1 Redaksi Penanggung Jawab: Dody Budi Waluyo Pemimpin Redaksi: Difi A. Johansyah Redaksi Pelaksana: Harymurthy Gunawan, Rizana Noor, Tutut Dewanto, Dedy Irianto, Diyah Woelandari, Wahyu Indra Sukma, Risanthy Uli N Alamat Redaksi Humas Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2 - Jakarta Telp. : 021 - 3817317, 3817187 email :
[email protected], website : www.bi.go.id
Edisi 29 | Agustus 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Foto: “Proses Pembuatan Mie” oleh: Budi Winarno
MEA 2015 :
MEJA REDAKSI Pembaca yang budiman, Setelah edisi Gerai Info la lu (28/Juli/2012) menurunkan laporan tentang Masyarakat Ekonomi yang
ASEAN
akan
(MEA)
diberlakukan
2015, pada edisi kali ini (29/ Agustus/2012)
isu
MEA
masih menjadi pembahasan. Isu ini sengaja dipilih kem bali karena betapa sudah dekatnya waktu pelaksanaan MEA yang bermuara pada pembentukan Pasar Tunggal ASEAN. Pada waktu MEA diberlakukan, tidak ada lagi hambatan tarif dan nontarif baik barang dan jasa produk sesama negara ASEAN. Memang, di atas kertas, pembentukan membuka
MEA
ini
peluang
dan
kesempatan yang besar bagi produk dan jasa di republik ini
untuk
berkiprah
di
pasar regional. Begitu pula sebaliknya.
Siapkah
kita
menghadapi MEA? Inilah sebuah pertanyaan krusial dan
apa
dampak
pasar
bebas itu terhadap rumah tangga konsumen, produsen dan perekonomian nasional? Pokok bahasan inilah yang menjadi tema sentral dalam pembahasan Gerai Info edisi kali ini.
Salam, Difi A. Johansyah Kepala Grup Humas Bank Indonesia Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.
Nasionalisme
Benteng Kekuatan Ekonomi S
etiap memasuki bulan Agustus nuansa kebangsaan kembali kental di seantero negeri. Inilah momentum yang pas untuk melakukan refleksi perjalanan panjang kemerdekaan dan setumpuk tantangan yang dihadapi ke depan. Salah satu tantangan yang sudah di depan mata yakni kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 yang bermuara pembentukan pasar tunggal. Lho, untuk apa kita mesti repot mengantisipasi MEA? Pasalnya, pasar tunggal ini akan memangkas semua hambatan tarif dan nontarif terhadap mobilitas barang dan jasa. Dampaknya, persaingan akan semakin ketat di pasar domestik dengan banjirnya produk dan jasa negeri jiran. Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia adalah daya saing. World Economic Forum (WEF) merilis data The Global Competitiveness Index 2011-2012, daya saing Indonesia berada jauh dibawah Singapura dan Malaysia. Hasil penelitian Bank Indonesia (BI) juga memperlihatkan daya saing perekonomian Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura, Malaysia atau Thailand. WEF mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu negara untuk mencapai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang terus menerus tinggi. Itu artinya, setiap negara harus menjaga mesin pertumbuhan ekonomi agar tetap berkelanjutan sehingga angka total PDB dan PDB per kapita tetap tinggi. Setidaknya ada empat sumber pertumbuhan ekonomi yakni konsumsi masyarakat (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G) dan hasil ekspor dikurangi impor (X-M), sehingga lahirlah rumus pertumbuhan ekonomi (Y) = C + I + G + (X-M). Sisa waktu menjelang pemberlakuan MEA, merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dengan berbenah diri. Urusan berbenah ini sejatinya gawean segenap pemangku kepentingan negeri ini mulai dari masyarakat, pelaku usaha, otoritas dalam hal ini pemerintah selaku otoritas fiskal dan BI selaku otoritas moneter. Indonesia punya jumlah populasi besar, yakni 237 juta jiwa dengan angkatan kerja produktif sekitar 56,6% yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai bonus demografi. Namun pekerja ini mesti berbenah dalam hal membangun daya saing individu (human capital) agar memiliki ketrampilan yang tak kalah dengan individu negeri jiran. Kehadiran MEA akan membuka selebar-lebarnya lalu lintas tenaga kerja trampil (skilled labour). Negara yang berlimpah ruah tenaga terampil akan diminati investor (I) untuk berinvestasi, dan mampu menghimpun dana (savings) lebih besar untuk membiayai pembangunan.
Pelaku usaha pun dituntut untuk juga berbenah jika tidak ingin tercampak oleh persaingan bebas. Efisiensi produksi dan kreativitas menjadi kata kunci dalam bersaing. Dari ribuan perusahaan di Indonesia, Majalah Forbes hanya mencatat tujuh perusahaan lokal yang berskala multinasional alias bukan jago kandang. Lumayan, tapi masih diperlukan lebih banyak lagi perusahaan dalam skala itu. Struktur kependudukan dengan jumlah dan pendapatan kelas menengah yang terus membesar, seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai faktor keunggulan untuk bersaing. Membangun iklim kondusif merupakan gawean Pemerintah untuk menarik sebanyak mungkin investor (I) ke dalam negeri. Semakin besar arus investasi (asing/ lokal) masuk akan menjadi salah satu elemen yang ikut mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kelahiran sebuah industri akan berdampak luas terhadap penyerapan tenaga kerja dan perekonomian nasional. Upaya pemerintah dalam terus memperbaiki infrastruktur yang dikeluarkan melalui belanja pemerintah (G) pun akan menjadi faktor yang ikut meningkatkan daya saing nasional. BI selaku otoritas moneter pun berperan menjaga stabilitas makroekonomi yang tercermin pada angka inflasi yang rendah sehingga membuat daya saing usaha pun semakin kompetitif. Implementasi MEA tinggal menghitung hari. Soalnya sekarang bagaimana membangun kesadaran masyarakat untuk siap menghadapinya, dan yang tak bisa diabaikan adalah menggelorakan nasionalisme untuk mencintai produk lokal seperti orang Korea mencintai produk dalam negerinya. Ini penting agar eksistensi industri di dalam negeri tetap terjaga sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Pelaku usaha pun ditantang untuk berjiwa nasionalis dengan berupaya mandiri, tidak bergantung pada bahan baku dan barang modal impor. Sekarang tinggal bagaimana pihak Otoritas mengorkestrasi semua peserta orkes simfoni republik ini dengan senandung nasionalisme. Masih relevankah ngomongin nasionalisme di era globalisasi? Dengar saja kata Guru Besar Universitas Havard, Leah Greenfeld, “ … ciri-ciri pertumbuhan yang berkesinambungan suatu perekonomian moderen tidak berlangsung begitu saja secara berkelanjutan, pertumbuhan akan berkelanjutan justru jika didorong dan ditopang oleh nasionalisme …” Nah, meski nasionalisme tidak masuk sebagai salah satu variabel rumus perumbuhan ekonomi, tapi merupakan kekuatan pembangunan yang tidak ada tandingannya di dunia masa kini. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | agustus 2012 | Edisi 29
2
IKHTISAR
Inflasi Terkendali Bikin Daya Saing Meningkat W
orld Economic Forum menempatkan daya saing Indonesia dibawah Singapura dan Malaysia. Daya saing perekonomian suatu negara merupakan faktor fundamental yang menentukan tingkat kompetitivitas negara. Salah satu indikator daya saing ditunjukkan tingkat inflasi. Semakin rendah angka inflasi, semakin tinggi daya saing perekonomian sebuah negara. Pasalnya, tingkat harga barang dan jasa serta biaya dana (cost of funds) pun akan ikut murah. Tapi sebaliknya, kalau sampai angka inflasi melejit di atas satu digit, panas-dinginlah ekonomi negara itu karena harga-harga secara agregat pada melangit. Tugas mengawal inflasi di negara ini dipercayakan kepada Bank Indonesia (BI). Dalam menjalankan tugasnya, BI tidaklah bisa sendirian. Pasalnya, sumber penyebab inflasi tidak melulu karena faktor moneter atau gangguan sisi permintaan (demand side inflation) yang dipengaruhi
