�ini adalah fitnah. Memang ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Diponegoro selain di tengah pertempuran. Tetapi ia kenal pribadinya lewat tutur kata Sangaji. Saudara-angkatnya itu boleh dikatakan sering bertemu pada akhir-akhir ini, berhubung dengan isteri Pangeran Diponegoro, Dyah Ayu Ratnaningsih isteri Pangeran Diponegoro—adalah adik seperguruan Sangaji. Dia murid Suryaningrat. Menurut tutur kata Sangaji, Pangeran Diponegoro justru memperihatinkan cara pemerintahan Patih Danurejo IV. Pangeran itu menaruh curiga kepadanya. Sebab— disengaja atau tidak—dia membebani pajak beraneka macam kepada rakyat. Dengan demikian, meninggalkan tata pemerintahan yang buruk kepada Sultan Jarot. Merasa diri tak sependapat dengan Patih Danurejo IV, Pangeran Diponegoro lalu hidup mengasingkan diri ke
363
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tegalrejo. Dengan demikian, apabila kepergiannya itu dianggap lantaran mempunyai idaman hendak naik tahta adalah suatu fitnah. "Kangmas Wiranegara! Perhatian Sri Baginda terhadap diriku sangat mengharukan hatiku," kata Sanjaya yang lantas ingat kepada cara hidupnya sendiri. "Hanya saja, aku sudah biasa hidup mengasingkan diri. - Disini aku sudah memperoleh ketenteraman hidup. Lihatlah—aku sudah buntung kaki. Untuk apa manusia seperti aku ini?" Begitu mengucapkan kata-kata yang terakhir, tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Pikirnya di dalam hati,
ah ya... aku sudah cacat kaki. Tapi aneh—apa sebab tiba-tiba aku menjadi bahan perebutan? Apakah tidak mungkin sebenarnya untuk mengkait saudaraku Sangaji! Ah! Jangan-jangan memang begitu! "Saudaraku Sanjaya!" Kapten Merta Sasmita berkata lagi. Ia kini menyebut Sanjaya dengan suara untuk mengesankan keangkaran. "Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan. Coba baca dahulu surat Sri Baginda." Sanjaya menurut, la menerima surat firman kembali dan dibacanya. Di dalam firman itu disebutkan, bahwa ia diangkat dalam jabatan lama sebagai pengganti kedudukan ayahnya. Dan setelah membaca surat keputusan tersebut, ia harus segera berangkat ke Jogja untuk menghadap. "Bagaimana? Apakah saudara sudah mengerti bunyi surat firman itu?" Kapten Merta Sasmita menegas. Sanjaya membungkuk membuat hormat.
364
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bumi dan langit menyaksikan bahwa aku sangat berterima kasih. Hanya saja aku tak berani menerima tugas Sri Baginda. Tulang-tulangku sudah keropos." "Jadi kau menolak?" "Sanjaya adalah manusia biasa. Sebenarnya bukan anak seorang Pangeran," jawab Sanjaya dengan suara tegas. "Kalau dahulu aku ada harganya, lantaran ayahku bekerjasama dengan almarhum Patih Danurejo II." "Ah, itulah yang kausangsikan?" Wiranegara dan Kapten Merta Sasmita tertawa berbareng. Kata
Wiranegara dengan suara nyaring, "Dimas—kau dengarkan baik-baik. Kau mengira, bahwa di dalam kasultanan ada dwi pemerintahan. Itu tidak benar! Semenjak kemarin, Patih Danurejo IV sudah masuk istana dengan disaksikan oleh Residen Nahuya! Perwalian sudah hapus. Sultan Jarot dan Patih Danurejo IV kini merupakan dwi-tunggal. Tidak lagi berpisah atau berdiri sendirisendiri." Ini adalah suatu keterangan yang mengejutkan dan mengherankan Sanjaya. Baru saja—Patih Danurejo IV— mengirimkan utusannya, untuk membujuk dirinya. Belum lagi selesai berbicara, kini datanglah utusan lain lagi yang mengabarkan bersatunya Patih Danurejo IV dengan Sultan HB IV dengan pengawasan pemerintahan Belanda. Inilah aneh dan mencurigakan. Mundingsari yang berada di dalam kamar kurungan, heran pula. Pikirannya ikut sibuk. Apakah artinya ini? Patih Danurejo IV terang-terangan bermusuhan dengan Sultan Jarot. Ia sengaja mengacau ketertiban dan
365
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ ketenteraman rakyat dengan membuat bermacammacam pajak dan peraturan sewa tanah. Ini semua adalah suatu persiapan sendiri untuk menggulingkan kedudukan Sultan Jarot. Apa sebab dalam setengah malam saja, kedudukannya berubah dengan mendadak?" Tatkala itu, Wiranegara terdengar berkata lagi: "Bagaimana? Dimas masih bersangsi? Apakah yang
kausangsikan?" Sanjaya berdiri tegak tak berkutik. Pandang matanya tajam luar biasa seolah-olah ingin menjenguk isi perut mereka. Tiba-tiba suatu ingatan berkelebat di dalam benaknya. Terus saja bertanya, "Bagaimana dengan Pangeran Diponegoro?" Wiranegera dan Kapten Merta Sasmita kaget seperti tersambar geledek. Inilah suatu pertanyaan di luar dugaan. Tapi mereka berdua adalah orang peperangan. Mereka segera dapat menguasai ketenangannya kembali. Lalu tertawa dengan saling memandang. Kata Wiranegara di antara tertawanya. "Hai! Kau menanyakan musuh besarmu? Ah, lebih baik kau tanyakan sendiri kepada Sri Baginda. Kami berdua hanya ingin memperoleh kepastian. Kau terima surat pengangkatan ini atau tidak?" Sanjaya mendongak menatap atap rumah. Lalu menjawab dengan tegas. "Aku menolak." Ketegangan lantas terjadi. Beberapa saat kemudian, Wiranegara berkata dengan suara lunak. "Dimas Sanjaya adalah seorang laki-laki. Dan seorang laki-laki akan berkata sekali saja. Kalau demikian keputusanmu, baiklah ijinkan kami berdua berpamit. Hanya saja kami
366
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mengharap agar Dimas menjaga kesehatan diri sendiri sebaik-baiknya." Heran Sanjaya mendengar kata-kata perpisahan itu. Di dalamnya bersembunyi suatu ancaman. Ia lantas berkata
dengan hati-hati: "Kangmas—maafkan aku! Aku mengharap saja agar Kangmas dapat mempersembahkan sujudku ke hadapan Sri Baginda dengan sungguh-sungguh. Syukur bila Kangmas sudi menyampaikan kata-kataku ini: hendaklah Sri Baginda memilih pembantu yang tepat." "Kau maksudkan siapa," potong Wiranegara dengan suara tak senang. "Pangeran Diponegoro." Dengan berdiam diri, Wiranegara menggulung surat firman Raja kemudian diberikan kepada Kapten Merta Sasmita. Kapten ini lantas menyimpan surat itu di dalam sakunya. Selagi Sanjaya memperhatikan hal itu, tiba-tiba ia melihat tangan Wiranegara berkelebat menghantam pundaknya. Kedua orang itu sebenarnya mendapat perintah rahasia untuk membunuh Sanjaya, apabila menolak. Sebab membiarkan orang sebagai dia hidup di tengah rakyat samalah halnya menambah jumlah duri. Daripada kelak akan menyukarkan jalan pemerintahan gabungan antara Belanda—Patih Danurejo IV dan Sultan Jarot, lebih baik dimusnahkan sekarang. Sanjaya telah kehilangan ilmu sakti Pringgasakti karena dimusnahkan Adipati Surengpati. Untung—ilmu sakti warisan Ki Hajar Karangpandan tidak ikut termusna. Setelah cacat kaki, Sangaji mengajarkan rahasia ilmu
367
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sakti yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Sebab
menurut pembagian, keris tersebut sebenarnya milik Sanjaya. Hanya secara kebetulan saja, Sangaji mewarisi. Untuk mewarisi ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik, seseorang harus sudah memiliki tenaga dahsyat seperti yang terdapat dalam diri Sangaji. Sebaliknya Sanjaya hanya memiliki ilmu warisan Ki Hajar Karangpandan yang belum sempurna. Meskipun demikian, ajaran keris Kyai Tunggulmanik lewat kesabaran Sangaji— tidaklah sia-sia. Lantaran tenaga saktinya terbatas, ia hanya bisa mewarisi tiga bagian. Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan orang-orang sakti lainnya, Sanjaya tidak perlu kalah. Gerak-geriknya gesit dan tenaga saktinya bertambah tiga kali lipat dari semula. Begitu ia melihat bahaya secara otomatis ia mengerahkan tenaga sakti keris Kyai Tunggulmanik untuk melindungi pundaknya yang terancam. Duk! Pundaknya terhantam. Tapi pada saat itu juga, Wiranegara terpental menumbuk dinding. "Manusia rendah! Kau berani menyerang dengan menggelap!" bentak Sanjaya. Dalam pada itu, Kapten Merta Sasmita sudah mencabut pedangnya yang istimewa. Bentuknya seperti pedang biasa. Hanya lencang sebesar jari. Sifatnya lemas. Begitu digerakkan, lantas saja memantul bergetaran. Melihat serangan licik itu, Mundingsari yang berada di dalam kamar gusar bukan kepalang. Hanya sayang—ia tak dapat mendobrak pintu untuk membantu Sanjaya. Wiranegara sendiri seorang komandan laskar istana. Tentu saja ia bukan orang lemah. Begitu terguling
368
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan suatu gerakan ia meletik bangun. Lalu dua belatinya melesat dari tangannya. "Sanjaya! Meskipun engkau mempunyai kepandaian menembus langit, malam ini kau jangan bermimpi dapat meloloskan diri." Dengan tangan kiri menindih pedang Merta sasmita, tangan kanannya mengebas. Dan belati Wiranegara terhantam balik mengancam majikannya.
MENCARI BENDE MATARAM Gubahan : HERMAN PRATIKTO
7 sambungan
Pedang Kapten Merta Sasmita bukan sembarangan pedang. Sudah sifatnya lemas, ulat pula. Begitu kena tindih, logamnya melengkung. Namun tidak patah. Segera ia mengerahkan tenaga untuk membetotnya. Kulitnya terbeset dan darahnya mengucur seperti parit, la kaget bukan main. la memang tahu, setidak-tidaknya Sanjaya pasti mempunyai kepandaian. Tetapi sama sekali tak mengira, bahwa tenaga yang dimiliki tak ubah tenaga raksasa. Dalam kagetnya, tangannya yang kiri mencabut pistolnya. Pistol zaman dahulu belum berisikan pelor.
