BUDAYA LINGKUNGAN HIDUP KOMUNITAS KOTA DI YOGYAKARTA Tasdyanto (Kementerian Negara Lingkungan Hidup-Pusat Pengelolaan Ekoregion Bali-NUSRA)
Abstrak Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta, salah satu kota di Indonesia yang memiliki pluralitas dan dinamika budaya lingkungan hidup. Penelitian bertujuan: (1) Mengetahui gambaran umum Kota Yogyakarta dalam konteks dinamika budaya lingkungan hidup, (2) Mengetahui fenomena dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas Kota Yogyakarta, (3) Mengetahui penyebab terjadinya dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas Kota Yogyakarta, dan (4) Mengkonstruksi teori budaya lingkungan hidup di komunitas kota dan implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif, dengan paradigma fenomenologi. Obyek penelitian adalah komunitas berpendidikan di Bulaksumur, komunitas bisnis di Jalan Malioboro, komunitas Kraton dan komunitas kampung Gondolayu Lor. Fakta empiris dan faktor dinamika budaya lingkungan hidup diabstraksikan dalam model dan teori budaya lingkungan hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam komunitas berpendidikan, bisnis, kraton dan kampung, terjadi dinamika budaya lingkungan hidup dalam pola pikir dan perilaku lingkungan hidup. Dinamika budaya lingkungan hidup disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan perubahan budaya. Fakta empiris dan faktor yang mempengaruhi dinamika tersebut memiliki konsep budaya tradisional dan rasional. Konstruksi model budaya lingkungan hidup (ecoculture) meliputi budaya merusak, mengabaikan, memelihara dan memperbaiki lingkungan hidup. Teori ecoculture menjelaskan bahwa keempat model budaya lingkungan tersebut cenderung terjadi dalam budaya tradisional maupun rasional. Model budaya mengabaikan dan merusak lingkungan hidup lebih cenderung terjadi dalam budaya rasional. Teori ini juga menjelaskan bahwa perilaku manusia terhadap lingkungan hidup akan direspon sesuai dengan model budayanya. Kata kunci: Budaya Lingkungan Hidup di Kota Yogyakarta, Tradisional, Rasional dan Model Budaya Lingkungan Hidup. A.
Pendahuluan
Kualitas lingkungan hidup Indonesia menunjukkan semakin menurun. Menurut Status Lingkungan Hidup Indonesia/SLHI (2006), status mutu air di Indonesia rata-rata tercemar ringan sampai dengan berat. Keberadaan ruang terbuka hijau 28
di Jawa tidak ada satu pun Kabupaten/Kota yang mempunyai tutupan vegetasi lebih dari 80 %. Pencemaran limbah domestik padat (sampah) telah mencapai 4.651,0 m3/hari di Jakarta Pusat, 6.473,7 m3/hari di Bandung, dan 1.571,0 m3/hari di Yogyakarta. Dalam skala global, kajian dari
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menunjukkan bahwa kenaikan temperatur total dari tahun ke tahun 1850 – 1899 sampai dengan 2001 – 2005 adalah rata-rata 0,76oC. Muka air laut ratarata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai dengan 2003. Kenaikan total air laut yang berhasil dicatat pada abad ke 20 diperkirakan 0,17 meter. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 17.504 pulau dengan 17.000 diantaranya adalah pulau-pulau kecil menjadi sangat rawan tenggelam karena naiknya muka air laut. Perubahan iklim ini juga berdampak menyebabkan intrusi air laut, turunnya hasil perikanan, gagal panen, timbulnya penyakit, meningkatnya bencana banjir dan longsor. IPCC menegaskan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Sementara di dalam Al Qur’an Surat Ar Rum (Ayat 41) telah dengan jelas disebutkan bahwa kerusakan lingkungan disebabkan karena ulah tangan manusia. Budaya manusia, yang terwujud dalam himpunan gagasan dan pola perilaku cenderung semakin tidak pro lingkungan hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang cenderung merusak alam (Emil Salim 2009; Ma’arif, 2009). Gaya hidup yang materialis-hedonis telah menggeser sikap harmoni dengan alam (Suhartono, 2005; Hardjasoemantri, 2006). Para ahli menegaskan teori ilmu lingkungan hidup dan kebudayaan manusia terus senantiasa saling mempengaruhi. Teori-teori tersebut perlu dikembangkan mengikuti dinamika interaksi manusia dan lingkungan hidupnya. Keberadaan teori-teori, seperti Etika Lingkungan (Environmental Ethics), Teologi Lingkungan (Eco-theology) dan Hukum Lingkungan (Environmental Law) belum dapat menjelaskan kualitas interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya (theoritical gap). Kenyataanya, dalam masyarakat kini telah
Tasdyanto
terjadi kesenjangan antara etika dan moral dengan perilaku sehari-hari (Marfai, 2005; Salim, 2009; Ma’arif, 2009; dan Sairin, 2009). Lebih lanjut, Sairin (2009) menjelaskan bahwa budaya perilaku (behaviour culture) telah menjauh dari budaya idealis yang dicita-citakan (expected culture). Hoff (1998: 12) menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan sesungguhnya membutuhkan perubahan-perubahan sosial budaya, khususnya dalam nilai dan perilaku. Hamengku Buwono X (2008), menegaskan bahwa permasalahan pembangunan di Indonesia lebih pada faktor kebijakan yang tidak berlandaskan budaya sendiri. Budaya Bangsa Indonesia memiliki kekayaan kearifan tradisi terhadap lingkungan hidup. Namun sayangnya kearifan tradisi ramah lingkungan yang ada dalam masyarakat Indonesia, terancam tereliminasi (Hardjasoemantri, 2006). Budaya lokal ramah lingkungan terdesak oleh budaya baru yang kurang ramah lingkungan. Pada komunitas masyarakat semakin nampak muncul golongan orang yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, tanpa menghiraukan kualitas lingkungan hidup. Fenomena ini sangat terlihat di perkotaan, dengan adanya para profesional yang berorientasi pada bisnis dan kurang peduli lingkungan hidup. Salim (2009) menegaskan bahwa kerusakan lingkungan hidup disebabkan karena umat manusia tidak lagi mengelola alam untuk memenuhi kebutuhannya (needs), tapi untuk memenuhi keinginannya (want). Di Indonesia, kota yang plural dan memiliki dinamika budaya lingkungan hidup adalah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta terletak antara lautan dan pegunungan serta memiliki Kraton Mataram yang masih eksis sebagai benteng tradisi Jawa. Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang diwarisi dari Sultan Agung, menegaskan hubungan harmoni antara manusia dengan Sang Maha Pencipta, sesama ma-
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
29
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
nusia dan lingkungan hidupnya. Dari uraian di atas, maka dapat diajukan pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran umum Kota Yogyakarta dalam konteks dinamika budaya lingkungan hidup? 2. Bagaimana fenomena dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas Kota Yogyakarta? 3. Mengapa terjadi dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas Kota Yogyakarta? Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui gambaran umum Kota Yogyakarta dalam konteks dinamika budaya lingkungan hidup. 2. Mengetahui fenomena dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas Kota Yogyakarta. 3. Mengetahui penyebab terjadinya dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas Kota Yogyakarta. 4. Mengkonstruksi teori dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas kota dan implikasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. B.
