Bali 1928, vol. V Nyanyian dalam Dramatari: Jangér, Arja, Topéng dan Cepung Ansambel dari Kedaton, Abian Timbul, Sesetan, Belaluan, Kaliungu dan Lombok
❁ Edward Herbst 2015
STMIK STIKOM BALI www.bali1928.net www.arbiterrecords.org
Daftar Isi iii 1 7 9 12 15 18 20 21 22 23 26 28 30 36 38 40 44 45 47 50 51 52 54 54 56 57 61 62 63 64 67 71 74 76 77 79 83
Daftar Foto Pendahuluan Linimasa Rekaman Bali 1928 Gamelan Bali Dunia Volume V: Kebangkitan jangér, arja dan topéng Pandangan Tentang Arja Gamelan Geguntangan Belaluan Mengiringi Penyanyi Arja dan Kidung CD Trek #1 Ginada Sampik-Ingtai CD Trek #2 Dangdang Silandri CD Trek #3 Sinom Salya CD Trek #4 Kidung Jayendriya CD Trek #5 Kidung Wilet Mayura (Manukaba) Arja Geguntangan Sesetan CD Trek #6 Ginada Sampik-Ingtai CD Trek #7 Ginada Arjuna Wijaya (Suwanda) CD Trek #8 Ginada Déwabrata Beberapa Pandangan Tentang Perkembangan Jangér Perjumpaan dengan Ni Wayan Pempen (Mémén Redia) Jangér Kedaton, Denpasar dengan Pangugal ‘Penyanyi Utama’ Ni Wayan Pempen CD Trek #9 Mula Tubuh di Kaléran CD Trek #10 Ngoréng Jaja CD Trek #11 Lagu Rajapala CD Trek #12 Mula Kutuh CD Trek #13 Lagu Sang Jaya Warsa CD Trek #14 Nguyeg Kacang I CD Trek #15 Nguyeg Kacang II Sekilas Kehidupan Ni Lemon Jangér Abian Timbul yang dipimpin Ni Lemon CD Trek #16 Ganda Pura CD Trek #17 Kladi Nguda CD Trek #18 Kembang Rampé CD Trek #19 Pusuh Biu CD Trek #20 Durma Sudarsana CD Trek #21 Putih Putih Saput Anduk CD Trek #22 Tembang Semarandana: Monyèh Cepung Sasak Lombok Sekilas Kehidupan Ida Boda Trek #23 Bapang Topéng Prabu Dangdang Gendis III Trek #24 Bapang Topéng Prabu Dangdang Gendis IV Keterangan Tentang Film Tanpa Suara dalam DVD Dangdang Sasak Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan
ii
Daftar Foto 1 12 15 18 26 30 36 38 43 47 54 59 60 67 71 73 79
Piringan Hitam Beka 78 rpm berlabel Bahasa Melayu dan aksara Bali Jangér Kedaton: Ida Boda sebagai panasar, berdiri di sisi kiri; mantri ‘pangeran’ berdiri di sebelah kanannya Geguntangan arja Singapadu Arja Singapadu Arja: mantri manis dan Wijil (panasar cenikan) Jangér Kedaton di bawah pohon beringin Ni Wayan Pempen: pangugal Jangér Kedaton Jangér Kedaton: jangér dan kecak Jangér Kedaton: mantri Jangér Kedaton: Ni Gusti Putu Rengkeg (di tengah-tengah) sebagai mantri ‘pangeran’ Para penari kécak dalam jangér Stambul I Stambul II Topéng Pajegan: Penari sedang memilih topengnya Topéng Tua di Mas Topéng Keras di Mas Tim Peneliti Bali 1928 dengan ahli gandrung, I Made Sarin di Ketapian Kelod
iii
Pendahuluan Rekaman-rekaman bersejarah ini dibuat pada tahun 1928 (dan kemungkinan juga pada tahun 1929) sebagai bagian dari sebuah koleksi musik yang pertama kali dan satusatunya diluncurkan secara komersial di Bali pada masa sebelum Perang Dunia II. Diluncurkan pada tahun 1929 dalam format piringan hitam 78 rpm, cakram-cakram yang diedarkan secara internasional tersebut bermaterikan beragam pilihan gamelan dan tembang Bali baik bergaya lama maupun baru. Dijual ke seluruh penjuru dunia (atau seperti yang terjadi kemudian ternyata tidak laku untuk dijual), piringan-piringan hitam tersebut secara cepat habis dan hilang dari peredaran. Saat itu merupakan masa yang sangat penting dalam kesejarahan gamelan Bali mengingat di seantero pulau tengah terjadi revolusi artistik dengan menonjolnya kebyar sebagai gaya gamelan yang baru dan berkuasa. Sekaa-sekaa ‘kelompok’ gamelan berpacu melebur gamelan kuna mereka, untuk ditempa ulang ke dalam gaya yang baru tersebut. Persaingan yang sengit antara desa-desa berikut daerah-daerah merangsang para komponis muda untuk mengembangkan berbagai inovasi dan teknik permainan yang apik dan baru. Terkait rekaman-rekaman bersejarah ini, Andrew Toth menulis: Perwakilan dari perusahaan rekaman Odeon dan Beka dikirim pada bulan Agustus tahun 1928 untuk memperluas cakupan mereka sampai ke Bali. Lima dari 98 matriks (sisi piringan hitam) yang tersedia saat itu dipilih dan disertakan dalam sebuah antologi musik tradisi non-Barat
1
bertajuk Music of the Orient oleh peneliti termasyhur Erich M. von Hornbostel. Koleksi inilah yang mengawali ketertarikan banyak orang, masyarakat luas, dan juga kaum etnomusikolog akan musik Indonesia. Sepertiga dari hasil rekaman Odeon dan Beka akhirnya muncul di Eropa dan Amerika, namun sebagian besar sejatinya ditujukan untuk pasar lokal di Bali. Berkaitan dengan tujuan tersebut, informasi pada labellabel piringan hitam pun dicetak dalam bahasa Melayu, bahasa pengantar yang berlaku di wilayah kepulauan Nusantara, dan malahan ada yang ditulis dalam aksara Bali. Rencana ambisius untuk mengembangkan pasar lokal itu akhirnya berujung kegagalan total karena terbatasnya minat masyarakat Bali terhadap teknologi baru dan mahal tersebut, terutama karena mereka dengan mudah bisa menyaksikan secara langsung berbagai pementasan yang hadir setiap harinya secara marak di ribuan pura dan rumah-rumah di seluruh pulau. Hanya Colin McPhee yang muncul sebagai pelanggan, membeli cakramcakram 78 rpm itu sepanjang tahun dari seorang penjual yang putus asa; dan kebanyakan koleksinya masih dilestarikan dengan baik sampai hari ini, selamat dari kekecewaan dan kemarahan sang agen yang menghancurkan semua stok yang tersisa (McPhee, 1946: 72). Menariknya, semua rekaman dilakukan di bawah bimbingan Walter Spies, seorang pelukis dan musisi yang telah lama menetap di Bali. Pengetahuan intimnya akan seni dan budaya Bali tersedia begitu bebas dan kerap menguntungan penelitian atau karya pihak lain (Rhodius, 1964: 265; Kunst, 1974: 24). Walau dibatasi oleh sarana yang hanya berdurasi tiga menit, rekaman-rekaman tersebut adalah contoh menakjubkan dari kekayaan karawitan Bali, baik vokal maupun instrumental, serta generasi komponis, seniman dan sekaa ‘kelompok’ gamelan masa itu yang kini dihormati sebagai guru-guru terpandang dan sekaa-sekaa legendaris, seperti I Wayan Lotring, I Nyoman Kaler, gamelan gong Pangkung, Belaluan, dan Busungbiu. Dokumentasi suara dari berbagai warisan dan pusaka musikal Bali yang tak ternilai harganya memuat berbagai gaya nyanyian yang nyaris tak terdengar saat ini; lalu Kebyar Ding, sebuah gubahan tabuh yang secara historis sangat penting, yang kini bisa dipelajari kembali oleh generasi penabuh masa sekarang melalui rekaman-rekaman yang dahulunya dibuat oleh para ayah dan kakek mereka seperti yang termuat dalam cakram-cakram asli tersebut; dan juga berbagai rekaman para penyanyi terkenal yang bahkan disakralkan oleh para keturunannya dengan menyimpan salinan kasetnya di pura keluarga. Tidak ada lagi materi baru yang diluncurkan di Barat pada masa depresi dan peperangan yang menyusul belakangan, hanya ada penerbitan ulang dari cakram-cakram 78 rpm yang lama pada beberapa label rekaman yang berbeda dan dalam beberapa antologi.1 Semenjak catatan Andrew Toth, telah begitu banyak piringan hitam dan berbagai tautan informasi lainnya muncul ke permukaan. Penelitian kami menemukan fakta tentang 1
Toth (1980: 16-17)
2
seorang pemilik toko keturunan Cina bernama Ang Ban Siong yang terus-menerus menyediakan cakram-cakram Beka di tokonya, Toko Surabaya, yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga di Denpasar sampai tibanya masa pendudukan Jepang di tahun 1942, ketika ia akhirnya memindahkan keluarganya ke Sayan, Ubud.2 Kemudian, seorang wanita muda bernama Nancy Dean dari Rochester, New York, yang didesak oleh orang tuanya pada tahun 1936 untuk menikmati pesiar tersohor South Sea Island Cruise sebagai upaya memisahkannya dari seorang kekasih, sempat membeli beberapa keping piringan hitam dari “dua pria Jerman yang baik hati” di Bali.3 Kami sungguh beruntung, karena koleksi piringan hitam yang dibelinya tersebut (dan saat kami menemukannya di tahun 2003) masih dalam kondisi sempurna karena cakram-cakram tersebut tak pernah diputar. Pada masa tahun 1980-an dan 1990-an, Philip Yampolsky berhasil menemukan 101 matriks (sisi piringan hitam 78 rpm) di berbagai pusat arsip di Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda. Yampolsky membagi informasinya kepada direktur Arbiter of Cultural Traditions, Allan Evans dan saya, yang selanjutnya menjembatani usaha kami ke seluruh dunia untuk mengakses dan menerbitkan kembali masing-masing cakram 78 rpm yang ada. Proses mendapatkan izin dari masing-masing pusat arsip termasuk mengunjungi sebagian besar koleksinya memakan waktu delapan tahun. Sembari mencari koleksi pribadi lainnya, kami menemukan sebuah cakram Odeon yang merupakan bagian dari koleksi asli tahun 1928 - tak tercatat oleh Toth maupun Yampolsky - pada sebuah daftar lelang di daerah pedesaan Texas. Selanjutnya, kami kembali menemukan sebuah cakram yang belum dirilis, persis sebagaimana catatan Toth di rak-rak penyimpanan pusat arsip University of California, Los Angeles (UCLA). Baru-baru ini, kami berhasil menemukan empat sisi piringan hitam lainnya di Bali. Temuan terakhir ini melengkapi jumlah koleksi kami menjadi 111 sisi piringan hitam yang masing-masing berdurasi tiga menit, dan semuanya direncanakan dirilis sebagai kumpulan CD Bali 1928 yang terdiri dari lima buah CD. Berdasarkan sebuah katalog Beka Music Company, terungkap jelas bahwa Odeon dan Beka ternyata merekam lebih banyak karya dibanding yang telah kami temukan, namun keputusan mereka untuk tidak mencetak lebih lanjut tentu diambil setelah kedua label rekaman itu menyadari keberadaan pangsa pasar yang sangat kecil. Master rekaman yang berwujud pelat aluminium kemungkinan besar disimpan di pabrik Carl Lindstorm (induk perusahaan Odeon dan Beka) di Berlin, yang dibombardir pada saat Perang Dunia II. Namun, terdapat sudut pandang lain yang mendahului peperangan. Pada tahun 1937, Béla Bartók menulis: “Tak bisa dipungkiri bahwa perusahaan-perusahaan ini sangat sibuk merekam musik rakyat dari berbagai negara eksotis; dengan keuntungan yang diharapkan datang dari hasil penjualan kepada para penduduk asli. Namun, ketika penjualan menurun entah apa pun alasannya, perusahaanperusahaan ini menarik produksinya dari peredaran dan berbagai piringan hitam yang ada kemungkinan besar dilebur. Ini pernah terjadi terhadap satu seri rekaman musik Jawa yang bernilai tinggi oleh Odeon, seperti dikutip dalam bibliografi Musique et chansons populaires dari Liga Bangsa-Bangsa. Jika semua piringan hitam itu ternyata memang benar dimusnahkan, tindakan semacam itu merupakan bentuk perusakan yang semestinya bisa dicegah oleh negara-negara melalui pemberlakuan 2 3
Percakapan dengan putri Ang Ban Siong (2009) Menurut salah seorang sahabatnya, etnomusikolog Ellen Koskoff (e-mail pribadi, 2003)
3
hukum, sama halnya dengan keberadaan hukum di beberapa negara yang melarang penghancuran ataupun perusakan monumen bersejarah.”4 Delapan puluh tahun setelah sesi rekaman bersejarah itu, dan setelah mendapatkan cakram-cakram tersebut serta menyalinnya ke dalam format CD, tim peneliti kami mulai mengunjungi seniman-seniman paling tua dan berpengalaman – di desa-desa yang senimannya terlibat dalam sesi-sesi rekaman tahun 1928 – yang kebanyakan sudah berusia 80-an atau 90-an tahun, termasuk tiga diantaranya yang telah berumur 100 tahun. Kami juga berulang kali mengunjungi para keturunan dan anggota keluarga dari generasi seniman tua tersebut, yang kebanyakan juga sudah berusia 70-an dan 80-an tahun. Kami membawa sebuah tape recorder dan memutar kepingan CD yang memainkan alunan tembang dan gamelan yang tidak pernah didengar lagi oleh orang selama delapan puluh tahun. Walau beberapa repertoar masih bertahan, kebanyakan gaya dan estetikanya telah berubah dan banyak gending telah dilupakan. Beberapa keluarga seniman bahkan memberi kami foto-foto dari para seniman yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 tersebut. Sebuah foto yang kami dapatkan di Perpustakaan Umum New York mempertemukan kami dengan salah seorang dari dua seniman yang masih hidup dan terlibat dalam perekaman pada tahun 1928 itu. Tim kami menemui seorang wanita berumur 91 tahun bernama Mémén Redia (Ni Wayan Pempen), yang ketika berumur 10 atau 11 tahun telah menjadi salah seorang pangugal ‘penyanyi utama’ dari kelompok jangér Kedaton (Bali 1928, vol. V). Mémén Redia menjelaskan suasana sesi rekaman dengan terperinci dan masih mengingat semua lirik lagu, memperbaiki transkripsi awal yang sebelumnya telah kami susun. Ia mengingat dengan gamblang bahwa rekaman dilakukan di ruang terbuka dekat pusat desa, di atas lantai tanah dan di bawah tataring ‘struktur sementara dari bambu’ yang beratapkan kelangsah ‘anyaman daun kelapa’. Ia pun memberi kesan bahwa beberapa sesi rekaman kemungkinan besar berlangsung di areal balé banjar ‘bangunan utama organisasi masyarakat tradisional Bali’ yang tiga sisinya terbuka dengan tembok dan lantai dari batu-bata atau lumpur padat, dan beratapkan anyaman daun kelapa atau jerami yang disangga tiang-tiang bambu atau kayu kelapa. Kebanyakan dari generasi tetua Bali yang kami kunjungi menyebut piringan hitam dan alat pemutarnya sebagai orgel, barangkali karena alat pemutar piringan hitam disangka berhubungan dengan instrumen orgel ‘organ pipa Belanda’ sebagai sebuah mesin yang menghasilkan bebunyian. Menurut Philip Yampolsky, sebuah katalog Beka Music Company yang kemungkinan dicetak pada tahun 1932, menunjukkan bahwa semua rekaman dalam koleksi Bali 1928 ini dilakukan di Denpasar, Bali, kecuali empat lagu yang direkam di Lombok.5 Katalog tersebut juga menyebutkan bahwa ada 34 cakram yang direkam pada tahun 1929, yang keseluruhannya, kecuali empat sisi rekaman, bermaterikan nyanyian. Dua puluh lima persen dari koleksi kami tercatat dalam katalog tersebut. Sampai saat ini belum banyak keterangan yang bisa diungkap terkait tur rekaman kali kedua oleh Beka tersebut. Namun, pengarang riwayat hidup Walter Spies, John Stowell, mengatakan bahwa Spies mengungkap adanya “rekaman-rekaman baru oleh Beka” dalam suratnya kepada Jaap Kunst tertanggal 16 November 1929. Dalam sepucuk surat kepada ibunya, Martha Spies, tertanggal 1 Juli 1928, Spies mengatakan bahwa dirinya terikat sebuah kontrak 4
Bartók (1992: 294). Ketertarikan Bartók berlanjut dalam repertoar konsernya: ia dan istrinya memainkan transkripsi McPhee untuk dua piano berjudul Balinese Ceremonial Music di Amherst College pada tahun 1942 (Oja 1990:153, 179). Salah satu karya itu adalah Buaya Mangap (Tabuh Telu) dari Bali 1928, vol. I. 5 Komunikasi pribadi dengan Philip Yampolsky (2002)
4
