BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penghormatan pada kelahiran Nabi Muhammad menempati posisi istimewa dalam tradisi pesantren. Penghormatan itu termanifestasi dalam kehidupan kepesantrenan. Kitab-kitab keagamaan terkait dengan kelahiran Nabi Muhammad yang bercorak sastra seperti Barzanzy, Maulid Diba’i, dan Kasidah Burdah diajarkan dan diamalkan di pesantren. (Manshur, 2011: 136). Ketiga kitab tersebut tidak hanya disambut dengan tradisi tulisan tetapi disambut dengan tradisi lisan. Kegiatan pembacaan ketiga kitab tersebut biasa disebut dengan barzanzen, dibaan dan burdahan. Lantunan bait puisi berupa pujian dan shalawat kepada Nabi tersebut tidak hanya pada saat Maulud Nabi (kelahiran Nabi Muhammad), tetapi pada malam Jumat (Manshur, 2011: 136; Hisyam, 2001: 39). Bahkan dalam tradisi pesantren, kegiatan dibaan, barzanzen, burdahan dan peringatan hari kelahiran Nabi dianggap sebagai kegiatan kemasyarakatan bernuansa agama, dengan menyampaikan ajaran Islam kepada santri dan masyarakat melalui pembacaan teks-teks Islam klasik (Manshur, 2011: 133). Bentuk penghormatan kepada kelahiran Nabi Muhammad juga dikenal dalam beberapa tradisi Nusantara. Di Jawa dan Sunda, muncul beberapa saduran terhadap kitab klasik Islam tersebut dalam bahasa lokal yang digurat dalam metrum-metrum
1
persajakan setempat. Bahkan, dalam tradisi Melayu kisah-kisah tentang kelahiran Nabi Muhammad termasuk sebuah genre tersendiri, yaitu hikayat hagiografi (Braginsky, 1998: 277). Dalam tradisi Madura, yang tradisi pesantren atau keislamannya hampir mirip dengan Jawa, bentuk penghormatan pada kelahiran Nabi juga hampir sama, baik itu dalam pelisanan kitab klasik Islam dalam bentuk barzanzen, dibaan dan burdahan, maupun dalam sambutan pada teks-teks kelahiran Nabi dalam bentuk puisi dalam bahasa lokal, di antaranya adalah syiir Madura. Biasanya syiir memang dilisankan dan kegiatan itu disebut dengan syiiran atau singiran (dalam tradisi Jawa) dan seeran (dalam tradisi Madura). Tradisi membaca syiir sangat kental dengan masyarakat Islam pesisiran (Jamil, 2010: 24). Syiir sendiri berasal dari tradisi Arab, yaitu syair yang berarti puisi (Jamil, 2010: 21; dalam tradisi Melayu lihat Braginsky, 1998: 226). Tradisi membaca dan menulis syiir memang cukup melimpah dalam tradisi kepenyairan dalam tradisi Islam Pesisir dan Madura sebagai bentuk tranformasi keislaman yang disebut sebagai tradisi syiiran (Jamil, 2010: 24). Syiir adalah metrum puisi yang paling banyak ditemukan di kawasan pesisir Jawa bagian utara dan Madura, dan biasanya digunakan oleh kalangan pesantren dengan menggunakan bahasa lokal, dan berisi ajaran keagamaan, nasehat atau berkisah tentang para nabi atau wali. Genre berbentuk syiir yang memiliki kesepadanan dengan syair dalam tradisi sastra Melayu tradisional, yang menjadi genre yang disukai oleh beberapa kyai pengampu pesantren Jawa dan Madura dalam bersastra, dengan muatan agama Islam yang kental. Ahmad
2
Tohari menyebut genre ini sebagai sastra pesantren dalam pengertiannya yang paling tradisional, yaitu sastra pesantren sebagai sastra dakwah (Tohari, 1998: 80). Beberapa kyai di Jawa Timur yang hidup pada tahun 1900—1980-an dikenal sebagai para penulis dan menggunakan karya syiirnya dalam melakukan kegiatannya. Tulisannya berupa karya sastra dan keagamaan. Sebagaimana fungsi kyai di masyarakat, karya sastra yang ditulis pun bernafas keagamaan. Bahkan ciri khas dakwahnya demikian kental (Tohari, 1998: 80). Jaringan ulama atau kyai yang berpusar pada KH. R. Moch. Kholil (1819—1925), pendiri pesantren Kademangan Bangkalan Madura, telah menghasilkan banyak Kyai atau ulama di Jawa dan Madura, yang memiliki tradisi kepenulisan yang bagus, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa lokal. Salah seorang santri KH. R. Moch. Kholil yang sangat menonjol dalam karya kepenulisannya dalam bahasa lokal adalah KH. R. As’ad Syamsul Arifin (1897—1990). Kyai As’ad, begitua ia kerap disapa, sangat produktif dan menghasilkan beberapa kitab syiir dalam bahasa Madura. Salah satu karyanya yang merupakan sambutan teks Maulid Nabi dalam bahasa Madura adalah kitab Syiir Madura Fi Qisah Ratu Abrahah ban Serdadunah Sabidak Ibu Bakal Agujur Ka’bah Saiket Ari Sabellunnah Nabi Muhammad SAW Lahir Watusamma Wiladatuhu ‘Amul Fiil (Syiir Madura dalam Kisah Ratu Abrahah dan Serdadunya Enam Puluh Ribu Bakal Menghancurkan Ka’bah Lima Puluh Hari Sebelum Nabi Muhammad SAW Lahir dan Kelahirannya Dinamakan dengan Tahun Gajah), selanjutnya disebut Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal
3