Tinjauan Pustaka
1. Dominasi lingkungan (Environmental Determinism) Menurut pandangan deterministik yang dipelopori oleh para ahli geograi seperti Semple (1911), Platt (1948) dan Harold & Sprout (1965), terjadinya kebudayaan karena dicetak oleh alam atau lingkungan. Pendekatan ini melihat faktor-faktor yang mendukung terbentuk kebudayaan, yaitu faktor-faktor isik alam (physical environment) yaitu: topograpy, geographical location, natural resources dan climate. Ibnu Khaldun dan Montesque dalam Abdillah (2005) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara agama dengan iklim suatu daerah. Pengamatan empirisnya melihat sifat agama Budha yang pasif sebenarnya tidak lepas dari kelahirannya di 30
Tasdyanto
daerah India yang beriklim panas. Pendapatnya kemudian menyimpulkan bahwa determinasi iklim panas menciptakan corak agama yang pasif, sedangkan iklim dingin menciptakan agama yang aktif. Bahkan, berbagai pandangan lain menegaskan bahwa dominasi lingkungan juga memainkan peran dominan pada kepribadian, moral, budaya, dan politik. Hipotesis terkenalnya dari pandangan determinisme adalah "iklim yang panas menyebabkan masyarakat di daerah tropis menjadi malas" dan "banyaknya perubahan pada tekanan udara pada daerah lintang sedang membuat orangnya lebih cerdas". Budaya Manusia
Lingkungan Hidup
Gambar 1: Interaksi Budaya Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Teori Dominasi Lingkungan 2. Kemungkinan Lingkungan (Environmental Possibillism) Pandangan kemungkinan lingkungan yang dikembangkan oleh Kroeber (1939), Tonybee (1947), Harold & Sprout (1965) dan Freilich (1967) pada dasarnya menjelaskan faktor lingkungan sebagai “penapis, penyaring atau screen” terbentuknya unsur budaya tertentu (cultural traits). Perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif atau merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Suatu lingkungan tertentu tidak dapat dipandang sebagai sebab utama yang menyebabkan perbedaan suatu kebudayaan, melainkan hanya sebagai pembatas atau penyeleksi. Teori ini menjelaskan bahwa lingkungan hidup sesungguhnya memiliki sifat yang cocok untuk menjelaskan budaya tertentu namun juga tidak cocok untuk menjelaskan fakta budaya yang lain. Susilo (2008) memberi contoh sistem persawahan di Bali dan Jawa yang memiliki
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
corak lingkungan hidup yang sama, seperti topograi lahan dan juga jenis tanah, dengan kekayaan alam berupa hutan-hutan. Petani di Bali yakin bahwa persawahan merupakan bentuk lingkungan isik biologis yang harus dihormati dengan saji-sajian dan ritual yang dialamatkan kepada Dewi Sri. Meskipun di Jawa, ada juga bercorak pertanian, tetapi tradisi yang menghubungkan dengan kekuatan gaib tidak melembaga dengan baik seperti di Bali. Kemungkinan di zaman dahulu praktik-praktik seperti itu pernah ada di Pulau Jawa, tetapi setelah berinteraksi budaya modern yang rasional, masyarakat tidak lagi mempraktikan seperti masyarakat Bali. Lingkungan Hidup
Budaya A
Budaya B
Gambar 2:Interaksi Lingkungan Hidup dan Budaya dalam Teori Kemungkinan 3. ogy)
Ekologi Budaya (Cultural Ecol-
Pandangan ekologi budaya (cultural ecology) sebagai perevisi pendekatan kemungkinan lingkungan. Pendekatan ini dikembangkan oleh Steward (1930), Geertz (1963) dan Harris (1996). Steward ini ingin memperjelas hubungan timbal balik yang terjadi antara kebudayaan dan lingkungan melalui penelaahan dari sudut adaptasi. Steward memandang dinamika organisasi sosial budaya sebagai produk dari proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Pada kondisi lingkungan tertentu akan tumbuh beberapa pranata atau institusi yang berpola tertentu. Marvin Harris (1996) menyampaikan gagasan yang menarik ketika mengembangkan kajian tentang teori ekologi agama. Doktrin dan keyakinan agama dianggapnya dipengaruji oleh ling-
Tasdyanto
kungan hidup. Pandangan ini didasari pada pengamatan (observasi) terhadap agama Hindu di India. Pemeluk agama Hindu mensucikan sapi, karena melihat kegunaan yang sangat besar untuk manusia, misal untuk pengangkut barang, transportasi, dan penghasil pupuk. Atas dasar itu maka diciptakan aturan-aturan irrasional untuk mensucikan binatang Sapi. Kemudian teori ini juga dipergunakan untuk menjelaskan diharamkannya binatang Babi di umat Islam. Dengan melihat kondisi gurun sahara di Arab Saudi yang sulit untuk berkembang biak Babi, maka diciptakan kebijakan untuk tidak mengurangi binatang babi, karena dikhawatirkan punah, melalui fatwa haram (Abdillah, 2001; 14-15). Inti dari Teori ini adalah lingkungan hidup dan budaya manusia saling beinteraksi timbal balik melalui proses dialektika. Lingkungan hidup memiliki pengaruh terhadap budaya manusia, namun juga pada saat yang sama budaya (perilaku) manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya. Lingkungan Budaya
Hidup Manusia
Gambar 3: Interaksi Timbal Balik antara Lingkungan Hidup dan Budaya Manusia 4. tem)
Model Sistem Ekologi (Ecosys-