kerja dengan Odeon untuk menerbitkan 50 piringan hitam dalam waktu tiga tahun.”6 David Sandberg, cucu-keponakan Spies dan juga ketua Leo-und-Walter-Spies Archiv di Berlin mengkonfirmasi bahwa surat-surat Spies hanya menyinggung kerjasamanya dengan Odeon dan bagaimana imbalan yang diterimanya nanti akan digunakan untuk membangun sebuah rumah di Ubud. Spies menulis “Imbalan yang ditawarkan ini lebih baik dibanding menerima persentase keuntungan dari rekaman yang berjumlah banyak namun bernilai kecil. Sekarang saya telah memperbaharui sebuah kontrak untuk membuat rekaman gamelan dan nyanyian Bali dengan imbalan 1.000,- guilders per tahunnya…Semua piringan hitam akan diproduksi pada bulan Agustus. Para penabuh (njogos) yang terlibat juga mendapatkan 1.000,- guilders, saya diminta bekerja untuk 50 piringan hitam.” Pada bulan April 1929, Spies menulis lagi tentang koleksi piringan hitam tersebut kepada ibunya, seraya menjanjikan, “Jikalau uangnya cukup, saya akan mengirimkan beberapa karya terbaik dari rekaman-rekaman yang ada.”7 Walau Odeon dan Beka adalah anak-anak perusahaan yang dinaungi oleh konglomerasi yang sama; Carl Lindstorm, surat-surat Spies menunjukkan adanya persaingan dan operasi bisnis yang berbeda antara masing-masing label rekaman.8 Kami sedang meneliti kemungkinan bahwa Spies tidak terlibat dalam rekaman-rekaman yang dilakukan oleh Beka. Topik ini akan dibahas lebih lanjut dalam artikel-artikel pendamping dari seri CD Bali 1928 lainnya. Mata rantai yang hilang dalam pembahasan-pembahasan di masa lalu yang berkenaan dengan rekaman-rekaman bersejarah ini adalah tentang peran Ida Boda (alias Ida Bagus Boda9) yang tentunya menjadi penasihat utama untuk Beka, dan kemungkinan besar juga untuk Odeon dan Walter Spies, terutama dalam memilih para seniman dan sekaa gamelan yang disertakan dalam sesi-sesi rekaman pada tahun 1928 itu. Kesimpulan kami tersebut didasari oleh fakta bahwa begitu banyak kelompok gamelan dan penyanyi yang terlibat dalam perekaman tahun 1928 ternyata mempunyai kedekatan yang unik dengan Ida Boda, baik sebagai murid maupun sebagai rekan sepanggungnya. Ida Boda dikenal sebagai guru légong dan panasar topéng10 ‘penari topeng-pembawa ceritapelawak’ yang sangat tersohor, sering pentas bersama Ida Bagus Oka Kerebuak dari Geria Pidada, Klungkung (diketengahkan dalam CD ini) dan lazim sepanggung dengan Ida Bagus Rai Purya dan Nyarikan Seriada (Bali 1928, vol. V). Dihormati sebagai seorang tokoh pembaharuan yang memiliki jejaring luas, Ida Boda adalah empu légong
6
Komunikasi pribadi dengan John Stowell (2014) Korespondensi e-mail dengan David Sandberg (2009 dan 2014) 8 Salah satu contoh, David Sandberg menulis, “Di Badung (kini Denpasar) terdapat sebuah toko, Behn & Meyer, yang hanya menjual koleksi Beka.” Korespondensi e-mail pribadi (2014). Namun, McPhee pernah menyatakan bahwa sang agen yang menghancurkan keseluruhan koleksinya itu sebenarnya menjual karya-karya hasil rekaman dari kedua perusahaan rekaman, Odean dan Beka. 9 Penambahan sebutan ‘Bagus’ adalah pengembangan pada paruh awal abad ke-20. dan banyak kaum Brahmana di Bali Timur bersikukuh untuk tidak menggunakannya. Setelah mengetahui bahwa kebanyakan rekan sejawatnya memanggil beliau sebagai Ida Boda, kami menanyakan kepada para keturunannya bagaimana sebaiknya menamakan beliau, dan mereka menyepakati bahwa kami tidak perlu menggunakan ‘Bagus’. 10 Pengejaan dalam tulisan ini mengacu kepada kamus ortografi Bali modern seperti Kamus Bali Indonesia oleh I Nengah Medera dan lain-lain (1990) dan Kamus Bali-Indonesia oleh Yayasan Pustaka Nusatama, dengan editor I Nengah Sukayana (2008). Walau telah diusulkan sedari tahun 1972, sistem ini tidak diterapkan secara teratur dalam penulisan naskah seni, namun kami memutuskan mematuhinya sebaik mungkin demi mencerminkan keterhubungan yang erat dengan aksara Bali. Sebagai contoh, banyak kata yang terucap ‘pe’ atau ‘peng’ dituliskan di sini sebagai ‘pa’ dan ‘pang’. Perlu diperhatikan bahwa pengejaan kata-kata Bali dalam huruf Latin sangat beragam, yang menunjukkan penyesuaian yang berbeda-beda dari naskah berbahasa Bali. 7
5
bagi gamelan kebyar Belaluan (simak Bali 1928, vol. I dan IV), mengajarkan légong kepada gong kebyar Busungbiu (simak Bali 1928, vol. I), mabebasan dengan Ni Dayu Made Rai (yang bisa disimak dalam volume ini),11 serta mementaskan jangér bersama sekaa dari Kedaton (Bali 1928, vol. V) sebelum akhirnya ia didaulat menjadi guru bagi kelompok tandingan di desa tetangga Bengkel pada tahun 1930-an. Meskipun kedua kelompok jangér tersebut selalu bersaing,12 peran Ida Boda jelas melampui persaingan antar kelompok tersebut,13 seperti dibuktikan dalam foto-foto dari Arthur Fleischman yang diambil antara tahun 1937-1939, di mana Ida Boda terlihat menari sebagai panasar dengan sekaa jangér Kedaton.14 Boda juga mementaskan topéng dengan gamelan angklung dari Banjar Bun (Bali 1928, vol. IV) dan mementaskan Cupak bersama Ida Bagus Oka Kerebuak diiringi sekaa gendér wayang batél dari Kaliungu (Bali 1928, vol. III). Muridnya, Nyoman Kaler (1892–1969), komponis-koreograferteoretikus-pendidik, mengajarkan gamelan jogéd di Pagan (Bali 1928, vol. III) dan angklung di Pemogan (Bali 1928, vol. IV), serta memimpin gamelan palégongan Kelandis (Bali 1928, vol. III). Ida Boda pun sangat mengakrabi kelompok cepung Sasak yang direkam di Lombok (Bali 1928, vol. V) dari sekian banyak lawatannya ke sana. Dalam koleksi CD Bali 1928 ini, terdapat beberapa rekaman yang sempat didengar oleh komponis muda dan pianis asal Kanada bernama Colin McPhee (1900-1964) di New York, tak lama setelah peluncuran rekaman-rekaman tersebut.15 Setelah menyimak piringan-piringan hitam Odeon dari tahun 1928 itu, McPhee dan istrinya, antropolog Jane Belo terkesima dan terinspirasi mengunjungi Bali pada tahun 1931, sebuah perjalanan yang justru berkembang menjadi sebuah ekspedisi penelitian selama delapan tahun yang berpuncak pada karya agung McPhee berjudul Music in Bali serta karyakarya Belo bersama Margaret Mead dan Gregory Bateson. Adalah Belo yang kemudian menulis karya penting Trance in Bali. Setelah empat tahun di Bali, McPhee menulis sebuah artikel berjudul The Absolute Music of Bali untuk jurnal Modern Music di mana ia mengutarakan: “hal yang membuat seorang musisi (Barat) dipenuhi rasa iri dan takjub adalah betapa musik (Bali) memiliki raison d’etre (justifikasi eksistensi) yang sungguh memuaskan untuk hadir dalam masyarakatnya. Para musisi adalah bagian tak terpisahkan dari kelompok sosial, setara pandai besi dan emas, arsitek dan pengarang, penari dan aktor, sebagai bagian dari struktur masing-masing desa. Rendah hati dan sederhana, mereka sangat bangga dengan kesenian mereka, sebuah kesenian yang tanpa kepemilikan diri sehingga komponisnya pun kehilangan identitas pribadinya.”16 Walau pandangan ideal McPhee tentang musik Bali adalah “ketiadaan kepemilikan personal,” dalam pengertian gubahan-gubahan tidak dilekatkan kepada komponis
11
Menurut Ida Wayan Padang dan I Wayan Rugeh Menurut I Made Monog, anggota jangér Kedaton sejak tahun 1930-an 13 Menurut Ida Bagus Pujiarsa (1947—) 14 Fleischmann (2007) 15 “Seingat saya, pada tahun 1929, kami di New York berkesempatan mendengar beberapa rekaman pertama dari musik Bali, yang dibuat oleh Odeon dengan arahan dari Walter Spies. Rekaman-rekaman yang kami dengar dibawakan oleh Claire Holt dan Gela Archipenko (istri dari sang pematung) yang baru saja kembali dari Jawa dan Bali…Kami memutuskan untuk berangkat pada musim dingin…Itu terjadi pada tahun 1930-1931…” Belo: Traditional Balinese Culture: 1970: xviii. Tetapi menurut New York Public Library’s Guide to the Holt, Claire, 1901–1970. Papers, ca 1928–1970, kunjungan pertama Holt ke Indonesia adalah pada tahun 1930. Lihat http://www.nypl.org/research/manuscripts/dance/danholt.xml 16 McPhee (1935: 163) 12
6
komponis tertentu, hal ini berkurang pada masa awal tahun 1920-an dan sepanjang perjalanan abad ke-20.17
Linimasa Rekaman Bali 1928 Di tahun 1928, Bali adalah jajahan dari Hindia Belanda (kini bagian dari Republik Indonesia) walau seluruh raja-raja Bali baru sepenuhnya ditaklukkan pada tahun 1908. Kebyar muncul semasa pergantian abad ke-20 di wilayah Buleleng, Bali Utara, yang takluk pada pemerintah Belanda di awal tahun 1849 setelah kekuatan militer yang setia kepada Raja Bali di Lombok bersekutu dengan Belanda dan berhasil membunuh panglima militer dan penasehat utama Raja Buleleng, Gusti Ktut Jlantik, serta Raja Buleleng dan Raja Karangasem, Bali Timur. Pada masa itu, konflik kekuasaan antara delapan raja-raja di Bali memudahkan Belanda untuk mengadu-domba satu kerajaan dengan yang lainnya. Tujuan utama Belanda tentunya adalah penguasaan ekonomi. Untuk membenarkan tujuan itu, Belanda memberikan alasan moral yaitu penghapusan perdagangan budak (yang telah menguntungkan Belanda untuk sekian lama) dan pengorbanan janda berkaitan dengan upacara pembakaran jenazah raja. Satu demi satu kerajaan runtuh diserang Belanda: Lombok pada tahun 1894, Badung (Denpasar) pada tahun 1906 dan Klungkung pada tahun 1908. Masing-masing runtuh melalui “suatu tradisi untuk mengisyaratkan ‘berakhirnya’ sebuah kerajaan,” yang dikenal sebagai puputan. Kata puputan memang berarti “berakhir.” Puputan adalah penanda bagi raja-raja lainnya tentang ajal menjemput, dan suatu cara untuk membebaskan jiwa melalui peperangan sampai titik darah penghabisan.”18 Adrian Vickers melanjutkan, “…Belanda bergerak ke Denpasar. Pada dini hari tanggal 20 September, sang raja berikut keluarga dan ribuan pengikutnya bersenjatakan lengkap, semua berbusana putih-putih, siap menjelang ajal dalam pertempuran, berbaris dan berderap menyambut kedatangan tentara Belanda. Satu demi satu prajurit mengamuk ke garis depan, tak gentar, seolah peluru-peluru Belanda akan terpental dari tubuh mereka. Tentara Belanda menembaki ‘wanita-wanita dengan senjata tajam terhunus di tangan, tombak atau keris, dan anak-anak dalam gendongan’ yang ‘merangsek maju tanpa takut, mendekati musuh dan menjemput maut’…tidak mungkin menyerah: ‘upaya untuk melucuti mereka hanya berujung kepada bertambahnya korban di pihak kami. Mereka yang selamat berulang kali diteriaki dan dipaksa untuk menyerah, namun sia-sia’. Sang raja, keluarganya dan pengikutnya maju tanpa henti, tak terbendung, membunuh diri sambil mencabut nyawa tentara Belanda yang menghadang derap langkah mereka. Belakangan, pihak Belanda berusaha menutupi jumlah korban yang tewas, walau sedikit di pihak Belanda, lebih dari 1000 orang Bali gugur.”19 Kita hanya bisa menerka tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ledakan artistik sesudah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali. I Nyoman Catra berpendapat bahwa menjamurnya petualangan kreatif saat itu tidak lain adalah pengobatan untuk menyembuhkan masyarakat dari trauma akibat pergolakan sosial dan pendudukan 17
Hildred Geertz (2004) menantang ide tentang anonimitas dengan menunjukkan bahwa pematungpematung di Batuan dikenal secara perorangan dan diapresiasi selama masa hidupnya untuk karya-karya yang diciptakan untuk kepentingan Pura Desa, namun karena catatan tertulis tidak disimpan, identitas mereka bisa dilupakan dari waktu ke waktu. 18 Vickers (1989: 34) 19 Vickers (1989: 35), dan kutipan tunggal dalam catatan dari kepala staf yang terlibat dalam ekspedisi tersebut seperti tercantum dalam Nordholt (1986: 5)
7
penjajah kolonial.20 Runtuhnya kekuasaan dan lepasnya harta kekayaan dari genggaman kerajaan menyebabkan munculnya desentralisasi dan demokratisasi dalam seni dengan penyebaran ke tingkat banjar. Puput ‘tamat’ juga menyiratkan sebuah permulaan baru. Pada awal tahun 1920-an, bersamaan dengan munculnya mode dan teknologi yang berkaitan dengan modernitas ala Belanda, kunjungan wisatawan Eropa dan Amerika melalui kapal pesiar pun mulai mengalir ke pulau surga ini secara terus-menerus walau masih dalam jumlah yang kecil. Pada awalnya, Bali Hotel yang dibangun pada tahun 1927 merupakan tempat persinggahan bagi para awak kapal Perusahaan Pelayaran Belanda KPM (Koninkelijke Paketvaar Matschappij) yang berlabuh di Bali. Bali Hotel resmi beroperasi pada tahun 1928 setelah diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada pihak KPM21 dan hotel ini berada pada jarak sependengaran dari balé banjar Belaluan yang selalu ramai dengan latihan Gong Belaluan. Bali Hotel pun segera menjadi pusat akomodasi yang sesuai dengan selera tamu internasional. Berbarengan dengan itu semua, inovasi masyarakat Bali terus berlanjut, didorong oleh selera dan hasrat kedaerahan para seniman maupun masyarakat penikmatnya. Menariknya, pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain, marching band pascaperang mengilhami lahirnya sejenis musik revolusioner yang menggabungkan matra-matra baru dari kerumitan irama dan melodi, improvisasi, pencampuran dan percobaan kreatif dari jenis-jenis musik sebelumnya. Alat-alat musik yang ditinggalkan dan dibuang pada masa Civil War (Perang Saudara) Amerika Serikat dipunguti oleh para mantan budak yang baru mendapatkan kebebasannya, berujung pada kelahiran musik jazz, yang seperti juga kebyar, menjadi kekuatan musik pada abad berikutnya. Sepanjang catatan sejarah, telah banyak perlombaan hebat dalam dunia kesenian Bali, sebagai cerminan dari perilaku jengah, sebuah dorongan ‘tak mau kalah’ dan pemicu terjadinya praktik-praktik untuk menggunakan hasil karya tandingannya, mengubah, dan mengolahnya sehingga menjadi hasil karya sendiri. Pada masa-masa awal kebyar, sekaa-sekaa kebyar bahkan mengirim mata-mata untuk pergi memanjat pohon di sekitar tempat latihan dalam jarak sependengaran dan sepenglihatan dengan harapan dapat mengetahui ciptaan terkini yang akan dipertandingkan oleh kelompok lawan dalam perlombaan berikutnya. Hubungan persaingan yang ketat juga terjadi antar kelompok jangér, seperti yang terjadi pada desa-desa bertetangga Kedaton dan Bengkel, yang perseteruannya meruncing hingga mencuat ke ranah politik, estetika, dan bahkan sampai pada penggunaan kekuatan ilmu sihir di antara kedua desa.22 Walau persaingan merangsang kreativitas, dunia seni di Bali juga berkembang dari hasil kerja sama yang baik dan erat antara seniman dari berbagai desa dan daerah yang berbeda. Contohnya seperti yang terjadi pada masa awal perkembangan kebyar, di mana seorang pemimpin sekaa gamelan dari Desa Ringdikit di Bali Utara datang mengunjungi Belaluan di Bali Selatan untuk saling bertukar perbendaharaan karya. Alhasil, kebyar Belaluan lebur dengan gaya revolusioner dari Utara, dan Ringdikit mendapatkan pengetahuan karawitan dan tarian légong.23 Bahkan sebelumnya, para ahli légong dari wilayah selatan pergi mengajar ke utara, seperti I Gentih dari Kediri, Tabanan, yang mengajar tari perempuan leko (versi laki-lakinya adalah nandir, dan
20
Percakapan (2006) Mardika (2011: 28) 22 I Made Monog, percakapan pribadi (2007) 23 Covarrubias (1937: 210) 21
8
keduanya diiringi gamelan bambu rindik) di Jagaraga,24 yang mana muridnya, Pan Wandres, mengubahnya menjadi kebyar leko, lalu menjadi kebyar légong, yang turunannya disesuaikan menjadi Teruna Jaya oleh muridnya, Gde Manik dari Jagaraga. I Made Monog dari Kedaton mengingat bahwa I Monggol, penari jauk keras dari Penebel, Tabanan mengajar di Buleleng dan mengilhami pengembangan gerakangerakan tangan untuk Teruna Jaya oleh Gde Manik. Di abad ke-21 ini, kami menemukan rasa ingin tahu yang tinggi di Bali terhadap masa lalunya, berusaha menemukan apa yang sesungguhnya penting dalam kebudayaan Bali. Minat yang begitu tinggi, yang belum pernah ada sebelumnya, terhadap rekamanrekaman bersejarah ini di antara para penabuh, penari dan penyanyi, baik muda dan tua, kian membesarkan hati kami dalam mengerjakan – selama bertahun-tahun dan lintas benua - sebuah proyek repatriasi ‘pemulangan kembali’, mencari arsip-arsip yang tersebar dimana-mana untuk membantu masyarakat Bali masa kini dalam memperoleh dan menikmati kembali kejayaan kesenian masa lampau mereka.