perubahan nilai tukar dan ekspektasi publik. Tapi bisa juga disebabkan oleh kelangkaan produksi (barang) yang mempengaruhi sisi pasokan (supply side inflation). Untuk itulah, BI senantiasa mengajak Pemerintah untuk bersama memerangi inflasi. Wujud nyata keseriusan bank sentral dan Pemerintah mengendalikan inflasi diperlihatkan dengan dibentuknya Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). TPIP bertugas memantau dan mengendalikan inflasi secara nasional. Kehadiran BI di TPIP diwakili Kantor Pusat di Jakarta. Sedangkan TPID memantau dan mengendalikan inflasi di setiap daerah (propinsi dan kabupaten/ kota). Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia di berbagai daerah (propinsi dan kabupaten/kota) bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (pemda) memantau dan mengendalikan per gerakan inflasi di daerah. Secara nasional, angka inflasi pada 2012 dipatok 4,5% +/- 1%. Angka itu
Belajar Global dari Tetangga
K
alo kita bicara mengenai globalisasi atau regionalisasi, sepantasnya kita kudu ngeliat visi masing-masing negara. Saya jadi teringat ketika berada di KL (Kuala Lumpur) Malaysia, beberapa waktu silam. Saya tengoktengok dan amati perkembangan ekonomi negara jiran itu yang luar biasa, banyak bulebule di mal-mal. Saya bicara kepada supir taksi , apakah orang asing boleh punya rumah di Malaysia, dilalah sopir tadi tidak menjawab dengan tegas pertanyaan itu, tapi ia bilang, “Encik, di Malaysia ada program Malaysia My Second Home yang bisa dilihat di internet. Itu
Edisi 29 | Agusutus agusutus 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
program untuk orang asing yang mau tinggal di Malaysia”. Saya jadi penasaran. Setiba di hotel, langsung saya cek di google apa sih yang dibilang sopir taksi tadi. Ternyata bener banyak lho info tentang program Malaysia My Second Home itu. Ini program yang sangat menarik bagi saya, karena menawarkan kemudahan kepada orang asing yang ingin tinggal di Malaysia, studi bahkan pensiun di negeri jiran tersebut. Rasa penasaran saya semakin kencang saja sampai kepingin tahu apa sih syaratnya bagi orang asing yang ingin tinggal di Malaysia. Ternyata websie itu menyediakan info lengkap, mulai dari persyaratan, tata cara hingga deposit uang yang harus disetorkan. Visi Malaysia ini sangat inklusif dalam menerima orang asing, dan sontak saya surprised karena program ini ditawarkan Kementerian Pelancongan Malaysia, yaitu kementerian mereka yang mengurusi pariwisata. Sudah banyak orang asing yang memanfaatkan program ini, mulai dari orang Cina, Hongkong, Australia. Yang hebatnya lagi, ada lho testimoni orang asing yang sudah
lebih tinggi dari inflasi di Singapura, Malaysia dan Thailand yang menjadi kompetitor Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015. Angka inflasi itu terus diupaya kan setara dengan ketiga negara tersebut agar level playing field sama ketika MEA diberlakukan pada 2015. Dengan demikian, efisiensi produksi barang, tingkat harga barang dan jasa, serta biaya dana sudah pada tingkat yang sama dengan negara jiran. Tinggal bagaimana individu rumahtangga (masyarakat, pekerja, usaha kecil) dan rumahtangga industri di negeri ini menyiapkan diri menghadapi pesaing dari negara tetangga. Jadi, BI bersama Pemerintah berupaya menggiring angka inflasi nasional sama dengan negaranegara di kawasan, agar daya saing perekonomian nasional pun meningkat sehingga rumahtangga masyarakat dan rumahtangga industri pun siap bertarung menghadapi produk dan jasa negeri jiran.
memanfaatkan program ini. Saya jadi trenyuh, kenapa sih Malaysia sampai menawarkan giniginian, padahal banyak negara lain yang belum tentu welcome terhadap orang asing. Ada satu kata kunci yang bikin saya surprised, Malaysia menawarkan ini karena ingin meningkatkan keanekaragaman dengan banyaknya orang asing datang ke sana. Negeri jiran itu menganggap keanekaragaman itu suatu kekayaan. Sontak, saya pun langsung kepikiran tentang Indonesia. Tentunya, saya tidak ingin mengatakan bahwa program itu benar atau bagus yang cocok untuk kita di Indonesia, tapi jelas Malaysia punya satu spirit atau visi untuk merengkuh globalisasi dengan memanfaatkan keanekaragaman. Bagaimana dengan kita? Tentu kita tak kekurangan keanekaragaman mulai dari orang Jawa, Ambon, Padang, Batak, Bali, Papua, dan lainnya yang termasuk paling kaya di dunia. Keanekaragaman itu bisa disinergikan untuk menjadi daya saing Indonesia menghadapi globalisasi. Pelajaran dari negeri jiran, kita harus punya suatu sikap dan solusi yang kongkrit menghadapi perkembangan di luar. Kita memang tidak harus mencontoh apa yang dilakukan Malaysia, tapi harus memiliki sikap dan visi yang jelas bagaimana kita tinggal di perkampungan global.
WAWASAN
3
Bahu-membahu Hadapi MEA
Wahyu Pratomo, Analis Ekonomi Senior Grup Kerjasama dan Studi ASEAN Departemen Internasional
D
Yassa Ardhi Ganie, Analis Ekonomi Grup Kerjasama dan Studi ASEAN Departemen Internasional
i bulan Oktober ini, genap sembilan tahun deklarasi Bali Concord II. Deklarasi itu menyuarakan cita-cita para pemimpin ASEAN menjadikan kawasan ini sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di 2020. Pada Deklarasi Cebu 2007, pembentukan MEA dipercepat menjadi tahun 2015 guna menyikapi tantangan persaingan yang meningkat. Artinya kesempatan Indonesia berbenah menghadapi era baru keterbukaan di kawasan tinggal tiga tahun lagi. Sudah siapkah kita menghadapi keterbukaan ala ASEAN ke depan? Pertanyaan di atas sahih adanya. Bagaimana tidak, komitmen yang dituangkan dalam Bali Concord II dan Deklarasi Cebu membawa konsekuensi serius bagi ekonomi nasional. Mulai tahun 2015, lalu lintas barang-jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil antarnegara di kawasan bergerak lebih bebas. Artinya, ke depan akan semakin sering kita menyaksikan produk, tenaga kerja terampil, entitas, dan pelaku usaha asal jiran ASEAN lalu-lalang di halaman kita. Persaingan akan menjadi lebih ketat, terutama pada 12 sektor prioritas integrasi. Ke-12 sektor itu adalah produk pertanian, produk kayu, produk karet, angkutan udara, otomotif, elektronik, tekstil dan produknya, produk perikanan, jasa kesehatan, logistik, turisme, dan E-ASEAN. Ketatnya persaingan usaha di dalam negeri tidak terlepas dari besarnya potensi Indonesia di mata negara tetangga. Indonesia saat ini menyumbang 40% PDB dan penduduk mencapai 50% atas keseluruhan penduduk ASEAN. Berkat topangan konsumsi domestik, ekonomi Indonesia tumbuh solid di tengah