369
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Tetapi bubuk mesiu. Pistol itu harus diisi dahulu setelah ditembakkan sekali. Tapi sebelum memasuki rumah Sanjaya—Merta Sasmita sudah mengisinya. Sekarang ternyata ada gunanya. Begitu tercabut, lantas saja ia menarik pelatuknya. Sanjaya terkejut. Tetapi ia membungkuk seraya menarik tindihannya. Karena goncangan tangan ditambah suatu kegesitan, arah bidikan menyasar mengenai lengan. Kapten Merta Sasmita terbang semangatnya. Ia adalah seorang Kapten bumi putera satu-satunya. Keistimewaannya menembak tepat. Ia bisa menembak runtuh burung sedang terbang dengan tubuh membalik. Selamanya tidak pernah meleset. Tapi kini ia menghadapi suatu kenyataan lain. Kegesitan Sanjaya ternyata melebihi gesitnya seekor burung. Tenaga goncangannya hebat pula. Sama sekali tak terduga, bahwa bidikannya bisa meleset. Benar—mesiunya masih mengenai lengan—tapi ia tidak puas. Pada saat itu, Sanjaya merasakan lengannya menjadi pegal nyeri. Buru-buru ia menekan urat bahunya untuk menahan mengucurnya darah. Selagi demikian, Wiranegara membuat lompatan harimau. Dengan suara "heh" ia menghantam. Tapi kali ini, Sanjaya sudah bersiaga. Komandan laskar Istana itu tidak dapat membokong24) lagi. Dengan membalikkan tangannya,
24 ' membokong =
secara gelap tidak terang-terangan
370
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sanjaya memapak hantaman itu. Tenaga saktinya dikerahkan. Wiranegara kaget bukan main. Ia mencoba menahan lompatannya. Tentu saja tidak keburu lagi. Pergelangan tangannya kena terhajar dan patah pada saat itu juga. Kapten Merta Sasmita tidak tinggal diam. Tiga kali ia menikamkan pedangnya. Kemudian berputar hendak melarikan diri. Terdengar Wiranegara berseru, "Jangan lari! Jangan beri kesempatan dia bernapas. Kalau hari ini dia tidak mampus, jiwa kita berdua sukar dipertahankan lagi." Sanjaya menggerung karena marahnya. Dengan sekali menjejakkan tanah, ia melesat mendahului. Tahu-tahu, ia sudah berdiri tegak di ambang pintu keluar. "Apa sebab kalian berdua menyerang aku? Lekas bilang! Jika tidak, jangan harap kau bisa lolos dengan selamat." Wiranegara ketakutan setengah mati. Ia melirik kepada Kapten Merta Sasmita yang berdiri dengan menggigil. Entah sudah berapakali perwira ini mengalami pertempuran-pertempuran mengadu jiwa. Tapi rasa ngerinya, tidaklah seperti menghadapi Sanjaya yang berdiri gagah tak ubah malaikat. Selagi hendak membuka
mulut, tiba-tiba Wiranegara menjerit. Pergelangan tangan yang kena hantam tadi—tidak hanya patah—tapi pun getaran pukulan Sanjaya menggeser tulangnya. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan itu. Meskipun dia seorang komandan laskar Istana, tak urung menjerit kesakitan juga. Cepat-cepat Kapten Merta Sasmita memberi isyarat agar melarikan diri. Tetapi
371
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Wiranegara ternyata seorang komandan yang bandel. Katanya sambil menahan sakit: "Saudara Sasmita, tak dapat kita melepaskan dia. Lebih baik kita mati berbareng. Jangan takut! Dia sudah kena pelurumu. Bukankah bubuk mesiumu kau campuri bubuk beracun pula? Meskipun hanya mengenai lengan, tapi pada saat ini racunmu pasti sudah bekerja." Kapten Merta Sasmita seperti diingatkan. Memang— bubuk mesiunya—tercampur bubuk racun ular berbisa. Ia memperoleh kepandaian itu dari seorang tawanan Kalimantan. Seseorang yang kena bubuk mesiunya tidak hanya terancam jiwanya, tapi pun terancam racun berbahaya. Sebenarnya lebih tepat apabila mesiu itu digunakan sebagai alat siksa. Tapi sadar bahwa musuh yang bakal dihadapi adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, teringatlah dia untuk menggunakan bubuk beracunnya itu. Mungkin sekali Sanjaya bisa mengelakkan sasaran tembakan karena
kecepatannya. Tetapi bubuk racunnya bakal kena sedot pernapasannya. Ternyata perhitungannya hampir tepat. Sanjaya tidak hanya menyedot bubuk racun, tapi pun menderita luka. Pada saat itu, lengan Sanjaya terasa menjadi kaku. Sebagai seorang yang pernah kena senjata berbisa, ia segera mengetahui dirinya terancam racun. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga penolak untuk menahan menjalarnya. Tetapi dengan demikian, pemusatan tenaganya jadi terbagi. Dengan mati-matian ia melayani dua orang musuhnya. Satu lawan dua. Meskipun masih unggul, lambat laun ia
372
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ merasa payah juga. Itulah sebabnya ia segera mengeluarkan pukulan-pukulan maut. Wiranegara yang telah menderita luka berkelahi dengan licik. Tak berani ia mendekati Sanjaya. Sebaliknya ia menyerang dari jauh atau membokong. Berkali-kali ia berteriak : "Sanjaya! Lebih baik kau membunuh diri saja. Dengan begitu namamu akan tetap terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah. Sebaliknya, kalau kau sampai mampus di tangan kami—habis ludaslah keangkeranmu." "Binatang!" maki Sanjaya dengan bergusar. "Kau boleh mencincang atau menyembelih aku, tetapi kalau sudah melalui mayatku." "Sanjaya!" bentak Kapten Merta Sasmita. "Malam ini kami berdua lagi melakukan perintah Raja
untuk menghabisi jiwamu. Melakukan perintah, alangkah nikmat. Setidak-tidaknya ada yang dipegang. Sebaliknya engkau? kau bakal mati penasaran. Bakal mampus tanpa liang kubur!" Terang sekali maksud Kapten Merta Sasmita. Sebagai seorang militer yang berpengalaman, ia hendak memecahkan pemusatan pikiran lawan dengan suatu ejekan. Kecuali itu, dia mempunyai maksud tertentu. Ia percaya bahwa di dalam diri Sanjaya pasti masih mempunyai sisa-sisa angan-angan suatu kekuasaan. Di ngatkan demikian, dalam diri Sanjaya pasti terjadi suatu pertempuran dahsyat. Benar-benar cerdik dia. Hanya saja—ia tak pernah me-ngira-bahwa pengaruh Sangaji sangat besar dalam diri Sanjaya. Sanjaya yang
373
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dahulu kemaruk25) kekuasaan, kini berubah menjadi manusia lain. Ia tak sudi lagi menjadi korban rumpun keluarga yang sedang berebut kekuasaan. Pengalamannya yang pahit banyak memberi pelajaran baginya. Mendengar ejekan Kapten Merta Sasmita, darahnya naik tinggi. Lalu membalas membentak pula. "Kau berkulit sawo matang seperti aku dan temanmu itu. Meskipun demikian, kau sudi berhamba kepada seorang kulit putih. Untuk pengabdianmu itu, kau rela mengorbankan kesejahteraan bangsamu. Apa sih enaknya makan minum kenyang di atas penderitaan orang lain? Kau manusia rendah, kini mencoba hendak
mengambil darahku untuk menaikkan pangkat dan derajatmu. Bagus! Boleh kau coba!" Sambil memaki, Sanjaya melepaskan pukulan berat dan cepat luar biasa. Tiba-tiba tangannya menghantam dada Wiranegara. Duk! Dan Wiranegara terpental untuk kedua kalinya menumbuk dinding. Kali ini hebat akibatnya. Begitu terbentur dinding, ia jatuh pingsan. Melihat, robohnya Wiranegara, buru-buru Kapten Merta Sasmita melompat melindungi. Lalu berteriak, "Sanjaya! Sri Baginda benar-benar tepat perhitungannya. Siang-siang Beliau telah mengetahui, bahwa engkau mempunyai tulang punggung seorang berandal. Dimanakah Sangaji? Kau tahu, seorang berandal harus dihukum." Sakit hati Sanjaya, mendengar Kapten Merta Sasmita menamakan saudara angkat nya sebagai berandal. Tapi
25) kemaruk = serakah
374
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ dengan demikian, kedudukan Kapten Merta Sasmita jadi jelas. Sekarang ia tahu pula, apa sebab dirinya dijadikan manusia rebutan. Itulah karena Sangaji, sebab kalau Sangaji mendengar khabar ia ditawan di Jogjakarta, pastilah tidak akan tinggal diam. Dia pasti berusaha menyusul. Dan menyusulnya ke Jogjakarta, berarti meninggalkan kancah perjuangan Jawa Barat. Memperoleh pikiran demikian, Sanjaya menggerung.