Gamelan Bali Gamelan, mengacu pada ansambel yang terdiri dari selusin atau lebih alat gamelan Bali, berasal dari kata ‘gambel’ atau memegang. Cara penulisan Bali-nya adalah gambelan (menunjukkan cara pengujarannya dalam bahasa Bali), tapi kebanyakan penulis menggunakan cara penulisan dalam bahasa Indonesia yang lebih dominan dan dikenal. Masyarakat Bali membedakan antara gamelan krawang, perangkat gamelan perunggu yang dirakit oleh pandé krawang (ahli perunggu) dengan gamelan yang terbuat dari bambu. Sebagai tambahan, ada juga perangkat gamelan yang lebih kuna dan terbuat dari besi namun kini jarang digunakan, yaitu gamelan slonding. Kekhasan gaya-gaya gamelan yang terkenal di Bali mengutamakan denting dan getaran suara yang halus dari gong, gong pencon, dan alat-alat gamelan berbilah perunggu datar (atau tepatnya bertepi miring) yang disangga di atas penguat suara (resonator) bambu, yang secara umum mempunyai rentang nada sebesar empat sampai lima oktaf. Gamelan Bali berbeda dengan tetangganya, Jawa, karena mengandung unsur bunyi meledak-ledak, kecepatan yang tinggi, dan pola gending yang dinamis. Salah satu unsur unik dari gamelan Bali adalah sistem pelarasan yang sangat tepat dari ombak ‘dengung akustik’ atau ‘getaran’ yang mempengaruhi dan menghasilkan dentingan khas gamelan Bali. Setiap alat gamelan disusun berpasangan, dengan setiap nada dari pangumbang (ngumbang berarti lebah), disetel lima sampai delapan getaran per detik lebih rendah dari pasangannya ‘pangisep’ (diambil dari kata ngisep atau menghisap); pengistilahan yang secara tidak kebetulan dipinjam dari kata-kata yang berhubungan aktivitas lebah madu.25 Menurut pandé krawang yang bernama Pan Santra (Pande Made Sebeng, putra dari Pande Aseman) dari Tihingan dan Pande Madé Gabléran dari Blahbatuh,26 kebyar disetel dengan perbedaan delapan getaran per detik, menghasilkan getaran berketukan cepat yang konsisten bahkan dalam permainan yang perlahan, liris, dan melodis. Gendér wayang disetel lima sampai enam ombak per detik dan palégongan pada enam atau tujuh ombak per detik.
24
Pande Made Sukerta, percakapan pribadi (2006) Sebuah pengertian tambahan dan umum dalam kegiatan menciptakan karya tabuh adalah ngumbang ‘keras’ dan ngisep ‘senyap, lembut’ 26 Keduanya percakapan pribadi (1972 dan 1980) 25
9
Perbendaharaan lagu-lagu gamelan dan ragam alat gamelan berkaitan dengan beragam upacara, tarian, dramatari, atau kegiatan hiburan tertentu. Gamelan biasanya menggunakan oktaf lima-nada, entah itu dilaras dengan setelan saih gendér wayang (yang berhubungan dengan sléndro Jawa), saih angklung empat-nada yang khas untuk gamelan angklung, atau saih selisir yang disebut juga pelarasan pagongan (berhubungan dengan pélog Jawa) yang digunakan oleh kebanyakan jenis seperti kebyar, palégongan, dan gong gedé. Selisir sebenarnya adalah salah satu dari lima laras yang bersumber dari sistem saih pitu (deretan tujuh-nada) yang masih digunakan oleh gamelan-gamelan kuna dan pelbagai ansambel yang mulai jarang terdengar misalnya gamelan gambuh, sebagian dari semar pagulingan, gambang, slonding, luang, gamelan saron, dan beberapa inovasi lainnya dari saih pitu yang kini mulai bangkit kembali.27 Komposisi-komposisi yang bersumber dari pelarasan-pelarasan ini sebagian terbatas pada sistem lima-nada per oktaf (misalnya kebyar atau palégongan), atau sebagai enam atau tujuh-nada per oktaf. Suling bambu menambah nuansa tinggi-rendah nada dan warna suara, begitu juga penyanyi atau juru tembang yang mungkin ikut mengiringi gamelan. Bahkan, dalam beragam jenis nyanyian terdapat perlarasan tak bernama lainnya yang luar biasa, mengunakan lebih banyak lagi nada per oktaf termasuk nada-nada berjarak rapat yang kaya. Walaupun istilah Jawa seperti ‘sléndro’ dan ‘pélog’ telah disebut dalam lontarlontar Bali seperti Prakempa dan Aji Gurnita (diperkirakan ditulis pada abad ke-19)28, pengistilahan tersebut baru digunakan secara umum pada tahun 1960-an, setelah diperkenalkan oleh I Nyoman Rembang, I Gusti Putu Madé Geria dan I Nyoman Kaler para ilmuwan dan akademisi di Konservatori Karawitan (KOKAR), yang semuanya merupakan guru-guru di Konservatori Karawitan (KOKAR) Surakarta, Jawa Tengah. Sebelumnya, masyarakat Bali lebih sering menyebut sléndro sebagai saih gendér (wayang) atau saih angklung dan menyebutkan secara khusus nama suatu saih, patutan, atau tekep, misalnya selisir, untuk menguraikan laras sebuah gamelan gong atau palégongan29. Hal ini terjadi sebagian karena pemahaman bahwa laras selisir untuk gong kebyar telah mengungguli kepekaan intonasi masyarakat Bali dan secara umum penamaan pélog telah menjadi sinonim dengan pelarasan ini. Ada sebuah kecenderungan yang berlaku di antara para seniman dan pendidik untuk menjauhkan diri dari istilah pélog dan sléndro agar tidak terjadi penyamarataan, dan agar berbagai macam penadaan terus dikenal dan dipelajari. Bahkan sampai tahun 1970-an, ada pandangan umum yang mengatakan bahwa tidak ada dua set gamelan Bali yang sama persis. Walau kekhasan daerah mulai luluh dan hilang mengikuti penyeragaman yang meliputi gamelan kebyar dan genre-genre lainnya – akibat pengaruh akademi-akademi seni dan perhelatan tahunan Pesta Kesenian Bali – sesungguhnya ciri khas penadaan dalam berbagai gamelan Bali masih subur. Kumpulan alat-alat gamelan yang unik termasuk gong, gong pencon, kendang, dan gangsa ‘alat gamelan berbilah perunggu datar’ yang berhubungan dengan gaya gamelan Bali dan Jawa sepertinya berkembang semasa pendirian candi Buddha Borobudur di abad ke-9 dan kedatangan ekspedisi Belanda pertama pada tahun 1595. Nyoman Rembang (1973: 42) mengelompokkan generasi gamelan “tua” termasuk gambang, luang, slonding, gendér wayang, angklung, saron (caruk) dan sebagainya. Rembang
27
Lihat Vitale (2002) dan McPhee (1966: 36-55) Bandem (1986) 29 Percakapan pribadi: I Made Lebah dan I Nyoman Sumandhi (1980); I Wayan Sinti (1974 dan 2008) 28
10
lanjut mengungkapkan bahwa masa kesejarahan setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1342 merupakan periode “madya” yang mencapai puncaknya pada masa keemasan Gélgél yang berlangsung dari tahun 1500-1651. Masa kekuasaan Raja Waturenggong (Baturénggong) pada pertengahan abad ke-16 menghasilkan jalinan kerjasama dengan pendeta termahsyur bernama Nirartha. Jenis-jenis karawitan yang tumbuh subur pada kurun waktu tersebut termasuk gambuh, Semar Pagulingan, palégongan, bebarongan, bebonangan, gong gedé, dan gandrung (jogéd pingitan). Klasifikasi gamelan “baru” oleh Rembang termasuk gong kebyar, jangér, jogéd bumbung, gong suling, dan angklung lima-nada yang berbilah enam atau tujuh. Secara garis besar, gamelan Bali disusun sebagai tingkatan-tingkatan instrumentalia yang kisarannya mencapai lima oktaf. Colin McPhee mengamati pada tahun 1930-an bahwa notasi-notasi tersebut tidak digunakan dalam mengajar atau latihan, namun lebih dimanfaatkan sebagai upaya pelestarian bagi generasi mendatang atau sumber rujukan ketika gending-gending itu terlupakan.30 Secara tradisional, gending gamelan jarang dinotasikan karena para penabuh mempelajari bagian mereka secara pengulangan. Melodi dinyanyikan menggunakan nama untuk setiap tangga nada: nding, ndong, ndéng, ndung, ndang.31 Karena gendingnya yang sangat terstruktur, maka improvisasi hanya diperbolehkan bagi kendang pemimpin, suling, dan alat gamelan tunggal lainnya pada saat-saat tertentu. Namun, para penabuh gendér, setidaknya di desa Sukawati mempunyai praktik improvisasi, permainan bebas tanpa persiapan yang telah berkembang begitu pesat.32 Sekolah-sekolah dan para komponis kontemporer menggunakan sistem notasi hasil penggabungan dari notasi kepatihan Jawa untuk irama dan dinamika, dan aksara Bali untuk vokal yang tinggi-rendah nadanya ditandai seperti yang telah disebutkan di atas. Pengistilahan bisa berbeda antar desa dan antar wilayah, atau bahkan mencerminkan keragaman kosakata pribadi antar penabuh. Pengistilahan lebih sering digunakan untuk menggambarkan pergerakan (unsur kinetik) dari aksi jasmaniah dalam permainan dibandingkan untuk menggambarkan suatu konsep berkesenian yang abstrak atau catatan-catatan pengajaran.
30
McPhee (1966: 56) Kerap ditulis ding-dong-déng-dung-dang dan dilafalkan dalam proses pengajaran sebagai ning-nongnéng-nung-nang atau nir-nor-nér-nur-nar atau nyir-nar-nyér-nyur-nyar 32 Nicholas Gray (2011) menulis sebuah buku tentang hal ini. 31
11
Volume V: Kebangkitan jangér, arja dan topéng Pada akhir abad ke-19, di seantero pulau kita menyaksikan era kreativitas nyanyian puisi geguritan (pupuh) dalam bahasa Bali, mengolah tema-tema sejarah, spiritual, percintaan, dan bahkan juga sosial-politik, yang diungkapkan dalam gaya syair kakawin dalam bahasa Kawi yang digunakan dalam kesusastraan Jawa Kuna. Pada masa pergantian abad ini, meningkatnya ketertarikan akan naskah-naskah kuna telah mendorong tumbuh-suburnya kelompok sastra sekaa papaosan, yang menekankan kemahiran dalam pelantunan bahasa Kawi dan penerjemahannya ke dalam bahasa Bali. Bentuk terkenal lainnyad adalah palawakia yang merujuk pada prosa bebas dengan rentangan nada yang lebar dalam bahasa Kawi atau bahasa Bali Alus. Sekaa papaosan dari berbagai desa berkumpul untuk bertanding dengan sesamanya di depan penonton, yang jumlahnya kian hari kian bertambah, pada upacara-upacara agama dan pasar malam. Pelakonan silang-watak wanita-pria mulai berubah sejalan dengan kemampuan para perempuan memainkan karakter pria halus pada opera-tari arja dan jangér, yang sebelumnya hanya ditarikan oleh laki-laki saja (pria masih mendominasi peran wanita dalam tarian gambuh hingga tahun 1960-an). Marya dahulu dilatih untuk menari pria pada jauk dan baris sebagai materi tambahan selain gandrung (versi laki-laki dari jogéd) dan juga berlatih peran wanita sisia untuk drama magis Calonarang. Dalam menciptakan Igel Trompong dan Kebyar (Igel Jongkok), ia membuat gaya banci sebagai gabungan dari kualitas perempuan dan laki-laki. Ini sangat kontras dengan gandrung yang penari laki-lakinya terlihat sangat mirip dengan perempuan - bahkan sampai menimbulkan berahi bagi penonton lelakinya (terdapat dalam Bali 1928, vol. III sebagai
12
cuplikan video), atau bahkan dalam gambuh, jangér, dan arja, di mana para lelaki memerankan tokoh perempuan. Jadi, gagasan Marya untuk memunculkan gaya banci sama sekali tidak aneh, bahkan dapat dikatakan pembaharuan dalam cara barunya meleburkan karakter pria dan wanita. Volume ini merupakan seri kelima dari koleksi Bali 1928 yang mengetengahkan tiga jenis drama yang muncul di awal abad ke-20 dan terus lanjut berkembang di dekadedekade berikutnya. Perwujudan dari modernitas Bali yang beragam diwakili dalam kebangkitan jangér,33 khususnya di kalangan remaja. Jangér utamanya dipengaruhi oleh Komedie Stamboel, teater bergaya Eropa-berbahasa Melayu yang pertama kalinya muncul di Surabaya, Jawa pada tahun 1891.34 Masih populer di zaman, jangér menggabungkan cerita-cerita tradisional nan jenaka dengan lagu-lagu menawan yang dinyanyikan oleh para gadis berbusana tradisional yang ditimpali koor kécak oleh para pemuda yang memakai kostum bergaya Barat, termasuk celana pendek, hiasan tanda pangkat di bahu ‘epaullettes’ dan kumis palsu yang konyol. Jangér menggabungkan unsur nyanyian dari tari kerauhan Sang Hyang, pantun Melayu, dan cakepung ‘lagulagu minum arak’ dengan gamelan geguntangan yang biasanya mengiringi dramatari arja dan juga gamelan tambur yang memakai rebana, kendang yang berasal dari Arab.35 Gerakan-gerakan tangan dan lengan bergaya saman dan saudati ditambah dengan posisi tubuh yang lazimnya diperagakan dalam ritual Muslim Sufi dan tarian lainnya di Aceh, Sumatera Utara, menjadi ciri khas para penari laki-laki jangér. Semua ini menyatu dalam jangér termasuk unsur-unsur tari kuna légong dan dramatari wayang wong yang berdasarkan epos Ramayana, serta akrobat sirkus yang terinspirasi dari kelompok-kelompok seni pertunjukan yang sempat pentas di Bali.36 Dan sesudah kunjungan aktor dan bintang film Charlie Chaplin ke Bali pada tahun 1932, kumis palsu yang dilukis pada wajah penari kécak pun dinamakan caplin. Menariknya, kebangkitan jangér sepanjang abad ke-20 terjadi kembali di saat ketidakpastian politik dan pergolakan sosial. Cak (kécak) baru muncul sebagai sebuah dramatari yang khas pada tahun 1932 dan berkembang menjadi ‘paduan suara para wanara’ (monkey chant) Ramayana sebagaimana dikenal oleh masyarakat internasional - walaupun sesungguhnya chorus ‘pengulangan lagunya’ secara tradisi telah mendampingi ritus tari kerauhan ‘kesurupan’ Sang Hyang, dan jangér, ‘saudara sekandung’ kécak yang telah terlebih dahulu tenar. Sebagai sebuah dramatari, cak dikembangkan di Bedulu dan Bona, Gianyar, dan secara bertahap menyebar ke desa-desa lainnya sebagai pertunjukan hiburan bagi wisatawan. Dramatari opera arja muncul di masa peralihan abad ke-20, menyeruak keluar dari keklasikan dan formalitas dramatari gambuh, tetapi dengan penekanan pada improvisasi, komedi dan kisah percintaan penuh lara. Cerita-cerita bersumber dari puisi geguritan yang pada abad ke-18 telah tumbuh subur dalam bahasa Bali dibandingkan bahasa Kawi ‘Jawa Kuna’-Bali yang dalam pementasan memerlukan adanya penerjemahan agar para penonton bisa memahami lakon yang dipentaskan. Pada tahun 1915, kemunculan geguritan yang mengisahkan drama percintaan antara dua sejoli
33
Menurut I Made Kredek dari Singapadu, jangér pertama kali muncul pada awal abad ke-20 di Menyali, Bali Utara (Bandem, 2004: 148-52), pandangan ini juga disepakati oleh Gde Budasi dari Menyali (percakapan, 2013). 34 Lihat Achmad (2006: 31) dan Cohen (2006: 21) 35 Percakapan dengan I Made Monog (2007). Drum tersebut juga disebut sebagai terbana atau tambur. 36 Percakapan dengan I Made Monog (2009) dan Wayan Redia (2013)
13
Cina, Sampik dan Ingtai merupakan momen penting yang melambungkan ketenaran arja. Awalnya dipentaskan oleh pelakon yang keseluruhannya laki-laki, masa tahun 1920-an menjadi awal keterlibatan pelakon perempuan untuk memerankan tokoh-tokoh perempuan dalam cerita dan juga peran mantri ‘pangeran’ dalam dramatari yang menghanyutkan perasaan dan berlangsung dari tengah malam sampai dini hari tersebut.37 Topéng telah menjadi sebuah jenis dramatari keupacaraan yang dipersembahkan oleh seorang pelakon ssetidaknya sejak pertengahan awbad ke-17, walau rujukan akan topéng Bali tercatat pada naskah tembaga Prasasti Bebetin bertahun 895 Masehi. Di masa dekade 1890-an, Ida Boda dari Negara/Batuan (Sukawati) dibutuhkan oleh Raja Badung (kini Denpasar) untuk mementaskan Topéng Sidha Karya yang berfungsi menuntaskan persembahan suci dan upakara ‘upacara keagamaan’. Menetap di Kaliungu, Ida Boda mendirikan trio topéng legendaris – panasar topéng dan arja – bersama Ida Bagus Rai Purya dari Serongga, Gianyar (sebagai kartala ‘pembawa cerita jenaka’) dan Nyarikan Seriada (1877-1947) dari Banjar Gemeh, Denpasar (sebagai topéng Dalem ‘raja’ atau mantri arja). Topéng panca mereka melibatkan I Ketut Keneng dari Belaluan (ayah dari komponis Made Regog) dan Guru Grebeg dari Angabaya. Penyanyi belia jangér Kedaton berusia sepuluh tahun di tahun 1928, Ni Wayan Pempen, bergabung beberapa tahun kemudian untuk memerankan tokoh galuh ‘putri’ dalam sebuah trio topéng dengan Ida Boda dan Ida Bagus Purya, pentas di sekeliling pulau Bali dan Lombok. Ni Lemon dari Abian Timbul pun mementaskan sosok mantri dalam arja dan – secara unik – memerankan tokoh Punta (peran panasar kuat) bersama ansambel-ansambel yang keseluruhannya adalah laki-laki. Ansambel geguntangan terdiri dari sebuah suling kecil; dua guntang bambu (sitar bambu bersenar tunggal)38 yang berfungsi sebagai kempur dan kempli untuk menjaga ketukan; dua kendang ‘drum berbentuk tabung dengan dua sisi penampang suara’; kelenang ‘gong pencon’; sebuah tawa-tawa ‘gong pencon’; rincik ‘simbal’; dan terkadang dilengkapi juga dengan kajar atau gumanak ‘sepasang gong pencon, bersuara nyaring’. Curing berbentuk sederhana ‘gangsa beroktaf dua’ terkadang juga ditambahkan untuk “meningkatkan kesan eksotis” (McPhee 1966: 295). Cepung Sasak (Muslim) Lombok adalah sandingan cakepung Bali yang melengkapi keseluruhan aktivitas kreatif ini sebagai sumber inspirasi dalam perkembangan jangér dan sumber dari pelbagai inovasi musikal yang dilakukan oleh Ida Boda sebagai penyanyi dan dramawan topéng – yang terus berlanjut sampai masa sekarang sebagai unsur-unsur mendasar dari topéng.
37
Percakapan dengan Made Monog dari Kedaton (2009) Guntang mempunyai lidah panjang yang diiris sepanjang permukaan tabung bambu, membuatnya bergetar ketika dipukul dengan sebuah alat pemukul bambu yang tipis. 38
14
Pandangan Tentang Arja Wayan Dibia menulis:39 Di masa paling awal, antara tahun 1900 dan 1915, pada dasarnya arja adalah bentuk sederhana dari drama dengan nyanyian, diperankan oleh laki-laki, tanpa menggunakan iringan gamelan. Para ahli arja dari daerah Gianyar merujuk kepada bentuk drama dengan nyanyian ini sebagai arja doyong, atau arja sederhana. Di masa berikutnya, dimulai pada tahun 1925, sebuah ansambel gamelan berukuran kecil, gamelan geguntangan, diperkenalkan dan hasil dari pembaharuan ini adalah arja geguntangan. Di masa ini, arja berkembang menjadi teater yang lebih terperinci dengan pelibatan vokal dan iringan gamelan, lakon, tari dan busana tari. Penyertaan pelakon wanita di akhir tahun 1920-an merubah arja menjadi sebuah teater dengan aktor perempuan dan laki-laki. Pada masa ini pula, pementasan arja diadakan di panggung-panggung yang dipersiapkan secara khusus bernama kalangan. Dibia lanjut menulis:40
Ada dua teori tentang asal usul Arja. Teori pertama menunjukkan bawa Arja pertama kalinya muncul sebagai Dadap yang diciptakan oleh rajaraja di Badung dan Gianyar pada tahun 1925, pada saat upacara kremasi kebangsawanan ‘plebon’ dari I Dewa Agung Gede Kusamba dari 39 40
1992: 20 1992: 59
15
Klungkung, putra mahkota Bali dengan status tertinggi. Kedua kerajaan menciptakan Dadap dengan mengirimkan para penari gambuh istana (Bandem, 1981: 91); Bandem (1983: 28-31); Mengenai Dramatari Arja Di Bali: 1985. Teori berikutnya mengungkap bahwa Arja lahir sebagai Gambuh Magending yaitu dramatari yang melibatkan pelantunan lagu (wawancara dengan Ida Pedanda Gria Bajing, 8 Agustus, 1987). Namun, teori-teori ini memerlukan penyelidikan lebih dalam lagi, mengingat kurangnya naskah-naskah pendukung. Penelitian saya menunjukkan latar belakang yang berbeda terkait asal usul dari Arja. Mengamati secara khusus gaya Arja Doyong, Dibia berkomentar:41
Bentuk awal ini sesungguhnya merupakan hiburan jalanan yang dipentaskan oleh kelompok-kelompok seni pertunjukan amatir yang terdiri dari aktor-aktot yang memanggungkan kisah-kisah Malat…Penelitian tentang perkembangan Arja di Desa Singapadu…menunjukkan bahwa Arja Doyong telah ada sejak tahun 1904…Beberapa penari, ahli-ahli seni dan pimpinan desa dari generasi yang lebih tua melaporkan bahwa pementasan dilakukan oleh kelompok kecil yang beranggotakan sepuluh aktor. Mereka melakukan gerakangerakan yang sangat sederhana sembari duduk atau jongkok bersama di atas lantai., menunggu giliran mereka tampil. Seorang aktor akan berdiri dan sambil bernyanyi akan bergerak seputar panggung; seusainya ia pentas, ia akan kembali duduk. Para aktor menggunakan pakaian seharihari yang terdiri dari sarung, selendang dan udeng ‘destar’ [1972: 1017]…Arja Doyong umumnya dipentaskan di jalanan atau di tengah lapangan di sekitar desa oleh kelompok-kelompok pertunjukan keliling pada saat liburan hari-hari suci seperti Galungan dan Kuningan.
Catatan lapangan dari McPhee menjabarkan latihan-latihan di Singapadu semasa tahun 1930-an. Pengamatannya mengungkap dua pakem ‘skenario dramatis’ penuh kerumitan yang bersumber dari cerita-cerita Malat. Ia juga memberi gambaran mengenai susaana latihan-latihan tersebut.42
Tjokorda A [Cokorda Oka Tublen] duduk di satu sudut dari bale agung sembari memahat kepala goeak [gagak] untuk busana tari, dan memberi arahan sesekali waktu, tanpa menengok. Pria yang lain, dari Sedan [Ida Bagus Geledig], mengambil alih tarian, gerakan dan intonasi. Beberapa orang menonton, dagang-dagang [penjaja makanan], dan lainlain…Lelucon yang terujar terkadang kelewatan dan terdengar kasar; kepada pihak lain, saya suka berkendara menaiki motor, melaju cepat dan memainkan klakson; saya bisa banyak bahasa, Cina, Tamil, Bombay, Melayu, Belanda…banyak lawakan muncul dari hal semacam ini…
…Tidak ada pantun yang digunakan karena tidak ada peran orang gila dalam lakon. Pemain suling membawa sebuah tas penuh dengan pelbagai jenis suling…Perhatian besar diberikan kepada intonasi, 41 42
1992: 26 Ditemukan di UCLA Ethnomusicology Archives & Colin McPhee Collection
16
memastikan kalimat-kalimat dilafalkan secara tepat. Terkadang dilafalkan secara berlebihan, terkadang mengolok-olok, terkadang sewajarnya, dan terkadang dalam logat kasar dan menghina. Lebih bersifat komedi musikal; rangkaian adegan-adegan tersebut masingmasing rampung dengan sendirinya, sebagian besar penuh kejenakaan, menyatu dalam lakon.
McPhee mendata para pemain arja dalam latihan, menunjukkan para aktor laki-laki masih memerankan semua peran perempuan: I Kenyir (Condong), I Purna (Galuh Daha), Cokorda Oka Singapadu (Pramesuari/Limbur), I Gerut (Désak), I Geriya (Panasar), A.A. Ketut Bentir (Kartala), A.A. Raka Batuan (Madé Umbaran-Mantri Kuripan), I Serog (Panasar), I Tekek (Kartala), I Teduh (Prabu Metaom), Ida Bagus Geledig (Patih Daha).43 Desa Batuan memiliki sebuah ansambel gamelan geguntangan tetapi tidak mempunyai sebuah grup arja, dan mereka akan mengundang pemain arja dari Keramas dan Singapadu untuk menyanyi, menari, dan melakonkan dramatari. Nama-nama dari masing-masing pemain arja tidak ditunjukkan pada label rekaman, dengan pengecualian pada dua kidung (bukan merupakan repertoar arja) yaitu Jayendriya dan Wilet Mayura, yang juga diiringi oleh geguntangan dari Batuan.44
43
Agar lebih jelas, nama-nama ditulis dalam ejaan bahasa Indonesia modern. Sebagai catatan, perlu diungkap bahwa I Made Monog mengatakan salah satu kartala dari Desa Keramas yang sangat pintar bernama Ida Gederan (percakapan, 2009). 44
17
Gamelan Geguntangan Belaluan Mengiringi Penyanyi Arja dan Kidung CD Trek #1 Ginada Sampik-Ingtai Bahasa: Bali Lumrah. Ginada adalah salah satu metrum puitis dalam genre tembang arja. Perlu diperhatikan bahwa untuk semua trankripsi tembang arja dalam CD, kami mengikuti praktik padalingsa umum yang menempatkan sebuah tanda koma pada akhir tiap baris dari bait yang dinyanyikan, dan sebuah tanda titik pada akhir dari masing-masing bait. Tanda titik pada pengujaran condong atau Punta tidak mengikuti aturan padalingsa. Lihat halaman 21 untuk penjelasan lebih lanjut. Ingtai:
Pagawéné tuah manyulam, Pekerjaannya hanya meyulam,
Condong:
Pakaryan mekelé Putu béh tuah nyulam-nyulam. Pekerjaan Nyonyah Putu hanyalah menyulam.