badai krisis Eropa. Belum lagi kenyataan bahwa kelas menengah kita saat ini tumbuh pesat dengan daya beli solid. Dalam laporan Mckinsey September 2012 diungkap bahwa dengan menjaga kekuatan kelas menengah seperti saat ini, Indonesia menyalip Inggris dan menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh dunia pada 2030. Bayangkan, bagaimana negara tetangga yang pasar domestiknya terbatas dan potensi pertumbuhan mendekati puncak tidak tergiur mengincar kita. Indonesia ibarat kembang desa yang menarik para pemuda desa tetangga. Memang, MEA menjanjikan manfaat bagi Indonesia, baik dari sudut pandang sebagai anggota ASEAN maupun secara individu negara. Dari sudut pandang kawasan, dengan penduduk 588 juta jiwa dan PDB nominal USD2,1 triliun, ASEAN menawarkan skala ekonomi untuk mampu bersaing dengan China dan India. Integrasi ekonomi juga mendorong aliran investasi dan perdagangan antar negara anggota yang lebih tinggi sehingga dapat memunculkan perusahaan-perusahaan kawasan yang mampu bersaing secara global (Schwarz dan Vilinger, 2004). Dari sudut Indonesia sendiri, persaingan yang ketat di pasar domestik pada dasarnya menguntungkan konsumen berkat tawaran variasi dan kualitas barang dan jasa yang lebih kaya dan berharga kompetitif. Integrasi ekonomi juga memberi peluang lebih besar bagi masyarakat dan produsen Indonesia untuk “mengeksplorasi” pasar jiran kita di ASEAN. Kita berharap agar MEA dapat memberi manfaat nyata bagi konsumen, produsen, dan juga ekonomi secara keseluruhan. Kita senang, konsumen memetik manfaat dari MEA. Tapi masalahnya, manfaat bagi produsen kita hanya dipetik bila produsen kita mampu bersaing dalam MEA. Terlebih apabila mereka ingin menyasar dan bersaing di pasar regional. Bila tidak berdaya saing, mereka terancam tersingkir dan bahkan gulung tikar. Selain itu, ekonomi Indonesia secara keseluruhan mengambil manfaat apabila produsen kita memenangkan persaingan. Kemenangan itu memberi kesempatan produsen itu untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Laba yang diperoleh juga menambah konsumsi dan investasi di perekonomian. Selain memberi nilai tambah ekonomi, produsen tersebut juga membantu kinerja neraca berjalan. Bila artis kita manggung di negara jiran atau turis ASEAN tinggal lebih lama di Indonesia, hal
tersebut positif bagi neraca jasa personal, kultural, dan rekreasi. Namun, bila ingin menang bersaing, PR kita masih banyak. Dalam tataran makro, penguatan koordinasi kebijakan antara pusat dan daerah, percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan akses masyarakat terhadap sumber pembiayaan formal, serta penyempurnaan tata kelola birokrasi merupakan sebagian PR tersebut. Hasil laporan World Economic Forum (WEF) September 2012 lalu menunjukan indeks daya saing Indonesia melorot 4 peringkat ke posisi 50 dari 144 negara di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di tataran mikro, hasil studi Bank Indonesia menunjukkan daya saing sektor-sektor ekonomi kita yang juga masih di bawah ketiga negara jiran. Tanpa daya saing yang kuat, Indonesia terancam hanya menjadi konsumen dan pasar. Jika memang demikian, mampukah Sang Merah Putih berkibar dalam pertempuran MEA? Jawabnya: Ya! Indonesia punya potensi menjadi regional champion dalam MEA. Bagaimana tidak, ekonomi Indonesia tetap tumbuh solid di tengah gempuran krisis global. Keteguhan pemerintah dan otoritas melakukan reformasi struktural dalam satu dekade terakhir telah membuahkan neraca sektor keuangan yang jauh lebih sehat, fiskal yang kuat, dan stabilitas moneter dan keuangan yang terjaga. Proporsi penduduk usia produktif dan kelas menengah kita yang besar dapat memperkuat skala ekonomi untuk modal meningkatkan efisiensi usaha. Kita juga tidak miskin cerita kerja keras dan keberhasilan produsen. Ambil contoh Garuda Indonesia. Di tengah rencana program ASEAN open sky, flag carrier Indonesia itu konsisten melakukan revitalisasi armada yang diikuti perbaikan layanan sehingga dinobatkan sebagai the best regional airline versi Skytrax. Konsekuensi MEA dan persiapan yang dibutuhkan jelas merupakan hal yang kompleks. Hal itu menuntut kontribusi dan kolaborasi apik antarpemangku kepentingan nasional untuk menghadapinya. Otoritas bersamasama pelaku usaha harus bahu-membahu dan mengesampingkan ego sektoral guna membuat ekonomi dan produsen kita berdaya saing dalam MEA. Itu perlu didukung oleh semangat nasionalisme konsumen kita untuk lebih mencintai produk dan jasa yang dihasilkan oleh anak bangsa. Tanpa itu semua bisa-bisa pupus harapan meraih peluang terbuka di MEA. Kita terancam hanya jadi penonton dalam keriuhan MEA. Ini tidak baik bagi kewibawaan ekonomi dan bangsa Indonesia. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | agustus 2012 | Edisi 29
4
EDUKASI
Agar Perekonomian Bertumbuh,
Cintailah Produk In-do-ne-sia! S
ebuah iklan rumah sakit negeri tetangga menawarkan paket medical check-up plusplus dengan harga terjangkau di sebuah koran lokal beberapa waktu lalu. Paket plusplus itu berisi tawaran plesiran ke obyekobyek wisata eksotik dan wisata kuliner. Iklan seperti ini belakangan menjadi sering, seperti pepatah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, sambil periksa kesehatan, pleasure pun didapat. Rupanya paket kesehatan plus wisata ini laris manis dibeli orang Indonesia yang berkantong tebal. Suatu saat, bukan tidak mungkin rumah sakit-rumah sakit papan atas di negeri tetangga itu akan membuka perwakilan di dalam negeri. Gejala awalnya bisa dilihat dengan mulai semakin banyaknya dokterdokter asing yang menjadi tenaga konsultan di sejumlah rumah sakit di pinggiran kota Jakarta. Kehadiran tenaga medis asing itu diperkirakan akan semakin membludak ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan pada 2015. Setidaknya ada 12 sektor yang dibebaskan dari hambatan tarif dan nontarif, salah satunya tenaga kerja terampil (skilled labour) termasuk tenaga medis. Kesepakatan MEA ini mesti disikapi kritis oleh rumahtangga masyarakat Indonesia. Mereka yang termasuk dalam unsur rumahtangga di sini adalah individu selaku kelompok pekerja, individu konsumen, dan individu produsen dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Contoh di atas memperlihatkan betapa pasca kesepakatan MEA, pergerakan tenaga kerja terampil di ASEAN akan semakin tinggi. Menyongsong diberlakukannya MEA, sedang digodok penyusunan Mutual Recognition Arrangements (MRA) serta kompetensi utama untuk pekerjaan yang memerlukan keahlian di sektor jasa dengan prioritas pariwisata, kesehatan, penerbangan, dan e-ASEAN. Menyongsong MEA, masyarakat rumahtangga Indonesia khususnya individu tenaga kerja perlu berkaca diri, siapkah bertarung dengan pekerja negeri tetangga memasuki MEA yang sudah di depan mata. Ketika Research in Motion (RIM) memutuskan membangun pabrik di Malaysia dan bukan di Indonesia, beberapa waktu silam, cukup menjadi pelajaran mahal. Alasan produsen telepon cerdas merek Blackberry asal Edisi 29 | agusutus 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Kanada itu, karena di Malaysia lebih tersedia pasok tenaga kerja terampil ketimbang di Indonesia. Padahal, Indonesia menyerap sekitar 4 juta produk Blackberry dalam setahun. Hasil penelitian Bank Indonesia terhadap profil ketenagakerjaan di dalam negeri memperlihatkan, bahwa meski Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja yang besar (67% dari 237 juta penduduk) tapi tingkat produktivitasnya masih rendah. Minimnya produktivitas ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, keahlian, dan ketrampilan kerja. Tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia lebih rendah dari Singapura dan Malaysia. Posisi tenaga kerja Indonesia setara dengan Filipina dan Vietnam. Sementara itu, bagi masyarakat rumahtangga konsumen Indonesia dengan diberlakukannya MEA akan tersedia beragam