Pendekatan Model Ekosistem (Sistem Ekologis), dikembangkan oleh Vayda dan Rappaport, yaitu untuk melihat bagaimana kebudayaan beradaptasi dengan lingkungan atau populasi manusia yang beradaptasi dengan lingkungan ekologi. Hubungan antara komponen isik, biologis dan sosial budaya yang bersifat saling timbal balik diintergrasikan dalam suatu sistem analisis, yaitu “ekosistem”. Bertitik tolak dari hal ini, studi ekologi manusia akan dapat didekati dari pendekatan sistem. Selanjutnya menurut pendekatan ini terdapatnya elemen-elemen kebudayaan sebagai faktor
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
31
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
kunci yang mengatur interaksi antara sosial budaya dan lingkungan alam. Dalam pengelolaan lingkungan hidup, pendekatan ini dianggap cukup komprehensif dalam menjawab permasalahan lingkungan hidup yang tidak bisa dibatasi secara administrasi. Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini juga banyak dipakai untuk menjebatani pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah. Dalam era ini, daerah telah terjebak pada ego daerah dan sektor, sehingga permasalahan lingkungan hidup dirasakan semakin rumit. Dengan menggunakan pendekatan ini, dituntut pengeyampingan batas-batas administrasi (borderless) dan peningkatan koordinasi antar daerah. Marten (2001) mengupas tentang ekologi manusia yang senada dengan Terry Rambo, bahwa lingkungan hidup manusia terdiri atas ekosistem dan sosiosistem.
Gambar 4: Ekosistem manusia atau lingkungan hidup manusia terdiri atas ekosistem dan sosiosistem (Marten 2001, Soerjani 2005; 97) Paham Marten dan Rambo ini menempatkan human built structure atau sistem binaan manusia, yang merupakan karya teknologi dan budaya manusia dalam sosio-sistem dengan mengubah sumberdaya alam menjadi binaan manusia yang semu atau artiisial. Pandangan ini berbeda dengan pandangan tentang lingkungan hidup yang dianut di Indonesia, yang memisahkan dengan tegas antara lingkungan alami dengan lingkungan binaan. Lingkungan 32
Tasdyanto
alami lebih ditujukan pada daerah-daerah yang belum mengalami pembangunan isik, sedangkan lingkungan buatan lebih ditujukan pada daerah-daerah terbangun, yakni perkotaan. 5.
Komunitas Kota Istilah komunitas berawal dari ilmu biologi yang berarti kumpulan dari populasi organisme yang hidup dan berinteraksi di wilayah tertentu. Cunningham (1999: 51-52) dalam bukunya Environmental Science menyebutnya: ”All of the populations of organisms living and interacting in a particular area make up biological community” Sebagai kumpulan dari populasipopulasi, komunitas memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan antar populasi tersebut. Lebih lanjut William P. Cunningham menjelaskan bahwa komunitas mencakup populasi manusia, binatang, tanaman, dan mikroorganisme yang ada dalam wilayah tertentu. Antar populasi tersebut umumnya terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Kamus Lingkungan Hidup (Bapedal, 1996) mendeinisikan community (natural) sebagai kelompok populasi manusia dan binatang yang hidup dan berinteraksi dalam tempat tertentu. Istilah komunitas juga dipergunakan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. White (2006) dan Abdullah (2009) seringkali menggunakan istilah komunitas untuk menyebut kelompok orang. Redield dalam Abdullah (2006: 146) menunjuk pada skala kecil sebagai ciri pokok sebuah komunitas. Dalam perkembangannya, konsep komunitas mengalami perubahan-perubahan, karena batas-batas komunitas telah mengalami kekaburan yang cukup signiikan akibat batas-batas dari komunitas itu yang bergeser. Proses migrasi yang menyebabkan masuknya orang luar ke dalam komunitas dan keluarnya anggota ke dalam sistem sosial lain kemudian menyebabkan integrasi kelompok ke dalam sebuah sistem
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
jaringan yang luas menyebabkan unit kecil tersebut mengalami kekaburan. Di sisi lain, batas-batas mengalami penyempitan akibat pembentukan suatu ”club” dalam kehidupan sosial yang mempersempit arti komunitas itu sendiri. Hal tersebut senada dengan prinsip-prinsip komunitas diformulasikan Johnson dalam Hoff (1998) yang diantaranya menegaskan bahwa community is inclusive dan community is realistic and multidimensional. Dalam ilmu perkotaan, komunitas lebih dipakai untuk menggambarkan kelompok keluarga/rumah tangga yang tinggal di suatu lokasi tertentu. Inoguchi (2003: 45) meletakan level komunitas diantara rumah tangga dan kota dalam gradasi skala masalah perkotaan. C.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Paradigma fenomenologi bersifat menerima keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Hasil dari proses reduksi ini akan didapatkan eideos-nya, atau sampai intisari sejatinya. Cozby (2009) menjelaskan bahwa dalam penelitian perilaku orang sering dikategorisasikan ke dalam perbedaan aktual seperti pengalaman-pengalaman, pekerjaan, dan ciri-ciri lainnya yang dikenal dengan istilah ex post facto (sesuai fakta). Proses berpikir yang dipergunakan adalah induktif. Fakta-fakta dikumpulkan, dianalisa dan diklasiikasikan. Fakta yang menjadi penyebab dari fakta lain dikenal dengan faktor (Koentjaraningrat, 1997). Kemudian mencari hubungan dan korelasi diantara berbagai klas fakta tersebut. Adapun tafsiran mengenai pola-pola korelasi antara kelas-kelas fakta tersebut menuju pada tingkat pengetahuan yang abstrak, yaitu konsep dan teori.