Ingtai:
Di loténg tegeh manginggil, Di bangunan loteng yang menjulang tinggi,
18
Condong:
Drika driki di gedongané tegeh béh matumpang-tumpang matumpuktumpuk... Di sana, di bangunan tinggi yang bertingkat-tingkat...
Ingtai:
Jandélané kaampakang, Jendelanya dibiarkan terbuka,
Condong:
Bih dong, jandélané, ih glisangang mekelé Putu ampakang, bih, ha-haha-ha. Nyonyah Putu, bukalah jendela dengan segera.
Ingtai:
Mara ia maliat tuwun, Ketika ia menoleh ke bawah,
Condong:
Wawu mekelé Putu mecingakan tedun. Barulah Nyonyah Putu melihat ke bawah.
Ingtai:
Dadi ngenah ia i babah, Tampaklah Babah Sampik,
Condong:
Makanten mangkin mekelé Madé. Tergopoh-gopoh Babah Made (Sampik)
Ingtai:
tolah-tolih, mencuri pandang, malu-malu,
Punta:
Béh déwa ratu, drika tan marén mekelé Madé tolah-tolih, nak apa buin tolah-tolih Madé, nénten ja tiang joh ring mekelé i raka. Tidak perlu malu-malu, melirik mencuri pandang, gadis pujaanmu sudah melihatmu.
Ingtai:
Ni nyonyah tuwun manyagjag. Ni Nyonyah pun turun menyambut sang kekasih.
Condong:
Drika nyagjagin nyagjagin mekelé Putu dané i raka. Di sana, sambutlah kedatangan kekasihmu.
Ingtai:
Magatik tangan madandan, Bergandengan tangan dan saling tuntun,
Condong:
Mekelé Putu, nah madandan mekelé Putu, jro Wayan pada! Mereka telah bergandengan tangan, bagaimana Jro Wayan, mari kita ikut, yuk!
Punta:
Béh, masedéwék bli, Nyoman, masedéwék bli, mara teka bli, ha-ha-haha-ha. Baiklah adindaku, kakanda siap, kekasihmu telah tiba.
Ingtai:
panyapané ngowogang hati, Tutur sapanya menggairahkan perasaan,
19
(Rekaman berakhir setelah dua baris pertama dari bait kedua yang dimulai dengan Magatik…)
CD Trek #2 Dangdang Silandri Bahasa: Kawi-Bali Dangdang adalah metrum puitis lain dari tembang arja. Dalam epos Mahabharata, Pandawa bersaudara dan Drupadi tengah diasingkan di hutan belantara kerajaan Wirata, dan Drupadi pun menyamar menjadi Silandri (Sulandri) yang mengabdi sebagai pelayan dari ratu kerajaan Wirata. Dalam gaya arja negak (arja duduk) tidak ada tokoh atau karakter khusus yang menyanyi atai membawakan cerita. Ujaran kata-kata dari pelakon kedua yang memerankan tokoh panasari ditunjukkan dalam tanda kurung siku. Maramakén memanggihi rupan ajatma, Ini pertama kalinya ku melihat wajah yang begitu rupawan, [Sayuwakti sekadi wacanan cokor idéwa, nénten naenin memanggihin rupa asampunika luwihné, ha-ha-ha-ha-ha.] Memang benar seperti yang Tuanku katakan, tak pernah menjumpai kecantikan tiada tara seperti ini. Ring jagat Wirata, Di negeri Wirata, [Ainggih tan lian tan lian iriki ring jagat Wiratané.] Ya, tiada lain di negeri Wirata. Kadi diah Silandri rupané, Paras ayunya mirip Dewi Silandri, [Ainggih sekadi diah Sulandri reké suwabawané.] Betul, wajahnya sangat mirip dengan Dewi Silandri. Gawok san titiang nulu, Sangat kagum aku dibuatnya, [Kalih cokor idéwa ten ten angob, titiang taler méh kateka angob titiang.] Sama halnya dengan Tuanku, saya pun sangat terkesima. Warnané kadi imanik, Parasnya berkilau bagai permata, [Sekadi tata wadanan idané ratu.] Paras dan perawakannya persis seperti itu, Tuanku. Tuhu maniking cita, Betul-betul membuat terpukau, [Sayuwakti ngatut kayun ratu.] Benar-benar membuat hati terpesona dan terlena.
20
Diah Silandri nerus, Dewi Silandri yang abadi, [Béh, diah Sulandri nerus.] Aduh, keelokan Dewi Silandri yang tiada tara. Jegégé mengayang-ngayang, Aura kecantikannya memenuhi benak, [Tur jegégé kalintang-lintang...] Kemolekannya tak terkira... magoléran, lemah gemulai, [megelohan ratu.] sangat anggun, Tuanku. Ento melad lading hati, Hal yang akan selalu terkenang di lubuk hati terdalam, (Rekaman berakhir sebelum baris terakhir dari bait)
CD Trek #3 Sinom Salya Bahasa: Bali Halus. Sinom adalah metrum puitis lainnya dari tembang arja. Ujaran dari tokoh panasar ditunjukkan dalam tanda kurung siku. Ini merupakan kutipan dari geguritan Salyaparwa dari epos Mahabharata saat Nakula (tokoh yang menyanyi sebagai mantri) datang menghadap kepada pamannya Salya, tokoh raja yang memperkirakan kematiannya di tangan Yudhistira. Penyanyi dalam rekaman ini terdengar sama dengan penyanyi yang membawakan peran Ingtai dalam Trek #1. Padalingsa ‘jumlah suku kata per baris dan suara huruf hidup pada akhir setiap baris’ dari sinom umumnya adalah 8a, 8i, 8a, 8i, 8i, 8u, 8a, 8i, 4u, 8a. Dalam pembawaan ini, penyanyi memulai pada baris ke-7 sampai baris ke-10, kemudian kembali ke baris awal dan lanjut menyanyi sampai baris ke-3. Salah satu alasan dari praktik ini dalam arja adalah ketika dalam sebuah dialog dramatis, seorang tokoh bisa berhenti, semisalnya, pada baris ke-6 dari sinom, dan tokoh mantri menjawab dengan baris puitis berikutnya, melanjutkan kisah dan ujaran dari tokoh sebelumnya. Rarisang ngojog ka pamreman, Silahkan menuju ke kamar tidur, (agar pembicaraan rahasia ini tak didengar oleh siapa pun) [Ainggih ngraris palungguh cokor i déwa ngranjing mrika ka pamreman ida i aji] Ya, silahkan, Tuanku, beranjaklah ke kamar tidur ayahanda Sang Salya sedek ketangkil, Paduka Raja Salya siap menerimamu,
21
[Sayuwakti pisan sakadi wacanan palungguh cokor i déwa, ri tatkalaning ida uwan palungguh cokor i déwa katangkil aratu] Tepat sekali Tuanku, pamanmu menanti dan siap menerimamu eluh-eluh, semua perempuan, [Ainggih sami pada istri-istri aratu] Betul, semua wanita, kundang-kundang saseliran, termasuk pula para selir [Ainggih pingkalih sakaning para ratu ida uwan palungguh cokor i déwa] Ya, termasuk semua yang mengabdi ke pada Paduka Raja Ujaran-ujaran oleh Salya (tetapi dinyanyikan oleh pelakon yang sama): Kagiat kayunné manyingak, Pikirannya sungguh-sungguh bergelora saat melihat (Nakula), [Béh ha-ha-ha-ha-ha, sayuwakti, sayuwakti sakadi kagiat pakayunan palungguh cokor i déwa ngaksi] Benar, benar, Paduka Raja sangat terperanjat Sang Nakula rawuh nangkil, Nakula datang menghadap secara resmi, [Inggih sayuwakti pisan sasukat napi, rawuh ida anak palungguh cokor i déwa.] Apa sesungguhmya tujuan keponakan Tuanku datang berkunjung nganika ida manyapa, Beliau menyapa [Arah aih, sayuwakti dabdab pangandikan palungguh cokor i déwa nyambat sara] Ya, dengan santun Raja Salya menyambut kedatangannya (Rekaman berakhir setelah baris ke-3 dari bait yang baru)
CD Trek #4 Kidung Jayendriya Bahasa: Kawi ‘Jawa Kuna’-Bali. Dinyanyikan oleh I Renteg Rakryan sang satsat ajeng tanuri déng kawi mango bhrang ti raga kinun canging masa kartika mangun hyunhyun bhrami ta mango rasmining asangunggwa lepitan lamlaming hatri Beliau yang dipandang sebagai sumber ilham bagi pengarang | seorang pujangga yang mabuk kepayang karena keindahan, diselimuti oleh keagungan bulan Kartika (Oktober-November) | yang membangkitkan gairah dan rindu, berpetualang memburu keindahan | berbekal alat tulis,
22
hanyut dalam dekapan rindu Tema dasar dari Jayendriya adalah ilmu pengetahuan dan penguasaan dari panca indra dan keinginan. Kidung ini adalah kawitan bawak ‘bait dalam pentuk singkat’ dan hanya sepertiga dari bait yang terekam. Keragaman dan kehalusan dar nada-nada lantunan mencerminkan sebuah gaya pra-kebyar dari makidung ‘menyanyikan kidung’.45
CD Trek #5 Kidung Wilet Mayura (Manukaba) Dinyanyikan oleh I Gejor Kelambu Bahasa: Kawi-Bali Umangawruha mangrencana kidung tan luhung norana ring pakenoh sawiakti atemah guyu guyu bendunira kang apradnyan angapusing kelangwan Berkehendak dan berencana mengarang sebuah kidung, meskipun tak mahir dan tak sesuai kata hati, sungguh-sungguh bisa menjadi bahan tertawaan dan dimarahi oleh para pujangga yang telah mahir menggubah keindahan. Kutipan singkat ini bersumber dari lulungid, sebuah jenis kidung yang meramu pengertian akan dunia gaib dengan alam, cinta dan erotisme. Seperti halnya Jayendriya, nyanyian ini dibawakan dalam gaya kuna dengan keragaman semitones ‘nada-nada dengan interval rapat’ dan juga lompatan-lompatan besar dalam rentangan nada. Walau basa kidung ‘bahasa kidung’ umumnya Jawa Tengahan, naskah Kawi-Bali ini juga dirujuk sebagai basa kidung.
Arja Geguntangan Sesetan CD Trek #6 Ginada Sampik-Ingtai Bahasa: Bali Lumrah Ingtai memberitahu Sampik agar datang ke rumahnya untuk menikah. Ingtai memberi petunjuk agar Sampik mengikuti perhitungan 3 + 7, 2 + 8, 4 + 6 hari. Sampik salah paham dan menjumlahkan perhitungan hari-hari tersebut secara sekaligus dan tiba di rumah Ingtai 30 hari kemudian. Pada saat itu Ingtai telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Kedua tokoh Ingtai dan Sampik dinyanyikan oleh pemeran yang sama dalam gaya arja negak tanpa tarian. Sampik:
46
Kénto papinehé ya i babah, Begitulah pemikiran Sampik,
Punta menyela: Ainggih a sapunika kapi kayun antuk mekelé Madé. Seperti itulah pendapat Sampik.
45
Percakapan dengan Wayan Pamit (2003) dan Wayan Sinti (2009). Lihat PDF dalam CD Bali 1928, vol. II untuk penjelasan lebih lanjut tentang kidung. 46 Dalam bahasa Bali, babah dan nyonyah merujuk kepada warga keturunan Cina laki-laki dan perempuan yang mempunyai status sosial terpandang dan terhormat.
23
Punta:
Wiakti pisan mekelé Madé Benar-benar begitu, Tuan Made.
Ingtai:
Abis ngopi, Baru saja usai minum kopi,
Condong:
Sayuwakti makelé Putu. Betul adanya, Tuanku Putu.
Condong dan Punta: Mangkin sampun mekelé Madé wusan minum sareng mekelé Putu mekelé Madé Kini sudah selesai Tuan Made menikmati kopi bersama Tuan Putu, Ingtai:
Ni nyonyah na… Ingtai…
Condong menyela: Rasa durusang raka makelé Putu Silakan kakak Sampik (menjelaskan) Ingtai:
nandruh nakonang, Saya mesti bertanya lagi, (ia telah tahu bahwa Sampik lupa akan janjinya untuk bertemu, tetapi ia berpura-pura tidak tahu)
Condong:
Ainggih sireng ankésan makelé Madé puniki penikang dani makelé Putu. Ya, dengarkan dengan baik Sampik, inilah kehendak dari Nyonyah Putu.
Ingtai:
Bli kija tumbén ngapang, Mengapa kamu baru tiba?
Condong:
Sapunika mekelé Madé, mekelé Madé kija tengai nepeté mekelé Madé? Begitulah Tuan Made, hendak ke mana siang hari begini?
Ingtai:
Napi wénten karyan bli, Apa tujuanmu, kekasihku?
Condong:
Sapunika mekelé Madé, napi sua karyané mekelé Madé? Lalu, apakah tujuanmu, Tuan Made?
Ingtai:
Becik nikayang ring(ing) titiang, Lebih baik ungkapkan maksudmu padaku,
(Ujaran Punta berbarengan dengan Ingtai pada baris-baris berikut): Sing ja ade lénan alih bli Nyoman Ia tak mempunyai tujuan lain (selain memenuhi janjinya), Nyoman Punta:
Ainggih patut uningang mekelé Madé. Ya benar, lebih baik katakan saja, Tuan Made.
24
Sampik:
I babah janggel tengkejut, Sampik terkejut dan terhenyak,
Punta:
Ainggih mangkin keselengagang pakayunan mekelé Madé. Benar, tampaknya ia benar-benar terperanjat.
Sampik:
Béh déwa nguda nandruhang, Lalu mengapa kamu bertanya lagi?
Panasar:
Ainggih sapunika mekelé Putu dados mekelé Putu malih mataken ring mekelé Madé na keto masih Nyoman (condong) dadi Nyoman buin metakon kapining bli Nyoman? Ya, Nyonyah Putu, kalau sudah tahu kenapa masih terus bertanya, sama halnya dengan Nyoman yang terus-menerus menanyakannya padaku?
Sampik:
Mirib lali, Mungkin kamu lupa,
Rekaman berakhir pada baris terakhir dari bait yaitu: ring pasubayané suba. tentang janjimu dahulu. Padalingsa dari ginada adalah 8a,8i,8a,8u,8a,4i,8a. Pembawaan ini mulai dari baris ke5 dan usai setelah baris ke-6. Kembali, ini bisa mencerminkan percakapan antara tokohtokoh dalam cerita, di mana penyanyi akan meneruskan cerita setelah lantunan tokoh sebelumnya.
25
CD Trek #7 Ginada Arjuna Wijaya (Suwanda) Bahasa: Bali Lumrah Bersumber dari epos Mahabharata, tokoh Arjuna diperankan oleh seorang pemeran wanita dalam jenis karakter mantri ‘pangeran halus’. Dirujuk sebagai Arjuna Sasrabahu ‘Arjuna bertangan seribu’, babak ini juga melibatkan tokoh patih ‘menteri’ Suwanda yang sepintar dan setangguh Arjuna. Baris-baris ujaran dari Wijil atau kartala ‘pelayan, abdi’ ditunjukkan dalam tanda kurung. Kaka Punta Kartala, Para penasihatku, Punta and Kartala, Wijil menyela: [Ainggih titiang parekan cokor i déwa aratu.] Ya Tuanku, hambamu yang setia ada di sini. krana nira karena saya Wijil menyela: [Ainggih doning cokor i dewa?] Benar, apa yang menjadi kehendakmu, Tuanku?
26
enjing atangi, [penyanyi mengatakan enjang] Saya selalu bangun pagi, [Ainggih sakadi semeng aratu] Ya, benar-benar pagi sekali Tuanku terbangun. sué nira ring Narmada, Ya, selama saya ada di sini, di Narmada, Wijil menyela: [Inggih, angkat saking lami cokor i dewa iriki ring Narmada aratu.] Tuanku telah lama berada di Narmada. Setelah Arjuna menyanyikan Narmada: [Ainggih wiakti pisan aratu.] Ya benar sekali, Tuanku mangemban ni… berjalan bersama-sama dengan ... Wijil memotong: [Ainggih mula coker i dewa ngemit rain coker i dewa aratu] Benar, Tuanku melindungi istri paduka. …i adi galuh, ...istriku, (Dewi Citrawati) [Ainggih punika minakadi rain cokor i déwa aratu.] Benar, kehadiran istri paduka adalah benar adanya, Tuanku sakatah pada pawongan, bersama semua rakyat dan abdi setiaku, [Ainggih kalintang akeh pisan buat wang jron cokor i déwa aratu] Ya, pengikut setia Tuanku sangat banyak. sami ngiring, yang mengiringiku, [Ainggih sami ngiring hyun cokor i déwa aratu.] Benar, semuanya tunduk dan patuh terhadap perintahmu, Tuanku. kunda-kunda saseliran. bersama para selir. [Inggih yan asapunika, asapunapi buat hyun cokor i déwa sakadi mangkin aratu?] Ya, bila begitu, apakah kehendak Tuanku sekarang? Yan angemit punang rajiya, Banyak pula yang menjaga dan mengamankan istana,
27
[Ainggih sané mula andel-andel cokor i déwa ngemit jroné aratu] Benar, memang banyak yang bisa kita percaya menjaga istana, Tuanku Tan lian sira rakriyana patih, Tiada menteri yang lain, [Ainggih nénten ja tios punika buat tanda mantrin cokor i déwa aratu.] Benar, tak ada yang bisa menandingi menteri yang mengabdi kepada Tuanku, Patih Suwanda maka manggala, Patih Suwanda sebagai panglima perang dari pasukan Tuanku, Wijil menyela: [Ainggih punika sané mapéséngan i patih Suwanda, punika minakadi pucukang cokor i déwa aratu.] Tentu, ia yang bernama Patih Suwanda memang pantas memimpin angkatan perang milik Tuanku. (Rekaman berakhir setelah baris ke-3 dari bait ke-2)
CD Trek #8 Ginada Déwabrata Bahasa: Bali Lumrah Tembang yang dikutip dari repertoar arja ini bersumber dari Adiparwa atau bagian pengantar dari Mahabharata yang mengungkap para leluhur dan nenek moyang dari keluarga Pandawa dan Kurawa. Déwabrata adalah putra dari Sentanu dan Dewi Gangga. Ia juga dikenal sebagai Bhisma, sebutan yang disandangnya karena sumpahnya untuk tidak menikah sehingga ayahnya bisa menikahi Gandarwati yang memberi syarat kepada raja bahwa keturunannya mesti mewarisi takhta. Lantuan suara dalam rekaman adalah Déwabrata sebagai mantri dan Punta ‘penasihat, abdi’. Kaka Punta Kartala, Para penasihatku, Punta and Kartala, [Ainggih titiang parekan cokor i déwa aratu.] Ya, Tuanku, hambamu yang setia siap mengabdi. krana nira karena saya [Inggih doning cokor i déwa] Benar, apa yang menjadi kehendakmu, Tuanku? enjing atangi, [penyanyi mengatakan enjang) terbangun di pagi hari [Yuwakti semeng buat bangun cokor i déwa aratu] Ya benar, sangat pagi untuk bangun, Tuanku Manapa kocap nikang wang, Bagaimana keadaan rakyatku?
28
[Ainggih yan mungguing punikané sampunika cokor i déwa ring titiang, napi malih ring nénten wénten aratu.] Sangat baik, tak ada satu pun yang berani menentang perintah Tuanku. Ri ninda sapolah ingsun, Apakah ada yang berani melanggar perintahku? [Ainggih sané buat maricéda lungguh cokor i déwa, nénten wénten aratu.] Menentang kehendakmu, tak ada yang berani, Tuanku. Buplaka rumaksa pasraman, Seperti seorang raja yang melindungi tempat pertapaan, [Ainggih yuwakti pisan sakadi wacanan cokor i déwa aratu] Benar, Tuanku, persis seperti yang paduka sampaikan. Sané mangkin, Kini, [Ainggih mungguing mangkin asapunapi yun cokor i déwa aratu) Ya, apa yang kini Tuanku inginkan? mangda nira sahuninga. agar saya tahu [Ainggih buat yan sapunika kayun cokor i déwa, becik pisan aratu.] Benar, tepat sekali Tuanku. Yan ring kadig jayan, Di saat-saat kejayaan ini, [Ainggih yuwakti sakadi wacanan cokor i déwa aratu.] Benar, persis seperti yang paduka katakan. sakwéhin semuanya [Ainggih sakatah ipun aratu] Ya, seluruhnya, Tuanku punang ari, termasuk semua musuh, [Ainggih punika buat satrun cokor i déwa aratu] Benar, semua yang menjadi musuh Tuanku sakwéhin sakti ratu pi nejah, semua yang mempunyai kesaktian telah mati,
29
[Yuwakti pisan aratu.] Sangat benar, Tuanku.
Beberapa Pandangan Tentang Perkembangan Jangér Cak (dalam pembahasan-pembahasan di Bali, kécak lebih sering dirujuk sebagai kelompok penyanyinya daripada sebuah gaya nyanyian) dipentaskan di masa lampau untuk mengiringi pelbagai upacara yang berkaitan dengan tari sakral Sang Hyang yang mempunyai fungsi untuk menyucikan atau menolak dan mengentaskan bala di sebuah desa pada musim hujan yang rentan wabah penyakit atau pada masa penuh ketidakseimbangan. Pelbagai dewa-dewi dan roh bisa merasuki tubuh dan mengambil kendali jiwa seseorang, sebagai contoh, kerauhan ‘kesurupan’ atau nadi ‘menjelma hidup secara gaib’. Dua bentuk paling terkenal dari Sang Hyang adalah Sang Hyang Dedari yang diberkati bidadari-bidadari dari kayangan, dan Sang Hyang Jaran yang mewujudkan jiwa dari seekor kuda. Kidung dan gending dolanan ‘lagu permainan anakanak’ menjadi repertoar dasar bagi paduan suara (umumnya wanita) yang mengalun lamban, mengiringi lantuan doa seorang pamangku ‘rohaniawan’ desa dan gulungan asap pedupaan saat mengundang dewa-dewi atau roh agar memasuki badan kasar para penari. Ketika kerauhan atau nadi tercapai, koor cak pria pun membahana untuk meningkatkan pengaruh dan kekuatan dari proses kerasukan dan upacara suci tersebut. Paduan suara saling-kait yang sangat rumit dan terkenal di seluruh dunia ini mempunyai asal usul dan terinspirasi dari suara-suara satwa di persawahan, ladang-ladang dan pohon, mirip dengan genggong, cakepung dan ngongkék. Ujaran-ujaran cak ditambah kekuatan dan kecenderungannya untuk merangsang dan mempertahankan tingkat kesadaran yang spiritual dan meditatif, telah membantu pembentukan identitas dari
30
jangér abad ke-20 sebagai sebuah ungkapan seni yang secara bersamaan baru dan kuna, menghibur penonton masa kini sekaligus mengungkap keterhubungannya dengan sumber-sumber spiritual di dalam alam-lingkungan dan kesejarahan pulau Bali. Jenis lain dari nyanyian berkelompok adalah sebagai hiburan, ketika para lelaki berkumpul seusai mengerjakan persawahan, saat mereka bersama-sama memainkan génggong ‘harpa mulut’.47 Jenis-jenis nyanyian berkelompok ini menggugah masa dan kenangan ketika tabuh diciptakan dalam lingkup pertemanan sembari bercengkrama melewatkan petang di persawahan, saat mengawasi dan menjaga aliran pipa-pipa irigasi dan memastikan tak seorang pun mengubah jalur air menjauhi tujuan yang dimaksud atau saat bersantai setelah seharian mengerjakan persawahan.48 Terkait cakepung dan ngongkék (menirukan perangai kodok), keriangannya terbantu dan memuncak akibat putaran minum tuak ‘minuman beralkohol dari nira aren’ atau arak ‘minuman beralkohol dari beras yang difermentasikan’.49 Mangku Suda dan Nyoman Marcono dari Batuan mengatakan bahwa permainan génggong tidak mungkin melibatkan penikmatan minuman keras sesedikit pun, karena pastinya akan menghambat ketenangan dan pengaturan pernafasan yang amat dibutuhkan.50 Dalam cakepung yang bisa disaksikan di Karangasem, Bali Timur, dan cepung, sandingannya di Lombok, lelakak adalah gaya nyanyian dalam suku kata yang lincah dan menggunakan beragam aksara ‘suku kata, huruf hidup dan mati’ dengan irama penuh sinkopasi dan saling-kait. Jenis musikal terkait di Bali Utara (mempunyai kemiripan mengingat keduanya diilhami juga oleh penikmatan tuak ‘minuman beralkohol dari beras’, dan juga mempengaruhi ngilag ‘pembentukan huruf hidup yang lentur dan luwes) yang melibatkan nyanyian berkelompok penuh irama saling-kait, ngongkék (juga dikenal dengan tembang Rengganis) secara harfiah merujuk kepada gerakan, bergoyang maju dan mundur, mondar-mandir bagaikan mencabut dan membebaskan penjor ‘tiang bambu keupacaraan’ yang tertancap dalam tanah. Salah satu cerita mengenai asal usul kata jangér berikut permainan vokalnya yang khas diungkap oleh Putu Legawa dari Buleleng kepada dalang dan pelakon topéng Ketut Kodi.51 Para lelaki yang menyanyi dan minum alkohol akan berimprovisasi secara bebas, memainkan kata-kata dan sepanjang pelantunan lagu dan pengujaran kata-kata, beberapa gabungan dan penggalan kata pun muncul. Praktik jangin ‘memasukkan atau mengisi’ ijung ‘janin’ seekor kijang atau monyet atau bikul ‘tikus’ ke dalam botol arak dan mendiamkannya untuk beberapa saat masih umum dilakukan dari dahulu sampai sekarang, dan dilandasi kepercayaan bahwa ramuan tersebut akan menjadi obat. 47
Lebih lanjut tentang génggong, lihat naskah PDF dalam CD Bali 1928, vol. III. I Gusti Putu Teken. Naskah dipersembahkan dalam Seni Renganis Merupakan Refleksi Cetusan Taksu Berkesenian di Desa Pakraman Pengelatan” Konferensi dan Festival Kebudayaan Bali (2013). 49 Sebuah uraian tentang pelbagai minuman berakohol Bali bisa dilihat dalam Eiseman 1990 Vol II: 272281. 50 Percakapan (2015) 51 Kodi (percakapan, 2006) mengingat I Putu Legawa, yang menjabat sebagai Kormin (Koordinator Administrasi) dari Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Pemprov Bali, yang kemudian menjadi Dinas Kebudayaan Bali. Saat Kodi belajar di KOKAR pada tahun 1980-an, sekelompok murid sedang berlatih jangér untuk pementasan di Yogyakarta, Jawa. Pendapat mengenai asal mula jangér di atas diingat oleh Kodi dari diskusi antara Putu Legawa dengan kelompok murid tersebut. 48
31
Sehingga jangin arak ‘menambah arak’ bertransformasi secara halus sebagai jangi ar lalu jangar dan jangér. Kemudian, jangi arak kijang ‘meramu arak dengan janin kijang’ adalah sepenggal frasa dari jangér yang dibalik sebagai arakijang jangi. Sebagai pilihan lain, pelbagai rempah-rempah bisa juga direndam dan diendapkan dalam gentong arak selama berbulan-bulan unutk digunakan sebagai obat. Alkohol selalu mempunyai peran penting dalam upacara keagamaan sebagai bagian dari macaru ‘persembahan’ yang ditujukan kepada bhuta kala ‘kekuatan-kekuatan mendasar dari alam yang bisa membawa kehancuran dan bahaya’. Kekuatan-kekuatan gaib ini dinetralisir melalui masomia ‘dipuaskan dan ditenangkan’, dan melalui pelbagai upacara, dikembalikan kepada alam semesta. Macaru ‘persembahan kepada bhuta kala’ dalam jadwal berkala – setiap 15 hari pada saat kajeng kliwon – terdiri dari tetabuhan arak brem ‘penuangan minuman beralkohol yang terbuat dari anggur tape ketan” di atas tanah bersama dengan nasi kepel (segehan), ‘sekepal nasi yang disajikan di atas potongan daun pisang’ di lantai dekat sanggah ‘tugu pemujaan’ di areal pura atau sekeliling rumah’. Pada saat yang bersamaan, canang ‘persembahan bunga yang dirangkai dalam wadah anyaman daun kelapa’ juga dihaturkan di tugu-rugu pemujaan dan ditujukan kepada dewa-dewi dan para leluhur. Pada dasarnya, tabuh arak brem juga disertakan dalam semua bhuta yadnya ‘upacara persembahan suci kepada kekuatan semesta dan makhluk gaib’ termasuk juga yang dilaksanakan dalam skala besar. Jadi norma moral yang melingkupi pemanfaatan alkohol sebagai sesuatu hal yang negatif mesti mempertimbangkan fungsi dari alkohol yang tak tergantikan dalam mempengaruhi sebuah keseimbangan spiritual dengan alam. Pada saat bersamaan, minuman beralkohol telah mempengaruhi bangkitnya beberapa tradisi seni karawitan terkenal di Bali (dan daerah-daerah lain), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pendapat lain mengatakan bahwa ungkapan siap majangéran ‘seekor ayam sakit dan kejang-kejang’ telah muncul terlebih dahulu jangér, namun tampaknya tarian telah berkembang jauh sebelum ungkapan terkait ayam tersebut. Apapun pendapat di atas, bentuk-bentuk kata jangér di masa sekarang ekrap dipahami sebagai permainan sukusuku kata tanpa arti, meskipun membawa pengaruh dan merangsang suasana kenikmatan, kasmaran dan di beberapa desa termasuk Kedaton, pada puncaknya menghasilkan kerasukan dalam keterhubungannya dengan upacara keagamaan (odalan ‘perayaan pura’). I Made Monog menelusuri asal usul jangér di Denpasar sampai di masa tahun 1920-an, dimulai di Penatih, Gaji, Abian Timbul, dan kemudian di Kedaton. Ia memberitahu kami bahwa sekaa Penatih tidak menggunakan iringan gamelan dan busana taru, para pelaku hanya mengenakan balutan busana sehari-hari, yaitu kamben ‘sarung’. Pak Monog juga mengatakan bahwa mereka juga memakai kalung-kalung yang terbuat dari untaian biji-bijian. Jenis kesenian ini berkembang dengan Dalung Gaji sebagai guru dan Pak Likes sebagai pimpinan sekaa. Begitu masyarakat di Kedaton mendengar kata jangér untuk pertama kalinya, mereka langsung tertarik menghadiri pementasan-pementasannya dan lantas mendirikan sebuah sekaa jangér. Menurut Monog dan narasumber lainnya, jangér masa awal di Kedaton terdiri dari ansambel yang keseluruhannya laki-laki dengan seorang guru dari Belaluan bernama I Koncong. Pengarah musikalnya adalah I Made Madeg dari Banjar Lebah yang berdekatan. Para penari pentas sambil duduk, dan berangsur
32
berubah; mulai berdiri dan menari dalam koreografi sejak sekaa mulai melibatkan penari perempuan Made Monog merujuk kepada sebuah versi awal dari gamelan jangér sebagai tambur, sebuah ungkapan yang juga melibatkan gerakan-gerakan dan lagu kopyak kécak ‘lagulagu dan permainan kata-kata yang dinyanyikan koor kécak dalam gaya saman yang berasal dari Aceh, Sumatra. Marga ‘jalan, rintisan atau ‘pelarasan’ dari pelbagai nyanyian yang merangsang kesurupan – sebagai contoh, Sang Hyang Jaran di Banjar Bun – pada dasarnya mengikuti gaya saih gendér (kini dikenal sebgai sléndro). Baik saih gendér dan saih gong digunakan oleh sekaa-sekaa jangér pada masa awal perkembangannya. Wayan Redia menceritakan bahwa pada permulaannya, anak-anak dan para remaja mementaskan jangér mengunakan pakaian sehari-hari, dan terjadi begitu banyak kerauhan. Mereka tampak begitu cantik seperti dedari ‘bidadari dari kayangan’. Para orang tua lantas memutuskan untuk mencari kayu pulé sebagai bahan dasar pembuatan sebuah topeng Rangda. Pada pencarian awal dan tak jauh dari desa, mereka hanya menemukan sebuah pohon yang ternyata terlalu tipis. Usaha lebih lanjut membuahkan hasil dan mereka berhasil menemukan ukuran yang pas. Sejak itu, sekaa jangér mereka dipandang sakral dan selalu pentas untuk odalan yang berlangsung setiap tahun di Pura Luhuran Bingin52, Kedaton, pada saat bulan purnama di bulan empat (Oktober). Akan selalu terjadi kesurupan di antara jangér, yang juga dipengaruhi oleh penggunaan gelungan ‘hiasan kepala’ yang disucikan melalui upacara melaspas dan pasupati oleh seorang pedanda, dan dimohonkan dan diberkati taksu ‘kekuatan spiritual gaib’. Sama halnya dengan daerah-daerah lain, semua gelungan disimpan di dalam pura. Ketika jangér menjadi dedari mereka sepenuhnya sadar saat pentas – ketika menari dan menyanyi usai, mereka bisa menjadi tak sadar dan tak mampu menguasai dan mengatur gerakan-gerakannya. Pementasan jangér pada saat odalan selalu diikuti oleh pementasan Calonarang, dramatari magis dengan Rangda dan barong.53 Mantan pementas jangér Anak Agung Ngurah Wira dan Wayan Sukerni (Jro Kusuma) menjelaskan adanya aura kekuatan sakral di pura yang selalu memunculkan perasaan haru-biru yang melimpah-limpah baik jasmaniah dan batiniah, merangsang pengalaman kesurupan yang asing dan indah di antara para pementas-pementas muda tersebut. Pada tahun 1928, seperti dibuktikan dalam rekaman-rekaman ini, jangér menggunakan saih gong (pélog) dan saih gendér wayang/angklung (dikenal sebagai sléndro). Gamelan jangér berkembang dari ansambel geguntangan yang telah digunakan dalam pementasan arja. Ansambel terdiri dari satu suling, dua kendang, tawa-tawa, kajar, kelenang, gumanak, rebab dan sebuah rebana (terbana atau tambur) menggantikan fungsi gong. Made Monog merujuk kepada keseluruhan gamelan jangér sebagai gamelan tambur, khususnya mengacu kepada drum Arab bermuka tunggal (terbuat dari kayu kelapa dengan membran/penampang suara dari kulit sapi) yang juga digunakan dalam geguntangan arja sebagai pengganti dua kendang saat pantun ‘lagu rakyat/puisi Melayu’ dinyanyikan. Sama halnya dengan jangér, satu-satunya alat gamelan yang memainkan melodi adalah suling yang memungkin para penyanyi dan pemain suling melenturkan nada-nada dan memanfaatkan kebebasan dalam ungkapan intonasi dan 52 53
Pura ‘tempat pemujaan’, Luhuran ‘nenek moyang’ Bingin ‘pohon beringin’ Lihat PDF dalam CD Bali 1928, vol. IV tentang pembahasan Calonarang.
33
emosional, sebuah kekhasan yang telah memudar dan hilang sejak diperkenalkannya alat-alat gamelan dengan titinada tetap. Menelusuri perkembangan gamelan jangér, banyak pengaruh datang dari gong suling dan gender wayang, terutama sekitar tahun 1940-an. Di Singapadu, I Made Kredek dan beberapa seniman lain bekerjasama dengan I Nyoman Geranyam, dalang ‘ahli dan pemain wayang’ dari Sukawati. Dalam sebuah kolaborasi yang saling menguntungkan dan mengisi, pementas jangér termasuk Made Monog mengajarkan gaya jangérnya sembari menimba ilmu dan pengalaman dari seniman-seniman Singapadu dan Sukawati. Kini, jangér umumnya diiringi oleh gamelan gong kebyar. Pada bulan Oktober 1929, sekaa jangér Kedaton pentas di Festival Pasar Gambir di Betawi (Jakarta), bersamaan dengan gamelan gong Belaluan. Gamelan gong kebyar Busung Biu, Buleleng, telah pentas di Pasar Gambir setahun sebelumnya. Para peserta misi kesenian ini termasuk gadis belia berumur sebelas tahun, Ni Wayan Pempen sebagai pangugal ‘penyanyi utama’, Ni Gusti Putu Rengkeg sebagai mantri, Ni Ketut Reneng (1904-1973) sebagai salah satu jangér, dan kakak laki-lakinya, I Wayan Marek sebagai daag. Daag akan mengambil tempat di tengah-tengah kalangan ‘arena pementasan’ yang seperti dijelaskan oleh de Zoete dan Spies berfungsi sebagai “semacan pembawa acara.”54 Peran musikal utamanya adalah untuk mengakhiri lantunan bait-bait dengan sebuah teriakan lantang daag! Walau Reneng lebih tua daripada Pempen, ia bergabung dalam koor pada tahun 1929, memerankan tokoh mantri dalam beberapa cerita dan ini berlangsung untuk beberapa lama setelah itu.55 Selain Wayan Marek (bisa disaksikan dalam cuplikan film oleh Miguel Covarrubias yang diunggah di saluran YouTube Bali1928.net), seorang daag bernama I Made Kerontong pun disertakan dalam sekaa. Misi kesenian ke Jawa tersebut diatur oleh Cokorda Gde Agung Sukawati dari Ubud. Lakon-lakon yang dipentaskan pada era itu bersumber dari epos Ramayana, Rajapala, Arjuna Tapa (kisah pertapaan Arjuna dari cerita Arjuna Wiwaha ‘Pernikahan Arjuna’). Lakon Sunda Pisunda juga dipentaskan ketika sekaa mulai pentas secara berkala di hadapan para wisatawan asing di hotel-hotel yang mulai berjamuran di Bali, tak lama setelah misi kesenian ke Jawa tersebut.56 Menurut Pak Monog, setibanya rombongan dari perjalanan ke Betawi itu, sekaa Kedaton dilatih lebih lanjut oleh Nyoman Kaler, Nyarikan Seriada dari Gemeh, dan Anak Agung Oka dari Belaluan. Sebuah riwayat hidup melaporkan bahwa Kaler dan Nyarikan Seriada sudah mengajar jangér di Kedaton sejak tahun 1924.57 Generasi seniman tua kerap membicarakan tentang dampak-dampak jasmaniah yang dihasilkan para penyanyi hebat melalui suara mereka dan taksu ‘kekuatan batin dan emosional dalam diri yang bersumber dari alam dan mempunyai pengaruh kuat untuk dirasakan oleh pihak lain’. Made Monog menggambarkan suara Ni Wayan Pempen sebagai nyaring ‘jernih, keras, lantang’ dan nyer-r-r-r (seperti desis minyak panas saat menggoreng masakan) yang semuanya dimaknai sebagai suatu tabiat estetis yang positif. Ia dan narasumber lainnya, termasuk Wayan Rugeh menjelaskan bahwa 54
1938: 212 Ibu Reneng, salah seorang murid légong Ida Boda akhirnya juga terkenal dan dihormati sebagai salah seorang guru légong yang hebat. 56 Seperti disampaikan sebelumnya, Bali Hotel dibuka untuk wisatawan pada tahun 1928. 57 Lihat riwayat hidup Nyoman Kaler dalam PDF CD Bali 1928, vol III. 55
34
menghadiri pementasan-pementasan Pempen dengan gaya menyanyi dan penokohannya yang unik selalu membuat bulu kuduk merinding, menggetarkan jiwa, dan membuat hadirin berderai air mata. Para penonton akan terpesona dan menangis sepanjang pembawaaan drama dan lagu-lagu yang menyentuh kalbu, dan mereka tak akan beranjak meninggalkan pementasan sampai arja menuntaskan lakonnya yang bisa berlangsung sampai dini hari. Sementara itu, para pedagang nasi, penikmat pelbagai jajanan dan masakan di warung-warung kecil yang berdekatan dengan area pementasan, tetap ramai, riuh dan sibuk sampai dini hari. Pak Rugeh menceritakan bahwa Wayan Pempen selalu mempesona para pendengarnya secara kejiwaan dan jasmaniah yang mendalam ketika menyenandungkan kidung Tantri dalam upacara-upacara keagamaan semisalnya mapandes atau matatah ‘upacara potong gigi’. Kata pempen berarti ‘memasukkan’ atau ‘menyimpan’. Sebuah lelucon yang kerap dilontarkan oleh masyarakat setempat, adalah kisah Wayan Pempen yang menikahi seorang anggota kécak jangér Kedaton bernama Wayan Kroso, kroso berarti sebuah keranjang terbuat dari anyaman bambu atau daun kelapa. Pempen lanjut memerankan galuh ‘putri’ dalam arja, topéng dan prembon, sebuah genre yang berkembang di masa awal tahun 1940-an yang menggabungkan topéng dan arja. Putranya yang bernama Wayan Redia memberitahu kami bahwa Pempen memerankan tokoh galuh dalam pelbagai pementasan bersama Ida Boda dan Ida Bagus Purya di seluruh pelosok pulau, termasuk Jemberana dan Buleleng dan juga di pulau tetangga, Lombok. Berselang tiga bulan setelah kelahiran putranya, Pempen telah kembali aktif berkesenian.58 Mantri ‘pangeran’ dalam jangér bisa menyanyi sebagai seorang karakter atau tokoh – misalnya Arjuna – atau berfungsi sebagai pangugal memimpin para penyanyi lainnya, atau bahkan menyanyi bersama dengan koor jangér. Menurut Made Monog dan Wayan Rugeh,59 Ni Lemon akan menjadi pangugal atau mantri, seperti halnya Ni Ketut Reneng. Pak Monog mengingat bagaimana Ni Gusti Putu Rengkeg memulai dan mengembangkan karakter mantri untuk Kedaton pada tahun 1928. Seperti halnya kebanyakan seniman Kedaton termasuk Rengkeg dan Monog, guru utama yang sering disebut-sebut adalah I Made Kredek dari Singapadu. Walau Ni Gusti Putu Rengkeg adalah ahli dalam memerankan mantri dalam lakon Rajapala, ia juga memerankannya dalam Arjuna Tapa. Dalam kedua lakon, para penari jangér memerankan para bidadari. Gusti Rengkeg memutuskan meninggalkan dunia seni dan peran setelah menikah. Penari lainnya pada masa itu, I Rubag, masih diingat sebagai garuda ‘elang’ dalam Arjuna Tapa (dan bisa disaksikan bersama Gusti Putu Rengkeg dan Wayan Marek dalam cuplikan film oleh Miguel Covarrubias yang diunggah di saluran YouTube Bali1928.net). Dari masa pembentukan awal sampai masa sekarang, jangér di berbagai desa di Bali terus bolak-balik berganti antara busana yang lucu dan kebarat-baratan dengan gayagaya busana tradisional semacam rejang, légong, wayang wong and cak.
58 59
Percakapan (2013) Percakapan (2006 dan 2014, berturutan)
35
Perjumpaan dengan Ni Wayan Pempen (Mémén Redia) Pada suatu hari di tahun 2009, penulis sedang menunjukkan koleksi foto kepada seorang teman dan rekan peneliti bernama Ni Ketut Arini. Ketika ia melihat foto jangér Kedaton karya Walter Spies yang penulis temukan dalam Claire Holt Collection di New York Public Library, ia berseru, “Oh, kita harus mengunjungi Mémén Redia, salah seorang penari jangér tertua yang masih hidup.” Kenyataannya ia tinggal sangat dekat, hanya beberapa menit dengan berjalan kaki. Tim peneliti berkunjung pada keesokan harinya. Ketika Mémén Redia melihat foto yang dimaksud di atas, ia berkata, “sing tiang”, ‘bukan saya’. Tetapi setelah keterkejutan dan kekecewaan awal kami, penulis memutuskan untuk bertanya apakah ia bersedia mendengar rekaman-rekaman kuna yang kami miliki, khususnya rekaman kelompok jangérnya. Ketika rekaman mengalun dari boombox ‘pemutar CD’ dan saat suara vokal mulai terdengar, ia berseru, “niki tiang!”, ‘ini saya!’ Sambil lanjut mendengarkan rekaman, kami mempelajari bahwa ia adalah pangugal belia berusia sepuluh tahun yang menjadi penyanyi utama dalam keseluruhan tujuh rekaman jangér Kedaton. Penulis mengetahui bahwa ada beberapa cuplikan film oleh Covarrubias tentang sekaa tersebut, sehingga kami pun bersamasama menontonnya melalui layar komputer jinjing milik penulis. Ketika kami menyimak cuplikan beberapa gadis yang sedang berias dan berdandan, ia kembali berseru, “niki tiang!” ‘ini saya!’ Hasil penting ketiga dari persuaan kami itu adalah ia mengingat lirik dari semua lagu dan memperbaiki transkripsi awal yang telah kami lakukan.
36
Permainan kata-kata dari koor kécak umumnya adalah bunyi-bunyi tanpa arti harfiah, tetapi beberapa di antaranya mirip bunyi alat-alat gamelan (sebagai contoh, byong, pyong, tong, sir-r-r-r) termasuk juga istilah-istilah dari pelbagai gerakan tangan dan lengan (misalnya, kopyak ‘tepuk tangan’ dan cetég atau setég ‘memukul telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanan’). Cetag secara harfiah berarti ‘suara bedil’ atau ‘bertabrakan’ ketika kécak menepukkan tangan bersama-sama, tetapi Wayan Redia dan beberapa narasumber lain mengatakan bahwa ujaran-ujaran itu tak mempunyai arti. Baru-baru ini, Ida I Dewa Gde Catra berkomentar, “Tak ada jangér tanpa sriang ntur rora roti.” Dan tentunya, roti adalah macam makanan dan jajanan dari tepung terigu yang tentunya baru dan menarik pada zaman itu di seluruh pulau. Made Bandem melaporkan pernah mendengar bahwa frasa itu aslinya merupakan tanggapan dan permainan terhadap ‘do-re-mi-fa-sol-la-si-do’.60 Tantangan bagi kami dalam menuliskan bentuk-bentuk ujaran ini terkait dengan fakta bahwa permainan kata-kata tersebut sudah tak digunakan lagi, dan kenyataan bahwa kualitas piringan-piringan hitam tua tersebut sudah memudar akibat telah diputar berulang-ulang, terus-menerus. Tetapi kami sangat beruntung menerima saran-saran yang tak kenal lelah dan penuh semangat, khususnya dari I Made Monog, I Wayan Redia dan Ni Nyoman Candri, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka akan “repertoar kuna” serta kemampuan mendengar mereka yang tinggi. Permainan kata-kata kécak yang kami sertakan dalam naskah ini bukanlah notasi pewaktuan yang tepat tetapi notasi untuk menunjukkan keterhubungannya dengan lagu-lagu dari jangér.