Menyerbu Ka’bah. Judul tersebut disingkat karena judul aslinya sangat panjang dan penyebutan ini sudah mewakili substansi dari isi dan kandungan teks. Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya KH. R. As’ad Syamsul Arifin, yang berasal dari Pamekasan Madura dan menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, termasuk sambutan pada teks-teks maulid Nabi dengan bahasa lokal. Hanya saja, ada kekhasan tersendiri pada teks tersebut, sesuai dengan judulnya, yakni kisah yang diangkat bukan tentang sosok Nabi Muhammad, tetapi Ratu Abrahah yang bakal menggempur Ka’bah. Dalam konteks ini teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah merupakan teks Maulid Nabi dengan kekhususan sebagai teks Abrahah karena latar waktunya adalah 50 hari sebelum kelahiran Nabi, sehingga sosok Nabi tidak ada di dalamnya, sedangkan yang menjadi fokus adalah Ratu Abrahah. Pada sampul naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah terdapat hiasan bunga-bunga, juga terdapat keterangan disalin pada tahun 24 Shafar 1392 H/ 9 April 1972 H. Penyalinnya adalah Ustad Baihaqi bin Syekh Ismail, sedangkan penggambarnya adalah Abdus Somad Bukhori. Kedua nama itu terdapat pada sudut bawah. Di bawah judul yang panjang tertera nama pondok pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo. Dalam teks tidak ditemukan kolofon sehingga tidak diketahui proses penyalinannya. Menurut D. Zawawi Imron, sastrawan dan ahli budaya Madura, masa-masa KH. R. As’ad Syamsul Arifin menulis syiir Madura pada tahun 1922, yang dibenarkan oleh putranya KH R. Fawaid As’ad (Jawa Pos, 3 Januari 1999).
4
Imron menjelaskan, syair-syair tersebut dianggap mewarnai perjalanan sastra Madura dan keagamaan di Nusantara. Naskah tersebut ditulis dengan huruf pegon dan berbahasa Madura. Pegon dalam bahasa Madura disebut pegu (Imron, 1989: 194). Dengan demikian, diasumsikan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah juga dikarang pada tahun 1922. Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah diidentifikasi sebagai naskah pesisir-Madura. Konvensi yang berlaku dalam naskah pesisir berbeda dengan naskah Jawa pedalaman, baik dari sisi aksara, metrum macapat, serta dialek setempat. Sastra pesisir dan Madura biasanya ditulis dengan huruf pegon atau Arab gundhil (Pigeaud, 1967: 34). Naskah yang ditulis dengan huruf Arab disebut dengan naskah pegon dan hurufnya dinamakan Arab pegon, atau disebut pegon saja (Mulyadi, 1994: 8). Pigeaud (1967: 4—7) menyebut bahwa perkembangan sastra pesisir terjadi pada abad ke-15 hingga abad ke-19. Pada rentang zaman itu, kegiatan sastra berpindah dari pusat kota Majapahit ke kota-kota pesisir yang merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam. Kota-kota pesisir di Jawa yang memainkan peran penting dalam penulisan kitab agama dan karya sastra adalah Gresik, Tuban, Sedayu, Surabaya, Demak dan Jepara (Pigeaud, 1967: 6—7). Pigeud menjelaskan bahwa perkembangan sastra Jawa, terbagi dalam empat babak: (1) zaman Hindu Jawa, dari abad kesembilan hingga
kelimabelas;
(2)
zaman
Jawa-Bali
dari
abad
kelimabelas
sampai
kesembilanbelas, (3) zaman pesisir, mulai abad kelimabelas hingga kesembilanbelas, dan (4) zaman Surakarta dan Yogyakarta, mulai abad keelapanbelas sampai abad
5
keduapuluh (Pigeud, 1967: 4—7). Abdul Hadi WM. (2003: 45) menambahkan bahwa pesisir yang dimaksudkan itu termasuk juga Madura. Lebih jauh, ia jelaskan, dari segi isi, sastra pesisir dan Madura bercorak keagamaan, sehingga banyak ditemukan tentang kisah para nabi, sahabat nabi, kisah para wali, raja dan pahlawan Islam, sastra kitab dan tasawuf. Dalam penelusuran naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah tidak ditemukan di beberapa tempat penyimpanan naskah, baik itu di Museum Mpu Tantular Surabaya, Museum Radya Pustaka Surakarta, Museum Sasana Pustaka Surakarta, Museum Sono Budaya Yogyakarta, Perpustakaan Nasional dan penelusuran beberapa katalog penyimpanan naskah Nusantara lainnya. Dengan demikian naskah ini belum terkodifikasi. Kondisi itu membenarkan sinyalemen Pigeaud bahwa naskah pesisir (Madura) telah banyak yang hilang (Pigeaud, 1967: 34). Asumsi awal, Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah memiliki kesaksian naskah tunggal (codex unicum). Naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah yang menjadi obyek penelitian ini ditemukan di Pondok Pesantren Annuqoyyah, Sabanjarin Guluk-guluk Sumenep, dan merupkan koleksi K.M. Faizi Kailani (pengasuh pesantren tersebut), yang ia peroleh dari orang tuanya. Adapun di Pondok Pesantren Salafiyah Situbondo sudah tidak bisa ditemukan salinan naskah tersebut (Hasan, 2009: 36—7). Kajian ini merupakan studi filologi pada naskah dan teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Dalam analisis digunakan teori resepsi sastra
6