pilihan jasa dan produk asal negeri tetangga. Dalam teori ekonomi, beragamnya pilihan akan membuat hidup masyarakat konsumen lebih sejahtera. Karena masyarakat punya alternatif dalam memilih jasa dan produk yang diperlukan sesuai kebutuhan dan kemampuan koceknya. Tapi, terbayang, seandainya kelompok masyarakat kelas menengah Indonesia yang jumlah 45 juta dengan kemampuan daya belinya lebih condong memilih layanan jasa dan produk negeri tetangga, apa dampaknya bagi perekonomian dalam negeri? Kalau sampai itu terjadi, maka industri-industri dalam skala UMKM atau besar berpotensi akan berguguran. Itu artinya, tidak ada investasi di industri yang menyerap tenaga kerja yang nantinya bisa membentuk kelompok masyarakat dengan kemampuan daya beli. Muara dari ketiadaan investasi
dan daya beli masyarakat akan memukul laju pertumbuhan ekonomi serta menurunkan tingkat kesejahteraan. Masyarakat konsumen Indonesia memang perlu digelorakan semangatnya untuk mencintai produk dalam negeri. Pemerintah pun sudah melayangkan kampanye bertema “Aku Cinta Produk Indonesia” beberapa waktu silam. Tampaknya, dalam hal nasionalisme mencintai produk dalam negeri, masyarakat Indonesia perlu belajar dari rakyat Korea Selatan. Bagi Anda yang pernah berkunjung ke Negeri Gingseng itu, terlihat jalan raya di kota-kota besar di sana lebih dominan berseliweran kendaraan buatan dalam negeri. Rakyat Korea menyadari dengan memakai produk sendiri akan memberi manfaat bagi perekonomian dalam negeri yang pada akhirnya menyejahterakan mereka juga. Kehadiran MEA juga akan berdampak terhadap rumahtangga selaku produsen berskala UMKM. Kementerian Koperasi dan UMKM mencatat setidaknya ada 55,2 juta unit usaha UMKM pada 2011. Problem utama UMKM adalah permodalan dan akses ke perbankan, lemahnya manajemen usaha, serta produktivitas pekerja. Dalam kondisi seperti itu, saat ini produk UMKM harus berhadapan dengan banjir produk murah asal Cina, dan produk negeri tetangga pasca diberlakukan MEA. Syukurlah menjelang MEA, ada perhatian besar untuk memperkuat UMKM melalui “Asean Economic Commnunity Policy Blueprint for SME Development”. Kebijakan ini menyasar lima program yakni pengembangan wirausaha, pemasaran, akses keuangan, akses teknologi dan kebijakan yang kondusif. Jadi, kehadiran MEA bagi masyarakat rumahtangga di Indonesia, di satu sisi semakin menyejahterakan dengan beragam pilihan jasa dan produk, tapi pada sisi lain berpotensi melibas tenaga kerja yang tak memiliki keahlian serta produk UMKM yang tak memiliki daya saing. Berbenah, itu langkah bijak. Lebih dari itu, kecintaan akan produk dalam negeri bisa menjadi faktor penyelamat eksistensi industri nasional yang memperkerjakan tenaga kerja lokal. Muaranya, perekonomian pun terus bertumbuh. Nah, seperti kata sebuah iklan produk dalam negeri: “Cintailah ProdukProduk In-do-ne-sia”!
EDUKASI
5
Kalau Mau Menang Bersaing
Ya … Harus Punya Daya Saing T
erbetik berita ada sebuah perusahaan penerbangan nasional melakukan ekspansi ke negeri tetangga Malaysia. Adalah PT Lion Mentari Airlines—operator maskapai Lion Air mengandeng National Aerospace and Defense Industries, Malaysia sepakat membentuk aliansi maskapai baru Malindo Airways. Maskapai baru dengan 12 armada yang bermarkas di Malaysia ini akan terbang perdana pada Mei 2013. Berita ini seperti oase yang menyejukkan ditengah sepinya perusahaan nasional berekspansi ke manca negara. Sebelum ini, kita lebih sering mendengar berita ekspansi penerbangan asing ke sini. Misalnya, maskapai Air Asia Malaysia yang membangun kantor pusat di Jakarta. Begitu pula ketika Air Asia mengambilalih pengelolaan maskapai Batavia Air. Ekspansi maskapai lokal dan asing itu sebagai langkah antisipasi akan dimulainya Open Sky Policy (OSP) pasca diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. OSP merupakan kebijakan yang membuka langit negara-negara anggota ASEAN untuk diterbangi secara terbuka oleh maskapaimaskapai negara-negara di kawasan itu. Persaingan satu lawan satu (head-to-head) maskapai nasional dengan maskapai asing akan terjadi. Predikat sebagai Best Regional Airliner yang diterima PT Garuda Indonesia (Persero) dari Skytrax seperti menjadi modal bagus untuk bertarung di pasar dalam dan luar negeri. Untuk itulah, kesiapan daya saing maskapai nasional dan tentu juga industri di sektor usaha lainnya menjadi isu krusial menyongsong MEA. Hasil kajian Bank Indonesia terkait daya saing di sektor mikro khususnya pasar barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan modal memperlihatkan posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Hasil kajian ini seperti satu nafas dengan laporan Majalah Forbes yang menempatkan 7 (tujuh) perusahaan Indonesia berskala multinasional yang daya saingnya berada dibawah perusahaan ketiga negara tersebut. Dilala, kok ya daya saing Indonesia secara makro pun, merujuk laporan Global Competitiveness Report edisi 2012-2013, berada dibawah ketiga negara tetangga tadi (di posisi 50 dari 144 negara).
Dengan paparan tersebut, apakah itu berarti industri nasional akan kurang memiliki daya saing menghadapi sesamanya dari negeri tetangga? Nanti dulu. Kita masih punya modal besar untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan bersaing. Modal itu berupa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap tumbuh solid di tengah gempuran krisis global. Jumlah penduduk yang besar dengan usia produktif dan kelas menengah yang gede pula. Laporan McKinsey Global Institute, September 2012, menyebut Indonesia punya 45 juta kelas menengah (consuming class) dengan 55 juta tenaga kerja terampil. Skala ekonomi Indonesia yang besar inilah yang semestinya dipakai sebagai basis untuk meningkatkan efisiensi usaha agar mampu bertarung dengan produsen negeri tetangga. Industri nasional yang mampu bersaing akan membawa dampak positif yang luas
terhadap perekonomian nasional. Dampak positif itu berupa penyerapan tenaga kerja, mengikis pengangguran, laba perusahaan akan menambah konsumsi dan investasi, serta pendapatan ekspor akan naik ketika produsen membidik potensi pasar regional ASEAN dengan 588 juta jiwa serta produk domestik bruto (PDB) US$2,1 miliar. Muara dari semua itu akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi yang membuat perekonomian terus bergerak. Kemampuan daya saing produsen nasional pada akhirnya juga akan akan meningkatkan prestise kepemimpinan Indonesia di ASEAN dan Asia Pasifik. Sekarang ini, selagi masih ada waktu menjelang diberlakukannya MEA, industri di dalam negeri perlu segera berbenah. Persoalan yang masih membelit di internal industri perlu segera diurai melalui upaya
perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan inovasi teknologi (technovation). Problem itu seperti kapasitas produksi yang belum optimal dan ketergantungan pada barang modal impor karena hanya berperan selaku pemasok bahan baku dan bahan penolong. Selain itu, produksi barang setengah jadi dan komponen, serta populasi industri berteknologi tinggi jumlahnya masih terbatas. Sementara itu, dari sisi eksternal, sektor industri di dalam negeri juga masih menghadapi masalah klasik seperti lemahnya jaringan infrastruktur (jalan raya, pelabuhan, kereta api, pasokan energy dan lainnya). Di luar itu, masih ada masalah perburuhan, kepastian hukum dan tingginya tingkat bunga bank. Diperlukan koordinasi kebijakan antar sektor untuk mencari jalan keluar guna mempersiapkan industri nasional memiliki daya saing. Indonesia perlu menyusun dan memiliki strategi besar guna menyambut MEA. Strategi inilah yang nantinya menjadi bahan rujukan melakukan langkah aksi menghadapi MEA bagi segenap pemangku kepentingan di republik ini termasuk sektor industri nasional. Salah satu strategi yang bisa dipertimbangkan, yakni memilih salah satu dari 12 sektor prioritas MEA untuk dijadikan champion. Sektor pariwisata, misalnya, bisa diusung menjadi champion karena punya keunikan dan keberagaman budaya serta panorama alam. Agar sektor pariwisata memiliki daya saing perlu disokong dengan perbaikan dibidang transportasi, infrastruktur, SDM pariwisata yang handal, ketersediaan jasa keuangan di lokasi tujuan wisata dan lainnya. Manakala ada cerita sukses sektor champion dapat memberi hallo effect positif pada sektor lain dan menambah kepercayaan diri dalam menghadapi MEA. Jadi, MEA selain membuka peluang pasar regional yang besar juga menyertakan tantangan bagi industri nasional untuk berbenah diri, khususnya dalam hal daya saing. Inilah moment of truth mengubah semua wacana menjadi kerja nyata agar industri nasional memiliki daya saing untuk bertarung dengan sesama industri dari negeri tetangga. Nah, ketika hal itu terwujud, perekonomian nasional pun akan terus menggeliat dan bergerak maju. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | agustus 2012 | Edisi 29
6
LIPUTAN
Rocking Indonesia di Tokyo Junanto Herdiawan, Analis Ekonomi Senior Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tokyo
K
ebanggaan dan rasa nasionalisme sebagai bangsa, kerap lebih dirasakan bila kita sedang berada di luar negeri. Saat tinggal di Indonesia, saya kadang merasa bahwa Indonesia adalah negeri yang ruwet dan penuh masalah. Tapi di lain sisi, saya melihat bahwa di balik berbagai masalah itu, negeri kita menyimpan banyak potensi. Dan potensi itu tidak akan teraktualisasi kalau kita hanya mengeluh dan protes. Saya percaya pada pepatah yang mengatakan, “don’t curse the darkness, light a candle”. Ketimbang mengutuk kegelapan, mari kita nyalakan lilin. Di Jepang, upaya menyalakan lilin-lilin kecil dilakukan oleh banyak orang Indonesia. Saya banyak kagum dengan kerja keras para pekerja Indonesia, perawat Indonesia, ataupun pengusaha Indonesia di negeri sakura. Mereka bekerja untuk membawa nama baik Indonesia tanpa peduli ruwetnya masalah yang sedang kita hadapi. Di tataran birokrasi, forum koordinasi antar lembaga di Jepang juga menarik dicermati. Pekan lalu (31/8), saya hadir di sebuah seminar tentang Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Imperial Tokyo. Seminar itu dibuka oleh Dubes RI untuk Jepang, Muhammad Lutfi, dan mengundang pembicara tunggal, Dr. Perry Warjiyo, Direktur Eksekutif dari Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Jakarta. Dalam pembukaannya, Dubes RI mengatakan bahwa Indonesia saat ini adalah “Land of Opportunity”, negeri berjuta kesempatan. Di tengah krisis global yang belum menunjukkan tanda penyelesaian, Indonesia menjadi alternatif pilihan terbaik investasi di dunia. “Indonesia is Rocking now!” ujar Muhammad Lutfi yang
Edisi 29 | agusutus 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
membawakan makalah bertajuk “Indonesia Economic Development: Prospect and Challenges”. Sepanjang pengalaman saya tinggal di Jepang, kalau ada acara mengundang investor, jarang sekali banyak yang hadir. Rata-rata acara investasi di Jepang dihadiri paling banyak 50 orang. Umumnya kehadiran mereka hanya sekitar 15-20 orang. Orang Jepang punya kebiasaan tidak mau menyianyiakan waktunya untuk sesuatu yang tidak penting menurut mereka. Jadi, mereka sangat selektif untuk datang ke satu acara atau seminar. Tapi, di Hotel Imperial kemarin, investor yang hadir mencapai 100 orang. Jumlah yang sangat besar dan bisa jadi indikator meningkatnya animo investor Jepang terhadap Indonesia. Investor yang hadir pada seminar tersebut adalah investor potensial, yang bukan hanya berasal dari portfolio tapi juga sektor riil yang ingin dan terus melakukan penanaman modal langsung. Seminar tersebut terselenggara atas kerjasama Deutsche Group Japan dan Kantor Perwakilan BI Tokyo. Saya bertemu dengan eksekutif dari Mitsubishi yang ingin meningkatkan investasinya di Indonesia. Saya berbincang dengan analis dari Itochu yang melihat Indonesia sebagai tujuan investasi “terbaik” saat ini. Beberapa bank besar Jepang juga menyampaikan perubahan strateginya yang saat ini lebih ke Asia, khususnya Indonesia, dan mengambil alih peran bank-bank Eropa atau Amerika. Pemaparan Dr. Perry Warjiyo sungguh menarik.Ia memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi makroekonomi, perbankan, dan kebijakan moneter serta berbagai peluangnya di masa depan. Dari penjelasan itu, hampir seluruh investor mengatakan keyakinannya bahwa investasi Jepang di Indonesia akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Para investor yang hadir mengatakan bahwa penjelasan dari Bank Indonesia tersebut sangat membantu dalam meningkatkan pemahaman tentang ekonomi Indonesia. Seorang investor Jepang, sambil terus kagum, berkata pada saya, ”Kalau melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini, saya teringat Jepang di tahun 1970-an. Menyimpan banyak harapan!”.
Apa yang dikatakan benar adanya. Selain pertumbuhan ekonomi, kestabilan makroekonomi, demokrasi, Indonesia menyimpan keunggulan demografi. Artinya, populasi usia produktif kita (15-64 tahun) berjumlah 75% dari pendapatan bersih nasional. Keunggulan demografi ini penting bagi pasar tenaga kerja dan konsumsi. Menariknya, hal ini akan terus berlangsung di Indonesia setidaknya selama 20 hingga 40 tahun ke depan! Tak heran para investor yang hadir menyatakan Indonesia termasuk dalam Negara prioritas investasi. Berkebalikan dengan Indonesia, negara Jepang saat ini sedang dirundung banyak masalah berat, mulai dari deflasi, defisit fiskal yang besar, hingga apresiasi Yen yang sulit ditangani lagi. Di sisi demografi, Jepang juga berada pada fase aging society, atau negara yang penduduknya didominasi oleh orang tua. Akibatnya usia produktif di Jepang menyusut pesat, yang berpengaruh pada tingkat produksi dan konsumsinya. Dari fakta di atas, saya melihat bahwa Indonesia adalah masa depan.Semoga kita bisa mengerjakan peran masing-masing untuk membangun Indonesia. Sekecil apapun, Insya Allah bermanfaat. Saya yakin, Indonesia bisa lebih baik lagi ke depan.
