BILIK CEDAR Lafcadio Hearn
2016
Bilik Cedar Diterjemahkan dari The Cedar Closet karangan Lafcadio Hearn terbit tahun 1874 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Januari 2016 Revisi terakhir: Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
K
EJADIANNYA
sepuluh tahun silam. Sangat mencolok, dan
akan terus mencolok, dalam ingatanku bagai suatu pagar
gelap jelek yang memisahkan riangnya masa gadis, beserta dukacita konyol perajuk dan sukacita lugu penggembira, dari cerah dan eloknya hidupku sejak saat itu. Kalau melihat ke belakang, rasanya masa itu dibayangi oleh awan gelap mencekam, yang di dalamnya terkandung petir kematian atau—seribu kali lebih buruk —kegilaan, andai saja bukan karena cinta paling lembut dan sabar paling gigih. Demikianlah, selama berbulan-bulan “kehidupan merayap dengan satu sayap patah”, jika bukan “melewati sel-sel kegilaan”, tapi sungguh “melalui bayang-bayang kengerian dan ketakutan”. Oh, hari-hari dan bulan-bulan melelahkan, meletihkan, tatkala aku mengiba, mendamba peristirahatan! Tatkala sinar mentari menjadi siksaan, dan setiap bayang dipenuhi kengerian tak terkatakan; tatkala jiwaku memohon kematian; agar diperkenankan merangkak pergi dari teror yang mengintai di dalam desiran sepoi terhalus musim panas, kedipan bayang daun terkecil di atas rumput tersorot mentari, di setiap sudut dan lipatan gorden di rumah lamaku tersayang. Tapi cinta menaklukkan segalanya, dan kini aku bisa ceritakan kisahku, dengan takjub dan heran, sungguh, tapi secara pelan dan tenang. Sepuluh tahun lalu aku hidup bersama saudara tunggalku di salah satu rumah kepala pendeta berdinding muka merah kuno yang dijalari tumbuhan ivy. Rumah-rumah pendeta tersebar indah di seantero Inggris. Kami anak yatim, aku dan Archibald. Baru setahun aku menjadi nyonya rumahnya yang indah selepas tamat 5
sekolah, sibuk dan bahagia, ketika Robert Draye melamarku menjadi isterinya. Robert dan Archie berteman lama, Dan rumah baruku, Istana Draye, hanya dipisahkan dari rumah pendeta oleh satu tembok tua kelabu, satu pintu rendah bertatah besi yang memperlewatkan kami dari rumah pendeta cerah ke taman tua, kepunyaan keluarga Draye selama berabad-abad. Robert adalah tuan tanah bangsawan, dan dialah yang memberi Archie mata pencaharian Draye di Wold. Malam itu sebelum hari pernikahanku, rumah cantik kami disesaki para tamu pernikahan. Kami semua bersama-sama di ruang kumpul luas bergaya kuno usai makan malam. Saat Robert meninggalkan kami pada larut malam, seperti biasa kutemani dia ke gerbang kecil, kali ini untuk perpisahan terakhir, sebutnya. Kami berlama-lama di bawah pohon kenari besar. Rembulan September melimpahkan cahaya murni lembut ke sela-sela dedahanan lebat nan suram. Dengan kecupan selamat malam terakhir di bibirku dan penuhnya hatiku oleh sosoknya serta cinta yang menghangatkan dan mengagungkan seluruh dunia untukku, aku tak mau kembali ke ruang kumpul untuk berbagi kesenangan dan kegembiraan, melainkan naik pelan-pelan ke kamarku sendiri. Aku sebut “kamarku sendiri” padahal baru malam ini kutempati sebagai kamar tidur. Kamar selatan nyaman, berkayu lis cedar kaya ukiran, yang memberi wangi tajam pada atmosfernya. Aku langsung memilihnya sebagai ruang santai pagi saat pertama tiba di rumah kami. Di sini aku membaca, menyanyi, dan melukis, dan menghabiskan hari panjang nan cerah selagi Archibald sibuk di 6
kamar kerjanya usai sarapan. Ranjangku sudah dirapikan karena aku lebih suka sendirian daripada berbagi kamar tidur besarku dengan dua gadis pengiring pengantin. Kelihatan cerah dan nyaman sewaktu aku masuk. Kursi rendah kesayanganku ditarik ke depan perapian; cahaya merahnya melirik dan mengerdip kepada dinding-dinding gelap mengkilat, yang memberi kamar ini nama “Bilik Cedar”. Pelayanku sedang sibuk menyiapkan meja rias, tapi kusuruh dia pergi. Aku duduk menunggu kakakku, yang kutahu akan datang mengucapkan selamat tidur. Dia datang. Kami melewati obrolan muka perapian untuk terakhir kalinya di rumah masa gadisku. Dan begitu dia pergi, masuklah serbuan gadis pengiring untuk “resepsi gaun rumahan”. Ketika akhirnya sendirian, aku membuka gorden dan duduk berpeluk lutut di kursi jendela yang lebar dan rendah. Rembulan sedang terang-terangnya; gereja kecil dan pekarangan sunyi di luar halaman rumputnya tampak cantik dan tenang di bawah cahayanya. Pancaran nisan-nisan putih di antara pepohonan semestinya
mengingatkanku
bahwa
hidup
bukan
semata
kedamaian dan kegembiraan—bahwa air mata dan rasa sakit, ketakutan dan perpisahan, sama-sama berbagi tempat di dalam kisahnya—tapi
ternyata
tidak.
Kebahagiaan
sentosa
yang
memenuhi hatiku meluapkan air mata lembut tanpa warna getir, dan saat akhirnya aku berbaring, kedamaian dalam nan sempurna masih membanjiriku bersama sorot bulan yang mengisi kamar, berkilauan pada lipatan gaun pengantin yang telah terhampar siap untuk besok pagi. Dengan demikian aku teliti dalam melukiskan 7
akhir-akhir momen terjagaku, agar dimaklumi bahwa cerita berikut bukan hasil khayalan tak waras. Entah berapa lama aku tertidur. Aku seolah ditarik bangun. Bulan sudah tenggelam, kamarku cukup gelap. Aku hanya bisa melihat cahaya samar langit berawan tanpa bintang lewat jendela yang terbuka. Aku tak melihat atau mendengar hal aneh. Meski begitu aku sadar akan kehadiran berbahaya dan tak biasa di dekatku; kengerian tak terlukiskan mengekang denyut jantungku, bersama setiap jenaknya tumbuh keyakinan bahwa suatu makhluk jahat turut mendiami kamarku. Aku tak sanggup berteriak minta tolong, padahal kamar Archie dekat sekali, dan aku tahu teriakan di tengah kesunyian pekat akan membawanya kepadaku. Yang bisa kulakukan hanya menatap, menatap, menatap ke dalam gelap. Seketika—dan
setiap
syarafku
berdebar
menyakitkan—aku
mendengar jelas rintihan bergema dari balik kayu lis yang menjadi sandaran kepala ranjangku, disusul tawa parau jahat dari seberang. Andai aku salah satu sosok monumen di pekarangan kecil gereja yang terkena sorot bulan beberapa jam lalu, mungkin aku lebih mampu bergerak atau bicara; rasanya semua indera lain hanyut dalam regangan mata dan telinga penuh maksud. Akhirnya datang bunyi langkah kaki yang berhenti, ketukan tongkat ketiak di lantai, lalu sunyi, dan perlahan-lahan, berangsur-angsur, kamar dipenuhi cahaya—cahaya pasi, dingin, tetap. Keadaan sekitar masih sama dengan terakhir kali kulihat dalam campuran cahaya bulan dan api. Meski sekali-kali mendengar tawa parau, tirai di kaki ranjang menyembunyikan sumbernya dariku. Lagi-lagi, rendah tapi jelas, 8
rintihan pilu pecah, disusul beberapa kata dalam bahasa asing. Bersama suara tersebut muncullah satu sosok dari balik tirai— wanita kerdil cacat, berpakaian jubah hitam longgar, bertabur bintang-bintang keemasan yang mengeluarkan kilasan api pudar, dalam cahaya misterius. Satu tangan kuning kurus menggenggam tirai ranjangku, gemerlapan dengan cincin-cincin bertatah permata —rambut panjang hitam terjurai lebat dari gelang emas di atas wujud kerdilnya. Aku melihatnya dengan jelas, sejelas melihat pena yang menulis kalimat ini dan tangan yang menuntunnya. Wajahnya terpaling dariku, bungkuk ke samping, seolah menelan rintihan aneh tadi dengan rakus. Aku bahkan melihat corengan uban pada ikalan rambut panjangnya selagi berbaring tak berdaya dalam kengerian, kelu dan linglung. “Lagi!” katanya parau, sementara suara-suara tadi pudar menjadi gumaman tak jelas. Maju satu langkah, dia mengetuk tajam kayu lis dengan tongkat ketiak. Kemudian timbul lagi suara liar memelas, lebih nyaring dan tegas; kali ini dalam bahasa Inggris. “Kasihani, kasihanilah! Bukan aku, tapi anakku, si kecilku. Dia tak pernah mengganggumu. Dia sedang sekarat—dia sekarat di sini dalam gelap. Izinkan aku melihat wajahnya sekali lagi. Maut sudah dekat, tak ada yang bisa menyelamatkannya sekarang, selain seberkas cahaya, dan aku akan berdoa semoga kau diampuni, jika ada ampunan untuk orang sepertimu.” “Apa, akhirnya kau berlutut! Berlutut di hadapan Gerda, berlutut sia-sia. Seberkas cahaya, tidak, meski kau bayar dengan 9
berlian. Kau milikku! Menjerit dan berteriaklah sesukamu, tak ada yang bisa dengar. Mati bersama-sama. Kau milikku, untuk kusiksa semauku; milikku, milikku, milikku!” dan lagi-lagi tawa jelek mendenging di kamar. Seketika dia berbalik. Oh, alangkah seram dan jahat wajah yang kulihat! Matanya hijau membara. Kemudian, diiringi semacam geraman makhluk buas, dia melompat ke arahku. Wajah seram itu nyaris menyentuh wajahku; tangan kurus berbatu permata mencengkeramku. Aku pingsan. Berminggu-minggu aku terbaring dalam demam otak, dalam kengerian dan keletihan batin yang demikian hebat. Sampai sekarang pun aku tak suka merenungkannya lama-lama. Bahkan setelah krisis itu berlalu aku lambat sembuh, pikiranku gelisah. Aku hidup di dunia bayang-bayang. Musim dingin berlalu, membawa kami ke pagi musim semi yang cerah di mana akhirnya aku berdiri di samping Robert di gereja tua, sebagai pengantin dingin, pasif, hampir enggan. Aku tak menolak atau menyetujui apapun yang disampaikan; jadi Robert dan Archie memutuskan untukku, dan kuizinkan mereka melakukan apa saja padaku, sementara aku terus memikirkan kenangan malam mencekam itu dalam diam. Suatu pagi kuceritakan semuanya kepada suamiku di lembah Bavarian yang cerah. Pikiranku yang lemah dan risau menarik kekuatan dan kedamaian dari pikirannya. Sedikit demi sedikit kengerian itu berlalu, dan saat kami pulang dua tahun kemudian untuk alasan yang membahagiakan, aku kembali kuat dan riang seperti di masa gadis. Aku sudah belajar untuk percaya bahwa itu semua hanya permulaan—bukan penyebab—demamku. 10
Aku tak boleh terpedaya. Puteri kecil kami lahir di musim mawar, dan kini Natal menemani kami, Natal pertama di rumah. Tamu-tamu memenuhi rumah. Ada festival Yule kuno, banyak permainan ski es dan luar ruangan, dan tak kurang pula kegembiraan dalam ruangan. Jelang Tahun Baru turun salju lebat yang mengurung kami semua, tapi hari-hari tersebut pun mengalir riang, dan seseorang mengusulkan bermain tablo untuk malam hari. Robert terpilih jadi manajer. Terjadi perdebatan dan pemilihan tema, dan timbul teka-teki di mana kami dapat memperoleh pakaian yang diperlukan, mengingat pemberitahuan sesingkat itu. Suami menyarankan agar kami menyerbu beberapa peti ék misterius yang setahunya tersimpan bertahun-tahun di kamar menara. Dia ingat, semasa kecil dia pernah melihat pengurus rumah memeriksanya, dan isinya meninggalkan kesan samar berupa brokat tua mandiri, tenunan emas, baju kurung, simpai, dan kudung, yang penyebutannya saja membuat kami bergairah. Ny. Moultrie
dipanggil, sudah
sepantasnya tampak kaget dengan ide penodaan relik paling sakral baginya. Tapi karena itu tak terhindarkan, dia pun memimpin jalan dengan isyarat protes di setiap gerisikan dan lipatan gaun sutera kakunya. “Betapa mempesona tempat tua ini!” seru kami bergantian sewaktu masuk ke ruang panjang berkaso ék. Di ujung jauh bercokol deretan peti yang isinya kami idamkan. Diliputi ketidaksetujuan tak terucap, Ny. Moultrie membuka kunci peti satu persatu, lalu meminta izin untuk istirahat, membiarkan kami 11
“mengacau”. Dalam sekejap lantai dipenuhi tumpukan sutera dan beludru. “Meg,”
teriak
si
kecil
Janet
Crawford,
menari-nari
mendekatiku, “bukankah enak rasanya hidup di zaman kain tule dan sutera musim panas? Bayangkan dipenjara seumur hidup dalam benteng seperti ini!” mengangkat brokat tebal merah tua dan emas, bertulang insang paus dan berkain bukram di setiap bagian. Terus dilemparnya benda itu. Dia setengah asyik dengan peti lain dan membisu. Lalu, “Lihat, Mayor Fraudel, ini cocok untukmu— jubah ahli nujum tulen, beludru serba hitam dan bintang-bintang keemasan. Kalau saja cukup panjang, ini pas denganku.” Aku berbalik dan menyaksikan sosok langsing cantik, wajah lugu kegadis-gadisan, berpakaian jubah hitam dan emas; bentuk, pola, dan bahannya identik dengan apa yang kuingat betul. Sambil berteriak liar aku menutup wajah dan gemetar ketakutan. “Lepaskan itu! Oh, Janet—Robert—lepaskan itu darinya!” Setiap orang berpaling keheranan. Sontak suamiku menoleh. Paham akan penyebab ketakutanku, buru-buru dia melemparkannya kembali ke dalam peti, dan menurunkan tutupnya. Janet agak terusik, tapi seketika awan berlalu saat aku mengecupnya, memohon maaf sebisa mungkin. Rob menertawakan kami berdua, dan mengusulkan beralih ke ruangan yang lebih hangat, di mana kami bisa membawa peti-petinya untuk dijarah dengan santai. Sebelum pergi, aku dan Janet masuk ke sebuah ruang kecil untuk memeriksa beberapa lukisan tua yang bersandar di dinding. “Ini barangnya, Jennie, untuk membingkai tablo,” kataku 12
menunjuk bingkai raksasa, sekurangnya dua belas kaki persegi. “Ada lukisan di dalamnya,” tambahku, menyingkap lipatan tirai tebal berdebu yang tergantung di depannya. “Itu mudah digeser,” kata suamiku yang menyusul kami. Dengan bantuannya kami tarik tirai tersebut, dan dengan cahaya yang kini memudar kami dapat melihat sosok seorang gadis berpakaian serba putih berlatar gelap. Robert membunyikan bel untuk meminta lampu. Begitu lampu datang kami langsung berbalik penasaran untuk memeriksa lukisan, yang subjeknya kami tebak-tebak dengan riang selama menunggu. Gadis tersebut masih belia, hampir kekanakan—sangat elok, tapi, oh, alangkah sedih! Air mata pekat bercokol di matanya yang polos dan pipi bulat segar. Kedua tangannya mendekap lembut lengan seorang pria yang sedang membungkuk ke arahnya, dan, apa aku bermimpi? Tidak, wanita seram Bilik Cedar ada di situ, sangat jelas dan memuakkan. Sama dalam setiap garisnya yang terdistorsi, bahkan sampai gaun berbintang dan gelang emasnya. Awalnya corak hitam gaun dan wajahnya membuat kami tidak memperhatikan. Mata jahat yang sama menusuk mataku. Setelah satu lompatan liar, rasanya jantungku berhenti berdenyut, dan aku tak tahu apa-apa lagi. Saat siuman dari pingsan panjang dan dalam, kelesuan dan kegugupan hebat menyusul. Sakitku membubarkan pesta, dan berbulan-bulan aku lumpuh. Kala cinta dan kesabaran Robert lagilagi mengembalikanku kepada kesehatan dan kebahagiaan, dia menceritakan kenyataan yang sebenarnya, yang selama ini disimpan dalam riwayat keluarga. 13
Pada abad 16 berkuasalah nyonya Draye Court, wanita aneh dan cacat. Tubuh kerdil, muka seram, dan tabiat yang mengajarkan untuk membenci dan memfitnah setiap hal baik dan indah lantaran berlawanan dengannya, membuat dia ditakuti dan dibenci. Hanya satu bakat yang dimilikinya, musik. Tapi saking liar dan aneh nada yang dihasilkan dari banyak instrumen yang dikuasainya, karunia tersebut justru memperkuat ketakutan terhadap dirinya. Ayahnya wafat sebelum dia lahir, ibunya tidak hidup lama, kerabat dekat tak punya. Dia hidup sendirian tanpa cinta kasih sejak belia sampai paruh baya. Ketika seorang gadis muda datang ke Court, orangorang hanya tahu dia famili yang melarat. Wanita misterius itu tampak lebih ramah terhadap sepupu muda ini dibanding kepada siapapun yang melintasi jalan suramnya. Bahkan saking besar pesona kebaikan, kecantikan, dan keluguan Marian terhadap semua orang, para pelayan tak lagi heran kenapa dia disukai oleh nyonya pemurung. Gadis tersebut merasakan sejenis kasih sayang dan keingintahuan terhadap sang wanita malang. Dia memandangnya dengan atmosfer yang ditimbulkan oleh sifat cerahnya sendiri, dan untuk sementara keadaan berjalan baik. Setelah Marian genap setahun di Court, seorang musisi luar negeri muncul ke layar. Dia orang Spanyol, dan disewa oleh Lady Draye untuk membuatkannya orgel yang konon sangat bertenaga dan enak. Selama hari-hari musim panas cerah nan panjang dia dan pengupahnya terkunci bersama di ruang musik—dia sibuk mengkonstruksi instrumen indah, sedangkan Lady Draye membantu dan mengawasi pekerjaannya. Marian mengisi hari-hari itu dengan beragam cara— 14
bermalas-malasan dan bekerja menyenangkan, berligas di atas kuda poni kastanye, melamun pagi dekat selokan dengan tongkat dan tali, atau di desa sekitar, di mana dia selalu disambut hangat. Dia bermain dengan anak kecil, merawat bayi, membantu para ibu dengan seribu cara elok, bergosip dengan kaum sepuh, mencerahkan hari siapa saja yang dijumpainya. Malam harinya dia duduk bersama Lady Draye dan si Spanyol di pub, berbicara dalam bahasa asing enteng yang biasa mereka pakai. Tapi ini baru musik antar babak; drama mencekam sedang datang. Motifnya tentu saja sama dengan setiap drama kehidupan yang dimainkan sejak zaman purba tatkala tirai naik di atas adegan taman Firdaus. Philip dan Marian saling mencintai. Setelah saling menyatakan rahasia bahagia ini, seolah terikat kewajiban mereka membawanya kepada sang penyokong. Mereka menemuinya di ruang musik. Entah dia marah oleh pandangan sekilas terhadap dunia indah yang terhalang darinya, ataukah sama-sama mencintai si pria asing, ini tak pernah diketahui pasti. Tapi dari pintu tertutup itu terdengar kata-kata menggebu, dan tak lama Philip keluar sendirian, meninggalkan rumah tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapapun. Ketika akhirnya para pelayan memberanikan diri untuk masuk, mereka mendapati Marian pingsan di lantai, Lady Draye berdiri di dekatnya dengan tongkat ketiak terangkat, dan darah mengalir dari luka di kening si gadis. Mereka menggotong dan merawatnya dengan lembut; nyonya langsung mengunci pintu dan sendirian dalam gelap sepanjang malam. Musik yang keluar tanpa jeda di tengah kesunyian malam terdengar aneh dan jahat, melebihi semua 15
nada yang pernah mengalir dari bawah jari-jemarinya. Itu berhenti bersama cahaya pagi, dan seiring siang ketahuanlah bahwa Marian kabur semalam, dan bahwa orgel Philip telah membunyikan nada terakhirnya—diremukkan dan dibungkam oleh Lady Draye untuk selamanya. Dia tak pernah memperhatikan ketiadaan Marian dan tak ada yang berani menyebutkan namanya. Nasibnya tak diketahui pasti, diduga dia ikut dengan sang kekasih. Tahun-tahun berlalu. Tabiat Lady Draye semakin sengit dan pendengki. Dia tak pernah keluar dari kamar kecuali di hari peringatan peristiwa siang dan malam itu, ketika ketukan tongkat ketiak dan sepatu bertumit tinggi terdengar berjam-jam selagi dia mondar-mandir di ruang musik, yang tak pernah dimasuki kecuali untuk festival tahunan ini. Peringatan tahun ke sepuluh datang, kali ini tidak diisi sendirian. Para pelayan mendengar suara seorang