Dengan hebat ia mengirimkan tiga pukulan berantai. Kapten Merta Sasmita boleh gagah. Tapi menghadapi pukulan ilmu sakti Kyai Tunggulmanik yang istimewa, ia mundur beberapa tindak. "Kau tak mampu melawan kegagahan saudara angkatku. Kini hendak menjual omongan besar kepada majikanmu yang baru. Bagus!" ejek Sanjaya. Kapten Merta Sasmita merah wajahnya. Membentak, "Bangsat! Siapa tak tahu engkau sebenarnya berandal pula? Setiap orang tahu, perhubunganmu dengan babi Sangaji. Apa sebab kau tak rela kena ringkus. Bukankah di dalam undang-undang berbunyi: barangsiapa bersekutu dengan pemberontak membantu atau melindungi akan dihukum sama beratnya dengan pemberontak itu sendiri." "Baik. Kau boleh bilang aku seorang pemberontak. Seorang berandal. Kau mau apa? Kalau kau mempunyai kepandaian, cobalah ringkus aku!" potong Sanjaya dengan semangat bergelora. Kapten Merta Sasmita tertawa lantaran mendongkol. Ia jengkel, karena tak dapat memperoleh kesempatan
375
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ untuk mengisi mesiu. Namun ia licin, la berbicara lagi untuk membuat lemah. Katanya, "Kau mengoceh perkara Pangeran Diponegoro. Manusia apa dia? Dia anak seorang selir. Apakah pantas berangan-angan menjadi Raja? Kau pun begitu juga. Siapa yang tak tahu, kau sebenarnya anak orang gelandangan. Karena bernasib
baik saja, kau bisa diakui sebagai anak pangeran. Itulah lantaran jasa emakmu menjual diri. Bukankah begitu?" Mendengar ucapan Kapten Merta Sasmita, gundu mata Sanjaya berputar. Rambutnya berdiri tegak oleh rasa gusarnya. Inilah suatu ejekan di luar batas kesopanan. Dengan suara bergelora ia membentak. "Benar! Meskipun aku anak seorang gelandangan, tapi lebih baik daripada anak kampungan yang bermulut kotor. Hm... jadi kau hendak bilang pula, bahwa Pangeran Diponegoro seorang berandal? Kau hendak bilang pula, bahwa dia jadi seorang pangeran lantaran ibunya kebetulan menjual diri kepada seorang Sultan? Bangsat!" "Habis? Apa lagi yang harus dibilang?" ejek Kapten Merta Sasmita sambil bersenyum-senyum. "Lihat sajalah nanti. Sultan Jarot sudah bersatu dengan Patih Danurejo IV. Sebentar lagi Pangeran Diponegoro bakal masuk kurungan. Kau percaya, tidak? Dia kelak akan diseret di depan Mahkamah Agung. Dia bisa apa? Dia bisa membuka mulutnya, tapi Mahkamah Agung mempunyai caranya sendiri. Dosanya akan segera diumumkan." "Apa dosanya?" bentak Sanjaya. "Itukan perkara gampang. Membangkang pemerintah, umpamanya. Atau kita tuduh hendak menggulingkan kekuasaan Sultan. Ah, itu kan perkara gampang."
376
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Fitnah!" "Lantas dia kita seret di tengah alun-alun untuk
menerima hukuman picis. Hihi haha...," Kapten Merta Sasmita tak mendengarkan sangkalan Sanjaya. Mata Sanjaya berkunang-kunang. Hampir saja ia roboh pingsan karena marahnya. Melihat kesempatan bagus itu Kapten Merta Sasmita segera menggerakkan pedangnya menyerang dengan bertubi-tubi. Tiba-tiba Sanjaya berkata keras. "Sudahlah! Sudahlah! Jika Pangeran Diponegoro bisa diseret ke depan Mahkamah Agung sebagai seorang pemberontak memang pantas aku kau namakan berandal. Baiklah memang aku seorang berandal. Dan tindakan pertama yang harus dilakukan seorang berandal adalah mencabut jiwa seorang begundal Kompeni Belanda." Berbareng dengan perkataannya. Sanjaya lantas menerjang dengan hebat. Ia kini menggunakan seluruh kepandaian dan pengalamannya dengan tenaga dahsyatnya. Hebat terjangannya. Kapten Merta Sasmita belum mengenal ilmu kepandaian Sanjaya sebenarnya, la mengira, betapa tinggi ilmu kepandaiannya, tapi kakinya buntung sebelah. Betapa pun juga, tidaklah sehebat orang sangka. Maka begitu melihat Sanjaya menerjang dengan mengerahkan seluruh tenaga simpanannya, buru-buru ia menutupi dadanya dengan kedua belah tangannya dengan pedang dilintangkan. Kaki bambu Sanjaya menghantam pedang. Dan yang kiri membentur tangan kirinya pula, Prak! Seketika itu juga, kedua lengannya patah, la menyemburkan darah segar.
377
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Meskipun demikian, mulutnya yang jahil masih saja bisa berkaok-kaok. "Saudara Wiranegara, -bangun! Bangun! Jangan beri dia kesempatan untuk bernapas. Racun bubukku pasti sudah bekerja." Pada saat itu, Wiranegara sudah siuman kembali. Melihat pedang Kapten Merta Sasmita terpelanting di atas tanah—segera ia memungutnya. Kemudian dengan mengandal kepada pedang panjang itu ia menyerang dengan berlari-larian. Kaki Sanjaya buntung sebelah. Itulah sebabnya, tak dapat ia melawan kegesitan dengan suatu kegesitan. Ia hanya bisa berputar-putar menjaga diri. Sebaliknya— melihat kelemahan lawan—Wiranegara menambah kecepatannya, la berlari-larian memutari kamar sambil menyerang pada saat-saat tertentu. Dilawan secara demikian, untuk sementara Sanjaya habis dayanya. Racun Kapten Merta Sasmita memang jenis racun yang hebat. Tatkala lagi mengenai sasaran hanya meninggalkan rasa kaku. Sanjaya masih bisa menahan menjalarnya. Akan tetapi setelah bertempur sekian lamanya, lengannya yang terluka mulai kesemutan. Makin lama makin hebat. Kini terasa menjadi kejang dan tak dapat digerakkan dengan leluasa lagi. Wiranegara celi26) matanya. Melihat Sanjaya menderita demikian, ia tertawa terbahak-bahak. Ia meniru cara Kapten Merta Sasmita mengacaukan
26' celi = tajam, awas
378
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ pemusatan pikiran lawan. Katanya dengan suara mengejek. "Sanjaya! Dian yang menyala terang akan segera padam. Saatmu sudah tiba. Kau mau berpesan apa? Cobalah katakan! Betapapun juga, kita berdua pernah bekerjasama. Mengingat hubungan itu, biarlah aku bersedia mendengarkan pesananmu...." Sanjaya tahu, bahwa tujuan ejekan itu untuk membuat hatinya panas dan bergusar. Jika ia bergusar, darahnya akan bergolak. Artinya, racun yang sudah mengeram dalam dirinya akan segera menjalar dengan cepat. Namun ia sudah tidak memikirkan mati-hidupnya lagi. Hatinya terlalu mendongkol terhadap mereka berdua. Ejekan kapten Merta Sasmita tentang ibunya tadi, sangat menusuk perbendaraan rasanya. Dadanya terasa hendak meledak. Ia lantas menghantam meja batu yang melintang di depannya. Dan kena hantamannya, meja batu itu rontok berguguran. Setelah itu ia meremukan perabot-perabot lainnya. Begitu hancur berantakan, kamar lantas menjadi lapang tiada sesuatu yang merintangi. Semangat Wiranegara terbang sekaligus. Sekarang, tak dapat lagi ia lari berputar-putar mengelilingi meja dan perabot lainnya untuk membuat jarak. Ini artinya, bahaya besar mulai mengancam dirinya. Ia mundur dan melesat dari tempat ke tempat. Sanjaya sudah kalap. Ia memburu dengan mengandal kepada kaki kirinya. Untuk sementara dua orang itu ibarat seekor kucing sedang mengubar-ubar seekor tikus.
Beberapa kali si tikus dapat lolos dari sambarannya. Tetapi Sanjaya seorang cerdik semenjak zaman mudanya. Ia kini maju mempersempit daerah gerak. Lalu
379
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menubruk dengan suatu bentakan keras. Tangannya berhasil menangkap gagang pedang Wiranegara. Wiranegara kaget setengah mati. Buru-buru ia melepaskannya. Lalu mengulingkan diri sampai di bawah almari. Sanjaya tidak memberi kesempatan lagi. Ia melompat dan menendang. Dengan suara bergedubrakan, kakinya menghantam almari. Karena hebatnya tenaga yang dikeluarkan, almari itu roboh berantakan. Dan di antara suara hancurnya sebuah almari, tiba-tiba terdengar suara teriakan: "Awas!" Hampir berbareng Taker Urip dan Ampyak Siti yang bersembunyi di belakang almari melompat keluar. "Ampyak Siti!" seru Taker Urip dengan tertawa berkakakan. "Mampuskan berandal ini!" Sanjaya kaget mendengar bunyi seruan itu. Ia tak pernah bermimpi bisa kejadian begitu. Taker Urip dan Ampyak Siti adalah komandan-komandan laskar Kepatihan. Selamanya mereka bermusuhan dengan Wiranegara. Kapten Merta Sasmita yang berpihak kepada Sultan, dengan sendirinya musuhnya pula. Menurut perhitungan Sanjaya, meskipun mereka berdua tidak bakal membantu padanya, tapi pun tidak akan membantu Wiranegara dan Merta Sasmita. Ampyak Siti adalah seorang pendekar kelas satu
semenjak belasan tahun yang lalu. Waktu itu ia berada dekat di belakang Sanjaya. Begitu mendengar aba-aba rekannya, tangannya lantas mencengkeram pundak Sanjaya.
380
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sanjaya sama sekali tidak mengira akan terjadi demikian. Tahu-tahu pundaknya terasa sakit luar biasa. Tenaga tubuhnya bagian atas lemas tak bertenaga lagi. Taker Urip si Kepala gede waktu itu telah mengeluarkan goloknya yang beracun. Ia melompat maju sambil membentak. "Sanjaya! Hari ini tibalah saat mampusmu. Kau jangan menyesal." "Bagus! Bagus!" seru Wiranegara sambil merangkakrangkak bangun. Ia menyambar pedangnya kembali. Lalu berkata penuh semangat. "Saudara berdua! Mulai detik ini, memang kita sudah menjadi kawan sehidup semati. Kalian benar pandai melihat gelagat! Kalian dengar, majikanmu sudah berhamba kepada Sultan Jarot. Lantas kalian dengan cepat bisa mengambil keputusan. Itulah keputusan yang mengagumkan! Mari.... Mari kita mampuskan bangsat ini! Jasamu kulaporkan kepada Sri Baginda." Setelah berkata demikian, dengan bergulingan ia menyabatkan pedangnya. Hebat ancaman ini. Dengan mati-matian Sanjaya mencoba membebaskan diri. Semua pengalaman dan keragaman ilmu kepandaiannya, ia gunakan dengan sepenuhnya. Tetapi ilmu cengkeraman
Ampyak Siti benar-benar sukar dilawan. Lima jarinya seperti melengket pada pundaknya. Dalam pada itu, golok Taker Urip dan pedang Wiranegara merangsak tiada hentinya. Pada detik yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba saja Sanjaya membentak bagaikan guntur. Itulah ilmu sakti warisan keris Tunggulmanik bagian atas. Sayang, dia tidak memiliki tenaga dahsyat seperti Sangaji. Sekalipun
381
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ demikian perbawanya luar biasa besar. Dengan sekonyong-konyong pandang wajahnya berubah seperti harimau terluka. Taker Urip, Ampyak Siti dan Wiranegara kaget sehingga tertegun. Pedang dan golok terhenti di tengah udara. Pada saat itulah kedua kaki Sanjaya menendang. Dua orang musuhnya terpental dan jatuh terbanting menumbuk tembok. Setelah menendang, ia menyikut dada Wiranegara. Tangan kanannya mencengkeram tengkuk, lalu membanting. Wiranegara jatuh bergulingan. Darah segar kembali terlontak. Dasar telah terluka, penderitaannya tak tertanggungkan lagi. Ia menjerit tinggi seperti babi terjepit. Sebenarnya, apakah dasar alasan Taker Urip dan Ampyak Siti tiba-tiba berbalik membantu Wiranegara? Taker Urip adalah seorang manusia licik. Tadi, selagi bersembunyi di belakang almari, ia mengikuti pembicaraan utusan Sultan dengan jelas. Diluar pengetahuannya sendiri, ternyata Patih Danurejo IV
sudah bersatu kembali dengan Sultan HB IV. Kalau majikannya sudah berhamba, perlu apa ia mengotot. Lantas saja mengambil keputusan untuk mengabdi kepada majikan baru. Pikirnya di dalam hati, Pemerintah Belanda—Sultan Jarot dan Gusti Patih Danurejo sudah bersatu. Pemerintah Belanda sangat benci kepada Sangaji dan semua sanak saudaranya. Meskipun Sangaji seorang pendekar besar yang berkepandaian sangat tinggi, tapi dimana dia kini berada hanya setan yang tahu. Yang ketinggalan di sini hanya Sanjaya. Sultan mencoba memancing dengan pangkat dan derajat untuk nanti dibekuk setelah tiba di Jogjakarta. Hai— iblis yang licik ini—seperti mempunyai mata. Ia menolak! Jika aku
382
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ bisa membekuk atau membinasakannya, bukankah aku mempunyai barang pengantar untuk mengabdi kepada Sultan? Ia bergembira memperoleh pikiran demikian. Hanya saja, ia agak takut berlawan-lawanan dengan Sanjaya yang berkepandaian tinggi. Setelah menimbangnimbang beberapa saat lamanya, ia memperoleh pikiran baru. "Lebih baik aku menonton dahulu pertarungan antara harimau-harimau itu," katanya di dalam hati. "Setelah mereka rusak, barulah aku turun tangan. Kapten Merta Sasmita dan Wiranegara boleh hebat. Tetapi menghadapi Sanjaya, mereka bakal menderita luka berat. Aku tinggal menambahi beberapa tikaman saja, sudah beres. Lalu siapa lagi yang bakal mengantongi
jabatan komandan istana, selain aku? Inilah yang dinamakan sekali tepuk dua lalat mampus." Demikianlah ia menunggu sambil memasang telinga dan mata. Tak tersangka sama sekali, gelanggang pertarungan mendadak pindah di depan almari. Sanjaya menendang almari tempat persembunyiannya hingga hancur berantakan. Terpaksalah ia keluar sebelum waktunya. Ia mengetahui lengan Sanjaya sudah terluka kena mesiu bubuk beracun. Segera ia mengkisiki Ampyak Siti agar menerkam pundaknya. Jika pundak Sanjaya kena terkam cengkeraman Ampyak Siti yang terkenal berbahaya semenjak belasan tahun, ia sendiri akan turun tangan membinasakannya. Akan tetapi perhitungannya ternyata meleset. Sebab dalam detik yang sangat berbahaya Sanjaya ternyata masih mempunyai tenaga membalas. Tiba-tiba dadanya kena tendang. Ia jatuh terpelanting menumbuk tembok. Baru saja hendak merangkak bangun, tangan Sanjaya
383
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ mencengkeram tulang pundak. Dengan suatu teriakan hebat, ia berontak. Tetapi tulang pundaknya tetap tercengkeram dengan keras. Ia kena dibanting untuk yang kedua kalinya. "Awas!" terdengar suara teriakan peringatan. Itulah suara peringatan Mundingsari yang berada di kamar sebelah. Dengan berteriak demikian, Kapten Merta Sasmita yang terkapar kempas kempis terbangun kesadarannya. Kedua lengannya boleh dikatakan sudah
hancur. Namun masih bisa ia menggerakkan sebelah kanannya meskipun sakit luar biasa. Dengan menguatkan diri ia mengisi pistolnya yang tadi terlempar di tanah. Kebetulan sekali berada dekat padanya. Setelah berkutat sekian lamanya, ia berhasil mengisinya. Kemudian dengan tangan gemetaran, ia menarik pelatuknya. "Di kamar sebelah ada orang!" teriaknya membarengi. Pistol meletus. Buru-buru Mundingsari mengendapkan kepalanya. Ia dapat menyelamatkan diri, karena Kapten Merta Sasmita sudah terluka hebat. Tetapi ia tak dapat membebaskan diri dari bubuk racunnya. Begitu mencium bahaya, tiba-tiba- saja matanya berkunang-kunang. Dan ia roboh terjungkal dari kursi bertangga. Ampyak Siti yang membentur tembok mendengar pemberitahuan Kapten Merta Sasmita, la menguatkan diri untuk meletik bangun. Tetapi sebelum sempat bergerak dengan leluasa, Sanjaya sudah memegat jalan keluar. Bentak Sanjaya: "Mau lari kemana?" Berbareng dengan bentakannya, Sanjaya menyapu dengan tangannya. Buru-buru Ampyak Siti berkelit, tetapi Sanjaya lebih cepat. Tangannya mendarat jitu pada pinggang lawan. Tenaga sapuannya tadi dapat merontokkan
384
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ meja batu. Sekarang menggempur pinggang Ampyak Siti. Tak mengherankan pendekar itu berkunang-kunang matanya. "Mati aku!" ia mengeluh tinggi. Tiba-tiba terdengarlah suara Kapten Merta Sasmita.
"Saudara, jangan gugup! Dia sudah terluka hebat, akibat racunku. Sebentar lagi tenaganya bakal kurang. Kau serang saja dia dengan berputaran!" Mendengar perkataan itu, Ampyak Siti tersadar. Benar—meskipun ia kena gempuran—tapi lukanya tidaklah seberat Sanjaya yang kena digerumuti racun berbisa dari dalam. Buru-buru ia menarik napas dalam dan merangkak-rangkak bangun. Taker Urip yang terkapar di atas tanah, kelihatan bergerak pula. Dengan matanya yang celi, Ampyak Siti mengawaskan lengan Sanjaya. Lengan Sanjaya seperti tergantung pada pundaknya tanpa tulang lagi. Itu suatu bukti bahwa lengan itu sudah tak dapat digerakkan dengan leluasa. Ternyata ia bertempur dengan menggunakan lengan kirinya saja. Namun lengan ini pun nampaknya kejang juga. Pastilah akibat racun yang mulai mengamuk dalam dirinya. Memang—begitu kena racun bubuk mesiu Kapten Merta Sasmita lengan Sanjaya terasa menjadi kaku. Setelah bertarung sekian lamanya, menjadi kejang dan tak dapat lagi digerakkan dengan leluasa, la tahu—itulah akibat racun ular yang sudah menjalari lengan dan sebagian tubuhnya. Tadi—dalam pertempuran hidup dan mati—ia melupakan rasa kejang itu. Dan dapat menggempur musuh-musuhnya dengan tenaga penuh. Tapi setelah itu, lengannya tak dapat diperintahnya lagi.
385
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Semenjak mudanya—Sanjaya mempunyai sifat yang
agak membandel, la tak gampang-gampang mau menyerah. Sifat inilah yang pernah menjengkelkan Titisari dan Nuraini. Sekarang sifat itu timbul dalam saatsaat penentuan hidup dan matinya. Dengan mengerahkan tenaga ia menghantam Ampyak Siti. Pukulannya tepat mengenai sasarannya. Kalau pukulannya dapat menggempur sebuah meja batu, kini hanya mampu membuat mata Ampyak Siti berkunangkunang saja. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Pada saat itu, Taker Urip sudah dapat berdiri. Ia memungut goloknya kembali. Sambil menahan sakit, ia mengawaskan lawannya. Disampingnya berdiri Ampyak Siti yang sudah sempoyongan. Sedang kedua lengan Kapten Merta Sasmita nampak sudah rusak. Kapten itu mencoba berdiri dengan bersandar pada tembok. Mukanya pucat bagaikan mayat. Lima orang yang berada dalam kamar itu sebenarnya sudah luka parah semua. Wiranegara sudah tak berkutik. Ia terkapar mencium tanah dengan napas kempas kempis. Kedua lengan dan dada Kapten Merta Sasmita telah rusak, tulangnya remuk. Taker Urip yang kena tendangan kaki, patah pula tulang pundaknya. Dan Ampyak Siti yang tergempur pinggangnya tak ubah sebuah dian berkelap-kelip. Sedang Sanjaya terancam bahaya bisa ular yang jahat. Kedua lengannya tak dapat digerakkan lagi. Seluruh anggota tubuhnya terasa copot. Dibandingkan dengan keempat lawannya, dialah sebenarnya yang menderita luka paling parah. Kelima-limanya tadi sudah bertempur untuk menentukan hidup matinya. Kini tinggal empat orang, lantaran Wiranegara sudah tak dapat berkutik lagi.
386
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mereka bertarung lagi dengan dahsyat. Setelah melayani belasan jurus, Sanjaya merasa diri tak dapat lagi mengadakan perlawanan. Ia berpikir cepat. Katanya di dalam hati, aku masih bisa menggerakkan tangan kiriku. Tapi tidak untuk selamanya. Kalau aku tidak dapat menggunakan semanfaat-manfaatnya, aku akan mati di tengah jalan." Memikir demikian ia segera menyimpan tenaga lengannya. Tiba-tiba ia melihat Ampyak Siti bergulingan. Dengan membekal tongkat gaetan, pendekar yang lukanya paling ringan itu menyapu kakinya. Buru-buru Sanjaya menjejakkan kakinya ia melesat tinggi untuk meloloskan diri. Tatkala melayang turun ia menubruk Taker Urip. Tubrukan ini berada diluar dugaan Taker Urip, sebelum dapat bergerak, Taker Urip kena tubruk dan tubuhnya terpental kesamping. Tapi dia bukan tak berdaya sama sekali. Dalam kesibukannya tangannya yang masih menggenggam golok digerakkan. Sayang— tangan Sanjaya lebih cepat. Sebelum goloknya menemui sasarannya, pergelangan tangannya kena tangkap. Terdengar bentakan Sanjaya mengguruh! "Kau rasakan betapa enaknya kalau lenganmu copot!" Taker Urip kaget setengah mati. Dengan berteriak ia mencoba menarik dengan menggulingkan badannya. Tapi gerakan ini justru mempercepat ancaman. Tahutahu, lengannya berbunyi krak—krak! Ia berteriak tinggi menyayatkan hati. Goloknya terlempar di tanah. Dan
dengan bergulingan di tanah, tangan kirinya menekap lengan kanannya yang copot dari tulang pundaknya.