RUANG BACA
Meraih Bonus Demografi
Ala Keluarga Broto Rizana Noor, Analis Senior Divisi Relasi Internal dan Publikasi Departemen Perencanaan Strategis dan Humas
P
ak Broto kini sudah bisa bernafas lega, karena di usia menjelang pensiun kelima anaknya sudah menuntaskan kuliah di perguruan tinggi dan semua sudah bekerja. Tidak sia-sia rasanya kerja membantingtulang untuk menghidupi keluarga dan membesarkan anak-anaknya. Pak Broto sekarang bisa banyak menabung, karena tidak lagi perlu membiayai anak-anaknya. Bu Broto yang cerdas bahkan mulai menginvestasikan tabungan itu untuk membangun rumah besar yang sudah ditinggal anak-anaknya menjadi tempat kos-kosan. Keluarga Broto adalah tipikal bentuk rumah tangga Indonesia yang punya banyak anak. Memang, tidak semua keluarga mengalami kisah sukses ‘banyak anak banyak rejeki’ seperti itu. Pak Didi juga punya lima orang anak, tapi kehidupannya tidak segemilang keluarga Broto. Pak Didi yang miskin hanya mampu menyekolahkan anakanaknya sampai lulus SD saja. Karena itu, setelah menginjak usia dewasa sulit mencari kerja, bahkan masih ada yang menganggur. Diusianya yang sudah mendekati pensiun, pak Didi masih harus menanggung beban untuk menghidupi keluarganya. Sebuah bentuk keluarga yang kompleks dan juga tipikal keluarga di Indonesia dengan banyak anak. Dalam bahasa ekonomi-statistik, keluarga Broto saat ini sedang menikmati bonus demografi (demographic dividend) karena mampu memanfaatkan jendela peluang (window of opportunity) yang disebabkan oleh transisi per ubahan struktur umur populasi dalam rumah tangganya. Rasio ketergantungan (dependency ratio) keluarga Broto, yaitu perbandingan antara populasi tidak produktif (0 sampai 14 tahun dan diatas 65 tahun) dengan populasi produktif (usia 15 sampai 64 tahun) adalah nol. Karena tidak ada yang harus ditanggung, semua anggota keluarga bisa memanfaatkan
penghasilannya untuk kesejahteraan. Rata-rata pendapatan keluarga Broto menjadi sangat tinggi, mampu menkonsumsi barang dan jasa dalam jumlah besar, dan bahkan mampu menyisihkan sebagian pendapatan untuk ditabung. Sebaliknya dengan keluarga Didi, meskipun memiliki struktur keluarga yang sama, tapi tidak bisa memanfaatkan peluang dan menikmati bonus demografi. Dalam skala yang lebih besar, rumah tangga negara, juga terdapat banyak contoh negara yang mengalami kemajuan karena mampu memanfaatkan jendela peluang dan karenanya bisa menikmati bonus demografi. Sebuah penelitian menujukkan bahwa negara-negara di Asia dan Amerika Latin bisa mendapatkan manfaat bonus demografi dengan berkurangnya tingkat kemiskinan 16% sampai 19% diantara tahun 1960-2000. Tapi, sangat kontradiktif karena banyak negara-negara di Afrika tidak mengalaminya, meskipun memiliki transisi perubahan struktur kependudukan yang sama. Keajaiban pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia seperti di Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hong Kong sebagian karena faktor bonus demografi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 30% pertumbuhan GDP Cina sekarang ini merupakan kontribusi faktor bonus demografi. Sumber utama pembiayaan pembangunan berasal dari tabungan keluargakeluarga produktif. Meskipun periode bonus demografi bisa dirasakan manfaatnya sampai tiga atau empat puluh tahun kemudian, namun tentu saja tidak akan berlangsung selamanya. Dengan berubahnya struktur kependudukan, yaitu makin meningkatnya rasio dependensi, maka berangsur-angsur manfaatnya akan memudar. Akibatnya pola konsumsi bisa berubah, tingkat tabungan menurun, dan sumber pembiayaan investasi pun berkurang, sehingga pada gilirannya pertumbuhan ekonomi melambat. Jepang adalah contoh negara yang paling merasakan dampak negatif perubahan struktur umur penduduk. Periode bonus demografi telah lama berlalu, yaitu antara tahun 70an dan 80an, rasio dependensi terendah telah dicapai pada tahun 1995. Saat ini struktur penduduk lebih didominasi oleh manula, sehingga jepang dijuluki sebagai “an old aging country”. Kondisi Jepang juga dialami negara-negara Eropa, seperti Italia, Jerman, Swiss, dll. Kondisi itu dalam waktu
7
dekat juga akan terjadi di Korea Selatan, Cina, Taiwan, Singapura dan Australia, meski dengan kecepatan yang berbeda. Angkatan kerja produktif di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi Cina dan Hong Kong diperkirakan akan mulai mengalami kontraksi (pengurangan) sejak 2017, Taiwan dan Korea Selatan di 2016, Singapura di 2018, Vietnam dan Thailand di 2020. Seorang penulis menyebutkan bahwa Asia tengah memasuki periode “the end of demographic dividend”. Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya ada pengecualian. Disaat negara maju di kawasan memasuki periode akhir bonus demografi, Indonesia yang menurut sensus 2010 memiliki 238 juta penduduk, justru tengah berjalan memasuki periode window of opportunity yang diperkirakan akan terjadi diantara tahun 2020 sampai 2030. Puncaknya bisa terjadi di 2025 saat rasio dependensi hanya berada di angka 40, atau 100 pekerja umur produktif menanggung 40 orang umur tidak produktif. Bandingkan dengan 1971 dimana rasio berada pada angka 86 dan 2010 di angka 51. Sebuah periode peluang untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang langka. Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia terpacu oleh sektor konsumsi. Tentu saja bonus demografi tidak akan datang dengan sendirinya. Harus ada upaya bersungguh untuk melahirkan petarungpetarung bisnis dengan kualitas tinggi untuk memanfaatkan peluang. Negara-negara yang sudah melewati periode bonus demografi akan berupaya mempertahankan momentum pertumbuhan dengan meningkatkan produk tifitas sumber daya manusia serta efisiensi industrinya. Mereka akan melakukan ekspansi dengan ekspor surplus produksi, investasi dan meraih pangsa pasar konsumsi di negara seperti Indonesia melalui mekanisme pasar bebas. Karena itu, upaya meraih bonus demografi juga harus dilaksanakan pada sisi demand. Yaitu pendirian usaha yang kompetitif untuk menampung jutaan penduduk pekerja usia produktif, termasuk untuk pekerja wanita. Dengan potensi pasar yang luar biasa besarnya, maka saat ini adalah momentum untuk membangun industri sekelas Sogo sosha di Jepang atau Chaebol di Korea Selatan. Upaya melahirkan sumber daya manusia untuk memanfaatkan peluang tidak akan berarti jika kemudian hasilnya tidak tersalurkan kedalam unit-unit produksi. Memang, sebuah kerja besar yang seyogyanya dilakukan secara gotong royong. Namun pada skala mikro, model keluarga Broto untuk meraih bonus demografi bisa menjadi contoh. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | agustus 2012 | Edisi 29
8
REHAT Cintailah Produk In-do-ne-sia
Di sebuah pertokoan elektronik. Wih... Banyak barang elektronik asing!
Mana produk lokalnya?
Produk lokal, bagus atau nggak?
Makanya... Kita mulai dengan memakai produk lokal... Agar manfaatnya dinikmati kita juga...
Kan ada SNI!
Produsen kita juga bergantung kepada komponen dan barang modal impor sih...
Emangnya kenapa kalau aku pakai produk impor?
Iya, kalau kita mandiri, khan siap hadapi MEA.
Tidak membuka lapangan pekerjaan. Negara tidak ada pemasukan. Ekonomi tidak tumbuh.
Kalau begitu... Cintailah Produk In-do-ne-sia...
Wah, bagaimana donk kesiapan produk lokal menyongsong pasar bebas ASEAN?
Menunggu Panggilan Menulis Lambat
Komandan: “Hei, dalam keadaan genting seperti ini kamu malah menulis surat! Ayo cepat, musuh sudah di depan mata!” Prajurit: “Tunggu sebentar, Pak. Ini mungkin akan menjadi surat terakhir saya untuk istri saya di kampung.” Komandan: “Kenapa menulismu lama sekali?” Prajurit: “Istri saya tidak lancar membaca, Pak. Kalau saya menulisnya cepat-cepat, kasihan dia, bisa ketinggalan membacanya.” Komandan: $&@%$@%*&*@!
Naik Gaji
Seorang karyawan menghadap ke bosnya. Ia berkata dengan serius, “Bapak sebaiknya menaikkan gaji saya, sekarang juga.” “Apa alasannya?” tanya sang bos dengan sinis tanpa menoleh sedikit pun “Perlu Bapak ketahui, sekarang ini sudah ada lima perusahaan besar dan bonafid yang sedang mengejar-ngejar saya.” Kali ini sang bos menoleh. Dengan penasaran dan cemas ia bertanya, “Oh, ya? Perusahaan apa saja itu?” Karyawan: “Citibank, PAM, PLN, TELKOM, dan terakhir BTN.” Bos: “Guuuubrakkkkk....%^&(*^%^$%. Edisi 29 | Agustus agusutus2012 2012||Tahun Tahun33||Newsletter NewsletterBank BankIndonesia Indonesia
Tukiman yang asli Madura, sedang berlibur ke Jakarta. Dia ingin keliling Jakarta dengan naik Metromini. Ia pun duduk dengan sebisa mungkin menyesuaikan diri agar tidak Nampak sebagai orang asing yang baru tahu Jakarta. Diam-diam mengamati segala apapun yang terjadi. Termasuk tingkah laku kernet dan penumpang-penumpang bus tersebut. Saat si kernet menyodorkan tangannya ke penumpang sebelahnya sambil menggemerincingkan beberapa uang logam di tangannya. Tanpa berucap kernet itu langsung diberi uang oleh si penumpang Rp3.000. Lalu ketika si kernet itu melakukan hal yang sama kepada Tukiman, maka Tukiman pun ikut memberikan uang Rp3.000,- juga. Tak lama kemudian si kernet bilang “dirman..dirman..dirman..” (tanda dia memberitahu bahwa bus telah sampai di Jl.Sudirman) Lalu seorang penumpang laki-laki bilang “kiri..!” Dan turunlah penumpang tersebut. Selang berapa lama kernet bilang “kartini...kartini…kartini…” Seorang cewek muda bilang “kiri…!” lalu cewek tersebut pun turun. Berapa lama kernet itu bilang lagi “wahidin..wahidin..wahidin..” Adalagi cowok yang bilang “kiri…!” Tinggallah seorang diri Tukiman di dalam bus sebagai penumpang, yang dalam hatinya ngedumel dan lama2 jengkel juga dia. Lalu dicoleklah si kernet, sambil dengan logat kental Maduranya dan dengan nada marah Tukiman bilang “Korang ajar sampiyan.. Dari tadi rang-orang sampiyan panggil.. Lhaa nama saya ndak sampiyan panggil-panggil...! Kalo begini caranya.. kapan saya toron…?!” Untung si kernet tanggap dan tanya “Siapa nama Bapak?” Setelah diberitahu si kernet pun bilang “Tukiman.. Tukiman…Tukiman…” Tukiman pun lega dan berkata “naaaahhh.. Begitu donggggg… Kirri…!” Maka turunlah Tukiman di jalan tol….