karena tradisi penulisan sejarah kelahiran Nabi Muhammad dikenal dalam tradisi kesusastraan Nusantara sebelumnya, baik itu di Jawa, Madura maupun Melayu. Diasumsikan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah merupakan resepsi atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Abrahah dalam sejarah adalah seorang gubernur Yaman yang berada di bawah raja Abassina yang bernama Negus atau Najassi. Adapun Abrahah adalah orang Abassina (Lings, 1991: 39). Ihwal asal-usul Abassina dan sinonimnya memiliki akar yang kuat dalam tradisi keberaksaraan di Timur Tengah dan Afrika (Ali, 2014: 164—174). Dalam berbagai khasanah, Abrahah disebut dengan raja atau bahkan ratu yang identik dengan penguasa. Sebutan ratu dalam konteks ini tidak mengarah pada perempuan karena di Nusantara, ratu juga bisa mengarah pada raja. Terdapat beberapa alasan naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah yang akan dikaji lebih jauh dalam penelitian ini. Di antara alasannya adalah karena naskah ini berbeda dengan naskah Maulid Nabi secara umum, karena tidak berbicara tentang proses kelahiran Nabi Muhammad tetapi menggurat peristiwa menjelang kelahiran Nabi, yaitu ketika Raja Abrahah akan menghancurkan Ka’bah. Pada banyak khasanah, terutama terkait dengan perayaan Maulid Nabi, yang diutarakan adalah tentang kelahiran Nabi dan keajaiban-keajaibannya, tetapi karya syiir Madura kali ini bukan hal itu yang menjadi fokusnya. Naskah ini menyinggung kelahiran Nabi, tanpa kehadiran sosok Nabi di dalamnya. Alasan lainnya karena naskah ini belum pernah dijadikan sebagai bahan penelitian.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasar latar belakang tersebut, terdapat dua permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut. 1.2.1
Bagaimana menghadirkan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah bagi pembaca masa kini?
1.2.2
Bagaimana resepsi sastra Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan keilmuan yang utama adalah untuk mengakumulasi ilmu humaniora, terutama yang bertumpu pada filologi, sastra dan budaya. Rincian tujuannya sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Teoretis A. Mengalihaksarakan dan menghadirkan suntingan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah berdasarkan kaidah-kaidah ilmu filologi B. Menganalisis resepsi sastra dalam naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah, terutama terkait tanggapannya terhadap karya-karya serupa yang berbicara tentang sejarah kelahiran Nabi Muhammad.
8
1.3.2 Tujuan Praktis Selain tujuan yang bersifat keilmuan, penelitian ini juga memiliki tujuan praktis, di antaranya sebagai berikut. A. Membuka akses bagi masyarakat untuk mengetahui lebih luas tentang kandungan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah B. Menampilkan capaian kreasi, nilai-nilai budaya, kearifan dan kebajikan masa lampau kepada generasi masa kini. C. Menghadirkan warisan pengetahuan masa lampau sebagai bahan pengayaan atau landasan pada pengetahuan kini yang sesuai dengan semangat zaman.
1.4 Tinjauan Pustaka Berdasar penelusuran, belum ditemui tulisan yang membahas tentang Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya KH. R. Moh. As’ad Syamsul Arifin. Syamsul A. Hasan (2009: 36—7) hanya menyinggung sebuah kitab Syiir Madura karya Kyai As’ad yang berbicara tentang tuntutan muda-mudi yang diselingi dengan humor, bukan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Hasan mengaku mendapatkan buku ini di kantor pesantren, dan “buku ini hanya sebagian kecil hasil karya seninya, yang sempat dibukukan –atau memang yang sempat kami temukan” (Hasan, 2009: 36). Sementara itu, D. Zawawi Imron dalam esainya “Sepercik Puisi KH. As’ad Syamsul Arifin” dimuat Jawa Pos, Minggu, 3 Januari 1999, menyinggung karya Kyai
9
As’ad yang sama dengan yang ditulis Syamsul A. Hasan. Imron mengawali tulisannya dengan paragraf
“Awal November 1996, saya diundang untuk mengisi dialog di
Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo. Pengasuh pesantren, KH. R. Fawaid As'ad, memberi saya sebuah buku sastra karangan ayahnya, KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Judul kitab itu Syiir Madura, ditulis dalam bahasa Madura huruf Arab.” Imron menjelaskan karya itu adalah sastra pesantren. Menurutnya, sastra pesantren dulunya merupakan perpanjangan dari sastra Islam yang pada asalnya menggunakan bahasa Arab. Tak heran kalau bentuk puisi Kyai As’ad yang berbahasa Madura masih dalam bentuk konvensional seperti puisi penyair-penyair Islam sebelumnya. Berikut ini kutipannya. “Salah satu keuntungan menulis dengan pola konvensional ialah tersedianya ragam lagu yang sudah menjadi irama keseharian dalam senandung khas masyarakat yang pernah meneguk ilmu di pesantren. Sedangkan dalam masyarakat Madura tradisional, denyut pesantren merupakan bagian utama dari denyut jantungnya. Pada kenyataannya, syiir (puisi-puisi pesantren) yang ditulis generasi sesudah Kyai As'ad, misalnya oleh K.H. Abdul Madjid Tamim dari Pamekasan, sampai sekarang masih disenandungkan putra-putri Madura yang tinggal di pedesaan. Irama itu terasa sangat padu dengan desir angin agraris yang mengusik-usik pucuk-pucul siwalan, dengan langkah kuda beban yang sedang mendaki punggung bukit kapur, serta dengan suasana hati penyabit rumput di sudut-sudut ladang pada pertengahan kemarau. Bahkan, sejak 1970-an ketika lagu-lagu mulai dikasetkan, syiir-syiir pesantren itu banyak juga yang
10
masuk dapur rekaman dan laris di pasaran. Salah seorang pelantun syiir itu ialah R. Moh. Aminollah” (Imron, 1999). Adapun syiir atau puisi Kyai As'ad yang dibaca Imron lebih banyak bertema tata krama kehidupan. Sebagaimana yang sudah disebutkan karya ini yang ditemukan Hasan dan sudah menjadi buku yang diterbitkan pesantren setempat. Karya tersebut merupakan sebuah karya didaktik yang mengimbau kesejukan dan kedamaian hidup dengan landasan nilai-nilai profetik. Dengan kata lain, kalau mau hidup damai sejahtera, bertauladanlah kepada peri kehidupan Nabi Muhammad. Di samping itu, tegas Imron, ada hal yang cukup mengejutkan apabila merenungkan beberapa bait puisinya yang seperti menyoroti secara tajam situasi sosial. Menurut Imron, karya Kyai As’ad Syamsul Arifin,
cukup membumi dan aktual buat zaman sekarang. Karyanya
mencerminkan sifat-sifat kebudayaan dan peradaban tempat ia lahir dan dibesarkan. Kyai As’ad telah berbuat untuk peradaban kita, dengan sajak-sajaknya yang tajam (Imron, 1999). Adapun M. Muhkhis Jamil pernah melakukan penelitian dengan obyek syiiran kyai-kyai. Syiir yang diteliti tidak berupa syiir Madura, tetapi syiir dalam bahasa Jawa, yang meliputi tiga daerah yaitu Banyumas, Negerigung dan Pesisir. Kajiannya terfokus pada transformasi ajaran Islam di masyarakat lewat karya syiir (Jamil, 2010). Dengan demikian memang belum ditemukan penelitian terhadap Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah.
11
1.5 Landasan Teori Penelitian ini mencakup dua pokok bahasan, yaitu penelitian filologi dan penelitian resepsi sastra berdasar teori Hans Robert Jauss (1921—1997). Digunakan teori filologi karena objeknya adalah naskah lama, sedangkan teori resepsi digunakan untuk menganalasis sambutan teksnya.
1.5.1 Filologi Sebagaimana diketahui, objek studi filologi adalah naskah dan teks. Naskah menunjukkan pengertian sesuatu yang kongkret, sedangkan teks adalah abstrak (Baroroh-Baried, 1994). Naskah yang menjadi sasaran kerja filologi dipandang sebagai hasil budaya berupa cipta sastra. “Naskah itu dipandang sebagai cipta sastra karena teks yang terdapat dalam naskah itu merupakan suatu keutuhan dan mengungkapkan pesan. Pesan yang terbaca dalam teks secara fungsional berhubungan erat dengan filsafat hidup dan dengan bentuk kesenian yang lain” (Baroroh-Baried, 1994: 4). Baroroh-Baried (1994: 47) menjelaskan, kajian ahli filologi bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisisnya, atau untuk kedua-duanya. Pada tahap awal kajian terhadap naskah-naskah itu adalah melakukan penyuntingan. Dijelaskan Robson (1994: 12), studi filologi lebih dari sekedar ‘kritik teks’ dan berbeda dengan linguistik dan sastra, meski berkaitan dengan hal itu. Tugas filolog adalah menjembatani kesenjangan penulis di masa lalu dan pembaca modern, oleh karenanya banyak hal yang perlu dilakukan. Dari semua tugas filolog dapat diringkas
12
menjadi sebuah frase ‘membaca teks terbaca atau dimengerti’ (Robson, 1994: 12). Dalam konteks kajian ini, yang dijadikan paradigma adalah teori filologi baru yang memandang perubahan karya dan penyimpangan dari teks asli bukan sebagai hal yang korup sebagaimana dalam filologi lama tetapi sebagai kreativitas. Apalagi Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah adalah naskah tunggal, yang menjadi fokus adalah edisi teksnya atau penyuntingannya. Jika melihat kedudukan filologi di antara ilmu lain terdapat hubungan timbal balik dan saling membutuhkan (Baroroh-Baried, 1994: 9), karena objek filologi adalah naskah yang mengandung teks lama atau sastra tradisional yang di dalamnya terkandung hasil kebudayaan. Sastra demikian sangat erat hubungannya dengan masyarakat yang menghasilnya. Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan piranti lainnya, baik itu bahasa, sejarah dan budaya. Melihat hal itu, filologi membutuhkan ilmu bantu yang erat kaitannya dengan bahasa, masyarakat, budaya yang melahirkan naskah, dan ilmu sastra untuk mengungkapkan nilai sastra yang terkandung di dalamnya (Baroroh-Baried, 1994: 10). Ditegaskan lebih jauh, “Selain itu diperlukan juga ilmu bantu yang dapat memberikan keterangan tentang pengaruh-pengaruh kebudayaan yang terlihat dalam kandungan teks. Dengan demikian, untuk menangani naskah dengan baik, ahli filologi memerlukan ilmu bantu, antara lain linguistik, pengetahuan bahasa-bahasa yang tampak pengaruhnya dalam teks, paleografi, ilmu sastra, ilmu agama, sejarah kebudayaan, antropologi dan folklor.” (Baroroh-Baried, 1994: 10).
13
Oleh karena itu, kajian ini secara integral menggunakan kerangka filologi karena obyek material kajiannya adalah naskah dan teks lama, yaitu Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya KH R As’ad Syamsul Arifin. Asumsi teoretik filologi ymenjelaskan bahwa teks, dalam penurunannya selalu mengalami perubahan, sehingga atas perubahan itu muncullah apa yang disebut dengan varian atau variasi teks (Istanti, 2010: 13). Kerangka kerja filologi yang digunakan adalah dalam metode penyuntingan teks. Dalam penelitian ini, penyuntingan dipahami sebagai kerja pendahuluan sebelum masuk pada analisis teks dengan teori lain, yaitu dengan resepsi sastra.
1.5.2 Resepsi Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Teori resepsi merupakan sebuah aplikasi historis dari tanggapan pembaca. Jauss merupakan salah satu tokoh utama dari teori resepsi tersebut. Resepsi pembaca didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan pembacanya. Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14). Fokus perhatian Jauss, sebagaimana teori tanggapan pembaca lainnya, adalah penerimaan sebuah teks tetapi dengan beberapa elaborasi khusus, termasuk beberapa perangkat teoritik yang membedakan Jauss dengan resepsi lainnya. Minat utamanya
14
bukan pada tanggapan seorang pembaca tertentu pada suatu waktu tertentu melainkan pada perubahan-perubahan tanggapan dan evaluasi pembaca umum terhadap teks yang sama atau teks-teks yang berbeda dalam kurun waktu berbeda. Jauss telah memberikan dimensi kesejarahan kepada kritik sastra yang berorientasi kepada pembaca (Selden, 1993:120). Jauss (1983: viii) menyebut pendekatannya dengan rezeptionsasthetik atau estetika resepsi. Pendekatan yang menekankan pada tanggapan pembaca. Bisa pula dikatakan teori Jauss ini telah memberikan dimensi kesejarahan kepada kritik sastra yang berorientasi pada pembaca. Jauss beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa sekarang, dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu Jauss memperkenalkan konsep tanggapan atau respon pembaca yang memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap sebuah objek literer. Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra (genre). Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-penerimaan selanjutnya. Menurut Jauss (1983: 13) yang menjadi perhatian utama dalam teori resepsi adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca. Pembaca mempunyai peranan aktif bahkan mempunyai kekuatan pembentuk sejarah. Metode resepsi didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa
15
karya sastra sejak awal kemunculannya selalu mendapatkan tanggapan pembacanya. Apresiasi pembaca pertama terhadap suatu karya sastra akan dilanjutkan melalui tanggapan-tanggapan pembaca berikutnya (Jauss 1983: 14). Jauss (1983: 19) membedakan dua resepsi atau tanggapan pembaca, yaitu resepsi aktif dan pasif. Tanggapan bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu atau dapat melihat hakekat estetika yang ada di dalamnya; tanggapan aktif yaitu bagaimana ia ‘merealisasikan’-nya dalam sebuah teks baru. Dalam konteks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah ini, maka teksnya dipandang sebagai karya baru yang merupakan tanggapan teks sebelumnya. Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah merupakan teks baru dan merupakan jenis tanggapan aktif. Jadi resepsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah resespsi karya sastra yang dilakukan pengarang pada karya-karya sebelumnya. Konsep kunci dalam teori resepsi Jauss adalah horison harapan pembaca atau erwatunghorizont. Jauss mengintroduksi konsep erwatunghorizont (horison harapan pembaca) dari Gadamer. Sebenarnya, yang dipinjam hanyalah konsep horison saja. Konteks horison memiliki rentang konteks yang luas dari teori fenomenologi Jerman hingga sejarah seni. Gadamer menggunakan istilah itu untuk merujuk pada ‘rentangan visi yang melibatkan segala sesuatu yang dapat dilihat dari suatu tempat secara particular menguntungkan’ (Holub, 1984: 88). Sejarawan seni Gombrich (dalam Holub, 1984) mendefinisikan horison harapan sebagai ‘perangkat mental yang mencatat penyimpangan dan modifikasi dengan sensivitas yang dibesarkan’ (Holub, 1984: 89).
16
Jauss menyebut cakrawala harapan dengan mengacu pada sistem intersubjektif struktur harapan sebuah sistem rujukan atau seperangkat pikiran yang bersifat hipotesis yang bisa saja pembaca bawa pada teks tertentu (Holub, 1984: 89—90). Dengan penegasan, setiap pembaca mempunyai horison harapan yang tercipta karena pembacaannya yang lebih dahulu, pengalamannya selaku manusia budaya.
Dalam
pandangan Jauss, suatu karya sastra dapat diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan suatu horison penerimaan tertentu (Jauss, 1983: 12). Horison harapan disusun dengan tiga pendekatan. Pertama, melalui norma-norma yang familiar atau puitika imanen tentang genre. Dengan kata lain, pengalaman pembaca dalam menghadapi genre sastra yang sama dengan genre sastra yang dihadapinya; kedua, melalui hubungan implisit bagi karya-karya yang familiar terhadap lingkungan sejarah sastra. Dengan demikian, pengalaman dan pengetahuan pembaca terhadap keseluruhan teks yang telah dibaca sebelumnya, baik terkait dengan bentuk atau tema, menjadi penting; ketiga, melalui oposisi antara fiksi dan realitas, antara fungsi puitik dan fungsi praktik bahasa, yang selalu ada bagi pembaca yang biasa merefleksikan selama pembacaan sebagai kemungkinan perbandingan. Dalam konteks ini, kesadaran pembaca mengenai perbedaan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari atau kontras antara fiksi dan kenyataan menjadi hal-hal yang perlu dirunut dan diperhatikan (Jauss, 1983: 24). Teeuw (2003) menjelaskan, peneliti sastra dan sejarah sastra bertugas untuk menelusuri resepsi karya sepanjang zaman. Keindahan sebuah karya bukanlah sesuatu yang mutlak, abadi dan tetap, keindahan tergantung pada situasi sosio-budaya pembaca.
17
Ilmu sastra harus meneliti hal itu, bukan keindahan langgeng dari karya-karya besar dunia, tetapi resepsi karya mereka oleh pembaca pada masa dan tempat yang berbedabeda (Teeuw, 2003: 162). Apalagi koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horison-horison harapan pengalaman kesastraan dan horison harapan pembaca, kritikus, dan pengarang (Jauss, 1983: 21). Bagi Jauss, nilai sastra sebuah teks terletak pada seberapa jauh teks memenuhi dan melampaui harapan publik pembaca tertentu pada saat teks tertulis atau diterbitkan. Kesenjangan antara horison harapan sastra dan pemunculan sebuah teks baru yang mampu mengubah horison harapan disebut dengan ‘jarak estetik’ (esthetic distance). Jarak estetis mungkin ditentukan secara historis dengan dasar reaksi publik pembaca tertentu dan putusan-putusan yang diisukan dalam kritik (Jauss, 1970: 177 via Segers, 1978: 36). Implikasi estetik terdapat pada kenyataan bahwa resepsi pertama suatu karya oleh pembaca mencakup pengujian nilai estetiknya dalam perbandingan dengan karyakarya yang sudah dibaca. Kejelasan implikasi historis terkait dengan hal tersebut adalah pemahaman pembaca pertama akan ditopang dan diperkaya dalam sebuah rantai resepsi dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis suatu karya bisa diputuskan dengan pembuktian nilai estetiknya (Jauss, 1983: 87). Dalam praktiknya, fungsi efek dan nilai sebuah karya sastra untuk pembaca modern dalam kebudayaan Barat, ingin dan berharap agar ia terkejut, diguncangkan oleh hal-hal yang baru, yang memecahkan atau menggeser horison harapannya (Teeuw, 2003: 161). Dengan mengikuti alur pemikiran demikian, penelitian ini menggali sejauh
18
mana horison harapan dalam Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah serta jarak estetiknya dengan karya-karya sebelumnya. Hal itu karena resepsi yang menjadi titik tekan dalam penelitian ini adalah resepsi karya sastra dalam teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah pada karya-karya sebelumnya. Jauss dikenal dengan tujuh tesis pemikirian teoritisnya (Jauss, 1983: 20). Secara ringkas ketujuh tesis Jauss yang berbicara tentang estetika resepsi, pembaca dan sejarah studi sastra dapat diuraikan sebagai berikut: (1) karya sastra bukanlah monumen yang mengungkap makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra ibarat orkestra: selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini; (2) sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen historis karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, ia sesungguhnya tidak baru secara mutlak seolah-olah hadir dari kekosongan; (3) jika ternyata masih ada jarak estetik antara horison harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal, atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru; (4)
19
rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan dan disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi sesuai dengan semangat jaman yang berbeda; (5) teori estetika penerimaan tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis; (6) Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis (jadi dengan analisis diakronis) tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau; (7) tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap hanya dengan menghadirkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus juga dikaitkan dengan sejarah umum (1983: 20-45). Dijelaskan Jauss (1983), kesenjangan antara sastra dan sejarah, antara pengetahuan historis dan estetis, dapat dijembatani jika sejarah sastra tidak sekedar mendeskripsikan proses sejarah umum dalam refleksi karya-karyanya, tetapi agaknya lebih tepat kapan ia menemukan dalam rentang ‘evolusi literer’ yang mempunyai fungsi formatif sosial yang termasuk kesusastraan ketika ia bersaing dengan seni-seni lain dan kekuatan-kekuatan sosial dalam suatu emansipasi kemanusiaan dari ikatan-ikatan alam, religius dan sosial (Jauss, 1983: 45). Jika pada satu pihak evolusi sastra dapat dipahami di dalam perubahan historis suatu sistem dan di pihak lain sejarah pragmatik dapat dipahami di dalam semacam lingkaran kondisi-kondisi sosial, maka tidak mungkinkah untuk ditempatkan suatu ‘rangkaian literer’ dan ‘rangkaian non literer’ dalam sebuah
20
hubungan yang meliputi hubungan antara sastra dan sejarah tanpa memaksa sastra, atas beban karakternya sebagai seni, ke dalam suatu fungsi yang hanya mengkopi atau mengomentari (Jauss, 1983: 18). Sementara itu, dalam lingkup sejarah sastra, Jauss (1983: 5) mengemukakan bahwa kehidupan historis karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif penerima. Hal itu karena seorang sejarawan tidak hanya secara pasif mendeskripsikan fakta masa lalu tetapi juga fakta sekarang yang di dalamnya ia ikut ambil bagian. Pikiran ini dinukil dari pemikiran Schiller (Jauss, 1983: 5). Dengan demikian, tugas resepsi sastra adalah menyelidiki konkretisasi pembaca dari masa ke masa. Konsekuensi logis yang ditimbulkan hanya konkretisasi yang berkaitan dengan struktur teks pada saat penilaian yang relevan. Tugas sejarah resepsi sastra ada dua macam, yaitu menyusun kembali keseluruhan konkretisasi yang telah ditimbulkan oleh teks, dan menilai hubungan antar konkretisasi di satu pihak, konteks historis teks pada saat konkretisasi di pihak lain. Hal itu karena karya-karya sastra berbeda dengan dokumen-dokumen sejarah murni, karena sastra berfungsi lebih dari sekedar dokumen pada waktu tertentu dan tetap ‘bicara’ sampai sejauh yang mereka usahakan untuk memecahkan problemproblem bentuk dan isi, dan juga meluas jauh keluar dari relik-relik masa lampau yang membisu (Jauss, 1983: 69). Langkah dari sejarah resepsi karya individual hingga sejarah sastra telah mengarahkan untuk melihat dan merepresentasikan konsekuensi historis karya-karya karena hal tersebut menentukan dan menjelaskan koherensi sastra pada keluasan yang
21
bermakna bagi manusia sebagai prasejarah dari pengalaman kekiniannya (Jauss, 1983: 20). Kriteria dalam kaitan ini adalah karya sebagai suatu bentuk baru dalam rangkaian sastra dan bukan suatu self-production worn-out form sarana-sarana artistik, dan genregenre yang menembus latar belakang hingga tiba di momen yang baru dalam sebuah evolusi, sekali lagi mereka dibuat perseptibel (Jauss, 1983:33). Untuk menentukan fungsi ini, yakni mengenali problem yang masih tersisa padanya karya baru dalam rangkaian
historis
merupakan
jawabannya,
interpreter
harus
menyertakan
pengalamannya sendiri ke dalam permainan karena horison lampau mengenai bentukbentuk baru dan usang, problem-problem dan solusi-solusinya hanya dapat dikenal dalam mediasinya yang lebih lanjut di dalam horison kini mengenai karya yang diterima (Jauss, 1983:34). Dalam konteks penelitian ini bisa disusun sebuah sejarah sastra berdasarkan tanggapan pembaca terhadap karya sebelumnya, yang melahirkan teks baru. Hal itu karena keragaman karya jenis ini, terutama Maulud Nabi, yang bersifat didaktis dan agamis sangat melimpah di bumi Nusantara. Konstruksi kesejarahan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah di antara karya-karya sejenis yang merupakan hasil-hasil tanggapan dari karya-karya sebelumnya.
1.6 Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode penelitian filologi dan sastra. Hal itu karena obyek kajiannya adalah naskah lama dan teksnya. Metode filologi ditempuh dengan obyek
22
kajian naskah lama, sedangkan untuk menganalisis hasil suntingan menggunakan metode penelitian sastra yang bersumber dari resepsi sastra.
1.6.1 Metode Penelitian Filologi Istanti (2013:8) menjelaskan, tujuan dalam langkah kerja penelitian filologi adalah untuk menemukan naskah, kemudian mengolah dan menerbitkannya menjadi sebuah edisi teks terbaca. Adapun tahap-tahap langkah kerja penelitian filologi meliputi penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah, penentuan naskah dasar penelitian, transliterasi naskah, suntingan teks dan bila diperlukan dilakukan penerjemahan teks (Istanti, 2013: 8). Keduanya terangkum dalam dua metode yaitu metode pemilihan naskah dan penyuntingan teks.
A.Metode Pemilihan Naskah Untuk memilih naskah kajian, dimulai dari penentuan sasaran penelitian. Sasaran penelitian adalah naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah karya K.H.R. Moh. As’ad Syamsul Arifin, pengasuh pondok pesantren Situbondo pada tahun 1920-an yang ditulis dalam huruf pegon, berbentuk syiir, dan berbahasa Madura. Naskah ini disalin Abdus Shomad Al-Bukhori, pada 24 Safar 1392 H/ 9 April 1972 M di atas kertas HVS. Naskah ini berisi tentang penyerbuan Ka’bah oleh Ratu Abrahah, lima puluh hari sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Teknik yang digunakan dalam tahap ini, salah satunya adalah studi pustaka, untuk mengetahui tahun penulisan karena
23
dalam naskah tidak ada kolofon, yang ada hanya tahun penyalinan. Selanjutnya dilakukan inventarisasi naskah ke beberapa tempat penyimpanan naskah, pesantren, kantor arsip dan perpustakaan, museum dan lain sebagainya. Selain itu, ditelusuri katalog-katalog naskah Nusantara dari berbagai koleksi. Ternyata naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah belum ditemukan dan berkesaksian naskah tunggal, hanya terdapat di Pondok Pesantren Annuqoyah Sumenep Madura, dan menjadi koleksi pengasuh pesantren tersebut. Naskah ini belum terkodifikasi. Meski kesaksian naskah tunggal, tetapi dilakukan pelacakan pada naskah yang berjenis sama yaitu naskah Maulud, karena naskah jenis ini sangat banyak dan populer di Nusantara. Inventarisasi dilakukan lewat katalog-katalog penyimpanan naskah, yang dilakukan dengan pencatatan. Selanjutnya dilakukan observasi pendahuluan dengan melakukan pendeskripsian naskah-naskah tersebut. Adapun terkait dengan naskah dasar kajian yang hanya satu, maka Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah menjadi objek kajian dan tidak perlu menggunakan metode pemilihan naskah, seperti landasan dan stemma. Metode ini sebagaimana yang diungkapkan Istanti (2013: 25), apabila naskah sasaran penelitian hanya satu (codex unicum), maka naskah tersebut yang menjadi dasar kajian. Setelah itu, Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah ditransliterasi atau dialihaksarakan ke sistem transliterasi yang menggunakan Patokanipoen Basa Djawi Kaserat Asara ‘Arab (Pegon) karya Nitisastro diterbitkan Paneleh Surabaya tahun 1933. Dipilihnya sistem transliterasi tersebut karena belum tersedianya sistem transliterasi Madura-Pegon yang sudah diterbitkan.
24
B.Metode Penyuntingan Teks Metode penyuntingan teks dalam penelitian ini menggunakan metode suntingan dengan penyesuaian ejaan. Menurut Istanti (2013: 41), metode edisi dengan penyesuaian ejaan yaitu menerbitkan naskah dengan membetulan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan, sedangkan ejaannya disesuaian dengan aturan yang berlaku. Dilakukan pembagian kata, kalimat, huruf besar, pungtuasi atau tanda baca dan diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks. Adapun tentang perbaikan, Istanti (2013: 41) menjelaskan, pembetulan dilakukan berdasar pada pemahaman yang baik sebagai hasil perbandingan dengan naskah sejenis dan sezaman dengan yang diteliti. Semua perubahan tersebut dicatat di tempat yang khusus agar selalu dapat diperiksa dan diperbandingkan dengan bacaan naskah sehingga masih memungkinkan penafsiran lain dari pembaca. Ditegaskan, “segala usaha perbaikan harus disertai pertanggungjawaban dengan rujukan yang tepat.” (Istanti, 2013: 41). Penyuntingan naskah ini mengacu pada Tata Bahasa Bahasa Madura (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2008) dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Madura yang Disempurnakan, Edisi Revisi (Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, 2012) yang diterbitkan Balai bahasa Provinsi Jawa Timur. Setelah itu, dilakukan penerjemahan karena bahasa yang digunakan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah adalah bahasa Madura sehingga perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Istanti (2013: 30) menjelaskan, penerjemahan adalah transformasi makna. Yang diperlukan adalah peralihan sistem
25
bahasa Madura ke sistem bahasa Indonesia. Karena bentuk teksnya adalah syiir yang memiliki konvensi tersendiri maka penerjemahannya mengacu pada bentuk syair dengan tidak mengubah isi kandungannya dan pilihan kata yang ada karena gaya bahasa penyaji berperan dalam penyajian teks terbaca (Istanti (2013: 30).
1.6.2 Metode Penelitian Sastra Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang kodrat keberadaannya dinyatakan oleh teori (Faruk, 2013: 58). Setelah kerja filologi selesai dengan dihasilkannya suntingan teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah, selanjutnya dilakukan penelitian sastra yang bertumpu pada paradigma resepsi. Dalam hal ini, teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah sebagai objek material, sedangkan objek formalnya adalah sambutan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Hal itu sebagaimana dijelaskan Faruk (2013: 23), objek material adalah objek yang menjadi lapangan penelitian, sedangkan objek formal adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Dalam proses ini digali lebih dalam kapasitas resepsi Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah sebagai sebuah teks baru hasil sambutan terhadap teks-teks sebelumnya. Sebagai hal yang membuktikan bahwa di dalam teori resepsi mengandung dirinya aspek historis, maka ditelusuri teks-teks sebelumnya itu hingga ke sumber awal yang diresepsi oleh pembaca aktif yaitu pengarang Syiir Madura Kisah
26
Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah, sehingga diketahui sejarah perkembangan teksnya. Selanjutnya memposisikan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah sebagai karya sambutan. Dari sini dibahas tentang aspek-aspek resepsi terkait pilihan genre Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah dan sambutan pada genre ini dalam tradisi Nusantara, termasuk genre syair Maulid Nabi karena objek material mengandung potensi teks demikian.
Karena secara teoritis, penelitian ini
mengarahkan pada hal-ihwal tentang horison harapan pembaca dan jarak estetika, Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah dibedah dalam kapasitas resepsinya terhadap teks terdahulu, dengan metode perbandingan. Dari serangkaian penelusuran modus-modus penerimaan atau sambutan dari bentuk dan isi diketahui jarak estetiknya.
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dari penelitian ini diancangkan menjadi dari lima bab. Perincian sistematikanya sebagai berikut: Bab pertama ‘Pendahuluan’, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua, ‘Pernaskahan dan Perteksan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah’, berisi tentang penelusuran naskah Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah ke beberapa katalog penyimpanan naskah Nusantara dan mengurai volume teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah.
27
Bab ketiga, ‘Suntingan Teks dan Terjemahan’, berisi suntingan, catatan penyuntingan, dan terjemahan teks Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Bab keempat, ‘Sejarah Perkembangan Teks Raja Abrahah’, terdiri atas sub-bab teks Raja Abrahah dalam hagiografi Islam, dalam teks keagamaan, dalam syair Arab, dan dalam kitab pesantren. Bab kelima, ‘Sambutan Teks Raja Abrahah’, terdiri dari tiga sub-bab yaitu sambutan dalam tradisi syair di Nusantara, dalam tradisi Maulid Nabi, dan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah sebagai karya sambutan tradisi syair Maulid dan hagiografi Nabi. Bab keenam, ‘Horison Harapan dan Jarak Estetika dalam Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah”, terdiri dari dua sub-bab, yaitu sambutan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah pada Sirah Ibnu Hisyam dan modus penerimaan/sambutan Syiir Madura Kisah Raja Abrahah Bakal Menyerbu Ka’bah. Bab ketujuh berisi simpulan.
28