah terjadinya pembakaran batubara. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa band tthermal baik dari sensor AVHRR maupun TM dapat digunakan untuk mendeteksi sumber suhu tinggi akibat pembakaran batubara di bawah permukaan tanah.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
5
Hasil penelitian yang telah dilakukan LAPAN tahun 2013 menunjukkan kemampuan panjang gelombang inframerah termal dalam mendeteksi limbah akibat pencemaran limbah sludge.
acid
Pada penelitian tersebut digunakan citra Landsat 7-ETM multitemporal untuk
memantau daerah yang terkena limbah, dan selanjutnya dibandingkan dengan lingkungan yang ada di sekitarnya. Pada Gambar 3 memperlihatkan contoh hasil pengolahan Land Surface Temperature, dimana pada daerah tercemar limbah pada lingkaran merah mempunyai temperatur yang lebih tinggi dibandingkan lingkungan yang berada di sekitarnya.
Gambar 3. Land Surface Temperatur (LST) dari citra Landsat
3.3 Red Edge Red Edge ( re) didefinisikan sebagai selang/daerah dengan peningkatan tajam nilai reflektansi antara panjang gelombang 680-760 nm, yang dapat digunakan untuk menganalisis konsentrasi klorofil sebagai ukuran kondisi tanaman. Red edge dalam pengolahan data pada landsat 5, reflaktan 3 (infrared), sedangkan panjang gelombang
menggunakan band 4 (near infrared) dan band menggunakan selisih panjang gelombang
antara 680 – 760 nm, dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:
dimana:
6
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Konsep dasar yang telah dikembangkan dalam analisis spektral vegetasi menjadi Red Edge, dimana untuk analisis spektral vegetasi tersebut biasanya menggunakan panjang gelombang yang berada pada nilai reflektan 720 nm. Panjang gelombang tersebut diwakili dengan kenaikan tajam pada nilai reflektan dari vegetasi antara 680 – 760 nm. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gates et. al., dan Guyot et al. mengemukakan bahwa semua vegetasi hijau menunjukkan pola reflektansi spektral yang serupa pada nilai reflektansi kanal visible dan kanal infrared. Pola reflektansi bimodal disebabkan oleh penyerapan klorofil pada panjang gelombang biru sebesar 450 nm dan panjang gelombang merah sebesar 680 nm, reflektansi klorofil pada panjang gelombang hijau menyebabkan puncak panjang gelombang sekitar 550 nm. Puncak reflektansi terbesar kedua adalah pada nilai reflektan 780 nm yang disebabkan struktur daun yang memiliki jumlah energi yang signifikan pada kanal near infrared. Menurut Horler et al., mendefinisikan Red Edge ( maksimum (
), dimana R adalah reflektan dan
) sebagai panjang gelombang
adalah panjang gelombang tertentu.
Guyot et al., juga mendefinisikan Red Edge sebagai infleksi/perubahan dalam peningkatan secara tajam antara panjang gelombang 670 dan 760 nm. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Collins et al. mengamati pergeseran panjang gelombang biru pada pohon conifer yang dipengaruhi oleh logam sulfida pada panjang gelombang antara 700 – 780 nm. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Horler menemukan pergeseran panjang gelombang biru pada pohon yang disebabkan oleh konsentrasi logam sulfida dalam tanah. Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Rock et al., menunjukkan pergeseran panjang gelombang biru sebesar 5 nm pada pohon cemara dan pohon fir di daerah Vermont dan Germani sebagai hasil dari kontaminasi asam. Penelitian yang dilakukan oleh Reusen (2003), melakukan pemetaan daerah yang terkontaminasi logam berat dengan mengamati stres vegetasi dengan menggunakan sensor hyperspectral CASI dengan cara menghitung nilai indeks vegetasi Edge Green First Derivative Normalized Difference (EGFN). Deteksi kontaminasi limbah B3 diamati dengan menggunakan band thermal dari citra hyperspectral. Vern Singroy (1996), penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 dan untuk membedakan karakteristik landfill dan limbah dikawasan
pertambangan.
Data
penginderaan
jauh
yang
digunakan
adalah
citra
multispektral CASI dan Landsat TM. Penelitian ini mengamati fenomena Red Edge yang disebabkan oleh perubahan tingkat kehijauan vegetasi akibat kontaminasi limbah B3 yang menyebabkan berkurangnya tingkat klorofil atau chlorosis/chlorophyll loss. Fenomena berkurangnya klorofil pada tanaman ditandai dengan bergesernya nilai panjang gelombang band red dan band Near Infrared (NIR) pada kisaran gelombang 0.68 – 0.75 nm. Penelitian ini juga mengamati perbedaan temperatur daerah yang tercemar limbah B3 dan tidak tercemar. Hal ini dapat diamati dengan menggunakan band thermal citra Landsat. Citra iinfrared thermal t digunakan untuk deteksi material dimana dekomposisi yang terjadi menghasilkan temperatur yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
7
Hasil penelitian yang telah dilakukan Haryani dkk. (2014), dimana penggunaan metode Red Edge untuk data resolusi spektral rendah hingga menengah seperti Landsat masih sulit diterapkan. Pergeseran nilai spektral dengan metode red edge menggunakan data Landsat belum dapat dibedakan secara jelas pergeseran spektralnya. Pada Gambar 4, merupakan contoh hasil pengolahan citra landsat tahun 1995 - 2012 menggunakan metode red edge. Hasil pengolahan menggunakan metode red edge ini hasilnya berfluktuasi dengan nilai red edge berkisar antara 10 sampai dengan 110. Nilai red edge tinggi mencapai nilai lebih besar dari
100, dicapai pada tahun 1997, tahun 2007 dan tahun 2012. Nilai red edge tinggi
menunjukkan bahwa lokasi tersebut masih adanya kontaminasi logam berat atau limbah B3.
Gambar 4. Red Edge dari citra landsat
Berdasarkan ketiga metode deteksi yang telah disampaikan pada bab sebelumnya bahwa pada dasarnya data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi adanya pencemaran limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dengan menggunakan analisis spektral dan analisis thermal. Analisis spektral dengan menggunakan band merah dan infra merah, sedangkan analisis thermal menggunakan perbedaan suhu pada permukaan tanah yang disebut Land Surface Temperatur (LST). Torrence Slonecker (2010), penelitian mengenai masalah lingkungan menggunakan data penginderaan jauh untuk mendeteksi limbah B3 dengan menggunakan metode Normalize Defference Vegetation Index (NDVI). Perhitungan NDVI menggunakan nilai reflektan band near infrared d (Band 4) dan band red yang merupakan nilai reflektan band merah (Band 3). Horler et al. (1983), mendefinisikan Red Edge ( (
), dimana R adalah reflektan dan
) sebagai panjang gelombang maksimum
adalah panjang gelombang tertentu, dimana
panjang gelombang untuk deteksi logam berat menggunakan metode Red Edge menggunakan panjang gelombang antara 670 dan 760 nm. Vern Singroy (1996), melakukan penelitian dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh untuk pemantauan limbah B3 untuk membedakan karakteristik landfill dan limbah di kawasan
8
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
pertambangan. Penelitian ini mengamati fenomena Red Edge yang disebabkan oleh perubahan tingkat kehijauan vegetasi akibat kontaminasi limbah B3 yang menyebabkan berkurangnya tingkat klorofil atau chlorosis (chlorophylll loss s) .
4. KESIMPULAN Berdasarkan beberapa metode yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Metode yang telah disampaikan bahwa dari ketiga metode deteksi limbah bahan berbahaya beracun (B3) dapat dideteksi melalui data penginderaan jauh dari resolusi menengah hingga tinggi, dengan pendekatan analisis spektral dan analisis thermal. b. Metode NDVI (Normalize Defference Vegetation Index) yang menggunakan data musim kemarau
hasilnya
menunjukkan
hubungan
yang
lebih
signifikan
dibandingkan
penggunaan data pada musim basah (penghujan), dimana hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa setelah proses pemulihan lingkungan nilai NDVI semakin meningkat dan anomali NDVI menjadi positif. c. Metode Land Surface Temperatur (LST) dengan pendekatan thermal infrared dalam citra satelit penginderaan jauh baik digunakan untuk pemantauan lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian secara umum suhu di daerah tercemar cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah tidak tercemar. d. Penggunaan metode Red Edge masih sulit diterapkan untuk deteksi daerah yang tercemar limbah B3 dengan menggunakan data resolusi spektral rendah hingga menengah seperti citra Landsat, karena kurang terlihat adanya pergeseran spektral sehingga akan berpengaruh terhadap perubahan nilai red edge.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bidawi Hasyim, M.Si. dan Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si., yang telah memberikan masukan dan koreksinya dalam paper ini.
DAFTAR PUSTAKA Bapedal, 1995. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No.: KEP04/BAPEDAL/09/1995 tentang Tata Cara Persyaratan Penimbunan, Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengelolaan dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Bapedal. Jakarta. Baret, F., dan Guyot, G.,1991. Potentials and limits of vegetation indexes for LAI and APAR assessment. Remote Sensing Environ 35: 161–173. Carlson, T. N., dan Ripley, D. A., 1997. On the relation between NDVI, fractional vegetation cover, and leaf area index. Remote Sensing Environ.62(3): 241Ǧ252.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
9
D’Emilio, M., Machianto, M., Ragosta, M., dan Simoniello, T., 2012. A Method for the Integration of Satellite Vegetation Activities Observations and Magnetic Susceptibility Measurements for Monitoring Heavy Metals in Soil. Journal of Hazardous Materials 241-242 (2012) 118-126. Faisal, K., Al Ahmad, M., dan Shaker, A, 2012. Remote Sensing Techniques as a Tool for Environmental Monitoring. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XXXIX-B8, 2012 XXII ISPRS Congress, 25 August – 01 September 2012, Melbourne, Australia. Guyot, G., Baret, F., dan Jacquemoud, S. 1992. Imaging Spectroscopy for vegetation studies. In Imaging Spectroscopy:Toselli, F., Bodechtel, J., Eds.; Kluwer Academic Publisher: Nowell, MA, USA, 1992; Volume 2, pp. 145-165. Haryani, N.S., Sulma, S., dan Pasaribu, J.M. 2013. Detection of Acid Sludge Contaminated Area Based on Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Value. Proceeding ACRS (Asean Conference on Remote Sensing). 20-24 Oktober 2013. Bali. Horler, D.N.H., Barber, J., dan Barringer, A.R., 1980. Effects of heavy metals on the absorbance and reflectance spectra of plants. Int. J. Remote Sensing I: 121 – 136. Horler, D.N.H., Dockray, M., dan Barber, J. 1983. The red edge of plant leaf reflectance. Int. J. Remote Sensing. 4, 273-288. Mansor, S.B., Cracknell, A.P., Shilin, B.V., dan Gornyi, V.I., 1994. Monitoring of underground coal fires using thermal infrared data. Int. J. Remote Sensing, 15, 1675-1685. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Lembaran Sekneg. Jakarta. Singhroy, V., dan Kuhn, F., 1996. Remote Sensing for characterizing and Monitoring of Hazardous Waste Sites – Case Studies in Canada and Germany. International Archives pf Photogrammetry and Remote Sensing. Vol XXXI. Part B7. Vienna. Slonecker, T., Fisher, G. B., Aiello, D. P., dan Haack B., 2010. Visible and Infrared Remote Imaging of Hazardous Waste : A Review. Remote Sensing. 2010, 2, 2474-2508; doi : 10.3390/rs2112474 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2013. Pengembangan Model Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Limbah B3. Laporan Akhir Kegiatan Penelitian T.A. 2013. Jakarta. Wan, Z. 1997. MODIS Land-Surface Temperature r Algorithm Theoritical Basis Document (LST ATBD) Version 3.3. Institute for Computational Earth System Scince, University of California.
10
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M.Si.) pada program studi Ilmu Lingkungan, Program Paskasarjana Universitas Indonesia (UI), 1997 x Sarjana (Dra.) Jurusan Penginderaan Jauh (Remote Sensing), Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM). 1983. Nanik Suryo Haryani telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1992. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan (hutan dan perkebunan) dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Sayidah Sulma, S.Pi, M.Si Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M.Si) pada program studi Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. 2012 x Sarjana Perikanan (S.Pi.) pada program studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2000 Sayidah Sulma telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2003. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk analisis sumberdaya pesisir dan laut, mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan, dan analisis pencemaran lingkungan. Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Junita Monika Pasaribu, S.Si Email :
[email protected] Pendidikan: x Sarjana Sains (S.Si.) program studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
11
Junita Monika Pasaribu telah bekerja di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2011. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk bencana banjir, kekeringan dan penurunan muka tanah. Saat ini mengikuti kegiatan penelitian mengenai aplikasi penginderaan jauh untuk deteksi limbah B3.
Ir.Hidayat, MT. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Program Pasca Sarjana (S2) Jurusan Kimia, Universitas Indonesia, 1995 x Sarjana Teknik (S1.) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Univ. Muhammadiayah Jakarta), 1985, Hidayat telah bekerja honorer di sejak 1972, dan diangkat CPNS tahun 1975 sebagai Teknisi Proyek TELSA LAPAN sampai Tahun 1985.
Staf Peneliti di Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1985. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk pemanfaatan data satelit sumber daya alam lahan dan mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu serta interaksinya dan potensinya terhadap sumber daya alam lahan dan kebencanaan (pangan, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
12
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
ANALISIS CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU DI DAERAH PERKOTAAN Nur Febrianti, Kusumaning Ayu DS, Parwati Sofan
Abstract
Green open space (RTH) is a form of land use in the area allocated for reforestation, where the extent of at least 30% of the area of the city. This study was conducted to analyze the methods and the appropriate satellite image data to identify the green open spaces in urban areas. The data used are Landsat 8 satellite data, ALOS / AVNIR-2 and SPOT 6. The method used are the landuse classification and the vegetation index. From this research it is known that the use of satellite imagery with high spatial resolution are indispensable for the identification of green space in urban areas have a higher diversity of heterogeneous land cover and narrow area. Determining the location of extensive green open spaces more easily accomplished using vegetation index method than other methods. This is because the use of high-resolution imagery and vegetation index can not directly distinguish plants with no plants, so there is no mixing with other land. The classes of vegetation cover with vegetation index method can not be compared to any type of data. Because each data (Landsat, ALOS and SPOT) have a range of different vegetation indices. Key words : satellite data, vegetation index, Green open Space (RTH) Abstrak
Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan pada satu kawasan yang diperuntukan untuk penghijauan, dimana luasnya minimal 30% dari luas kota. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis metode dan data citra satelit yang tepat untuk mengidentifikasi ruang terbuka hijau di perkotaan. Data yang digunakan adalah data satelit Landsat 8, ALOS/AVNIR-2, dan SPOT 6. Sedangkan metode yang digunakan adalah klasifikasi lahan dan indeks vegetasi. Dari penelitian ini diketahui bahwa pemanfaatan citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi sangat diperlukan untuk identifikasi RTH di daerah perkotaan yang mempunyai tingkat keragaman penutupan lahan yang heterogen dan luasan yang sempit. Penentuan luas lokasi ruang terbuka hijau lebih mudah dilakukan dengan menggunakan metode indeks vegetasi daripada metode lainnya. Hal ini dikarenakan penggunaan citra resolusi tinggi dan Indeks vegetasi dapat secara langsung membedakan tanaman dengan bukan tanaman, sehingga tidak terjadi percampuran dengan tutupan lahan lainnya. Kelas tutupan vegetasi dengan metode indeks vegetasi tidak dapat disamakan untuk setiap jenis data. Karena setiap data (Landsat, ALOS, dan SPOT) memiliki kisaran indeks vegetasi yang berbeda. Kata kunci : data satelite, indeks vegetasi, RTH
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
13
1. PENDAHULUAN Undang-Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH/ Green Open spaces) merupakan area tanaman yang tumbuh mengelompok atau memanjang, tumbuhnya dapat secara alamiah ataupun di tanam. Dengan kata lain RTH merupakan suatu bentuk area lahan pada satu kawasan yang diperuntukan untuk penghijauan tanaman. Pembuatan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, indah, bersih dan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan dan menciptakan keserasian lingkungan yang berguna untuk kepentingan masyarakat (Zainuddin, 1998). RTH yang ideal untuk wilayah kota adalah 30% dari luas wilayah. Namun saat ini hampir disemua kota besar di Indonesia hanya memiliki RTH sekitar 10% dari luas wilayah kota tersebut. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, bahwa ruang terbuka hijau perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. RTH sebagai paru-paru kota dimana tanaman melaukuan proses Fotosintesis dengan mengambil Karbon dioksida (CO2) dan melepaskan Oksigen (O2) yang sangat diperlukan bagi makhluk hidup. Menurut Grey dan Deneke (1971) dalam Zoer’aini (2005), menyebutkan tanaman di bumi ini setiap tahunnya dapat melepaskan 400.000 juta ton/tahun O2 ke atmosfer. Hal ini didukung oleh Simpson dan McPherson (1999) yang menyatakan bahwa penyerapan karbon dioksida oleh hutan kota dengan jumlah 10.000 pohon berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun. RTH dianggab sebagai pengatur lingkungan mikro karena tanaman dapat menurukan suhu kota dan meningkatkan kelembaban udara sehingga menimbulkan hawa lingkungan yang sejuk, nyaman dan segar. Hutan kota pada siang hari di permulaan musim penghujan dapat menurunkan suhu lingkungan sekitarnya sebesar 3,46%, dan menaikkan kelembaban sebesar 0,81% (Zoer’aini, 1994). RTH juga sebagai peredam kebisingan dimana menurut Menurut Federal Highway Administration (FHWA) pepohonan dapat meredam kebisingan dengan cara mengabsorpsi gelombang suara. Penanaman vegetasi pepohonan dalam bentuk memanjang, dengan penutupan yang rapat dan berlapis-lapis, dapat meredam kebisingan yang cukup besar hingga 95% dari sumbernya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bianpoen, et al., (1990), menemukan bahwa vegetasi mempunyai kemampuan untuk mengurangi kebisingan sekitar 25% - 80%. Perkembangan RTH memerlukan perencanaan dan pengelolaan yang baik, agar fungsi dan peranan ruang terbuka hijau itu sendiri dapat terwujud secara optimal. Informasi yang akurat, cepat dan efisien akan sangat membantu dalam perencanaan pembangunan ruang terbuka
14
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
hijau. Penginderaan jauh mampu memberikan informasi secara lengkap, cepat dan relatif lebih akurat, serta cakupan wilayah yang luas. Kelebihan lain dari teknik penginderaan jauh dengan menggunakan satelit yaitu dapat menghasilkan data digital yang selanjutnya dapat diolah secara kuantitatif, sehingga dihasilkan informasi yang berkesinambungan. Penggunaan penginderaan jauh untuk mengidentifikasi luas RTH di suatu kota, namun banyaknya metode yang dapat digunakan menyebabkan penentuan metode yang tepat sangatlah penting. Untuk itu dalam tulisan ini akan menganalisis beberapa metode yang sudah banyak digunakan.
2. DATA DAN METODE Data satelit memiliki beberapa range resolusi, ada tiga tingkat ukuran resolusi yang perlu diketahui, yaitu: Resolusi spasial tinggi, berkisar : 0.6-4 m, Resolusi spasial menengah, berkisar : 4-30 m, dan Resolusi spasial rendah, berkisar : 30 - > 1000 m. Satelit dengan resolusi rendah misalnya Landsat, citra Alos yang hanya memiliki resolusi 10 m salah satu contoh data dari satelit resolusi menengah (Tabel 1), sedangkan untuk data resolusi tinggi contohnya adalah data IKONOS. Data yang digunakan dalam pengolahan adalah data Landsat 8 tahun 2013, ALOS AVNIR-2 tahun 2009, dan data SPOT 6 tahun 2013. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk penentuan RTH disajikan pada Tabel 2. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan klasifikasi land use dengan metode klasifikasi terbimbing menggunakan data Landsat 8 dan SPOT 6. Selain itu juga dilakukan pengolahan indeks vegetasi menggunakan data Landsat 8, Alos AVNIR-2, dan SPOT 6. Tabel 1. Karakteristik ALOS AVNIR-2
Number of Bands
4
Wavelength
Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers
Spatial Resolution
10m (at Nadir)
Swath Width
70km (at Nadir)
S/N
>200
MTF
Band 1 through 3 : >0.25 Band 4 : >0.20
Number of Detectors
7000/band
Pointing Angle
- 44 to + 44 degree
Bit Length
8 bits
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
15
Tabel 2. Data dan metodologi yang dianalisis
No.
Metode
1.
Data
Resolusi
Landsat 8 ETM
30 m
Sumber
Klasifikasi terbimbing piksel 2. 3.
Indeks vegetasi
4. 5.
Klasifikasi terbimbing berbasis
6.
objek
SPOT 6
10 m
ALOS/AVNIR-2
10 m
Landsat 8 ETM
30 m
SPOT 6
10 m
ALOS/AVNIR-2
10 m
IKONOS
4m
Quickbird
2,4 m
7. 8.
Digitasi pada Layar
As-syakur et al., 2009
M. Yusof, 2012 Utami et al., 2012
3. HASIL DAN ANALISIS 3.1. Identifikasi Menggunakan Metode Klasifikasi Terbimbing Klasifikasi citra merupakan proses yang berusaha mengelompokkan seluruh pixel pada suatu citra ke dalam sejumlah kelas, sedemikian hingga setiap kelas merepresentasikan suatu identitas dengan properti yang spesifik. Pada Gambar 1 menunjukkan klasifikasi tutupan lahan DKI Jakarta menggunakan data Landsat-8 ETM menggunakan metode klasifikasi terbimbing. Pada dasarnya penggunaan data Landsat-8 ETM dengan teknik multispektal ini sudah dapat memperlihatkan sebaran ruang terbuka, namun masih terjadi percampuran dengan kelas tutupan lahan lainnya.
Gambar 1. Klasifikasi tutupan lahan DKI Jakarta menggunakan Landsat 8
Keterbatasan data Landsat yaitu masih sering terjadi penggabungan kelas dengan tutupan lahan lainnya dapat ditutupi dengan penggunaan data resolusi yang lebih tinggi seperti yang ditunjukkan Gambar 2. Disini diperlihatkan dengan metode yang sama yaitu klasifikasi
16
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
terbimbing berbasis piksel menggunakan Citra SPOT 6 tahun 2013. Hasil pengolahan dengan citra yang memiliki resolusi lebih tinggi menghasilkan
Gambar 2. Klasifikasi tutupan lahan DKI Jakarta menggunakan data SPOT 6
Klasifikasi terbimbing selain berbasis piksel ada teknik lain yaitu berbasis objek. Klasifikasi dengan metode segmentasi menggunakan citra IKONOS 2002 yang diperlihatkan pada Gambar 3, memberikan hasil klasifikasi penggunaan lahan yang cukup baik.
Klasifikasi
penggunaan lahan dengan IKONOS dapat melakukan pembagian jenis tanaman menjadi beberapa tanaman dengan mudah yaitu rumput, semak dan pohon.
Gambar 3. Klasifikasi penutupan lahan Kota Kuala Lumpur menggunakan data IKONOS (Sumber: M. Yusof, 2012)
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
17
3.2. Identifikasi Menggunakan Metode Digitasi pada Layar (On screen digitation) Hasil klasifikasi menggunakan citra Quickbird menggunakan metode digitasi dapat dilihat pada Gambar 4. Citra Quickbird bermanfaat sebagai penentu tingkat kenyamanan dilihat dari resolusi spasial yang tinggi sehingga mempermudah interpreter dalam menginterpretasi objek. Menurut Utami et al. (2012), persentase ketelitian hasil interpretasi citra Quickbird yaitu untuk interpretasi penggunaan lahan sebesar 91.9%, untuk interpretasi liputan vegetasi sebesar 86.84%, sedangkan untuk interpretasi kepadatan bangunan sebesar 90.9%.
Gambar 4 . Klasifikasi penggunaan lahan Kota Bekasi menggunakan data Quickbird (Sumber: Utami et al., 2012)
3.3. Identifikasi Menggunakan Metode Indeks Vegetasi Gambar 5 memperlihatkan hasil identifikasi tanaman menggunakan metode indeks vegetasi yaitu NDVI yang menggunakan data ALOS 2013. Karena NDVI berhubungan erat dengan fAPAR (fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation) (Myneni dan Williams, 1994), serta berkorelasi kuat dengan LAI dan biomassa pada monokulture (Aparicio et al., 2002) dan sensitif terhadap kandungan klorofil (Zavaleta et al., 2003). Dengan metode NDVI, Identifikasian tutupan tanaman memberikan hasil yang lebih baik karena hanya mengidentifikasi tanaman saja pada berbagai nilai reflektan. Metode ini selain lebih mudah pengolahannya namun dapat memberikan hasil informasi tamanan yang bervariasi. Reflectances spektral NDVI bervariasi antara -1.0 dan +1.0. Nilai negatif dari NDVI (nilai mendekati -1) sesuai dengan air yang dalam. Nilai mendekati nol (-0.1 sampai
18
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
0.1) umumnya sesuai dengan daerah tandus batu, pasir, atau salju. Nilai-nilai positif (sekitar 0,2 - 0,4) merupakan semak dan padang rumput, sedangkan nilai tinggi (nilai mendekati 1) menunjukkan hutan hujan beriklim sedang dan tropis (As-syakur et al., 2009).
Gambar 5. Klasifikasi tutupan tanaman DKI Jakarta menggunakan data SPOT 6
3.4 Kajian Perbandingan Perbedaan resolusi spasial sangat menentukan ketepatan hasil apalagi untuk daerah perkotaan. Seperti yang ditunjukan pada Gambar 6 dimana Landsat memperlihatkan gambar yang lebih blur, tidak jelas batas antar klas lahan. Sedangkan pada citra ALOS sudah terlihat batas antar klas namun kurang spesifik, namun pada citra SPOT 6 selain sudah terlihat jelas perbedaan antar klas penggunaan lahan, terlihat jelas perbedaan tinggi dari bangunan atau vegetasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Liang et al. (2007) bahwa pemanfaatan citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi sangat diperlukan untuk daerah perkotaan yang mempunyai tingkat keragaman penutupan lahan yang heterogen.
Landsat 8 resolusi 30 m
ALOS AVNIR resolusi 10 m
SPOT 6 resolusi 6 m
Gambar 6. Contoh resolusi pada Citra Satelit : Landsat, Alos, dan Spot 6 wilayah Lapangan Senayan dan sekitarnya
Perbandingan beberapa metode ditunjukkan dalam Tabel 3. Perbedaan mendasar dari metode ini adalah dari sisi waktu pengerjaan, tingkat kesulitan, serta akurasi yang diperoleh. Dari perbandingan tersebut disimpulkan bahwa penggunaan indeks vegetasi lebih ideal
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
19
digunakan, karena penentuan RTH lebih fokus untuk melihat perbedaan vegetasi dan non vegetasi. Tabel 3. Perbandingan metode
No. 1.
Metode Klasifikasi terbimbing berbasis piksel
Kelebihan x pengolahan lebih cepat x
2.
Klasifikasi terbimbing berbasis objek
3.
Indeks vegetasi
4.
Digitasi pada Layar
x Memperhitungkan aspek seperti scale, color, tekstur x pengolahan lebih cepat x Pengolahan cepat dan ideal untuk pemisahan kelas vegetasi dan non vegetasi x Akurasi dapat lebih tinggi tertutama pada citra resolusi spasial lebih tinggi
Kekurangan x Hanya mempertimbangkan nilai spektral x Perlu pengeditan pada kelaskelas yang sulit dibedakan akibat nilai pixel yang mirip x Sulit dilakukan untuk data yang sangat besar x Diperlukan multitemporal data untuk membedakan jenis vegetasi x Membutuhkan waktu yang lebih lama x bersifat subyektif, perlu interpreter yang mahir x tidak sesuai untuk citra resolusi rendah
Dengan ditetapkannya metode yang akan digunakan adalah indeks vegetasi, maka dilakukan perbandingan kembali hasil pengolahan indeks vegetasi pada beberapa citra dari resolusi rendah, menenggah, dan yang memiliki resolusi tinggi (Gambar 7). Pada Gambar 7 terlihat perbedaan nyata hasil pengolahan indeks vegetasi untuk data Landsat, ALOS, dan SPOT 6. Terlihat semakin tinggi resolusi maka variasi nilai indeks akan semakin beragam.
NDVI LANDSAT 8
NDVI ALOS AVNIR-2
NDVI SPOT 6
Gambar 7. NDVI pada citra Landsat, ALOS, dan SPOT 6 wilayah Lapangan Senayan dan sekitarnya
Bila dibandingkan nilai kisaran NDVI yang dimiliki masing-masing citra, NDVI landsat 8 berkisar antara -0.056 hingga 0.484, dan ALOS AVNIR-2 memiliki kisaran NDVI antara 0.629 hingga 0.051, sedangkan SPOT 6 memiliki NDVI berkisar antara -0.575 hingga 0.527. Indeks vegetasi untuk tutupan vegetasi berkisar antara 0.307 hingga 0.485 pada Landsat 8, dan -0.137 hingga -0.16, sedangkan vegetasi pada citra SPOT berkisar antara 0.307 hingga
20
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
0.490. Hasil perbandingan ini juga memperlihatkan bahwa nilai ALOS memiliki kisaran yang sangat kecil daripada Landsat dan SPOT.
4. KESIMPULAN Pemanfaatan citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi sangat diperlukan untuk identifikasi RTH di daerah perkotaan yang mempunyai tingkat keragaman penutupan lahan yang heterogen dan luasan yang sempit. Penentuan luas lokasi ruang terbuka hijau lebih mudah dilakukan dengan menggunakan metode indeks vegetasi daripada metode lainnya. Hal ini dikarenakan penggunaan citra resolusi tinggi dan Indeks vegetasi dapat secara langsung
membedakan
tanaman
dengan
bukan
tanaman,
sehingga
tidak
terjadi
percampuran dengan tutupan lahan lainnya. Kelas tutupan vegetasi dengan metode indeks vegetasi tidak dapat disamakan untuk setiap jenis data. Karena setiap data (Landsat, ALOS, dan SPOT) memiliki kisaran indeks vegetasi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Aparicio, N., D. Villegas, J.L.Araus, J. Casadesus. dan C. Royo. 2002. Relationship Between Growth Traits And Spectral Vegetation Indices in Durum Wheat. Crop Science, 42, 1547 – 1555. As-syakur, A. R., dan I.W.S. Adnyana. 2009. Analisis indeks vegetasi menggunakan citra ALOS/AVNIR-2 dan sistem informasi geografi (SIG) untuk evaluasi tata ruang kota Denpasar. Jurnal Bumi Lestari, Vol 9 No.1. Bianpoen, D. Anggraini, D. Ratnaningrum, dan K. Pasya. 1990. Fungsi Hutan Kota. Pusat Penelitian Teknologi dan Pemukiman, Universitas Tarumanagara, Jakarta [In press]. Federal Highway Administration. Equestrian Design Guidebook for Trails, Trailheads and Campgrounds. [akses Januari 2014] http://www.fhwa.dot.gov/environment/ recreational_trails/publications/fs_publications/07232816/page06.cfm http://www47.homepage.villanova.edu/guillaume.turcotte/studentprojects/arboretum/NDVI.ht m [akses Januari 2014] Liang, S., T. Zheng, D. Wang, K. Wang, R. Liu, dan S. Tsay, S. 2007. Mapping high resolution incident photosynthetically active radiation over land from polar – orbiting and Geo stationary satellite data. Photogrammetric engineering & remote sensing, 1085 – 1089. M. Yusof M.J. 2012. Identifying Green Spaces in i Kuala Lumpur Using Higher Resolution Satellite Imagery. Alam Cipta Vol 5 (2) Myneni, R.B., & Williams, D. L. 1994. On The T Relationship between FAPAR and NDVI. Remote Sensing of Environment, 49, 200–211. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
21
Simpson, J.R., dan E.G. McPherson. 1999. Carbon Dioxide Reduction Through Urban Forestryy Guidelines for Professional and Volunteer Tree Planters. Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-171. Albany, CA: Pacific Southwest Research Station, Forest Service, U.S. Departmen of Agriculture. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Utami, S.A., Suharyadi, dan Iswari N H. 2012. Penentuan Lokasi RTH Daerah Permukiman Di Sebagian Kota Bekasi Menggunakan Aplikasi Penginderaan jauh dan SIG. Jurnal bumi Indonesia, Vol. 1 No.2. Yunhao, C., S. Peijun, L. Xiaoning, dan C. Jing. 2006. A combined approach for estimating vegetation cover in urban/suburban enviroments from remotely sensed data. Computers & geosciences, 32, 1299 – 1309. Zainuddin, S. 1998. Pengalaman dan Praktek Pengembangan/Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau sebagai Wahana Keanekaragaman Puspa dan Satwa di Wilayah Perkotaan. Makalah Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional, Jakarta. Zavaleta, E.S., B.D. Thomas., N.R. Chiariello, G.P. Asner, dan M.R. Shaw. 2003. Plants Reverse Warning Effect on Ecosystem Water Balance. PNAS, 100, 17. 1892 – 1893. Zoer’aini, D. I. 1994. Peranan Bentuk dan Struktur Kota terhadap Kualitas Lingkungan Kota. Disertasi, Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zoer’aini, D. I. 2005. Tantangan Lingkungan & Lansekap Hutan Kota. Cetakan Pertama. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
22
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS
Nur Febrianti, S.Si. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2004 Nur Febrianti telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2008. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Kusumaning Ayu, ST Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan/Education: x Sarjana Teknik (ST),pada program studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (UI) 2009 Penelitian yang diminati/Research Interest: Aplikasi data penginderaan jauh untuk kebakaran hutan dan teknik telekomunikasi Kusumaning Ayu telah bekerja di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2006. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pengembangan model aplikasi data penginderaan jauh untuk kebakaran hutan. Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
Parwati Sofan, S.Si, M.Sc. Email :
[email protected] Pendidikan: x Master of Science (M.Sc) pada program studi Remote Sensing and GIS Applications, Program Master pada Space Technology and Applications di Internatinal School, Beijing University of Aeronautics and Astronautics (BUAA), PRC. 2008
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
23
x
Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 1999
Parwati telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2002. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
24
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN PENURUNAN MUKA TANAH (LAND SUBSIDENCE) E Junita Monika Pasaribu, Jalu Tejo Nugroho, Wiweka
Abstract
Land subsidence has been occurred in several areas in various countries. Interferometry method is one of the techniques which was considered effective for land subsidence mapping due to its ability to map an area with large coverage. This paper reviews the utilization of remote sensing data by using several interferometric techniques which has been used by several researcher and has been applied in some areas in Indonesia. Synthetic Aperture Radar (SAR) data is an appropriate satellite data to monitor and map land subsidence due to the ability of SAR data which can be operate in day time or night time in all wheather condition, and SAR data also has an ability to penetrate clouds, smoke or rain. Research which has been done by several researcher with Indonesia as the study area, indicate that the main cause of land subsidence is an intensive ground water usage for settlement, industry, and agriculture, urban development and natural gas extraction. Key Words: remote sensing, land subsidence, Synthetic Aperture Radar (SAR)
Abstrak
Penurunan muka tanah atau yang dikenal dengan land subsidence telah banyak terjadi dibeberapa lokasi di berbagai negara. Metode interferometry adalah salah satu teknik yang dinilah efektif untuk memetakan land subsidence karena kemampuannya memetakan daerah dengan cakupan yang luas. Tulisan ini mengulas pemanfaatan data penginderaan jauh menggunakan beberapa teknik interferometri yang telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti dan telah diaplikasikan di beberapa daerah di Indonesia. Data Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan data satelit yang tepat untuk memantau dan memetakan land subsidence karena SAR dapat beroperasi siang maupun malam dalam segala kondisi cuaca, dapat menembus awan, asap ataupun hujan. Penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan daerah kajian Indonesia menunjukkan bahwa penyebab utama terjadinya land subsidence adalah penggunaan air tanah yang intensif untuk keperluan permukiman, industri, dan pertanian, pembangunan daerah perkotaan dan ekstraksi gas alam. Kata Kunci: penginderaan jauh, land subsidence, Synthetic Aperture Radar (SAR)
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
25
1. PENDAHULUAN Land subsidence merupakan perubahan posisi permukaan tanah dalam arah vertikal. Penurunan permukaan tanah ini dapat disebabkan adanya kompaksi ataupun konsolidasi tanah, turunnya elevasi muka air tanah, dan juga pengaruh beban dipermukaan tanah tersebut (Murdohardono dan Sudarsono, 1998). Studi karakteristik penurunan muka tanah diperlukan dalam penentuan pola dan laju penurunannya. Pada prinsipnya, penurunan tanah dari suatu wilayah dapat dipantau denganmenggunakan beberapa metode, baik metode-metode hidrogeologis (misalnya pengamatan level muka air tanah serta pengamatan dengan ekstensometer dan piezometer) dan metode geoteknik, maupun metode-metode geodetik seperti survei sifat datar (levelling l ), survei gaya berat mikro, survei GPS (Global Positioning System), dan InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar). r Teknologi penginderaan jauh dengan kemampuannya yang semakin canggih dewasa ini, baik dari sisi spasial maupun temporal, sangat potensial untuk mengamati penurunan muka tanah dan memetakannya dengan cakupan spasial yang luas dan informasi yang lebih detil. Salah satu data penginderaan jauh yang sangat baik untuk digunakan dalam pemetaan deformasi permukaan tanah adalah data Synthetic Aperture Radar (SAR). Tujuan dari tulisan ini adalah mencoba untuk memaparkan pemanfaatan data penginderaan jauh SAR dengan menggunakan beberapa metode interferometri untuk mengamati dan memetakan land subsidence.
2. DATA DAN METODE 2.1 Data Penggunaan data penginderaan jauh untuk deteksi land subsidence telah banyak dikembangkan, terutama dengan menggunakan data SAR yang merupakan salah satu jenis penginderaan jauh dengan sensor aktif. Sistem SAR menggunakan daerah gelombang mikro dari spektrum elektromagnetik antara frekuensi 0.3 GHz sampai 300 GHz. Sistem SAR terdiri atas pemancar (transmitter), penerima (receiver), antena dan sistem elektronis untuk memproses dan merekam data. Bagian pemancar akan mengirimkan sinyal gelombang mikro secara kontinyu yang dipantulkan oleh permukaan bumi, kemudian antena penerima akan menerima bagian dari energi hamburan balik (backscattered) dari objek untuk kemudian direkam dan diproses lebih lanjut. SAR mempunyai sumber energi sendiri tanpa tergantung dengan sumber energi matahari, sehingga dapat beroperasi pada waktu siang maupun malam dalam segala kondisi cuaca karena gelombang mikro dapat menembus awan, asap dan hujan. Gelombang mikro juga memiliki kemampuan untuk menembus lapisan permukaan, sebagai contoh kanopi vegetasi, lebih dalam daripada panjang gelombang optis. SAR juga sensitif terhadap kekasaran permukaan, kelembaban, dan sifat
26
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
elektris objek. Penelitian dengan menggunakan data penginderaan jauh SAR telah banyak dilakukan untuk deteksi dan monitoring land subsidence. Beberapa penelitian untuk deteksi dan monitoring land subsidence dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Beberapa data penginderaan jauh SAR dan metode yang digunakan untuk deteksi land subsidence.
Peneliti Hirose et al.
Sensor JERS-1
(2001)
Lubis et al.
Metode
Tujuan/Keterangan
InSAR
Monitoring land subsidence di kota Jakarta, Indonesia yang
Levelling
disebabkan adanya penggunaan air tanah secara intensif. Hasil
GPS
pengolahan ini divalidasi dengan survey levelling dan GPS.
ALOS PALSAR InSAR
(2011)
Monitoring land subsidence di kota Semarang, Indonesia. Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa peta displacement menunjukkan kejadian land subsidence yang ekstrim yang terjadi di sepanjang daerah pantai dan daerah dataran rendah dimanadaerah ini merupakan daeah industri dengan pemukiman yang padat, ekstraksi air tanah dalam jumlah besar, dan perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian dan kebun menjadi kawasan industri dan permukiman. Hasil penelitian menunjukkan konsistensi dengan pola historis penurunan muka tanah dengan data leveling.
Chaussard et ALOS PALSAR DInSAR
Memetakan land subsidence di beberapa wilayah di bagian barat
al. (2013)
Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan korelasi hasil observasi penurunan muka tanah dengan struktur geologi permukaan dan tutupan lahan. Penurunan muka tanah disebabkan oleh ekstraksi air tanah oleh industri, pertanian, dan ekstraksi gas alam.
Chatterjee et ERS-1/2
DInSAR
Identifikasi fenomena land subsidence di kota Kalkuta dan melakukan analisis kuantitatif dan modeling fenomena deformasi yang menekan
al. (2006)
presisi pengukuran. Syafiudin dan JERS-1 Chatterjee
ALOS PALSAR
(2009)
ENVISAT ASAR
DInSAR
Identifikasi daerah yang terkena dampak land subsidence dan mengukur secara teliti besarnya penurunan muka tanah untuk pemetaan penurunan permukaan tanah secara kontinu pada periode 1990an.
Herra et al.
TerraSAR-X
PSInSAR – Monitoring land subsidence yang disebabkan oleh eksploitasi airtanah
(2010)
ERS
Coherent
di daerah permukiman Murcia, Spanyol. Hasil pengolahan dengan
ENVISAT
Pixel
data TerraSAR-X dibandingkan dengan hasil dengan menggunakan data ERS dan ENVISAT.
Yan et al. (2009)
ENVISAT
SInSAR
Monitoring land subsidence di kota Mexico dengan membandingkan
Small
metode PSInSAR dan SBAS. Laju deformasi diekstraksi dari
Baseline
menggunakan beberapa citra diferensial interferogram dengan
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
27
Peneliti
Sensor
Metode (SBAS)
Tujuan/Keterangan menggunakan regresi linier 2D.
Osmanoglu et ENVISAT ASAR PSInSAR
Monitoring land subsidence di kota Mexico akibat penggunaan
al. (2011)
airtanah dalam jumlah besar. Hasil pengolahan data ENVISAT kemudian dibandingkan dengan data lapangan dengan menggunakan GPS. Variasi tahunan yang signifikan untuk data vertikal yang diperoleh dari pengukuran GPS tidak diamati.
Hung et al.
ENVISAT
PSInSAR
(2011)
Monitoring land subsidence di daerah Choushui River Alluvial Fan, Taiwan yang merupakan daerah pertanian. Penurunan muka tanah disebabkan oleh penggunaan air tanah secara intensif untuk kebutuhan pertanian. Terdapat korelasi yang baik antara pergeseran vertikal dari metode PSI dengan data leveling.
Ng et al.
ALOS PALSAR PSInSAR
(2012)
GPS
Pemetaan land subsidence di kota Jakarta, Indonesia dan divalidasi dengan pengukuran lapangan dengan menggunakan GPS.
1.2 Metode 1.2.1
Interferometry Synthetic Aperture Radar (InSAR)
InSAR merupakan teknik pencitraan yang memanfaatkan perbedaan fasa gelombang elektromagnetik untuk mendapatkan informasi tinggi di suatu daerah (Ismullah, 2004). Ismullah juga memaparkan beberapa proses pengolahan data menggunakan teknik InSAR secara umum adalah: a. Citra Kompleks Synthetic Aperture Radar Citra Synthetic Aperture Radar (SAR) yang diolah secara interferometri disebut dengan citra Single Look Complex (SLC), dimana setiap pixelnya mempunyai nilai dalam bilangan kompleks. Bilangan riil dan bagian imajiner dari bentuk bilangan kompleks di setiap piksel tersebut terdiri atas informasi tentang amplitudo dan fasa. Informasi fasa dari dua atau lebih sinyal radar dalam bentuk bilangan kompleks kemudian dikombinasikan. Dengan demikian setiap piksel pada citra SAR menyatakan amplitudo dan fasa dari sinyal balik yang berasal dari sinyal yang dipancarkan sensor. b. Koregistrasi Citra Pada InSAR, digunakan dua data citra SAR untuk menghitung beda fasa dari kedua kumpulan data tersebut, hasilnya divisualisasikan dalam bentuk interferogram. Pada hasil interferogram tersebut tergambar garis-garis tepi (fringes) yang menunjukkan rentang fasa antara 0 sampai
dalam bentuk warna. Tahap yang sangat penting dalam pembentukan
interferogram adalah ko-registrasi citra. Pada pengolahan koregistrasi dua citra kompleks, citra kedua (slave image) diolah hingga cocok dengan citra utama (master image). Kemudian
28
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
amplitudo dan fasa dari setiap fasor dihitung. Pada koregistrasi citra, parameter registrasi yang paling penting diataranya adalah translasi, skala, rotasi dan kemiringan. Parameterparameter registrasi ini umumnya linier terhadap koordinat. c. Koherensi Interferometri didefinisikan sebagai penggabungan dari fungsi gelombang dari suatu sumber yang koheren. Nilai koherensi antara citra menunjukkan hasil seberapa jauh pencocokan kedua citra tersebut. Sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh European Space Agency (ESA), nilai minimum koherensi untuk pembentukan Digital Elevation Model adalah 0.2. d. Pembentukan Interferogram Pembentukan Interferogram dilakukan dengan menghitung lebih dahulu bilangan kompleks dari hasil perkalian kompleks konjugasi antara citra utama master dengan citra kedua slave. e. Pengolahan Phase Unwrapping Interferogram merupakan informasi beda fasa, yang berhubungan langsung dengan bentuk topografi. Informasi ini terbatas antara 0 sampai
, sehingga menimbulkan masalah
ambiguitas dalam menghitung siklus fasa yang diperlukan untuk mendapatkan jarak miring yang benar. Fasa ini disebut fasa relatif. Penyelesaian ambiguitas ini adalah pengolahan phase unwrapping, yaitu untuk mendapatkan fasa absolut. Metode pengolahan phase unwrapping pertama-tama dikembangkan oleh Goldstein et al. (1988). Metode ini disebut dengan pendekatan branch cuts, yang pertama-tama diidentifikasi adalah residunya, kemudian branch cut ini digunakan untuk menghalangi proses integrasi sehingga tidak dimungkinkan melakukan integrasi memotong branch cut ini. Masalah yang timbul dalam teknik ini adalah diperlukan waktu perhitungan yang sangat lama. f.
Konversi Fasa menjadi Tinggi
Setelah dilakukan pengolahan phase unwrapping i , didapatkan nilai fasa disetiap pixel, fasa ditunjukkan mulai yang terendah hingga tertinggi, berbeda sekali dengan interferogram, yang periodenya hanya setiap
.
g. Pengolahan Geo-Coding Dari titik setiap titik hasil konversi dari fasa ke tinggi, dilakukan pengolahan Geo-coding, yaitu proses untuk mendapatkan semua titik tersebut terhadap suatu referensi tertentu. Hitungan untuk mendapatkan posisi titik di permukaan bumi dilakukan dengan menggunakan (Ismullah, 2002) : a. Persamaan Doppler: posisi suatu titik di permukaan bumi terletak tegak lurus terhadap satelit, akibat kondisi zero Doppler. b. Jarak: jarak ini merupakan jarak antara sensor ke titik permukaan bumi, yaitu kecepatan cahaya dikalikan waktu perjalanan dari sensor ke titik tersebut.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
29
c. Ellipsoid: Ellipsoid yang dipilih adalah yang digunakan pada WGS 84. Hasil yang didapat adalah semua titik dalam koordinat kartesian X,Y dan Z (Geocentric), hasil ini kemudian ditransformasikan dalam sistem koordinat Geodetik ( ,
dan ).
Lubis et al. (2001) menerapkan metode InSAR untuk mendeteksi land subsidence di kota Semarang, dengan menggunakan data ALOS PALSAR. Lubis melakukan pengolahan data dengan menggunakan 22 citra ascending ALOS PALSAR dari Januari 2007 – Januari 2009 dan dua citra descending SAR tanggal 6 Juni 2006 dan 17 Juni 2007. Analisis time series interferometri dilakukan dengan menggunakan 12 pasang interferogram relatif terhadap citra tanggal 21 Januari 2007 dan 8 pasang interferogram relatif terhadap citra 24 Januari 2008. Untuk menghilangkan eror yang disebabkan oleh fase topografi digunakan data DEM SRTM 3 arcsec (90m). Untuk meniliti kontribusi pergerakan horizontal, dibangun 2 interferogram yaitu untuk orbit ascending dan descending. Penulis juga menerapkan metode InSAR untuk mendeteksi land subsidence di Provinsi DKI Jakarta dalam kegiatan kerjasamanya dengan BPBD Provinsi DKI Jakarta. Data yang digunakan untuk deteksi land subsidence tersebut adalah data ALOS PALSAR. Penulis melakukan pengolahan data menggunakan 4 citra ascending ALOS PALSAR dari 3 Agustus 2007 - 2 Juni 2008. Analisis dilakukan untuk 3 pasang interferogram relatif terhadap citra 3 Agustus 2007. 1.2.2
Differential Interferometry Synthetic Aperture Radar (DInSAR)
Dalam Saputro et al. (2012) dijelaskan mengenai DInSAR yang merupakan teknologi pencitraan radar dengan memanfaatkan informasi fase, amplitude dan panjang gelombang dalam pengolahannya untuk memperoleh topografi dan deformasi. Secara umum proses yang dilakukan dalam metode ini adalah: 1. Pembentukan Single Look Complex (SLC). Proses ini dilakukan agar citra terkalibrasi secara radiometrik pada masukan sensornya. Hal ini disebabkan karena pada citra ALOS PALSAR (raw data) memiliki susunan data sinyal yang belum dipadatkan dan dilengkapi dengan koreksi geometrik. 2. Pembentukan raw interferogram yang merupakan citra beda fase antara citra master dan slave. Informasi ini berhubungan dengan bentuk topografi dimana DQWDUDGDQʌIDVH ini disebut fase relatif dalam bentuk dua dimensi. 3. Tahapan flattening. Setelah raw interferogram diperoleh, didalamnya masih terdapat pengaruh dari pencitraan kesamping (side looking) sehingga bidang proyeksi bukan pada bidang datar, maka harus dilakukan proses flattening. Proses ini bertujuan untuk mendatarkan ke bidang proyeksi. 4. Tahapan DInSAR. Pada tahapan ini dilakukan penghapusan fase topografi yang dimiliki oleh interferogram hasil dari dua pasangan citra dengan interferogram DEM SRTM. 5. Tahapan phase unwrapping. Informasi pada interferogram masih terbatas antara 0 - ʌ saja, sehingga menimbulkan masalah ambiguitas. Untuk mengatasi ambiguitas ini dilakukan phase unwrapping. Hal ini bertujuan untuk menentukan fase absolut
30
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
interferometrik dari fase relatif karena berhubungan langsung dengan topografi dan deformasi. Chaussard et al. (2013) melakukan penelitian untuk mendeteksi dan memantau land subsidence terhadap citra time-series dengan menggunakan 900 citra ALOS PALSAR tahun 2007-2008 untuk memetakan land subsidence di beberapa wilayah bagian barat Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, dan Bali. Teknik pengukuran deformasi permukaan tanah ini dilakukan dengan menggunakan teknik DInSAR yang menghasilkan lebih dari 1300 citra interferogram. Dasar teknik pengukuran pergeseran permukaan tanah ini adalah dengan menghitung perbedaan fasa dari dua citra SAR dengan tanggal perekaman yang berbeda (Gabriel et al., 1989; Hanssen, 2001). Analisis time series dilakukan terhadap beberapa citra interferogram yang mencakup daerah yang sama dengan menggunakan metode small based subset (SBAS) (Berardino et al., 2002). Tahap berikutnya adalah fase unwrapped untuk citra inteferogram dengan nilai spasial baseline maksimum yaitu sebesar 2600 m, nilai baseline yang kecil dapat meminimalisir eror fase DEM interferogram. Untuk menghilangkan bias dari eror fase unwrapping, coherence dari setiap pixel citra interferogram dihitung, nilai koherensi yang dipilih dalam penelitian ini adalah diatas 0.7 (Tizzani et al., 2007). Chaussard tidak melakukan proses filter untuk menghilangkan eror atmosferik tetapi menggunakan pairwise logic untuk mengeliminasi data yang memiliki delay atmosferik yang besar. 1.2.3
Persistent Scatterer Interferometry Synthetic Aperture Radar (PSInSAR)
Persistent/permanenet
Scatter
Interferometry
Synthetic
Aperture
Radar
(PSInSAR)
merupakan pengembangan dari teknik InSAR dan DInSAR dengan menekankan pada eliminasi kesalahan akibat adanya dekorelasi temporal dan dishomogenitas atmosferik yang sering ditemui pada metode sebelumnya. Tujuan dari penerapan metode PSInSAR pada awal penelitian adalah melakukan identifikasi pada single coherent pixel yang dimulai dari beberapa citra SAR yang terpisah oleh baseline yang besar dalam rangka mendapatkan akurasi DEM hingga sub-meter dan pergerakan permukaan bumi pada area koheren rendah berdasarkan basis piksel. Teknik PSInSAR menggunakan beberapa citra SAR untuk meningkatkan kemampuan deteksi untuk deformasi tanah untuk periode yang panjang (Feretti et al., 2001). PSInSAR menganalisis hamburan balik (backscatter) r dari objek dipermukaan tanah atau objek. Backscatter objek ini dapat dengan mudah dideteksi di daerah permukiman, dan minim untuk daerah vegetasi. Teknik PSInSAR untuk pemantauan deformasi permukaan tanah telah banyak dilakukan untuk berbagai aplikasi, diantaranya yaitu deformasi subsidence yang terjadi di daerah permukiman (Chen et al., 2010; Osmanoglu et al., 2011), stabilitas infrastruktur (Jiang dan Lin, 2010), seismik patahan (Massironi et al., 2009), aktivitas gunung api (Hooper, 2006), dan tanah longsor (Farina et al., 2006). Fenomena land subsidence di kota Jakarta telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah dilakukan berbagai penelitian untuk memantau fenomena tersebut (Abidin et al., 2008, 2011; Murdohardono dan Sudarsono, 1998).
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
31
Ng et al., (2012) melakukan pemetaan penurunan muka tanah dengan menggunakan metode PSInSAR pada 17 citra ALOS PALSAR. Ng menggunakan software GEOS_PSI yang dikembangkan oleh Geodesy and Earth Observing System group untuk mendeteksi dan memetakan penurunan muka tanah dengan menggunakan PSInSAR. Terdapat beberapa tahap yang dilakukan dalam teknik PSInSAR ini, yaitu: 1. Fase diferensial interferometik untuk deteksi pergeseran permukaan tanah Fase diferensial interferogram berisi informasi pergeseran permukaan tanah, eror DEM, eror atmosferik, dan eror residu orbital. 2. Seleksi persistent scatterer candidate (PSC) Metode PSInSAR menganalisa setiap titik persistent scatterer (PS) yang memanfaatkan informasi fase guna mengukur time series pergeseran permukaan tanah. Indeks dispersi amplitudo ( ) digunakan untuk mengestimasi stabilitas fase setiap piksel dan mendeteksi PSC (Feretti et al., 2001). Piksel-piksel dengan nilai (
)<0.25 diasumsikan
dapat sebagai jaringan referensi. Jaringan ini dibangun berdasarkan jaringan triangulasi Delaunay dengan panjang busur maksimum 1.5 km. 3. Proses fase unwrap Pada dasarnya proses fase unwrap ini memiliki tujuan yang sama dengan teknik lainnya yaitu untuk menghilangkan ambiguitas fase. 4. Estimasi sinyal atmosfer dan penghapusan eror Dilakukan proses unwrapped terhadap fase residual untuk setiap inferferogram dengan menggunakan algoritma Minimum Cost Flow (MCF) (Costantini dan Rosen, 1999). Faktor topografi dan non-topografi yang berkaitan dengan sinyal atmosferik untuk setiap diferensial interferogram diestimasi berdasarkan hubungan linier antara elevasi pikselpiksel (misalnya ketinggian DEM + eror DEM). 5. Estimasi pergeseran permukaan tanah linier and non-linier Setelah parameter-parameter model dan sinyal atmosferik diperkirakan, fase residual dihitung dengan menghilangkan kontribusi fase yang terkait dengan parameterparameter model dan sinyal atmosferik dari fase diferensial untuk setiap interferogram. Fase residual diharapkan berisi dua komponen yaitu displacement non-linier dan eror. Nilai pergeseran permukaan tanah yang diukur dari data SAR adalah sepanjang arah Line-of Sight (LoS) radar tersebut. Pergeseran yang diukur dari data SAR adalah gabungan pergeseran arah vertikal, timur dan utara. Dalam pencitraan dengan menggunakan teknik interferometri terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas dari citra yang dihasilkan. Kesalahan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan memisahkan dan menganalisis fase yang dihasilkan. Fase yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh topografi permukaan bumi, deformasi, pengaruh atmosfer dan perubahan pada objek yang disebut sebagai dekorelasi. Menurut Zebker dan Villasenor (1992) dalam Maraden H. (2012) ada beberapa dekorelasi yang mempengaruhi koherensi dari data InSAR.
32
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
a. Dekorelasi geometrik, merupakan hasil dari perbedaan sudut pencitraan (incidence angle) antara kedua sensor yang digunakan untuk pencitraan pada permukaan bumi. Dekorelasi ini semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perbedaan spasial antara kedua akuisisi SAR. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti deformasi, pengaruh atmosfer dan topografi. b. Dekorelasi Doppler Centroid, terjadi karena perbedaan frekuensi Doppler Centroid pada azimuth yang sama pada kedua citra. c. Dekorelasi volume, terjadi dikarenakan pentrasi dari gelombang radar sehingga hal ini bergantung pada panjang gelombang dari gelombang radar yang digunakan serta media pemendaran gelombang tersebut. d. Dekorelasi termal, merupakan dekorelasi termal atau gangguan sistem (system noise) yang disebabkan oleh karakteristik dari sistem termasuk faktor penambahan dan karakteristik arena. e. Dekorelasi waktu. Untuk dapat mengamati deformasi yang terjadi dalam perbedaan waktu dapat dilakukan dengan berbagai metode salah satunya adalah dengan menggunakan InSAR. Deformasi ini diamati karena adanya dekorelasi waktu antara kedua citra sehingga melalui dekorelasi waktu ini perubahan yang terjadi antara kedua citra yang diamati. Dekorelasi waktu ini sebisa mungkin dihilangkan apabila citra yang digunakan memiliki selang waktu pencitraan semaksimal mungkin. Untuk tujuan pengamatan deformasi dekorelasi waktu diperlukan untuk mengamati perubahan yang terjadi pada permukaan bumi. Namun tidak semua dekorelasi waktu disebabkan oleh deformasi seperti adanya perubahan vegetasi ataupun pertambahan populasi yang menyebabkan adanya perbedaan objek yang ada dipermukaan bumi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Time-series InSAR menyediakan resolusi spasial land subsidence dan cakupan temporal yang kontinu. Subsidence di Kota Semarang yang diamati oleh Lubis, et al. (2011) dengan menggunakan teknik InSAR mencapai 8 cm/tahun. Daerah-daerah yang mengalami penurunan muka tanah yang cukup ekstrim terjadi pada daerah pantai dan dataran rendah. Pada daerah ini tutupan lahannya didominasi oleh kawasan industri dan kepadatan permukiman yang tinggi, dan penggunaan air tanah dalam jumlah besar. Hasil menunjukkan pola yang konsisten dengan data leveling. Peta subsidence yang terjadi di Kota Semarang diperlihatkan pada Gambar 1.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
33
Gambar 1. Displacement time series di kota Semarang dari citra ascending ALOS PALSAR tanggal 8 Juni 2007 – 26 Januari 2009 yang mengacu pada tanggal 21 Januari 2007 (Sumber : Lubis, et al., 2011)
Penulis memperoleh hasil pengolahan dengan menggunakan teknik InSAR, dimana subsidence yang diamati di Provinsi DKI Jakarta dengan waktu pengamatan dari 3 Agustus 2007 - 2 Juni 2008 mencapai nilai maksimum sebesar 22 cm. Daerah dengan nilai subsidence yang tinggi terjadi pada daerah utara Jakarta dan daerah barat Jakarta. Berdasarkan beberapa referensi penyebab terjadinya subsidence di Provinsi DKI Jakarta sebagian besar disebabkan oleh penggunaan air tanah secara masif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chaussard, et al. (2013), sebagian besar kejadian subsidence yang terjadi di Jakarta disebabkan akibat ekstraksi airtanah yang digunakan untuk keperluan industri. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya land subsidence adalah efek beban bangunan yang besar. Informasi subsidence yang dihasilkan oleh penulis hanyalah bersifat ekstraksi informasi dari pengolahan data, belum dilakukan verifikasi lapangan (Gambar 2).
34
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
a
b
c
Gambar 2. Pengukuran time-series subsidence dengan menggunakan InSAR di Provinsi DKI Jakarta tanggal a. 18 September 2008, b. 5 Mei 2008, c. 2 Juni 2008. Semua citra mengacu pada citra 3 Agustus 2007.
Chaussard et al. (2013) yang melakukan pengolahan citra dengan menggunakan teknik DInSAR namun tidak menemukan korelasi antara penurunan muka tanah dengan geologi pemukaan. Penurunan muka tanah di Lhokseumawe, Jakarta, Bandung, Blanakan, Pekalongan, Semarang, dan Kabupaten Sidoarjo terjadi pada daerah dengan endapan surficial (alluvial, fan, dan endapan danau). Namun, tingkat penurunan tidak berkorelasi dengan tingkat ketebalan endapan. Chaussard et al. juga menemukan bahwa terjadinya penurunan muka tanah secara umum disebabkan oleh penggunaan airtanah secara intensif baik untuk keperluan permukiman, industri dan pertanian. Di sisi lain, penurunan muka tanah yang terjadi di daerah Lhokseumawe dan Kabupaten Sidoarjo disebabkan adanya eksplorasi gas alam. Di Medan, Jakarta, Bandung, dan Semarang, sebagian besar subsidence terjadi di daerah industri, sementara di pantai utara Blanakan dan sekitar Pekalongan subsidence terjadi di daerah pertanian. Subsidence yang terjadi di daerah Lhokseumawe dan Sidoarjo disebabkan oleh eksplorasi gas alam di ladang gas alam Arun dan Wunut. Nilai subsidence terpantau sebesar 11.3, 8.3, 21.8, 22.5, 12.0, 10.5, 13.0, dan 16.5 cm/tahun untuk masingmasing
daerah
Lhokseumawe,
Medan,
Jakarta,
Bandung,
Blanakan,
Pekalongan,
Semarang, dan Kabupaten Sidoarjo. Hasil pemetaan subsidence oleh Chaussard et al., dapat diperlihatkan Gambar 3.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
35
Gambar 3. Peta rata-rata LOS velocity tahun 2006-2009 di beberapa daerah di Sumatera, Jawa dan Bali dengan analisis time–series ALOS PALSAR. Inset gambar menunjukkan perbesaran daerah subsidence beberapa daerah yang dikaji. Warna merah pada gambar menunjukkan nilai negatif LOS velocity yang merupakan daerah subsidence. (Sumber: Chaussard E., et al., 2013)
Terjadinya subsidence di Medan, Jakarta, Bandung, Blanakan, Pekalongan, dan Semarang disebabkan adanya kompaksi sedimen tanah (sedimen Holocene) akibat beban bangunan. Kompaksi lapisan akuifer menyebabkan land subsidence stabil, tetapi ketika kompaksi akuifer ini mencapai maksimum maka laju subsidence akan berkurang. Ng et al. (2012) memperoleh hasil pengolahan dengan menggunakan metode PSInSAR dimana permukaan tanah di beberapa daerah Jakarta berubah dengan kecepatan yang berbeda. Penurunan muka tanah juga diukur dengan menggunakan GPS di 19 titik lokasi pada tahun 2007 dan 2010. Magnitude dan trend deformasi yang diperoleh baik dari dengan menggunakan GPS ataupun dengan PSInSAR memberikan hasil yang baik secara umum. Penurunan muka tanah berkisar antara -29 - 6 mm/tahun, dengan standar deviasi 9 mm/tahun dan perbedaan rata-rata absolut 8 mm/tahun. Ng et al. menyarankan penggunaan metode PSInSAR untuk memantau penurunan muka tanah untuk kota yang sangat besar seperti Jakarta dengan menggabungkan data survey GPS sebagai validasi hasil. Hasil pemetaan subsidence di kota Jakarta ini ditunjukkan oleh Gambar 4.
36
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Gambar 4. Pengukuran time-series subsidence dengan menggunakan PSInSAR di kota Jakarta tanggal a. 18 Juni 2007, b. 18 September 2007, c. 20 Maret 2008, d. 20 Juni 2008, e. 21 Desember 2008, f. 5 februari 2009, g. 8 Agustus 2009, h. 8 Februari 2010 dan 26 September 2010. Semua citra mengacu pada data 21 Januari 2007. Tiga tanda panah merah pada gambar menunjukkan daerah-daerah yang mengalami subsidence paling besar.
Fenomena kenaikan muka laut juga turut memperburuk situasi. Tinggi muka laut dalam skala regional saat ini meningkat sebesar 1.5 - 4.4 mm/tahun (Mimura & Yokoki, 2004), dan kemungkinan akan meningkat dua kali lipat dalam 1 - 2 dekade kedepan (IPCC, 2007). Dengan demikian kejadian penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut akan menyebabkan daerah dikawasan pantai menjadi rawan banjir. Tingginya curah hujan di beberapa daerah Indonesia juga meningkatkan daerah rentan banjir.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
37
4. KESIMPULAN Pemanfaatan
data
penginderaan
jauh
SAR
menjadi
alternatif
yang
baik
karena
kemampuannya memetakan daerah dengan cakupan yang luas dan kemampuan perekaman data pada waktu siang dan malam, dan mampu merekam data dalam keadaan cuaca apapun. Pemanfaatan penginderaan jauh ini sangat menunjang kebutuhan terhadap deteksi dan pemetaan subsidence, serta kemampuan untuk menganalisis penyebab terjadinya land subsidence tersebut. Beberapa teknik interferometri yang telah diulas yang diaplikasikan pada beberapa daerah di Indonesia dinilai mampu untuk mendeteksi dan memantau kejadian land subsidence diantaranya adalah teknik InSAR, DInSAR dan PSInSAR. Berdasarkan hasil pengolahan yang diperoleh dari beberapa referensi menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian subsidence di Indonesia disebabkan oleh penggunakan air tanah dalam jumlah besar baik untuk permukiman, keperluan industri dan juga pertanian. Faktor penyebab lainnya adalah akibat beban bangunan yang besar disejumlah kota-kota besar di Indonesia. Chaussard et al. melakukan pemantauan di daerah Sumatera dan Jawa memperoleh nilai subsidence yang cukup tinggi yaitu 11.3, 8.3, 21.8, 22.5, 12.0, 10.5, 13.0, dan 16.5 cm/tahun untuk masing-masing daerah Lhokseumawe, Medan, Jakarta, Bandung, Blanakan, Pekalongan, Semarang, dan Kabupaten Sidoarjo. Efek yang ditimbulkan oleh kejadian subsidence adalah dapat merusak infrastruktur bangunan, juga dapat menyebabkan peningkatan genangan baik dari segi frekuensi dan luasannya, dan akan menyebabkan beberapa daerah di Indonesia memiliki tinggi permukaan daratan dibawah tinggi muka air laut dalam beberapa dekade kedepan. Indonesia yang memiliki curah hujan yang tinggi akan meningkatkan daerah rentan banjir di beberapa lokasi yang mengalami land subsidence. Sehingga data dan informasi subsidence tersebut akan sangat bermanfaat untuk perencanaan pembangunan dan tata kota, penggunaan lahan yang baik, perencanaan pembangunan
sarana
dan
prasarana,
pelestarian
lingkungan,
pengendalian
dan
pengambilan air tanah, pengendalian intrusi air laut. Tindakan dan perencanaan tersebut dilakukan sebagai tindakan pencegahan semakin luasnya daerah subsidence.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z., Andreas, H., Djaja, R., Darmawa, D., Gamal, M., 2008. Land subsidence characteristics of Jakarta between 1997 and 2005, as estimated using GPS surveys. GPS Solutions, 12(1):23-32. Berardino, P., G. Fornaro, R. Lanari, and E. Sansosti, 2002. A new algorithm for surface deformation monitoring based on small baseline differential SAR interferograms.
38
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, 40(11):2375–2383, http://dx.doi.org/10.1109/TGRS.2002.803792. Chatterjee, R. S., B. Fruneau, J. P. Rudant, P. S. Roy, P.-L. Frison, R. C. Lakhera, V. K. Dadhwal, and R. Saha, 2006. Subsidence of Kalkota (Calcutta) city, India during the 1990s as observed from space by Differential Synthetic Aperture Radar Interferometry (D-InSAR) technique. Remote Sensing of Environment, 102:176-185. Chaussard, E., F. Amelung, H. Abidin, and S.H. Hong, 2013. Sinking Cities in Indonesia: ALOS PALSAR Detects Rapid Subsidence due to Groundwater and Gas Extraction. Remote Sensing of Environment 128:150-161. Chen, Q., G. Liu, X. Ding, J.-C. Hu, L. Yuan, P. Zhong, and M. Omura, 2010. Tight integration of GPS observations and persistent scatterer InSAR for detecting vertical ground motion in Hong Kong. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 12(6):477-486. Costantini, M., P.A. Rosen, 1999. A generalized phase unwrapping approach for sparse data. In: IGARSS 1999, Hamburg, Germany, 28 June-2 July, pp. 267-269. Farina, P., Colombo, D., Fumagalli, A., Marks, F., and Moretti, S., 2006. Permanent scatterers for landslide investigations: outcomes from the ESA-SLAM project. Engineering Geology. 88(3-4):200-217. Ferretti, A., C. Prati, and F. Rocca, 2001. Permanent scatterers in SAR interferometry. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing. 39 (1):8-20. Gabriel, A., R. Goldstein, and H.A. Zebker, 1989. Mapping small elevation changes over large areas-Differential radar interferometry. Journal of Geophysical Research-Solid Earth and Planets, 94:9183-9191. Goldstein R.M., H. A. Zebker, and C.L. Werner, 1988. Satellite radar interferometry: two dimensional phase unwrapping. Radio Science, 23(4):713-720. IPCC (2007). IPCC: Synthesis report. Contribution of working groups I - Fourth assessment report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge Univ Press. Hanssen, R. F., 2001. Radar interferometry: Data interpretation and error analysis. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Herra, G., R. Tomas, D. Monells, G. Centolanza, J. J. Mallorqui, F. Vicente, V. D. Navarro, J. M. L-Sanchez, M. Sanabria, M. Cano, and J. Mulas, 2010. Analysis of subsidence using TerraSAR-X data: Murcia case study. Engineering Geology, 116:284-295. Hirose, K., Y. Maruyama, D. Murdohardono, A. Effendi, and H. Z. Abidin, 2001. Land subsidence detection using JERS-1 SAR interferometry. Asian Conference on Remote Sensing. Hooper, A.J., 2006. Persistent scatterer radar interferometry for crustal deformation studies and modelling of volcanic deformation. PhD Thesis. Department of Geophysics, Stanford University, USA, 124 pp.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
39
Hung, W.-C., C. Hwang, Y.-A. Chen, C.-P. Chang, J.-Y. Yen, A. Hooper, and C.-Y. Yang, 2011. Surface deformation from persistent scatterer SAR interferometry and fusion with leveling data: A case study over the Choushui River Alluvial Fan, Taiwan. Remote Sensing of Environment, 115:957-967. Ismullah, I.H., 2002. Model tinggi permukaan dijital hasil pengolahan radar apertur sintetik interferometri data satelit untuk wilayah berawan, studi kasus daerah Gunung Cikurai-Jawa Barat, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung. Ismullah, I. H., 2004. Pengolahan Fasa untuk Mendapatkan Model Tinggi Permukaan Dijital (DEM) pada Radar Apertur Sintetik Interferometri (InSAR) Data Satelit. PROC. ITB Sains & Tek. 36A(1):11-32. Jiang, L., and H. Lin, 2010. Integrated analysis of SAR interferometric and geological data for investigating long-term reclamation settlement of Chek Lap Kok Airport, Hong Kong. Engineering Geology, 110:(3-4):77-92. Lubis, A. M., T. Sato, N. Tomiyama, N. Isezaki, and T. Yamanokuchi, 2011. Ground Subsidence in Semarang-Indonesia Investigated by ALOS-PALSAR Satellite SAR Interferometry. Journal of Asian Earth Sciences 40:1079-1088. Maraden, H., 2012. Penggunaan metode InSAR diferensial untuk pemantauan deformasi erupsi gunung Merapi pada tahun 2010. Tugas Akhir. Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika. Institut Teknologi Bandung. Massonnet, D., M. Rossi, C. Carmona, F. Adragna, G. Peltzer, and K.L. Feigl, 1993. The GLVSODFHPHQW ¿HOG RI WKH /DQGHUV HDUWKTXDNH PDSSHG E\ UDGDU LQWHUIHURPHWU\ Nature, 364:138–142. Mimura, N., and H. Yokoki, 2004. Sea level changes and vulnerability of the coastal region of East Asia in response to global warming. SCOPE/START monsoon Asia rapid assessment report. Murdohardono, D., and U. Sudarsono, 1998. Land subsidence monitoring system in Jakarta. In: Proceedings of Symposium on Japan – Indonesia IDNDR Project: Volcanology, Tectonics, Flood and Sediment Hazards, Bandung, 21-23 September, pp. 243–256. Ng, A. H., L. Ge, X. Li, H. Z. Abidin, H. Andreas, K. Zhang, 2012. Mapping land subsidence in Jakarta, Indonesia using persistent scatterer interferometry (PSI) technique with ALOS PALSAR. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 18:232-242. Osmanoglu, B., T.H. Dixon, S. Wdowinski, E. Cabral-Cano, and Y. Jiang, 2011. Mexico City subsidence observed with persistent scatterer InSAR. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 13(1):1-12. Raucoules, D., C. Colesanti, and C. Carnec, 2007. Use of SAR Interferometry for Detecting and Assessing Ground Subsidence. C. R. Geoscience 339:287-302. Saputra, E.A., S. Kahar, dan B. Sasmito, Deteksi penurunan muka tanah kota Semarang dengan teknik differential interferometric synthetic aperture radar (DInSAR)
40
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
menggunakan software ROI_PAC berbasis open source. Jurnal geodesi Undip. 1(1). (ISSN:2337-845X). Syafiudin, M. F. dan R. S. Chatterjee, 2009. Potensi pemanfaatan teknologi Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (D-InSAR) berbasis satelit untuk pemantauan penurunan muka tanah di cekungan Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika, 15(1). Tizzani, P., P. Berardino, F. Casu, P. Euillades, M. Manzo, and G.P. Ricciardi, 2007, Surface deformation of Long Valley caldera and Mono Basin, California, investigated with the SBAS-InSAR approach. Remote Sensing of Environment, 108(3):277-289, http://dx.doi.org/10.1016/j.rse.2006.11.015. Yan, Y., P. L-Quiroz, M-P. Doin, F. Tupin, and B. Fruneau, 2009. Comparison of two methods in multi-temporal differential SAR interferometry: Application the measurement of Mexico city subsidence. The Fifth International Workshop on the Analysis of Multi-temporal Remote Sensing Images.
BIOGRAFI PENULIS
Junita Monika Pasaribu, S.Si Email :
[email protected] Pendidikan: x Sarjana Sains (S.Si.) program studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Junita Monika Pasaribu telah bekerja di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2011. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk bencana banjir, kekeringan dan penurunan muka tanah. Saat ini mengikuti kegiatan penelitian mengenai aplikasi penginderaan jauh untuk deteksi limbah B3. Jalu Tejo Nugroho, S.Si., M.Si Email :
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M. Si) pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI), 2001 x Sarjana Sains (S. Si) pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI), 1998 Penelitian yang diminati: Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk analisis curah hujan dan kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, gunung api).
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
41
Dr. Wiweka Email :
[email protected] Pendidikan: x Doktor (Dr), pada program studi Ilmu Komputer, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia (UI), 2006 x Magister Teknik (MT), pada program studi Teknik Geodesi, Fakultas Pasca Sarjana, InstitutTeknologi Bandung (ITB), 1995 x Sarjana Teknik (Ir), pada program studi Teknik Geodesi, FakultasTeknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB), 1988 Profesi sebagai fungsional peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sejak 1 Maret 1989. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan, pengembangan model diaplikasikan untuk berbagai tipe bencana. Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Ikatan Surveyor Indonesia (ISI).
42
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
PEMANFAATAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK DETEKSI TUMPAHAN MINYAK DI PERAIRAN PANTAI DAN LAUT Sayidah Sulma, M. Rokhis Khomarudin, Nanik Suryo Haryani
Abstract Remote sensing is the technology that has the advantage of rapid detection of oil spills in coastal and sea waters. Nowadays has available a variety of remote sensing sensors that can be used for oil spills detection. Study of the use of satellite remote sensing data and the use of appropriate methods are needed to detect oil spills. This study was done using descriptive method by analyzing some of the implementation methods of detection of oil spills and the data from the various remote sensing satellite sensors. Based on this study it is known that the use of multi-sensor and multi-temporal monitoring of oil spills will give better results. Oil spill detection with manually method provide a less certain level of confidence, while the application of the automatically method of multi-scale and multi segmentation variables (features) using SAR data showed a better accuracy that detection of oil layer 78% and 89% on a thin layer of oil. Multi-sensor data availability in near-realtime, and the application of accurate methods are a major requirement in the monitoring of oil spill distribution when the incident took place and the determination of area affected f post oil spill occurred. It is very necessary, especially in support of the prosecution of compensation the environmental damage caused by the oil spill. Keywords: remote sensing, oil spill, coastal, sea
Abstrak Penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang memiliki keunggulan dalam deteksi cepat tumpahan minyak di perairan pantai dan laut. Saat ini telah tersedia berbagai sensor satelit penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk deteksi tumpahan minyak. Kajian pemanfaatan data satelit penginderaan jauh serta penggunaan metode yang tepat sangat diperlukan untuk mendeteksi tumpahan minyak di laut. Pengkajian dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan menganalisis beberapa penerapan metode deteksi tumpahan minyak di laut dan data dari berbagai sensor satelit penginderaan jauh. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa penggunaan multi sensor dan multi temporal dalam pemantauan tumpahan minyak akan memberikan hasil yang lebih baik. Metode deteksi tumpahan minyak secara manual memberikan tingkat kepercayaan yang kurang pasti, sedangkan penerapan metode segmentasi multi skala dan multi variabel (fitur) secara otomatis menggunakan data SAR menunjukkan tingkat akurasi yang lebih baik yaitu deteksi lapisan minyak 78% dan 89% pada lapisan minyak yang tipis. Ketersediaan data multi sensor secara nearr realtime serta penerapan metode deteksi tumpahan minyak yang akurat dan terkini merupakan kebutuhan utama dalam pemantauan sebaran saat kejadian berlangsung dan penentuan luas pasca tumpahan minyak terjadi. Hal ini sangat diperlukan, khususnya dalam mendukung penuntutan ganti rugi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tumpahan minyak tersebut. Kata kunci: penginderaan jauh, tumpahan minyak, pantai, laut
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
43
1. PENDAHULUAN Tumpahan minyak di perairan pantai dan laut merupakan permasalahan serius yang sangat berdampak pada lingkungan. Di seluruh dunia, tumpahan berupa bahan bakar minyak mencapai 48% dari total minyak yang tumpah ke laut, sementara tumpahan minyak mentah mencapai 29% (Brekke dan Solberg, 2005). Tumpahan minyak dapat terjadi selama pengangkutan minyak, pengeboran serta penyimpanan minyak dan akan menyebar dengan cepat dalam wilayah yang luas hanya dalam hitungan jam. Maka dari itu diperlukan penanganan yang cepat dan tepat ketika terjadi tumpahan minyak untuk mengurangi dampak lingkungan dan kerugian ekonomi yang besar. Penginderaan jauh adalah salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk deteksi cepat tumpahan minyak. Pencitraan penginderaan jauh multi temporal memungkinkan untuk diperolehnya informasi penting tentang penyebaran minyak dari waktu ke waktu yang sangat diperlukan dalam pembersihan dan pengendalian sebaran tumpahan minyak. Keunggulan dari teknologi penginderaan jauh juga dapat membantu mengindentifikasi pihak-pihak yang harus bertanggung jawab terhadap pencemaran minyak yang terjadi di suatu perairan. Saat ini telah tersedia berbagai sensor satelit penginderaan jauh yang dapat dimanfaatkan untuk deteksi tumpahan minyak. Tulisan ini menyajikan beberapa perkembangan teknologi penginderaan jauh untuk deteksi tumpahan minyak baik dengan sensor optis/pasif maupun sensor aktif yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Disamping itu juga disajikan contoh aplikasi data radar ALOS PALSAR untuk deteksi tumpahan minyak yang terjadi di selatan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur.
2. DETEKSI TUMPAHAN MINYAK DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH OPTIS/ PASIF Teknologi penginderaan jauh optis dengan berbagai sensor telah banyak dikembangkan untuk deteksi tumpahan minyak. Tseng and Chiu (1994) melakukan kajian kemampuan sensor visible dan infrared (IR) dari NOAA AVHRR untuk deteksi awal tumpahan minyak di Teluk Persia pada tahun 1991. Dari hasil penelitiannya batas antara minyak dan air dapat dibedakan berdasarkan temperatur yang dideteksi pada band IR, namun perbedaan temperatur minyak tidak berbeda nyata di malam hari. Hu et al. (2003) dan Hu et al. (2009) mengkaji kemampuan instrumen Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) untuk pemantauan tumpahan minyak. Dari hasil kajian diketahui bahwa kanal dengan resolusi 250 m dan 500 m baik digunakan untuk pemantauan tumpahan minyak. Di sisi lain, beragam panjang gelombang dapat memberikan informasi tambahan untuk membedakan lapisan minyak dengan alga bloom. Kemudian dalam penelitian Hu et al. (2009) kemampuan MODIS dalam mendeteksi lapisan minyak tidak berdasarkan sifat optis dari lapisan minyak, tetapi berdasarkan kesamaan prinsip
44
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
backscattering pada data SAR. Deteksi lapisan minyak seperti ini hanya dapat dilakukan pada citra MODIS yang terdapat sun glint (kilatan cahaya matahari). Prayogo et al. (2010) melakukan deteksi tumpahan minyak di Laut Timor menggunakan data MODIS dengan metode visual pada tampilan RGB 121 data resolusi 250 m. Pada penelitian ini juga digunakan data ALOS-PALSAR untuk verifikasi hasil analisis visual data MODIS. Pada data optis khususnya MODIS, tutupan awan dan keterbatasan sinar matahari menjadi batasan penggunaan data ini.
Namun resolusi temporal yang tinggi menjadi
keunggulan data MODIS, sehingga memungkinkan pemantauan daerah terdampak tumpahan minyak dan pergerakan lapisan minyak dari waktu ke waktu. Dalam pemantauan tumpahan minyak, sensor hiperspektral berpotensi untuk identifikasi materi secara detil dan dalam estimasi kelimpahannya.
Salem dan Kafatos (2001)
melakukan kajian untuk melihat tumpahan minyak berdasarkan komposisi kimianya. Metode yang
digunakan
adalah
signature
matching
method
berdasarkan
citra
Airborne
Hyperspectral, dan diperoleh hasil yang lebih akurat dibandingkan interpretasi visual. Namun teknologi ini masih jarang digunakan karena tidak tersedia sensor hiperspektral pada satelit komersial.
3. DETEKSI TUMPAHAN MINYAK DENGAN DATA PENGINDERAAN JAUH AKTIF Penginderaan jauh aktif atau radar merupakan teknologi lain yang dapat diandalkan dalam pemantauan tumpahan minyak. Sensor microwave aktif seperti Synthetic Aperture Radar (SAR) saat ini banyak digunakan karena dapat meliput daerah yang luas serta kemampuannya dalam segala kondisi cuaca baik siang maupun malam. Dalam Brekke et al. (2005) disebutkan bahwa kemampuan data SAR dalam pemantaun tumpahan minyak pertama kali didemonstrasikan pada awal 1990-an menggunakan citra satelit ERS-1. Dan saat ini RADARSAT dan ENVISAT merupakan dua satelit utama yang menghasilkan citra SAR untuk pemantauan tumpahan minyak. Brekke et al. (2005) juga menyimpulkan bahwa SAR merupakan sensor yang paling efisien dan unggul untuk deteksi tumpahan minyak, meskipun tidak memiliki kemampuan untuk estimasi ketebalan dan jenis minyak. Dalam pencitraan SAR terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekuatan sinyal yang dipantulkan diantaranya adalah kekasaran objek. Permukaan laut mengandung spektrum gelombang dari riak kecil berukuran milimeter hingga gelombang dengan panjang ratusan meter. Namun, secara umum mekanisme yang mendominasi untuk mendukung hamburan balik adalah tipe resonansi Bragg. Lapisan minyak dapat mengurangi gelombang Bragg di permukaan laut yang kemudian diindera oleh SAR.
Ketika gelombang tipe Bragg ini
berkurang maka sangat sedikit sinyal yang dipancarkan kembali ke SAR, sehingga daerah gelap (dark spot) akan muncul di citra SAR (Brekke, 2007)
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
45
Faktor lainnya adalah sudut datang radar, dimana koefisien backscatter radar merupakan fungsi dari geometri pengamatan dari SAR, dan koefisien backscatter menurun dengan meningkatnya sudut datang (insiden angle) radar. Sifat hamburan material juga tergantung pada polarisasi sinyal radar yang masuk. Dalam Brekke et al. (2005) disebutkan konfigurasi SAR yang baik digunakan untuk deteksi tumpahan minyak adalah dengan polarisasi VV. Polarisasi VV memberikan backscatter radar yang tinggi dari permukaan laut dibandingkan HH. Alpers et al. (2004) menyarankan polarisasi VV untuk deteksi pencemaran minyak karena memberikan kontras lapisan minyak yang lebih baik. Pada pantulan VH dan HV terjadi dari mekanisme pantulan yang lebih kompleks, maka tidak cocok untuk deteksi tumpahan minyak karena pantulan dari permukaan laut akan berada di bawah kebisingan dasar SAR pada kondisi kecepatan angin sedang hingga tinggi. Disebutkan pula bahwa Xband dan C-band lebih efisien untuk deteksi tumpahan minyak dibandingkan L dan P-band. Sedangkan menurut Girard-Ardhuin et al. (2005) konfigurasi SAR yang paling cocok untuk deteksi lapisan minyak adalah C-band single-polarisasi VV pada kisaran insiden angle 20°45°. Dalam pemanfaatan data SAR, tingkat kecepatan angin juga mempengaruhi tingkat backscatter dan visibilitas dari lapisan di permukaan laut. Lapisan minyak terlihat hanya untuk rentang kecepatan angin tertentu. Di bawah threshold kecepatan angin yang rendah, hanya sedikit energi radar yang akan dihamburkan kembali menuju SAR, dan fitur yang tergantung pada modulasi gelombang Bragg tidak akan terlihat pada citra. Arah angin relatif terhadap bidang gelombang datang radar juga mempengaruhi backscatter dalam sebuah citra.
Angin menyilang/crosswind (angin yang bertiup tegak lurus terhadap arah
jangkauan/range) menghasilkan backscatter yang lebih rendah dibanding angin ke atas atau angin ke bawah (angin yang bertiup sepanjang arah jangkauan). Tabel 1 memberikan gambaran pengaruh kecepatan angin untuk pada citra ERS SAR (Brekke et al, 2005). Tabel 1. Penampakan Lapisan Minyak pada Citra SAR pada Kondisi Kecepatan Angin Tertentu
Kecepatan Angin (m/dtk)
Tanda Lapisan
0-3
Tidak ada dampak angin pada lapisan minyak, namun probabilitas tinggi terlihatnya objek mirip (look-alike) Sedikit kesalahan interprestasi pada daerah dengan angin lokal rendah, dan background lapisan minyak masih terlihat homogen Hanya minyak tebal yang terlihat. Minyak tipis akan tidak dilihat karena pembauran lapisan minyak oleh angin.
3 hingga 7-10 >7-10
Metode untuk deteksi tumpahan minyak menggunakan data SAR telah berkembang dari metode manual hingga metode otomatis. Dalam Indregard et al. (2004) dijelaskan metode deteksi tumpahan minyak secara manual yang telah dilakukan sejak tahun 1994 di Norwegia. Dengan metode ini tidak diperlukan teknik pengolahan yang mutakhir namun operator harus menganalisis satu-persatu spot pada citra sehingga memakan waktu, disamping itu tingkat kepercayaan tidak pasti. Metode otomatis data SAR dikembangkan oleh beberapa peneliti dimana di dalamnya meliputi teknik segmentasi untuk deteksi titik hitam (dark spot), ekstraksi fitur lapisan, dan klasifikasi. Karena karakteristik tumpahan minyak dicirikan dengan rendahnya backscatter, r
46
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
maka dapat dilakukan thresholding untuk memisahkan (segmentasi) dark spot (Breke et al. 2005). Solberg et al. (2007) melakukan deteksi tumpahan minyak menggunakan data RADARSAT-1 dan ENVISAT. Pada penelitiannya deteksi dark spot dilakukan dengan metode segmentasi multi skala, kemudian menerapkan threshold adaptif pada setiap level piramid. Metode segmentasi ini memiliki performa yang baik, kecuali pada lapisan minyak yang tipis dan linier. Untuk tahapan ekstraksi fitur lapisan dilakukan ekstraksi 13 fitur yang dikelompokkan dalam fitur bentuk, kontras, homogenitas dan lingkungan sekitarnya. Klasifikasi
dilakukan
dengan
lima
tahapan
yaitu
pengklasifikasian
dasar
yang
memperhitungkan fitur dan tingkat kecepatan angin, perhitungan kepadatan probabilitas yang bergantung pada kelas, model jumlah lapisan, menghitung fungsi kehilangan dan koreksi klasifikasi berbasis aturan. Tingkat akurasi yang diperoleh pada penelitian ini untuk deteksi lapisan minyak 78% dan untuk objek mirip (look alike) 99%. Brekke et al. 2007 melakukan pengembangan dari metode Solberg et al. (2007) terutama untuk segmentasi objek lapisan minyak tipis yaitu dengan membatasi orientasi objek tipis linier dan menerapkan threshold atau segmentasi yang berbeda dengan objek lainnya. Metode ini diujicobakan pada data ENVISAT ASAR Wide Swath Mode. Kemudian pengembangan metode dilakukan dengan membuat fitur baru pada kelompok fitur kontras dan fitur bentuk. Fitur yang diekstraksi terdiri dari 13 fitur dan 4 fitur baru. Pada penelitian ini akurasi yang dihasilkan untuk deteksi lapisan minyak adalah 89%. Perbandingan fitur yang diekstraksi dalam metode deteksi tumpahan minyak pada beberapa penelitian menggunakan data SAR dapat dilihat pada Tabel 2. Ringkasan berbagai data dan metode yang digunakan dalam deteksi tumpahan minyak ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 2. Fitur yang diterapkan pada beberapa penelitian
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Fitur Luas lapisan (A) Panjang keliling lapisan (P) Kompleksitas lapisan Lebar lapisan Penjalaran Momen Lapisan Standar deviasi dark spot Standar deviasi background Kontras maksimum (antara objek dan background) Kontras rata-rata (antara objek dan background) Gradien border maksimum Gradien border rata-rata Standar deviasi gradien Rasio kontras lokal area Power-to-mean Ratio lapisan Homogenitas (Power-to-mean Ratio) lingkungan sekitar Jarak dari titik sumber Jumlah spot terdeteksi pada scene Jumlah spot bertetangga Jumlah spot bertetangga (small window) Kontras lokal lapisan Kontras kehalusan
1
2
3
4
x x x
x
x
x
x x
x x
x
x
x
x
x
x
x x x x x x x x
x x x x x x x
x x x x x x x x
x x x x x x x
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
47
23 24 25 26
Ketebalan lapisan Kecepatan Angin Varian Lapisan Sudut antara segmen
x x x x
1: Frate et al (2000), 2: Solberg et al (1999), 3: Solberg et al (2007), 4: Brekke et al (2007) Tabel 3. Beberapa Metode Deteksi Tumpahan Minyak pada Berbagai Data Satelit Pendekatan Metode Deteksi hot spot
48
Peneliti
Sensor
Tujuan Deteksi awal dan monitoring tumpahan minyak, mengetahui ketebalan minyak berdasarkan temperatur Deteksi tumpahan minyak dan ketebalan minyak
Kelebihan Potensial untuk monitoring tumpahan minyak harian
Tseng and Chiu (1994)
Visible dan Infra Red NOAA-AVHRR
Fingas and Brown (1997)
Infra Red (IR) dan Ultraviolet (UV)
Signature Matching Method
Salem and Kafatos (2001)
Airborne Hyperspectral
Melihat tumpahan minyak berdasarkan komposisi kimia
Interpretasi visual
Hu et al. (2003)
MODIS resolusi 250 m dan 500 m
Menguji kemampuan data MODIS untuk deteksi tumpahan minyak
Pendekatan prinsip backscatter SAR pada data MODIS
Hu et al. (2009)
MODIS resolusi 250 m dan 500 m
Interpretasi manual/visual
Prayogo et al. (2010)
MODIS, Landsat ETM+, ALOS PALSAR
Deteksi manual (Pendekatan KSAT)
Indregard et al (2004)
ERS1
Mendeteksi lapisan minyak degan data MODIS berdasarkan pada kesamaan prinsip backscattering pada data SAR Mendeteksi tumpahan minyak, memantau penyebarannya dan menghitung luas tumpahan Deteksi tumpahan minyak secara manual
Threshold adaptif dan segmentasi multi skala, ekstaksi 13 fitur Threshold adaptif dan segmentasi multi skala untuk lapisan tipis, ekstraksi 15 fitur Filtering,Threshold dan segementasi, tekstur analisis
Solberg, et al (2007)
Radarsat, Envisat ASAR WSM
Deteksi tumpahan minyak dengan algoritma otomatis
Deteksi dark spot lebih cepat dan tingkat kepercayaan lebih pasti
Brekke et al (2007)
Envisat ASAR WSM
Mempertajam pada lapisan minyak tipis dan ekstraksi fitur lebih lengkap
Akkartal et al (2008)
Radarsat-1
Deteksi tumpahan minyak dengan algoritma otomatis penekanan pada lapisan minyak tipis Deteksi tumpahan minyak dengan metode visual dan digital
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Teknologi UV dapat mendeteksi tumpahan minyak yang tipis, gabungan IR dan UV dapat memberikan hasil yang lebih handal Lebih akurat dibandingkan teknik konvensional atau interpretasi visual Potensial untuk monitoring tumpahan minyak harian, variasi panjang gelombang bisa menambahkan informasi lain misal alga bloom. Mendeteksi lapisan minyak pada citra yang terdapat sun glint
Kelemahan Temperatur minyak tidak berbeda secara siginifikan dengan air pada malam hari dan pada kondisi cuaca tertentu UV tidak dapat digunakan malam hari, kesalahan interpretasi pada sun glint dan material biogenic. Untuk sensor spacehiperspektral tidak tersedia secara komersial Cloud cover dan keterbatasan cahaya matahari
Cloud cover dan keterbatasan cahaya matahari.
Data MODIS potensial untuk monitoring tumpahan minyak harian
Cloud cover pada data MODIS. Metode manual sehingga operator harus mendeteksi satu-persatu
Tidak memerlukan teknik pengolahan data yang mutakhir
Operator harus menganalisis satupersatu spot pada citra sehingga memakan waktu, tingkat kepercayaan tidak pasti. Teknik pengolahan data mutakhir.Kinerja segmentasi kurang pada lapisan minyak tipis. Teknik pengolahan data mutakhir.Belum diuji pada jenis data dan wilayah yang lain.
Masing-masing metode relatif efektif untuk kasus berbeda.Analisis tekstur kompatibel dengan teknik lainnya.
Belum diuji pada jenis data dan wilayah yang lain.
4. STUDI KASUS DETEKSI TUMPAHAN MINYAK DI LAUT TIMOR Di bawah ini diperlihatkan beberapa data satelit yang digunakan untuk deteksi tumpahan minyak akibat ledakan bawah laut offshore rig di utara perairan Laut Australia. Kebocoran minyak terjadi pada tanggal 21 Agustus 2009 dan lapisan minyak terus bergerak memasuki perairan Indonesia hingga beberapa bulan setelahnya. Pada Gambar 1 memperlihatkan data ALOS PALSAR tanggal 2 September 2009 dengan polarisasi HH dan HV. Gambar 1a merupakan citra backscatter (dB) polarisasi HH, dimana lapisan minyak terlihat sebagai objek gelap yang menyebar hampir di seluruh perairan. Pada citra tersebut juga terlihat dua objek terang yang diduga sebagai anjungan. Pada Gambar 1b merupakan citra backscatter (dB) polarisasi HV, dimana kontras antara lapisan minyak dengan non minyak tidak terlihat dengan jelas, namun objek anjungan terlihat lebih jelas. Gambar 1a merupakan citra yang belum dilakukan proses filtering. Filter digunakan selain untuk mengurangi speckle noise pada citra SAR, juga untuk memberi kontras pada daerah kemungkinan tumpahan minyak dengan lingkungan sekitarnya. Gambar 1c dan 1d memperlihatkan citra hasil filtering Frost dan Gamma jendela 5x5. Pada kedua gambar tersebut terlihat kontras objek minyak dan non minyak yang lebih jelas dengan berkurangnya speckle noise pada citra.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 1. Citra ALOS PALSAR (a) Polarisasi HH, (b) Polarisasi HV, (c) Polarisasi HH dengan Filter Frost 5x5 dan (d) Polarisasi HH dengan Filter Gamma 5x5
Gambar 2 merupakan contoh lain deteksi tumpahan minyak di Laut Timor yang dianalisis oleh LAPAN dalam rangka mendukung tim advokasi tuntutan ganti rugi tumpahan minyak pemerintah Republik Indonesia yang terdiri dari beberapa instansi dan dikoordinasikan oleh Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
49
Kementerian Lingkungan Hidup (Prayogo, et.al,2010). Pada gambar tersebut ditampilkan jejak tumpahan minyak yang dilihat dari citra satelit Landsat ETM+ pada tanggal 4 November 2009 dan citra satelit ALOS PALSAR pada tanggal 6 November 2009. Pada kedua data yaitu Landsat (Gambar 2b) dan ALOS PALSAR (Gambar 2c dan 2d) tersebut terlihat pola jejak tumpahan minyak yang sama. Data PALSAR yang digunakan adalah polarisasi HH. Pada Gambar 2c terlihat data ALOS PALSAR yang belum difilter, sedangkan pada Gambar 2d diperlihatkan data yang sudah difilter menggunakan high pass sharpen 5x5 dan analisis tekstur GLCM. Pada data hasil penajaman tersebut jejak tumpahan minyak terlihat lebih jelas.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. Jejak Tumpahan Minyak dari Citra Satelit ALOS PALSAR yang Terlihat di Sekitar Koordinat 11° 31’ 14,2” LS; 124° 25’ 12,7” BT (Posisi Survei KLH pada tanggal 4 November 2009 ditunjukkan dengan titik berwarna merah) (Prayogo, et.al 2010).
Keterangan Gambar: a. Liputan citra satelit ALOS-PALSAR 4 November 2009 Polarisasi HH (kotak berwarna ungu) b. Jejak tumpahan minyak dari Citra satelit Landsat 6 November 2009 Path/Row 110/68 RGB542 c. Kenampakan jejak tumpahan minyak dari Citra satelit ALOS-PALSAR d. Kenampakan jejak tumpahan minyak dari Citra satelit ALOS-PALSAR setelah dilakukan filtering (high pass sharpen 5x5) dan analisis tekstur (GLCM contrast)
50
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Ketersediaan data multi sensor secara nearr realtime serta penerapan metode deteksi tumpahan minyak yang akurat dan terkini merupakan kebutuhan utama dalam pemantauan sebaran saat kejadian berlangsung dan penentuan luas pasca tumpahan minyak terjadi. Hal ini sangat diperlukan, khususnya dalam mendukung penuntutan (claim) ganti rugi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tumpahan minyak tersebut. Dalam kasus tumpahan minyak yang berdampak pada beberapa negara penyelesaian masalah tersebut dilakukan melalui perundingan internasional, Tuntutan ganti rugi akibat tumpahan minyak di laut merupakan salah satu bahasan yang sangat penting dalam perundingan internasional. Tuntutan ganti rugi akibat tumpahan minyak memerlukan berbagai data pendukung yang akurat, seperti data dan fakta fisik tumpahan minyak, informasi spasial arah sebaran serta luas sebarannya, pemodelan oseanografi tumpahan minyak, bukti-bukti kerusakan lingkungan dan hasil pemantauan pasca kejadian serta analisis dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam kurun waktu tertentu), Data dan informasi deteksi tumpahan minyak dari pemanfaatan penginderaan jauh tidak hanya terbatas menggunakan citra satelit saja namun dapat juga menggunakan airborne dengan sensor multispectral VIRIS (Visible/Infrared Imaging Spectrometer) r / SAR (Syntethic Aperture Radar) seperti yang diterapkan pada kasus tumpahan minyak di teluk Mexico 2010 (Clark et al. 2010). Ketebalan tumpahan minyak dapat diperkirakan dari sifat optis tumpahan minyak di air dan nilai reflektansi kanal multi-spektral tersebut (224 kanal dengan rentang spektral 0,35 – 2,5 ȝP +DVLO GHWHNVL WXPSDKDQ PLQ\DN GDUL FLWUD VDWHOLW GHQJDQ VHQVRU RSWLV GDQ 6$5 MXJD digunakan sebagai data verifikasi model osenografi tumpahan minyak dimana distribusi dan penjalaran tumpahan minyak yang dimodelkan dibuktikan dengan lokasi-lokasi tumpahan minyak secara time series dari citra satelit.
5. KESIMPULAN Penginderaan jauh satelit merupakan teknologi yang memiliki banyak kemajuan dan keunggulan dalam pemantauan tumpahan minyak dibandingkan melalukan survei langsung atau pemantauan pesawat udara yang relatif mahal. Pada pembahasan di atas telah disajikan berbagai keunggulan pada masing-masing jenis sensor dan metodenya, namun tidak ada sensor tunggal yang memiliki kemampuan untuk menyediakan semua informasi yang dibutuhkan dalam pemantauan tumpahan minyak. Sehingga dalam pelaksanaan pemantauan akan lebih baik menggunakan berbagai kombinasi sensor satelit. Disamping itu tersedianya data near real time merupakan faktor yang sangat penting dalam pemantauan tumpahan minyak tersebut. Dalam kaitannya dalam perundingan internasional, penentuan metode yang sangat tepat untuk mendeteksi tumpahan minyak merupakan suatu hal yang mendasar. Hal ini karena kepercayan dan akurasi metode untuk menentukan tumpahan minyak dapat digunakan untuk klaim kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak tersebut. Pengembangan
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
51
metode penentuan tumpahan minyak dari data satelit optis maupun radar masih perlu ditingkatkan, sehingga memiliki suatu metode yang sangat kuat dan dipercaya.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bidawi Hasyim, M.Si. dan Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si., yang telah memberikan masukan dan koreksinya dalam paper ini.
DAFTAR PUSTAKA Alpers, W. and Espedal, H. 2004. Oils and Surfactants. Chapter 11 in Synthetic Aperture Radar Marine User’s Manual, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Jackson, C.R. and Apel, J.R.(Eds.), 263-275. Akkartal, A., Sunar, F. 2008. The Usage of Radar Images in Oil Spill Detection. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science. Vol.XXXXVII. Part B8. Beijing. Brekke, C., Solberg, A.H.S. 2005. Oil Spill Detection by Satellite Remote Sensing. Remote Sensing of environment 95 (2005) 1-13. Brekke, C. 2007. Automatic screening of Synthetic Aperture Radar imagery for detection of oil pollution in the marine environment. Forsvarets forskningsinstitutt/Norwegian Defence Research Establishment (FFI) Rapport. Clark, R.N., Swayze, G.A., Leifer, I., Livo, K.E., Lundeen, S., Eastwood, M., Green, R.O., Kokaly, R., Hoefen, T., Sarture, C., McCubbin, I., Roberts, D., Steele, D., Ryan, T., Dominguez, R., Pearson, N., and the Airborne Visible/Infrared Imaging Spectrometer (AVIRIS) Team, 2010, A method for qualitative mapping of thick oil spills using imaging spectroscopy: U.S. Geological Survey Open-File Report 2010-1101., URL address: http://pubs.usgs.gov/of/2010/1101/ Fingas, M., Brown, C.E. 1997. Oil Spill Remote Sensing: A Review. Oil Spill Science and Technology. Girard-Ardhuin F., Mercier G., Collard F., and. Garello R. 2005. Operational Oil-Slick Characterization by SAR Imagery and Synergistic Data. IEEE Journal of Oceanic Engineering, 30(3), 2005. Hu, C., Mqller-Krager, F. E., Taylor, C. J.,Myhre,D.,Murch, B.,Odriozola,A. L., et al. 2003. MODIS detects oil spills in Lake Maracaibo, Venezuela. EOS, Transactions, American Geophysical Union, 84(33). Hu, C., Li, X., Pichel, W.G., Muller-Karger, F.E. 2009. Detection of natural oil slicks in the NW Gulf of Mexico using MODIS Imagery. Geophysical Research Letters, Vol. 36, 2009.
52
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Indregard, M., Solberg, A., Clayton, P. (2004). D2-report on benchmarking oil spill recognition approaches and best practice. Tech. rep., Oceanides project, European Commission, Archive No. 04-10225-A-Doc, Contract No: EVK2-CT-2003-00177 Prayogo, T., Hidayat, Arifin, S., Carolita, I., Winarso, G., Hawariyyah, S. 2010. Laporan Kegiatan T.A. 2010: Deteksi dan Analisis Sebaran Tumpahan Minyak di Laut Timor menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. LAPAN. Jakarta. Solberg, A.H.S., Brekke C., Husøy, P. O. 2007. Oil Spill Detection in Radarsat and Envisat SAR images. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, March 2007, vol. 45, no. 3, pp.746-755. Tseng, W. Y., & Chiu, L. S. 1994. AVHRR observations of Persian Gulf oil spills. Proceeding IGARSS’94, vol. 2. Salem, F., Kafatos, M. 2001. Hyperspectral Image Analysis for Oil Spill Mitigation. Proceeding at the 22nd Asian Conference on Remote Sensing, 5-6 November 2001. Singapore.
BIOGRAFI PENULIS Sayidah Sulma, S.Pi, M.Si Email :
[email protected] Pendidikan: x x
Magister Sains (M.Si) pada program studi Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. 2012 Sarjana Perikanan (S.Pi.) pada program studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2000
Sayidah Sulma telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2003. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk analisis sumberdaya pesisir dan laut, mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan, dan analisis pencemaran lingkungan. Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Dr. rer. nat. M. Rokhis Khomarudin Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Doktor (Dr), pada Ludwig-Maximilians-Universität (LMU) Munich – Germany, 2010 x Magister Sains (M.Si.), pada program studi Agroklimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
53
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), 2005. x Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 1998 Profesi sebagai Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, selain itu aktif sebagai fungsional peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sejak 1 Maret 1999. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan, pengembangan model diaplikasikan untuk berbagai tipe bencana. Organisasi profesi yang diikuti adalah Anggota pada Indonesian Agricultural Meteorology Society, Anggota pada Indonesian Remote Sensing Society, Anggota pada American Geoscience Union, dan Anggota pada European Geoscience Union.
Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si Email :
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M.Si.) pada program studi Ilmu Lingkungan, Program Paskasarjana Universitas Indonesia (UI), 1997 x Sarjana (Dra.) Jurusan Penginderaan Jauh (Remote Sensing), Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM). 1983. Nanik Suryo Haryani telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1992. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan (hutan dan perkebunan) dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
54
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
SPASIAL PEMANTAUAN KABUT ASAP (HAZE) E DI PROPINSI RIAU DENGAN MENGGUNAKAN GOOGLE EARTH Muhammad Priyatna, M. Rokhis Khomarudin, Kusumaning Ayu DS Abstract Use of data in support of haze monitoring spatial information in Riau by using Google Earth can be used for early prediction of flow direction haze fires burning in the region. In general, the combination of information hotspots t and raster data from Red Green Blue MODIS data satellite according to the date of the fire, it can be seen towards the smog. In this paper the method of combination of the spatial information carried hot spots that have been converted to KML files (Keyhole Markup Language) can be combined with Red Green Blue MODIS data according to the date of occurrence of smog. With the combined results of this can be seen early predication flow direction haze fires burning in the region. In the Red Green Blue MODIS data dated June 24, 2012, looked toward the haze toward the North Sumatra region. For the purposes of this additional layer, Red Green Blue MODIS data needs to be converted into KML language, so that it will facilitate the visualization process combination in the Google Earth application. It is suggested in the use of Red Green Blue MODIS data are done selecting the data that is almost free of clouds approached first, it is to obtain and facilitate the monitoring of smog and also added later on wind direction data thereby increasing the accuracy of the observation direction the smoke is happening. Keywords: Haze, Hotspots, t Google Earth, MODIS, and KML Abstrak Pemanfaatan data dalam mendukung informasi spasial pemantauan kabut asap di propinsi Riau dengan menggunakan Google Earth dapat digunakan untuk prediksi awal arah aliran haze kebakaran yang terjadi di wilayah terbakar tersebut. Secara umum dengan kombinasi informasi titik panas dan data raster dari data satelit MODIS Red Green Blue sesuai dengan tanggal kejadian kebakaran, maka dapat diketahui arah kabut asap. Dalam tulisan ini dilakukan metode penggabungan informasi spasial titik panas yang telah dikonversi dalam file KML (Keyhole Markup Language) dapat dikombinasikan dengan data MODIS Red Green Blue sesuai dengan tanggal kejadian kabut asap. Dengan hasil gabungan ini dapat diketahui predikasi awal arah aliran haze kebakaran yang terjadi di wilayah terbakar tersebut. Pada data MODIS Red Green Blue tanggal 24 Juni 2012, tampak arah kabut asap menuju ke wilayah Utara propinsi Sumatera. Untuk keperluan layer tambahan ini, data MODIS Red Green Blue perlu dikonversi kedalam bahasa KML, sehingga akan memudahkan proses visualisasi kombinasi di aplikasi Google Earth. Disarankan dalam penggunaan data MODIS Red Green Blue tersebut dilakukan pemilihan data yang hampir mendekati bebas dari awan terlebih dahulu, hal ini untuk mendapatkan dan memudahkan hasil pemantauan kabut asap nantinya dan juga ditambah data arah angin sehingga menambah keakuratan arah pantauan asap yang terjadi. Kata kunci : Haze, Titik Panas, Google Earth, MODIS dan KML
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
55
1. PENDAHULUAN Salah satu produk informasi spasial dari Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana adalah informasi spasial titik panas (Hotspot) untuk wilayah Indonesia, khususnya propinsi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan menggunakan data MODIS. Telah banyak organisasi swasta atau lembaga pemerintah yang menghasilkan produk informasi spasial di dunia internasional, seperti penggunaan sistem Google earth yang digunakan sebagai pendukung platform resolusi tinggi dalam tanggap darurat bencana hotspot deforestasi di pulau Borneo pada tahun 2002 sampai dengan 2009. [Alexis Dorais and Jeffrey Cardille, 2011]. Penggunaan data MODIS juga digunakan untuk pemantauan smoke, haze, dan wilayah dampak smoke. Data MODIS ini merupakan produk Active Fire, Aerosol Optical Depth, dan MODIS True Color dengan resolusi 250 meter. [Vivarad Phonekeo, 2008]. Informasi spasial ini dihasilkan secara harian maupun bulanan dan diupload pada website SIMBA [www.lapanrs.com/simba], serta dapat diunduh oleh para pengguna. Guna memberikan informasi spasial titik panas yang lebih menarik bagi pengguna, perlu dilakukan penyempurnaan dengan mengkombinasikan data hasil pengolahan berupa titik dan image dengan memanfaatkan Google Earth. Gabungan informasi spasial titik panas dapat dikombinasikan dengan data lainnya sesuai tanggal kejadian atau kebutuhan untuk melakukan monitoring kejadian kabut asap. Dengan hasil gabungan, maka akan diketahui prediksi arah aliran asap kebakaran yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam tulisan ini, dilakukan analisis pemantauan kabut asap dari data MODIS di Propinsi Riau dengan memanfaatkan sistem Google Earth, yakni kombinasi informasi titik panas yang terjadi di wilayah Propinsi Riau, dengan image MODIS RGB (Red Green Blue) sesuai dengan tanggal kejadian kebakaran pada bulan Juni 2012. Tulisan ini juga diharapkan menjadi bahan untuk pengambilan keputusan bagi pihak terkait dalam menentukan dampak dari aliran kabut asap terhadap wilayah di sekitarnya baik Indonesia maupun negara tetangga.
2. SEBARAN TITIK PANAS WILAYAH PROPINSI SUMATERA Berikut pada Gambar 1. Merupakan data sebaran titik panas wilayah propinsi Sumatera pada tanggal 14 Juni 2012, sebagai data yang menjadi analisis penulis terkait titik panas yang tinggi pada bulan Juni di wilayah Sumatera sebanyak 872 titik panas.
56
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Gambar 1. Data sebaran titik panas wilayah propinsi Sumatera pada tanggal 14 Juni 2012[8]
3. SYSTEM GOOGLE EARTH Google Earth merupakan program globe virtual atau disebut juga dengan Earth Viewer[4]. r Program ini dibuat oleh Keyhole, Inc. Google Earth mampu menunjukkan semua gambar permukaan Bumi dari pemetaan satelit, fotografi uadara dan Globe Geographic Information System. Google Earth terbagi dalam tiga lisensi berbeda: Google Earth, sebuah versi gratis dengan kemampuan terbatas; Google Earth Plus ($20), yang memiliki fitur tambahan; dan Google Earth Pro ($400 per tahun), yang digunakan untuk penggunaan komersial. Google Earth mendukung pengelolaan data Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language (KML). KML adalah format file yang digunakan untuk menampilkan data geografi dalam Earth browser, seperti Google Earth dengan menggunakan proyeksi Silinder Sederhana untuk basis pencitraannya. Proyeksi peta ini cukup sederhana dengan sistem paralel dan meridian merupakan ekuidistan, garis horizontal dan kedua garis memotong pada sudut tegak lurus. Proyeksi ini juga dikenal sebagai Lintang/Bujur WGS84.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
57
Gambar 2. Data sebaran titik panas wilayah propinsi Sumatera pada bulan Juni 2012 pada google earth.
4. DATA DAN METODOLOGI Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah: 1. Data sebaran titik panas wilayah Sumatera musim panas (Juni 2012) 2. Image MODIS Terra/ Aqua Red Green Blue (Juni 2012) Untuk keperluan analisis pemantauan kabut asap ini dibutuhkan: 1. Ketersediaan data, seperti di atas 2. Penentuan geo lokasi terhadap aplikasi Google Earth, baik lintang/latitude maupun bujur/longitude, serta sistem penentuan kebumian (WGS84). 3. Data Image MODIS perlu dikonversi ke dalam bahasa KMZ (Keyhole Markup Language), sehingga akan memudahkan proses visualisasi kombinasi di aplikasi System Google Earth.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan sistem koordinat geografis pada image MODIS yang akan dikombinasikan pada siste Google Earth perlu disesuaikan terlebih dahulu ke dalam proyeksi UTM ((Universal Transverse
Mercator) r
sebelum
di-impor
ke
Google
Earth,
data
tersebut
akan
diinterpretasikan berdasarkan sistem koordinat Google Earth, karena kalau tidak akan memberikan lokasi atau titik koordinat yang sedikit berbeda untuk lokasi yang sama di bumi. Untuk kondisi ini perlu dilakukan konversi untuk mentransformasi data iamage dari sistem
58
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
koordinat awal ke sistem koordinat sesuai dengan Google Earth. Selanjutnya, system Google Earth akan melakukan proyeksi Mercator, yakni area, skala, bidang, atau arah image data MODIS yang dikombinasikan. Selanjutnya pemilihan titik panas kebakaran hutan/lahan yang disesuaikan dengan data satelit Informasi spasial, yakni informasi lintang, bujur, lokasi atau posisi titik panas. Data titik panas bulan Juni 2012 dipilih pada tanggal 11, 12, 13, 15, 17, dan 24 Juni 2012 untuk wilayah Propinsi Riau. Dengan memanfaatkan image data MODIS RGB pada bulan Juni 2012 dengan tanggal yang sama dengan data hasil pengolahan. Data image ini merupakan layer tambahan pada google earth, sehingga dapat diketahui arah kabut asap. Untuk memudahkan analisis, dapat dilakukan visualisasi sebaran titik panas secara harian dengan menggunakan google earth, tampak pada gambar di bawah ini berturut-turut tanggal 11, 12, 13, 15, 17, dan 24 Juni 2012.
Gambar. 3a. Sebaran titik panas pada 11 Juni 2012 di wilayah Sumatera
Gambar. 3b. Sebaran titik panas pada 12 Juni 2012 di wilayah Sumatera
Gambar. 3c. Sebaran titik panas pada 13 Juni 2012 di wilayah Sumatera
Gambar. 3d. Sebaran titik panas pada 15 Juni 2012 di wilayah Sumatera
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
59
Gambar. 3e. Sebaran titik panas pada 17 Juni 2012 di wilayah Sumatera
Gambar. 3f. Sebaran titik panas pada 24 Juni 2012 di wilayah Sumatera
Dengan melakukan gabungan informasi titik panas yang terjadi dan data image dari satelit sesuai dengan tanggal kejadian maka dapat diketahui predikasi arah kabut asap kebakaran yang terjadi di wilayah Sumatera. Proses pengolahan titik panas tersebut disesuaikan dengan data satelit Informasi spasial titik api berbasis KML, dalam hal ini memberikan beberapa informasi lintang, bujur, lokasi atau posisi titik panas kejadian di wilayah Indonesia. Penggunaan Image data satelit penginderaan jauh merupakan media pembanding terhadap titik panas yang terjadi, sehingga dapat digunakan sebagai layer dalam menentukan arah asap yang terjadi. Namun demikian image tersebut dilakukan pemilihan image yang betulbetul hampir bersih dari awan hujan. Tampak perbedaan awan dan asap yang terjadi pada gambar 4, dengan memanfaatakan visualisasi. Asap yang terdeteksi pada image MODIS memiliki warna agak kecoklat-coklatan, hal ini karena memiliki temperature yang berbeda dengan awan yang berwarna putih. Hasil gabungan data sebaran titik panas kebakaran hutan/lahan dan image MODIS RGB dapat diketahui visualisasi arah kabut asap dan dapat menentukan dampak dari arah kabut asap tersebut terhadap wilayah di sekitarnya. Pada gambar 4 dan 5 berikut, merupakan hasil gabungan data MODIS Terra/Aqua dengan data sebaran titik panas tanggal 24 Juni 2012. Tampak kabut asap yang terjadi baik pada data MODIS Terra maupun Aqua. Secara visual, arah kabut asap mengarah ke wilayah Sumatera Utara (lingkaran warna merah), yakni tampak ekor awan sangat tipis yang terjadi di atas pulau Sumatera khususnya image MODIS bergerak ke arah utara dari pulau Sumatera. Dengan diketahuinya arah angin sesuai dengan posisi pulau dan perputaran gerak rotasi bumi terhadap matahari maka asap yang terjadi pada kebakaran hutan/lahan bisa diprediksi arah pergerakannya. Pada gambar 4, Apabila dilakukan zoom out / pembesaran pada wilayah data sebaran titik panas dengan image data MODIS Terra pada tanggal 24 Juni 2012 di wilayah Sumatera, akan tampak kabut asap yang terjadi (tanda lingkaran warna merah). Pada gambar tampak asap memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk awan. Bentuk asap yang terjadi memiliki sebaran yang merata di atas pulau dan tidak mengumpul seperti bentuk awan yang terjadi.
60
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Bentuknya pun agak tipis dibandingkan dengan bentuk awan rendah maupun awan tinggi. Tanda kotak berwarna coklat muda mengindikasikan bahwa sebaran titik panas kebakaran hutan/lahan yang terajdi pada wilayah tersebut.
Gambar 4. Kombinasi data sebaran titik panas (tanda kotak coklat muda) dengan image data MODIS Terra pada tanggal 24 Juni 2012 di wilayah Sumatera. Tanda lingkaran warna merah merupakan kabut asap yang terjadi.
Pada gambar 5, Apabila dilakukan zoom out / pembesaran pada wilayah data sebaran titik panas dengan image data MODIS Aqua pada tanggal 24 Juni 2012 di wilayah Sumatera, akan tampak kabut asap yang terjadi (tanda lingkaran warna merah). Pada gambar tampak asap memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk awan. Bentuk asap yang terjadi memiliki sebaran yang merata di atas pulau dan tidak mengumpul seperti bentuk awan yang terjadi. Bentuknya pun agak tipis dibandingkan dengan bentuk awan rendah maupun awan tinggi. Tanda kotak berwarna coklat muda mengindikasikan bahwa sebaran titik panas kebakaran hutan/lahan yang terajdi pada wilayah tersebut.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
61
Gambar 5. Kombinasi data sebaran titik panas (tanda kotak coklat muda) dengan image data MODIS Aqua pada tanggal 24 Juni 2012 di wilayah Sumatera. Tanda lingkaran warna merah merupakan kabut asap yang terjadi.
Berikut gambar 6, merupakan hasil kombinasi data sebaran titik panas kebakaran hutan/lahan dengan image data MODIS pada System Google Earth untuk wilayah Sumatera. Pada tulisan ini tidak dijelaskan secara mendalam terkait penggunaan sistem aplikasi Google Earth, namun demikian pada gambar 6, tampak windows Google Earth yang digunakan. Pada sistem ini dapat di tambah atau dikurangi layer yang akan kita gunakan, selain itu pula dapat melakukan koreksi dan meng-upload untuk disebarkan secara online kepada masyarakat.
62
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Gambar 6. Pembesaran image data MODIS Aqua pada tanggal 24 Juni 2012 di wilayah Sumatera. Tanda lingkaran warna merah merupakan kabut asap yang terjadi dengan mengarah ke arah Utara, yakni propinsi Sumatera Utara.
6. KESIMPULAN Pemanfaatan data modis dalam mendukung informasi spasial pemantauan kabut asap di Propinsi Riau dengan menggunakan Google Earth dapat diketahui prediksi awal arah aliran asap kebakaran yang terjadi di wilayah terbakar dengan melakukan kombinasi informasi sebaran titik panas dan data image MODIS RGB sesuai dengan tanggal kejadian kebakaran. Pada data image MODIS baik Terra maupun Aqua tanggal 24 Juni 2012, tampak arah kabut asap menuju ke wilayah Utara propinsi Sumatera. Untuk keperluan layer tambahan ini, data image MODIS perlu dikonversi kedalam bahasa KML, sehingga akan memudahkan proses visualisasi kombinasi di aplikasi Google Earth. Disarankan dalam penggunaan image satelit MODIS tersebut dilakukan pemilihan image yang hampir mendekati bebas dari awan terlebih dahulu dan juga ditambah data arah angin sehingga menambah yakin arah pantauan asap yang terjadi.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Bidawi Hasyim, M.Si. dan Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Si., yang telah memberikan masukan dan koreksinya dalam paper ini.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
63
DAFTAR PUSTAKA
Alexis Dorais and Jeffrey Cardille,2011. Strategies for Incorporating High-Resolution Google Earth Databases to Guide and Validate Classifications: Understanding Deforestation in Borneo, Remote Sens. 2011, 3, 1157-1176; doi:10.3390/rs3061157 ASEAN Leaders Agree to Haze Monitoring System, 2013, diakses tanggal 20 Nopember 2013, di alamat: http://blogs.wsj.com/searealtime/2013/10/10/asean-leaders-agree-tohaze-monitoring-system/ Google Earth User Guide, diakses tanggal 20 Nopember 2013, di alamat: http:// earth.google.com/userguide/v4/ Google Maps Help Center, diakses tanggal 20 Nopember 2013, di alamat: http:// maps.google.com/support/ Google
Maps–Wikipedia, – diakses tanggal en.wikipedia.org/wiki/Google_Maps
20
Nopember
2013,
di
alamat:
http://
KML documentation – Developer’s Guide – Updates, diakses tanggal 20 Nopember 2013, di alamat: http://code.google.com/apis/kml/documentation/updates.html KML documentation- Google Earth KML 2.0 - KML 2.1 & KML 2.2 References, diakses tanggal 20 November 2013, di alamat: http://code.google.com/apis/kml/ documentation/ Krishna Prasad Vadrevu, Ivan Csiszar, Evan Ellicott, Louis Giglio, K. V. S. Badarinath, Eric Vermote, and Chris Justice, 2013. Hotspot Analysis of Vegetation Fires and Intensity in the Indian Region, Ieee Journal of Selected Topics in Applied Earth Observations and Remote Sensing, Vol. 6, No. 1, February 2013 Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran, diakses tanggal 20 Nopember 2013, di alamat: http:// www.lapanrs.com/simba/subcat/hs?periode=hr&daerah=all Working with Regions, diakses tanggal 20 Nopember 2013, developers.google.com/kml/documentation/regions?csw=1
di
alamat:
https://
Vivarad Phonekeo, 2008, Geoinformatics Center, Asian Institute of Technology. Monitoring of Active Fire, Smoke and Haze in Southeast Asia using MODIS products (MOD14, MOD04) A case study of Thailand
64
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Magister Teknologi Informasi (MTI), pada program Pasca Sarjana Teknologi Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. 2007. x Sarjana Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Nasional. 1998 Muhammad Priyatna telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1999. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
Dr. rer. nat. M. Rokhis Khomarudin Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Doktor (Dr), pada Ludwig-Maximilians-Universität (LMU) Munich – Germany, 2010 x Magister Sains (M.Si.), pada program studi Agroklimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB), 2005. x Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 1998 Profesi sebagai Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana, selain itu aktif sebagai fungsional peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sejak 1 Maret 1999. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan, pengembangan model diaplikasikan untuk berbagai tipe bencana. Organisasi profesi yang diikuti adalah Anggota pada Indonesian Agricultural Meteorology Society, Anggota pada Indonesian Remote Sensing Society, Anggota pada American Geoscience Union, dan Anggota pada European Geoscience Union.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
65
Kusumaning Ayu, ST Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan/Education: x Sarjana Teknik (ST),pada program studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (UI) 2009 Penelitian yang diminati/Research Interest: Aplikasi data penginderaan jauh untuk kebakaran hutan dan teknik telekomunikasi Kusumaning Ayu telah bekerja di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2006. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pengembangan model aplikasi data penginderaan jauh untuk kebakaran hutan. Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
66
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN KEBAKARAN HUTAN/LAHAN DI SUMATERA Any Zubaidah, Yenni Vetrita, Muhammad Priyatna
Abstract
Forest/ land fires in Indonesia occur almost every year. Factors causing forest/ land fires not only by nature, but also caused by human activities such as land clearing and extention for agriculture or plantations. Forest/ land fires can be indicated by the presence of a hotspot. Hotspots t can be monitored on a daily basis using satellite remote sensing imagery. This study aims to analyze the impact of forest/ land fire smoke using satellite remote sensing imagery. From this study, the smoke direction or flow and its distribution, carried by wind currents, can be seen visually in the form of image distribution of smoke. This information can be used by government as an input in determining decisions of disaster mitigation in Indonesia or avoid possible impacts to neighboring countries such as Singapore and Malaysia . Key Word: Forest/ land fires, hotspot, Remote Sensing.
Abstrak
Kebakaran hutan/lahan di Indonesia terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran hutan/lahan bukan hanya disebabkan oleh faktor alam saja, melainkan juga disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pembersihan lahan/land clearing dan perluasan lahan untuk pertanian atau perkebunan. Kebakaran hutan/lahan dapat diindikasikan dengan adanya titik api (hotspot ( t). Hotspot dapat dapat dipantau secara harian menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak asap kebakaran hutan/lahan menggunakan citra satelit penginderaan jauh. Dari penelitian, arah atau aliran dan sebaran asap yang terbawa oleh arus angin dapat diketahui secara visual dalam bentuk informasi citra sebaran asap. Informasi ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai masukan dalam menentukan keputusan mitigasi bencana di wilayah Indonesia maupun dampak yang mungkin terjadi bagi Negara tetangga seperti Singapur dan Malaysia. Kata Kunci : Kebakaran hutan/lahan, hotspot, penginderaan jauh.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
67
1. PENDAHULUAN Kebakaran hutan/lahan merupakan permasalahan yang rutin terjadi di Indonesia disetiap musim kemarau. Kebakaran hutan/lahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: adanya sambaran petir pada hutan yang kering karena musim kemarau yang panjang, aktifitas vulkanis yaitu terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung berapi, kebakaran di bawah tanah/ground fire pada daerah tanah gambut yang dapat menyulut kebakaran di atas tanah pada saat musim kemarau, dan kecerobohan manusia membuang puntung rokok sembarangan dan lupa mematikan, serta tindakan yang disengaja oleh manusia seperti untuk membersihkan atau membuka lahan pertanian baru. Menurut
Kementerian
Kehutanan
Republik
Indonesia
dalam
siaran
Pers
Nomor:
S.156/II/PIK-1/2007 menyatakan bahwa sebagian besar (70%) kebakaran lahan terjadi di luar kawasan hutan, dan hanya sebagian kecil saja yang terjadi di dalam kawasan hutan. Persepsi masyarakat menyatakan bahwa timbulnya asap diberbagai wilayah di Indonesia disebabkan oleh kebakaran hutan. Padahal penyebab utamanya adalah pembakaran lahan dalam rangka pembukaan lahan baru untuk penyiapkan perkebunan skala besar, perladangan, dan pembersihan lahan/land clearing. Selain itu hanya sebagian kecil saja yang terjadi pembakaran lahan di wilayah Hutan Tanaman Industri. Kebanyakan
masyarakat
dalam
melakukan
kegiatan
pembukaan
lahan
maupun
pembersihan lahan tersebut dilakukan dengan cara membakar dikarenakan biayanya murah dan cepat. Kegiatan membakar lahan yang tidak memperhatikan berbagai aspek lingkungan inilah yang akan membuat kebakaran hutan/lahan tidak terkendali, apalagi dilakukan di lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan. Jika sudah terbakar maka sulit dikendalikan karena merembet sangat cepat searah dengan arah angin dan menimbulkan kabut asap seperti kebakaran yang sering terjadi di wilayah Provinsi Riau. Bencana yang diakibatkan oleh praktik pembakaran lahan dan hutan adalah timbulnya polusi asap yang mengganggu berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat, baik nasional maupun global, serta menyebabkan kerusakan lingkungan. Untuk meminimalkan terjadinya bencana kebakaran hutan/lahan tidak meluas perlu diadakan pegendalian kebakaran hutan/lahan. Sebenarnya apabila kebakaran hutan ini terkendali, dan ditinjau dari aspek kesuburan tanah maka dapat berdampak positif antara lain mempermudah dan menghemat biaya dalam tahap pembukaan lahan, membantu peremajaan alam, mempercepat proses mineralisasi hara tanah, memusnahkan hama dan penyakit tanaman (Armanto dan wildayana, 1998) Kebakaran hutan/lahan dapat diindikasikan dengan adanya hotspot atau titik api yang dapat dipantau setiap hari dari berbagai satelit penginderaan jauh seperti NOAA-AVRR (National
68
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Oceanic and Admospheric Administration - Advanced Very High Resolution Radiometer) r ataupun Terra/Aqua-MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). r Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak asap kebakaran hutan/lahan menggunakan data penginderaan jauh. Selain itu secara visual dapat diketahui arah atau aliran dan sebaran asap yang terbawa oleh arus angin dalam bentuk informasi citra sebaran asap. 1.1 SEBARAN JUMLAH HOTSPOT TERTINGGI SELAMA TAHUN 2012 Satelit Terra/Aqua MODIS dapat digunakan untuk pemantauan hotspot. Berdasarkan data hotspot bulanan Terra/Aqua MODIS dari pantauan Indofire map service LAPAN selama tahun 2012 (Januari - Desember 2012) diperoleh hotspot bulanan dengan frekuensi tinggi dimulai dari bulan Mei hingga Oktober 2012. Puncak hotspot terjadi pada bulan September 2012 hingga mencapai 11114 titik Gambar 1. Wilayah Sumatera memiliki rawan kebakaran hutan/lahan yang cukup tinggi, antara lain di provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Provinsi Riau memiliki frekuensi jumlah hotspot paling banyak di bulan Juni dan Agustus 2012 selanjutnya di Provinsi Sumatera Selatan dengan frekuensi jumlah hotspot paling banyak di bulan Juli hingga Oktober 2012, adapun di Provinsi Jambi frekuensi jumlah hotspot paling banyak di bulan September 2012 (lihat Gambar 2). Hasil pantauan hotspot harian dapat dilihat di situs LAPAN dan dapat dilihat di wilayah mana hotspot terdistribusi serta kapan terjadi puncak hotspot yang terjadi di wilayah Indonesia (sumber: http:// www.lapanrs.com/simba).
Gambar 1. Jumlah Hotspot Bulanan di Indonesia Tahun 2012.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
69
Gambar 2. Jumlah Hotspot Bulanan Setiap Provinsi di Pulau Sumatera
Contoh beberapa dampak asap kebakaran hutan/lahan dari satelit Terra/Aqua MODIS dijelaskan lebih lanjut pada paragraph di bawah berikut.
2. DAMPAK ASAP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN/LAHAN Secara langsung dampak asap kebakaran hutan/lahan jarang menelan korban jiwa, tetapi korban tak langsung banyak. Korban tak langsung itu terkait dengan kesehatan warga karena asap dan debu sisa bahan yang terbakar, biasanya disebut dengan istilah kedokteran adalah Infeksi Saluran Pernafasan bagian Atas (ISPA). Asap kebakaran terlihat seperti awan berwarna putih keabu-abuan, coklat atau kehitam-hitaman. Kian gelap warna asap, maka kadar pencemaran udara makin tinggi. Selain itu semakin kecil ukuran partikel asap akan semakin jauh penyebarannya hingga ke segala penjuru sesuai dengan arah angin yang terjadi saat kebakaran. Kebakaran terus terjadi di wilayah Indonesia. Kebakaran hutan/lahan dapat dipantau dari satelit Aqua-MODIS. Berdasarkan citra Aqua MODIS NASA tanggal 19 Juni 2013 yang di tumpang susun dengan pantauan hotspot MODIS tertanggal 14-23 Juni 2013 menyebarkan kabut asap di wilayah atmosfer Indonesia hingga wilayah Singapur, dan Malaysia (Gambar 6). Demikian juga pada citra Aqua MODIS tanggal 20 Juni 2013 terlihat adanya sebaran asap pekat di wilayah Riau, bahkan asap sudah merambah ke negara tetangga (Gambar 7). Berdasarkan hasil pantauan LAPAN, Jumlah hotspot dari satelit Aqua-MODIS yang terjadi selama 10 hari (tanggal 14 hingga 23 Juni 2013) terlihat cukup banyak hingga mencapai 10.650 titik. Beberapa titik kebakaran berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Dumai, Kampar, Pelalawan, dan Indragri Hilir. Asap yang ditunjukkan dengan warna putih tipis terlihat mengarah ke timur dan timur laut hingga mencapai wilayah Singapura dan Malaysia. Kemungkinan besar karena arus angin serta pergerakan udara yang telah membawa sebagian besar asap kebakaran ke arah Singapura dan Malaysia, sehingga dampak asap
70
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
kebakaran ini akan menimbulkan protes karena memperoleh kiriman asap dari Indonesia dan sangat mengganggu baik dari segi kesehatan maupun transportasi. Oleh karena Singapura merupakan sebuah Negara metropolis dengan populasi yang cukup padat dan menjadi pusat perhatian finansial global serta pusat media elektronik terbesar di wilayah Asia, sehingga sebagai wilayah terdampaknya kabut asap yang terjadi di Singapura langsung menarik perhatian media internasional. Selain itu, menurut informasi Nigel Siger, Kemen Austin dan Ariana Alisjahbana (2013) dari World Resources Institute (WRI) telah mengintip di antara kabut, bagaimana data dapat membantu kita menyelidiki kebakaran di Indonesia. WRI menyatakan bahwa tingkat kualitas udara di Singapura telah jatuh ke tingkat terburuk yang pernah tercatat di pulau tersebut sedangkan bandara di Indonesia dan beberapa sekolah di Malaysia harus ditutup (sumber dari WRI).
Gambar 3. Sebaran asap tanggal 19 Juni 2013 dan hotspot tanggal 14-23 Juni 2013 di Provinsi Riau
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
71
Gambar 4. Sebaran asap tanggal 20 Juni 2013 dan hotspot tanggal 14-23 Juni 2013 di Provinsi Riau
Berdasarkan pantauan kebakaran hutan/lahan melalui satelit Terra/Aqua MODIS juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa asap tidak selalu berasal/mendapat kiriman dari Indonesia jika ada komplain dari negara Tetangga (seperti Singapura atau Malaysia). Sebagai contoh kebakaran yang terjadi pada tanggal 10 Agustus 2012, terlihat bahwa jumlah hotspot di wilayah Pulau Sumatera cukup tinggi (Gambar 5). Sebaran hotspot didominasi di Provinsi Riau hingga mencapai lebih dari 250 titik panas dan diikuti sebaran asap yang mengarah ke arah barat laut, dilanjutkan di Provinsi Sumatera Selatan dan Jambi. Hotspot tersebut diperoleh dari MODIS Indofire Map Service tanggal 10 Agustus 2012. Berdasarkan data MODIS Terra terlihat sangat jelas adanya asap kebakaran pada tanggal 10 Agustus 2012 hingga mencapai selat Malaka, namun tidak mencapai ke wilayah Malaysia. Dengan informasi seperti inilah dapat digunakan untuk menjadi bahan masukan pemerintah dalam mengontrol kejadian kebakaran hutan/lahan, apakah menyebabkan dampak kerugian baik buat Indonesia maupun buat Negara tetangga.
72
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Sumber Data: Hotspot MODIS dari Indofire Map Service, dan Image Terra MODIS dari Rapid Fire, NASA Tanggal 10 Agustus 2012 Gambar 5. Sebaran asap dan distribusi hotspot tanggal 10 Agustus 2012 di Provinsi Riau
Tampak pada Gambar 5, di atas kondisi sebaran asap di wilayah Propinsi Riau perlu dikontrol setiap waktu, mengingat perubahan arah angin dapat berubah sesuai kondisi cuaca di sekitar kejadian kebakaran, sehingga diperlukan adanya suatu metoda yang dapat memantau cuaca dan iklim pada kondisi dan waktu tertentu. Hal ini sangat diperlukan untuk mengantisipasi kondisi pasca terjadi kebakaran atau kondisi asap yang parah sekali hingga jarak pandang sudah tidak normal lagi. Selain itu kondisi ini juga dapat membantu memberikan informasi quick response bencana asap dan kebakaran hutan/lahan berbasis data penginderaan jauh yang terjadi kepada stakeholder, seperti informasi pendukung penerbangan pesawat terkait asap, informasi jarak pandang transportasi, informasi kandungan asap berbahaya bagi kesehatan, dan informasi lainnya. Sebagai dukungan lain yang menyataka bahwa asap tidak mengganggu Negara tetangga, menurut sumber data Air Pollutan Index Management System (APIMS), Kementrian Lingkungan Hidup Malaysia (http://www.doe.gov.my/apims/) diperoleh informasi yang memperlihatkan bahwa kualitas udara di Malaysia masih di bawah ambang batas normal (API<100), informasi ini merupakan data pada jam 7 pagi tanggal 13 Agustus 2012 Gambar
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
73
6. Sementara menurut Informasi Kementrian Lingkungan Hidup Singapura (http:// www.nea.gov.sg/psi/) pada tanggal 14 Juni 2012 juga menyebutkan bahwa beberapa hari terakhir hotspot terdeteksi di wilayah Sumatera bagian tengah. Sebaran asap telah diamati untuk wilayah tersebut hingga selat Malaka, dengan angin akan bertiup dari arah tenggara atau selatan-barat daya, dan diketahui bahwa kualitas udara di wilayah Singapura juga masih dalam kondisi normal.
Sumber: http://www.doe.gov.my/apims/ Gambar 6. Kondisi Kualitas Udara di wilayah Malaysia.
Dengan bantuan informasi pada sumber website kondisi kualitas udara di wilayah kejadian kebakaran hutan/lahan, khususnya asap yang menyebar akan dapat dikontrol dan diketahui tingkat polusi udara yang diperbolehkan di suatu wilayah. Namun demikian perlu penyediaan biaya anggaran yang cukup tinggi untuk mengadakan alat pengukur tingkat polusi tersebut. Khusus di wilayah Indonesia di propinsi Riau sudah memiliki alat tersebut dan masih perlu diadakan untuk wilayah yang dianggap penting untuk memantau kondisi polusi asap ini, khususnya di wilayah padat penduduk, seperti Siak, Dumai, Duri, Pekanbaru, hingga propinsi Sumatera Barat dan Jambi.
3. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Kebakaran hutan/lahan dapat diindikasikan dengan adanya hotspot yang dapat dipantau menggunakan data satelit penginderaan jauh. 2. Asap kebakaran hutan/lahan dapat dipantau menggunakan data satelit penginderaan jauh, dan dapat digunakan sebagai alat bukti adanya kiriman asap dari suatu wilayah ke
74
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
wilayah lain termasuk ke negara tetangga (Malaysia, Singapura, Brunei). Selain itu akan mengganggu hubungan antar negara. 3. Dampak asap kebakaran hutan/lahan akan mengganggu transportasi udara, mengganggu kesehatan, penurunan kualitas udara akibat kepekatan asap, mengganggu aktifitas sehari-hari karena mengurangi kegiatan di luar ruangan, produktifitas kerja menurun karena waktu berkurang, hilangnya mata pencaharian warga yang menggantungkan hidupnya dari hasil hutan/lahan, serta matinya aneka jenis tumbuhtumbuhan dan satwa karena terbakar/terjebak asap. 4. Perlu dilakukan koordinasi antara instansi terkait kebakaran hutan/lahan yang lebih mendalam, seperti mengimplikasikan undang-undnag terkait asap lintas Negara, sehingga memberikan solusi yang adil.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1998, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia (Dampak, Faktor dan Evaluasi) Jilid 1, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta Armanto dan wildayana, 1998. Upaya Menangani Permasalahan Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan. http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ling1112/kebakaran.htm Masyhud, 2007, Bidang Analisis dan Penyajian Informasi, Pusat Informasi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dalam siaran Pers Nomor: S.156/II/PIK1/2007 http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/1875 Nigel Sizer, Kemen Austin dan Ariana Alisjahbana, Data Terbaru Menunjukkan Kebakaran Hutan di Indonesia Adalah Krisis Yang Telah Berlangsung Sejak Lama, WRI, http://www.wri.org/blog/data-terbaru-menunjukkan-kebakaran-hutan-di-indonesiaadalah-krisis-yang-telah-berlangsung (informasi ini diuduh di situs tanggal 11 Februari 2014.
BIOGRAFI PENULIS
Dra. Any Zubaidah, M.Si. Email :
[email protected] Pendidikan: x x
Magister Sains (M.Si) pada program studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2004 Sarjana (Dra.) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Matematika, Universitas Gadjah Mada (UGM). 1984
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
75
Any Zubaidah sampai saat ini masih bekerja sebagai peneliti di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana (LMB), Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Sejak tahun 1985 bekerja di Lembaga Penerbangan dan Atariksa Nasional, diterima di Bidang Teledeteksi Sumber Daya Alam menangani kegiatan Pre Processing System (PPS) citra Inderaja. Tahun 1987 sebagai peneliti di Bidang Perolehan Data penginderaan jauh (Lehta) dibawah Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN. Tahun 1994 – 2001 sebagai peneliti dan Kasie Katalog dan Dokumentasi Bidang Bank Data, Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh. Saat ini penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) Yenni Vetrita, S.Hut, M.Sc. Email :
[email protected] Pendidikan: x Master of Science (M.Sc) pada program studi Remote Sensing and GIS Applications, Program Master pada Space Technology and Applications di Internatinal School, Beijing University of Aeronautics and Astronautics (BUAA), PRC. 2010. x Sarjana Kehutanan (S.Hut.) pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2000. Yenni Vetrita telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2005. Penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah estimasi biomasa/stok karbon berbasiskan data penginderaan jauh, evaluasi produk fire hotspot untuk mitigasi bencana kebakaran hutan/lahan, dan degradasi hutan. Muhammad Priyatna, S.Si., MTI. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Magister Teknologi Informasi (MTI), pada program Pasca Sarjana Teknologi Informasi, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Indonesia. 2007. x Sarjana Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Nasional. 1998 Muhammad Priyatna telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1999. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
76
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN MANGROVE Yenni Vetrita, Suwarsono, 3DUZDWL6RIDQ
Abstract The study was conducted in order to explore the development of remote sensing capabilities for monitoring mangrove environment. Review in this paper was focused on the condition of Indonesian mangroves and its monitoring using remote sensing methods. The results showed a drastic decline mangrove area in Indonesia. But in terms of the development of methods for monitoring the environment of mangrove seen the rapid advances in the technology used. The selection and incorporation of multi temporal, spatial, and spectral imagery, including the use of optical and radar imagery is highly recommended for these activities. Even so, it is necessary to consider the site specific and its scale interests as well. Key words: Remote sensing, mangrove, Indonesia.
Abstrak Kajian ini dilakukan dalam rangka menggali perkembangan kemampuan penginderaan jauh untuk pemantauan lingkungan mangrove. Ulasan dalam tulisan ini difokuskan pada kondisi mangrove Indonesia dan metode pemantauan menggunakan penginderaan jauh. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan drastis area mangrove Indonesia. Namun dari sisi perkembangan metode untuk monitoring lingkungan mangrove terlihat adanya kemajuan pesat dalam teknologi yang digunakan. Pemilihan dan penggabungan citra multi temporal, spasial dan spectral, termasuk pemanfaatan citra optis dan Radar sangat direkomendasikan untuk kegiatan tersebut. Meskipun demikian, perlu mempertimbangkan spesifik lokasi maupun skala kepentingannya. Kata kunci: Penginderaan jauh, lingkungan mangrove, Indonesia.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
77
1. PENDAHULUAN Mangrove (hutan bakau) tersebar di wilayah tropis dan subtropis (posisi koordinat 30 lintang utara-30 lintang selatan), yang terletak pada wilayah pasang surut antara laut dan pantai (Giri et al., 2011). Dengan ekosistem yang sangat kompleks, keberadaannya pun sangat berpengaruh terhadap keberadaan fauna flora di sekitarnya. Disamping itu, penelitian barubaru ini menunjukkan bahwa mangrove merupakan penyimpan kandungan karbon terbanyak dibandingkan jenis hutan lainnya (Donato et al. , 2012). Indonesia memiliki mangrove paling luas di Asia Tenggara (Giesen et al., 2007; Polidoro et al., 2010) dengan biodiversity paling tinggi di dunia (Kuenzer et al., 2011). Mangrove tersebar di sepanjang wilayah pesisir Indonesia yang sebagian besar tidak mudah diakses, misalnya di Papua. Akan tetapi, ada kelebihan dan kekurangan dibalik kesulitan aksesibilitas ini. Hal positifnya adalah dapat mempertahankan keberadaan mangrove dibandingkan dengan jenis hutan lainnya yang lebih mudah diakses. Hal ini mengingat banyaknya campur tangan manusia dalam kasus deforestasi/degradasi hutan di Indonesia. Sebaliknya, akibat aksesibilitas yang sulit, pemantauan tentang keberadaan wilayah maupun estimasi besarnya potensi sumberdaya alam dari mangrove menjadi sulit pula dilakukan. Disamping itu, pemulihan ekosistem ini juga membutuhkan waktu yang lama bila telah terdegradasi. Namun dengan perkembangan teknologi penginderaan jauh, kegiatan pemantauan
menjadi
memungkinkan untuk dilakukan termasuk melakukan asesmen terhadap lingkungan mangrove. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan beberapa kemampuan penginderaan jauh yang signifikan dalam kegiatan pemantauan lingkungan maupun sumberdaya mangrove, khususnya di wilayah Indonesia.
2. DATA DAN METODE Pengkajian ini dilakukan dengan memanfaatkan studi literatur dari makalah hasil penelitian baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Ulasan dalam tulisan ini akan diarahkan pada beberapa topik, yaitu kondisi mangrove Indonesia dan metode pemantauan menggunakan penginderaan jauh.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.
Kondisi mangrove Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Giri et al. (2011), luas area mangrove di dunia pada tahun 2000 tercatat sebesar 137.760 km2 yang tersebar pada 118 negara. Diperkirakan 75% dari mangrove dunia tersebut ditemukan pada 15 negara saja, termasuk Indonesia. Hanya 6,9% dari wilayah tersebut yang berada dan ditetapkan di area lindung (IUCN I-IV). Studi ini juga menemukan fakta baru bahwa distribusi mangrove terbesar di
78
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
dunia ditemukan antara koordinat 5 LU-5 LS, yang salah satunya adalah terletak di wilayah Indonesia. Akan tetapi, laju kehilangan mangrove dilaporkan tinggi, diantaranya di Sulawesi Selatan yang mengalami penurunan drastis sejak tahun 1965 hingga 1994 dari 110.000 ha (Nurkin, 1994). Kawasan mangrove Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada tahun 2011 adalah sekitar 2,83 juta ha (Gambar 1), yang terdiri dari dua kelas, yaitu hutan primer dan sekunder. Dalam tulisannya Choong et al. tahun 1990 menyebutkan bahwa total area mangrove di Indonesia adalah 4,25 juta ha yang merupakan 20% dari total mangrove dunia. Mangrove yang berada di Papua saat itu masih berjumlah 2,94 juta ha dalam kondisi masih bagus. Namun bila melihat jumlah ini, maka terlihat adanya penurunan yang sangat drastis atas luas mangrove Indonesia sejak tahun 1990 hingga sekarang. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Pengelolaan mangrove Indonesia sebenarnya diatur oleh prinsip optimalisasi fungsi ekologi dan sosial ekonomi dengan mempertimbangkan undang-undang dan peraturan yang ada, seperti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kewenangan utama dalam pengelolaan mangrove di Indonesia adalah Kementerian Kehutanan sementara kementerian lainnya adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup.
Gambar 1. Sebaran mangrove Indonesia yang ditunjukkan oleh warna hijau (sumber: Kementerian Kehutanan, 2012)
Kegiatan pemetaan mangrove di Indonesia masih bersumber dari banyak pihak, baik dari pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Pemetaan ini dihasilkan dari berbagai sumber data dan juga mempunyai beberapa pemahaman atas ekosistem mangrove itu sendiri. Namun ide untuk menghasilkan pemetaan dari satu sumber (one map policy) yang dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) diharapkan dapat menjadi langkah baik untuk membuat suatu kebijakan nasional konservasi maupun pemeliharaan mangrove lebih lanjut.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
79
3.2. Pemantauan mangrove menggunakan data penginderaan jauh Pemantauan mangrove menggunakan data penginderaan jauh sudah cukup banyak digunakan mengingat kemampuannya yang dapat memberikan informasi mulai dari perubahan tutupan hingga informasi rinci kondisi tutupan wilayahnya. Informasi yang dapat dihasilkan dari data ini antara lain adalah (Kuenzer et al., 2011): x
inventarisasi habitat (penentuan batas, spesies dan komposisi, status kesehatan);
x x x
deteksi perubahan dan kegiatan pemantauan (penggunaan lahan, tutupan lahan, konservasi dan keberhasilan reboisasi, silvikultur, dan pengembangan akuakultur); dukungan evaluasi ekosistem; penilaian produktivitas (estimasi biomassa);
x
estimasi kapasitas regenerasi;
x
manajemen mangrove (perikanan, kegiatan budidaya, pengelolaan konservasi, pedoman manajemen dan strategi); perencanaan survei lapangan; penilaian kualitas air;
x x x x
informasi untuk manajemen bencana, dan bantuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan ekologi dan biologi dan proses, fungsi, dan dinamikanya.
Klasifikasi mangrove menggunakan data penginderaan jauh sudah cukup banyak digali. Beberapa diantaranya akan dibahas dalam tulisan ini. Pada tahun 1998, Green et al. melakukan perbandingan lima metode untuk memisahkan antara vegetasi mangrove dan non mangrove di Caicos Bank, Pulau Turks and Caicos, British West Indies, menggunakan beberapa data penginderaan jauh, yaitu Landsat TM, SPOT XS dan CASI (Compact Airborne Spectrographic Imager). r Metode yang dibandingkan adalah interpretasi visual, klasifikasi
terbimbing
(supervised),
tidak
terbimbing
(unsupervised),
rasio
kanal
(band)/Principical Component Analysis/supervised, dan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua klasifikasi menggunakan data SPOT XS tidak mampu memisahkan dengan baik antara vegetasi mangrove dan non mangrove.
Sebaliknya
semua
metode
menggunakan
CASI
diperoleh
lebih
tinggi
dibandingkan dengan Landsat TM. Meskipun demikian, penggabungan antara Landsat TM and SPOT XP dapat meningkatkan interpretasi visual meskipun tidak dapat membedakan kelas mangrove. Dalam studi kasus di wilayah ini yang merupakan vegetasi mangrove besar (pohon dengan tinggi >30m), disarankan menggunakan metode Landsat TM dan PCA/band ratio jika yang dibutuhkan adalah pemisahan antara mangrove dan non mangrove di area yang cukup luas, yang dapat menghemat biaya dan waktu. Namun bila yang dibutuhkan adalah untuk pemisahan antar kelas mangrove, maka sebaiknya CASI dan PCA/band ratio yang digunakan. CASI yang memiliki resolusi spasial tinggi (1 m) dengan 8 spektral, sangat ideal digunakan untuk tujuan ini.
80
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Selanjutnya Gao et al. (1999) telah mereview pengkelasan hutan mangrove di Western Waitemata Harbour, Auckland, Selandia Baru, dalam kategori subur dan terhambat. Dalam penelitiannya yang menggunakan SPOT HRV dan citra Landsat TM pada resolusi 10, 20 dan 30 m, telah memilih metode maximum likelihood untuk dikaji. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Landsat TM memberikan akurasi 95% untuk mangrove yang rimbun, dan sedikit lebih rendah untuk mangrove yang terhambat pertumbuhannya (87,5%). Hasil akurasi dari SPOT XS yang memiliki resolusi spasial lebih tinggi (20 m) sedikit lebih rendah daripada yang dihasilkan TM, yaitu 77.5% and 67.5%. Nilai akurasi meningkat menjadi 80% setelah digabungkan dengan band panchromatic (10 m). Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa resolusi spektral yang lebih tinggi jauh lebih penting daripada resolusi spasial yang tinggi untuk wilayah temperate, seperti di lokasi studi. Dalam perkembangan lebih lanjut, kemampuan sensor baru dengan metode yang baru pun terus ditingkatkan. Kemampuan Radar untuk memisahkan mangrove dengan obyek lain juga telah dikaji. Rocha de Souza Pereira et al. (2012) telah mengevaluasi kemampuan JERS-1 SAR and ALOS PALSAR untuk monitoring perubahan mangrove di Amazon. Metode yang digunakan adalah klasifikasi object based L-Band data Synthetic Aperture Radar (SAR) yang sangat efektif untuk pemetaan mangrove dan direkomendasikan sebagai alat manajemen pesisir. Akurasi terbaik (0.739) dengan indeks Kappa 0.734 telah ditemukan dalam penelitian yang mereka lakukan yaitu menggunakan 10 atribut dan 3 indeks vegetasi dari SAR sebagai input klasifikasi digital. Lebih lanjut, Flores De Santiago et al. (2013) juga menemukan bahwa Multipolarisasi ALOS PALSAR L-band menggunakan metode object based seperti Pereira et al (2012), juga memungkinkan untuk memisahkan secara akurat area mangrove, yakni antara zona air asin (saltpan) dan tawar (water/shallow). Dari penelitian ini juga telah ditemukan bahwa dual-polarisasi data, dengan filter 3 x 3 Lee speckle dan skala segmentasi 5, memberikan hasil akurasi yang baik sebesar 64.9%. Pendekatan metode yang sama juga telah digunakan oleh Quoc Tuan et al (2013) untuk mengestimasi persentase keberadaan mangrove yang bercampur dengan aquakultur. Hasil dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan bagi pemerintah dalam memonitor perkembangan luas area peternakan udang di negara tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan akurasi yang lebih dari 75% pada beberapa kelas level obyek. Disamping itu juga telah ditemukan kemampuan metode dengan akurasi yang tinggi dalam mengidentifikasi daerah-daerah budidaya dan tutupan mangrove dalam kelas yang bercampur. Berdasarkan hasil ini, pengembangan mangrove, khususnya dalam sistem pertanian-mangrove udang, dapat dipantau. Namun, fraksi tutupan hutan mangrove per obyek dipengaruhi oleh segmentasi citra sehingga tidak selalu sesuai dengan batas-batas pertanian di lapangan. Oleh karena itu, hal ini tetap menjadi sebuah tantangan yang serius untuk menghasilkan pemetaan mangrove dalam tutupan yang bercampur. Disamping metode klasifikasi yang dijelaskan sebelumnya, penggunaan indeks dari spektral penginderaan jauh, misalnya mangrove recognition index (MRI) telah dibangun sebagai alat
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
81
monitoring cepat
(quick monitoring) perubahan tutupan mangrove (Zhang et al., 2013).
Terkait dengan pemetaan mangrove menggunakan pembedaan spesies, Wang et al. (2004) telah melakukan penelitian menggunakan data IKONOS 1-m panchromatic and 4-m multispectral di Punta Galeta, Karibia, Panama. Hipotesis awalnya adalah pemisahan spektral antar spesies akan meningkat dengan menjadikan obyek sebagai unit basis spasial. Untuk menguji hal tersebut, ada tiga metode klasifikasi yang digunakan, yaitu maximum likelihood classification (MLC) pada level piksel, klasifikasi nearest neighbour (NN) pada level obyek, dan klasifikasi hybrid (penggabungan metode piksel dan obyek/MLCNN). Akurasi tertinggi ditunjukkan oleh klasifikasi MLCNN (91.4%) dibandingkan metode klasifikasi yang lain. Lebih lanjut Huang et al. (2009) telah mengevaluasi teksture morfologi untuk pemetaan mangrove dan pembedaan 3 jenis mangrove menggunakan citra multispectral IKONOS yaitu jenis Rhizophora mangle, Laguncularia racemosa dan Avicennia germinans. Dengan menggabungkan 2 metode, yaitu Vector Stacking dan Support Vector Machine (SVM), hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa output fusi SVM memberikan peningkatan akurasi 2% daripada pendekatan vector stacking saja. Pemetaan distribusi spasial mangrove hanya mungkin dilakukan bila kawasan mangrove dapat secara akurat dibedakan dari sekitar vegetasi non-mangrove. Namun kekhasan setiap lokasi menjadi perhatian khusus, misalnya penemuan oleh Kay et al. (1991) yang sulit membedakan antara vegetasi hutan hujan (rainforest) dari mangrove pesisir menggunakan Landsat MSS dan foto udara. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Woodfine (1991) dalam Green et al. (1998) ketika teknik unsupervised classification digunakan pada data Landsat TM di Filipina, sebaliknya supervised dinilai lebih baik.
3.2.
Estimasi nilai mangrove
Nilai ekosistem mangrove, tidak hanya terbatas pada vegetasi yang berada di atasnya melainkan juga flora dan fauna yang menggantungkan hidup pada keberadaan vegetasi tersebut. Mangrove juga telah menjadi “rumah” bagi fauna (biota laut) yang hidup di sekitarnya, misalnya kepiting, udang, dll. Komposisi senyawa nitrogen yang merupakan penentu untuk bioavailabilitas daun pohon mangrove sangat menentukan preferensi makanan kepiting. Salah satu wilayah studi yang cukup banyak menjadi perhatian dunia adalah di Laguna Segara Anakan, Cilacap. Di lokasi ini sebelumnya telah banyak riset yang dilakukan, misalnya pada tahun 1989 melalui program ASEAN-US Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dilakukan yang menggambarkan profil laguna (White et al., 1989). Proyek lain yang telah dilakukan juga pada tahun 2003-2010 adalah SPICE Jerman-Indonesia (Ilmu untuk Perlindungan Ekosistem Laut Pesisir Indonesia). Program ini telah mengeksplorasi informasi tentang lingkungan fisik dan biogeokimia mangrove (Jennerjahn et al., 2009), misalnya untuk penggunaan lahan contoh dan perubahan tutupan lahan selama dua dekade terakhir (Ardli et al., 2009), pengembangan manajemen pakan ramah lingkungan bagi spesies ikan kolamdibesarkan (Yuwono et al., 2009), parasit ikan metazoan dan menggunakan potensi mereka
82
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
sebagai indikator biologis (Rueckert et al., 2009), variasi spatio-temporal komunitas makrobenthos (Nordhaus et al., 2009), dll. Selain itu, penilaian ekonomi dan sosial juga dilakukan, antara lain, potensi konflik antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan di kawasan Segara Anakan yang bisa berkurang jika kelangkaan sumber daya alam yang berkurang (Rechel et al., 2009). Dari semua studi ini, hanya sedikit jumlah penelitian yang dilakukan untuk biomassa pemetaan mangrove. Di tingkat nasional, Brazil dan Indonesia mengandung 35% dari total karbon yang tersimpan di hutan tropis dan menghasilkan emisi terbesar dari hilangnya hutan (Baccini et al., 2012). Perhitungan karbon yang berada di atas permukaan, khususnya yang disimpan oleh vegetasi, umumnya diestimasi dari biomasa (Fatoyinbo et al., 2010). Karbon yang tersimpan dihitung sebagai setengah dari biomasanya, yang dapat dikalkukasi dari data penginderaan jauh secara spasial (Heumann, 2012), termasuk dengan pendekatan secara langsung menggunakan parameter dari penginderaan jauh (Goetz et al., 2009). Hingga saat ini, penelitian biomasa hutan lebih banyak difokuskan pada hutan lahan kering (Samalca et al., 2007; De Gier et al., 2012; Laumonier et al., 2010; Basuki et al., 2009) . Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengestimasi biomasa hutan termasuk mangrove, yaitu (Goetz et al. 2009): x
Stratify and Multiply (SM), yaitu pendekatan yang menetapkan nilai tunggal (atau rentang nilai) untuk masing-masing dari sejumlah tutupan lahan, tipe vegetasi, atau kelas peta tematik lainnya.
x
Combine and Assign (CA) yaitu pendekatan yang merupakan perluasan dari pendekatan SM, dengan menggunakan dataset dan informasi yang lebih luas, untuk mengembangkan estimasi field Above Ground Biomass (AGB) atau biomasa di atas permukaan.
x
Direct Remote sensing (DR), yaitu pendekatan dengan menggunakan data penginderaan jauh dengan menggabungkannya dengan data lapangan untuk membuat peta secara spasial.
Di Indonesia pernah dilakukan penelitian oleh Wijaya et al. (2009) yang menemukan adanya korelasi yang bagus antara biomasa dengan SAR. Disamping itu, penggabungan antara SAR dan ETM disebutkan pula dapat meningkatkan akurasi estimasi biomasa dan klasifikasi penggunaan lahannya. Disamping data Radar, reflektansi spektral sebuah obyek dari data optis juga dapat digunakan untuk memisahkan antar spesies mangrove karena adanya nilai spectral yang unik tiap spesies dalam merespon pada sinar tampak (visible range) maupun Inframerah dekat (Near Infrared) (Kamaruzaman dan Kasawani, 2007).
4. KESIMPULAN Teknologi penginderaan jauh yang cukup pesat berkembang, memungkinkan banyaknya pilihan atas citra yang digunakan, baik dari sisi spektral, temporal maupun spasialnya. Hal yang paling penting dipertimbangkan adalah pemilihan metode yang tepat sesuai dengan (1) tujuan (apakah untuk riset atau kegiatan monitoring), (2) kondisi spesifik lokasi mangrove,
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
83
maupun (3) tingkat skala kepentingannya (apakah lokal, regional, nasional, dll). Hal lain yang kembali ingin ditekankan adalah pentingnya penggalian informasi yang lebih detail terkait dengan spesifik lokasi termasuk akurasi metode yang cocok di wilayah Indonesia, sehingga bisa jadi metode umum yang berlaku secara global, tidak akan pas untuk Indonesia. Kami juga melihat bahwa penggabungan beberapa metode termasuk citra multi skala, multi sensor dan temporal, sangat membantu dalam meningkatkan akurasi, terutama untuk kegiatan pemantauan yang sangat dibutuhkan secara nasional. Meskipun asesmen menggunakan penginderaan jauh memiliki kelemahan terkait dengan ukuran spasialnya dibandingkan dengan data lapangan, namun paling tidak data ini dapat memberikan masukan sebagai informasi awal assessmen di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Ardli, E. R., & Wolff, M. (2009). Land use and land cover change affecting habitat distribution in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change, 9(4), 235-243. Baccini, A., Goetz, S. J., Walker, W. S., Laporte, N. T., Sun, M., Sulla-Menashe, D., & Houghton, R. A. (2012). Estimated carbon dioxide emissions from tropical deforestation improved by carbon-density maps. Nature Climate Change, 2(3), 182185. Basuki, T. M., Van Laake, P. E., Skidmore, A. K., & Hussin, Y. A. (2009). Allometric equations for estimating the above-ground biomass in tropical lowland< i> Dipterocarp forests. Forest Ecology and Management, 257(8), 1684-1694. Choong, E. T., Wirakusumah, R. S., & Achmadi, S. S. (1990). Mangrove forest resources in Indonesia. Forest Ecology and Management, 33, 45-57. De Gier, I. K. S. A., & Hussin, Y. A. (2012). Estimation Of Tropical Forest Biomass For Assessment Of Carbon Sequestration Using Regression Models And Remote Sensing In Berau. East Kalimantan, Indonesia, Department of Natural Resources, The International Institute for Geoinformation Science and Earth Observation (ITC), Hengelosstraat, 99, 7500. Donato, D. C., Kauffman, J. B., Murdiyarso, D., Kurnianto, S., Stidham, M., & Kanninen, M. (2011). Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature Geoscience, 4(5), 293-297. Flores De Santiago, F., Kovacs, J. M., & Lafrance, P. (2013). An object-oriented classification method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using multipolarized ALOS PALSAR L-band data. International Journal of Remote Sensing, 34(2), 563-586. Gao, J. (1999). A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite data in mapping mangrove forests. International Journal of Remote Sensing, 20(14), 28232833.
84
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Giesen, W., Wulffraat, S., Zieren, M., & Scholten, L. (2007). Mangrove guidebook for Southeast Asia. FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T., ... & Duke, N. (2011). Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation satellite data. Global Ecology and Biogeography, 20(1), 154-159. Goetz, S. J., Baccini, A., Laporte, N. T., Johns, T., Walker, W., Kellndorfer, J., Houghton, R.A., and Sun, M. (2009). Mapping and monitoring carbon stocks with satellite observations: a comparison of methods. Carbon balance and management, 4(1), 2. Green, E. P., Clark, C. D., Mumby, P. J., Edwards, A. J., & Ellis, A. C. (1998). Remote sensing techniques for mangrove mapping. International Journal of Remote Sensing, 19(5), 935-956. Heumann, B. W. (2011). Satellite remote sensing of mangrove forests: Recent advances and future opportunities. Progress in Physical Geography, 35(1), 87-108. Huang, X., Zhang, L., & Wang, L. (2009). Evaluation of morphological texture features for mangrove forest mapping and species discrimination using multispectral IKONOS imagery. Geoscience and Remote Sensing Letters, IEEE, 6(3), 393-397. Jachowski, N. R., Quak, M. S., Friess, D. A., Duangnamon, D., Webb, E. L., & Ziegler, A. D. (2013). Mangrove biomass estimation in Southwest Thailand using machine learning. Applied Geography, 45, 311-321. Jennerjahn, T.C. and Yuwono, E. Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed coastal lagoon affected by human activities. Reg. Environ. Change (2009) 9:231–233. Kamaruzaman, J., & Kasawani, I. (2007). Imaging spectrometry on mangrove species identification and mapping in Malaysia. WSEAS Trans Biol Biomed, 8, 118-126. Kovacs, J. M., Vandenberg, C. V., Wang, J., & Flores-Verdugo, F. (2008). The use of multipolarized spaceborne SAR backscatter for monitoring the health of a degraded mangrove forest. Journal of Coastal Research, 248-254. Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., & Dech, S. (2011). Remote sensing of mangrove ecosystems: A review. Remote Sensing, 3(5), 878-928. Laumonier, Y., Edin, A., Kanninen, M., & Munandar, A. W. (2010). Landscape-scale variation in the structure and biomass of the hill dipterocarp forest of Sumatra: Implications for carbon stock assessments. Forest ecology and management, 259(3), 505-513. Lee, T. M., & Yeh, H. C. (2009). Applying remote sensing techniques to monitor shifting wetland vegetation: A case study of Danshui River estuary mangrove communities, Taiwan. Ecological engineering, 35(4), 487-496. Nordhaus, I., Hadipudjana, F. A., Janssen, R., & Pamungkas, J. (2009). Spatio-temporal variation of macrobenthic communities in the mangrove-fringed Segara Anakan lagoon, Indonesia, affected by anthropogenic activities. Regional Environmental Change, 9(4), 291-313.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
85
Nurkin, B. (1994). Degradation of mangrove forests in South Sulawesi, Indonesia. Hydrobiologia, 285(1-3), 271-276. Polidoro, B. A., Carpenter, K. E., Collins, L., Duke, N. C., Ellison, A. M., Ellison, J. C., ... & Yong, J. W. H. (2010). The loss of species: mangrove extinction risk and geographic areas of global concern. PLoS One, 5(4), e10095. RHLFKHO&88)UgPPLQJ0*ODVHU&RQÀLFWVEHWZHHQVWDNHKROGHUJURXSVDIIHFWLQJWKH ecologyand economy of the Segara Anakan region. Reg Environ Change (2009) 9:335–343. Rocha de Souza Pereira, F., Kampel, M., & Cunha-Lignon, M. (2012). Mapping of mangrove forests on the southern coast of São Paulo, Brazil, using synthetic aperture radar data from ALOS/PALSAR. Remote Sensing Letters, 3(7), 567-576. Rueckert, S., Hagen, W., Yuniar, A. T., & Palm, H. W. (2009). Metazoan fish parasites of Segara Anakan Lagoon, Indonesia, and their potential use as biological indicators. Regional Environmental Change, 9(4), 315-328. Samalca, I. K. (2007). Estimation of forest biomass and its error: a case in Kalimantan, Indonesia. Unpublished MSc. Thesis, ITC the Netherlands, Enschede. Wang, L., Sousa, W. P., & Gong, P. (2004). Integration of object-based and pixel-based classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. International Journal of Remote Sensing, 25(24), 5655-5668. White, A.T., P. Martosubroto and M.S.M. Sadorra, editors. 1989. The coastal environmental profile of Segara Anakan-Cilacap, South Java, Indonesia. ICLARM Technical Reports 25, 82 p. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines Wijaya, A., & Gloaguen, R. (2009, July). Fusion of ALOS Palsar and Landsat ETM data for land cover classification and biomass modeling using non-linear methods. In Geoscience and Remote Sensing Symposium, 2009 IEEE International, IGARSS 2009 (Vol. 3, pp. III-581). IEEE. Yuwono, E., & Sukardi, P. (2009). Development of an environment-friendly feeding management for pond-reared fish species in the Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change, 9(4), 329-333. Zhang, X., & Tian, Q. (2013). A mangrove recognition index for remote sensing of mangrove forest from space. CURRENT SCIENCE, 105(8), 1149.
86
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS
Yenni Vetrita, S.Hut, M.Sc. Email :
[email protected] Pendidikan: x Master of Science (M.Sc) pada program studi Remote Sensing and GIS Applications, Program Master pada Space Technology and Applications di Internatinal School, Beijing University of Aeronautics and Astronautics (BUAA), PRC. 2010. x Sarjana Kehutanan (S.Hut.) pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2000. Yenni Vetrita telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2005. Penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah estimasi biomasa/stok karbon berbasiskan data penginderaan jauh, evaluasi produk fire hotspot untuk mitigasi bencana kebakaran hutan/lahan, dan degradasi hutan. Suwarsono, S.Si, M.Si. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M.Si.) pada program studi ilmu Geografi, Fakultas MAtematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI), 2012 x Sarjana (S.SI.) Program Studi Geografi Fisik, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM). 2002. Suwarsono telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2003. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan (hutan dan perkebunan) dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN). Parwati Sofan, S.Si, M.Sc. Email :
[email protected] Pendidikan: x Master of Science (M.Sc) pada program studi Remote Sensing and GIS Applications, Program Master pada Space Technology and Applications di Internatinal School, Beijing University of Aeronautics and Astronautics (BUAA), PRC. 2008
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
87
x
Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 1999
Parwati telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2002. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
88
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN, SUATU TINJAUAN Suwarsono dan Indah Prasasti
Abstract
Indonesia is a country rich in energy and mineral resources. Exploration and exploitation of energy and mineral resources has continued until today and have it as the main source of state revenue. The other side of the exploitation of these resources is the impact of mining activities on environmental degradation caused by mining waste pollution. Taking into account these problems, the control effects of mining activity absolutely must be done. One of the efforts that need to be done is the monitoring of mining activities at the mine site and its surrounding environment. This monitoring is done in the framework of supervision so that when the indication of environmental damage they cause, it can be done to anticipate as early as possible. One of the techniques that can be done to carry out such monitoring is to utilize remote sensing technology. This paper is intended to summarize some of the remote sensing methods that have been used in previous studies to monitor the impact of mining on the surrounding environmental conditions. The results showed that the type of optical data is more dominant than the SAR data is used as the object of tailings and mining waste is more easily recognized from image based on spectral characteristics. In general, the research related to the utilization of remote sensing data in monitoring the environmental impacts of mining activities as well as the resulting wastes include aspects: detection of waste characteristics and their distribution pattern spatially and temporally; changes in the mining area; changes in the type, area and land cover pattern in the mining area and its surroundings; waste detection in waters and decreasing its water quality; as well as remote sensing data utilization in support of the EIA analysis. Key words : Remote sensing, mining environment
Abstrak
Indonesia merupakan negara yang kaya sumberdaya energi dan mineral. Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya energi dan mineral telah berlangsung hingga saat ini dan telah menjadikannya sebagai sumber pendapatan negara yang utama. Sisi lain dari eksploitasi sumberdaya tersebut adalah dampak aktivitas pertambangan terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pencemaran limbah pertambangan. Memperhatikan permasalahan tersebut, pengendalian dampak-dampak aktivitas pertambangan mutlak harus dilakukan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah pemantauan aktivitas pertambangan di lokasi pertambangan beserta lingkungan di sekitarnya. Pemantauan ini dilakukan dalam rangka pengawasan sehingga apabila terindikasi adanya kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya maka dapat dilakukan upaya antisipasi sedini mungkin.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
89
Salahsatu teknik yang dapat dilakukan untuk melakukan monitoring tersebut adalah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Tulisan ini dimaksudkan untuk merangkum beberapa metode penginderaan jauh yang telah dimanfaatkan dalam penelitian sebelumnya dalam memantau dampak pertambangan terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis data optis lebih dominan dipergunakan daripada data SAR karena obyek tailing dan limbah pertambangan lebih mudah dikenali dari citra berdasarkan karakteristik spektralnya. Secara umum, penelitian terkait pemanfaatan data penginderaan jauh dalam pemantauan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan beserta limbahlimbah yang dihasilkannya mencakup aspek-aspek: deteksi karakteristik limbah beserta pola sebaran secara spasial dan temporal; perubahan luas areal pertambangan; perubahan jenis, luas dan pola penutupan lahan di wilayah pertambangan dan sekitarnya; deteksi limbah di perairan dan penurunan kualitas air; serta pemanfaatan data inderaja dalam mendukung analisis AMDAL. Kata kunci: Penginderaan jauh, lingkungan pertambangan
90
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya sumberdaya energi dan mineral. Eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya energi dan mineral telah berlangsung hingga saat ini dan telah menjadikannya sebagai sumber pendapatan negara yang utama penggerak roda perekonomian bangsa ini. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, dari tahun 2000 hingga 2011, total produksi minyak bumi mencapai 4.640 juta barel, gas bumi 35,70 juta MMSCF, batubara 386.741 juta ton, konsentrat timah 753.183 ton, bauksit 3.831 juta ton, bijih nikel 15.798 juta ton, konsentrat tembaga 37.213,5 m.ton, emas 1.428 ton, dan perak 3.419 ton. Sisi lain dari eksploitasi sumberdaya tersebut adalah dampak aktivitas pertambangan terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pencemaran limbah pertambangan. Salahsatu isu utama pencemaran limbah pertambangan adalah keberadaan tailing. Tailing merupakan residu yang berasal dari sisa pengolahan bijih setelah target mineral utama dipisahkan dan biasanya terdiri atas beraneka ukuran butir, yaitu: fraksi berukuran pasir, lanau, dan lempung. Bahaya pencemaran lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) mungkin terbentuk jika tailing mengandung unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat. Terutama di wilayah-wilayah tropis, tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi racun. Limbah tailing sangat membahayakan kesehatan manusia. Apabila Arsen bercampur dengan air minum dan melebihi ambang batas dapat menyebabkan keracunan kronis yang ditimbulkannya pada tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel. Merkuri organik akan menghambat jalan darah ke otak dan gangguan metabolisma dari sistem syaraf. Sedangkan merkuri non organik akan memicu kerusakan fungsi ginjal dan hati. Penyerapan unsur Timbal oleh tubuh manusia yang melebihi ambang batas akan merusak saluran metabolik, menyebabkan hipertensi darah, hiperaktif dan merusak otak. Racun kadmium akan menyebabkan penyakit lumbago, kerusakan tulang, dan gagal ginjal (Herman, 2006). Isu lainnya adalah pertambangan batubara yang sudah menjadi primadona menyisakan permasalahan lingkungan. Sisa-sisa lahan pertambangan yang tererosi oleh aliran air dan terangkut ke sungai akan meningkatkan keasaman (pH) air (Marganingrum & Noviardi, 2010). Penurunan pH air tersebut tentu saja akan membawa pengaruh buruk bagi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, seperti kualitas tanah pertanian sawah (Syarif et al., 2011) dan menurunkan hasil produksi pertanian dan perkebunan (Mansyah, 2013). Belum lagi dampak pembakaran batubara bagi kesehatan manusia, yaitu pengaruh gas buangan sulfur oksida dan oksida nitrogen bagi pernafasan, pengaruh sistemik akibat kandungan logam dan gas sisa pembakaran, pengaruh dari merkuri, serta pengaruh genotoksik (Soesanto, 1996). Memperhatikan
permasalahan
tersebut,
pengendalian
dampak-dampak
aktivitas
pertambangan yang diakibatkan oleh pencemaran limbah pertambangan mutlak harus dilakukan.
Salahsatu
upaya
yang
perlu
dilakukan
adalah
pemantauan
aktivitas
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
91
pertambangan di lokasi pertambangan serta
lingkungan di sekitarnya. Pemantauan ini
dilakukan dalam rangka pengawasan sehingga apabila terindikasi adanya kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas pertambangan tersebut maka dapat diantisipasi sedini mungkin. Salahsatu teknik yang dapat dilakukan untuk melakukan monitoring tersebut adalah dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh memberikan tawaran sebuah metode yang efisien, efektif, konsisten, dan terukur dalam memantau secara spasial dampak-dampak yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Tulisan ini dimaksudkan untuk merangkum beberapa metode penginderaan jauh yang telah dimanfaatkan dalam penelitian sebelumnya dalam memantau dampak pertambangan terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya.
2. PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMANTAUAN LINGKUNGAN PERTAMBANGAN Berikut ini diuraikan secara singkat beberapa penelitian terkait dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk pemantauan dampak pertambangan terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Limbah pertambangan dominan akan berdampak langsung pada meningkatnya pencemaran air yang mengakibatkan penurunan kualitas air. Pemanfaatan citra hiperspektral yang dilakukan oleh Sares et al. (2004) telah berhasil mengetahui bahwa data AVIRIS, SpecTIR HST-1, Hyperion dan ASTER dapat dipergunakan dalam penentuan secara tidak langsung pH aliran. Informasi yang diperoleh dari pemanfaatan data tersebut dapat dipergunakan dalam memantau dampak kegiatan pertambangan pada saat ini, memberikan arahan dan memprioritaskan upaya perbaikan saat ini atau yang perlu direncanakan serta memantau secara umum perbaikan kualitas air dari waktu ke waktu. Parameter indeks seperti NDVI yang dapat diturunkan dari data optis seperti Landsat dan MODIS juga dapat dimanfaatkan untuk memantau kondisi lingkungan pertambangan. Tian et al. (2013) telah melakukan pemetaan dan evakuasi tren nilai NDVI dari data seri waktu yang diperoleh dari gabungan (blending)
Landsat dan MODIS pada wilayah pertambangan
batubara. Teknik blending yang dipergunakan adalah Spatial and Temporal Adaptive Reflectance Fusion Model (STARFM). Hasil teknik analisis ini menunjukkan bahwa apabila dibandingkan dengan tren dari MODIS time series, tren dari sintetis seri waktu lebih mampu menangkap perubahan vegetasi dalam skala halus. STARFM dihasilkan NDVI sintetis time series bisa digunakan untuk mengukur dampak dari kegiatan pertambangan terhadap vegetasi. Namun demikian daerah uji harus dipilih dengan hati-hati, karena tren yang berasal dari sintetis time series dan MODIS mungkin berbeda secara signifikan di beberapa daerah. Dampak aktivitas pertambangan dalam skala luas terhadap perubahan lahan pertanian yang terkait dengan ketahanan pangan juga telah dilakukan dengan menggunakan data citra. Matejicek & Kopackova (2010) telah melakukan penelitian tersebut dengan menggunakan
92
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
data Landsat seri waktu di wilayah Baratlaut Republik Ceko. Parameter yang dipergunakan adalah NDVI. Pemahaman yang penting dalam penelitian tersebut adalah bahwa pola nilai NDVI dalam runut waktu mungkin disebabkan oleh efek musiman vegetasi, namun, tren utama terkait dengan aktivitas penambangan selama periode jangka panjang dapat dipahami dengan jelas. Penelitian tersebut juga menyajikan suatu pemodelan spatio-temporal didasarkan pada seri data citra satelit yang memberikan pengalaman yang cukup untuk pengolahan NDVI dalam rangka identifikasi kelas tutupan lahan dan juga, untuk tingkat tertentu, variabilitas lahan pertanian dengan dampaknya terhadap ketahanan pangan. Vanderberg (2003) telah mendemonstrasikan proses identifikasi dan karakterisasi limbah pertambangan dengan menggunakan data optis Landsat dengan mengambil lokasi di Cherokee County Kansas. Metode yang dipergunakan dalam mengidentifikasi tailing dan r limbah tambang adalah dengan klasifikasi terawasi dari data Landsat komposit false color. Selain
itu,
juga
dilakukan
metode
kombinasi
kanal
TM
(indeks
mineral)
untuk
mengkarakterisasi mineralogi limbah tersebut. Keakuratan klasifikasi dalam identifikasi limbah tambang dari jenis lahan yang lain kurang dari 60 persen. Namun demikian, komposit warna palsu kanal Landsat TM merupakan alat yang berguna dalam mengidentifikasi limbah tersebut, dan menentukan untuk mineralogi pengotornya. Data Landsat sudah sangat populer dan sudah sering dimanfaatkan dalam mengetahui perubahan luas wilayah penambangan. Towsend et al. (2009) memanfaatkan data Landsat seri waktu untuk mengetahui luas permukaan wilayah penambangan dan reklamasi lahan dari tahun 1976 hingga 2006 di daerah Central Appalachians, Amerika Serikat. Teknik pengolahan citra yang dipergunakan adalah teknik standar dengan decision tree serta menggabungkannya dengan data peta izin tambang untuk memetakan tambang aktif dan reklamasi serta melacaknya dari waktu ke waktu. Pemanfaatan Data LiDAR dan MSS untuk pengecekan dampak penambangan terhadap lingkungan pesisir pernah dilakukan oleh Kerfoot et al., (2014). Dalam aplikasi ini, LiDAR memiliki kelebihan dalam resolusi spasial yang tinggi serta kemampuan penetrasi di air. Kemampuan tersebut dikombinasikan dengan sistem pemindaian multispektral akan menjadi suatu model yang baik dalam mengatasi fitur pada garis pantai yang terganggu di lingkungan dengan kekeruhan yang rendah. Hasil penelitian tersebut memperihatkan bahwa kombinasi data LiDAR dan Landsat mampu mengungkap perpindahan tailing di wilayah pesisir. Masih dampak pertambangan pada lingkungan pesisir, Yildirim et al. (2009) telah berusaha mendeteksi kekeruhan oleh abu batubara di lingkungan pesisir dengan menggunakan data Landsat. Abu batubara tersebut dihasilkan dari aktivitas pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar fosil batubara. Teknis yang dipergunakan adalah klasifikasi citra berbasis obyek dengan software e-Cognition. Kelas wilayah tercemar dibedakan menjadi tiga, yaitu sangat tercemar (2380±213 mg.L-1), cukup tercemar (361±118 mg.L-1), dan kurang tercemar (57±24 mg.L-1). Dalam penelitian ini, data penginderaan jauh bermanfaat dalam mendeteksi dan juga melacak polusi itu sendiri, serta yang rute, dimensi dan efek di
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
93
laut. Penelitian tersebut dapat berfungsi sebagai database untuk perbandingan masa depan untuk mengidentifikasi tren peningkatan atau penurunan lingkungan pesisir. Dengan menggunakan data Landsat 5 TM, Yang & Jiuyun (2011) secara sederhana membedakan tingkat pencemaran air di wilayah pertambangan, yang dibedakan menjadi sangat tercemar (TM3 40~60), agak tercemar (TM3 30~40), dan air tawar (TM3 <30). Jenis limbah dari pertambangan mineral yang lebih spesifik seperti pyrite yang dihubungkan dengan tren perubahan iklim dapat dideteksi dengan menggunakan data citra hiperspektral. Riaza & Muller (2010) telah berusaha memanfaatkan data hiperspektral. Pemantauan limbah tambang deposit sulfida melalui penginderaan jauh hiperspektral data memberikan kontribusi untuk memprediksi kualitas air permukaan, secara kuantitatif memperkirakan drainase asam dan kontaminasi logam secara tahunan. Mineralogi dari kerak permukaan sarat dengan garam sangat larut merupakan catatan kelembaban dan suhu yang tersedia sepanjang tahun. Sebuah pemantauan temporal kemekaran garam pada limbah tambang di lokasi tambang di Pyrite Belt Iberia (Spanyol) telah dipetakan dalam penelitian ini menggunakan data Hymap udara. Estimasi perubahan iklim dibuat berdasarkan tahapan oksidasi yang berasal dari sumur – dikenal urutan mineral sulfida melacak intensitas oksidasi, menggunakan arsip spectral library. Oleh karena itu , tambang – limbah pelapukan produk sulfida dipetakan dari data penginderaan jauh hyperspectral dapat digunakan sebagai catatan jangka pendek dari perubahan iklim, menyediakan alat yang berguna untuk menilai indikator lingkungan geologi di daerah semi-arid. Data Landsat juga dapat dimanfaatkan untuk analisis dan pemantauan penambangan batubara muda (lignite). Schroeter & Glaber (2011) mengaplikasikan penelitian tersebut di wilayah Jerman bagian Barat. Data Landsat yang dipergunakan adalah Landsat-5 TM dan Landsat-7 ETM+ tahun 1999 dan 2004. Selain itu juga dilakukan uji sifat-sifat fisis dan kemis sampel air. Dari data tersebut akan diketahui kondisi lingkungan dan selanjutnya dapat dipergunakan dalam mengembangkan sistem pemantauan. Di sisi lain, penelitian ini dilakukan untuk menilai potensi penggunaan data satelit dan untuk mengkalibrasi isinya untuk memantau geokimia dari danau pertambangan. Korelasi parameter hidrokimia air danau dengan spectral signature yang terdeteksi oleh satelit dilakukan dengan metode analisis statistik multivariat. Kegiatan penambangan yang akan dilakukan wajib didahului oleh analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Dalam kegiatan AMDAL tersebut, data penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi, mendeskripsikan serta memantau sumber-sumber pencemaran dan wilayah-wilayah yang akan terkena dampaknya. Charou et al. (2010) mencoba menggunakan data penginderaan jauh dalam menilai dampak kegiatan pertambangan. Tujuan penelitian diarahkan pada evaluasi penggunaan data multi-temporal Landsat-5 dan Landsat-7, SPOT Pankromatik, dan ASTER untuk memetakan lingkungan alam pada skala lokal serta untuk menilai dampak kegiatan pertambangan dengan memperlihatkan perubahan yang terjadi pada lahan dan sumberdaya air. Dalam penelitian
94
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
tersebut, data ASTER dapat dipergunakan secara efisien dalam memantau perubahan tutupan lahan di daerah pertambangan, anomali suhu permukaan air, serta memantau kegiatan reboisasi lahan untuk memastikan bahwa reklamasi lahan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ASTER multitemporal, Landsat, dan SPOT merupakan suatu metode yang efisien dan efektif untuk pemetaan pertambangan besar dan menunjukkan penggunaan tanah dan air serta perubahannya, dan dapat digunakan untuk melengkapi data dari studi lingkungan. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang lebih serius, seperti menyentuh aspek-aspek keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat dapat diketahui dengan pemanfaatan data penginderaan jauh. Limpitlaw & Woldai (2004) berupaya memanfaatkan data Landsat seri waktu, dari Landsat MSS hingga ETM+. Sebuah penurunan bertahap dalam
kegiatan
ekonomi
formal
dalam
Zambia
Copperbelt
telah
mengakibatkan
meningkatnya tingkat kemiskinan. Perubahan lingkungan telah dilacak selama tiga puluh hampir tahun dari data Landsat dan telah dinilai dengan patch analysis. Pendekatan ini telah menunjukkan bahwa patch landscape di Copperbelt adalah menjadi semakin kompleks dalam bentuk dan ukurannya lebih kecil. Kondisi tutupan lahan alami, hutan miombo, semakin terfragmentasi, menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat lokal. Upaya evaluasi secara sistematik dengan menggunakan data penginderaan jauh dalam identifikasi pertambangan telah dicontohkan oleh Stork et al. (2006). Dalam penelitian dilakukan upaya sistematik dalam mengidentifikasi pertambangan uranium di lokasi pertambangan uranium Ranger dan tambang-tambang lainnya di Australia dengan menggunakan data Hyperion, ASTER, dan Quickbird. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah satu-satunya diamati menjanjikan pada Ranger yang dapat diidentifikasi secara unik menggunakan sistem satelit komersial saat ini (terutama Hyperion) adalah magnesium klorit dalam tambang terbuka dan stockpile sulfur. Berdasarkan magnesium klorit yang teridentifikasi dan sulfur yang teramati, pohon keputusan mempersempit calon mineral yang mungkin pada Ranger untuk uranium, tembaga, seng, mangan, vanadium, unsur tanah yang jarang, dan fosfor, semua yang digiling menggunakan teknik pencucian asam sulfat. Untuk contoh pemanfaatan data penginderaan jauh dalam pemantauan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan di wilayah Indonesia di sini kami mengambil contoh dari penelitian Paull et al. (2006). Dalam penelitian tersebut dipaparkan pemantauan dampak lingkungan akibat akvitas pertambangan oleh PT. Freeport Indonesia dengan menggunakan data Landsat dalam kurun waktu tahun 1988 dan 2004. Dalam kegiatan pemantauan ini, data penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam pemantauan untuk wilayah yang terpencil dan sangat terkendala oleh minimnya akses jalan. Penelitian ini menunjukkan bahwa satelit penginderaan jauh dapat memberikan informasi tentang perubahan lanskap dengan cara yang hemat biaya untuk tambang skala besar seperti PT. Freeport Indonesia.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
95
Tambang PT Freeport Indonesia di Papua (Indonesia) adalah tambang tembaga - emas yang terbesar di dunia. Identifikasi tutupan lahan antropogenik dihitung dengan teknik dijitasi layar dari tiga citra komposit false color selama periode tersebut untuk menentukan luas lahan hutan yang telah dibersihkan dan daerah yang telah terkena dampak tambang oleh sedimen yang terangkut dalam sistem Sungai Ajkwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pemukiman dan sedimen mengubah secara radikal kondisi tutupan lahan dan bersamasama telah menyebabkan peningkatan enam kali lipat terhadap penurunan hutan hujan tropis di dataran rendah. Penelitian ini menyoroti kegunaan metode penginderaan jauh untuk memonitor elemen dampak pertambangan berskala luas dan bentuk lain dari eksploitasi sumber daya alam seperti penggundulan hutan di negara berkembang. Data SAR juga telah memberikan kontribusi dalam pemantauan dampak-dampak kegiatan penambangan. Liu et al. (2014) mencoba memanfaatkan data InSAR dan TomoSAR untuk memantau deformasi yang diakibatkan oleh penambangan pada wilayah pegunungan. Hasil penelitian menunjukkan keuntungan dari teknik InSAR untuk pemantauan skala besar. Namun, aplikasi untuk daerah pegunungan menyebabkan tantangan lebih banyak daripada di kasus lain, yang mengharuskan peneliti untuk mempertimbangkan tidak hanya ruang atau / dan temporal de-korelasi, karena pegunungan medan dan baseline (spasial dan temporal), tetapi juga efek topografi. Dalam penelitian ini, data TerraSAR-X memberikan kemungkinan baru untuk aplikasi InSAR di wilayah pertambangan pegunungan, karena resolusi tinggi dan siklus revisit pendek. Selain itu, diketahui bahwa data 4-D TomoSAR, bermanfaat untuk mengukur gerakan struktur dan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Penggunaan data penginderaan jauh dari berbagai jenis dan sumber dilakukan oleh De Peijun et al. (2007) untuk memantau kondisi lingkungan perkotaan di kota industri pertambangan. Contoh yang dilakukan adalah di Kota Xuzhou China. Data yang dipergunakan adalah Landsat TM, CBERS, ASTER, InSAR, SPOT, dan IKONOS. Penelitian ini menunjukkan bahwa data inderaja multi-temporal fusion dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan dan pemantauan kondisi dinamis lingkungan. Contoh studi kasus di Kota Xuzhou membuktikan bahwa penginderaan jauh dapat memainkan peran penting dalam analisis lingkungan dan penilaian di bidang pertambangan di kota industri dan berfungsi
dalam
pengambilan
keputusan
yang
efisien
sebagai
dukungan
untuk
pembangunan berkelanjutan.
3. KESIMPULAN Berdasarkan studi terhadap beberapa literatur yang dipilih dan dikaji dapat diketahui bahwa data penginderaan jauh telah dimanfaatkan secara meluas untuk memantau aktivitas pertambangan beserta dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya limbah pertambangan. Jenis data optis lebih dominan dipergunakan daripada data SAR karena obyek tailing dan limbah pertambangan lebih mudah dikenali dari citra berdasarkan karakteristik spektralnya. Dalam hal ini, pemanfaatan data hiperspektral menjadi tantangan
96
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
tersendiri dalam penelitian lebih lanjut untuk memberikan hasil identifikasi yang lebih akurat. Penggunaan metode identifikasi dan analisis masih berkutat pada teknik-teknik tradisional pengolahan citra dan analisis data seperti: deteksi parameter indeks vegetasi, indeks mineral, spectral signature, yang dikaitkan secara statistik dengan data-data observasi. Metode klasifikasi mengandalkan teknik klasifikasi berbasis piksel meskipun ada yang sudah mengarah ke berbasis objek. Secara umum, penelitian terkait pemanfaatan data penginderaan jauh dalam pemantauan dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan beserta limbah-limbah yang dihasilkannya
mencakup aspek-aspek: deteksi karakteristik
limbah beserta pola sebaran secara spasial dan temporal; perubahan luas areal pertambangan; perubahan jenis, luas dan pola penutupan lahan di wilayah pertambangan dan sekitarnya; deteksi limbah di perairan dan penurunan kualitas air; serta pemanfaatan data inderaja dalam mendukung analisis AMDAL.
DAFTAR PUSTAKA Badan
Pusat Statistik. (2014). http://www.bps.go.id/ menutab.php?kat=3&tabel=1&id_subyek=10. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2014.
Charou, E., Stefouli, M., Dimitrakopoulos, D., Vasiliou., E., & Mavrantza. (2010). Using Remote Sensing to Assess Impact of Mining Activities on Land and Water Resources. Mine Water Environment, 29, 45-52. Du Peijun, Huapeng, Z., Chen, P., & Pei, L. (2007). Applications of Multi-source Remote Sensing Information to Urban Environment Monitoring in Mining Industrial Cities – Taking Xuzhou City as an Example. IEEE, 1-4244-0712-5/07. Herman, D.Z. (2006). Tinjauan terhahadap tailing mengandung unsur pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari sisa pengolahan bijih logam. Jurnal Geologi Indonesia, 1 (1), 31-36. Kerfoot, W.C., Hobmeier, M.M., Yousef, F., Green, S.A., Regis, R., Brooks, C.N., Shuchman, R., Anderson, J., & Reif, M. (2014). Light Detection and Ranging (LiDAR) and Multispectral Scanner (MSS) Studies Examine Coastal Environments Influenced by Mining. ISPRS International Journal of Geo-Information, 3, 66-95. Liu, D., Shao, Y., Liu, Z., Riedel, B., Sowter, A., Niemer, W., & Bian, Z. (2014). Evaluation of InSAR and TomoSAR for Monitoring Deformations Caused by Mining in a Mountainous Area with High Resolution Satellite-Based SAR. Remote sensing, 6, 1476-1495. Limpitlaw, D. & Woldai, T. (2004). Patch analysis of Landsat Datasets for Assessment of Environmental Change in the Zambian Copperbelt. IGARSS 2004, IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium Proceedings, 4, 2290-2293. Mansyah, N. (2013). Studi tentang dampak pertambangan batu bara bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kelurahan Jawa Kecamatan Sangasanga. eJournal Administrasi Negara, 1(3), 843-857.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
97
Marganingrum, D. & Noviardi, R. (2010). Pencemaran air dan tanah di kawasan pertambangan batubara di PT. Berau Coal Kalimantan Timur. Riset Geologi dan Pertambangan, 20(1), 11-20. Matejicek, L. & Kopackova, V. (2010). Changes in Croplands as a Result of Large Scale Mining and the Associated Impact on Food Security Studied Using Time-Series Landsat Images. Remote sensing, 2, 1463-1480. Paull, D., Banks, G., Ballard, C., & Gillieson, D. (2006). Monitoring the Environmental Impact of Mining in Remote Locations through Remotely Sensed Data. Geocarto r International, 21, 33-42. Riaza, A. & Muller, A. (2010). Hyperspectral remote sensing monitoring of pyrite mine wastes: a record of climate variability (Pyrite Belt, Spain). Environment Earth Sciences, 61, 575-594. Sares, M.A., Hauff, P.L., Peters, D.C., Coulter, D.W., Bird, D.A., Henderson, F.B, & Prosh, E.C. .(2004). Characterizing Sourcesof Acid Rock Drainageand Resulting Water Quality Impacts Using Hyperspectral Remote Sensing – Examples from the Upper Arkansas River Basin, Colorado. 2004 Advanced Integration of Geospatial Technologies in mining and Reclamation, December 7 – 9, 2004, Atlanta, GA. Schroeter L & Glaber, C. (2011). Analyses and monitoring of lignite mining lakes in Eastern Germany with spectral signatures of Landsat TM satellite data. International Journal of Coal Geology, 86, 27-39. Soesanto, S.S. (1996). Dampak pemakaian batubara terhadap kesehatan dan lingkungan. Media Litbangkes,6(2), 1-3. Stork, C.L., Smartt, H.A., Blair, D.S., & Smith, J.L. (2006). Systematic Evaluation of Satellite Remote Sensing for Identifying Uranium Mines and Mills. Sandia Report, Sandia National Laboratories Albuquerque, New Mexico and Livermore, California. Syarif, I., Priatmadi, B.J., Indrayati, E., & Haris, A. (2011). Perubahan kualitas tanah sawah di areal pertambangan batubara di Kabupaten Banjar. EnviroScienteae,7,21-30. Tian, F., Wang, Y., Fensholt, R., Wang, K., Zhiang, L. & Huang, Y. (2013). Mapping and Evaluation of NDVI Trends from Synthetic Time Series Obtained by Blending Landsat and MODIS Data around a Coalfield on the Loess Plateau. Remote sensing, 6, 42554279. Townsend, P.A., Helmers, D.P., Kingdon, C.C., McNeil, B.E., de Beurs, K.M., & Eshleman, K.N. (2009). Changes in the extent of surface mining and reclamation in the Central Appalachians detected using a 1976–2006 Landsat time series. Remote Sensing of Environment, 113, 62-72. Yang, L. & Jiuyun, S. (2011). Study of the Integrated Environmental Monitoring in Mining Area Based on Image Analysis. Procedia Engineering, 21, 267-272. Yildirim, Y., Alkan, M., & Oruc. (2009). Detection of coal ash turbidity in marine environment using remote sensing. Fresenius Environmental Bulletin, (18) 11, 2072-2078.
98
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Vanderberg, G.S. (2003). Identification and characterization of mining waste using landsat thematic mapper imagery, Cherokee county, Kansas. ASMR, 3134 Montavesta Rd., Lexington, KY.
BIOGRAFI PENULIS
Suwarsono, S.Si, M.Si. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M.Si.) pada program studi ilmu Geografi, Fakultas MAtematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI), 2012 x Sarjana (S.SI.) Program Studi Geografi Fisik, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada (UGM). 2002. Suwarsono telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2003. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan (hutan dan perkebunan) dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
Dr. Indah Prasasti Email :
[email protected],
[email protected] Pendidikan: x Doctor (Dr) pada program studi Klimatologi Terapan, Program Doktor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2012. x Magister Sains (M.Si) pada program studi Ilmu Tanah, Program Magister Sains, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2004. x Insinyur (Ir.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 1988.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
99
Dr. Indah Prasasti telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1990. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk pemantauan kondisi kekeringan lahan (1990 – 1997), identifikasi dan deteksi parameter permukaan bumi dan laut (1997 – 2007), dan mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan) (2007 – sekarang). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
100
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
PENGEMBANGAN DETEKSI HEWAN DIKORELASIKAN DENGAN KERAGAMAN HAYATI MELALUI PENGINDERAAN JAUH Wiweka, Hidayat, Totok Suprapto
Abstract
Phenomenal count the number of animals by hand rather than using remote sensing imagery in open fields, the positive side of the calculation with remote sensing imagery is a short time, capital intensive, coveringa wide area, What is the minimum size ofthe largest animals that can be measured with a high resolution imagery. Tujuan this paperisto map and estimate abundance of animals from the resolution imagery tinggi. Langkah is directed to study and detect biodiversity associated with suitability for animals, analysis of the distribution of different animals. The approach taken is apixel-based approach and the object-based approach to high-resolution image, the accuracy will be compared to the producer of each classifier to biodiversity and distribution of animals. Keywords: high resolution images, detection, animals, biodiversity Abstrak Fenomenal menghitung jumlah hewan dengan cara manual dibanding dengan menggunakan citra penginderaan jauh di lahan terbuka. dari sisi positifnya perhitungan dengan citra penginderaan jauh adalah waktu yang singkat, padat modal, melingkupi daerah yang luas, Berapa minimal ukuran terbesar hewan yang dapat terukur dengan citra resolusi tinggi.Tujuan makalah ini adalah memetakan dan memperkirakan jumlah populasi hewan dari citra resolusi tinggi.Langkah yang dilakukan adalah mempelajari dan mendeteksi keragaman hayati yang dikaitkan dengan kesesuaian lokasi untuk hewan, analisisnya distribusi hewan yang berbeda. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan berbasis pixel dan pendekatan berbasis obyek terhadap citra resolusi tinggi, akurasi produser akan dibandingkan dari setiap pengklasifikasi terhadap keragaman hayati dan distribusi hewan. Kata Kunci :Citra resolusi tinggi, deteksi, hewan,keragaman hayati,.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
101
1. PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati, termasuk satwa liar menurun pada tingkat yang mengkhawatirkan di bumi Indonesia ini.Menurut survey [2], secara global luntung Jawa sudah tidak memiliki kesesuaian lahan di Gunung Merapi.Pemantauan distribusi satwa liar dan dinamika populasi Oleh karena itu penting untuk konservasi keanekaragaman hayati.Bahkan, pengelola satwa liar, konservasi, dan pembuat kebijakan semua tertarik pada indikator yang menggabungkan informasi tentang status populasi dan tren beberapa spesies.Umumnya, perkiraan yang akurat tentang populasi satwa liar penting untuk alasan berikut.Pertama, kekayaan satwa liar merupakan indikator penting untuk mengakses kinerja konservasi keanekaragaman hayati.Kedua, pariwisata satwa liar menyumbang sebagian besar pendapatan nasional dari berbagai kabupaten Cianjur, Subang, Malang [3].Ketiga , pengelolaan sumber daya satwa liar dalam pembangunan daerah juga memerlukan pemahaman yang baik tentang dinamika populasi spesies. Metode tradisional yang digunakan untuk menghitung satwa liar seperti survey langsung ke lokasi ata pesawat memiliki banyak masalah, waktu, mahal, dan padat karya, kebanyakan hewan sensistif terhadap gangguan oleh manusia beserta peralatannya dan tidak selalu handal, bias, serta standard kesalahan yang besar tetapi ada kemungkinan kemungkinan lebih akurat hasilnya. Penggunaan citra staelit dapat digunakan untuk menghitung hewan, karena cakupannya luas, waktu singkat, tanpa adanya polusi suara. Umumnya, habitat lingkungan berkarakter heterogenitas dan kompleks, dengan demikian mempengaruhi pola distribusi antara hewan dan tumbuhan lainnya.Keaneka ragaman hayati memberikan arti adanya kombinasi dan kelimpahan kekayaan spesies, jumlah tanaman, spesies hewan yang berbeda.Secara jumlah keanekaragaman vegetasi lebih banyak dari hewan, korelasinya kemungkinan dapat dikaitkan dengan bertahan hidup dan reproduksi. Sehingga,
dapat
memunculkan
pertanyaan;
apa
pentingnya
vegetasi
dengan
keanekaragaman hayati? Apa struktur vegetasi dikontrol oleh keanekaragaman hayati fauna di sekuruh lingkungan?. Dalam kaitannya, mengorganisasi, mengidentifikasi, mendeteksi hewan didalam suatu struktur vegetasi, diperlukan sejumlah persyaratan yang spesifik, yaitu sejumlah variabel dan sub variabel yang dapat diukur oleh citra penginderaan jauh aktif dan pasif, seperti Landsat 8, SPOT 6, Radar, Lidar, InSAR. Pola yang harus dikembangkan adalah melakukan fusi sensor dan parameter citra aktif dan pasif, agar dapat menghasilkan pemodelan dan pemetaan yang optimal dalam habitat hewan, seperti kesesuaian habitat, produktifitas fotosintesis, pola multi-temporal, sifat structural dari habitat.Kesesuaian habitat hewan tergantung atas komposisi keanekaragaman hayati, tetapi tidak mungkin didekati dengan poendekatan klasifikasi diskrit, karena batas kelas tidak mungkin menangkap variabilitas fungsional ekologis yang bermakna untuk masing-masing spesies hewan, dan perlunya melibatkan dan mempertimbangkan keragaman tingkat resolusi taksonomi untuk memperkirakan kekayaan spesies.Serta agar memberikan dasar untuk menemukan
102
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
intepretasi ekologis bermakna dan untuk memprediksi distribusi dan keanekaragaman spesies. Tujuan makalah ini untuk mengkaji kemampuan citra resolusi tinggi untuk pemetaan binatang di hutan, mengembang metoda pengolahan citra untuk mendeteksi hewan dalam berbagai ciri yaitu individu, migrasi hewan, kerumunan ternak, ukuran populasi hewan, dan menguji akurasi pendekatan pixel based dan berbasis obyek dan membandingkan kemampuan pengklasifikasi untuk pemetaan hewan. Pertanyaan penelitiannya dalam makalah ini adalah x x x
Bagaimana cara mendeteksi hewan di ranah keanekaragaman hayati dan lingkungan dari citra penginderaan jauh?; Bagaimana cara mendeteksi kelas jenis hewan di citra satelit?; Bagaimana menilai akurasi metode yang berbeda yang disebutkan di atas dan membandingkan kemampuan mereka untuk pemetaan hewan?.
Hipotesisnya dalam makalah ini adalah x
Informasi spasial dan spektral dari pansharpen citra resolusi tinggi dapat mengungkapkan keanekaragaman hayati yang spesifik dan dapat direlasikan dengan keberadaan hewan dengan akurasi pemetaan overall melalui pendekataan klasifikasi berorientasi obyek.
2. TINJAUAN PUSTAKA Kenekaragaman hayati (biodiversitas) berkembang dari keanekaragaman pada tingkat gen, tingkat jenis, dan tingkat ekosistem, gambar 1. Variasi tersebut dapat dilihat dari adanya perbedaan bentuk, ukuran, struktur, warna, fungsi organ, jumlah, dan habitat suatu organisme. 2.1 Keanekaragaman tingkat gen (genetika) Merupakan keanekaragaman yang terjadi antara individu satu dengan lainnya yang masih dalam satu spesies. Hal ini disebabkan adanya variasi komposisi atau susunan gen (DNA) pada masing-masing individu meskipun mereka satu spesies, sehingga di dunia ini tidak ada makhluk hidup yang sama persis. Misalnya, variasi dalam spesies ayam (Gallus gallus) yang meliputi ayam cemani (berwarna hitam), ayam bangkok putih, ayam arab, dan ayam kampung. 2.2 Keanekaragaman tingkat jenis (spesies) Merupakan keanekaragaman individu yang berbeda spesies.Memperlihatkan adanya variasi bentuk, kenampakan, dan variasi sifat lainnya antara spesies satu dengan lainnya. Misalnya, variasi yang terjadi pada berbagai spesies unggas seperti ayam, bebek, itik, angsa, dan lainlain.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
103
2.3 Keanekaragaman tingkat ekosistem Makhluk hidup yang beranekaragam baik bentuk, kenampakan, dan sifat-sifat lainnya berinteraksi dengan lingkungan abiotiknya dan dengan jenis-jenis makhluk hidup lainnya yang bervariasi akan membentuk berbagai macam ekosistem sehingga membentuk keanekaragaman ekosistem. Misalnya, keanekaragaman ekosistem di Indonesia mencapai ± 47 ekosistem yang berbeda. Beberapa ekosistem yang ada di Indonesia antara lain: ekosistem hutan bakau, ekosistem pantai, ekosistem hutan rawa gambut, dan ekosistem hutan hujan tropis.
Gambar 1. Hirarki Fungsional Keragaman Hayati
Banyak penelitian [1] ingin mencoba mendeteksi dan mengidentifikasi hewan dengan penginderaan jauh, agar alasan dapat diterima perlu kiranya mendefinisikan istilah-istilah berikut ini: deteksi adalah kemampuan sistem untuk mendeteksi keberadaan atau tidak adanya sinyal, resolusi adalah kemampuan sistem untuk membedakan antara sinyal yang dekat satu sama lain secara spasial, temporal, atau spektral, recognizability adalah kemampuan sistem untuk mengenali atau mengidentifikasi sinyal. Bila spektral dikorelasikan dengan variabel karakter hewan seperti morfologi binatang, pola distribusi, perilaku hewan, pemilihan habitat, karakteristik sejarah kehidupan, faktor lingkungan, perencanaan misi, di sub variabel mana yang paling optimal seperti yang tertuang dalam tabel 1 berikut ini.
104
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Tabel 1. Relasional Spektral dan Deteksi Variabel Karakter Hewan
SPEKTRAL
Sub Variabel Warna Ukuran Posisi tegak lurus scanner Lingkaran dan seragam Interaksi spesies Musim dan Waktu Sensus Jumlah kelahiran Hubungan habitat Jenis Vegetasi Tinggi Vegetasi Densitas Vegetasi Migrasi Pemuliaan Memberi Makan Umur, kelamin, Kondisi cuaca Turbulensi Awan Jumlah Curah hujan Fisiografi
Variabel Morfologi Binatang
Pola Distribusi
Perilaku Hewan
Pemilihan Habitat
Karakteristik Sejarah Kehidupan
Faktor Lingkungan
Ada 21 (dua puluh satu) sub variabel yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi keberadaan hewan, sub variabel mana yang menjadi faktor utama yang dapat dikorelasikan dengan spektral. Untuk melakukan pemetaan keragaman hayati dengan penginderaan jauh dapat dilakukan pendekatan sebagai pada Tabel 2 berikut Tabel 2. Konseptual Pemetaan Spesies
Tujuan Pemetaan Diskrit Spasial Pemetaan Kesesuain Habitat (Spesies tunggal dan kekayaan spesies berdasarkan pemantualan karakteristik landscape)
Pendekatan
Data Lapangan
Klasifikasi Citra x Pengetahuan yang diharapkan x Data lapangan berkorelasi dengan karakteristik data spesies lapangan
Data Penginderaan Jauh x Citra Multispektral , Landsat 8, SPOT 6 x Video
x Data tambahan, ekologi, meteorologi
Pemetaan Kontinu
Distribusi prediski dan pemetaan spesies atau keanekaragaman berdasarkan variasi dalam produktivitas primer
NDVI atau indeks vegetasi lain yang dikorelasikan dengan data spesien di lapangan
x Data distribusi spesies
Prediksi Sementara
Variabilitas
x Data distribusi
Spasial
x Citra multi spectral (Landsat 8, SPOT 6, MODIS) x Data tambahan (Data ekologi dan atau meteorology) x NOAA-AVHRR
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
105
keanakekaragaman jenis dan pemetaan berbasis produktvitas stabilitas eco-iklim
tahunan NDVI dengan data spesisien di lapangan
Struktural
Estimasi x Validasi data karakteristik karakteristik structural struktural menggunakan radar atau laser atlitemetri dikorelasikan dngan data spesies
x Radar
Estimasi kanopi x Validasi data senyawa biokimia senyawa biokimia berkorelasi dengan x Perupstakaan ciri data spesies in situ x Distibusi data spesies
x Spektrometer
Pemetaan kesesuaian habitat (Spesies tunggal dan Kekayaan spesiai berdasarkan karakteristik structural habitat)
Biokimia Distribusi spesies atau prediksi keanekragaman dan pemetaan kanopi berbasis senyawa biokimia
spesies x Data tambahan (Data meteorology dalam waktu yang panjang)
x Lidar
Persada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki ribuan pulau dengan sumber daya alam yang tak terhitung jumlahnya, termasuk didalamnya keragaman hayati dan hewan.Berikut ini korelasi hubungan jenis dan ukuran hewan dengan keragaman hayati tersaji di tabel 3. Tabel 3. Korelasi Hubungan Jenis Dan Ukuran Hewan Dengan Keragaman Hayati
Ukuran Hewan Nama Hewan Panjang (m))
Tinggi (m)
Gajah
5,4-7,5
2,7-3,3
Kerbau Kuda
1,5 – 1,8 3,20
1,13-1,33 1,95
Badak
2,0-3,2
1,0-1,7
Orang Hutan
106
1,25-1,5
0,9 – 1,07
Ekosistim Keragaman Hayati
Pulau
Hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan dataran rendah, Hutan hujan pegunungan rendah. Rawa atau tanah basah Daerah tropis, Lingkungan padang rumput, mulai dari padang rumput terbuka tanpa pepohonan sampai padang rumput di pinggir hutan Hutan rawa dataran rendah hingga hutan perbukitan, hutan hujan dataran rendah, padang rumput basah dan daerah daratan banjir besar Hutan dataran rendah (di bawah 500 m diatas permukaan laut), Hutan dan lahan gambut Hutan hujan dataran rendah.
Sumatera, Kalimantan
Tapir
1,8 – 2,4
Kambing Hutan Trenggiling
0,30–0,58
Hutan tropis pulau Sumatra. Hutan, perkebunan
Cenderawasih
0,15-0,33
Hutan dataran rendah
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Indonesia Indonesia
Sumatera, Jawa
Sumatera, Kalimantan Sumatera, Kalimantan Sumatera Sumatera, Jawa, Kalimantan Papua
Ukuran Hewan Nama Hewan Panjang (m))
Tinggi (m)
Komodo
2,50-3,1
0,75
Kakak Tua putih Gagak
0,46 0,15-0,70
Beo
Branjangan
0,12– 0,14
Sapi
1,25-1,35
1,19-1,26
Kambing
1,4 – 1,8
0,85– 0,94
Banteng
1,60
Babi Rusa
0,87-1,06
Rusa Timor
1,95-2,10
Biri-biri/ Domba Anoa
4 1,22–1,75
Musang
0,9
Kucing Hutan
0,41–0,50
Harimau
2,3 – 3,3
0,65-0,80
2,63 0,75-0,85
0,6
Ekosistim Keragaman Hayati
Pulau
Padang rumput kering terbuka, hutan sabana, dan hutan tropis dataran rendah. Hutan primer dan hutan sekunder Hutan, tepi hutan, pesisir, tersebar sampai ketinggian 1.000 mdpl Hutan-hutan basah, hutan yang berdekatan perkampungan atau tempat terbuka Tempat-tempat yang kering di kawasan tanah gersang atau setengah kering, rumput, stepa, kawasan berbatu karang dan gunung pasir Rumput, bambu, buah-buahan, dedaunan, dan ranting muda Hutan primer dan hutan sekunder dekat dengan pegunungan dataran tinggi Daerah berhutan lebat ataupun hutan bersemak mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2.100 mdpl Hutan hujan tropis, daerah-daerah pinggiran sungai atau kubangan lumpur di hutan dataran rendah Daerah pantai hingga ketinggian 3000 m dpl, daerah berawa dan tepian sungai Daerah padang rumput yang luas Hutan hujan tropis, daerah yang terdapat banyak vegetasi, sumber air yang permanen dan jauh dari jangkauan manusia. Hutan dataran rendah dan hutan berawa-rawa Semak-semak lebat, hutan bambu, hutan belukar, padang rumput Hutan tropis, semak belukar, hutan pinus, semi-gurun, daerah pertanian, hingga daerah bersalju tipis. Hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi. Lahan gambut dan hutan hujan pegunungan.
Flores, Komodo, dan Rinca Maluku Utara Kep. Banggai P. Nias, Sumatera Utara Jawa
Indonesia Indonesia
Jawa, Bali, dan Kalimantan
Sulawesi, Togian, Malenge, Sula, Buru dan Maluku Timor
Sulawesi, Jawa Sulawesi, P.Buton
Indonesia Jawa, Kalimantan, Sumatera
Sumatera
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
107
Ukuran Hewan Nama Hewan Panjang (m)) Burung Maleo
Burung Merak
3
Beruang madu
1,4
Ekosistim Keragaman Hayati
Pulau
Hutan, daerah pasir yang terbuka, daerah sekitar pantai gunung berapi dan daerah-daerah yang hangat dari panas bumi Dataran rendah sampai tempattempat yang tinggi, Hutan terbuka dengan padang rumput, seperti taman nasional alas purwo, taman nasional ujung kulon, serta taman nasional meru betiri. Hutan-hutan primer, hutan sekunder dan sering juga di lahanlahan pertanian Daerah hutan hujan tropis
Sulawesi,
Tinggi (m)
0,70
Quoll
Jawa
Kalimantan, Sumatera Papua
Berikuti ini review mengenai sensor optis resolusi sangat tinggi dan pustaka citra yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati dikaitkan dengan keberadaan hewan, di tabel 4 berikut ini: Tabel 4. Daftar Sensor Optis Resolusi Sangat Tinggi
Sensor
Resolusi Spasial Pankromatik (m)
Resolusi Spasial Multi Spektral(m)
Lebar Sapuan (km)
Band
IKONOS2
0,82
4
11,3
Pan, MS
QuickBird
0,61
2,88
16,5
Pan, MS
OrbView3
1
4
8
Pan, MS
EROS B
0,7
-
7
Pan
KOMPSAT-2
1
1
15
Pan, MS
WorldView1
0,45
-
17,6
Pan
WorldView2
0,46
2,4
16,4
Pan, MS
GeoEye1
0,41
2,4
15,2
Pan, MS
Cartosat2
0,82
-
9,6
Pan
SPOT 6
1,5
8
60
Pan, MS
Pan=Pankromatik, MS= Multi Spektral
3. DATA DAN METODE Bagaimana cara mlakukan Pemetaan Spesies yang mengkorelasikan/mengintegrasikan Daftar Sensor Optis Resolusi Sangat Tinggi, dengan Jenis Dan Ukuran Hewan Dengan Keragaman Hayati. Kriteria lokasi deteksi hewan dapat dilakukan terhadap padang rumput,
108
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
hutan yang yang sudah dikenali jenis hewan. dan keragaman hayati yang spesifik. Mekanisme yang paling rumit adalah mengkorelasikan antara keragaman hayati dan keberadaan hewan.
Keanekaragaman Hayati Wilayah Hutan dan Padang Rumput Terbuka, NKRI
Latar Belakang Informasi Spasial dan Non Spasial di Indonesia
Citra Satelit Resolusi Tinggi Geo Eye-1, Orb View 2, SPOT 6
Variabel Karakter Hewan : Morfologi, Distribusi, Behavior, Lingkungan,
Pengetahuan Pakar Penginderaan Jauh Mengenai Hewan di Hutan
Kapabilitas Kombinasi Dan Pemisahan Spektral Citra Penginderaan Jauh
Fusi Citra
Justifikasi Intepretasi dan Analisis Visual Citra Satelit
Filtering Majority Citra Satelit Resolusi Tinggi Geo Eye-1, Orb View 2,SPOT6
JUSTIFIKASI & PRA PENGOLAHAN
Pansharpen Citra Satelit Resolusi Tinggi Geo Eye-1, Orb View 2, SPOT 6
Training Sampel
Segmentasi, Klasifikasi Nearest neighbour dengan aturan logika fuzzy Hasil Klasifikasi Objek-Oriented
Klasifikiasi Genetic Algorithm
Hasil Klasifikasi Berbasis Pixel
KLASIFIKASI Akurasi, Presisi
Evaluasi Intepretasi
Validasi Survey Lapangan dengan Peralatan Lengkap
KAPABILITAS PEMETAAN HEWAN
Analisa Hasil Dan Sintesa Hasil Pengolahan
Kesimpulan
Citra satelit resolusi tinggi yang efektif digunakan memiliki resolusi spasial kurang dari 1 meter dan memiliki citra pansharpen, terbaru dan bebas awan.Dapat digunakan SPOT 6, karena data tersebut dapat diakusisi oleh stasiun penerima di Pare Pare, pilhan kedua adalah Geo Eye/Orb View 2. Dalam proses ini diperlukankolaborasi antara pakar hewan, pakar keanekaragaman hayati serta pakar penginderaan jauh untuk dapat merelasikan,
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
109
mentransformasikan,dan
menginverskan
dalam
mendeteksi
hewan
melalui
konsep
intepretasi.Proses yang paling rumit adalah memisahkan spectral untuk mengekstraksi informasi keberadaan hewan, dan keragaman hayati. Untuk mengekstraksi informasi dengan cara digital dilakukan dengan melakukan fusi citra, pengambilan training sampel dan gunakan klasifikasi berbasis objek serta pixel. Hitung akurasi dan presisinya, lakukan perbandingan hasil.Hasil survey lapangan dapat digunakan untuk memperbaiki hasil dan sintesa.
4. PENUTUP Ada 3 (tiga) aspek yang diupayakan dalam kegiatan deteksi hewan ini adalah a) mendeteksi hewan dengan citra penginderaan jauh; b)mengkorelasikan keberadaan hewan dengan keragaman hayati lokal c) mengkaji kemampuan citra resolusi tinggi dengan klasifikasi berbasi pixel dan object oriented. Hasil proses ini masih diliputi ketidakpastian dalam proses pengelompokkan dan identitas nama hewan, hal ini disebabkan belum sempurnanya metoda inversi dalam pengkelasan hewan dan pola distribusi keragaman hayati.
110
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS
Dr. Wiweka Email :
[email protected] Pendidikan: x Doktor (Dr), pada program studi Ilmu Komputer, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia (UI), 2006 x Magister Teknik (MT), pada program studi Teknik Geodesi, Fakultas Pasca Sarjana, InstitutTeknologi Bandung (ITB), 1995 x Sarjana Teknik (Ir), pada program studi Teknik Geodesi, FakultasTeknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung (ITB), 1988 Profesi sebagai fungsional peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, sejak 1 Maret 1989. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan, pengembangan model diaplikasikan untuk berbagai tipe bencana. Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Ikatan Surveyor Indonesia (ISI).
Ir.Hidayat, MT. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Program Pasca Sarjana (S2) Jurusan Kimia, Universitas Indonesia, 1995 x Sarjana Teknik (S1.) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Univ. Muhammadiayah Jakarta), 1985, Hidayat telah bekerja honorer di sejak 1972, dan diangkat CPNS tahun 1975 sebagai Teknisi Proyek TELSA LAPAN sampai Tahun 1985. Staf Peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 1985. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk pemanfaatan data satelit sumber daya alam lahan dan mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu serta interaksinya dan potensinya terhadap sumber daya alam lahan dan kebencanaan (pangan, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN).
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
111
112
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
ANALISIS CURAH HUJAN BULANAN TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSION N (TRMM) DAN STASIUN PENAKAR HUJAN DI WILAYAH PAPUA TAHUN 1998 - 2010 Jalu Tejo Nugroho, Nur Febrianti, Any Zubaidah
Abstract In this research we have determined the accuracy of monthly rainfall derived from the Tropical Rainfall Measuring Mission satellite (TRMM) data and rainfall data obtained from the rain gauge stations in Papua region during January 1998 to December 2010. This accuracy was identified by correlation coefficient (R) between two data based on statistical methods. From four stations that we have analised, namely Station Dok II Jayapura (2,53o LS - 140,71o BT), Mopah Station, Merauke (8,46o LS - 140,38o BT), Frans Station Kasiepo, Biak (1,86o LS - 136,11o BT), and Nabire Station (3,36o LS - 135,5o BT) we obtained the R values for monthly data in a range of 0,84, 0,52, 0,58, and 0,61 respectively. During DecemberJanuary-February the R value for the four regions are 0,54, 0,13, 0,40, and 0,59. During March-April-May the R values are 0,76, 0,50, 0,68, and 0,51, during the June-July-August the R values are 0,89, 0,64, 0,53, and 0,64, and during the September-October-November the R values for four regions are 0.8, 0.65, 0.77, and 0.63 respectively. Keywords: monthly rainfall, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), rain gauge, coefficient of correlation
Abstrak Untuk mengetahui akurasi curah hujan bulanan yang diperoleh dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dan data curah hujan dari stasiun penakar hujan di wilayah Papua selama bulan Januari 1998 sampai dengan Desember 2010 pada penelitian ini telah dilakukan perhitungan nilai koefisien korelasi (R) menggunakan metode statistik. Dari empat stasiun yang dipilih, yaitu Stasiun Dok II, Jayapura (2,53o LS - 140,71o BT), Stasiun Mopah, Merauke (8,46o LS - 140,38o BT), Stasiun Frans Kasiepo, Biak (1,86o LS - 136,11o BT), dan Stasiun Nabire (3,36o LS - 135,5o BT) diperoleh nilai R untuk keseluruhan bulan berturut-turut sebesar 0,84, 0,52, 0,58, dan 0,61. Selama bulan Desember-Januari-Februari pada periode tahun yang sama nilai R yang diperoleh untuk keempat wilayah tersebut sebesar 0,54, 0,13, 0,40, dan 0,59. Selama bulan Maret-April-Mei masing-masing sebesar 0,76, 0,50, 0,68, dan 0,51, selama bulan Juni-Juli-Agustus 0,89, 0,64, 0,53, dan 0,64, serta selama bulan September-Oktober-November sebesar 0,8, 0,65, 0,77, dan 0,63. Kata kunci: curah hujan bulanan, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), curah hujan station, koefisien korelasi (R)
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
113
1. PENDAHULUAN Posisi Indonesia di daerah tropis serta di antara dua benua dan dua samudera membuat variabilitas curah hujannya sangat tinggi. Curah hujan di wilayah ini telah diketahui dipengaruhi oleh fenomena global, yaitu El Niñ i o Southern Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik, Indian Ocean Dipole (IOD) di Samudera Hindia, serta Intertropical Convergence Zone (ITCZ) di sekitar ekuator. Posisi tersebut juga strategis karena dari wilayah inilah tersedia energi matahari sepanjang tahun yang kemudian didistribusikan ke tempat-tempat lain di dunia yang tekanan udaranya lebih rendah, sehingga dapat mempengaruhi perubahan cuaca dan iklim global. Perolehan curah hujan sepanjang tahun di wilayah Indonesia dapat meningkatkan potensi terjadinya curah hujan ekstrem dan menyebabkan bencana banjir. Kejadian bencana alam tersebut tidak dapat dihindari tetapi dampaknya bisa dikurangi melalui kegiatan manajemen yang terencana dengan baik. Di sisi lain pemantauan curah hujan di Indonesia menjadi sangat penting dan memerlukan observasi yang panjang dengan sebaran data yang memadai. Salah satu usaha manajemen bencana tersebut dapat dilakukan dengan metode penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh telah mampu mengidentifikasi curah hujan di wilayah tropis, termasuk Indonesia. Sensor Earth Radiation Budget Experiment (ERBE) dan Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dipasang pada satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dapat memberikan informasi temperatur puncak awan yang dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah curah hujan tropis dikaitkan dengan energi yang dipancarkan oleh permukaan bumi (Outgoing Longwave Radiation atau disingkat OLR). Sejak tahun 1997 prediksi curah hujan bulanan telah dikembangkan menggunakan data OLR untuk enam bulan ke depan dengan tingkat akurasi antara 60% sampai dengan 80% (Khomarudin, 2011). Selanjutnya pengembangan dan tantangan prediksi curah hujan bulanan dengan menggunakan data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan menggunakan data resolusi lebih tinggi seperti data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) agar akurasi prediksi yang diperoleh juga dapat ditingkatkan. TRMM merupakan sarana yang tepat untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis. Satelit yang diluncurkan pada tanggal 27 November 1997 ini berorbit polar (nonsunsynchronous) dengan inklinasi sebesar 35o terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit sekitar 403 km. TRMM yang membawa lima sensor utama yaitu PR (Precipitation Radar), r TMI (TRMM Microwave Imager), r VIRS (Visible Infrared Scanner), r LIS (Lightning Imaging Sensor) r dan CERES (Clouds and Earth’s Radiant Energy System) dapat memantau permukaan bumi wilayah tropis (50oLU-50oLS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92,5 menit dengan resolusi spasial 0,25o x 0,25o. As-syakur dan Prasetia (2010) menyebutkan adanya tingkat korelasi yang sedang sampai kuat antara data satelit TRMM dengan data observasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi,
114
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
dan Geofisika (BMKG) di Indonesia. Data satelit tersebut dapat memberikan informasi sebaran spasial temporal curah hujan di Indonesia. Data curah hujan TRMM juga dapat dijadikan untuk memverifikasi keluaran model curah hujan global. Satiadi (2009) membandingkan antara curah hujan konvektif hasil simulasi model sirkulasi umum atmosfer dengan data TRMM. Hasil perbandingan menunjukkan pola distribusi yang secara umum mengikuti pola data TRMM. Adanya perbedaan diduga karena resolusi model yang relatif rendah. Analisis validasi yang dilakukan oleh As-syakur et al. (2011) di wilayah Bali menunjukkan bahwa data TRMM memiliki korelasi yang sangat baik dengan data pengukuran pada rentang waktu bulanan dibandingkan dengan data harian selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2002. Meneghini dkk. (2004) dengan menggunakan metode Surface Reference Technique (SRT) dan metode Hitschfeld–Bordan telah meneliti profil curah hujan global menggunakan data TRMM dari sensor PR. Dari perhitungan selama dua minggu diperoleh bahwa 90% estimasi kejadian hujan di sepanjang lautan masih berada dalam rentang nilai yang dapat ditoleransi. Analisis validasi yang dilakukan oleh As-syakur dkk. (2011) di wilayah Bali menunjukkan bahwa data TRMM memiliki korelasi yang sangat baik dengan data pengukuran pada rentang waktu bulanan dibandingkan dengan data harian selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2002. Data TRMM di wilayah ini diketahui memiliki nilai yang lebih rendah (under estimated) dibandingkan dengan data pengukuran. Zubaidah dkk. (2011) telah menganalisis potensi terjadinya hujan lebat (curah hujan tinggi) yang diturunkan dari data TRMM dan diintegrasikan dengan peta kerawanan bencana banjir (daerah genangan). Validasi data curah hujan TRMM di berbagai wilayah dilengkapi dengan penggunaan data terkini perlu terus dilakukan agar dapat diketahui tingkat akurasinya sehingga
faktor-faktor yang
mempengaruhi curah hujan di wilayah tersebut dapat dipahami dengan baik.
2. DATA DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan TRMM tipe 3B43 mulai dari bulan
Januari
1998
sampai
dengan
bulan
Desember
2010
diperoleh
dari
http://mirador.gsfc.nasa.gov. Format data TRMM berupa data Grid global tropis dengan grid lintang dan bujur masing-masing tiap 0,25o x 0,25o dalam satuan mm/jam. Untuk wilayah Papua digunakan data TRMM dengan posisi 0,875oLU - 11,875o LS, 130,125oBT – 141,875oBT. Sumber data curah hujan bulanan dari stasiun pengamat di wilayah Papua digunakan empat lokasi pengamatan, yaitu Stasiun Dok II, Jayapura (2,53o LS - 140,71o BT), Stasiun Mopah, Merauke (8,46o LS - 140,38o BT), Stasiun Frans Kasiepo, Biak (1,86o LS - 136,11o BT), dan Stasiun Nabire (3,36o LS - 135,5o BT) dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010. Sumber data curah hujan ini diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
115
Metode penelitian yang digunakan untuk menghitung perbandingan data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM dengan data yang diperoleh dari stasiun pengamat adalah metode statistik, yaitu dengan menghitung nilai koefisien korelasi statistik (R) yang dirumuskan sebagai berikut:
R
n ¦x . y - ¦x.¦y 2
(n ¦ x - (¦ x) 2 ) . (n ¦ y 2 - (¦ y)2 )
......................................................... (1)
'HQJDQȈ[GDQȈ\DGDODKMXPODKGDWDYDULDEHO[GDQYDULDEHO\ Ȉ[\DGDODKKDVLOSHUNDOLDQ variabel x dan y, sementara n adalah banyak pasangan data x dan y.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mengetahui tingkat akurasi data curah hujan TRMM maka dilakukan komparasi dengan data pengamatan yang diperoleh dari stasiun pengukur hujan menggunakan metode statistik. Validasi data dilakukan per titik pengamatan yang disesuaikan dengan piksel pada lokasi yang sama pada data TRMM. Dari hasil perhitungan koefisien korelasi statistik (R) antara data curah hujan yang diperoleh dari satelit TRMM dibandingkan terhadap data curah hujan dari stasiun pengamat berturut-turut untuk wilayah Merauke, Biak, Nabire dan Jayapura diperoleh nilai sebesar 0,84, 0,52, 0,58, dan 0,61. Gambar 1 menampilkan grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Mopah, Merauke bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 sementara Gambar 2 merupakan plot data deret waktu antara kedua variabel tersebut. Dari perhitungan R dapat dilihat bahwa korelasi antara keduanya cukup tinggi dengan nilai R sebesar 0,84. Hal ini dapat dilihat dari tren kesesuaian kurva antara data curah hujan bulanan TRMM dengan data dari stasiun pengukur hujan di wilayah tersebut.
116
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Gambar 1. Grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Mopah, Merauke bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010
Gambar 2. Plot data curah hujan TRMM dan data curah hujan pengamatan dari Stasiun Mopah, Merauke bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Gambar 3 menampilkan grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Frans Kasiepo, Biak bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 sementara Gambar 4 merupakan plot data deret waktu antara kedua variabel tersebut. Dari perhitungan diperoleh nilai R sebesar 0,52. Pengaruh faktor lokal di wilayah Biak diduga menjadi penyebab akurasi data curah hujan TRMM rendah di wilayah tersebut. Posisi wilayah Biak yang dikelilingi perairan juga menyebabkan faktor global, yaitu El Niño Southern Oscillation (ENSO) dominan berperan mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim di wilayah Biak.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
117
Gambar 3. Grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Frans Kasiepo, Biak bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Gambar 4. Plot data curah hujan TRMM dan data curah hujan pengamatan dari Stasiun Frans Kasiepo, Biak bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Gambar 5 menampilkan grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Nabire sementara Gambar 6 merupakan plot data deret waktu antara kedua variabel tersebut dengan nilai R sebesar 0,58. Sama halnya dengan wilayah Biak yang dikelilingi perairan, wilayah Nabire yang terletak di wilayah pantai tampaknya juga sangat dipengaruhi oleh fenomena global ENSO, disamping juga faktor lokal.
118
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Gambar 5. Grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Nabire bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Gambar 6. Plot data curah hujan TRMM dan data curah hujan pengamatan dari Stasiun Nabire bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Gambar 7 menampilkan grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Dok II Jayapura sementara Gambar 8 merupakan plot data deret waktu antara kedua variabel tersebut dengan nilai R sebesar 0,61. Selama interval waktu yang dianalisis, akurasi data curah hujan TRMM di wilayah Jayapura lebih baik dibandingkan dengan wilayah Biak dan Nabire walaupun posisi di sekitar pantai. Pengaruh ENSO diduga juga dominan mempengaruhi kondisi cuaca di wilayah Jayapura.
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
119
Gambar 7. Grafik persamaan linear antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari Stasiun Dok II Jayapura bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Gambar 8. Plot data curah hujan TRMM dan data curah hujan pengamatan dari Stasiun Dok II Jayapura bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.
Dikaitkan dengan posisi relatif matahari terhadap bumi telah dilakukan juga perhitungan nilai (R) berdasarkan musim, yaitu bulan Desember-Januari-Februari, bulan Maret-April-Mei, bulan Juni-Juli-Agustus, dan bulan September-Oktober-November. Dari perhitungan diperoleh nilai R untuk bulan Desember-Januari-Februari tahun 1998 sampai dengan tahun 2010 untuk wilayah Merauke, Biak, Nabire, dan Jayapura masing-masing sebesar 0,54, 0,13, 0,40, dan 0,59. Perhitungan nilai R untuk bulan Maret-April-Mei tahun 1998 sampai dengan tahun 2010 untuk wilayah Merauke, Biak, Nabire, dan Jayapura masing-masing sebesar 0,76, 0,50, 0,68, dan 0,51. Sementara untuk bulan Juni-Juli-Agustus pada interval tahun yang sama berturut-turut sebesar 0,89, 0,64, 0,53, dan 0,64. Dan untuk bulan SeptemberOktober-November nilai R yang diperoleh untuk wilayah yang bersesuaian sebesar 0,8, 0,65, 0,77, dan 0,63.
120
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
Dari hasil yang diperoleh, akurasi curah hujan data TRMM di wilayah Merauke relatif tinggi untuk setiap musim yang dianalisis. Selama bulan bulan Desember-Januari-Februari R di wilayah Merauke sebesar 0,54 lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya diduga terkait dengan kejadian ENSO. Dari Tabel I diringkas catatan kejadian ENSO selama bulan Januari 1998 sampai dengan Desember 2010. Tabel I. Catatan kejadian ENSO tahun 1998 sampai dengan 2010 berdasarkan anomali SST (sumber: www.cpc.ncep.noaa.gov)
Tahun
DJF
JFM
FMA
MAM
AMJ
MJJ
JJA
JAS
ASO
SON
OND
NDJ
1998
2,2
1,8
1,4
0,9
0,4
-0,2
-0,7
-1
-1,2
-1,3
-1,4
-1,5
1999
-1,5
-1,3
-1
-0,9
-0,9
-1
-1
-1,1
-1,1
-1,3
-1,5
-1,7
2000
-1,7
-1,5
-1,2
-0,9
-0,8
-0,7
-0,6
-0,5
-0,6
-0,6
-0,8
-0,8
2001
-0,7
-0,6
-0,5
-0,4
-0,2
-0,1
0
0
-0,1
-0,2
-0,3
-0,3
2002
-0,2
0
0,1
0,3
0,5
0,7
0,8
0,8
0,9
1,2
1,3
1,3
2003
1,1
0,8
0,4
0
-0,2
-0,1
0,2
0,4
0,4
0,4
0,4
0,3
2004
0,3
0,2
0,1
0,1
0,2
0,3
0,5
0,7
0,8
0,7
0,7
0,7
2005
0,6
0,4
0,3
0,3
0,3
0,3
0,2
0,1
0
-0,2
-0,5
-0,8
2006
-0,9
-0,7
-0,5
-0,3
0
0,1
0,2
0,3
0,5
0,8
1
1
2007
0,7
0,3
-0,1
-0,2
-0,3
-0,3
-0,4
-0,6
-0,8
-1,1
-1,2
-1,4
2008
-1,5
-1,5
-1,2
-0,9
-0,7
-0,5
-0,3
-0,2
-0,1
-0,2
-0,5
-0,7
2009
-0,8
-0,7
-0,5
-0,2
0,2
0,4
0,5
0,6
0,8
1,1
1,4
1,6
2010
1,6
1,3
1
0,6
0,1
-0,4
-0,9
-1,2
-1,4
-1,5
-1,5
-1,5
Indikator kondisi ENSO ditentukan berdasarkan anomali temperatur muka laut (Sea Surface Temperature, disingkat SST) di wilayah Pasifik. Anomali SST lebih besar atau sama dengan 0,5 °C di wilayah Niño 3.4 (5oLU-5oLS, 120oBB-170oBB) adalah indikasi kondisi fase hangat ENSO (El Niño), sementara anomali kurang dari atau sama dengan -0.5 °C berhubungan dengan fase dingin (La Niña). Niño Index Oceanic (ONI) merupakan indeks yang merupakan anomali SST rata-rata selama tiga bulan berjalan. Jika ONI menunjukkan kondisi fase hangat atau dingin setidaknya untuk lima nilai berturut-turut, maka secara resmi dikatakan terjadi peristiwa El Niño atau La Niña. Pada Tabel I penentuan episode hangat (merah) dan dingin (biru) ONI didasarkan pada ambang batas ± -0,5 oC dengan periode dasar 30 tahun dan diperbarui setiap lima tahun. Dari Tabel I dapat dilihat selama Desember-Januari-Februari frekuensi kejadian La Niña(fase dingin) lebih sering muncul dibandingkan El Niño (fase panas) yang berdampak peningkatan
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
121
hujan di wilayah tersebut. Hal ini pula yang diduga kuat mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim di tiga wilayah lain yang di analisis, yaitu Biak, Nabire, serta Jayapura. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami pengaruh ENSO di wilayah-wilayah tersebut.
4. KESIMPULAN Dari perbandingan data curah hujan bulanan yang diperoleh dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dengan data curah hujan dari stasiun pengamat di wilayah Papua selama tahun 1998 sampai dengan tahun 2010. Dari empat stasiun pengamat curah hujan yaitu di wilayah Merauke, Biak, Nabire, dan Jayapura diperoleh nilai R untuk keseluruhan bulan berturut-turut sebesar 0,84, 0,52, 0,58, dan 0,61. Untuk bulan DesemberJanuari-Februari nilai R yang diperoleh sebesar 0,54, 0,13, 0,40, dan 0,59. Untuk bulan Maret-April-Mei masing-masing sebesar 0,76, 0,50, 0,68, dan 0,51. Untuk bulan Juni-JuliAgustus 0,89, 0,64, 0,53, dan 0,64. Untuk bulan September-Oktober-November sebesar 0,8, 0,65, 0,77, dan 0,63. Faktor global ENSO diduga kuat mempengaruhi variabilitas curah hujan di keempat wilayah yang dianalisis.
DAFTAR PUSTAKA As-syakur, A.R., dan Prasetia, R., 2010, Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama Maret Sampai Juni 2010 di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan, Prosiding Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, pp. 505-516, Universitas Udayana. As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R., Swardika, I.K., dan Kasa, I.W., 2010, Comparison of TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA) products and daily-monthly gauge data over Bali, International Journal of Remote Sensing, Vol. 32, pp. 89698982. Khomarudin M.R., 2011, Inderaja LAPAN, Volume II No. 3 Desember 2011. Meneghini, R., J. A. Jones, T. Iguchi, K. Okamoto and J. Kwiatkowski, 2004. A Hybrid Surface Reference Technique and Its Application to the TRMM Precipitation Radar. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology: Vol. 21, No. 11, pp. 1645-1658. Satiadi D., 2009, Perbandingan Curah Hujan Hasil Simulasi Model Sirkulasi Umum Atmosfer Dengan Data Observasi Satelit TRMM, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara LAPAN, Vol. 4 No. 1, pp. 31-40. Zubaidah A., Dede Dirgahayu, Dini Oktavia Ambarwati, Junita Monika Pasaribu, 2011, Manfaat Informasi Spasial Hujan TRMM Periodik dalam Pemantauan Kondisi Lahan Sawah, Inderaja LAPAN, Volume II No. 3.
122
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
BIOGRAFI PENULIS
Jalu Tejo Nugroho, S.Si., M.Si Email :
[email protected] Pendidikan: x Magister Sains (M. Si) pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI), 2001 x Sarjana Sains (S. Si) pada Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia (UI), 1998 Penelitian yang diminati: Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk analisis curah hujan dan kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, gunung api).
Nur Febrianti, S.Si. Email :
[email protected];
[email protected] Pendidikan: x Sarjana Sains (S.Si.) pada program studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2004
Nur Febrianti telah bekerja sebagai peneliti di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN sejak tahun 2008. Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Dra. Any Zubaidah, M.Si. Email :
[email protected] Pendidikan: x x
Magister Sains (M.Si) pada program studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor (IPB). 2004 Sarjana (Dra.) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Matematika, Universitas Gadjah Mada (UGM). 1984
Any Zubaidah sampai saat ini masih bekerja sebagai peneliti di Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana (LMB), Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Sejak tahun 1985 bekerja di Lembaga Penerbangan dan Atariksa Nasional, diterima di Bidang Teledeteksi Sumber
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan
123
Daya Alam menangani kegiatan Pre Processing System (PPS) citra Inderaja. Tahun 1987 sebagai peneliti di Bidang Perolehan Data penginderaan jauh (Lehta) dibawah Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN. Tahun 1994 – 2001 sebagai peneliti dan Kasie Katalog dan Dokumentasi Bidang Bank Data, Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh. Saat ini penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan aplikasi data penginderaan jauh untuk mitigasi bencana alam yang merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti cuaca dan iklim serta interaksinya dengan sumberdaya lahan dan potensinya terhadap kebencanaan (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api). Organisasi profesi yang diikuti adalah Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN)
124
Bunga Rampai Pemanfaatan Penginderaan Jauh Untuk Pemantauan, Deteksi, Dan Kajian Lingkungan