PERISTIWA
9
Ngelmu
di Perpustakaan ”Mayangkara” Surabaya
“
Sebuah kota tanpa perpustakaan, bagaikan sebuah kamar tanpa jendela,jendela ilmu pengetahuan yang mempertemukan cita cita pendiri negara dan semangat membangun setiap generasi,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ardhayadi Mitroadmodjo saat meresmikan Perpustakaan Mayangkara, perpustakaan BI di Surabaya (15/7). Peresmian
perpustakaan ditandai oleh penandatanganan prasasti oleh Ardhayadi dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf didampingi oleh Pemimpin Kantor Perwakilan Bank Indonesia wilayah IV, Mohamad Ishak. Peresmian juga ditandai dengan pengguntingan pita oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Perpustakaan yang berdiri di gedung seluas 918 m2 ini didesain untuk menjadi perpustakaan yang akrab dan menyenangkan. Terdapat berbagai sarana penunjang seperti akses perpustakaan digital (cyberlibrary) yang didukung sarana 20 unit komputer, free wi-fi, area membaca yang nyaman, sarana perpustakaan anak-anak (kidslibrary), ruangan audio visual, serta kafe (café book) yang dapat menjadi tempat berkumpul bagi pelajar dan mahasiswa. Dengan berbagai prasarana dan prasarana tersebut,
Inisiasi “Green Entrepreneurship”
di Sulawesi Selatan
D
itengah tantangan dan kendala, sangat terbatasnya lapangan kerja yang tersedia, diperlukan upaya dari Pemerintah dengan dukungan semua pihak untuk mendorong generasi muda menjadi wirausaha handal dan menjadi generasi yang menciptakan pekerjaan (job creator) bukan mencari pekerjaan (job seeker).
Sejalan dengan itu KPwBI Wilayah I Sulampua juga berkomitmen mendorong penciptaan wirausaha bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, International Labour Organization dan BMPD Sulawesi Selatan. Pada hari Selasa, 17 Juli 2012, KPwBI Wilayah I Sulampua menyelenggarakan seminar kewira usahaan dengan tema “Green Entrepreneurship: Recycle, Reuse, Reduce”, yang merupakan tahap awal dari program penciptaan wirausaha baru yang mencakup pelatihan, pemberian bantuan modal dan pendampingan yang berkelanjutan. Kegiatan penciptaan wirausaha baru ini cukup marak dilakukan oleh berbagai lembaga baik pemerintah maupun swasta namun tampaknya penciptaan wirausaha
kesan serius yang umumnya dimiliki perpustakaan diharapkan menjadi lebih santai dan nyaman sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk berkunjung. Sarana fisik yang memadai ini juga didukung oleh kelengkapan buku, jurnal – jurnal ekonomi serta referensi yang cukup beragam. Secara keseluruhan terdapat kurang lebih 17 ribu buku yang sebagian besar diantaranya berkaitan dengan topik ekonomi, moneter dan perbankan. Kalangan akademisi juga dapat mengakses jurnal-jurnal ekonomi moneter dan perbankan seperti JSTOR, UCB, ProQuest, Emerald, SpringerLink, NBER dan masih banyak yang lainnya. Hal ini kami yakini bisa bermanfaat dan menjadikan seseorang yang tertarik dengan disiplin ilmu ekonomi, moneter dan perbankan hingga menyelesaikan jenjang pendidikan S-3 (Doktor). yang berorientasi kelestarian lingkungan ramah baru KPw BI Wilayah I yang memulainya karena diyakini akan menjadi tuntutan dimasa mendatang berkaitan dengan semakin meningkatnya kesadaran konsumen terhadap produk ramah lingkungan namun ketersediaannya relatif terbatas. Seminar yang dibuka langsung, Kepala KPw BI Wilayah I, Mahmud dihadiri pula oleh para undangan dari perbankan, SKPD terkait, akademisi serta 250 calon wirausaha, menghadirkan nara sumber utama, Andrew Nugraha, yang berfungsi sebagai motivator untuk menumbuhkan semangat dan ide kreatif para calon wirausaha supaya selalu siap dan berani menghadapi tantangan kedepan. Berbagai topik terkait Go Green Entrepreneurship dipaparkan. Di akhir acara panitia memberikan penjelasan teknis kepada peserta yang berminat untuk mengikuti tahapan dan prosedur rekrutmen peserta program wirausaha baru yang ramah lingkungan. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | Agustus agustus 2012 | Edisi 29
10
PERISTIWA
Pertumbuhan Ekonomi Sulut Oke,
Kesejahteraan Yang Belum Merata P
ertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan bertengger diangka 9,24% (year-onyear/yoy). Angka pertumbuhan yang lebih tinggi dari ekonomi nasional ini belumlah menyentuh sisi pemerataan kesejahteraan masyarakat di sana. Hal ini tercermin dari PDRB/kapita Provinsi Sulut yang masih lebih rendah dibandingkan dengan PDB/ kapita nasional. Indeks Gini Ratio Provinsi Sulawesi Utara periode 2008 s/d 2010 menunjukkan tren peningkatan hingga tercatat sebesar 0,37 pada tahun 2010. Kondisi ini mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sulut belum diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan dan transformasi struktur ekonomi masih belum diikuti dengan optimalnya kesiapan sumber daya lokal. Pemetaan sektor dan komoditas unggulan di Sulut,
penciptaan linkage antar sektor untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan, pengoptimalan penggunaan local content dan
peningkatan peran intermediasi perbankan merupakan upaya yang dapat ditempuh untuk meminimalisir ketimpangan distribusi
pendapatan demi mencapai pembangunan ekonomi inklusif. Demikian paparan yang disampaikan Suhaedi, Kepala KPwBI Propinsi Sulut dalam acara Seminar Kajian Ekonomi Regional Tw II 2012 dan Pemaparan Kondisi Daya Saing Investasi Propinsi Sulut, 8 Agustus 2012. Seminar dihadiri 100 peserta dari Kabupaten/Kota di Sulut, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), akademisi, perbankan, asosiasi, pengusaha dan pemangku kebijakan lainnya. “Sayang kinerja investasi Sulut mengalami perlambatan pada triwulan II 2012. Penciptaan iklim investasi yang kondusif merupakan prasyarat penting dalam mendorong kinerja investasi daerah,” ujar Suhaedi.