Tasdyanto
1. Deinisi Operasional a. Budaya Lingkungan Hidup adalah kumpulan ide/gagasan, etika dan norma serta pola perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya. b. Komunitas Kota adalah kelompok keluarga/rumah tangga yang tinggal di suatu lokasi tertentu. c. Kota merupakan pusat aktivitas manusia yang menampung dinamika sosial, politik, ekonomi, dan ragam pola interaksi dengan lingkungan hidupnya. 2. Cakupan Penelitian Penelitian difokuskan pada ide/gagasan, etika dan norma serta pola perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya di komunitas Kota Yogyakarta, mencakup : a. Komunitas Berpendidikan di Kompleks Dosen di Bulaksumur. b. Komunitas Bisnis di Jalan Malioboro. c. Komunitas Kraton Yogyakarta Hadiningrat d. Komunitas Kampung Gondolayu Lor di Kelurahan Cokrodiningratan. 3.
Pemilihan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta, kota yang memiliki keragaman budaya dengan dinamika budaya lingkungan hidup yang tinggi. Di Kota Yogyakarta juga masih terdapat Kraton Yogyakarta Hadiningrat yang memiliki falsafah Hamemayu Hayuning Bawana. 4.
Analisis Analisis dilakukan dengan mengembangkan fenomena yang ada melalui deskripsi, eksplanasi dan interprestasi fakta-fakta. Content analysis dan sintesis dilakukan dengan mendialogkan teori yang telah ada, pandangan ahli, hasil temuan penelitian sebelumnya dengan fakta-fakta di lapangan.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
33
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
HASIL DAN PEMBAHASAN A. karta
Gambaran Umum Kota Yogya-
1. Kondisi Geograis dan Penduduk Kota Yogyakarta terletak di Propinsi D.I. Yogyakarta, yang berada di bagian selatan Pulau Jawa, dengan sebelah barat, utara dan timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Hindia (Laut Selatan). Keberadaan Gunung Merapi menciptakan 6 (enam) aliran Sungai yang mengalir melewati Propinsi D.I. Yogyakarta, yaitu Sungai Progo, Sungai Bedok, Sungai Code, Sungai Gadjahwong, Sungai Winongo dan Sungai Opak. Pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota mencapai 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa, dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Pada tahun 2002, jumlah penduduk Kota Yogyakarta mencapai 500,132 orang, yang terdiri dari 49 % laki-laki dan 51 % perempuan. Kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta rata-rata mencapai 15.090 jiwa/km2 (BPS, 2003).Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun. Secara Nasional Kota Yogyakarta memiliki harapan hidup tertinggi dibanding daerah lain . 2. Falsafah Hidup Masyarakat Yogyakarta (Jawa) memiliki Falsafah Hamemayu Hayuning Jagad, Mangasah Mingising Budi, dan Mangasah Malaning Bumi. Konsep ilosois tersebut dikenal selain karena kedalaman nilai ilosoisnya juga karena bahasanya yang puitis. Hamemayu Hayuning Bawana sesungguhnya mengandung keharmonian interaksi dengan sesama manusia, alam semesta dan Sang Maha Pencipta. Falsafah ini ada di ta34
Tasdyanto
nah Jawa diprediksi jauh-jauh hari sebelum dikemas menjadi ilosoi yang puitis oleh Sultan Agung. Dasar lahirnya ilosoi ini tidak lepas dari peradaban agraris nenek moyang orang Jawa. Praktek bertani/ agraris telah mendorong para pelakunya untuk hidup harmonis dengan alam. Pandangan masyarakat Jawa yang lebih melihat alam sebagai makrokosmos menciptakan sikap bahwa alam sejatinya adalah releksi diri manusia (mikrokosmos). Bahkan, pandangan ini telah melahirkan etika yang paling tinggi, yakni planeter altruisme, atau empati kepada alam. 3.
Kebijakan Lingkungan Hidup Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Yogyakarta terdiri dari Peraturan Daerah, Keputusan Walikota, sampai dengan program dan aksi pengelolaan lingkungan hidup di Kota Yogyakarta. RPJMD merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah Daerah yang memuat arah kebijakan dan program kerja untuk kurun waktu 5 (lima) tahun. RPJMD Kota Yogyakarta Tahun 2007 -2011 ini diatur dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2007. Dalam Peraturan Walikota tersebut ditegaskan bahwa untuk mewujudkan Kota Yogyakarta yang nyaman dan ramah lingkungan ditetapkan arah kebijakan sebagai berikut: 1) Meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. 2) Memperbaiki mutu lingkungan hidup untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 3) Memadukan lingkungan alam dengan lingkungan nilai-nilai religius, sosial, budaya dan kearifan lokal ke dalam proses pembangunan.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
B. Fenomena Dinamika Budaya Lingkungan Hidup Dinamika budaya lingkungan hidup di Kota Yogyakarta, direpresentasikan dalam 4 (empat) komunitas, yaitu komunitas berpendidikan, komunitas bisnis, komunitas kraton dan komunitas kampung. 1.
Komunitas Berpendidikan
Komunitas berpendidikan ini pada umumnya mengelompok di suatu wilayah berdasarkan jenis pekerjaan, misalnya dosen, pegawai pemerintah, dan mahasiswa. Salah satu komunitas berpendidikan di Kota Yogyakarta adalah Kompleks Dosen Bulaksumur. Komplek ini merupakan fasilitas utama yang dibangun pihak UGM dan diperuntukan untuk para pejabat dan dosen senior. Kompleks ini dihuni oleh mayoritas keluarga dosen yang sudah lanjut usia. Anak-anaknya yang sudah bekerja umumnya memiliki rumah di tempat lain. Hal ini terkait dengan kebijakan UGM yang akan mengalih-fungsikan sebagai kawasan perkantoran. Di kompleks ini terdapat sekitar 111 keluarga. Sebagian rumah di sana telah kosong atau berubah fungsi menjadi kantor dan mess. a. Pola Pikir; Sibuk, Priyayi dan Ada Pihak lain yang Mengurus Komunitas ini dalam keseharian selalu sibuk bekerja di kantor atau kampus UGM. Dalam sehari, kegiatan di luar rumah mencapai 10 jam. Sisa waktu dipergunakan untuk tidur, menonton TV, membaca dan acara keluarga lainnya. Di hari libur seringkali dimanfaatkan untuk refreshing keluar kota, mengunjungi sanak saudara atau berbelanja di mal. Komunitas berpendidikan di Kota Yogyakarta digolongkan sebagai Priyayi, yaitu kelas sosial tertinggi di Jawa. Status kelas Priyayi biasanya sangat terkait dengan pen-
Tasdyanto
didikan atau pekerjaannya, misal Sarjana, Pegawai Pemerintah, Guru, atau pengusaha. Kelas Priyayi ini membedakan dengan kelas sosial tingkat bawah, yaitu Wong Cilik. Mereka berpikir tidak harus mengelola sampah, selokan atau taman sendiri. Mereka memperkerjakan wong cilik sebagai tukang kebun, yang bertugas merawat taman, membersihkan drainase, dan memperbaiki bagian rumah yang rusak. Selain itu juga ada pembantu rumah tangga yang menyediakan makanan, mencuci dan menyetrika pakaian dan membersihkan bagian dalam rumah. Pekerjaan mengelola lingkungan hidup seringkali dipersepsikan kotor dan mendekatkan ke penyakit. b.
Perilaku Lingkungan Secara umum, komunitas tersebut dapat dikatakan sebagai masyarakat yang berbudaya rasional. Artinya, bahwa komunitas ini adalah kumpulan dari keluargakeluarga terdidik yang lebih mendasari rasio/akal-pikirannya dalam bertindak. Tingkat rasionalitas yang mereka kuasai cukup membuat mereka sadar akan arti penting lingkungan hidup. Namun, waktu yang terbatas di rumahnya membuat mereka tidak sanggup untuk megelola lingkungan hidupnya dengan baik. Salah satu perilaku memperbaiki lingkungan hidup yang terdapat di komunitas ini adalah membuat taman di halaman. Aktiitas mengajar mayoritas dilakukan oleh warga komunitas, baik yang secara langsung atau tidak, terkait lingkungan hidup. Di komunitas ini juga terdapat organisasi pusat kajian terkait lingkungan hidup, diantaranya Pusat Kebencanaan, Pusat Transportasi dan Logistik, Pusat Kajian Hukum dan sebagainya. Selain itu juga terdapat Sekretariat Jurnal Balairung, yang seringkali mengangkat topik lingkungan hidup. Organisasi-organisasi tersebut secara langsung dan tidak langsung memberikan konstribusi terhadap perbaikan lingkungan hidup.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
35
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
Hanya saja, di komunitas ini juga masih dijumpai perilaku membakar sampah. Terkait dengan perilaku membakar sampah di beberapa anggota komunitas ini, Pujiman dan Farid memberikan informasi: “Pikiran orang macam-macam, ada yang membakar sampah, membuang di pekarangan, atau menempatkan di kranjang sampah. Kalau saya menempatkan di kranjang atau dimasukan ke karung, karena tiap hari ada mobil di Dinas Kota yang mengambilnya. Biasanya yang membakar sampah karena merasa sampahnya berlebih, dan apabila minta diangkut petugas kebersihan harus menambah bayaran. Umumnya yang
Tasdyanto
Komunitas bisnis ini mendominasi pusatpusat kota. Salah satu pusat bisnis yang terkenal di Kota Yogyakarta adalah kawasan Jalan Malioboro. Di kawasan ini terdapat berbagai ragam fasilitas ekonomi, sebagaimana disajikan Tabel di bawah. Dari data tersebut terlihat bahwa kawasan bisnis di sekitar Jalan Malioboro didominasi oleh pertokoan, yang jumlahnya mencapai 214 buah, atau mencapai 42,2 %. Dominasi berikutnya adalah hotel dan perkantoran, yang berjumlah 118 dan 109 buah, atau sekitar 23,3 % dan 21,5 %. Di kawasan ini juga terdapat perkantoran Pemerintahan Propinsi D.I. Yogyakarta, yang terletak di kompleks Kepatihan. Se-
Tabel : Sarana Perekonomian di Jalan Malioboro
Sumber: Dinas Perekonomian Kota Yogyakarta, 2005 dibakar adalah dahan dan daun-daun hasil pangkasan pohon. Kalau Mahasiswa membakar sampah, biasanya untuk menghangatkan badan di malam hari.“ Informasi tersebut menggambarkan bahwa kegiatan membakar sampah dianggap menjadi cara yang praktis untuk membersihkan sampah yang menumpuk. Bahkan dapat berfungsi sebagai penghangat ketika dingin di malam hari. 2. 36
Komunitas Bisnis
lain itu juga terdapat beberapa restoran, pasar dan fasilitas umum kota lainnya. a. Pola Pikir; Sibuk, Cari Untung dan Ada Pihak lain yang Mengurus Aktivitas sehari hari komunitas ini adalah berjualan di mal, toko atau di trotoar jalan sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Aktivitas ekonomi di Jalan Malioboro berlangsung selama 12 jam untuk mal, pertokoan, dan rumah makan, dan 24 jam untuk beberapa pedagang kaki lima. Hari-hari libur tetap dipergunakan untuk berjualan.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
Kaum pebisnis di masyarakat Yogyakarta sering disebut sebagai Juragan, Bos atau Tuan. Kaum pebisnis memiliki status sosial yang cukup tinggi. Seringkali masyarakat juga menyebutnya sebagai golongan Priyayi. Sama dengan cara berpikir komunitas berpendidikan, bahwa mengelola sampah, selokan atau taman tidak perlu dikerjakan sendiri. Mereka cukup membayar tukang kebun, yang bertugas merawat taman, membersihkan drainase, dan memperbaiki bagian toko yang rusak. Selain itu juga ada pembantu rumah tangga yang menyediakan makanan, mencuci dan menyetrika pakaian dan membersihkan bagian dalam rumah. Pekerjaan mengelola lingkungan hidup seringkali dianggap membuangbuang waktu dan tidak menguntungkan. b.
Perilaku Lingkungan Komunitas bisnis sering didentikan dengan kaum kapitalis, yaitu orangorang yang hanya mencari keuntungan materi semata. Prinsip ekonomi selalu menjadi landasan mereka melakukan kegiatan sehari-hari. Kesibukan berdagang/ bisnis membuat mereka tidak ada waktu untuk memikirkan lingkungan hidup. Upaya memperbaiki lingkungan hidup ditemukan dalam warga komunitas bisnis untuk menambah estetika lingkungannya. Salah satu perilaku memperbaiki lingkungan hidup yang terdapat di komunitas ini adalah membuat taman di atas bangunan toko, atau dikenal dengan roof garden. Perilaku seperti itu untuk menyiasati ruang yang sempit. Sebagian dari mereka melakukan itu juga untuk merespon panasnya kota karena kurang pepohonan. Selain taman di atas bangunan, beberapa toko ada yang membuat taman-taman kecil di dalam bangunan mal atau tokonya. Mayoritas desain bangunan di kawasan ini belum menerapkan konsep green building, sehingga penggunaan energi untuk lampu dan pendingin ruangan sangat besar. Selain itu kegiatan bertransportasi
Tasdyanto
yang dilakukan juga belum berwawasan lingkungan. Sepeda motor dan kendaraan pribadi sangat mendominasi aktivitas transportasi di komunitas ini. Dengan demikian, sesungguhnya komunitas ini sangat besar memberikan kontribusi terhadap pencemaran udara. 3.
Komunitas Kraton
Komunitas kraton terdapat di dalam lingkungan kraton Yogyakarta yang dibatasi benteng. Masyarakat sering menyebutnya sebagai Jeron Benteng. Komunitas ini terdiri dari para Bendoro dan Abdi Dalem. Bendoro adalah keluarga keturunan Raja/Sultan sedangkan Abdi Dalem adalah para pegawai kraton. a. Pola Pikir; Mengabdi, Samadya, dan Tradisi Komunitas di dalam kraton memiliki aktivitas bekerja (mengabdi) sesuai dengan jabatan yang diembannya, misal sebagai pengelola perpustakaan (widya budaya), penjaga pintu gerbang, penjaga benda bersejarah, penjaga kebersihan, dan sebagainya. Mereka bekerja sangat ikhlas, yang ditunjukkan dengan bersedia menerima imbalan yang sangat kecil. Salah seorang Abdi Dalem memberikan informasi sebagai berikut: ”Kami mengabdi pada Sultan. Dengan bekerja ini kami akan mendapatkan berkah rejeki dan tentrem. Rejeki yang didapat dari kraton dapat mendatangkan rejeki lain yang lebih mencukupi. Usaha di pasar menjadi lancar, usaha bertani juga mencukupi kebutuhan makan sekeluarga. Usahausaha bengkel, buka warung, atau usaha pembuatan souvenir, alhamdulillah dapat untuk menyekolahkan anak-anak. Sikap mengabdi tersebut lebih sebagai wujud loyalitas yang tinggi kepada Sultan. Pendapatan yang diterimanya dianggap sebagai berkah, yang dapat mendatangkan rejeki yang lebih besar. Keyakinan tersebut yang membuat mereka merasa ten-
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
37
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
ang (tentrem). Selain itu, mereka sesungguhnya juga mendapatkan nilai pertukaran sosial berupa gelar yang diberikan kraton. Abdi Dalem telah menunjukan cara berpikir hidup sederhana (samadya). Materi bukan menjadi tujuan utama dalam hidup. Perubahan status sosial menjadi hal lain yang mereka anggap berharga. Keberadaan lembaga Kemit Bumi yang sekarang berubah bentuk menjadi Konco Abang dan Konco Biru merupakan tradisi yang turun menurun dalam memelihara lingkungan hidup. Pekerjaan membersihkan halaman kraton dan menanam pohon merupakan tradisi yang ada sejak dahulu kala. Bahkan, mereka selalu beranggapan bahwa pepohonan memiliki nilai ilosois yang dapat memberikan tuah, misalnya Pohon Beringin memberikan sifat melindungi (ayom), Asem membuat ketertarikan (kesengsem), Sawo Kecik memberikan kebaikan (becik), Jambu Arum membuat tutur kata yang selalu baik, dan lain sebagainya. a.
Perilaku Lingkungan Komunitas kraton termasuk kaum tradisional, yaitu komunitas yang lebih terpola oleh kebiasaan-kebiasaan nenek moyang dalam aktivitas sehari-hari. Kegiatan mereka tampak teratur tanpa pengaturan yang berlebihan. Kegiatan-kegiatan mereka seolah-olah sudah otomatis. Tugas membersihkan halaman kraton, merawat taman, memelihara pohon, dan sebagainya tetap berjalan baik setiap hari. Upaya melestarikan lingkungan hidup dapat dilihat dengan adanya pepohonan yang sudah tua di halaman kraton. Kebersihan tetap terjaga, walaupun dedaunan pohon tidak pernah berhenti rontok mengotori halaman kraton. Keberadaan Tamansari di Kraton Yogyakarta juga sesungguhnya merupakan upaya melestarikan air dan sumber-sumbernya. Hanya saja sejalan dengan tuanya usia kraton yang tidak disertai dengan pemeliharaan yang optimal, sekarang sudah 38
Tasdyanto
rusak. Sumber airnya tidak dapat diambil lagi dari Sungai Winongo melalui Kali Larangan. Hal tersebut disebabkan oleh padatnya bangunan disekitar dan di dalam kraton, sehingga menghambat aliran air. Selain itu, perilaku masyarakat yang suka membuang limbah dan sampah ke Kali Larangan membuat kotornya air. Disesakinya wilayah dalam kraton dengan rumah-rumah membuat kesan kumuh dan kotor. Hal tersebut menjadi penyebab menurunnya citra Kraton sebagai cagar budaya dan tempat wisata. Terkait dengan pemukiman yang merusak citra kraton, Gusti Hadi menjelaskan: “Masalah bangunan kraton yang semakin rusak dan didalamnya disesaki penduduk, mungkin kita harus memikirkan, bahwa kita lebih utama memelihara manusia atau isik kraton? Penduduk di dalam kraton semakin bertambah, mereka butuh makan dan tempat tinggal. Mereka yang telah tinggal di dalam wilayah kraton, akhirnya mengembangkan tempat tinggalnya untuk keluarga mereka. Memang dahulu mereka telah minta ijin pada Ngerso Dalem. Perkembangan keluarga tersebut yang akhirnya membuat rumah-rumah mereka sesak dan tidak teratur, bahkan menempati beberapa bagian yang harusnya tidak boleh dibangun, seperti dalam Tamansari, dan lainlain. Memang ada keinginan masyarakat dan pemerhati sejarah, bahwa sebaiknya kraton di revitalisasi, agar turunan-turunan kita masih bisa melihat kraton yang utuh. Mudah-mudahan dapat terwujud. Namun, sekarang ini memang yang harus dipertimbangkan adalah ngopeni manusianya dulu.” 4.
Komunitas Kampung
Kampung menunjukan sisi lain dari pusat kota yang biasanya memiliki bangunan-bangunan megah dan bertingkat. Di beberapa kota, letak kampung justeru tidak jauh dari pusat kota, misal
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
di Yogyakarta, Kampung Gondolayu Lor bersebelahan dengan kawasan kantor dan perhotelan. Komunitas kampung memiliki modal sosial besar, berupa kohesi sosial, kebersamaan dan solidaritas. a. Pola Pikir; Kebutuhan, Kepeloporan, dan Organisasi Komunitas kampung memiliki pemikiran bahwa menanam dan membersihkan lingkungan sebagai sebuah kebutuhan. Ketika daerah padat yang ditinggali terasa sesak dan panas, dirasakan perlu untuk menanam pepohonan. Demikian juga ketika sampah tidak ada tempat pembuangan lagi maka dipikirkan untuk mengolahnya menjadi pupuk organik. Hal tersebut terjadi di kampung Gondolayu Lor yang semakin padat dipenuhi oleh bangunan tanpa lahan kosong untuk bertanam dan membuang sampah. Gerakan pengelolaan lingkungan juga membutuhkan kepeloporan dan organisasi. Hal tersebut dapat dilihat dalam hasil wawancara dengan warga masyarakat sebagai berikut: “…Keberhasilan itu dari Tokoh Masyarakatnya dan sesepuh di wilayah ini. Jika tokoh tidak bergerak, maka masyarakat juga tidak bergerak… Dulu pernah dibentuk Satgas Sampah. Warga kemudian megusulkan untuk tidak menggunakan istilah Satgas Sampah, karena kurang menarik. Saya kemudian mengusulkan merubah menjadi Kelompok Lingkungan Hidup (KLH) Bumi Lestari “ b.
Perilaku Lingkungan Komunitas kampung sebagian besar masih dipengaruhi oleh tradisi. Di sisi lain, akses informasi yang baik, membuat komunitas ini juga cukup rasional dalam menjalankan aktivitasnya. Gerakan pengelolaan sampah dan penghijauan, selain tradisi, juga karena informasi dari Pemerintah Kota akan perkembangan pengelolaan lingkungan hidup lokal ataupun nasional.
Tasdyanto
Di kampung ini masih memiliki nilai solidaritas dan kebersamaan yang tinggi. Sehingga permasalahan yang dihadapi bersama pun kemudian diselesaikan dengan kerja tim yang solid. Seluruh warga kampung ikut melibatkan dirinya. Perilaku masyarakat secara umum pro terhadap lingkungan hidupnya. Upaya mendapatkan nilai ekonomis dari sampah adalah termasuk perilaku yang memelihara sekaligus memperbaiki lingkungan hidup. Sedikit perilaku merusak lingkungan hidup terlihat ketika masyarakat masih ada yang membuang sampah ke sungai. Budaya lama Jawa yang masih tersimpan di kampung tersebut masih menyisakan anggapan bahwa sungai adalah tempat pembuangan sesuatu yang tidak berguna. C. Faktor Terjadinya Dinamika Budaya Lingkungan Hidup di Kota Yogyakarta Terjadinya dinamika budaya lingkungan hidup di Kota Yogyakarta disebabkan terutama oleh: 1.
Ilmu pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan di komunitas Kota Yogyakarta mendorong perilaku yang ramah lingkungan. Di sisi lain, masih terdapat ilmu pengetahuan yang mendorong perilaku eksploitatif dan merusak lingkungan hidup. 2.
Ekonomi Orientasi ekonomi yang terlihat nyata dalam komunitas bisnis, menjadi penghambat interaksi dengan lingkungan hidup. Walaupun demikian, kegiatan di Kampung Gondolayu Lor yang memanfaatkan sampah sehingga memiliki nilai ekonomis telah menyinergikan antara kegiatan ekonomi dan lingkungan hidup. Bahkan mitos kemiskinan identik dengan kerusakan lingkungan hidup dapat terbantahkan. Praktek-praktek ekologi kreatif
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
39
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
menjadi salah satu solusi membangun lingkungan hidup di daerah miskin. Perubahan Budaya Keberadaan penduduk dan pendatang di Kota Yogyakarta memberikan pengaruh terhadap dinamika budaya lingkungan hidup. Dialog budaya modern yang materialistik, hedonis dan pragmatis dengan budaya tradisional juga sangat mewarnai dinamika tersebut. Demikian juga tipisnya batasan antara perilaku merusak, mengabaikan, memperbaiki dan merusak lingkungan hidup membuat baurnya perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain mulai berkembang budaya baru yang lebih ramah lingkungan.
Tasdyanto
dangkan, Budaya Rasional adalah perilaku yang lebih dilandasi ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh rasio mereka.
3.
D. 1.
Teorisasi
Konsep Fakta-fakta dan faktor terjadinya dinamika budaya lingkungan hidup di komunitas-komunitas Kota Yogyakarta melahirkan konsep Budaya Tradisional dan Rasional. Budaya Tradisional adalah cara pikir dan perilaku komunitas yang dilandasi oleh tradisi yang bersifat turun menurun dari nenek moyang mereka. Se-
2.
Model Dinamika budaya lingkungan di komunitas Kota Yogyakarta diabstraksikan dalam Model Budaya Lingkungan sebagai berikut: a. Merusak, adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup menurun b. Mengabaikan, adalah budaya perilaku yang tidak peduli dengan lingkungan hidup. Prakteknya juga dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup c. Memelihara, adalah budaya perilaku yang membuat lingkungan hidup bertahan seperti kondisi semula, dan d. Memperbaiki, adalah budaya perilaku yang membuat kualitas lingkungan hidup meningkat, bisanya dengan inovasi baru. 3. Teori (Ecoculture)
Budaya
Lingkungan
Berdasarkan fakta-fakta yang direduksi dalam esensi dan hakikatnya, dapat dikonstruksikan teori sebagai berikut:
Gambar 5: Teorisasi Budaya Lingkungan Hidup 40
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
Teori Budaya Lingkungan di atas menjelaskan bahwa konstruksi model budaya lingkungan hidup meliputi budaya merusak, mengabaikan, memelihara dan memperbaiki lingkungan hidup. Teori budaya lingkungan hidup (ecoculture) tersebut menjelaskan bahwa keempat model budaya lingkungan tersebut cenderung terjadi dalam budaya tradisional maupun rasional. Model budaya mengabaikan dan merusak lingkungan hidup lebih cenderung terjadi dalam budaya rasional. Teori ini juga menjelaskan bahwa perilaku manusia terhadap lingkungan hidup akan direspon sesuai dengan model budayanya. PENUTUP A. Kesimpulan Pemahaman budaya lingkungan hidup di berbagai komunitas kota pada dasarnya dapat mengefektifkan sistem kebijakan lingkungan hidup. Semakin baik budaya lingkungan hidup akan semakin mengurangi regulasi atau kebijakan dari Pemerintah. Sesungguhnya budaya lingkungan hidup yang baik akan tercapai ketika kepedulian lingkungan hidup terbangun tanpa regulasi yang berlebihan. B. Saran Dinamika budaya lingkungan seyogyanya menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di masa depan. C. Rekomendasi Kebijakan pembudayaan lingkungan dapat ditempuh dengan: 1. Pendidikan lingkungan (Reproduksi teori hijau) 2. Inovasi Hijau dalam Pangan, Sandang, dan Papan 3. Organisasi lingkungan 4. Politik lingkungan 5. Kepemimpinan lingkungan
Tasdyanto
DAFTAR PUSTAKA Abdillah, Mujiyono. 2001. Agama Ramah Lingkungan; Perspektif Al Qur’an. Jakarta. Paramadina. Abdullah, Irwan. 2007. Konstruksi dan Rekonstruksi Kebudayaan. Pus taka Pelajar. Yogyakarta. Bapedal. 1996. Kamus Lingkun gan Hidup. Jakarta Cozby, Paul. C. 2009. Methods in Be havioural Research. Edisi ke-9. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Cunningham. William. P. 1997. Envi ronmental Science. McGrawHill. North Amerika Freilich, Moris. 1967. Marginal Natives; Antropological at Work. New York. Harper and Row. Geertz, Clifford. The Interpretation of Culture. New York. Basic Book. Hadi, Sudharto P. 2000. Manusia dan Lingkungan. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hamengku Buwono X, Sultan. 2007. Merajut Kembanli Ke-Indone siaan Kita. PT. Gramedia Pus taka Utama. Jakarta. Hardjasoemantri, Koesnadi. 2006. Ekolo gi, Manusia, dan Kebudayaan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. Harold and Margareth Sprouch. 1965. The Ecological Perspective on Human Affairs. Princeton University Press. Harper, Charles L. 2008. Environment and Society. Human Percepctives on Environmental Issues. Fourth Edition. Creighton University. Hoff, Marie D. 1998. Sustainable Com munity Development. Lewis Publishers. USA Huntington, E. 1915. Civilization and Climate (New Haven: Yale Uni versity Press).
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010
41
Budaya Lingkungan Hidup Komunitas Kota
Inoguchi T., Newman E., dan Paoletto G., 2003, Kota dan Lingkun gan, pendekatan baru terhadap masyarakat ber wawaan ekologi, (Terjemahan dari Cities and Environment: New Approaches for Eco-Societ es, 1999), LP3ES, Jakarta IPCC. 2008. Intergovermental Panel on Climate Change Report. UNFCC-Bali. Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Cetakan Keempatbelas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Kroeber, A. L. 1939. Cultural and Natural Areas of Native North America, University of California Publications in American Archaeology and Ethnology, Vol. 38 (Berkeley: University of California Press) Ma’arif, Sai’i. 2009. Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional; Perspektif Budaya. Makalah Dialog Nasional. Jakarta Moran, E. F. 1984. The Ecosystem Concept in Anthropology. AAAS Selected Symposium. Colorado. Westview Press. Muslih, Mohammad. 2004. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Belukar. Rambo, A.Terry. 1981. Conceptual Approaches to Human Ecology (Honolulu: East –West Environment and Policy Institute) Rapoport, Amos. 1983. The Meaning of the Built Environment; Nonverbal Communication Approach. SAGE Publications. London.
42
Tasdyanto
Rees, William E. 1996. Our Ecological Footprint; Reducing Human Impact The Earth. New Society Publishers. Philadelphia. Robert S. Platt. 1948. Determinism in Geography. Annals. Association of American Geographers, Vol. XXXVIII, pp. 126–32. Sairin, Sjafri. 2009. Strategi Kebudayaan dan Pengelolaannya. Makalah Seminar. Jakarta Salim, Emil. 2009. Pengarusutamaan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional; Perspektif Ekonomi. Makalah Dialog Nasional. Jakarta Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. PT Radjagraindo Persada. Sempe. E.C. 1911. Inluences of Geographic Environment (New York: Henry Holt) Susilo, Rahmad K. 2008. Sosiologi Lingkungan. PT. Rajagraindo Persada. Jakarta. Steward, Julian. H. 1955. Theory of culture change. University of Illinois Press Urbana. Tonybee, Arnold. Dan Ikeda, Daisaku. 1987. Perjuangkan Hidup; Sebuah Dialog. PT Indira. Alih Bahasa dari Buku Man Himself Must Choose. Kodansha International Ltd, Tokyo. Tucker, M. E dan Grim, J. A. 2003. Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta. Kanisius Vayda, P. and Rappaport, R. A. "Ecology, Cultural and Noncultural," in J. A. Clifton, ed., Introduction to Cultural Anthropology (Boston: Houghton Miflin, 1968), pp. 481–82.
Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010