pria bercampur dengan nada nyaring nyonya dalam percakapan serius. Mereka mendengarkan lama, dan akhirnya salah seorang yang paling berani mengambil resiko untuk mengintip ke dalam, tanpa kelihatan. Dilihatnya seorang pria lesu dan lusuh bekas perjalanan; penuh debu, kaki terluka, berpakaian jelek, dia langsung dikenali sebagai si tampan dan periang Philip dari masa sepuluh tahun silam. Dia menggendong gadis kecil yang sedang tidur. Keriting panjangnya, mirip Marian yang malang, teruntai ke pundak Philip. Sepertinya dia sedang memohon dalam bahasa aneh musikal itu demi si kecil; dia bicara sambil dengan lembut menyingkap mantel yang menutupi sebagian sosok tersebut, dan memperlihatkan wajah mungil, yang dikiranya dapat membuat 16
permohonan sendiri. Dengan gelagat geram nyonya mengangkat tongkat ketiak untuk memukul anak itu. Philip buru-buru mundur, membungkuk untuk mencium si kecil, lalu berbalik pergi tanpa berbicara sepatah katapun. Lady Draye memanggilnya dengan gestur angkuh, mengucapkan beberapa kata yang didengarkan dengan penuh syukur, dan bersama-sama mereka meningglkan rumah lewat jendela yang terbuka ke teras. Para pelayan membuntuti mereka, dan ternyata nyonya memimpin jalan ke rumah pendeta yang waktu itu tak ditempati. Konon Philip sedang dalam
ancaman
politik
dan
kemiskinan,
dan
nyonya
menyembunyikannya di sini sampai dia dapat membantunya ke tempat suaka yang lebih baik. Sudah pasti, selama bermalammalam dia pergi ke rumah pendeta dan pulang sebelum fajar, mengira dirinya tak kelihatan. Tapi suatu pagi dia tak kunjung kembali. Para pegawainya berunding. Pelunakan sikapnya kepada Philip membuat mereka lebih sayang terhadapnya; mereka mencarinya di rumah pendeta dan mendapatinya tergeletak mati di ambang pintu. Sebuah botol kecil tergenggam di dalam jemarinya yang kaku. Tak ada tanda keberadaan Philip dan anaknya. Diyakini, nyonya menyuruh mereka pergi cepat-cepat sebelum dia bunuh diri. Mereka menempatkannya di dalam kuburan bunuh diri. Lebih dari 50 tahun rumah pendeta itu ditutup. Meski tak lagi didiami, tak ada yang pernah ketakutan oleh hantu yang kulihat; barangkali Bilik Cedar belum pernah dipakai sebagai kamar tidur. Robert memutuskan untuk meruntuhkan sayap rumah yang berisi kamar berhantu dan membangunnya ulang. Dalam proses17
nya, kebenaran ceritaku memperoleh konfirmasi mengerikan. Ketika kayu lis Bilik Cedar dilepas, ditemukan sebuah ceruk pada dinding besar tua, dan di dalamnya terdapat pecahan kerangka seorang pria dan anak kecil! Hanya satu kesimpulan yang dapat ditarik. Wanita jahat itu mengurung mereka dengan dalih menyembunyikan dan menolong. Begitu mereka ada dalam kekuasaannya, setiap malam dia datang dengan
kekejaman
tak
terbayangkan
untuk
menertawakan
penderitaan mereka. Ketika kesengsaraan panjang itu berakhir, dia mengakhiri hidup yang menjijikkan dengan cara bunuh diri. Kami tak mendapat temuan apa-apa dari lukisan misterius itu. Philip seorang seniman, mungkin itu karyanya. Sudah kami musnahkan agar tak ada riwayat seram yang tersisa. Tak ada lagi yang bisa kutambahkan,
selain
bahwa
selama
hari-hari
gelap
yang
diwariskan oleh Lady Draye sebagai pusaka ketakutan dan kengerian, aku jadi tahu harta yang kumiliki dalam kelembutan, kegigihan, dan kesetiaan cinta suamiku—aku jadi tahu hikmah yang terkandung dalam setiap dukacita: Setiap awan yang membentang di atas kita dan menyelubungi cinta, adalah juga cinta.
18