BI Tegal kembangkan
Klaster Ayam Petelur T
ahun ini, KPw BI Tegal telah menetap kan empat program klaster sebagai bentuk aplikasi tugas pengembangan sektor riil dan pengendalian inflasi. Keempat klas ter tersebut yaitu klaster bawang merah dan klaster rumput laut di Kabupaten Brebes, klaster udang vaname di Kota Pekalongan dan pengembangan klaster ayam petelur. Pemilihan klaster dimaksud dikarenakan telur ayam merupakan satu dari lima komoditas penyumbang inflasi terbesar kota Tegal dan kabupaten lainnya dalam kelompok bahan makanan. Bahkan dari inflasi tahunan (yoy) Juli 2012 yang sebesar 2,99 persen telur ayam ras turut memberi kontribusi terhadap inflasi sebesar 0,14 persen. Terkait hal itu, pada 28 Agustus 2012 bertempat di kantor Bupati Pemalang, KPw
Edisi 29 | agusutus 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
BI Tegal menginisiasi penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Kabupaten Pemalang. Penandatanganan dilakukan oleh Kepala
KPw BI Tegal, Yoni Depari dengan Bupati Pemalang, H.Junaedi. “Proses pemilihan klaster ayam petelur di Kabupaten Pemalang
dengan memperhatikan bahwa komoditas telur ayam merupakan salah satu komoditas penyumbang inflasi daerah,” ujar Yoni Depari. Ruang lingkup Nota Kesepahaman meliputi kegiatan kerjasama penelitian, pelatihan, sosialisasi, fasilitasi, pertukaran data dan informasi serta percepatan implementasi pemanfaatan kredit/ pembiayaan dalam rangka pengembangan program klaster ayam petelur di Kabupaten Pemalang. Sementara itu kelompok yang potensial untuk dikembangan dalam klaster adalah Kelompok Tani Ternak (KTT) “Adas Manis” di Desa Banyumudal Kec.Moga, KTT “Bina Ternak” di Desa Kendalrejo Kec. Petarukan dan KTT “Ampera” Desa Klareyan Kec.Petarukan.
HUMANIORA
11
Griya Kridha Lumaksa,
Wujud Merah-Putih BI B
erceritalah Deputi Gubernur Bank Indonesia Ardhayadi Mitroatmodjo ketika meninjau lokasi areal perkantoran baru Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Solo pada 2009. Bangunan tua itu rencananya akan dirubuhkan untuk dijadikan areal parkir. “Begitu masuk ke sini, saya kaget. Lho, kok ada angka 1824, tahun ini sama dengan De Javasche Bank. Kalau yang Javasche Bank saja saya openi, apalagi ini punya nenek moyang kita. Itulah yang mendorong Merah Putih saya keluar.” Walhasil, bagunan tua itu tak jadi ratakan tanah dan tercetuslah ide melakukan konservasi. Itulah sepenggal kenangan Ardhayadi Mitroatmodjo saat meresmikan bangunan cagar budaya Griya Kridha Lumaksa pada 29 Agustus 2012. Peresmian itu disaksikan pula Walikota Solo, Jokowi dan pakar arsitektur sekaligus budayawan Prof. Ir. Eko Budihardjo. Griya Kridha Lumaksa mempunyai filosofi sebagai rumah yang
dapat digunakan untuk berkarya secara terus menerus dan berkesinambungan, dengan harapan rumah tersebut kelak dapat memberi nilai tambah dan memberi manfaat bagi Kota Solo. “Pemugaran bangunan bersejarah ini sejalan dengan komitmen BI terhadap
bangunan cagar budaya,” tandas Ardhayadi Mitroatmodjo. Kepala Perwakilan BI Solo, Putra Nusantara S. mengatakan bahwa dalam konservasi, BI berupaya mengembalikan
bangunan kebentuk semula. Misalnya, dengan mempertahankan bentuk dan meng ganti bagian-bagian bangunan yang sudah rusak agar sesuai dengan kondisi sebelumnya. Sebelumnya, rumah bersejarah tersebut milik seorang bangsawan Keraton yang bernama Raden Ngabehi Wimbo Pranoto. Griya Krida Lumaksa nantinya bisa digunakan untuk penunjang kegiatan BI dan stakeholder dalam menyalurkan aspirasi seni dan diskusi mengenai isu ekonomi, budaya dan lain-lain. Selain itu, BI juga memberikan kesempatan berbagai pihak yang ingin menggunakan bangunan tersebut untuk kegiatan positif. “Silahkan jika warga Solo ingin beraktivitas untuk memajukan kehidupan ekonomi social dan kebudayaan dengan menggunakan Griya Kridha Lumaksa”, ujar Putra Nusantara. Hingga kini, BI telah memiliki aset heritage berupa 12 gedung bergaya neo klasik eks De Javasche Bank yang rata-rata sudah berusia lebih dari 90 tahun.
Pulau Buru:
Membangun Klaster Pertanian P
ernah ke Pulau Buru? Tidak banyak orang pernah singgah di pulau yang pernah menjadi tempat pembuangan tahanan politik di era colonial Hindia Belanda seperti Bung Karno sampai ke jaman Orde Baru. Pulau ini tempat sastrawan Pramudya Ananta Toer. Letak pulau ini berada di sebelah Barat Pulau Ambon dan Pulau Seram. Pulau ini bagian dari Propinsi Maluku dan menjadi wilayah kerja Kantor Perwakilan Bank Indonesia Maluku. Pulau ini telah dimekarkan menjadi dua kabupaten yakni Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan sejak tahun 1999. Pulau yang jauh dari jangkauan mata publik ini menyimpan potensi barang tambah dan pohon kayu putih yang merupakan bahan baku minyak kayu putih. Pulau ini juga memiliki tanah yang subur untuk menjadi persawahan yang sering menjadi lumbung padi di Maluku. Untuk melihat dari dekat akan potensi Pulau Buru ini, Deputi Gubernur BI Ardhayadi Mitroadmodjo pernah menyinggahi pulau ini pada 2009. Ketika singgah di sana, ia memberi bantuan berupa
traktor tangan guna mendukung sektor pertanian di daerah tersebut. Hasil penelitian KPw BI Maluku memperlihatkan bahwa beras menjadi penyumbang yang persisten terhadap peningkatan angka inflasi di wilayah tersebut. Untuk lebih mengendalikan pergerakan inflasi yang bersumber dari gejolak harga
beras, KPw Maluku memilih kecamatan Waeapo di Pulau Buru menjadi Klaster Pengembangan Padi. Untuk menggarap klaster tersebut, KPw Maluku menggandeng
Pemkab Buru melalui rapat koordinasi pada 2 – 3 Agustus 2012. Rapat koordinasi ini juga dihadiri oleh perwakilan Bank Maluku, Bank Mandiri, dan Bank Danamon Simpan Pinjam. Rakor membahas perlunya penguatan keorganisasian dan struktur disektor pertanian mulai dari masa tanam hingga permasalahan pemasaran. Selain itu kinerja tenaga PPL dan Operasional Petugas (OP) perlu ditingkatkan serta keterlibatan berbagai instansi. Bank Mandiri dan BNI pun mengambil peran dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke sektor pertanian. Pembentukan klaster padi ini bagian dari Program Sosial Bank Indonesia (PSBI). BI juga melakukan pelatihan kepada para calon KKMB di Pulau Buru yang diharapkan dapat memfasilitasi petani untuk lebih meningkatkan akses KUR Perbankan. Calon KKMB terpilih sebanyak 21 orang berasal dari Gapoktan, Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), maupun PPL setelah terlebih dulu mengikuti seleksi. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | agustus 2012 | Edisi 29
12
HUMANIORA
HUT Ke-67 RI di Bank Indonesia:
Demi Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia P eringatan Kemerdekaan bangsa Indonesia selalu menjadi momentum yang besar buat kita, para anak bangsa. Mengenang detik-detik proklamasi bagi kita menjadi rasa bangga, haru, gembira, semua bercampur menjadi satu. Rasa ini bukan hanya terasa dulu 67 tahun yang lalu saat Bung Karno membacakan naskah proklamasi, tapi juga di jiwa anak bangsa kini.
Edisi 29 | agusutus 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Anak bangsa di Bank Indonesia juga merasakan hal yang sama. Dalam upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2012 di Lapangan Upacara Bank Indonesia Jakarta, Gubernur BI Darmin Nasution pun menuangkan rasa bangganya. “Kita bangga jadi anak bangsa negeri ini. Kita juga bangga berkarya di Bank Indonesia
demi mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,” demikian ujar Darmin. Upacara peringatan HUT ke-69 Kemerdekaan RI ini dihadiri oleh seluruh Dewan Gubernur BI, pegawai di Kantor Pusat – Jakarta, dan pensiunan, serta para undangan. Upacara bukan hanya dilakukan di Kantor Pusat BI Jakarta saja, tapi juga di seluruh Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah.