1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang
sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat bagaikan fenomena gunung es.1 KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik (domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena KDRT terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupun ada juga korban justru sebaliknya) atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi .
1
Nawal El Saadawi, 2001, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, hal. 1-2
2
Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden). Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan gender-related violence.2 Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-Undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai Undang-Undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, Undang-Undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM,
2
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 16;
3
khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga. Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini Undang-Undang perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Korban KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap
4
anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti. Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan. 3 Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9% - 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007 11%. 4 KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak
3
Ninik Rahayu, Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga, http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/653-undang-undang-no-23-tahun-2004-tentangpenghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt.html, diakses pada tanggal 12 September 2012. 4 Ibid
5
berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur). 5 KDRT juga kerap terjadi di Kabupaten Banyumas, berdasarkan data Harian Pikiran Rakyat Kabupaten Banyumas masuk 10 besar di Jawa Tengah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selama 2009 tercatat ada 155 KDRT. Ironisnya hanya 45 korban yang ikut dalam daftar konseling oleh pihak terkait.6 Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Banyumas Tjutjun Sunarti, menjelaskan, Banyumas pada 2009 masih menduduki 10 besar di Jawa Tengah, dalam kasus berbasis jender dan anak. Pada bulan Januari Suara Merdeka melaporkan bahwa kejadian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Banyumas mengalami peningkatan. Menurut Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan KB (Bapermas PKB) Banyumas, Rozani Umdati, kemarin mengatakan hingga 21 Desember 2011 lalu tercatat 147 kejadian yang terlapor. 7 Hal ini juga menimpa Siti Hartati warga Purwojati, Kabupaten Banyumas. Pada hari Kamis tanggal 23 Febuari 2012 terdakwa yang bernama Suratno Alias Ratno suami Siti Hartati melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Terdakwa emosi dan melampiaskan emosinya dengan mencekik, membenturkan kepala korban, berusaha menusuk perut, dan menyayat leher sebelah kiri korban
5
Ibid NN, Minggu, 17/01/2010 - 14:03, Banyumas Masuk 10 Besar Kasus KDRT di Jateng, http://www.pikiran-rakyat.com/node/105551, diakses pada tanggal 12 September 2012. 7 NN, Suara Banyumas 06 Januari 2012, KDRT di Purwokerto Meningkat, http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/cetak/2012/01/06/172564/KDRT-d i-PurwokertoMeningkat 6
6
menggunakan pisau sebanyak satu kali, dan juga dibagian perut. Hal ini mengakibatkan Siti Hartati harus di rawat di rumah sakit. Kekerasan yang dilakukan Ratno yang telah divonis 2 tahun penjara berdasarkan Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt merupakan salah satu potret terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang perlu dikaji. Melalui kajian tersebut diharapkan dapat menambah referensi serta dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan dan tingkat pemahaman serta kesadaran masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya terkait dengan tindak pidana KDRT. Berdasarkan hal- hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut menjadi pendorong bagi penulis untuk melakukan penelitian guna penyusunan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTERI (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Perkara Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.)”.
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu
sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pembuktian unsur Pasal 44 ayat (2) UU No 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT
pada
Putusan Nomor :
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt? 2.
Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt ?
pada
7
C.
Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis pembuktian unsur Pasal 44 ayat (2) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
2.
Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt.
D.
Kegunaan Penelitian 1.
Kegunaan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan tindak pidana KDRT.
2.
Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi
serta
dapat
memberikan
informasi
dan
menambah
pengetahuan dan tingkat pemahaman serta kesadaran masyarakat Indonesia pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya terkait dengan tindak pidana KDRT.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hukum dan Tujuan Hukum Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa kehidupan dalam masyarakat yang
sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan, karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Ketertiban yang didukung oleh adanya tatanan ini pada pengamatan lebih lanjut ternyata terdiri dari berbagai tatanan yang mempunyai sifat-sifat yang berlain- lain. Sifat-sifat yang berbeda-beda ini disebabkan oleh karena norma-norma yang mendukung masing- masing tatanan itu tidak mempunyai sifat-sifat yang tidak sama. 8 Kumpulan dari suatu norma, nilai, sanksi dan peraturan yang membentuk suatu sistem dan saling mempengaruhi dapat disebut dengan suatu hukum. Hukum memaksa manusia karena memiliki sanksi yang tegas. Dalam melindungi masyarakatnya
Negara
menggunakan
hukum
untuk
mengatur
berbagai
kepentingan yang ada di dalam suatu negara. Norma atau kaidah mengandung makna bahwa perbuatan apa yang harus dilakukan dan mana perbuatan yang tidak boleh dilakukan di dalam masyarakat. Di belakang Norma terdapat Nilai atau Value ,nilai merupakan bagian dasar dari norma. Nilai yang mempengaruhi tingkah laku manusia karena nilai merupakan patokan atau ukuran suatu tingkah laku seperti kejujuran, kesetiaan, kesusilaan,
8
Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung. hal.13.
9
keindahan dan lainnya. 9 Adressat dari norma hukum adalah masyarakat, kepada merekalah norma-norma tertuju. Hukum dalam arti luas adalah mencakup segala peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan pengertian hukum dalam arti sempit adalah kumpulan peraturan tertulis, misalnya yang tercantum dalam kitab perundang-undangan. Hukum baik dalam arti yang luas maupun dalam arti yang sempit didalamnya mengandung nilai- nilai umum yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang untuk melaksanakan sesuatu hal serta berfungsi untuk melindungi hak atau kepentingan individu dari segala bentuk kesewenangwenangan dalam hubungannya sebagai mahluk sosial. Hukum diartikan oleh Aristoteles adalah Particular Law is that which each community lays down and aplies to its own member.Universal law is the law of nature. Sedangkan Grotius mengartikan hukum sebagai law of moral action obliging to that which is right.10
Cukup berbeda Meyer dalam bukunya DE
Algemene begrippen van het burgelijke recht mengartikan hukum sebagai semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa penguasa negara dalam melakukan tugasnya.11 Menurut Subekti hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya. 12 Sehingga wujud hukum adalah campur tangan Negara dalam mensejahterakan 9
CST Kansil ,Op. Cit Hal.83. Ibid., Hal.35 11 Ibid., Hal.36 12 Kansil, CST, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 41 10
10
kehidupan rakyatnya, dalam hal ini Subekti mengarahkan pada ketertiban dan keadilan. 13 Perspektif lain terhadap tujuan hukum dan campur tangan Negara dikatakan oleh Sri Rejeki Hartono. Beliau berpendapat bahwa asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari 3 asas yang dibutuhkan untuk pembinaan cita hukum. Dua asas yang lain yaitu asas keseimbangan dan asas pengawasan publik. 14 Kegiatan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat membutuhkan campur tangan negara mengingat tujuan dasar dari kegiatan ekonomi itu adalah untuk mencari keuntungan. Sasaran tersebut mendorong timbulnya berbagai penyimpangan bahkan kecurangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, bahkan semua pihak. Oleh karena itu, campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi secara umum untuk hubungan hukum yang terjadi dan tetap dalam batas-batas keseimbangan kepentingan semua pihak. Campur tangan negara dengan demikian bertujuan untuk menjaga kepentingan semua pihak dalam masyarakat, melindungi kepentingan produsen dan konsumen, dan melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum, terhadap kepentingan perusahaan dan pribadi. 15 Menurut
Mochtar
Kusuma
Atmaja
dalam
bukunya
Sudikno
Mertokusumo menyatakan bahwa tujuan pokok dan pertama hukum adalah ketertiban. Kebutuhan ketertiban ini adalah bahan dasar (fundamen) adanya masyarakat. Dan manusia yang teratur. Disamping mencapai terciptanya
13 14
Loc cit Sri Rejeki Hartono, 2000, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, hal.
13. 15
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 15.
11
ketertiban hukum juga bertujuan mencapai keadilan yang sangat tergantung ukuran masyarakat, tempat dan zamannya. 16 Hukum menjamin terciptanya ketertiban di dalam masyarakat, sehingga hukum memerlukan efek jera bagi pelanggar hukum. Hukum ada karena terciptanya kekuasaan yang sah. Sehingga yang dapat memberi dan memaksakan sanksi adalah penguasa dalam hal ini negara. 17 Menurut teori utilitis hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi umat manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greathes good of the greathes number). Menurut teori tersebut pada hakekatnya tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak. 18 Hal ini senada dengan Subekti yang pada dasarnya hukum harus menciptakan kebahagiaan, kebaikan dan keadilan dalam masyarakat. Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, keturunan, dan agamanya. Keadilan secara umum dikatakan sebagai pengakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Dengan kata lain, keadilan adalah bila setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama. 16
Ibid, hal. 68 Ibid, hal. 20 18 Ibid, hal 67 17
12
Menurut Aristoteles, yang dikutip dari bukunya Kansil 19 , membedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan “distributif” dan keadilan “komutatif”. “Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masingmasing).tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Sedangkan keadilan komulatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan komutatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat dengan perseorangan khusus. 20 Menurut Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik Sedangkan keadilan menurut Plato, diproyeksikan pada diri manusia sehingga yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal. 21 Adapun dalam
KUHAP terdapat landasan- landasan, salah satunya yaitu
Landasan filosofis. Landasan filosofis KUHAP adalah berdasarkan pancasila terutama yang berhubungan erat dengan Ketuhanan dan kemanusiaan. Menurut Yahya Harahap22 , Semua manusia tanpa kecuali adalah ciptaan Tuhan, yang kelahirannya di permukaan bumi semata- mata adalah kehendak dan rahmat Tuhan, mengandung arti bahwa : 1. 2.
19
Tidak ada perbedaan asasi diantara sesama manus ia. Sama-sama mempunyai tugas sebagai manusia untuk mengembangkan dan mempertahankan kodrat, harkat dan martabat sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
C. .S.T. Kansil, dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok -Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.5 20 Ibid., hal. 6 21 Loc.Cit. 22 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 20
13
3. 4.
Sebagai manusia mempunyai hak kemanusiaan yang harus dilindungi tanpa kecuali. Fungsi atau tugas apapun yang diemban oleh setiap manusia, hanya semata- mata dalam ruang lingkup menunaikan amanat Tuhan YME.
Keadilan dalam hukum secara harfiahnya mempunyai makna yang sempit yakni apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari- hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut.
B.
Tindak Pidana Dalam hukum pidana kita mengenal beberapa rumusan pengertian tindak
pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah "Strafbaarfeit". Sedangkan dalam perundang-undangan negara kita istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik. Melihat apa yang dimaksud di atas, maka pembentuk undang- undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan
istilah
yang
dipilihnya
sendiri.
Sudarto
menyebut
Staafbaarfeit dengan istilah tindak pidana, dengan unsur-unsur sebagai berikut : Perbuatan; 1) Perbuatannnya memenuhi rumusan undang-undang; 2) Bersifat melawan hokum;
14
Orang (Berupa Kesalahan / Pertanggungjawaban) ; 1) Mampu bertanggungjawab; 2) Tidak ada alasan pemaaf. 23 Sifat pidana sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir) menghendaki, apabila tidak perlu sekali hendak nya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Maka peraturan pidana yang mengancam pidana terhadap sesuatu perbuatan hendaknya dicabut, apabila tidak ada manfaatnya. Proses (pencabutan) ini merupakan persoalan dekriminalisasi (decriminalisering). 24 Sudarto menyatakan bahwa, sejalan dengan sifat pidana yang tidak enak itu, ialah melukai juga benda hukum orang yang dikenai (Rechtsguterverletzung), maka untuk mengenakannya perlu ada pembatasan, ada syarat-syarat atau jaminan (guarantees). Dengan demikian kita sampai pada problema kedua, ialah syaratsyarat untuk memungkinkan pengenaan pidana. Syarat-syarat ini ditetapkan oleh pembentuk Undang-Undang dan ilmu pengetahuan, sedang yang harus memperhatikan syarat-syarat ini dalam menghadapi persoalan yang konkrit adalah hakim, jaksa dan lain- lain. 25
C.
Kekerasan Kekerasan (violence) adalah ancaman atau penggunaan kekuatan fisik untuk
menimbulkan kerusakan pada orang lain. Berkaitan dengan kekerasan, teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak mempelajari perilaku baru melalui
23
Bambang Purnomo , Op. Cit., hal. 92 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 24. 25 Ibid., hal. 25. 24
15
pengamatan terhadap model, mengimitasi dan mempraktikkanya ke dalam perilaku nyata.
26
Kekerasan dalam berbagai bentuk menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat Indonesia yang hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nilai kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solideritasan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial. Kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solideritasan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial. 27
M. Marwan dan Jimy
menyatakan bahwa kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri keras yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain kerusakan fisik, atau barang atau paksaan. 28 Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan sebuah perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau yang bersifat bertahan (deffense) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Kekerasan (violence) menurut sebagian para ahli disebut sedemikian rupa sebagai tindakan yang mengakibatkan terjadinya kerusakan baik fisik ataupun psikis adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu kekerasan adalah sebagai suatu bentuk kejahatan. 29
26
NN, Teori Kekerasan, http://siar.endonesa.net/utty/2008/10/31, diakses pada tanggal 09
Juli 2010. 27
M. Magfur, 2003, Anatomi Kekerasan Manusia Antara Entitas Mencinta dan Kematian, dalam Pemikiran Pekikiran Revolusioner, QAverroes Press, Malang, hal. 223 28 M. Marwan dan Jimmy P. 2009, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, hal.343 29 Thomas Santos (ed). Teori-Teori Kekerasan. PT. Ghalia, Indonesia, Jakarta, 2002. hal. 11.
16
Dalam pandangan klasik suatu tindak kekerasan (violence) menunjukan kepada tingkah laku yang pertama-tama harus bertentangan dengan undangundang, baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap harta benda atau fisik atau dapat mengakibatkan kematian pada seseorang, defenisi sangat luas sekali karena menyangkut pula perbuatan “mengancam” di samping suatu tindakan nyata. Namun demikian kekerasan dilihat dari persfektif kriminologi, kekerasan ini menunjukan kepada tingkah laku yang berbeda-beda baik motif maupun mengenai tindakannya seperti perkosaan dan pembunuhan. 30 Istilah kekerasaan digunakan oleh John Conrad dengan istilah “Criminally Violence”, sedangkan Clinard & Quenney menggunakan istilah”Criminal violence”, di Columbia istilah kekerasan dikenal dengan “La Violencia”. Kejahatan kekerasan oleh Yesmil Anwar diartikan sebagai: “....Penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak...”. 31 Berkaitan dengan masalah kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Bahkan ia telah membentuk suatu ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan 30
Romli Atmasasmitha. Teori & Kapita Selekta Kriminologi.PT. Eresco, Bandung, 1992,
hal. 55. 31
Ibid., hal.57.
17
seriusnya kejahatan semacam ini. Dengan demikian pada gilirannya model kejahatan ini telah membentuk persepsi yang khas di kalangan masyarakat. Dalam kamus bahasa Indonesia kekerasan diartikan dengan: “...Perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan. Menurut penjelasan ini, kekerasaan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai...”. 32 Mansour Faqih pengertian kekerasaan adalah : “...ada objek fisik maupun psikologis, hanya saja titik tekannya pada bentuk penyerangan secara fisik seperti melukai atau menimbulkan luka, cacat atau ketidaknormalan pada fisik-fisik tertentu...”. 33 Dapat pula yang terjadi adalah kekerasaan fisik, namun berdampak lebih lanjut pada aspek psikologis. Orang yang menjadi korban kekerasan fisik dapat juga mengalami penderitaan psikologis yang cukup parah seperti stress dan kemudian memilih jalan bunuh diri. Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasaan itu merupakan wujud pelanggaran hak-hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi ditengah masyarakat misalnya berakibat bagi kerugian orang lain. Kerugian yang menimpa sesama secara fisik maupun non- fisik inilah yang dikategorikan sebagai pelanggaran hakhak asasi manusia.
32 Yesmil Anwar. Saat Menuai Kejahatan, Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi, Hukum. UNPAD Press, Bandung, 2004, hal. 54. 33 Abdul Wahid dan Moh. Irvan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasaan Seksual, Refika Aditama, Bandung, 2001, hal. 30.
18
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa, kekerasan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik ataupun psikis adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, ia merupakan suatu kejahatan. Dengan pola pikir tersebut, maka istilah kekerasan atau violence semakin jelas, kekerasan ini dapat berarti kejahatan jika bertentangan dengan undang-undang. 34 Kejahatan kekerasan di atas adalah dapat digolongkan kepada kejahatan kekerasan individual (perseorangan), sedangkan yang termasuk kepada kejahatan kolektif (kelompok) adalah perkelahian massa, perkelahian natara gang remaja yang menimbulkan akibat kerusakan harta benda atau luka- luka berat atau kematian. Tingkah laku kekerasan yang dilakukan secara individual menurut John Conrad dapat dikelompokan kedalam 9 kelompok, yakni sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
D.
Kekerasan yang dipengaruhi oleh faktor budaya ; Kekerasan yang dilakukan dalam rangka kejahatan; Kekerasan patologis ; Kekerasan situasional; Kekerasan yang tidak disengaja; Kekerasan Institusional; Kekerasan Birokratis; Kekerasan teknologis ; Kekerasan diam. 35
Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1.
Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Perempuan
dan juga anak sebagai korban utama dalam KDRT, mutlak memerlukan perlindungan hukum. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan,
34 35
Romli Atmasasmita. Op. Cit., hal.55. Thomas Santos, Op. Cit., hal. 15.
19
terutama KDRT, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. 36 Kekerasan (violence) mempunyai makna sebagai “serangan atau penyalahgunaan kekuatan secara fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan penghancuran, pengrusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang. 37 Berdasarkan atas uraian tentang kekerasan diatas, kekerasan tidak hanya meliputi pencurian, perampokan, penganiayaan dan pembunuhan akan tetapi juga secara psikologis dengan ancaman, tekanan dan sejenisnya yang dilakukan untuk menghasilkan akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir seseorang. Kekerasan psikologis biasanya dilakukan melalui rekayasa bahasa yang berupa stigmastigma. Perbuatan seperti : menghina, mengancam atau menakut- nakuti sebagai upaya dan sarana untuk memaksakan kehendak mengisolasi istri/anak dari dunia luar. Tindakan ini semua bertujuan untuk menekan emosi korban dan menjadi penurut, selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal. Akibatnya korban selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut. 38
36
Nursyahbani Katjasungkana, 1999, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Perempuan, Jurnal Perempuan Edisi No.9, November 1999, hal. 34. 37 Tubagus Nitibaskara, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kriminologi: Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta, hal. 90. 38 Ibid., hal. 91.
20
Arif Gosita 39 memberikan definisi mengenai KDRT, menurutnya KDRT adalah : Berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial pada para anggota keluarga. (anak, menantu, ibu, istri, dan ayah, atau suami). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, memberikan penjelasan apa yang dimaksudkan tindak kekerasan, yakni: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. dengan pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam satu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu. Jadi bisa saja tidak hanya hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah atau atau bahkan seorang pekerja rumah tangga menjadi pihak yang perlu dilindungi. Selama ini seringkali kita mendengar atau membaca di koran, tv atau radio bahwa pembantu sering menjadi korban kekerasan. Kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga tersebut seringkali diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun pada prakteknya
39
Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan Edisi 2, Akademika Presindo, Jakarta, hal. 269.
21
hal itu menjadi tidak terlihat karena memang status mereka yang rentan mendapatkan perlakuan-perlakuan kekerasan. 40
2.
Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga menentukan lingkup rumah tangga dalam undang- undang ini meliputi : a. b.
c.
Suami, isteri, dan anak; Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenangwenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga). 41
40
Vony Reynata, 2002, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Institut Perempuan, Bandung,
hal. 13. 41
Deklarasi PBB, 2000, Tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Kepada Perempuan, Washington DC, hal. 2.
22
Kemudian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) menetapkan bahwa : “Dasar perkawinan adalah adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini berarti rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para anggotanya karena keluarga dibangun oleh suami istri atas dasar ikatan lahir batin diantara keduanya. Selain itu juga, menurut Pasal 33 Undang-Undang Perkawinan bahwa : “Antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” Bahkan suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan berumah tangga dan pergaulan hidup di dalam masyarakat serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah : a. b.
Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
23
3.
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu : a.
b.
c.
d.
Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, ge las, tempat bunga dan lain- lain, serta berlaku kasar. Kekerasan psikologis, berupa ucapan kasar, jorok, dan yang berkonotasi meremehkan dan menghina, mendiamkan, menteror baik secara langsung maupun menggunakan media tertentu, berselingkuh, dan meninggalkan pergi tanpa kejelasan dalam waktu lama dan tanpa tanggung jawab. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis, maupun ekonomis.42
Dengan mengacu pada Pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud : a. b.
c.
42
Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,atau luka berat; Kekerasan Psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang; Kekerasan seksual yang meliputi : pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu;
Ratna Batara Munti, 2000, Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK, Jakarta, hal. 36.
24
d.
Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/ atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. 43
Kekerasan dalam rumah tangga yang cenderung terjadi adalah kekerasan fisik dan kekerasan seksual karena pembuktiannya lebih mudah yaitu berupa hasil visum. Selain itu yang sering juga mendapat pengaduan adalah adanya penelantaran dalam rumah tangga. Sedangkan pengaduan terhadap kekerasan psikis jarang terjadi karena pembuktian terhadap kekerasan psikis cukup sulit, tidak dapat terlihat dalam visum dan hanya dirasakan oleh korban saja. Berdasarkan macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.
4.
Sanksi Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Andi Hamzah44 , ahli hukum Indonesia membedakan istilah
hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf.
43
Istilah hukuman45 adalah istilah umum yang dipergunakan untuk
Muhadar, Edi Abdullah, dan Husni Thamrin, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 80. 44 Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 27. 45 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, hal. 20.
25
semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, harus lebih dahulu tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut dengan nullum crimen sine lege, yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. 46 Menurut Van Hamel menyatakan bahwa : “een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.” Artinya : Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata- mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. 47 Menurut Simons pidana ialah: “Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm verbonden, dat aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” Artinya: suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, 46
Van Bemmelen, 1987, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum, Binacipta, Bandung, hal. 17. 47 Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 34.
26
yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 48 Semua hukum pidana materiil/substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan (the sentencing system). L.H.C Hulsman mengemukakan pengertian sistem pemidanaan sebagai : aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statory rules relating to penal sanctions and punishment).49 Dari pengertian di atas Barda Nawawi Arief memberikan pengertian oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian : a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan; b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana ; c. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana; d. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum
pidana
itu
ditegakkan
atau
dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). 50
48
Ibid., hal. 35. Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia , Studi Tentang Bentuk -Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 18. 50 Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi I), hal. 136. 49
27
Berdasarkan hasil penelitian Muladi, pemidanaan mempunyai tujuan integratif
yaitu
masyarakat,
perlindungan
pencegahan
pengimbangan.
Teori
masyarakat,
umum
integratif
dan
pemeliharaan
khusus,
memungkinkan
solidaritas
dan
pengimbalan/
untuk
mengadakan
artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, ya ng secara terpadu diarahkan untuk mengatasi dampak individual dan sosial yang ditimbulkan oleh tindak pidana atas dasar kemanusiaan dalam sistem Pancasila. Kombinasi tersebut mencakup seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi oleh setiap penjatuhan sanksi pidana. Ini selaras dengan kondisi filosofis, sosiologis, dan ideologis masyarakat Indonesia. 51 Ada 4 tujuan pemidanaan dalam teori pemidanaan integratif : a.
Memberikan perlindungan masyarakat Pengertian perlindungan masyarakat mengarah pada semua keadaan yang mendukung agar masyarakat terlindung dari bahaya pengulangan tindak pidana. Tujuan ini merupakan tujuan setiap pemidanaan. 52
b.
Pemeliharaan solidaritas masyarakat Pemeliharaan solidaritas mengarah pada upaya penegakkan adat istiadat atau kebiasaan masyarakat dan pencegahan balas dendam perseorang atau balas dendam tidak resmi (private revenge or unofficial retaliation) terhadap penjahat. Selain itu,
51
Muladi, 1996, Kapita Seleksi Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 11. 52 Ibid.,hal. 84.
28
solidaritas masyarakat seringkali dikaitkan dengan kompensasi terhadap korban kejahatan berupa ganti kerugian. c.
Sarana pencegahan umum dan pencegahan khusus Pencegahan umum ditujukan kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan pencegahan khusus ditujukan agar pelaku tindak pidana yang sudah dijatuhi pidana tidak melakukan tindak pidana lagi di kemudian hari. Muladi menyebutkan, bahwa dalam pencegahan khusus mencakup 3 faktor utama, yaitu tipologi kejahatan, karakteristik pelaku kejahatan, kepastian dan kecepatan hukum. 53
d.
Pengimbalan/ Pengimbangan Pengertian pengimbalan/ pengimbangan adalah diperlukannya keseimbangan antara perbuatan pidana dengan pidana yang dijatuhkan. Hal ini perlu diperhatikan dalam setiap tahap pembinaan.
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana ada beberapa jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoort), yaitu : a.
Sistem Perumusan Tunggal/ Imperatif Sistem
perumusan
jenis
sanksi
pidana
/strafsoort
bersifattunggal/ imperatif adalah sistem perumusan dimana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang
53
Ibid., hal. 85
29
bersangkutan. Untuk itu, sistem perumusan tunggal ini dapat berupa pidana penjara saja, kurungan saja ataupun juga pidana denda saja. Dilihat dari sudut penetapan jenis pidana, maka jenis perumusan tunggal ini merupakan peninggalan atau pengaruh yang sangat menyolok dari aliran klasik. Aliran ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku. Dengan sifatnya yang demikian, maka aliran ini pada awalnya timbulnya sama sekali tidak memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. 54 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sistem perumusan ancaman pidana tunggal jelas merupakan sistem definite sentence, khususnya dilihat dari sudut jenis pidana. Pada asasnya, sistem perumusan tunggal sebenarnya oleh kebijakan formulatif hendaknya harus dihindari karena sifatnya “imperatif”. Apabila dijabarkan lebih terperinci, maka sistem perumusan tunggal/imperatif mempunyai dimensi dimana kelemahan utamanya adalah bersifat sangat kaku karena bersifat “mengharuskan”. Aspek ini secara tajam diprediksi oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut : “Jadi hakim dihadapkan pada suatu jenis yang pasti “definite sentence“ dan sangat mekanik, karena mau tidak mau Hakim seolah-olah harus menetapkan pidana penjara secara otomatis.
54
Sudarto, Op. Cit., hal. 55.
30
Hakim tidak diberi kesempatan dan kelonggaran untuk menentukan jenis pidana lain yang sesuai untuk terdakwa. Mengamati karakteristik yang demikian (yaitu bersifat “kaku, imperatif, difenite dan mekanik/otomatik”), jelas terlihat bahwa sistem demikian merupakan bukti dari adanya peninggalan atau pengaruh yang sangat menyolok dari aliran klasik. Sebagaimana dimaklumi aliran klasik ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat subjektif si pelaku dan tidak memberi kebebasan kepada hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan.”55 Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief kelemahan lainnya dari sistem perumusan tunggal ialah : “Sulitnya menentukan ukuran yang rasional mengapa suatu tindak pidana itu hanya diancam dengan pidana penjara saja, sedangkan yang lainnya tidak. Mengapa misalnya untuk pencurian dan penggelapan (Pasal 362 dan 372 KUHP) diancam secara alternatif dengan pidana “penjara atau denda”, sedangkan untuk penipuan dalam Pasal 378 yang juga merupakan kejahatan terhadap harta benda hanya diancam dengan pidana penjara saja. 56 Akan tetapi walaupun sistem perumusan tunggal mempunyai kelemahan utama tidaklah berarti sistem demikian tidak dapat diterapkan. Apabila sistem perumusan tunggal tetap digunakan, maka untuk menghindari sifat kaku tersebut tentu harus ada pedoman untuk hakim dalam hal menetapkan sistem perumusan tunggal itu menjadi lebih fleksibel, lunak dan elastis. Konkretnya adanya keleluasaan
55 56
Barda Nawawi, Op.cit, h. 259. Ibid., hal. 176
31
hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara yang ditetapkan secara tunggal tersebut. Apabila dilihat pedoman yang demikian adanya penggantian dengan jenis pidana lain yang lebih ringan, sistem tunggal itu seolah-olah dapat diterapkan sebagai sistem alternatif, dan apabila hakim dapat menambah atau memperberat jenis pidana yang ditetapkan secara tunggal itu dengan jenis pidana lainnya sehingga seolah-olah sistem tunggal itu dapat juga diterapkan seperti sistem kumulatif. a.
Sistem perumusan alternatif Dari aspek pengertian dan substansinya sistem perumusan
alternatif adalah sistem dimana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya berdasarkan urutanurutan jenis sanksi pidana dari terberat sampai teringan. Dengan demikian hakim diberi kesempatan memilih jenis pidana yang dicantumkan dalam pasal bersangkutan. Pada umumnya perumusan alternatif bertitik tolak pada aspek : 1)
hendaknya pemilihan jenis pidana tersebut berorientasi kepada “tujuan pemidanaan”, dan
2)
hendaknya harus mengutamakan/ mendahulukan jenis pidana yang lebih ringan apabila pidana yang lebih ringan tersebut telah sesuai dengan tujuan pemidanaan.
b.
Sistem perumusan kumulatif
32
Sistem perumusan kumulatif mempunyai ciri khusus yaitu adanya ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan” seperti “pidana penjara dan denda”. Bila dianalisis lebih lanjut, sebenarnya sistem perumusan kumulatif identik dengan sistem perumusan tunggal karena bersifat “imperatif”, sangat kaku dan “mengharuskan” hakim menjatuhkan pidana. Tegasnya, tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih penerapan pidana yang dianggap paling cocok dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa karena hakim dihadapkan kepada jenis pidana yang sudah pasti (definite sentence). Walaupun demikian sistem
perumusan
kumulatif
apabila
dipertajam
polarisasi
pemikirannya ternyata juga mempunyai beberapa kebaikan, yaitu : a.
memberi kepastian hukum kepada terdakwa bahwa pemidanaannya
mengacu
kepada
pidana
kumulatif
tersebut, dan b.
memberikan pidana yang lebih memberatkan kepada pelaku/ daders tindak pidana secara menggeneralisir tanpa melihat perbuatan tersebut kasus per kasus.
c.
Sistem perumusan kumulatif- alternatif Ditinjau dari terminologinya maka sistem perumusan kumulatif-
alternatif mengandung dimensi-dimensi sebagai berikut : a.
Adanya
dimensi
perumusan
kumulatif.
Aspek
ini
merupakan konsekuensi logis materi perumusan kumulatif adanya ciri khusus kata “dan” di dalamnya;
33
b.
Adanya dimensi perumusan alternatif di dalamnya
c.
Adanya dimensi perumusan tunggal di dalamnya
Aspek ini tercermin dari sistem perumusan kumulatif-alternatif dengan adanya kata “dan/atau”. Dari konteks ini adanya eksistensi perumusan tunggal dimana pada kebijakan aplikatifnya hakim dapat/ harus memilih salah satu jenis pidana tersebut. Sistem perumusan ini paling banyak yang memuat ancaman pidana “penjara dan/atau denda”. Apabila diperbandingkan dengan sistem perumusan yang terdahulu nampaknya kumulatif-alternatif ini relatif cukup significant, yaitu : 1)
Bahwa sistem perumusan kumulatif-alternatif secara substansial juga meliputi sistem perumusan tunggal, kumulatif dan alternatif sehingga dengan eksplisit dan implisit telah menutupi kelemahan masing- masing sistem perumusan tersebut.
2)
Bahwa sistem perumusan kumulatif-alternatif merupakan pola sistem perumusan yang secara langsung adalah gabungan bersirikan nuansa kepastian hukum (rechtszekerheids) dan nuansa keadilan; dan
3)
Karena merupakan gabungan antara nuansa keadilan dan kepastian hukum (rechts-zekerheids) maka cirri utama sistem perumusan ini di dalam kebijakan aplikatifnya bersifat fleksibel dan akomodatif.
34
Ilmu pengetahuan Hukum Pidana juga mengenal ampat sistem perumusn lamanya sanksi pidana (strafmaat) yaitu : a.
Sistem fixed/definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti.
b.
Sistem indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum.
c.
Sistem indeterminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum pidana sehingga badan pembuat umdang-undang menyerahkan sepenuhnya kebijakan (diskresi) pidana kepada aparat pelaksana pidana yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu.
d.
Sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum/maksimum lamanya ancaman pidana.
Kebijakan formulatif terhadap jenis sistem perumusan sanksi pidana (strafsoot) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) tersebut akhirnya bermuara pada bagaimana cara pelaksanaan pidana (strafmodus), jadi
dari
sudut
sistem
pembinaannya
(treatment)
dan
kelembagaannya/institusinya. Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan fisik, cukup tinggi seperti yang diatur dalam Pasal 44. Pelaku kekerasan fisik diancam pidana penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Bila mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat dikenai
35
pidana penjara maksimal sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Bagi pelaku kekerasan seksual tidak luput dari ancaman hukuman penjara paling lama dua belas tahun dan maksimal denda Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Lain halnya apabila kekerasan seksual dilakukan dengan tujuan komersial dan atau tujuan tertentu, ancaman pidannya penjara paling singkat empat tahun dan paling lama lima belas tahun atau denda minimal Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan denda maksimal Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Lain lagi halnya dengan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak akan sembuh, gangguan pikiran atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama empat minggu terus menerus atau satu tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Pasal 46 – Pasal 48). Demikian juga akan dikenakan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) bagi pelaku penelantaran rumah tangga (Pasal 49). Tindakan tersebut apabila tidak memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang yang ada dalam lingkup rumah tangganya. Hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
36
dan/atau melarang bekerja yang layak sehingga korban berada dibawah kendali pelaku.
5.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut juga dengan
gender-related violence
mempunyai macam dan bentuk kejahatan,
diantaranya : Pertama, bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan di dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini sering kali tidak bisa diungkapkan karena berbagai faktor, misalnya rasa malu, ketakutan, dan keterpaksaan, baik ekonomi maupun kultural. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence), termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ vital kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap negara dan masyarakat selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual ini. Di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkap mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Selain itu, masyarakat selalu memandang rendah pelacur sebagai sampah masyarakat sementara tempat kegiatan mereka selalu ramai dikunjungi orang, terutama laki- laki. Kelima, kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi termasuk kekerasan non fisik berupa pelecehan terhadap kaum perempuan karena tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program
37
tersebut meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya bukan saja pada perempuan, melainkan berasal dari kaun laki- laki juga. Ketujuh, kekerasan terselubung (molestation) berupa memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan atau di tempat umum. Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan masyarakat adalah pelecehan seksual. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual sangat relatif karena sering tindakan tersebut merupakan usaha untuk bersahabat, tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat karena tindakan tersebut merupakan hal tidak menyenangkan bagi perempuan. 57 Ada beberapa penyebab yang menjadi asumsi terjadinya kekerasan terhadap perempuan : a.
b.
Adanya persepsi tentang sesuatu dalam benak pelaku, bahkan seringkali yang mendasari tindak kekerasan ini bukan sesuatu yang dihadapi secara nyata. Hal ini dibuktikan dengan realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa pelaku telah melakukan tindakan kekerasan tersebut tanpa suatu alasan yang mendasar. Alasan yang disampaikan pelaku hampir selalu hanya didasarkan bahwa dirinya atau permainan bayang-bayang pikirannya saja, bahkan tidak jarang dia justru mengingkari telah berbuat jahat dan tidak terhormat. Lebih lagi jika pelaku menganggap tindakannya tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mesum atau perkosaan misalnya. Sehingga ketika dihadap jaksa dia menolak tuduhan bahwa dia telah melakukan perkosaan. Hukum yang mengatur tindak kekerasan terhadap perempuan masih bias gender. Seringkali hukum tidak berpihak kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan. Ketidakberpihakan tersebut tidak saja berkaitan dengan substansi hukum yang kurang memperhatikan kepentingan perempuan atau si korban, bahkan justru belum adanya substansi hukum yang mengatur nasib bagi korban kekerasan, yang umumnya dialami perempuan. 58
57 Mansour Fakih, 1999, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 12. 58 Zaitunah Subhan, 2004, Kekerasan terhadap Perempuan, PT. Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta, hal. 14-15.
38
Rika Saraswati melalui hasil penelitiannya di Rifka Annisa Women’s Crisis Centre Yogyakarta, bahwa terjadinya kekerasan dalam rumah tangga karena faktor gender dan patriarki, relasi kuasa yang timpang, dan role modeling (perilaku hasil meniru). 59 Gender dan patriarki akan menimbulkan relasi kuasa yang tidak setara karena laki- laki dianggap lebih utama daripada perempuan berakibat pada kedudukan suami pun dianggap mempunyai kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya termasuk istri dan anak-anaknya. Anggapan bahwa istri milik suami dan seorang suami mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada anggota keluarga yang lain menjadikan laki- laki berpeluang melakukan kekerasan. Sementara itu Aina Rumiati Azis menambahkan faktor cara pandang atau pemahaman terhadap agama yang dianut. Berikut faktor- faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang dikemukakan oleh Aina Rumiati Azis : a. b. c.
Budaya patriarki yang mendudukan laki- laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk interior. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama sehingga menganggap laki- laki boleh menguasai perempuan. Peniruan anak laki- laki yang hidup bersama ayah yang suka memukul, biasanya akan meniru perilaku ayahnya. 60
Realita kekerasan terhadap perempuan yang mengalami peningkatan setiap tahun mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga dengan pelaku suami. Jika
59
Rika Saraswati, Op.cit, hal. 20.
60
Rika Saraswati, Op.cit, hal. 20.
39
setiap lapisan masyarakat tidak berupaya memutus rantai kekerasan mulai dari sekarang dikhawatirkan hal ini akan merusak generasi penerus bangsa. Sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan setelah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala bentuk diskriminasi terhadap wanita melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984, pemerintah membentuk Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Fathul Djannah lebih memperinci faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut : a.
b. c.
d.
e.
f.
Kemandirian ekonomi istri. Secara umum ketergantungan istri terhadap suami dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian karena kemandirian istri juga dapat menyebabkan istri menerima kekerasan oleh suami. Karena pekerjaan istri. Istri bekerja di luar rumah dapat menyebabkan istri menjadi korban kekerasan. Perselingkuhan suami. Perselingkuhan suami dengan perempuan lain atau suami kawin lagi dapat melakukan kekerasan terhadap istri. Campur tangan pihak ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak suami, terutama ibu mertua dapat menyebabkan suami melakukan kekerasan terhadap istri. Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Karena kebiasaan suami, dimana suami melakukan kekerasan terhadap istri secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan Adapun faktor dominan yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah faktor ekonomi, dimana penghasilan istri lebih besar daripada suami. Hal ini menyebabkan sang istri menuntut banyak terhadap suami karena menganggap dirinya sebagai istri lebih mampu. Dalam hal ini istri yang adalah korban karena ketidak mampuannya mengendalikan kata-kata sehingga menyinggung suami juga berperan dalam terjadinya KDRT. Sehingga suami yang selalu mengalah akhirnya
40
terpancing emosinya dan terjadilah kekerasan fisik terhadap istri. 61 Faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang oleh Istiadah diringkas sebagai berikut :62 a.
Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. Jika sudah demikian halnya maka ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri akan selalu menjadi akar dari perilaku keras dalam rumah tangga. b.
Ketergantungan ekonomi. Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadanya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-
61
Fathul Djannah, 2002, Kekerasan terhadap Istri, LKIS, Yogyakarta, hal. 51. Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam, Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP, Jakarta, hal. 18. 62
41
anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenangwenang kepada istrinya. c.
Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik. Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya. d.
Persaingan Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama
kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami
42
tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang. e.
Frustasi Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frutasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang : belum siap kawin, suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga, masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami. Dengan
43
demikian faktor pendorong terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dapat disebabkan oleh adanya berbagai faktor baik faktor dari luar atau lingkungan dan juga adanya faktor dari dalam diri pelaku sendiri. Mereka yang tidak tergolong memiliki tingkah laku agresif dapat melakukan tindak kekerasan bila berhadapan dengan situasi yang menimbulkan
frustasi
misalnya
kesulitan
ekonomi
yang
berkepanjangan, penyelewengan suami atau istri, keterlibatan anak dalam kenakalan remaja atau penyalahgunaan obat terlarang dan sebagainya. Faktor lingkungan lain seperti stereotype bahwa laki- laki adalah tokoh yang dominan, tegar dan agresif. Adapun perempuan harus bertindak pasif, lemah lembut dan mengalah. Hal ini menyebabkan banyaknya kasus tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami.
Kebanyakan
istri
berusaha
menyembunyikan
masalah
kekerasan dalam keluarganya karena merasa malu pada lingkungan sosial dan tidak ingin dianggap gagal dalam berumah tangga. Berdasarkan beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga seperti yang telah disebutkan di atas faktor yang paling dominan adala budaya patriarki dimana kedudukan laki- laki dianggap lebih tinggi dari kedudukan perempuan. Budaya patriarki ini mempengaruhi budaya hukum masyarakat.
44
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jaalan
ke”, namun demikian menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut : 1.
Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2.
Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan
3.
Caratertentu melaksanakan suatu prosedur. 63
Metode sangatlah berkaitan dengan suatu penelitian atau suatu pencarian ilmu pengetahuan baru. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisasnya. 64 Jenis penelitian hukum ada berbagai macam, dalam hal ini penulis memilih penelitian hukum normatif. Menurut Johnny Ibrahim, bahwa penelitian hukum normatif ini adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan norma- norma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan 63
Soerjono Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, hal. 5 64 Ibid., hal. 43.
45
kajian guna memecahkan problem hukum faktual yang di hadapi masyarakat, maka tidak ada jalan lain berkena lan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis dan mengandalkan penelitian hukum normatif. 65 Penelitian hukum normatif dipilih guna untuk mengetahui dan menganalisis penerapan Pasal 44 ayat 2 UU No 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT
pada
Putusan Nomor :
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Selain itu juga digunakan untuk mengkaji apakah Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt telah memenuhi rasa keadilan menurut hukum.
B.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang
menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti. 66 Peneliti dalam hal ini akan menggambarkan mengenai penerapan Pasal 44 ayat 2 UU No 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT
pada
Putusan Nomor :
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Selain itu juga menggambarkan apakah Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt telah memenuhi rasa keadilan menurut hukum.
C.
Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dapat dibedakan :
65
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Surabaya, Cet. Ke-II, hal. 73 66 Ibid., hal.16.
46
a.
Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan, risalah, putusan hakim dan yurisprudensi. 67 Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunkan antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. 68 Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
D.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan studi
kepustakaan atau studi dokumen. Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi dari bahan pustaka kemudian dicatat berdasarkan
67
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakart, hal. 42 68 Ibid., hal. 143
47
relevansinya dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh.
E.
Metode Penyajian Data Data-data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian teks
naratif yang disusun secara sistematis. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F.
Analisis Data Analisis
data
merupakan
suatu
proses
pengorganisasian
dan
mengurutkan data pada suatu pola kategori dan satuan. Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar. 69 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan cara kualitatif yakni dengan mempelajari, menganalisis dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
69
Lexy Moleong, 1999, Metode Penelitian Kwalitatif, Remaja Rosdakarya, Cet.ke. 10, Bandung, hal. 103.
48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian 1.
Duduk Perkara Terdakwa SURATNO Alias RATNO Bin SUDIARJO pada hari
Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekira jam 08.30 WIB setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2012 bertempat di rumah saksi korban Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa dan mengadili yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa. Terdakwa adalah suami sah dari saksi korban Siti Hartati yang telah menikah sesuai kutipan akta nikah no. 82.20/IV/2003 tanggal 23 April 2003 Kecamatan Purwojati. Awalnya pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB, pada saat saksi korban selesai mandi dan berpakaian, tiba-tiba terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar sambil mengatakan “sini saya mau ngomong” dan saksi korbanpun mengikuti terdakwa masuk ke kamar, setelah berada di kamar terdakwa dan saksi korban duduk berhadapan diatas tempat tidur. Dan terdakwa menanyakan kepada saksi korban “sebenarnya ibu masih sayang atau tidak sama bapak ?.” Dan saksi korban hanya diam saja sampai terdakwa
49
menanyakan berkali-kali kepada saksi korban dan akhirnya saksi korban menjawab “tidak” setelah itu terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher saksi korban kemudian terdakwa langsung membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali dengan posisi saksi korban masih duduk diatas tempat tidur. Kemudian saksi korban berusaha melepaskan cekikan tangan terdakwa dan tangan terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi korban namun, saksi korban merebut pisau tersebut namun tidak berhasil dan terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban dan kepala saksi korban ditutup dengan bantal lalu terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban dengan menggunakan pisau sebanyak 1 kali, lalu bagian perut sebanyak 1 kali, lalu saksi korban berusaha membrontak dan berteriak minta tolong. Saksi Dwi Ismanto dan saksi Tris yang sebelumnya diberitahu oleh saksi parsyah pembantu saksi korban yang meminta bantuan kemudian datang, lalu saksi Dwi Ismanto mendobrak pintu kamar yang dalam kondisi terkunci setelah berhasil dibuka saksi Tris dan saksi Dwi Ismanto melihat terdakwa sedang memegang pisau dan saksi korban dalam keadaan lemas dan berlumuran darah kemudian saksi korban dibawa ke Puskesmas Purwojati oleh saksi Tris sebagai pertolongan awal. Kemudian terdakwa
50
berikut barang bukti diamankan oleh pihak Kepolisisn guna pemeriksaan lebih lanjut. Berdasarkan Vitsum Et Repertum dari Rumah sakit Umum Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang ditandatangani oleh dokter pemeriksa Dr. Agus Budi Setiawan SpBS pada tanggal 14 Maret 2012 dari hasil pemeriksaan telah diperiksa seorang perempuan pada pemeriksaan ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, ditemukan luka memar pada leher akibat trauma tumpul, ditemukan bacok pada bahu kiri, leher belakang dan pinggang kiri serta luka tangkis pada telapak tangan akibat trauma tajam. Ditemukan pula tanda-tanda memar otak, akibat luka tersebut korban tidak bisa melakukan aktifitas mata pencahariannya selama beberapa waktu.
2.
Bentuk Dakwaan Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan
Dakwaan tunggal sebagai yaitu Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Lingkup Rumah Tangga.
51
3.
Pembuktian a.
Keterangan Saksi Saksi Siti Hartati Ø
Saksi pernah diperiksa di Penyidik dan keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan sudah benar semua ;
Ø
Hubungan saksi dengan Terdakwa adalah suami istri sesuai dengan kutipan akta nikah no. 82.20/IV/2003 tanggal 23 April 2003 Kecamatan Purwojati dan mempunyai 2 (dua) orang anak.
Ø
Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada saksi korban di rumah saksi korban Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas ;
Ø
Awalnya pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB, pada saat saksi korban selesai mandi dan berpakaian, tiba-tiba terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar sambil mengatakan “sini saya mau ngomong” dan saksi korbanpun mengikuti terdakwa masuk ke kamar, setelah berada di kamar terdakwa dan saksi korban duduk berhadapan diatas tempat tidur. Dan terdakwa menanyakan kepada saksi korban “sebenarnya ibu masih sayang atau tidak sama
52
bapak ?.” Dan saksi korban hanya diam saja sampai terdakwa menanyakan berkali-kali kepada saksi korban dan akhirnya saksi korban menjawab “tidak” setelah itu terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher saksi korban kemudian terdakwa langsung membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali dengan posisi saksi korban masih duduk diatas tempat tidur. Ø
Saksi korban berusaha melepaskan cekikan tangan terdakwa dan tangan terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi korban;
Ø
Saksi korban merebut pisau tersebut namun tidak berhasil dan terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup;
Ø
Terdakwa menindih tubuh saksi korban dan kepala saksi korban ditutup dengan bantal lalu terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban dengan menggunakan pisau sebanyak 1 kali, lalu bagian perut sebanyak 1 kali;
Ø
Saksi korban berusaha membrontak dan berteriak minta tolong;
53
Ø
Terdakwa
selama
menikah
dengan
saksi
korban
hubungannya harmonis namun setelah 3 (tiga) bulan terakhir sering terjadi perselisihan dikarenakan terdakwa kurang perhatiaan karena faktor ekonomi; Ø
Terdakwa selama pernikahan baru kali ini melakukan kekerasan kepada saksi korban;
Ø
Setelah kejadian, saksi korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Margono selama 5 (lima) hari dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari;
Ø
Saksi membenarkan barang bukti di persidangan.
Saksi Parsiyah ; Ø
Saksi pernah diperiksa di Penyidik dan keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan sudah benar semua ;
Ø
Saksi selaku pembantu yang bekerja di rumah saksi korban selama 10 (sepuluh) tahun;
Ø
Hubungan saksi korban Siti Hartati dengan Terdakwa adalah suami istri yang menikah selama kurang lebih 10 (sepuluh) tahun dan mempunyai 2 (dua) orang anak;
Ø
Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada saksi korban Siti Hartati di rumah saksi korban Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas;
54
Ø
Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB, saksi mendengar saksi korban Siti Hartati saat bersama terdakwa teriak minta tolong;
Ø
Saksi pergi ke rumah Tris Wantoro
untuk meminta
bantuan; Ø
Saksi Tris Wantoro dan saksi Dwi mendobrak pintu kamar saksi korban dan melihat saksi korban berlumuran darah akibat kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa;
Ø
Saksi bersama saksi Tris Wantoro membawa saksi korban ke Puskesmas yang selanjutnya Puskesmas memberikan rujukan ke Rumah sakit Margono kepada saksi korban;
Ø
Saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan
adalah benar barang yang disita dari
terdakwa. Untung Faerudin ; Ø
Saksi pernah diperiksa di Penyidik dan keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan sudah betul semua;
Ø
Saksi adalah anggota Kepolisian Sektor Purwojati yang menerima laporan pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas;
55
Ø
Setelah menerima laporan, saksi langsung menuju ke rumah saksi korban dan melihat kondisi kamar sudah penuh dengan asap karena sepeda motor yang telah terbakar di dalam kamar saksi korban;
Ø
Pada saat saksi datang ke rumah saksi korban, saksi korban sudah dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan;
Ø
Saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan adalah benar barang yang disita dari terdakwa ;
Saksi Tris Wantoro Bin Ali Atmojo ; Ø
Saksi pernah diperiksa di Penyidik dan keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan sudah betul semua;
Ø
Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas;
Ø
Saksi adalah tetangga saksi korban yang rumahnya tidak jauh dari rumah saksi korban, saat saksi berada di rumah didatangi
Parsiyah
pembantu
saksi
korban
yang
mengatakan di rumah saksi korban telah saksi Parsiyah meminta tolong kepada saksi agar menolong saksi korban
56
yang sedang di dalam kamar bersama terdakwa dengan kondisi
pintu
kamar
terkunci
menjerit
meminta
pertolongan akibat kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa; Ø
Saksi bersama saksi Dwi Ismanto mendobrak pintu kamar saksi korban dan
mendapati
saksi
korban
sudah
berlumuran darah; Ø
Saksi menyuruh saksi Parsiyah dan istrinya agar membawa saksi korban ke Puskesmas untuk memberi pertolongan kepada saksi korban;
Ø
Saksi menenangkan terdakwa setelah kejadian tersebut dan erdakwa meminta untuk diantar ke kantor Polisi;
Ø
Saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan adalah benar barang yang disita dari terdakwa.
Saksi Dwi Ismanto Bin Tris Wantoro ; Ø
Saksi pernah diperiksa di Penyidik dan keterangan saksi dalam Berita Acara Penyidikan sudah betul semua;
Ø
Pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas;
57
Ø
Saksi adalah tetangga saksi korban yang rumahnya tidak jauh dari rumah saksi korban;
Ø
Saat saksi berada di rumah didatangi Parsiyah pembantu aksi korban yang mengatakan di rumah saksi korban telah terjadi kekerasan fisik ya ng dilakuk an oleh terdakwa;
Ø
Saksi Parsiyah meminta tolong kepada saksi agar menolong saksi korban yang sedang di dalam kamar bersama terdakwa dengan kondisi pintu kamar terkunci menjerit meminta pertolongan akibat kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa;
Ø
Saksi bersama saksi Tris Wantoro
mendobrak pintu
kamar saksi korban dan mendapati saksi korban sudah berlumuran darah; Ø
Saksi Parsiyah dan ibunya saksi membawa saksi korban ke Puskesmas untuk memberi pertolongan kepada saksi korban;
Ø
Saksi Tris Wantoro
menenangkan terdakwa setelah
kejadian tersebut; Ø
Saksi membenarkan barang bukti yang diperlihatkan di persidangan adalah benar barang yang disita dari terdakwa.
58
b.
Surat Berdasarkan Vitsum Et Repertum dari Rumah sakit Umum Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto yang ditandatangani oleh dokter pemeriksa Dr. Agus Budi Setiawan SpBS pada tanggal 14 Maret 2012 dari hasil pemeriksaan telah diperiksa seorang perempuan pada pemeriksaan ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, ditemukan luka memar pada leher akibat trauma tumpul, ditemukan bacok pada bahu kiri, leher belakang dan pinggang kiri serta luka tangkis pada telapak tangan akibat trauma tajam. Ditemukan pula tanda-tanda memar otak, akibat luka tersebut korban tidak bisa melakukan aktifitas mata pencahariannya selama beberapa waktu.
c.
Keterangan Terdakwa Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB
terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban dan terdakwa di Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas Hubungan Terdakwa dengan saksi korban adalah suami istri sesuai dengan kutipan akta nikah no. 82.20/IV/2003 tanggal 23 April 2003 di Kecamatan Purwojati dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Awalnya pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB, pada saat saksi korban selesai mandi dan berpakaian, tiba-tiba terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar sambil
59
mengatakan “sini saya mau ngomong” dan saksi korbanpun mengikuti terdakwa masuk ke kamar, setelah berada di kamar terdakwa dan saksi korban duduk berhadapan diatas tempat tidur. Dan terdakwa menanyakan kepada saksi korban “sebenarnya ibu masih sayang atau tidak sama bapak ?.” Dan saksi korban hanya diam saja sampai terdakwa menanyakan berkali-kali kepada saksi korban dan akhirnya saksi korban menjawab “tidak” setelah itu terdakwa langs ung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher saksi korban kemudian terdakwa langsung membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali dengan posisi saksi korban masih duduk diatas tempat tidur. Bahwa saksi korban berusaha melepaskan cekikan tangan terdakwa dan tangan terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi korban. Saksi korban merebut pisau tersebut namun tidak berhasil dan terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup. Terdakwa menindih tubuh saksi korban dan kepala saksi korban ditutup dengan bantal lalu terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban dengan menggunakan pisau sebanyak 1 kali, lalu bagian perut sebanyak 1 kali;
60
Saksi korban berusaha membrontak dan berteriak minta tolong. Tris Wantoro dan saksi Dwi datang ke rumahnya untuk mendobrak pintu kamar yang sebelumya diberitahu oleh saksi Parsiyah agar menolong saksi korban yang sedang di dalam kamar bersama terdakwa. Terdakwa khilaf melakukan perbuatan tersebut karena setelah membaca SMS-SMS mesra yang menyakitkan hati terdakwa di HP saksi korban dengan seorang laki- laki yang bernama ayah Sulis. Terdakwa selama menikah dengan saksi korban hubungannya harmonis namun setelah 3 (tiga) bulan terakhir sering terjadi perselisihan dikarenakan terdakwa pengahasilan terdakwa yang kurang menurut saksi korban. Terdakwa selama pernikahan baru kali ini
melakukan
kekerasan
kepada
saksi
korban.
Terdakwa
membenarkan barang bukti di persidangan.
d.
Barang Bukti Untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum telah
mengajukan barang bukti berupa : Ø
1 (satu) bilah pisau dapur;
Ø
1 (satu) helai baju yang ada bercak darah;
Ø
1 (satu) helai sarung bantal yang ada noda darah;
61
4.
Tuntutan Penuntut Umum Berdasarkan pembuktian dan fakta-fakta hukum yang terungkap di
dalam persidangan maka Jaksa Penuntut umum menuntut sebagai berikut : 1)
Menyatakan
terdakwa
SURATNO
Alias
RATNO
Bin
SUDIARJO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana “melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan luka berat” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam dakwaan Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga ; 2)
Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa SURATNO Alias RATNO Bin SUDIARJO selama 2 (dua), 6 (enam) bulan dikurangi selama berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
3)
Menetapkan barang bukti berupa : Ø
1 (satu) bilah pisau dapur, dirampas untuk dimusnahkan ;
Ø
1 (satu) helai baju yang ada bercak darah,
Ø
1 (satu) helai sarung bantal yang ada noda darah, dikembalikan kepada saksi korban Siti Hartati;
4)
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
62
5.
Putusan a.
Pertimbangan Hakim Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum dengan
dakwaan tunggal melanggar Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3.
Setiap Orang ; Melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga ; Yang mengakibatkan jatuh sakit dan luka berat ;
ad. 1. Unsur setiap orang Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan ke persidangan
karena
didakwa
melakukan
tindak
pidana
dan
perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Penuntut Umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama SURATNO Alias RATNO Bin SUDIARJO, yang membenarkan identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan terdakwa dipersidangan diperoleh fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar SURATNO Alias RATNO Bin SUDIARJO ; Unsur setiap orang hanya merupakan kata ganti orang, dimana unsur ini baru mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur
63
pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan dengan unsur-unsur lain dari perbuatan yang didakwakan ; ad. 2. Unsur Melakukan Kekerasan Dalam Lingkup Rumah Tangga Bahwa yang dimaksud dengan “penganiayaan” adalah sengaja menyebabkan
perasaan
tidak
enak,
rasa
sakit
atau
luka
(yurisprudensi). Sedangkan pengertian “dengan sengaja” menurut Memori Van Toelichting (MTV) adalah seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan harus menghendaki (Willen) perbuatan tersebut dan mengerti (Weten) akan akibat dari perbuatan tersebut. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri di persidangan telah terungkap fakta bahwa pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban dan terdakwa di Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas, hubungan Terdakwa dengan saksi korban adalah suami istri sesuai dengan kutipan akta nikah no. 82.20/IV/2003 tanggal 23 April 2003 di Kecamatan Purwojati dan mempunyai 2 (dua) orang anak. Pada saat saksi korban selesai mandi dan berpakaian, tiba-tiba terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar sambil mengatakan “sini saya mau ngomong” dan saksi korbanpun mengikuti
64
terdakwa masuk ke kamar, setelah berada di kamar terdakwa dan saksi korban duduk berhadapan diatas tempat tidur. Dan terdakwa menanyakan kepada saksi korban “sebenarnya ibu masih sayang atau tidak sama bapak ?.” Dan saksi korban hanya diam saja sampai terdakwa menanyakan berkali-kali kepada saksi korban dan akhirnya saksi korban menjawab “tidak” setelah itu terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher saksi korban kemudian terdakwa langsung membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali dengan posisi saksi korban masih duduk diatas tempat tidur, kemudian saksi korban berusaha melepaskan cekikan tangan terdakwa dan tangan terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi korban namun, saksi korban merebut pisau tersebut namun tidak berhasil dan terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban dan kepala saksi korban ditutup dengan bantal lalu terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban dengan menggunakan pisau sebanyak 1 kali, lalu bagian perut sebanyak 1 kali, lalu saksi korban berusaha membrontak dan berteriak minta tolong dan sesuai Vitsum Et Repertum dari Rumah sakit Umum Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang ditandatangani oleh dokter pemeriksa Dr. Agus Budi Setiawan SpBS pada tanggal 14 Maret 2012
65
dari hasil pemeriksaan telah diperiksa seorang perempuan pada pemeriksaan ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, ditemukan luka memar pada leher akibat trauma tumpul, ditemukan bacok pada bahu kiri, leher belakang dan pinggang kiri serta luka tangkis pada telapak tangan akibat trauma tajam. Ditemukan pula tanda-tanda memar otak, akibat luka tersebut korban tidak bisa melakukan aktifitas mata pencahariannya selama beberapa waktu. Berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur kedua telah terpenuhi.
ad. 3. Unsur Yang Mengakibatkan Jatuh Sakit atau Luka Berat Unsur ketiga berbentuk alternatif yaitu mengakibatkan jatuh sakit atau luka terhadap seseorang maka Majelis hanya akan mempertimbangkan salah satu sub unsur yang terpenuhi dari fakta yang terungkap di persidangan. Pengertian jatuh
sakit adalah
menyebabkan tubuh korban menjadi sakit atau mengalami luka sedangkan yang dimaksud dengan luka berat adalah penyakit atau luka yang tidak bisa diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang mendatangkan bahaya maut, terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan, kehilangan salah satu panca indra, cacat, lumpuh, pikiran terganggu lebih dari empat minggu. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri
66
di persidangan telah terungkap fakta bahwa pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban dan terdakwa di Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas, dan hubungan Terdakwa dengan saksi korban adalah pasangan
suami istri sesuai dengan
kutipan akta nikah no. 82.20/IV/2003 tanggal 23 April 2003 di Kecamatan Purwojati dan mempunyai 2 (dua) orang anak; Pada saat saksi korban selesai mandi dan berpakaian, tiba-tiba terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar sambil mengatakan “sini saya mau ngomong” dan saksi korbanpun mengikuti terdakwa masuk ke kamar, setelah berada di kamar terdakwa dan saksi korban duduk berhadapan diatas tempat tidur. Dan terdakwa menanyakan kepada saksi korban “sebenarnya ibu masih sayang atau tidak sama bapak ?.” Dan saksi korban hanya diam saja sampai terdakwa menanyakan berkali-kali kepada saksi korban dan akhirnya saksi korban menjawab “tidak” setelah itu terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher saksi korban kemudian terdakwa langsung membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali dengan posisi saksi korban masih duduk diatas tempat tidur. Kemudian saksi korban berusaha melepaskan cekikan tangan terdakwa dan tangan terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher
67
saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak me nusuk ke arah perut saksi korban namun, saksi korban merebut pisau tersebut namun tidak berhasil dan terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban dan kepala saksi korban ditutup dengan bantal lalu terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban dengan menggunakan pisau sebanyak 1 kali, lalu bagian perut sebanyak 1 kali, lalu saksi korban berusaha membrontak dan berteriak minta tolong. Berdasarkan Vitsum Et Repertum dari Rumah sakit Umum Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang ditandatangani oleh dokter pemeriksa Dr. Agus Budi Setiawan SpBS pada tanggal 14 Maret 2012 dari hasil pemeriksaan telah diperiksa seorang perempuan pada pemeriksaan ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, ditemukan luka memar pada leher akibat trauma tumpul, ditemukan bacok pada bahu kiri, leher belakang dan pinggang kiri serta luka tangkis pada telapak tangan akibat trauma tajam. Ditemukan pula tanda-tanda memar otak, akibat luka tersebut korban tidak bisa melakukan aktifitas mata pencahariannya selama beberapa waktu. Berdasarkan
pertimbangan
hukum
tersebut
diatas
dapat
diketahui bahwa, akibat perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap korban
maka menyebabkan tubuh korban
68
mengalami luka-luka akan tetapi luka yang diderita oleh korban tidak termasuk dalam kualifikasi luka berat sehingga dengan demikian unsur ke tiga ini telah terpenuhi. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas maka semua unsur
Pasal ayat 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi. Mengenai lamanya pemidanaan terhadap Terdakwa maka dengan memperhatikan keterangan saksi korban bahwa sebelumnya terdakwa belum pernah melakukan kekerasan terhadap korban dan dari keterangan saksi-saksi dan Terdakwa bahwa perbuatan Terdakwa dilakukan secara spontan karena Terdakwa merasa tersinggung dengan perkataan korban yang mengatakan bahwa korban sudah tidak mencintai terdakwa dan korban pernah menerima sms dari lelaki lain padahal selama ini Terdakwa sudah berusaha memenuhi kebutuhan keluarga sehingga dengan demikian menurut pertimbangan Majelis hukuman terhadap Terdakwa bisa lebih ringan dari pada tuntutan Penuntut Umum dengan mempertimbangkan asas pemidanaan adalah bukan sebagai pembalasan melainkan untuk menyadarkan Terdakwa terhadap tindakannya dan untuk mencegah orang lain meniru perbuatan terdakwa.
69
Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan putusan, maka harus dipertimbangkan hal- hal yang memberatkan dan yang meringankan dari perbuatan terdakwa. Hal-hal yang memberatkan : Ø
Perbuatan terdakwa menimbulkan saksi korban luka- luka dan tidak bisa menjalankan aktifitas untuk beberapa hari ;
Hal-hal yang meringankan : Ø
Terdakwa
sebagai
kepala
keluarga
mempunyai
tanggungan keluarga yang harus diberikan nafkah ; Ø
Terdakwa
berjanji
tidak
akan
mengulangi
lagi
perbuatannya; Ø
b.
Terdakwa belum pernah dihukum ;
Amar Putusan 1)
Menyatakan terdakwa SURATNO Alias RATNO Bin SUDIARJO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit ”;
2)
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 ( dua ) tahun;
3)
Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
70
4)
Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahana n.
5)
Menyatakan barang bukti berupa : Ø
1
(satu)
bilah
pisau
dapur,
dirampas
untuk
dimusnahkan ; Ø
1 (satu) helai baju yang ada bercak darah,
Ø
1 (satu) helai sarung bantal yang ada noda darah, dikembalikan kepada saksi korban Siti Hartati;
6)
Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
B.
Pembahasan 1.
Unsur Pasal 44 ayat (2) UU No 23 Tahun 2004 Penghapusan KDRT
yang terbukti pada
tentang
Putusan Nomor :
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia. Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya keluarga sering kali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atau aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga satu terhadap anggota keluarga lainnya seperti
71
penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang lazim disebut dengan istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi wacana tersendiri dalam keseharian. Pada umumnya, dalam struktur kekerabatan di Indonesia kaum laki- laki ditempatkan pada posisi dominan, yakni sebagai kepala keluarga. Dengan demikian, bukan hal yang aneh apabila anggota keluarga lainnya menjadi sangat tergantung kepada kaum laki- laki. Posisi laki- laki yang demikian superior sering kali menyebabkan dirinya menjadi sangat berkuasa di tengah-tengah lingkunga n keluarga. Bahkan pada saat laki- laki melakukan berbagai penyimpangan kekerasan terhadap anggota keluarga lainnya dimana perempuan dan juga anak menjadi korban utamanya tidak ada seorang pun dapat menghalanginya. Berdasarkan
duduk
perkara
pada
Putusan
Nomor
:
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt dapat diketahui bahwa, kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada korban adalah kekerasan fisik. Pasal 5 UndangUndang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Ratna Batara Munti menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai bentuk kekerasan fisik langsung dapat berbentuk bentuk pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara
72
tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain- lain, serta berlaku kasar. 70 Pada perkara pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal melanggar Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga, yang unsurunsurnya adalah sebagai berikut: 1. 2. 3.
Setiap Orang ; Melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga ; Yang mengakibatkan jatuh sakit dan luka berat ;
Berdasarkan dakwaan tersebut dapat diketahui bahwa, bentuk surat dakwaan yang diajukan adalah tunggal. Umumnya penyusunan dalam bentuk ini dilakukan apabila telah dikatahui dengan jelas tindak pidana apa yang dilakukan, serta tidak dijumpai adanya unsur penyertaan serta adanya unsur pembarengan. Penyusun surat dakwaan tunggal ini dapat di katakan sederhana, yaitu sederhana dalam perumusannya sederhana pula dalam pembuktian dan penerapannya. Penyusunan dakwaan tunggal merupakan penyusunan surat dakwaan yang teringan jika dibandingkan dengan penyusunan surat dakwaan lainnya, karena penuntut umum hanya memfokuskan pada sebuah permasalahan saja. Penggunaan surat dakwaan bentuk ini akan tidak bersifat sederhana lagi jika dihubungkan dengan ajaran samenloop/Concursus, atau dihubungka dengan pengertian satu perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 KUHP. Pengertian satu perbuatan
70
Ratna Batara Munti, Op. Cit., hal. 36.
73
yang dilakukan (perbuatan tunggal), tetapi satu perbuatan dapat pula berarti beberapa perbuatan yang dipandang sebagai satu perbuatan karena ia merupakan pelaksanaan dari kesatuan/kesamaan kehendak/niat, Sama halnya dengan penguraian syarat-syarat materiil surat dakwaan yang harus dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap, pemilihan bentuk surat dakwaan juga akan sangat penting terutama pada kasus-kasus tertentu. Penyusunan rumusan tindak pidana tidak semudah yang kita bayangkan, apalagi apabila yang dihadapi adalah kasus yang sangat rumit yang memerlukan kecermatan dan keluasan pengetahuan jaksa. Tujuan surat dakwaan, dikemukakan oleh A.Karim Nasution sebagai berikut: ” Tujuan utama dari suatu surat tuduhan ialah bahwa Undangundang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan sesuatu peristiwa pidana, untuk itu maka sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Terdakwa harus dipersalahkan karena telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, pada suatu saat tertentu dan tempat tertentu, serta dinyatakan pula keadaan-keadaan sewaktu melakukannya”. 71 Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari suatu surat dakwaan itu adalah menetapkan secara konkret atau nyata, tentang orang tertentu yang telah melakukan tindak pidana tertentu pada waktu dan tempat tertentu pula. Tujuan dan peranan surat dakwaan dalam persidangan sangat penting dan menentukan sehingga menurut Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE71
A.Karim Nasution dalam bukunya Hamrat Hamid, H, Husein, Harun M, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi, Edisi Pertama, Cetakan Pertama,: Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 56.
74
004/JA/11/1993 tanggal 16 November 1993 surat dakwaan bagi penuntut umum merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap karena merupakan dasar dan kemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umum dalam penyusuanan surat dakwaan. 72 Oleh karena itu, berdasarkan aspek diatas dapatlah disebutkan bahwa surat dakwaan mempunyai 2 (dua) dimensi, yaitu: 1.
Dimensi positif, bahwa keseluruhan isi surat dakwaan yang terbukti pada persidangan harus dijadikan dasar oleh hakim pada putusannya.
2.
Dimensi negatif, bahwa apa yang dapat dibuktikan dalam persidangan harus dapat tercantum pada surat dakwaan
Peranan penting suatu surat dakwaan dapat dilihat secara personal bagi para pihak yang terlibat dalam pemeriksaan siding yaitu hakim, jaksa penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukumnya. Fungsi ini dapat dipengaruhi oleh hak dan kewajiban masing- masing sebagai penegak hukum. Bagi penuntut umum dengan dibuatnya surat dakwaan merupakan dasar pelimpahan perkara tersebut agar diperiksa dan diputuskan. Selanjutnya surat dakwaan tersebut menjadi dasar pembuktian dan pembahasan yuridis selama perisdangan serta tuntunan pidana, dan pada akhirnya dapat juga digunakan sebagai dasar melakukan upaya hukum baik upaya hukum biasa maupun luar biasa. 73
72
Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/JA/11/1993 Tanggal 16 November 1993. Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta , 1988, hal 100-101. 73
75
Fungsi surat dakwaan bagi seorang hakim adalah sebagai dasar pemeriksaan, memberikan batas ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dan akhirnya menjadi dasar pengambilan keputusan tentang dapat tidaknya seorang terdakwa diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang didakwakan terhadap dirinya. Dengan adanya surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum maka ruang lingkup pemeriksaan persidangan hanya terbatas pada pencarian kebenaran atas apa yang disebutkan dalam surat dakwaan tersebut. Hakim tidak boleh melakukan pemeriksaan yang tidak berkaitan dengan terdakwa dalam surat dakwaan. 74 Berdasarkkan hal tersebut jelas bahwa, pembuktian tindak pidana pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt harus mengacu pada unsurunsur dalam dakwaan tunggal. Pada unsur pertama yaitu barang siap mengandung arti semua subjek hukum yang melakukan kejahatan khususnya orang. Penentuan unsur barang siapa dalam pertimbangan hakim juga memberikan arti pentingnya orang yang dapat dipidana. Dalam hukum pidana perlu dikemukakan materi tentang alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, karena menurut Utrecht, Undang-Undang pidana seperti undang-undang lainnya mengatur hak-hal yang umum dan yang akan terjadi (mungkin akan terjadi). Sehingga, masih menurut Utrecht, UndangUndang pidana mengatur hal- hal yang bersifat abstrak dan hipotesis. Berdasarkan sifatnya ini maka Undang-Undang pidana mengandung kemungkinan akan dijatuhkannya hukuman yang adil bagi orang-orang
74
Ibid., hal. 101.
76
tertentu yang mungkin saja tidak bersalah, meskipun orang tersebut melakukan suatu tindakan sesuai dengan lukisan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang pidana. Dengan demikian materi ini menjadi penting untuk memperoleh kepastian dan keadilan hukum dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Alasan atau dasar penghapusan pidana merupakan hal- hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang Pidana (KUHP) tidak dihukum, karena : a.
Orangnya tidak dapat dipersalahkan;
b.
Perbuatannya tidak lagi merupakan perbuatan yang melawan hukum.
Berdasarkan Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt, jelas bahwa terdakwa Suratno merupakan orang yang dapat dipersalahkan karena walau ia menyakiti seorang istrinya dan ini merupakan sesuatu yang diluar kebiasaan, bahkan bisa disebut sadis, tetapi terdakwa tidak gila, ia tidak kehilangan akalnya. Penuntut Umum telah menghadapkan seorang terdakwa bernama SURATNO
Alias
RATNO
Bin
SUDIARJO,
yang
membenarkan
identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan terdakwa dipersidangan diperoleh fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar SURATNO
77
Alias RATNO Bin SUDIARJO. Unsur setiap orang hanya merupakan kata ganti orang, dimana unsur ini baru mempunyai makna jika dikaitkan dengan unsur-unsur pidana lainnya, oleh karenanya haruslah dibuktikan secara bersamaan dengan unsur- unsur lain dari perbuatan yang didakwakan. Unsur lainnya adalah melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Unsur melakukan dapat dikatakan aktif yaitu terjadinya suatu perbuatan atau tindakan. Kekerasan (violence) adalah ancaman atau penggunaan kekuatan fisik untuk menimbulkan kerusakan pada orang lain. Berkaitan dengan kekerasan, teori belajar sosial menjelaskan bahwa anak mempelajari
perilaku
baru
melalui
pengamatan
terhadap
mengimitasi dan mempraktikkanya ke dalam perilaku nyata.
model,
75
Kekerasan (violence) mempunyai makna sebagai “serangan atau penyalahgunaan kekuatan secara fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan penghancuran, pengrusakan yang sangat keras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang. 76 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, memberikan penjelasan apa yang dimaksudkan tindak kekerasan, yakni: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 75
NN, Teori Kekerasan, http://siar.endonesa.net/utty/2008/10/31, diakses pada tanggal 09 Juli 2010. 76 Tubagus Nitibaskara, Op. Cit., hal. 90.
78
Unsur melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga dapat diartikan, perbuatan serangan atau penyalahgunaan kekuatan secara fisik terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik dilakukan dalam lingkup rumah tangga. Pasal 2 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menentukan lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi : a. b.
c.
Suami, isteri, dan anak; Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Terdakwa adalah suami sah dari saksi korban Siti Hartati yang telah menikah sesuai kutipan akta nikah no. 82.20/IV/2003 tanggal 23 April 2003 Kecamatan Purwojati. Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sendiri di persidangan telah terungkap fakta bahwa pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2012 sekitar jam 08.30 WIB terdakwa telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk kekerasan fisik kepada saksi korban di rumah saksi korban dan terdakwa di Desa Purwojati RT. 03/02 Kec. Purwojati Kab. Banyumas. Pada saat saksi korban selesai mandi dan berpakaian, tiba-tiba terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar sambil mengatakan “sini saya mau ngomong” dan saksi korbanpun mengikuti terdakwa masuk ke kamar, setelah berada di kamar terdakwa dan saksi
79
korban duduk berhadapan diatas tempat tidur. Terdakwa menanyakan kepada saksi korban “sebenarnya ibu masih sayang atau tidak sama bapak ?.” Dan saksi korban hanya diam saja sampai terdakwa menanyakan berkali-kali kepada saksi korban dan akhirnya saksi korban menjawab “tidak” setelah itu terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher saksi korban kemudian terdakwa langsung membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali dengan posisi saksi korban masih duduk diatas tempat tidur, kemudian saksi korban berusaha melepaskan cekikan tangan terdakwa dan tangan terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi korban namun, saksi korban merebut pisau tersebut namun tidak berhasil dan terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban
dan kepala saksi korban ditutup dengan bantal lalu terdakwa
menyayat leher sebelah kiri saksi korban dengan menggunakan pisau sebanyak 1 kali, lalu bagian perut sebanyak 1 kali, lalu saksi korban berusaha membrontak dan berteriak minta tolong. Berdasarkan tindakan terdakwa tersebut, maka dapat diketahui terdapat beberapa perbuatan kekerasan yang dilakukan terdakwa antara lain: a.
Terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar.
b.
Terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher.
80
c.
Terdakwa membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali.
d.
Terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi
e.
Terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban
f.
Terdakwa menutup kepala korban dengan bantal.
g.
Terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undangundang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya harus dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut. 77 Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan
77
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, hal. 85.
81
kemudian juga dijatuhi pidana sebagaimana diancam, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dala m hukum pidana ialah : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea). Asas ini tidak tersebut dalam KUHP tapi dalam kenyataannya juga berlaku di Indonesia. Menurut Sudarto untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan ethis, betapa pun kecilnya. Setidaknya pembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya dari yang membuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyataan bahwa kesalahan itu mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh dibalik. Tidak senantiasa orang, yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun kepatuhan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan perbuatan yang dapat dikenakan tindak susila itu dapat dikatakan bersalah dalam arti dicela menurut hukum.13 Mengenai beberapa bentuk kesalahan yang dalam bahasa Belanda disebut dengan “opzet”, Satochid memberikan perumusan opzet itu sebagai melaksanakan suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keingina n untuk berbuat atau bertindak. 78 Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tahun 1809 dicantumkan : “kesengajaan adalah kemampuan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh 78
51.
Cansil Christine, 2004, Pokok -Pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 50-
82
Undang-Undang.” Dalam Memorie Van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Crim ineel Wetboek tahun 1981 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Tahun 1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een bapaald misdrijf).79 Mengenai MvT tersebut, Satochid Kartanegara mengutarakan apa yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah : Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki
(willen)
perbuatan
itu
serta
harus
menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.”80 Beberapa pakar merumuskan de wil sebagai “keinginan, kemauan, atau kehendak”. Dengan demikian, perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. Kehendak (de wil) dapat ditujukan terhadap : a.
Perbuatan yang dilarang;
b.
Akibat yang dilarang.
Dahulu dikenal dolus molus yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsyafi bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam hukuman. 81 Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa, terdakwa jelas sadar melakukan perbuatan tersebut.
79
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
13. 80
Satochid Kartanegara, 1999, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Bandung, hal. 291. 81 Laden Marpaung, Op. Cit, hal. 13.
83
Walaupun terdakwa menduga bahwa istrinya telah berselingkuh, tetapi norma hukum tidak membenarkan seseorang untuk menganiaya orang lain. Seharusnya terdakwa sadar betul bahwa perbuatan terdakwa menganiaya korban akan menimbulkan rasa sakit, luka dan, terhambatnya seseorang melakukan aktivitasnya. Terdakwa jelas sadar dan tahu pasti akan akibat perbuatannya, tetapi apaboleh buat bahwa, emosi dan kekhilafan terdakwa, mengalahkan terdakwa untuk menahan amarahnya. Berdasarkan adanya tindakan aktif terdakwa melakukan penyerangan maka unsur kedua telah terpenuhi. Unsur terakhir yang harus dibuktikan adalah yang mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, dan alat bukti surat berupa Vitsum Et Repertum di persidangan telah terungkap fakta bahwa,
setelah kejadian, saksi korban langsung
dibawa ke Rumah Sakit Margono selama 5 (lima) hari dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari. Berdasarkan Vitsum Et Repertum dari Rumah sakit Umum Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang ditandatangani oleh dokter pemeriksa Dr. Agus Budi Setiawan SpBS pada tanggal 14 Maret 2012 juga ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, ditemukan luka memar pada leher akibat trauma tumpul, ditemukan bacok pada bahu kiri, leher belakang dan pinggang kiri serta luka tangkis pada telapak tangan akibat trauma tajam. Ditemukan pula tanda-tanda memar otak, akibat luka tersebut korban tidak bisa melakukan aktifitas mata pencahariannya selama beberapa waktu.
84
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas dapat diketahui bahwa akibat perbuatan penganiayaan yang dilakukan oleh Terdakwa terhadap korban maka menyebabkan tubuh korban mengalami luka- luka akan tetapi luka yang diderita oleh korban tidak termasuk dalam kualifikasi luka berat sehingga dengan demikian unsur ke tiga ini telah terpenuhi. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas maka semua unsur Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi.
2.
Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24 ayat 1 (hasil perubahan
ketiga) menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jika dihubungkan dengan Pasal 28D ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, maka norma dasar ini memberikan suatu petunjuk yang jelas bahwa negara melalui lembaga- lembaga yang menerima kekuasaan darinya untuk menegakkan hukum dan keadilan, harus melaksanakan kekuasaannya itu dengan tujuan tiada lain untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat, dalam memperoleh suatu keadilan dari proses penegakan hukum.
85
Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief : Bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada. 82
Penjatuhan pidana harus sesuai dengan pendapat dan penilai pengadilan, dengan berdasarkan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang telah digariskan dalam Pasal 183 jo Pasal 184 KUHAP. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman pidana dalam pasal tindak pidana yang didakwakan. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 17 Januari 1983 No.553 K/Pid/1982, yang menegaskan bahwa : “mengenai ukuran pidana adalah wewenang judex factie yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila judex factie menjatuhkan pidana yang tidak diatur dalam undang-undang, atau kurang memberikan pertimbangan tentang hal- hal yang memberatkan dan meringankan pidana”.
82
Muladi, Op, Cit, hal. 149.
86
Menurut ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Penjatuhan pidana berupa pidana penjara atau kurungan oleh Hakim juga tidak bersifat mutlak, karena dalam keadaan tertentu yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang, Hakim dapat memerintahkan agar seorang Terdakwa yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman, tidak perlu menjalani hukumannya dengan memberikan jangka waktu tertentu sebagai masa percobaan. Pidana ini dikenal dengan istilah pidana bersyarat, yang lebih menekankan pada tujuan penegakan hukum yang mampu memberdayakan efek pendidikan dan pembinaan, baik kepada masyarakat maupun bagi diri terdakwa sebagai pelaku tindak pidana. Tentu saja penjatuhan pidana bersyarat ini harus dilaksanakan secara hati- hati dan mempertimbangkan
berat
ringan
perbuatan
yang
dilakukan
serta
memperhatikan ancaman hukuman dan dampak dari tindak pidana tersebut bagi masyarakat luas. Hakim
dalam
menjatuhkan
pidana
mempertimbangkan
dua
pertimbangan yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan sosiologis. Secara yuridis, hakim harus mempertimbangkan apakah terdakwa pada Putusan
Nomor
:
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt
pemidanaan atau belum.
telah
memenuhi
syarat
87
Sudarto menggambarkan syarat-syarat pemidanaan sebagai berikut : Syarat pemidanaan83 Syarat Pemidanaan
Perbuatan
Orang
1. Memenuhi Rumusan Undang undang
1. Mampu Bertanggung jawab
2. Bersifat Melawan Hukum (tidak ada alasan Pembenar)
2. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan Pemaaf)
Pidana
Untuk memperjelas bagan tersebut Pipin Syarifin menyatakan bahwa, secara mendasar perumusan delik dalam teori Sudarto mempunyai dua elemen (unsur dasar) yaitu : a.
b.
Bagian yang objektif menunjuk delik dari perbuatan/kelakuan dan akibat, yang merupakan kejadian-kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum yang dapat diancam dengan pidana. Bagian-bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari delik. 84
Syarat dapat dipidananya seseorang / syarat pemidanaan di dasari oleh dua kritera yaitu subjektif dan objektif. Secara Objektif seorang yang dapat dipidana haruslah terlebih dahulu melanggar rumusan suatu aturan perundang-undangan. Kedua perbuatan tersebut memiliki sifat melawan hukum.
83 84
Sudarto, Loc cit Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Pustaka Setia, Jakarta, 2000, hal. 55
88
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah pertama, dapat dilihat bahwa, terdakwa pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt telah memenuhi kesemua unsur Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga, yang dapat diperinci sebagai berikut : 1)
Setiap Orang (menyatakan terdakwa pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt)
2)
Melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian membuktikan bahwa terdakwa
adalah suami korban yang telah melakukan beberapa macam perbuatan kekerasan dalam rumah tangga antara lain : a.
Terdakwa menarik tangan saksi korban untuk masuk ke kamar.
b.
Terdakwa langsung emosi dan menarik tangan kanannya mencekik leher.
c.
Terdakwa membenturkan kepala saksi korban ke tembok sebanyak 5 kali.
d.
Terdakwa melepaskan tangan kanannya dari leher saksi korban, dan tiba-tiba tangan kanannya sudah memegang pisau dan berusaha hendak menusuk ke arah perut saksi
e.
Terdakwa membalikkan tubuh saksi korban diatas tempat tidur hingga posisi saksi korban tertelungkup kemudian terdakwa menindih tubuh saksi korban
89
3)
f.
Terdakwa menutup kepala korban dengan bantal.
g.
Terdakwa menyayat leher sebelah kiri saksi korban
Yang mengakibatkan jatuh sakit dan luka berat ; Hal ini dibuktikan bahwa setelah kejadian, saksi korban
langsung dibawa ke Rumah Sakit Margono selama 5 (lima) hari dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari- hari. Vitsum Et Repertum dari Rumah sakit Umum Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang ditandatangani oleh dokter pemeriksa Dr. Agus Budi Setiawan SpBS pada tanggal 14 Maret 2012 menyatakan bahwa, ditemukan luka lecet pada wajah akibat trauma tumpul, ditemukan luka memar pada leher akibat trauma tumpul, ditemukan bacok pada bahu kiri, leher belakang dan pinggang kiri serta luka tangkis pada telapak tangan akibat trauma tajam. Ditemukan pula tanda-tanda memar otak, akibat luka tersebut korban tidak bisa melakukan aktifitas mata pencahariannya selama beberapa waktu. Salah satu unsur dari tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila memiliki unsur sifat melawan hukum. Sudarto menyatakan perbuatan dikatakan memiliki sifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-Undang. 85
85
Sudarto, Op. Cit., hal. 44
90
Pengertian perbuatan melawan hukum lebih luas dan umum daripada kejahatan maupun pelanggaran. 86 Sifat melanggar hukum (onrechtmatigheid) juga dinamakan sifat melawan hukum (wederrechtterlijk heid) dari tindak pidana yang merupakan sifat paling penting yang memuat ancaman hukuman pidana atas pelanggaran norma-norma hukum, yang ada dibidang hukum lain. Moeljatno menyatakan ada 2 (dua) pendapat, yang pertama apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan Undang-Undang, maka di situ ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan telah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan undang-undang. Sebab hukum adalah Undang-undang. 87 Ajaran yang menyatakan demikian disebut sebagai ajaran sifat melawan hukum formil. Senada dengan Moeljatno, Sudarto menyatakan suatu perbuatan itu melawan hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik UU, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu harus berdasarkan ketentuan Undangundang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama seperti bertentangan dengan Undang-Undang. 88 Menurut Sudarto ada beberapa unsur sifat melawan hukum yang ada pada suatu delik yaitu:89 a. b. 86
Bertentangan dengan hukum. Bertentangan dengan hak ( subyektif Recht) orang lain.
Sudarto, Loc cit Pipin Syarifin, Op. Cit., hal. 66 88 Sudarto Op. Cit., hal.45 89 Ibid., hal.48 87
91
c.
Tanpa kewenangan / tanpa hak hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum.
Berdasarkan pendapat Sudarto di atas dapat diketahui bahwa, terdakwa pada Putusan Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt telah memenuhi rumusan Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga, sehingga perbuatan terdakwa bertentangan dengan hukum. Kewajiban seorang suami adalah menafkahi dan memberikan kasih sayang kepada istri dan keluarganya, tetapi pada kasus Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt,
ternyata
istri/
korban
justru
mendapatkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan terdakwa sebagai suami, berdasarkan hal tersebut maka jelas bahwa perbuatan terdakwa bertentangan dengan hak orang lain untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan bebas dari kekerasan. Tindakan terdakwa menyerang seorang istrinya sendiri merupakan suatu perbuatan yang tanpa hak/ tanpa kewenangan. Seorang suami pada dasarnya boleh memberikan tuntunan bagi istri, ia juga boleh menegur apabila istri melakukan kesalahan, tetapi seorang suami tidak boleh menyakiti baik lahir maupun batin seorang istri. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
1
Tahun
1974
Tentang Perkawinan menyataakan bahwa : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
92
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa adanya perkawinan semata mata untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga baik yang dilakukan terhadap istri maupun sebaliknya, apakah tetap akan menghasilkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suami tidak berhak memukuli seorang istri, walaupun stereotype di dalam masyarakat masih cenderung memperlihatkan bahwa suami berhak seluruhnya atas istri. Istri bebas mendapatkan jaminan dari tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Secara subjektif orang dalam hukum pidana telah diatur dalam Pasal 59 KUHP, yang mana dulunya hukum pidana hanya mengenal satu subyek hukum. Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab dimana setiap orang akan dimintakan pertanggungjawabannya di depan hukum atas apa yang telah dilakukan. Dalam hal ini tidak semua orang dapat menjadi subyek hukum pidana, karena yang hanya dapat menjadi subyek hukum adalah dengan syarat orang tersebut harus cakap dalam melakukan perbuatan hukum dengan pengertian lain mampu membedakan mana yang baik dan yang tidak baik. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum positif telah dinyatakan “tidak cakap” atau “kurang cakap’ untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum (mereka disebut handelingsonbekwaam) tetapi
93
mereka harus diwakili dan dibantu orang lain. Mereka yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum ialah90 : a. b.
Orang yang masih di bawah umur atau belum dewasa menurut Undang-Undang, Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabok dan pemboros, yakni mereka yang di bawah curatale (pengampuan).
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa terdakwa sehat dan tidak terguncang
kejiwaannya,
sehingga
dapat
mempertanggungjawabkan
kesalahannya. Dalam perkara tersebut juga dapat dikatakan adanya unsur kesalahan suami yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Suami sadar betul akan akibat yang dilarang, tetapi kekhilafan emosi menyebabkan perbuatan kasar suami meluap, sehingga apaabila di urut keseluruhan syarat pemidanaan secara yuridis maka jelas terdakwa cocok untuk dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga. Dalam Pasal 8 ayat 2 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekua saan Kehakiman, disebutkan bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, dengan harapan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sesuai dan adil
dengan
kesalahan
yang
dilakukannya.
Selain
pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas, perlu juga dipertimbangkan latar belakang 90
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Ctk. Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 118.
94
dari pelaku yang berkaitan dengan hal- hal seperti : pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan pekerjaan. Hal ini lah yang disebut sebagai pertimbangan sosiologis hakim dalam menjatuhkan pidana. Pertimbangan sosiologis penting karena latar belakang ini menjadi salah satu penilaian terhadap tingkat kesadaran hukum seseorang. Mempertimbangkan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan lingkungan tempat tinggal seseorang dalam menjatuhkan pidana, bukanlah suatu tindakan yang bertujuan membedabedakan orang dalam suatu proses penegakan hukum. Kesadaran hukum yang sepatutnya ada dalam diri pelaku berdasarkan latar belakang merekalah yang membuat mereka harus dijatuhi hukuman yang berbeda ketika mereka terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. Tentu tidak bisa disamakan penilaian kita terhadap kemungkinan kesadaran hukum antara seorang warga di pedesaan terpencil yang tidak pernah merasakan bangku sekolah, dengan seorang sarjana lulusan universitas terkenal di ibu kota atau seorang pejabat yang memiliki kewajiban melayani masyarakat dan memberikan contoh yang baik bagi lingkungan sekitarnya. Jika mereka melakukan pelanggaran hukum yang sama, sungguh tidak adil jika hukuman yang dijatuhkan sama beratnya. Selain latar belakang dari pelaku, pertimbangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja adalah, seberapa besar dampak yang dialami masyarakat akibat tindak pidana yang dilakukan dan keadaan masyarakat pada saat tindak pidana itu dilakukan.
95
Hal-hal sosiologis yang memberatkan dan yang meringankan dari perbuatan terdakwa antara lain : Hal-hal yang memberatkan Ø
Perbuatan terdakwa menimbulkan saksi korban luka-luka dan tidak bisa menjalankan aktifitas untuk beberapa hari ;
Hal-hal yang meringankan Ø
Terdakwa sebagai kepala keluarga mempunyai tanggungan keluarga yang harus diberikan nafkah ;
Ø
Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya;
Ø
Terdakwa belum pernah dihukum ;
Berdasarkan hal- hal tersebut di atas maka hakim menjatuhkan putusan bahwa, karena dasar yuridis Pasal 44 ayat (2) UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga maka, menyatakan terdakwa SURATNO Alias RATNO Bin SUDIARJO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit. Dengan mempertimbangkan pertimbangan yuridis dan sosiologis terdakwa, maka hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Pidana ini tentunya jauh dari pidana maksimal yaitu 10 tahun penjara. Berdasarkan
hal
tersebut
jelas
bahwa,
hakim
benar-benar
mempertimbangkan alasan-alasan sosiologis terdakwa, sehingga tidak menjatuhkan putusan maksimal. Tujuan hakim menjatuhkan pidana ialah
96
agar terdakwa sadar akan perbuatannya, dan memberikan kesempatan untuk merubah kesalahan tersebut melalui penjatuhan sanksi pidana.
97
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil suatu
simpulan sebagai berikut : 1.
Putusan
Nomor
:
31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt
telah
memenuhi
pembuktian kesemua unsur Pasal 44 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam lingkup Rumah Tangga yaitu perbuatan terdakwa menyebabkan isterinya mengalami jatuh sakit dan luka berat sehingga dirawat selama 5 (lima) hari dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari- hari. Berdasarkan Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Umum Dr. Margono Soekarjo. 2.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
pada
Putusan
Nomor : 31/Pid.Sus/2012/PN.Pwt terbagi menjadi dua antara lain pertimbangan yuridis hakim bahwa perbuatan terdakwa sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan pertimbangan sosiologis terdakwa bahwa terdakwa sebagai kepala keluarga mempunyai tanggungan keluarga yang harus diberikan nafkah, terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum, maka hakim Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
98
B.
Saran 1.
Majelis Hakim seharusnya juga mempertimbangkan kondisi korban dan perbuatan sadis pelaku, sebab bukan hanya derita fisik yang diderita korban tetapi juga trauma psikologis.
2.
Perlunya suatu sarana pemulihan terhadap korban tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan pencegahan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Banyumas.
99
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Atmasasmitha, Romli. 1992. Teori & Kapita Selekta Kriminologi.PT. Eresco. Bandung. Yesmil Anwar. 2004. Saat Menuai Kejahatan. Sebuah Pendekatan Sosiokultural Kriminologi. Hukum. UNPAD Press. Bandung. Djannah, Fathul. 2002. Kekerasan terhadap Istri. LKIS. Yogyakarta. Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan: Kumpulan Karangan Edisi 2. Akademika Presindo. Jakarta. Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia. Akademika Pressindo. Jakarta. Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media Publishing. Surabaya. Istiadah. 2005. Pembagian Kerja Rumah Tangga Dalam Islam. Lembaga Kajian Agama Dan Jender dengan PSP. Jakarta. Kansil, C. .S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2004. Pokok -Pokok Hukum Pidana. Hukum Pidana Tiap Orang. Pradnya Paramita. Jakarta. Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Band ung. Magfur, M. 2003. Anatomi Kekerasan Manusia Antara Entitas Mencinta dan Kematian. dalam Pemikiran Pekikiran Revolusioner. QAverroes Press. Malang. Makarao, Muhammad Taufik. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia . Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Marwan, M. dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum. Reality Publisher. Surabaya.
100
Moleong, Lexy. 1999. Metode Penelitian Kwalitatif. Remaja Rosdakarya. Cet.ke. 10. Bandung. Muhadar, Edi Abdullah. dan Husni Thamrin. 2009. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana. CV. Putra Media Nusantara. Surabaya. Muladi dan Barda Nawawi. A..1984. Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung. Muladi. 1996. Kapita Seleksi Hukum Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Munti, Ratna Batara. 2000. Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. LBH APIK. Jakarta. Nawawi, Barda. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Nitibaskara, Tubagus. 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat Sebuah Pendekatan Kriminologi: Hukum dan Sosiologi. Peradaban. Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bhakti. Bandung. Reynata, Vony. 2002. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Institut Perempuan. Bandung. Saadawi, Nawal El. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar. Jogjakarta. Santos, Thomas (ed). 2002. Teori-Teori Kekerasan. PT. Ghalia. Indonesia. Jakarta. Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung. Subhan, Zaitunah. 2004. Kekerasan terhadap Perempuan. PT. Lkis Pelangi Aksara. Yogyakarta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Wahid, Abdul dan Moh. Irvan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasaan Seksual. Refika Aditama. Bandung.
101
Van Bemmelen. 1987. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material Bagian Umum. Binacipta. Bandung.
Sumber Lainnya Katjasungkana,Nursyahbani 1999, Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Perempuan, Jurnal Perempuan Edisi No.9, November 1999, hal. 34. Kusuma, Mahisa Ajy Keadilan dan Kejujuran , http://mahisaajy.blogspot.com/2011/03/keadilan-dan-kejujuran.html Ninik
Rahayu, Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga, http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/653- undangundang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalamrumah-tangga-uu-pkdrt.html, diakses pada tanggal 12 September 2012.
NN, Minggu, 17/01/2010 - 14:03, Banyumas Masuk 10 Besar Kasus KDRT di Jateng, http://www.pikiran-rakyat.com/node/105551, diakses pada tanggal 12 September 2012. NN, Suara Banyumas 06 Januari 2012, KDRT di Purwokerto Meningkat, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/06/172564/ KDRT-di-Purwokerto-Meningkat Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan KDRT