Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) SUMBER : KOMPAS, 29 Oktober 1987 Hal. 1 Budayawan D. Djajakusuma Sudah Tiada
Ia Meninggal dengan Gagah dan Indah di Tengah Tugas Jakarta, Kompas Pidato D. Djajakusuma tidak selesai. Tak akan pernah. Budayawan 69 tahun ini sedang membangkitkan semangat mahasiswanya dalam apel Sumpah Pemuda rabu pagi di kampus IKJ Cikini Jakarta, ketika tubuhnya terjengkang. Ia pingsan dan tak siuman lagi sampai meninggal pukul 10.05 di RS Cikini. Jenazah tokoh film dan seni tradisi ini dimakamkan kemarin sore di TPU Tanah Kusir. Beberapa pengajar sekolah seni itu seperti Laksmi dan Sulebar mengaku tidak mendapat keterangan dokter tentang penyakit yang diduga menyerang Djajakusuma. Almarhum pernah dirawat di rumah sakit karena serangan jantung. Keponakan yang diangkat anak oleh almarhum, Dina, mengatakan ayahnya menderita kesulitan tekanan darah. “Menurut dokter, sebenarnya terjadi stroke di bagian otak. Bahkan dianjurkan untuk segera menghubungi keluarga, karena keadaannya memang gawat,” tutur Sutomo G, kameraman yang menjabat Dekan Fakultas Senirupa dan Desain IKJ. Kesehatan tokoh budaya anggota Akademi Jakarta ini memang tidak menggembirakan. Ketika sebagai Ketua Dewan Juri FFI 1977 di Jakarta ia membacakan keputusan dewan juri, ia juga pingsan. “Sering saya mendapatinya tergolek di sofa, entah kecapaian, atau bahkan tidak ingat diri,” tutur Ny. Atie, istri penyair Taufiq Ismail. Selama delapan tahun, keluarga Taufiq Ismail memang menjadi tetangga paling dekat dengan almarhum di perumahan TIM. Tambah Ny. Atie, “Bertahun-tahun Pak Djaja juga diet.” Sampai akhir hayatnya Djajakusuma bertahan untuk membujang. Beberapa keponakan diangkat anak, dan ikut tinggal di perumahan TIM. Tak berkeluarga, namun pemakamannya sama sekali tidak terbengkelai. Jenazahnya kemarin disemayamkan di Teater Luwes kampus IKJ, dan para pelawat, sejumlah besar seniman dan budayawan Ibu Kota, terus mengalir datang. Ketua Akademi Jakarta Prof Dr Sutan Takdir Alisjahbana menyampaikan sambutan di situ. Sebelum diberangkatkan, jenazah disembahyangi di mesjid Amir Hamzah dalam lingkungan TIM. Penyair Taufiq Ismail memimpin acara tersebut. Di TPU Karet melayat tak kurang dari Mendikbud Prof Dr Fuad Hassan. Dirjen RTF Drs Subrata menyampaikan sambutan mewakili Menteri Penerangan, demikian juga Wagub DKI Anwar Umar mewakili gubernur. Rekan-rekannya meletakkan karangan bunga, seperti bekas Menpen Budiardjo yang kini anggota Akademi Jakarta, Misbach Jusa Biran kepala Sinematek, dan Soemardjono, pengajar di IKJ. Tidak sepi
Sesungguhnya, hidup almarhum memang tidak pernah sepi. Selain mengangkat anak para keponakannya, hubungannya juga sangat mendalam dengan keluarga induk semangnya ketika ia menumpang di situ sejak SMP. "Om Djaja sudah menganggap kami keponakan beliau. Anak-anak saya sudah seperti cucunya sendiri," tutur Ny. Sumiati (47), yang diiyakan Ny. Wati (38). Almarhum tinggal di rumah mertua Sumiati di Menteng Dalam, sampai mendapat rumah di TIM. “Sebulan sekali kami mengirim masakan kepada Om Djaja, karena beliau mau masakan dari rumah. Menunya sederhana, tidak pakai daging. Kesukaannya sayur asem, sayur lodeh, sayur bening, tahu, dan tempe. Soalnya kata Om Djaja, kalau daging bisa dibeli di restoran, tapi sayur seperti itu hanya kami yang bisa masak," tambah Sumiati. Di samping itu, mana sempat seorang Djajakusuma mendekam sambil bengong. Kegiatannya begitu beragam, begitu padat, dan tentu saja menyita tenaga. Selain urusan sekolah — kini di samping Dekan Fakultas Kesenian IKJ, juga mengajar — ia selalu muncul dalam berbagai acara seni. Sehari sebelum meninggal, masih juga ia sempat mengajar dalam kegiatan pendidikan teater di Kuningan. Malam harinya, hadir dalam lomba karawitan di TIM. Menurut para mahasiswanya, ia dengan suka hati memohon kalau ada mahasiswa menggelar sesuatu, betapa belum matang pun karya mereka. Keras, ulet Ia memang jenis pekerja yang ulet, tak kenal lelah. Komentar ini berhamburan dari berbagai rekannya, baik yang cukup tua, maupun rekan kerjanya yang muda di sekolah. Umar Kayam, budayawan pengajar di UGM misalnya menyebut watak almarhum keras, disiplin. Itu diketahuinya ketika sama-sama bekerja untuk Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Kayam sebagai ketua dan Djaja wakilnya. Ketua Sinematek Misbach Jusa Biran menggarisbawahi temperamennya yang bisa cepat marah, tapi juga cepat baik kembali. “Dan selalu soal prinsip,” tuturnya. Rekannya, Soemardjono menambah, “Dia itu sangat emosional, spontan, dan ekspresif.” Atau dalam bahasa Bagong Kussudiardjo, penata tari, pelukis, yang dihubungi di Yogya, “Almarhum seorang pekerja tekun dan keras.” Djaduk Dajakusuma, lahir di Parakan Temanggung Jateng 1 Agustus 1918, seorang yang cinta kerja. Mengawali karier sebagai penterjemah dan pemain drama pada Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosho) Jakarta di tahun 1943, ia tumbuh menjadi tokoh film, seni tradisional, dan budaya pada umumnya. Kapten TNI (1946-1949) ini pernah juga menjadi anggota grup drama amatir Maya, pimpinan almarhum Usmar Ismail. Kariernya di dunia film cukup panjang, 19521967. Semula sebagai sutradara Perfini. Ia salah satu pendiri Karyawan Film Indonesia (KFT) tahun 1964. Selama berkecimpung di film, telah dibuatnya 12 film, di antara-nya Embun. yang merupakan salah satu produksi Perfini yang terbaik. Film-film lainnya di antaranya Cambuk Api (1958), dan Lahirnya Gatotkaca (1960). Ia meraih penghargaan sebagai penulis skenario terbaik untuk Harimau Campa (1953) pada FFA'55. Sedang filmnya Bima Kroda (1967) dihargai sebagai film pendorong kebudayaan oleh Deppen. Orang terakhir “Ia orang terakhir sebagai tokoh film, dalam jajaran Usmar Ismail, Djamaluddin Malik. Ketokohan, kepioniran, maupun penggugah semangat,” kata Misbach Jusa Biran, ketua Sinematek.
Di lapangan seni tradisonal, tak kurang pula hasil kiprahnya. Mendirikan Wayang Orang Bharata, tahun 1973. “Tanpa dia, tak mungkin lenong, ludruk, dan lainnya masuk TIM. Jasanya di situ besar,” tutur Umar Kayam. Di masa mereka berdua, kehidupan seni di Jakarta, yang tampil d TIM memang sedang mekar-mekarnya. Semangat membela seni tradisional ini begitu besar. Sehari sebelum meninggal, seorang penggiat seni tradisional, Sumantri Sastrosuwondo, memberi tahu almarhum bahwa peserta lokakarya lenong melimpah. Dan almarhum tampak sangat bergembira. “Tapi ia memang sudah lelah...,” terasa bergetar suara Soemardjono ketika menggumamkan kalimat mengenang sahabatnya sejak berpuluh tahun itu. “Tapi karena kami dididik secara militer, rasa lelah itu hampir tak tersirat. Yang tampil tetap fisik tegar.” Dan sekarang ia sudah boleh beristirahat. Sudah berbagai penghargaan di kantunginya, seperti Anugerah Seni tahun 1970 dari Pemerintah RI. Yang terbaru, Penghargaan Suryosumanto dan Dewan Film Nasional. Jebolan University of Southern California, AS, yang selalu tampil dengan rambut panjang diikat ini tetap ingin aktif di saat terakhir. Ia ingin menyemangati mahasiswanya, menularkan gairah. Ia berpidato, di tengah apel Sumpah Pemuda. Pidatonya tak selesai, memang. Tak pernah. Tapi ia mati dengan indah, dengan gagah, di tengah salah satu tugasnya.