387
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Hebat kejadian itu, Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita tertegun karena kaget. Mereka berdua mempunyai kepandaiannya masing-masing. Mereka berdua pernah mengalami pertempuran mati-hidup entah sudah berapa kali. Tetapi malam itu, semangatnya benar-benar terbang. Mereka merasakan suatu kengerian yang menyeramkan. Pada saat itu kembali Sanjaya melesat tinggi. Itulah salah satu jurus ilmu warisan Pringgasakti. Cengkeramannya mengarah batok kepala. Barangsiapa kena cengkeramannya akan mati tercublas. Apabila mencengkeram tulang, tulang itu akan patah berantakan. Buru-buru Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita melompat menyibakkan diri. Di luar dugaan, serangan Sanjaya berhenti di tengah jalan. Tatkala mendarat di tanah, tangannya sudah menggenggam sebatang pedang berwarna kelabu. Itulah pedang warisan Pringgasakti. Setelah ayah angkatnya mati sampyuh27) dengan pendekar Kebo Bangah dan kakinya buntung sebelah. Sanjaya menyimpan pedangnya. Ia bersumpah tidak akan menggunakannya lagi. Tapi sekarang—karena merasa diri sudah terdorong di garis mati hidup, ia tak memedulikan lagi. Dan begitu pedangnya tercabut dari sarungnya semangat tempurnya terbangun sekaligus. Ia seumpama seekor harimau tiba-tiba mempunyai sayap.
Bukan main kagetnya Ampyak Siti dan Kapten Merta Sasmita begitu melihat berkelebatnya sebatang pedang
27> sampyuh =
berbareng 388
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ di depan hidungnya. Dengan paras pucat lesi, mereka menjatuhkan diri dan menyingkir bergulingan. "Binatang!" bentak Sanjaya kalap. "Jika hari ini kalian bisa lolos dari pintuku, aku akan membunuh diri. Dan semenjak ini, anggap saja dunia tak pernah melahirkan Sanjaya." Baru saja Ampyak Siti melarikan diri, suatu kesiur angin tajam memburu punggungnya. Pada detik-detik itu—selagi Ampyak Siti membalikkan tubuh hendak menangkis—tiba-tiba terdengar Sanjaya mengerang kesakitan. "Binatang!" bentak Sanjaya dengan suara seram. "Kau belum mampus?" Sambil berteriak ia menendang. Hampir berbareng. Taker Urip menjerit tinggi. Tubuhnya bergulingan beberapa kali. Dan nyawanya terbang ke langit ketujuh. Sanjaya tadi tidak memperhatikan Taker Urip yang menggeletak di atas tanah lantaran luka berat. Ternyata Taker Urip yang licik, masih bisa menggerakkan sebelah tangannya. Tatkala Sanjaya melesat menyambarkan pedangnya, ia menimpuk dengan belati beracunnya. Dan
belati itu menancap pada lutut Sanjaya. Menyaksikan hal itu, Kapten Merta Sasmita bersyukur di dalam hatinya. Serunya lantas, "Saudara Ampyak Siti, hayo bantulah aku! Dia kena belati beracun. Sekarang tinggal mampusnya saja!" Dengan terpaksa Ampyak Siti maju menyerang. Pada waktu itu keadaan Sanjaya benar-benar sudah payah sekali. Racun yang mengamuk dalam dirinya jadi bertambah. Kaki dan tangannya terluka berat. Terasa
389
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sekali—bisa dan racun yang mengamuk di dalam dirinya—mulai naik meraba jantung. Sambil mengertak gigi, ia mengumpulkan sisa tenaganya. Lalu menerjang kedua musuhnya dengan berbareng. Sungguh tak memalukan Sanjaya menjadi saudara-angkat Sangaji dalam saat-saat hidupnya yang terakhir. Walaupun keadaannya tak ubah sebuah dian sudah kehabisan minyak, namun masih bisa ia melancarkan suatu serangan dahsyat. "Jangan lawan dengan rapat. Mundur!" teriak Kapten Merta Sasmita. "Paling lama dia tinggal bisa bertahan setengah jam lagi." Ampyak Siti segera meloncat menjauhi. Begitu juga Kapten Merta Sasmita. Sanjaya sudah barang tentu mengetahui keadaannya sendiri. Tatkala itu, ia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi. Tujuannya hanya satu. Hendak gugur berbareng musuh-musuhnya. Itulah sebabnya ia tak
memedulikan penjagaan dirinya. Terus saja ia menyerang dengan menyam-barkan pedang. Di antara dua orang itu, Ampyak Siti yang masih bisa bergerak agak leluasa. Ia tadi hanya tergempur pinggangnya oleh suatu tenaga yang sudah kurang kedahsyatannya. Itulah sebabnya ia bisa berlari-larian berputaran. Kadangkala melancarkan serangan balasan. Dalam hatinya, ia menunggu saat robohnya Sanjaya oleh serangan racun yang mulai meraba jantungnya. Semakin lama, pandang mata Sanjaya makin menjadi kabur. Sekarang tak dapat lagi ia melihat perawakan tubuh kedua lawannya dengan tegas. Yang dilihatnya
390
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hanya semacam gundukan remang-remang yang selalu bergerak. Tiba-tiba ia mendengar pintu terbuka dari luar. Siapakah yang membuka pintu? Tak sempat ia berpikir banyak. Pada saat itu, ia melihat sesosok bayangan berkelebat melesat ke pintu. Dialah Ampyak Siti. Sanjaya menggerung dahsyat. Karena menggerung, pandang matanya menjadi terang selintasan. Begitu melihat melesatnya Ampyak Siti, tanpa berpikir panjang lagi ia menimpukkan pedangnya. Tepat timpukannya. Dada Ampyak Siti tertikam dari belakang, la roboh terjungkal tanpa bersuara lagi. Mundingsari yang roboh kena sambaran racun, segera duduk bersila menenteramkan diri. Kepalanya pusing dengan mendadak. Untung ia hanya menyedot bubuk
mesiu beberapa tarikan napas saja. Setelah mengatur perjalanan darah dan napasnya, tubuhnya terasa menjadi segar kembali. "Saudara Mundingsari, bagaimana ini?" Letnan Johan menghampiri dengan me-rangkak-rangkak. "Sahabatmu Sanjaya ternyata seorang berandal," sambung Letnan Matulesi yang mendekatinya juga. "Dia seorang pemberontak seperti Sangaji." Mundingsari tak melayani mereka. Ia menempelkan telinganya pada dinding kamar, mendengarkan suara pertempuran. Sekarang ia mendengar beradunya senjata. Ia jadi bingung sekali karena tak tahu siapa yang berada dalam bahaya. Menyaksikan kelicikan utusan-utusan Patih Danurejo IV dan Sultan Jarot, ia ikut panas hati. Darahnya bergolak dan dadanya seakan-akan
391
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hendak meledak. Dengan kalap ia menarik goloknya. Kemudian membacoki pintu kamar kalang kabut. Suara bacokan golok Mundingsari terdengar di gelanggang pertempuran. Kapten Merta Sasmita mengira, bahwa pembantu Sanjaya datang hendak memberi bantuan. Karena pintu dikancing dari dalam, ia mengira pembantu Sanjaya sedang menjebol pintu dari luar. Dalam pada itu, setelah Sanjaya membereskan kedua lawannya, ia berputar menghadap Kapten Merta Sasmita. Kapten itu kini baru mengerti artinya takut. Kena pandang mata Sanjaya, tenaganya lenyap seakan-akan
terlolosi. la menjatuhkan diri dan merangkak-rangkak mendekati. "Sekarang hanya ketinggalan kau seorang begundal dan budak Belanda!" bentak Sanjaya dengan suara menyeramkan. "Ya—ya, benar. Aku memang begundal Belanda. Aku memang budak Belanda," sahut Kapten Merta Sasmita dengan suara gemetaran. Sekarang nampaklah pamornya28) dengan jelas. "Ampuni aku nDoro-mas. Ampuni aku. Aku berjanji akan selalu teringat budimu." Sanjaya mendelik. Ia sadar musuhnya itu sangat licik. Dia mencoba mengajak berbicara berkepanjangan untuk menunggu saat padamnya tenaganya. Teringat akan racunnya yang sudah mengamuk ke seluruh tubuhnya, ia segera membungkuk menjemput pedang Wiranegara. Bentaknya: "Bukankah ini pedangmu?"
28> baca : kwalitas
392
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Benar nDoromas," sahut Kapten Merta Sasmita cepat. "Dahulu kuperoleh dari Aceh." "Pedang bagus!" kata Sanjaya. Tiba-tiba tangannya bergerak menimpuk dengan tenaganya yang penghabisan. Tanpa dapat bergerak lagi, pedang itu menikam ulu hati majikannya sendiri sampai menembus punggung. Kapten Merta Sasmita roboh terguling. Lalu mati dengan berkelejotan. Puas hati Sanjaya. la tertawa terbahak-bahak. Dengan
tertatih-tatih ia mencabut pedangnya dari dada Ampyak Siti. Setelah menyingkirkan batu yang melintang di depannya, ia menghampiri pintu kamar kurungan sambil membentak. "Siapa di dalam? Keluar semua!" Mundingsari mendorong daun pintu. Karena tiada pengganjelnya lagi, pintu terjeblak dengan gampang. Ia berjalan keluar dengan diikuti dua perwira di belakangnya. Melihat Mundingsari melintangkan golok di depan dadanya, Sanjaya lantas bertanya : "Mundingsari! Kau datang kemari untuk apa? Siapakah yang mengirimkan dua orang perwira ini?" Kedua perwira itu pucat lesi. Jawabnya dengan suara menggigil: "Kami... kami... datang untuk memohon pertolongan Paduka." "Apa?" bentak Sanjaya. "Setelah kalian pandai memanggil paduka kepadaku, apa kalian kira mudah keluar masuk halaman rumahku sesuka hatimu?"
393
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kedua perwira itu menggigil seluruh tubuhnya. Sebaliknya, Mundingsari berduka melihat tubuh bekas majikannya itu. Tatkala itu, seluruh tubuh Sanjaya sudah berlumuran darah. Meskipun demikian, kewibawaannya masih seperti dahulu. Teringat akan kedudukannya dahulu, mata Mundingsari basah. Lantas saja ia memegang pergelangan tangan Sanjaya, setelah memindah goloknya ke tangan kiri. Katanya dengan
suara terharu: "Denmas Sanjaya... bagaimana keadaanmu?" "Kenapa kau ajak mereka kemari?" bentak Sanjaya tanpa memedulikan ucapannya. "Denmas, kau beristirahat dahulu. Sebentar aku akan menuturkan kata," jawab Mundingsari. Sanjaya berbimbang-bimbang sebentar. Sejenak kemudian memutuskan, "Baiklah!" la berjalan mendekati dinding. Kemudian duduk bersila. Buru-buru, Mundingsari mengeluarkan obat lukanya untuk mengobati luka Sanjaya. Tapi baru saja tangannya diulur, Sanjaya membentak. "Kau mau apa? Taruh! Siapa kesudian melihat lagakmu ini. Cepat katakan, siapa Tuan-tuan yang terhormat ini?" Mundingsari segera meletakkan botol obatnya di atas tanah, la duduk berhadap-hadapan. Setelah menelan ludah beberapa kali, ia berkata: "Apa yang mereka katakan, memang benar belaka. Dari Cirebon mereka mengawal tiga kereta penuh muatan. Isinya tiga puluh laksa ringgit untuk belanja tentara di Magelang. Tapi di
394
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ tengah jalan, uang itu kena dirampok. Itulah sebabnya mereka datang kemari untuk mohon bantuan Denmas." "Apa sangkut pautnya dengan dirimu?" tanya Sanjaya. "Aku ikut melindungi eh, mengawalnya." "Hai! Kenapa kau sudi jadi begundal?" bentak Sanjaya. Buru-buru Mundingsari membungkuk hormat. "Itulah
lantaran aku ditunjuk Sultan Kanoman untuk ikut serta mengawal. Mengingat daerah hidupku berada dalam kekuasaan Sultan Kanoman, tak dapat aku menolak.... Denmas! Bagaimana keadaan Denmas? " Mundingsari kaget tatkala melihat tubuh Sanjaya bergoyang-goyang. Tadi karena mengira kedua perwira itu bermaksud jahat dapat Sanjaya mempertahankan dirinya oleh rasa tegang. Sesudah mengetahui bahwa kedatangan mereka tidak bermaksud jahat, hilanglah rasa tegangnya. Tapi begitu rasa tegangnya hilang, mukanya lantas berubah menjadi pucat. Dan tubuhnya bergoyang tak dikehendaki sendiri. Melihat hal itu, gugup Mundingsari mengulur tangannya hendak memberikan pertolongan. "Tak usah!" Sanjaya menolak. "Selama aku masih dapat berbicara, kau hanya mendengarkan kata-kataku dengan baik. Nah, kau usirlah mereka dahulu keluar. Aku ingin berbicara." Mundingsari menoleh dengan memberi isyarat mata. Kedua perwira itu tahu diri. Cepat-cepat mereka mundur dan keluar pintu. Di sana mereka menunggu di dalam kepekatan malam.
395
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mundingsari kenal wataknya Sanjaya. Bekas putera pangeran itu, biasanya bermanja-manja. Maka ia mencoba memegang bahunya. Tetapi kali ini Sanjaya benar-benar kukuh. Sifatnya dahulu tiada lagi bekasnya. "Kau dengar saja!" bentak Sanjaya. "Kau mau
mendengarkan perintahku tidak? Nah, —kau gerayangi saku Merta Sasmita. Mungkin di dalam saku terdapat obat pemunah racun." Mundingsari seperti diingatkan. Setelah melompat, ia menghampiri mayat Kapten Merta Sasmita. Lalu menggerayangi sakunya. Benar saja di dalamnya terdapat sebotol obat pemunah yang encer. Buru-buru ia membawanya ke depan Sanjaya. "Kau kena racun berbahaya. Kau minumlah cepat!" perintah Sanjaya. Mundingsari terkejut. Memang tadi, ia menyedot racun selintasan. Siapa saja takkan melihat tanda-tandanya. Tetapi dengan sekali pandang ternyata Sanjaya melihat gejalanya. "Denmas! Racun yang kusedot tidak begitu banyak. Denmas saja yang minum obat pemunah ini!" Sanjaya tersenyum pahit. Jawabnya dengan suara berduka. "Kalau satu jam tadi, mungkin masih ada harapan. Sekarang meskipun memperoleh obat malaikat—tidak akan mempan lagi. Kau saja! Jangan kau kira, kau tidak terancam bahaya..." Pucat wajah Mundingsari. Sebagai seorang pendekar berpengalaman, kata-kata Sanjaya pasti beralasan, la tak berani membangkang. Setelah dibuka penutup botolnya, segera ia meneguk isinya sampai habis. Kemudian ia
396
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ menatap wajah Sanjaya yang kini nampak berwarna abuabu. Sejenak lagi, warna abu-abu itu berubah menjadi
hitam. Terang sekali, seluruh tubuh Sanjaya sudah diamuk racun. Tanpa merasa botol obat pemunah yang berada dalam tangannya runtuh bergelontangan. "Denmas Sanjaya!" pekiknya sambil berlutut. "Denmas mempunyai pesan apa?" Sanjaya tertawa. "Budi dan sakit hati sudah terbalas semua. Isteri—aku pernah mempunyai. Ibu—pernah menduduki tataran mulia. Apalagi yang akan kupesankan? Hanya saja...? Hanya satu! Kau dengarlah!" "Brt!" ia membesat bajunya yang ber-lepotan darah. "Bawalah baju ini dan pedangku kepada saudara angkatku Sangaji. Setelah uang kawalanmu dapat kau peroleh kembali, kau harus mengabdi kepada Sangaji." Dengan air mata bercucuran, Mundingsari menerima robekan baju dan pedang Sanjaya. Dengan menguatkan diri ia berkata: "Denmas berpesan apa lagi?" "Ketika kau tiba di sini, apakah bertemu dengan anakku Senot Muradi?" tanya Sanjaya. "Katanya, dia pergi mencari Denmas," jawab Mundingsari. Tubuh Sanjaya menggigil. Tetapi paras wajahnya tetap tenang. Dalam menghadapi maut, Sanjaya yang dahulu terkenal sebagai seorang licik, ternyata nampak gagah dan sama sekali tak gentar. Mundingsari kagum luar biasa. Alangkah besar perubahannya dalam belasan tahun terakhir ini.
397
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Dengan hati pilu ia menatap wajah bekas majikannya
itu. Keadaan Sanjaya ibarat nyala lilin mendadak terang benderang sebelum padam sama sekali. Ia memejamkan mata. Tiba-tiba menyenak. Lalu berkata dengan suara terburu-buru. "Jika.... Senot masih hidup, berikan pedangku itu kepadanya. Kau suruh dia mencari saudara angkatku Sangaji. Setelah berkata demikian ia mengibaskan tangannya. Berkata lagi: "Aku mempunyai hubungan baik dengan penduduk dusun ini. Jenazahku pasti bakal dirawatnya dengan baik. Kau saja, berangkatlah malam ini juga. Aku telah membinasakan musuhku semua. Aku pun sudah berhasil berdiri tegak sejiwa dengan cita-cita almarhum ayahku. Meskipun kini mati, aku puas. Senot Muradi tak perlu berkecil hati mempunyai ayah seperti aku. Hanya satu hal yang mengganjel dalam hatiku Tak dapat lagi aku melihat ibuku... saudaraku Sangaji... dan belum sempat aku beramah tamah dengan Pangeran Diponegoro... Hai, sayang!" Suaranya makin lama makin menjadi lemah. Begitu mengucapkan kata sayang, kedua matanya terpejam rapat. Dan pulanglah ia ke rahmattullah dengan tenang. Mundingsari menangis menggerung-gerung. Beginilah akhir hidup Sanjaya. Pada zaman mudanya, ia hidup makmur dan menjadi pujaan. Kemudian kakinya buntung dan mengakhiri hidupnya hanya ditemani seorang teman belaka. Mundingsari menjadi sedih. Dimanakah putera satu-satunya kini berada? Maka terasalah dalam hati Mundingsari, bahwa sesungguhnya lahir dan matinya manusia ini seorang diri saja. Tanpa teman tanpa kawan.
398
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Setelah kenyang menangis, Mundingsari segera berlutut di hadapan jenazah Sanjaya serendah tanah. Kemudian dengan hati-hati, ia menidurkan di atas dipan panjang. Di sini-kembali ia berlutut lagi sebagai pemberian hormat yang terakhir. Pada saat itu, mendengar suara gemeresak di luar. "Ah, benar?" katanya di dalam hati. "Tak boleh aku lama-lama berada di sini." Buru-buru ia memasukkan robekan baju Sanjaya ke dalam sakunya. Dan sambil menenteng29) pedang Sanjaya, ia berjalan keluar halaman. Dua perwira yang tadi menunggu di luar, segera menghampiri. Melihat Mundingsari membawa-bawa pedang dengan wajah pucat, mereka kaget setengah mati. Dengan suara gemetaran Letnan Johan menegas hati-hati. "Saudara Mundingsari... bagaimana?" "Sebulan lagi, kalian tunggu kedatanganku di kaki Gunung Damar," jawab Mundingsari dengan pendek. "Sebulan lagi?" Mereka setengah memekik. "Denmas Sanjaya sudah meluluskan permohonanmu," kata Mundingsari dengan suara malas. "Satu bulan lagi— terhitung hari esok—kalian berdua menunggu kedatanganku di kaki Gunung Damar sebelah timur. Kalian akan mendengar khabar kesudahan-nya." "Massya Allah! Sebulan lagi? Bagaimana kami berdua bisa menunggu selama itu?" kata mereka setengah merengek.
_ 1B> menenteng = membawa-bawa, menjinjing
399
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mundingsari lagi berduka. Sekarang mendengar kerewelan mereka, ia jadi naik darah. Lantas membentak. "Kalian bisa menunggu atau tidak? Kalau tidak bisa menunggu, aku pun tak dapat menolong." Suaranya keras dan dengan langkah panjang, ia berjalan mengitari halaman menuju ke pekarangan belakang. Kedua perwira itu tak berani menggerecoki lagi. Terpaksalah mereka menghampiri kudanya dan segera meninggalkan halaman rumah. Malam itu sangat pekat. Dengan menahan napas, ia menggeprak kudanya asal lari saja. Setelah membeloki sebuah tikungan, bayangannya lenyap dari penglihatan. Dalam pada itu Mundingsari telah memasuki pekarangan samping. Tujuannya hendak mencari Senot Muradi. Tatkala hendak membeloki dinding belakang, tiba-tiba kakinya menyentuh sesosok tubuh. Ia kaget sampai berjingkrak. "Siapa?" gertaknya. Ia menunggu beberapa saat. Tubuh itu tidak bergerak. Ia membuka matanya lebar-lebar untuk menajamkan penglihatan. Tetapi malam itu benar-benar pekat. Tiada sesuatu yang bisa nampak di depan hidungnya. Karena penasaran, ia maju setindak. Kakinya dirabakan. Tubuh yang menggeletak di atas tanah lantas didorongnya. Ternyata tiada bertenaga sama sekali. "Eh, di sini terdapat mayat. Mayat siapa?" ia berbisik di dalam hati.
Teringat lampu yang berada di dalam kamar tengah ia segera berbalik. Kemudian dengan hati-hati ia membawanya keluar. Membawa lampu di tengah
400
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ kegelapan malam, besar bahayanya. Siapa tahu, ada orang-orang tertentu yang bersembunyi. Tetapi ia cerdik. Ia menimpukkan tinggi di udara, lalu mendekam serendah tanah. Lampu penerangan pada zaman dahulu semacam obor bertangkai. Tangkainya terbuat dari bambu dan berukuran panjang. Sebelum menimpukkan, Mundingsari menarik sumbunya panjang-panjang. Timpuk -annya ke udara tidak sampai memadamkan nyalanya. Dan begitu tiba di tanah, minyaknya muncrat berhamburan. Tanah sekitarnya lantas saja terbakar. Hati-hati, Mundingsari menebarkan penglihatannya. Sekian lamanya ia menunggu, tiada yang terdengar berkutik. Ketegangannya lantas surut. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada pekarangan samping. Samar-samar ia melihat beberapa mayat bergelimpangan. Apakah artinya ini? pikirnya sibuk. Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia dapat bertindak dengan cepat. Ia melesat ke atas genting dan mengintai dari atas. Sekarang ia dapat melihat sekitar rumah dengan leluasa. Mayat yang bergelimpangan berjumlah tujuh orang. Yang enam bertebaran, sedang yang seorang
bersandar pada lapisan batu ambang pintu. Orang itu nampaknya sudah berhasil membuka pintu dari luar. Tetapi kemudian roboh menghembuskan napasnya yang penghabisan. Karena perbuatannya itulah, membuat Ampyak Siti hampir dapat melarikan diri. Kejapan sumbu obor yang terlepas dari tangkainya, memang kurang memberi penerangan yang cerah.
401
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Namun Mundingsari tak berani sembrono. Setelah mendekam sekian lamanya di atas genting dan suasana sekitar pekarangan tetap sunyi senyap, barulah ia berani meloncat turun. Dengan cekatan ia memasukkan sumbu obor ke tangkainya. Lalu ia mulai mengadakan pemeriksaan. Tatkala menyuluti wajah orang yang hampir mencapai ambang pintu, ia menggigil. Tanpa merasa ia mundur setindak. "Ki Jaga Saradenta!" bisiknya. Dengan tubuh bergemetaran ia membungkuki dan memeriksa. Seluruh tubuh Ki Jaga Saradenta berlumuran darah. Ia telah tewas. Melihat enam mayat bergelimpangan dengan luka berat, Mundingsari lantas dapat menduga-duga. Rupanya—tidak hanya Sanjaya yang menghadapi lawan dengan tiba-tiba—tapi pun Ki Jaga Saradenta. Hanya saja siapakah lawan Ki Jaga Saradenta itu, tidaklah jelas. Apakah Ki Jaga Saradenta sedang melindungi Senot Muradi? pikirnya. Memperoleh pikiran demikian, ia jadi kalap. Dengan membawa obor, ia lari mengitari rumah
sambil berteriak-teriak: "Senot! Senot!" Seluruh ruang rumah digeledahnya. Setelah ternyata tiada tanda-tandanya, segera ia lari menghampiri kudanya. Ia melompat ke atas punggungnya. Ditimpukkan tangkai berobor itu tinggi ke udara, kemudian menggeprak kudanya. "Senot! Senot! Kau dimana?" teriaknya kalap.
402
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
8
PENGORBANAN WIRAPATI EMPAT HARI KEMUDIAN, Mundingsari telah tiba di Kota Magelang. Perjalanan pada waktu itu tidak boleh dikatakan terlalu sukar. Jalan besar yang menghubungkan Banyumas dan Magelang telah cukup rata. Seseorang bisa mencapai Kota Magelang lebih cepat dua hari daripada perjalanan Mundingsari. Tetapi pikiran Mundingsari kala itu sangat kacau. Lagi pula perjalanan yang ditempuhnya tidak lumrah. Ia menaruh curiga kepada tempat-tempat tertentu untuk dijenguknya. Siapa tahu, ia memperoleh hisapan berita tentang lenyapnya Senot Muradi. Itulah sebabnya, perjalanan ke Magelang ditempuhnya dalam empat hari. Jalan-jalan di Kota Magelang, terhias dengan rapih.
Pagar dan rumah-rumah terlabur putih. Mula-mula Mundingsari mengira, itulah kerapihan untuk menyongsonghari raya beberapa hari yang lalu. Tiba-tiba ia melihat suatu tulisan besar yang terpancang melintang di tengah jalan. Begini bunyinya: Sultan HB IV dengan bantuan pemerintah Belanda naik tahta penuh-penuh. Rakyat Magelang mengucapkan syukur ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa.
Naiknya Sultan HB IV ke tahta, sudah didengar jelas dari pembicaraan utusan-utusan yang datang ke rumah
403
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Sanjaya. Kalau Bupati Danuningrat30) kini mengucapkan selamat naik tahta, sudahlah semestinya. Karena dia seorang hamba negeri. Tapi aneh adalah sikap penduduk. Mereka nampak acuh tak acuh. Pandang mukanya keruh dan berduka. Hal ini menarik perhatian Mundingsari. Mundingsari memasuki rumah makan Tionghoa yang agak mentereng. Ia melihat secoret tulisan Tionghoa pada dnding. Tulisan itu sangat menyolok. Sayang tak dapat ia membacanya. Tapi ia tidak kekurangan akal. Ia menggapai seorang kacung31) Tionghoa. Setelah memberi persen ia minta tolong apa bunyinya tulisan itu. Segera anak itu membaca lancar. "Jangan membicarakan urusan negara di sini." Mundingsari memanggut-manggut. Ia tidak mengucapkan sesuatu. Hanya saja pikirannya jadi sibuk.
Itulah disebabkan ia teringat kepada pertarungan hebat antara Sanjaya dan utusan Raja. Kemudian dengan mendadak utusan Patih Danurejo IV ikut bergabung pada pihak utusan Raja. Ini adalah suatu keruwetan yang terasa gawat. Dan kegawatan itu dikesankan lagi oleh tulisan tersebut. Melihat beberapa tetamu melirik kepadanya, ia jadi tak enak hati. Memang—pada waktu itu—jarang terjadi seorang penduduk memasuki sebuah rumah makan Tionghoa. Segera ia menggapai pelayan itu lagi. Ia berpura-pura memesan makanan Jawa yang tentu saja tak dapat disediakan di rumah makan Tionghoa. Dengan alasan itu, ia meninggalkan rumah makan tersebut.
30) Bupati Magelang yang setia kepada Belanda. 31) baca pelayan tanggung.
404
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Di sebelah jalan jurusan Purwokerto, ia melihat sebuah warung. Segera ia memasuki. Beberapa orang bergerombol menggerumiti nasi dan lauknya. Segera ia ikut-ikutan memesan makanan. Mula-mula tiada terjadi sesuatu yang menarik perhatian. Tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar suatu bisikan. Dan bisikan itu dijawab oleh si Penjual makanan dengan terang-terangan. "Siapa yang mempunyai telinga dan mata, masakan tak mengetahui kejadian ini. Pendekar Wirapati memang dimasukkan ke penjara."
"Benar. Cuma saja—apa alasannya?" menegas seseorang. "Alasan kan bisa dibuat-buat. Siapa yang berkuasa, dia bisa mengumbar mulut!" jawab penjual makanan dengan suara sengit. "Kang Karto!" kata seorang laki-laki yang duduk di pojok utara. Siapa saja memang bersedia dihukum untuk kebersihan nama pendekar Wirapati. Hanya saja, lebih baik kita berhati-hati. Dinding mempunyai mata dan telinga." Kartodirun demikian nama penjual nasi itu merah padam mukanya. Namun oleh nasihat itu, ia berusaha mengendalikan diri. Setelah agak sabar ia berkata: "Menurut pendapat kalian apakah alasan Bupati Danuningrat menahan pendekar Wirapati?" Beberapa saat lamanya tiada jawaban. Masing-masing sedang menggerumiti pesanan makanannya. Tiba-tiba seseorang menyeletuk.
405
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ "Bupati ini hendak mencari muka kepada pemerintah Belanda. Siapa saja tahu." "Sst!" Temannya memperingatkan. "Teruskan!" tungkas Kartodirun. "Peduli apa? Masakan kita perlu takut membicarakan yang benar?" "Dia mungkin tahu, bahwa pendekar Wirapati adalah guru pendekar besar Sangaji yang mengangkat senjata di Jawa Barat," kata orang itu. "Kukira Bupati Danuningrat memaksa Wirapati agar menggunakan
pengaruhnya untuk memanggil Sangaji mengabdi kepada Pemerintah Belanda. Tentu saja pendekar Wirapati tidak sudi. Itulah sebabnya ia dipenjarakan." "Bagaimana kau tahu?" bantah seorang lagi. "Kalau tidak begitu, lantas apa alasan Bupati Danuningrat menahan pendekar Wirapati?" Mundingsari terkejut. Ia tahu pada zaman mudanya Sangaji berguru kepada Wirapati dan Jaga Saradenta. Teringat Ki Jaga Saradenta tewas tanpa keterangan yang jelas, ia jadi menaruh perhatian besar terhadap pembicaraan itu. Pikirnya di dalamhati: jangan-jangan, Ki Jaga Saradenta tewas oleh kaki tangan Bupati Magelang...." Mereka berbicara kasak-kusuk lagi. Tapi kali ini tak keruan juntrungnya. Mereka mengadakan tafsirantafsiran sendiri. Sekalipun demikian, jelasnya bahwa mereka menaruh simpati32) kepada Wirapati. Mundingsari lantas meninggalkan warung nasi itu. Dari tempat ke tempat ia membuat penyelidikan keras. Sedikit
32) simpati = rasa tertarik
406
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ banyak ia memperoleh gambaran tentang keadaan Kota Magelang. Bupati Danuningrat ini benar-benar seorang hamba Pemerintah Belanda yang setia. Dengan terang-terangan ia menyatakan rasa syukurnya atas bersatunya Patih Danurejo IV dan Sultan HB IV. Ia menyatakan itu semua
terjadi atas jasa Pemerintah Belanda. Sebagai seorang yang pernah pula bekerjasama dengan Belanda, Mundingsari tidak merasakan suatu keganjilan. Hanya saja setelah ia memperoleh pesan Sanjaya dan melihat matinya Ki Jaga Saradenta ia sibuk menduga-duga apakah alasan sebenarnya memenjarakan pendekar Wirapati. Agaknya tafsiran orang di warung Kartodirun ada benarnya. Kira-kira menjelang jam tiga siang, ia balik kembali ke warung Kartodirun. Ia sekarang bersikap ramah. Dia seorang pendekar yang berpengalaman. Setelah berbicara kesana kemari, dapat ia memikat Kartodirun. "Penjara tempat menahan pendekar Wirapati berada dimana?" Kartodirun terkesiap. Inilah suatu pertanyaan tiba-tiba yang mengejutkan. Ia membalas bertanya pula. "Saudara siapa?" "Aku salah seorang sahabatnya. Kedatanganku kemari memang untuk meng-hisap-hisap berita tentang dirinya," jawab Mundingsari. "Ah! Kalau begitu benar warta yang kudengar pagi tadi. Kabarnya nanti malam beberapa pendekar hendak datang membongkar penjara. Kiranya engkau pun ikut
407
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ golongan mereka. Selamat! Selamat!" kata Kartodirun dengan gembira. la berbicara wajar saja, karena pada saat itu warungnya sepi tiada seorang pembeli pun. Lalu berkata
lagi: "Memang mengherankan! Kabar yang kudengar adalah begini. Padepokan Gunung Damar berada di wilayah Menoreh. Bupati yang memerintah Menoreh, bernama Aria Sumadilaga33) Dengan mengandalkan pengaruhnya, dia memanggil pendekar Wirapati untuk diminta keterangannya tentang pendekar besar Sangaji yang mengangkat senjata di Jawa Barat. Apakah saudara pernah mendengar nama itu?" "Tentu saja. Aku berasal dari Cirebon," jawab Mundingsari. "Dengan pendekar besar Sangaji, pernah beberapa kali aku bertemu muka." Keterangan ini tidak terlalu membohong. Tatkala ia ikut hadir di Kabupaten Pekalongan dahulu atas panggilan Pangeran Bumi Gede, pernah ia melihat wajah Sangaji. Hanya saja ia berada di pihak lawan. "Bagus!" seru Kartodirun. Orang itu lantas hilang rasa curiganya. "Pendekar Wirapati lantas diangkut ke kota ini. Entah apa alasannya, ia dipenjarakan di rumah penjara umum." "Kabarnya pendekar Wirapati mempunyai saudarasaudara seperguruan." "Tidak hanya mempunyai saudara-saudara seperguruan. Tapi pun pengaruhnya besar. Siapa saja kenal sepak terjangnya yang mulia. Raja memujanya
33) seperti Bupati Magelang, ia setia kepada Belanda
408
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ sebagai pahlawannya. Itulah sebabnya, berita
penangkapannya tersiar dengan cepat." Mundingsari mengela napas. Beberapa saat lamanya, ia berbimbang-bimbang. Kemudian berkata seperti kepada dirinya sendiri, "Kepandaian pendekar Wirapati sangat tinggi. Apa sebab dia tak mampu membebaskan dirinya?" "Benar. Orang-orang gagah yang singgah disini pun membicarakan soal itu," sahut Kartodirun. "Kemungkinannya hanya satu." "Apa?" "Mungkin sekali penjagaan sangat kuat. Bukan mustahil Bupati Danuningrat mendapat bantuan orangorang pandai." Mendengar alasan itu, Mundingsari tak berkata lagi. Ia menunggu sampai malam hari tiba. Setelah ganti pakaian hitam, ia membawa pedang Sanjaya. Kemudian dengan mengindap-indap ia berjalan mengarah ke penjara. Di luar penjara, serdadu-serdadu penjaga keamanan mondar-mandir tiada hentinya. Mundingsari mengawaskan dengan mata berkilat-kilat. Sekian lamanya ia mengasah otak untuk mencari cara yang baik untuk memasuki penjara yang berdinding tinggi itu. Tibatiba ia mendengar terompet. Berbareng dengan itu, ia melihat berkelebat-nya serombongan bayangan hitam yang berlari-larian mengarah ke barat daya. Heran Mundingsari melihat penglihatan itu. Apakah artinya gerakan itu? Akan tetapi, itulah kesempatan yang luar biasa baik baginya. Sebagai seorang pendekar yang
409
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ berpengalaman, segera ia memungut dua butir batu. Kemudian dilemparkan tinggi ke udara. Dua butir batu itu berbenturan dengan agak nyaring. Dua penjaga pintu penjara melompat keluar hendak membuat penyelidikan. Tanpa bersangsi lagi, Mundingsari melesat ke atas dan hinggap di atas dinding penjara. Malam itu—seperti malam kemarin. Gelap pekat, tiada bintang di langit. Bulan sisir yang berada di barat tertutup gumpalan awan hitam. Seluruh alam menjadi hitam. Dengan mengenakan pakaian hitam, Mundingsari dapat menyelinapkan dirinya. Gerakannya yang cepat lolos pula dari intaian penjaga-penjaga lainnya. Hati-hati ia terus melesat ke atas genting. Sayupsayup ia mendengar teriakan-teriakan arah barat daya. Sekarang tahulah dia, apa maksud gerakan serombongan bayangan hitam tadi. Mereka sengaja menyesatkan pengawasan penjagaan. Untuk kepentingan siapa, ia kurang jelas. Memperoleh pikiran demikian, ia segera meloncat turun di halaman penjaga. Sekonyong-konyong terdengar kata-kata sandi menegurnya. "Apa khabar?" Tentu saja Mundingsari tak dapat menjawabnya. Tetapi ia seorang pendekar yang berpengalaman, la lantas menggerendeng. "Kau bilang apa?" bentak orang itu sambil mendekat. "Keras sedikit!" Mundingsari meloncat. Ia menyergap dengan belatinya. Dan orang itu roboh kena tikam tenggorokannya. Dan tidak sempat berteriak. Mulutnya kena sekap.
410
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ Mundingsari segera mebeleceti34) pakaian seragamnya. Setelah dikenakan, dengan buru-buru ia menyeret mayat penjaga itu ke tempat gelap. Ia mendepaknya sekali, lalu berjalan perlahan-pelahan. Ukuran sepatu penjaga itu ternyata agak kekecilan dibandingkan dengan ukuran kakinya, la agak kesakitan, namun tak dirasakan. Di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang penjaga yang membawa lentera. Mundingsari meloncat menghampiri seraya mengibaskan pedangnya. Membentak perlahan. "Di kamar mana Wirapati disekap?" Penjaga itu kaget setengah mati. Tapi setelah mendengar pertanyaannya, wajahnya nampak girang. Sahutnya menegas. "Kau maksudkan pendekar Wirapati?" "Benar. Lekas bilang!" "Di dalam sel hukuman mati. Kamar nomor delapan dari samping. Dari sini jalan lencang. Tuu... kau beloklah ke kanan. Lantas hitung. Kamar ke delapan adalah sel pendekar Wirapati." Tercengang Mundingsari mendengar keterangannya. Ia memasukkan pedangnya dengan penuh sangsi. "Ssst! Kata sandi malam ini berbunyi: 'Apa khabar?' Kau harus menjawabnya! 'Naik tahta!' Ingat-ingatlah jangan sampai salah!" Mendengar keterangan itu, hilanglah kesangsian Mundingsari. Segera ia menuruti petunjuknya dengan
231 mebeleceti = menelanjangi, diwudani
411
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ hati tetap. Benar saja. Begitu melintas satu gang35) terdengar teguran: "Apa khabar?" Dan dengan hati mantap, ia menjawab: "Naik tahta." "Bagus! Selamat malam," kata pejaga itu. Mundingsari tak memedulikan lagi. Ia meneruskan berjalan dengan agak berjingkit-jingkit lantaran ukuran sepatunya yang kekecilan. Beberapakali ia bertemu dengan penjaga-penjaga. Semuanya beres tiada yang merintangi. Hanya saja di antara mereka ada yang menaruh curiga. Itulah disebabkan ukuran sepatunya dan lagu suaranya, yang asing. Namun mereka bersikap membungkam mulut. Setelah membeloki sebuah tikungan, mulailah ia menghitung. Tepat, di depan kamar nomer delapan, ia melihat seorang penjaga dengan pedang terhunus. Mundingsari menubruk dengan membabatkan pedangnya. Di luar dugaan penjaga itu gesit luar biasa. Meskipun kena serangan gelap, dapat ia mengelak. "Celaka!" Mundingsari mengeluh. Setelah mengelak, penjaga itu memutar tubuhnya. Aneh! Dia nampak tersenyum dan sama sekali tiada mempunyai gerakan hendak menyerang. "Kau lukai aku cepat!" katanya. Mundingsari tercengang. Tapi lantas saja menjadi
sadar. Rupanya penjaga itu menaruh simpati kepada Wirapati dan bermaksud hendak menolong membe-
M' gang = simpang jalan (jalan kecil)
412
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ baskan pula. Entah apa alasanya. la jadi terharu. Pikirnya, "Mulia sungguh orang ini." Hatinya tak