1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dari semua perdebatan terhadap kebutuhan manusia, tampaknya seks menempati posisi paling kontroversial, dan ia tiada henti dijadikan wacana sepanjang peradaban manusia. Sekalipun secara esensial seks merupakan bagian utama dari hasrat pemenuhan kebutuhan badaniah, atau sebagai bagian dari konsumsi yang diperlukan oleh tubuh, akan tetapi di dalam pemahaman seksualitas mengandung pengertian konsep tentang nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks (Wagner dan Yatim, 1997; Ruwaida, 2004). Ada kaitan antara struktur sosial dengan „bagaimana‟, „bilamana‟ seks dilakukan, dan „dengan siapa‟ seks diperbolehkan (diterima) secara sosial, termasuk bagaimana seksualitas laki-laki dan perempuan didefinisikan, dengan sendirinya seksualitas bersifat kultural, yang berbeda antara masyarakat satu dengan lainnya. Dengan cara yang sama, seksualitas merupakan konstruksi sosial, dimantapkan serta dilanggengkan secara kultural, yang mana di dalamnya „dituntut‟ adanya kepatuhan terhadap sistem norma atau nilai kemasyarakatan. Itu sebabnya, setiap perilaku seks dalam suatu masyarakat atau komunitas tertentu merupakan suatu aspek yang menjadi urusan, dan terdapat aturan yang mengatur pelaku seksual agar orang berperilaku seksual selaras dengan yang dianggap wajar secara sosial-budaya. Pandangan Kelly (1992: 233), setiap masyarakat menyusun beberapa standar seksual dan aturan perilaku seksual yang diturunkan dari generasi
ke
generasi, meski
kadang terjadi
modifikasi
dalam
proses
2
perkembangannya. Berdasarkan standar-standar yang dibentuk, kemudian timbul batasan-batasan yang membedakan perilaku „baik‟ dan „buruk‟, „diterima‟ dan yang „tidak diterima‟, yang selanjutnya terbentuk kriteria yang digunakan untuk menetapkan konsep „normal‟ dan „abnormal‟. Dalam hal ini masyarakat memformulasikan cara-cara spesifik lain untuk menentukan apakah suatu perilaku seksual dianggap normal atau tidak normal, karenanya definisi normal bersifat relatif dalam setiap kebudayaan. Melalui kekuatan represif yang dibangun, seperti oleh agama, negara, ataupun kedokteran, seksualitas dikonstruksi sebagai ideologi prokreasi, reproduksi, dan heteroseksualitas. Kekuatan ini yang kemudian melahirkan istilah yang disebut seks „normal‟ dan „abnormal‟, di mana konstruksi seksual normal menekankan pada praktik heteroseksualitas dan praktik di luar itu dianggap sebagai bentuk penyimpangan seksual (Ellis dalam Giddens, 2004: 44). Sementara pada sebagian masyarakat Indonesia, seksualitas masih dianggap sebagai isu yang amat pribadi dan tetap menjadi bagian tabu untuk dibicarakan (Markowitz, 1999). Seiring dengan masyarakat yang terus mengalami perubahan sosial dan budaya, seksualitas pun mengalami dinamika praktik. Belum pudar dari ingatan, di tahun 1970-an, kasus perkosaan terhadap seorang Sum, si penjual jamu di wilayah Yogyakarta yang kemudian dikenal dengan peristiwa „Sum Kuning„. Di wilayah yang sama, seorang ayah menggauli anak perempuan satu-satunya (TPI, 6/5/2005). Di Jawa Timur, seorang kiai menghamili santrinya hingga massa membakar pondok pesantren karena marah dan kecewa kepada kiai yang selama
3
ini dijunjung tinggi (Kedaulatan Rakyat, 2/6/2005), dan masih banyak peristiwa serupa sebagaimana diekspos media massa akhir-akhir ini. Serangkaian peristiwa di atas memperlihatkan sekaligus membuktikan betapa seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis manusia, instingtif-alamiah, dan psikologis, atau menegaskan jika seks merupakan energi psikis dan motivasi yang mampu mendorong manusia untuk berbuat atau berperilaku seksual, dan tidak hanya perilaku manusia seputar relasi seksual tetapi termasuk juga aktivitas non-seksual (Kartono, 1989). Selain itu, melalui peristiwa di atas mampu menunjukkan seksualitas ke arah profanitas yang menembus batas-batas moral, agama, dan norma budaya. Artinya, bahwa seksualitas menjadi sebuah wilayah yang problematis ketika klaim sakral dan moral yang diusung agama menjadi terkontestasi dengan berbagai klaim lainnya, seperti estetika dan ekspresi. Dengan demikian seksualitas akan terus mengalami perubahan pemaknaan selaras dengan perkembangan pengetahuan dan pemahaman yang diobyektivasi sebagaimana realitas sosial. Karena itu, konstruksi sosial akan mempengaruhi orientasi dan perilaku masyarakat dalam persoalan seksualitas. Bisa jadi bagi masyarakat tertentu, seksualitas masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu tetapi tidaklah demikian bagi masyarakat yang lain, dan ini sangat tergantung bagaimana realitas sosial memaknai seksualitas sebagai sebuah kebudayaan. Dikatakan Astrid yang dikutip Suyanto, dkk (dalam Abrar dan Tamtiari, ed., 2001: 111), bahwa di penjara saat pendisiplinan diterapkan secara institusional menyebabkan pergaulan antarnarapidana (selanjutnya disingkat napi)
4
sangat rapat, sehingga menghasilkan pola pergaulan yang khas serta membentuk adat istiadat tersendiri di kalangan mereka. Sistem penjara dengan mekanisme pengawasan, pendisiplinan, dan diberlakukannya pemisahan ruang secara tegas antara laki-laki dan perempuan, menghadapkan napi pada problem seksualitas. Akibatnya di lingkungan penjara tidak jarang muncul bentuk perilaku seksual yang dianggap tidak sesuai dengan ideologi heteroseksualitas. Kompensasi terhadap pemenuhan kebutuhan seksual di antara mereka dilakukan cara-cara yang „berbeda‟ dalam menyalurkan hasrat seksualnya. Adanya istilah, seperti, ade-adean (Wilson, 2005), manon, atau anak-anakan (Suyanto, dkk., 2001) yang muncul di beberapa penjara cukup menjelaskan telah terjadi perilaku seksual dengan cara-cara yang berbeda di kalangan napi.1 Sebagai sebuah institusi dengan sistem pemasyarakatan yang diterapkan oleh penguasa (pemerintah), penjara bertujuan memberikan pembinaan kepada para napi, atau bertugas mengubah individu (lihat Foucault, 2002). Meminjam istilah Foucault (1997), penjara dengan relasi kekuasaan, tekanan, pemasungan terhadap kebebasan napi, dan kekuasaan menghukum dengan wewenangnya yang melampaui batas, „mestinya‟ penjara mampu membentuk individu-individu napi yang patuh dan berguna. Namun di balik penerapan aturan ketat penjara justru muncul perilaku seksual dengan cara-cara „berbeda‟ di kalangan napi. Ini dapat diartikan bahwa pada kenyataannya tidak seluruh individu napi patuh dan disiplin terhadap konstruksi penjara.
1
Berger dan Luckman (1990) menjelaskan, bahwa istilah merupakan rekonstruksi dari sebuah peristiwa, yang tidak akan muncul tanpa didahului oleh sebuah peristiwa. Ini sama halnya dengan proses terciptanya sebuah bahasa dalam konteks konstruksi sosial sebagaimana dijelaskan Berger dan Luckmann (1990).
5
Oleh karena itu, perilaku seksual yang hadir di tengah kehidupan napi demikian merupakan realitas sosial yang menarik untuk dilihat, karena, pertama, pada kenyataannya penjara dengan sistem pemenjaraan justru mampu mendorong daya kreativitas di kalangan napi dalam mengatasi problem seksualitasnya, atau penjara dengan sistem pemenjaraan cukup kondusif memberi ruang dalam melahirkan realitas perilaku seksual yang tidak selaras dengan konstruksi seksualitas yang dibangun atas ideologi heteroseksualitas. Kedua, tentu perilaku seksual di kalangan napi disertai dengan pola-pola sesuai pengetahuan dan pemahaman mereka tentang seksualitas itu sendiri. Ketiga, perilaku seksualitas sebagai sebuah simbol mempunyai makna tergantung pada bagaimana komunitas napi memaknai perilaku seksualitasnya, tentang cara pikir, dan mentalitas serta pada bagaimana mereka melihat dunianya sendiri.
B. Rumusan Masalah Begitu kompleks memahami seksualitas dalam kehidupan napi, di satu sisi seksualitas merupakan bagian penting dan menjadi kebutuhan biologis yang bersifat instingtif-alamiah, di lain sisi, seksualitas tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial yang terbingkai dalam aturan moral, agama, dan norma budaya. Tentu dalam komunitas napi di penjara mempunyai cara pandang sendiri dalam memaknai seksualitas. Berdasar latar belakang dan permasalahan, ada 3 (tiga) pertanyaan relevan yang diajukan sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Bagaimana praktik seksualitas berlangsung di penjara? 2. Bagaimana lingkungan sosial penjara memproduksi kultur seksualitas? 3. Bagaimana kultur seksualitas penjara dipelihara dalam kehidupan komunitas
6
napi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Setidaknya penelitian ini diharapkan dapat memberi sebuah gambaran konkrit tentang persoalan seksualitas di lingkungan penjara menyangkut pola perilaku seksual dan pemaknaannya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menjelaskan sistem pengetahuan napi di lingkungan penjara tentang seksualitas;
2.
Memahami berbagai persoalan yang mengakibatkan terjadinya perilaku seksual napi; dan
3.
Melihat realitas sosial penjara dalam memaknai dan menerima perilaku seksual napi.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat, sebagai berikut: 1.
Membuka ruang perdebatan dan memperluas ruang kajian seksualitas dalam perspektif pemikiran kontemporer.
2.
Sebagai sumbangan pengayaan informasi yang diperlukan dalam rangka pengembangan pengetahuan tentang seksualitas sebagai kebudayaan yang semakin berkembang akibat dinamika sosial yang terus berubah.
3.
Memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkompeten menangani di bidang berkait dengan kehidupan napi, dan memberi wacana kritis yang diperlukan dalam pengantisipasian dan memecahkan persoalan seksualitas di
7
lingkungan penjara, ataupun problem sosial dan psikologis yang dapat muncul dalam kehidupan napi pascapenjara.
D. Tinjauan Pustaka Studi bertemakan penjara menyangkut persoalan kelembagaan ataupun kehidupan napi di penjara telah banyak dilakukan. Dari sejumlah penelitian tentang kelembagaan penjara selama ini berkecenderungan membahas dalam konteks hukum, yang lebih melihat pada efektivitas pidana penjara atau dalam rangka pembenahan sistem peradilan di Indonesia (Kompas, 3/7/2006). Penelitian di luar aspek hukum menyangkut kelembagaan penjara masih relatif jarang dilakukan, dan pada umumnya terfokus pada pembahasan lingkungan penjara secara fisik. Bahkan dari beberapa penelitian mempunyai kemiripan dalam temuannya, bahwa di beberapa penjara masih dijumpai: ketidaksebandingan antara jumlah napi dengan kapasitas daya tampung blok sel; rendahnya kualitas sarana sanitasi; dan, minimnya sarana olah raga, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (Kompas, 12/6/2007). Sementara beberapa penelitian yang mengungkap tentang kehidupan napi masih terbatas pada pembahasan berkait dengan pelanggaran HAM ataupun kesehatan dalam konteks psikologi. Termasuk penelitian ataupun tulisan bertemakan tentang seksualitas (homoseksualitas) di penjara, di mana pembahasan masih terbatas pada tataran praktik perilaku seksualitas menyimpang dan dampaknya dalam konteks psikologi (Sadli, 1976; Gerungan, 1983), atau hanya melihat sebatas pengetahuan dan perilaku seksual berkait dengan persoalan
8
Penyakit Menular Seks (PMS). Di lain pihak, studi yang ada sekadar membuktikan bahwa lingkungan sosial yang tertutup seperti penjara sangat kondusif dalam melahirkan praktik-praktik kearah homoseks atau sebagai lingkungan yang mendorong terbentuknya homoseksualitas (Suyanto, dkk., 2001; Handoko, dkk., 2001). Studi seksualitas ataupun analisis tentang perilaku seksual dalam komunitas penjara yang mengungkap bagaimana lingkungan sosial penjara memproduksi kultur seksualitas dan bagaimana kultur seksualitas penjara dipelihara dalam komunitas napi atau lebih kepada bagaimana perilaku seksualitas dimaknai dan diterima sebagai realitas sosial belum banyak dilakukan. Karya-karya antropologi yang membahas seks pun lebih menekankan pada deskripsi, misalnya, tentang alat kelamin laki-laki yang digambarkan sebagai lambang keperkasaan dan buah dada perempuan sebagai lambang kesuburan, atau kelamin perempuan sebagai lambang kehidupan. Lebih lanjut, dalam melihat hubungan suami-isteri, ahli antropologi bukan mengkaji dari aspek perilaku, tetapi dari aspek perkawinan, keturunan, dan kekerabatan (Tampubolon dan Panggabean, 2004). Beberapa kajian tampaknya mencoba mengangkat tema ini, namun dari waktu ke waktu hanya terbatas melihat kurangnya pengetahuan masyarakat tentang seksualitas tanpa pernah mengungkap sisi alasan mengapa mereka berperilaku dan bagaimana mereka memaknai kehidupan seksualitasnya. Ini sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa penelitian seksualitas, misal, tentang remaja dan kesehatan reproduksi, meningkatnya seks pranikah dan kepermisifan
9
seksual (Soetjipto dan Faturrohman, 1990; Kantor Meneg KLH dan PPK UGM, 1992). Selain itu, studi-studi tentang seksualitas dilakukan dengan menggunakan metode survei, dan cenderung mengkaji seksualitas tidak dalam konteks masyarakat
dan
kebudayaan.
Beberapa
studi
tampaknya
cenderung
mengedepankan analisis secara normatif, menekankan pada asumsi bahwa setiap orang adalah heteroseksual dan „harus‟ heteroseksual. Seksualitas hanya dipandang sebagai sesuatu yang tidak berubah. Jika terjadi sesuatu yang berbeda dalam perilaku seksual dianggap sebagai sebuah penyimpangan, tidak sesuai dengan konstruksi sosial-budaya yang didalamnya „menuntut‟ kepatuhan dari sebuah sistem norma atau nilai kemasyarakatan. Sementara perkembangan dan dinamika sosial-budaya masyarakat tidak dapat dihindari, terus berubah. Akibatnya, meski sebagian masyarakat masih memandang seksualitas sebagai sesuatu yang „sakral‟ dan „tabu‟, namun sebagian lain mengalami perubahan ke arah budaya seksualitas yang „profan‟. Dengan demikian, studi menyangkut perluasan ruang kajian seksualitas yang ke luar dari studi-studi normatif sangat diperlukan. Itu sebabnya, untuk membedakan dengan penelitian selama ini, penelitian ini akan mengungkap secara kualitatif persoalan seksualitas di penjara berkait dengan bagaimana praktik seksual napi, bagaimana lingkungan sosial penjara memproduksi kultur seksualitas, dan bagaimana kultur seksualitas di penjara dipelihara dalam kehidupan komunitas napi. Namun, penelitian ini tidak dimaksudkan melakukan dekonstruksi ataupun rekonstruksi terhadap penjara
10
sebagai sebuah institusi yang bertujuan melakukan pembinaan dan pendisiplinan secara sosial, ataupun mendekonstruksi terhadap kode heteroseksualitas. Seksualitas terjadi di mana saja. Mengambil tema seksualitas di penjara sematamata karena ketertarikan peneliti untuk memahami persoalan seksualitas yang lumrah terjadi di beberapa penjara, bukan pada gejalanya tetapi lebih kepada kultur seksualitas dan yang menyebabkan atau yang membentuknya.
E. Kerangka Konseptual Seksualitas sebagai hasil konstruksi sosial-budaya dipengaruhi oleh suatu proses pembentukan sosial-budaya yang melampaui pembentukan lain dari perilaku manusia (Suryakusuma, 1991; Berger dan Luckmann, 1990). Artinya, pemahaman seksualitas tidak dapat direduksi ke dalam dorongan naluriah yang ada sejak lahir (essentialist). Ini sejalan dengan kritik Weeks (1987) terhadap pendekatan yang melihat seksualitas sebagai gejala biologis, yakni kegiatan di luar kendali individu, dan tidak berpengaruh pada kehidupan pribadi dan kehidupan sosial individu. Dengan cara yang sama, seksualitas bukanlah gejala mandiri, yang tidak dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Pemahaman yang komprehensif atas seksualitas, tidak hanya diperlukan pada fokus pembahasan di tingkat individu, tetapi juga secara sosial karena perilaku seksual merupakan fenomena sosial. Oleh karena itu, faktor eksternal – baik sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik- sudah tentu berpengaruh terhadap perilaku seksual. Dunia hidup sosial senantiasa dibangun melalui makna-makna masyarakat yang menjadi partisipan, yang disebut Berger dengan batasan-batasan realitas
11
(Berger et. al., 1992: 21). Batasan-batasan realitas yang berbeda tentang hidup sehari-hari, menurut Berger, memerlukan tatanan yang menyeluruh sehingga seseorang individu memerlukan batasan-batasan realitas yang berlingkup luas untuk memberikan makna kepada hidup sebagai satu keseluruhan. Dengan demikian antara perilaku individu dengan realitas di dalam masyarakat terjadi satu proses dialektika (Berger dan Luckmann, 1990). Proses inilah yang kemudian melahirkan cara pandang baru, cara berperilaku baru, dan cara mengatasi masalah baru yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial. Sesuatu yang „baru‟ tentu bukan benar-benar baru, karena mungkin mereka peroleh melalui pengalaman-pengalaman hidup berinteraksi dengan orang lain, mendengar perilaku orang lain, atau memang lahir dan muncul dari proses dialektika yang khas dan spesifik dari hubungan sosial itu sendiri. Proses dialektik antara manusia dengan lingkungan, manusia senantiasa membentuk dunianya sendiri, dan dunia itu adalah kebudayaan (Berger, 1994: 710). Itu sebabnya konteks kebudayaan sangat mempengaruhi proses perilaku manusia dalam membangun dunianya, karena hanya dalam satu dunia yang dihasilkan oleh dirinya sendiri, manusia dapat menempatkan diri serta merealisasikan kehidupannya. Oleh karena itu, dalam proses sosialisasi diperlukan satu interaksi, karena manusia tidak dapat bereksistensi dalam kehidupan seharihari tanpa secara terus menerus berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain (Berger dan Luckmann, 1990: 34). Di dalam praktiknya, proses interaksi dan komunikasi itu tidak selalu tanpa hambatan, karena satu perilaku tertentu bisa saja
12
tidak dapat diterima dengan mudah oleh lingkungan sosial dan budaya di mana seseorang itu berada. Sosialisasi mengandung dua pengertian dasar, yakni sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer merupakan sosialisasi yang pertama yang dialami oleh individu dalam masa kanak-kanak sebagai bagian dari anggota masyarakat, sedang sosialisasi sekunder merupakan proses berikutnya yang mengimbas individu yang telah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1990: 187). Dengan demikian, sosialisasi primer menjadi bagian penting dari kehidupan manusia di mana mereka mulai mengenal lingkungan dengan berbagai ragam permasalahannya. Hal ini menjelaskan bahwa kesan pertama dalam kehidupan manusia akan berpengaruh dalam proses kehidupan berikutnya, sebagai sosialisasi sekunder. Karena itu seseorang yang pertama kali dikenalkan dengan „kehidupan penjara‟ di mana ia ditempatkan dimasa kanak-kanak dengan sendirinya akan menjadi pedoman perilaku selanjutnya ketika ia menjadi dewasa (Kelly, 1988: 130). Berger dan Luckmann (1990: 190) kemudian menjelaskan bahwa sosialisasi primer pada gilirannya akan menciptakan kesadaran seseorang suatu abstraksi yang semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Sosialisasi primer menyangkut tiga hal, yakni eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi (Berger dan Luckmann, 1990: 185-187, Berger, 1994: 4-7). Eksternalisasi merupakan proses penyesuaian diri dengan dunia sisio-kultural sebagai produk manusia. Obyektivasi adalah interaksi sosial di dalam dunia
13
intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi, kemudian internalisasi adalah bagaimana individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam hubungannya dengan perilaku adalah realitas obyektif individu atau kelompok. Manusia yang senantiasa mengalami perkembangan tidak hanya berhubungan secara timbal-balik dengan suatu lingkungan alam tertentu, tetapi dengan suatu tatanan budaya dan sosial yang spesifik atau ruang sosial yang dihubungkannya melalui perantaraan orangorang berpengaruh (significant others) yang merawatnya (Berger dan Luckmann, 1990: 68). Seseorang dibentuk tidak hanya atas dasar aturan-aturan sosial, tatapi bahwa perkembangan organismenya juga ditentukan secara sosial. Aturan-aturan sosial seringkali dirasakan oleh individu sebagai satu proses dan bentuk reproduksi sosial yang mengharuskan seseorang untuk berbuat sesuatu. Proses menghadapi reproduksi sosial itu umumnya dihadapi dengan strategi-strategi tertentu agar manusia dapat hidup di dalamnya. Itu sebabnya individu napi yang membentuk komunitas napi dipandang sebagai suatu dialektika antara data obyektif dan makna-makna subyektif, yaitu yang terbentuk dari interaksi timbal balik antara apa yang dialami sebagai realitas luar dan apa dan apa yang dialami sebagai apa yang didalam kesadaran individu. Artinya, semua realitas sosial memiliki komponen esensial kesadaran. Kesadaran akan hidup sehari-hari merupakan jaringan makna-makna yang membuat individu mampu menempuh jalannya melintasi peristiwa-peristiwa biasa dan komunikasi dengan orang lain. Keseluruhan makna-makna itulah yang akhirnya membentuk
14
dunia hidup sosial (Berger et al., 1992: 18-19). Dengan kata lain, realitas obyektif sebagai proses dialektik mengandung pengertian bahwa kesadaran individu terhadap lingkungan sosial dan kebudayaan akan membentuk masyarakat. Kemudian, pada proses berikutnya „dunia‟ yang dibentuk oleh individu yang disebut dengan masyarakat pada gilirannya akan mempengaruhi pula ke dalam kesadaran individu. Karenanya, tingkah laku harus diperhatikan dengan kepastian tertentu, sebab hanya dengan melalui rentetan tingkah laku, atau lebih tepat lagi melalui tindakan sosial, bentuk-bentuk kultural dapat terungkap. Bentuk-bentuk kultural itu sendiri tentu saja terartikulasi dalam berbagai artefact dan berbagai status kesadaran (Geertz, 1992: 21). Lingkungan sosial umumnya akan memperoleh keamanan psikologis yang cukup besar dari perasaan akrab dan menyatu, karena manusia dalam konteks kebudayaan tidaklah sendirian melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kelompok, dalam kelompok itu ia diterima dan memainkan peranan (Mulder, 1984: 64). Di bagian lain, keberadaan komunitas napi di penjara tidak berada dalam batas-batas fisik (physical boundaries) yang tegas. Satu sama lain telah bercampur dalam satu ruang fisik yang antarmereka telah membagi wilayah secara saling bersinggungan bahkan berhimpitan. Karenanya, untuk melihat proses interaksi antarnapi dalam setting sosial penjara ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan. Pertama, artikulasi keberadaan komunitas napi di mana kehadiran setiap napi mengalami proses penegasan baik oleh kelompok napi tertentu maupun oleh
15
kelompok napi lain yang ada di lingkungan sosial penjara. Sebagaimana dalam hubungan antaretnis yang dijelaskan Appadurai (1994) bahwa ekspresi etnisitas bagi suatu etnis merupakan keberlanjutan masa lalu yang merupakan bentuk politik emansipatoris dan penegasan autentisitas etnis. Politik emansipatoris merupakan suatu strategi untuk menghadirkan kesukubangsaannya dalam suatu setting sosial yang cenderung menghilangkan batas-batas etnis (Abdullah, 1999; Soros, 2000). Artinya, proses penegasan identitas napi dalam komunitasnya dapat pula dilakukan oleh lingkungannya atau oleh kelompok lain untuk kepentingankepentingan tertentu. Dalam serangkaian proses sosial semacam ini, identitas bukan lagi merupakan sesuatu yang dibawa secara biologis, tetapi merupakan suatu konstruksi sosial yang keberadaannya berlangsung karena pemaknaan dalam serangkaian interaksi yang terjadi antara kelompok napi satu dengan kelompok napi lain. Kedua, keberadaan penjara di mana perbedaan antarnapi mendapatkan pengikisan dalam proses pembauran. Di penjara setiap napi belajar berkomunikasi dengan cara lebih cepat dapat diterima secara umum di satu sisi, dan setiap kelompok napi pun di lain sisi belajar untuk menerima perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh kelompok napi lain (lihat Green, 1995). Ruang-ruang publik yang terbentuk pada dasarnya memiliki potensi pengikat yang sangat kuat di dalam pembentukan solidaritas baru yang lintas etnis, lintas agama, dan lintas budaya (lihat Starr, 1999; Kappus, 1999). Dalam interaksi semacam ini juga selain akan menghilangkan perbedaan-perbedaan atau terjadinya penerimaan terhadap ciri-ciri yang berbeda, juga akan menghasilkan pengayaan-pengayaan dalam berbagai
16
bentuknya. Ciri-ciri yang berbeda dapat saja kemudian tidak dinilai sebagai faktor pembeda yang memisahkan satu kelompok napi satu dengan kelompok napi lain tetapi dianggap sebagai variasi yang memperkaya lingkungan sosial mereka. Pengayaan-pengayaan akan terjadi pada saat penyerapan bentuk-bentuk ekspresi satu kelompok diadopsi oleh kelompok lain yang seringkali dipakai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari ekspresi seseorang atau sekelompok orang (lihat
Eller, 1999). Proses semacam ini memiliki potensi di dalam
pembauran antarkelompok napi dalam lingkungan sosial penjara. Ruang-ruang penjara yang tersedia dalam berbagai bentuk memungkinkan komunikasi budaya berlangsung dengan baik. Ketiga, simbol-simbol komunikasi antarkelompok napi yang merupakan kunci dalam proses pembauran. Manusia sebagai makhluk simbolis cenderung hidup dalam proses menciptakan simbol dan membaca atau memaknai simbolsimbol dalam proses interaksi. Simbol tentu saja mengalami suatu proses konstruksi yang berlangsung secara dinamis (Berger dan Luckmann, 1979; Cheater, 1999). Walaupun berbagai simbol telah tersedia dalam kehidupannya, proses pemaknaan dari simbol tersebut dapat berkembang sedemikian rupa sehingga suatu simbol dapat dikonsepsikan secara berbeda berdasarkan pada generasi berbeda. Makna-makna simbolis ini akan diberikan berdasarkan interpretasi sehingga sangat mungkin bahwa interpretasi tersebut berbeda antara satu generasi dengan generasi lain. Ketiga aspek di atas merupakan cakupan yang cukup penting pula dalam menjelaskan proses pembauran antarnapi di lingkungan penjara. Dalam hal ini,
17
ciri-ciri lingkungan di mana sejumlah napi berada dalam dan merupakan konteks, sangat menentukan bagaimana pola komunikasi berlangsung, yang dalam hal ini konteks sosial memberi kerangka dan membentuk karakter napi dan hubungan antarnapi. Sementara dalam kasus kebudayaan dominan, lingkungan sosial memberi pengaruh yang besar di dalam membangun suatu komunikasi budaya dalam proses interaksi antarkelompok napi. Sejalan dengan ini, lingkungan sosial penjara memiliki latar belakang historis dan memiliki realitas obyektif yang penting untuk dikaji (lihat Berger dan Luckmann, 1979) yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki daya paksa terhadap setiap individu napi dalam proses integrasi sosial di lingkungan penjara.
F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lapas Wirogunan, adalah penjara terbesar di antara penjara lain yang ada di Propinsi DIY dengan kapasitas daya tampung 750 orang. Memiliki daya tampung demikian, praktis di dalam lingkungan penjara tidak terbebas dari konsekuensi yang diakibatkannya. Bermacam problem dengan berbagai skala muncul mewarnai kehidupan komunitas napi yang sudah barang tentu berimplikasi pada cara penanganan (pihak lembaga penjara). Di Penjara Wirogunan, napi dibedakan atas dua tipologi kasus, yakni kriminalitas dan narkoba. Napi dengan kasus kriminal, di antaranya, pembunuhan, pemerkosaan atau kekerasan seksual, perampokan, pencurian, penipuan, penggelapan senjata api, dan sebagainya adalah penghuni yang cukup
18
mendominasi di penjara ini, mencapai 60 persen, di mana bagian terbesar adalah mereka dengan jenis kelamin laki-laki (BNK Yogyakarta, 2005). Dengan kata lain, kriminalitas merupakan kasus yang cukup representatif terhadap besaran jumlah napi di Penjara Wirogunan. Sementara sistem Penjara Wirogunan memberlakukan pemisahan ruang secara tegas antara napi laki-laki dan perempuan, dengan demikian hampir dapat dipastikan bahwa di dalam kehidupan napi kriminal mengalami problem seksualitas. Berdasarkan hal di atas, karena itu yang dijadikan subyek dalam penelitian ini ditentukan napi laki-laki dengan kasus kriminal, di samping berkaitan dengan beberapa hal, pertama, aktivitas seksual di lingkungan penjara, lebih terbuka pada napi laki-laki dibanding perempuan. Kedua, karena peneliti adalah laki-laki, sehingga akses peneliti lebih memungkinkan melihat napi laki-laki dibanding napi perempuan karena persoalan gender. Ketiga, karena napi dengan tipologi kasus kriminalitas pada umumnya mempunyai masa hukuman relatif lama, sehingga dapat diasumsikan bahwa mereka tentu mengalami problem dalam pemenuhan kebutuhan seksualnya. Sementara obyek dalam penelitian ini adalah segala bentuk seksualitas, tidak saja terbatas pada relasi seksual (sexual act) tetapi termasuk aktivitas non-seksual. Beberapa alasan di atas itulah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengambil Penjara Wirogunan sebagai lokasi penelitian, yang di dalamnya
19
mampu mencerminkan adanya problem seksualitas dan perilaku seksual dalam kehidupan komunitas napi.2 2. Teknik Pengumpulan Data Mempertimbangkan permasalahan, menuntun peneliti untuk mengambil pendekatan kualitatif (lihat Wattie dalam Ahimsa-Putra, 2006: 37-47), dengan pengkajian secara mendalam kepada masing-masing subyek penelitian, di mana Geertz (1992) menyebutnya dengan thick description. Oleh sebab itu tidak ada strategi penelitian yang lebih tepat dalam pengumpulan data, kecuali observasi (pengamatan) untuk melihat secara langsung berbagai gejala seksualitas dengan segenap pewacanaannya yang berkembang di tengah komunitas napi di penjara, yang dapat mengisolasi, mengidentifikasi, dan memproduksi pengetahuan. Atau secara sederhana, wacana dapat membentuk pemahaman umum mengenai benarsalah, boleh-tidak boleh, halal-haram, diterima-tidak diterima sesuai wacana yang dominan. Selain itu, pengamatan juga dilakukan untuk melihat pola perilaku seksual di kalangan napi dalam berbagai dimensi dan karakternya. Hanya saja, segala sesuatu yang berkait dengan kehidupan napi di dalam penjara diatur secara kelembagaan dengan aturan yang begitu ketat, sehingga tidak dibenarkan pihak luar berhubungan langsung dengan napi pada malam hari karena pertimbangan aspek keamanan. Itu sebabnya, serangkaian observasi dalam penelitian ini sepenuhnya hanya dilakukan pada siang hingga sore hari. Sementara, mengingat komunitas napi adalah komunitas yang tertutup di dalam 2
Informasi ini diperoleh dari beberapa sumber saat dilakukan observasi awal jauh sebelum penelitian ini dilakukan, di antaranya dari seorang sipir penjara, pegawai administrasi, dan lebih dikuatkan oleh beberapa mantan napi yang memahami betul persoalan seksualitas dalam kehidupan napi di Penjara Wirogunan.
20
pola pergaulannya, untuk itu agar kami (peneliti) dapat diterima di lingkungan penjara dan juga agar para napi tidak merasa sedang diteliti, maka segala identitas peneliti disembunyikan dengan mengaku sebagai mahasiswa yang hanya sekadar mencari data dalam rangka tugas perkuliahan. Selanjutnya, untuk mendapatkan keakurasian data maka observasi kemudian diperdalam melalui wawancara (indepth interview) secara intensif terhadap 9 informan (sesuai dengan tingkat kebutuhan data), yang mana antara jawaban informan satu dengan lainnya senantiasa dilakukan check and recheck Mengingat informasi dari sumber (informan) mempunyai signifikansi terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan penelitian, karena itu informan yang dijadikan sumber informasi dalam penelitian ini ditentukan, adalah mereka dengan kriteria: (1) memiliki kapabilitas dalam memahami secara kualitas persoalan seksualitas di penjara; (2) dapat menjelaskan dengan baik (komunikatif) terhadap berbagai persoalan berkait dengan seksualitas dan perilaku seksual napi di penjara; dan, (3) mampu mencerna berbagai dinamika sosial-budaya yang berkembang, termasuk wacana yang menunjuk berbagai aturan dan praktik pada rentang waktu tertentu. Informan dalam penelitian ini dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu informan yang berasal dari kalangan napi (tipologi kasus kriminalitas) dan bukan napi. Mereka yang bukan dari kalangan napi adalah orang yang berada di lingkungan penjara yang memiliki keterlibatan, kompetensi, dan berhubungan langsung terhadap obyek atau subyek penelitian, di antaranya pimpinan penjara (sebagai pemutus kebijakan), para sipir penjara, orang-orang yang secara
21
fungsional menangani pembinaan berkait dengan persoalan seksualitas, seperti rokhaniwan, psikiater, dan medis serta petugas penjara lain yang setiap saat dapat berhubungan langsung dengan napi, seperti petugas pengantar ransum makanan, ataupun petugas kebersihan lingkungan penjara. Pengambilan informan dari kalangan napi dilakukan secara snowballing, dengan sendirinya informan pertama merupakan pijakan awal yang turut menentukan dalam pengambilan informan selanjutnya. Informan pertama yang berasal dari kalangan napi ditentukan secara langsung terhadap napi bernama Penceng (42)3 sebagai akses penting sekaligus merupakan pintu masuk dalam mengungkap persoalan berkait dengan obyek dan subyek penelitian. Sedangkan informan dari kalangan bukan napi, Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Penjara (KPLP) secara langsung ditentukan sebagai informan pertama, dengan alasan bahwa secara hierarkhis KPLP adalah pimpinan dan sekaligus merupakan representasi penguasa di wilayah Penjara Wirogunan yang bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dan ketertiban terhadap seluruh blok sel, yang secara ideal ia mengetahui berbagai dinamika sosial-budaya yang terjadi dalam kehidupan napi, termasuk persoalan seksualitas. Setelah melalui proses adaptasi selama pada bulan-bulan pertama, dan dijembatani oleh informan pertama (napi), cukup memperlancar jalannya 3
Informan pertama dari kalangan napi adalah kolega peneliti, seorang yang berprofesi sebagai sopir angkutan umum yang pada saat penelitian ini dilakukan ia telah mendekam lebih dari 8 bulan karena kelalaiannya menyebabkan tewasnya seseorang (kasus tabrakan lalu lintas). Atas kasus tersebut ia dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun. Sebagai catatan, bahwa napi ini adalah termasuk napi yang diposisikan dengan status „senior‟. Antara peneliti dan napi telah saling mengenal dengan baik dan memiliki kedekatan emosional, di mana di antara kami sama-sama pernah bekerja dalam perusahaaan yang bergerak dalam bidang transportasi. Kurun waktu pemenjaraan yang telah dilalui, dipandang informan cukup waktu dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan penjara, sehingga mampu menangkap berbagai gejala seksualitas dan praktikpraktik seksual yang hadir di ruang kehidupan napi.
22
penelitian di dalam melihat kehidupan napi. Sudah barang tentu ini merupakan modal tersendiri, sehingga cukup membantu peneliti melakukan hubungan personal secara intensif terhadap beberapa napi. Dengan terus membangun hubungan personal terhadap beberapa napi akhirnya peneliti mampu menentukan informan kunci (key-informan) yang kemudian dilibatkan dalam wawancara secara mendalam berkait dengan berbagai persoalan seksualitas yang hadir di tengah kehidupan komunitas napi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman (guidance), berisi pertanyaan-pertanyaan pokok, meski dalam praktik pelaksanaan di lapangan dilakukan secara bebas. Dimaksudkan, peneliti tidak harus terpaku pada pokok pertanyaan terstruktur tetapi bebas melakukan pengembangan yang notabene tetap berdasar pada respons informan atau jawaban atas pertanyaan sebelumnya yang diajukan peneliti. Cara ini sebagaimana lumrah dilakukan dalam studi kualitatif (interpretif), karena nilai dari data yang diperoleh sama bobotnya dengan data yang diajukan melalui pedoman wawancara. Selain semua data dan informasi yang diberikan informan pada prinsipnya bernilai simbolis, di mana makna dari data diperoleh melalui interaksinya dengan simbol-simbol tersebut (Geertz, 1992: 5). Adapun data yang digali melalui wawancara menyangkut berbagai hal, seperti, institusionalisasi (aparatus seksualitas, pendisiplinan), pengetahuan tentang seksualitas, dan strategi napi dalam menghadapi persoalan seksualitas, hingga bagaimana perilaku seksual mereka dimaknai sebagai realitas sosial. Untuk melengkapi teknik observasi dan wawancara mendalam, dilakukan pula pengumpulan data melalui metode sejarah kehidupan (life history) terhadap
23
seorang napi. Life history diperlukan untuk menggambarkan proses perubahan perilaku napi dalam satuan waktu dan ruang sosial yang berbeda, atau penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan napi dari waktu ke waktu, semenjak sebelum ia di penjara (berada di luar lingkungan penjara) dan setelah berada dalam lingkungan penjara. Life history tidak hanya mengandalkan wawancara tunggal dengan informan, tetapi check and recheck senantiasa dilakukan kepada teman dekat napi. Ini terutama dilakukan ketika peristiwa-peristiwa yang dianggap penting oleh peneliti dilupakan napi, ataupun untuk mengungkap kebenaran karena sesekali napi bisa jadi tidak jujur dalam mengungkapkan sebuah pengalaman, opini, atau peristiwa yang menimpanya. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan menggunakan metode participatory listening, yaitu mendengarkan perbincangan (bukan wawancara) dari beberapa orang-orang yang dekat dengan napi (isteri, pacar, teman, sipir) terhadap permasalahan berkait dengan perilaku seksual napi, yang secara tidak langsung dapat digunakan dalam memperkaya analisis data. 3. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini sepenuhnya menggunakan analisis deskriptif (interpretif) dengan melibatkan tahap-tahap teknik triangulasi. Sesuai dengan kaidah analisis triangulasi, data yang diperoleh dari informan dianalisis secara terus menerus selama proses pengumpulan data di lapangan berlangsung (Yuswandi dalam Bungin, ed., 2003: 100). Kemudian tahapan analisisnya adalah data dan informasi yang diperoleh dikelompok-kelompokan menurut kriteria-
24
kriteria yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yang mengacu pada konsep atau teori yang dipergunakan (Faisal dalam Bungin, ed., 2003: 64). Data dan informasi tersebut diklasifikasikan dan dipilah-pilah ke dalam satuan-satuan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Geertz (1992: 33) menyebut tahapan ini dengan istilah diagnosis terhadap tindakan-tindakan simbolis. Setelah diklasifikasi, data yang telah terspesifikasi tersebut selanjutnya diabstraksi, diinterpretasi serta dihubungkan antara yang satu dengan lainnya, sehingga melahirkan dugaan baru mengenai kenyataan-kenyataan yang ditelusuri. Hasil dugaan tersebut kemudian diperbandingkan dengan fakta yang diperoleh dari observasi, wawancara, life history, dan participatory listening. Setelah
diperbandingkan
dilakukan
pencarian
relasi
logis
untuk
menemukan konteks yang terbangun dari fakta yang diperbandingkan tersebut. Dengan meminjam istilah Geertz (1992), konteks yang terbangun tersebut merupakan aliran perbincangan sosial yang diperoleh dari hasil menerka-nerka makna, dan menaksir ulang terkaan tersebut untuk menemukan kesimpulan eksplanatoris dari terkaan yang lebih baik. Pada tahap inilah analisis interpretif dapat diakhiri dan penyajian tulisan etnografi dapat dimulai. 4. Waktu Penelitian Seluruh rangkaian kegiatan penelitian hingga mewujud dalam sebuah teks hasil penelitian dilakukan dalam waktu relatif panjang. Diawali dengan observasi awal yang dimulai dari bulan Februari hingga pertengahan Maret 2006. Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data yang dilakukan selama bulan April 2006 hingga Januari 2007. Lamanya pengumpulan data demikian, selain disebabkan karena rumitnya permasalahan penelitian, juga terbentur adanya aturan dan
25
struktur waktu di lingkungan penjara yang begitu ketat. Praktis observasi hanya bisa dilakukan pada siang hari, belum lagi sulitnya menentukan informan dan menemuinya untuk dilakukan wawancara. Selain itu, proses pengklasifikasian data, analisis data, dan pembimbingan penulisan laporan penelitian pun memerlukan waktu tidak sebentar, sehingga seluruh rangkaian penelitian hingga terwujudnya teks hasil penelitian ini dilakukan tidak kurang dari 3 tahun.