60
Keduanya percakapan (2015)
37
Jangér Kedaton, Denpasar dengan Pangugal ‘Penyanyi Utama’ Ni Wayan Pempen CD Trek #9 Mula Tubuh di Kaléran Mula tubuh di kaléran, mula tubuh di kaléran, Menanam kelapa di sebelah kuning wilis pejang diwang, kuning wilis pejang diwang kuning hijau ditaruh di luar jangrangi jangér arakijang-rangi jangi rarari jangrangi jangér arakijang-rangi jangi héhé hé hé héhé hé hé a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong
38
arakijang rangi jangér arakijang rangi jangi héhé hé hé rarari jangrangi jangér arakijang-rangi jangi héhé hé hé a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong sta-tig-tag-jong, sta-tig-tag-byong,61 jangsuk jangsir a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak técak a té – cak é cak a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak cetag ntur rora roti seta-tig-tag seta-tig-tag-byong cetag ntur rora roti seta-tig-tag seta-tig-tag-byong sriang ntir ya pong Kadung buduh majangéran, kadung buduh majangéran, Terlalu asyik mementaskan jangér, cenik kelih pada girang, cenik kelih pada girang, muda dan tua, semuanya bergembira, jangrangi jangér arakijang rangi jangi rararari héhé hé hé jangrangi jangér arakijang rangi jangi héhé hé hé a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong arakijang rangi jangér arakijang rangi jangi héhé hé hé rarari jangrangi jangér arakijang-rangi jangi héhé hé hé
61
Seta-tig-tag-jong bisa juga sebagai sta-tig-tag-jong (menurut Nyoman Candri) atau, menurut Wayan Redia, se-ti-tag byong.
39
a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong a – rakijang rangi jangér sakdé– sak–dé– biuk sriang ntir yang pong sta-ti-tag-jong sta-ti-tag-byong, jangsuk jangsir a–ra–ki-jang rangi jangér a-ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak técak a té – cak é cak a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak cetag ntur rora roti seta-tig-tag seta-tig-tag-byong cetag ntur rora roti seta-tig-tag seta-tig-tag-byong sriang ntir ya pong
CD Trek #10 Ngoréng Jaja Ngoréng jaja celos-celosan, ngoréng jaja celos-celosan, Menggoreng jajan sambil berjongkok, Durén matah di suminé, durén matah di suminé, Durian mentah di atas jerami, Timpas puntul jang di sanggah, Pisau tumpul letakkan di tugu pemujaan, Kecemcemé lebeng abedik. Dedaunannya setengah matang. A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti té cak a é — cak é–cak té-cak a-é - cak é- cak A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti té cak a é — cak é–cak té-cak a-é - cak é- cak A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak jangi jangi jangér, jangi jangi jangér, jangi jangi jangér, jangi jangi jangér, jangi jangi jangér, jangsuk jangsir, A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti té cak a é — cak é–cak té-cak a-é - cak é- cak A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti
40
té cak a é — cak é–cak
técak a-é - cak é- cak
A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak jang – i jangi jangér a-ro - ra – ro – ti técak écak é- cak técak técak écak jang – i jangi jangér, jang – i jangi jangér técak écak é-cak é técak écak é-cak é jang – i jangi jangér, jang – i jangi jangér técak écak é-cak é técak écak é-cak é jang – i jangi jangér, jangsek jangsir técak écak é-cak é, jangsek jangsir Kadén saja pepolosan, kadén saja pepolosan, Tampaknya polos, tumben mentas ke guminé, tumben mentas ke guminé, ini pertama kalinya melintasi daerah ini, mentas nguntul ngajakin singgah, berjalan menunduk, mengajak simpang, ngedésem ya sebengné pedih, senyumnya kecut menahan marah, A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti té cak a é — cak é–cak técak a-é –cak é- cak A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti té cak a é — cak é–cak técak a-é –cak é- cak A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak jang – i jangi jangér, jang – i jangi jangér, técak écak é-cak é técak écak é-cak é jang – i jangi jangér, jang – i jangi jangér técak écak é-cak é técak écak é-cak é A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti té cak a é — cak é–cak técak a-é –cak é- cak A-rak-i- jang rangi jangér sriang ntur ro - ra ro-ti
41
té cak a é — cak é–cak
técak a-é –cak é- cak
A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak A-rak-i- jang rangi jangér a-ro - ra – ro – ti té cak a é — cak é–cak técak técak écak jang – i jangi jangér, jang – i jangi jangér técak écak é-cak é técak écak é-cak é jang – i jangi jangér, jang – i jangi jangér técak écak é-cak é técak écak é-cak é jang – i jangi jangér, jangsuk jangsir técak écak é-cak é, jangsuk jangsir62 Saat didengarkan, lagu (bagian-bagian dengan kata-kata) terdengar sederhana dalam skala saih gendér lima-nada (atau sléndro), namun sesungguhnya lagu ini mengandung transposisi melodi yang lincah dan jarang diperhatikan, dan hanya bisa dilakukan secara vokal (kecuali bisa ada dua set gendér yang dilaras berbeda). Kata-kata pembukaan, Ngoréng jaja celos-celosan, dinyanyikan dalam titinada nding yang berdekatan dengan kunci kromatis G. Tetapi pada 00:12, melody berpindah menuju nding yang setara kunci kromatis C, dan berlanjut sampai 01.30. Pada bait selanjutnya yang dimulai dengan kata Kadén, titinada nding tersebut menghilang dari skala. Suara meninggi satu tingkatan yang seharusnya menjadi ndong, namun kini menjadi ndung dari skala asli (selayaknya permulaan lagu) yang berlangsung selama pengulangan bagian Kadén saja pepolosan dengan not pertama ning. Kemudian, pelarasan kembali menuju transposisi saih gendér dengan ning yang setara kunci kromatis C.
62
Suku kata terakhir tidak terdengar sebagai sir namun para penyanyi Kedaton bersikeras bahwa hal ini merupakan ujaran penutup yang pantas dan tak ada ujaran khas lainnya yang terdengar jelas.
42
43
CD Trek #11 Lagu Rajapala Di tengah hutan terdapat sebuah mata air, dan bagaikan bermimpi, Rajapala melihat para bidadari nan jelita, bercengkrama sembari mandi dan membersihkan diri. Rajapala lalu mencuri selendang milik bidadari tercantik, Ken Suliasih, dan tanpa selendang itu, Suliasah tak bisa terbang kembali ke surga. Rajapala menawarkan akan mengembalikannya bila Suliasih mau menikahinya. Suliasih pun setuju dan memberinya keturunan, seorang putra bernama Durma. Suliasih akhirnya kembali ke kayangan, dan Rajapala pun masuk hutan belantara untuk bertapa. Jangi jangér déwa déwa sujati déwa lédang, Oh, Tuanku yang benar-benar riang, yan tan pacang tan muatan, mas selaka pipis, yang tak bisa dibeli dan digantikan dengan kepeng emas, yaning déwa yaning déwa ngambil tiang, bila Tuanku berniat meminang saya, Yan ten enyak yan ten enyak tiang megedi, Bila tak mau, saya akan pergi jani kénkén jani kénkén baan medaya? bagaimana caranya sekarang memikirkan ini? tusing bani tusing bani bakal mulih, saya tak berani pergi pulang, tan urungan tan urungan sagét ditu nyak uliange, namun pasti pulang jika (selendang) tiba-tiba dikembalikan, To mawanan to mawanan dadi mulih. Itu caranya saya bisa pulang ke kayangan. jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, tung sriang teng-cé-teng-cé-tung, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jang pung, té a-a-técak écak pung,
44
jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jang pung
CD Trek #12 Mula Kutuh Mula kutuh mula kutuh di kaléran, Menaman pohon kapuk di utara, Sak byang Jangrangi jangi jangér jejang jangér aro kijang, Jangrangi jangi jangér jejang jangér aro kijang, Jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jang soh jang sir Takoka té takoka, takokat té takoka, takoka té takoka pyak Jangrangi jangér arakijang rangi jangér, araki - jang rangi jangér técaté – cak é-cak técaka é – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé–dé–da - pih té cak té – cak écak écak tak-tak-tak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé–dé–da - pih té cak té – cak écak écak tak-tak-tak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé – dé – da – pih té cak té – cak écak écak pyak-pyak-pyak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé–dé–da - pih té cak té – cak écak écak tak-tak-tak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé–dé–da - pih té cak té – cak écak écak tak-tak-tak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak
45
dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé–dé–da - pih té cak té – cak écak écak tak-tak-tak Daag! Kadung buduh, kadung buduh mejangéran, Terlalu asyik mementaskan jangér, Sak byak Jangrangi jangi jangér jejang jangér aro kijang, Jangrangi jangi jangér jejang jangér aro kijang, Jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér, jang soh jang sir Takoka té takoka, takoka té takoka, takoka té takoka pyak Jangrangi jangér arak i- jang rangi jangér, a-raki- jang rangi jangér téca a té – cak é-cak técaka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé – dé – da – pih té cak té – cak écak écak pyak-pyak-pyak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé – dé – da – pih té cak té – cak écak écak pyak-pyak-pyak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé – dé – da – pih té cak té – cak écak écak pyak-pyak-pyak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé – dé – da – pih té cak té – cak écak écak pyak-pyak-pyak arakijang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér, a-rak-i-jang rangi jangér té-caka té – cak é-cak té-caka té – cak é-cak dé pag, jang rangijang dédé-da, dé-dé–dé–da - pih té cak té – cak écak écak tak-tak-tak Daag!
46
CD Trek #13 Lagu Sang Jaya Warsa Nyanyian dalam gaya tembang Pangkur Jawa Jerijiné lurus ngurinang, Jari-jemarinya lentik nakané luir manik toya, kukunya putih berkilau, Prabu Basahrah arané bagus tan petandingan, Raja Basahrah namanya, beliau ganteng tanpa tandingan, rarasé rasmining surat, seindah lukisan, manisé mengawé lulut. parasnya meluluhkan hati jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cang–koh cangkoh jangrangi jangi jangér hé–hé hé-hé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh
47
sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cangkoh é cangkoh jangrangi jangi jangér hé–hé hé-hé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cangkoh é cangkoh jangrangi jangi jangér hé–hé héhé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk sir Mangkin sampun ngelah rabi, Kini telah beristri, bagusé masanding bunga, ketampanannya setanding kecantikannya, luung-luung anom-anom, sama mudanya, sama segarnya solah ngunggun sayan melah, tabiatnya baik, semua bagus, luncit ning sirat maya, dengan alis yang rapi, manisé mangawé lulut, indah membangkitkan hasrat, masipat waja nerang ri danta, giginya putih dan berkilau seperti gading jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cang–koh cangkoh
48
jangrangi jangi jangér hé–hé hé-hé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cangkoh é cangkoh jangrangi jangi jangér hé–hé hé-hé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cangkoh é cangkoh jangrangi jangi jangér hé–hé héhé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk jangrangi jangi jangér jang jangi jangér cangkoh é cangkoh jangrangi jangi jangér hé–hé héhé jangrangi jangi jangér arak– i – jang rangi jang cang – koh cangkoh cangkoh cangkoh sri-ang ntur rora roti sakbyuk byuk byuk sir Daag!
49
CD Trek #14 Nguyeg Kacang I Dalam gaya Pantun Melayu Nguyeg kacang basan taku, nguyeg kacang basan taku, Menggerus kacang sebagai bumbu tahu, suna tabia penyantokan bongkol tiying, suna tabia penyantokan bongkol tiying, bersama bawang putih dan cabai memakai ulekan dari pangkal bambu, Cuka Belanda coco kecap basa rauh saking Jawi, cuka Belanda coco kecap basa rauh saking Jawi, Cuka Belanda, kecap cap Coco dan bebumbuan dari Jawa, Tiang melali tekedi Buduk, tiang melali tekedi Buduk, Saya melancong sampai Buduk, Ditu ada anak menabuhan suling, ditu ada anak menabuhan suling, Di sana ada seseorang memainkan sebuah suling, Kema Badung meli kacang wadah karung wésang kelambi, kema Badung meli kacang wadah karung wésang kelambi, Pergi ke Badung membeli kacang dalam karung dari baju bekas, Natad kladi mawadah pelupuh, natad kladi mawadah pelupuh, Menjinjing ubi-ubian dalam anyaman buluh, Betarané melali di Pura Jurit, betarané melali di Pura Jurit, Dewa-dewi mengunjungi Pura Jurit Meli juwuk meli juwuk teked jumah darang nasi, meli juwuk meli juwuk teked jumah darang nasi, Membeli jeruk untuk lauk nasi, Meli keben wadah biu, meli keben wadah biu, Membeli bakul untuk tempat pisang, caran kutuh caran dadap caran canging, caran kutuh caran dadap caran canging, ranting randu, dadap dan juga canging, Rasa kutang natag émbér sambilang mangisi gending, Lupakan hal-hal yang membebani, jinjinglah ember sambil bernyanyi, Rasa usak ané pakeh bedikang mengidih usil. Perasaan yang yang merusak hati, kurangi dengan jangan mencari masalah. jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangi jangi jangér, jaja jangi jangér nara ntur rora roti,
50
jangi jangi jangér, jaja jangi jangér nara ntur rora roti jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangi jangi jangér, jaja jangi jangér nara ntur rora roti
CD Trek #15 Nguyeg Kacang II Dalam gaya Pantun Melayu Tiang daweg ring iratu, titiang daweg ring iratu, Saya segan pada Tuan, tuna saja ban belog tiang magending, tuna saja ban belog tiang magending, nyanyianku memalukan karena kebodohanku, Tuara saja, tuara saja te kécap bisa mengawi, tuara saja, tuara saja te kécap bisa mengawi, Tidak benar saya bisa mengarang, Yening bani ngigel majujuk, yening bani ngigel majujuk, Bila berani menari sambil berdiri, apang ada to bli labuh manyungkling, apang ada to beli labuh manyungkling, agar ada kakak (lelaki) yang jatuh terguling-guling, Yening labuh, bli pacang tan urang kedekin gumi, yening labuh, bli pacang tan urang kedekin gumi, Bila kakak (laki-laki) jatuh, semua akan mentertawakanmu, Yantan Widi némamusuh, yantan Widi némamusuh, kalau tidak dimusuhi dewata, ja para bli jalan labuh manyungkling, ja para bli pajalan pamanyungkling, mustahil kamu bisa jatuh terguling-guling, Bli muruk bli muruk peteng lemah sai-sai, bli muruk bli muruk peteng lemah sai-sai Kakak (laki-laki) berlatih siang-malam, Nyai ngigel ajak liu, nyai ngigel ajak liu, Adik (perempuan) menari berbanyak, depang patuh depang dabdab nyai magending, depang patuh depang dabdab nyai magending, agar kompak dan teratur saat adik (perempuan) bernyanyi Mara ngigél seledat seledét kemikané apang manis, Saat menari, mata melirik-lirik, senyuman pun agar manis,
51
Apang eda bibih bengor kemikané apang becik. Supaya tak ada bibir serong, tersenyumlah dengan baik. jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangi jangi jangér, jaja, jangi jangér nara ntur rora roti, jangi jangi jangér, jaja, jangi jangér nara ntur rora roti jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti, jangi jangi jangér, jaja, jangi jangér nara ntur rora roti, jangi jangi jangér, jaja, jangi jangér nara ntur rora roti
Sekilas Kehidupan Ni Lemon Ni Lemon (sekitar tahun 1889-1974) terkenal sepanjang tahun 1940-an sebagai pragina arja (penyanyi-penari-aktor). Menurut Made Monog, Ni Lemon sering pentas dengan sekaa jangér Abian Timbul sebagai mantri ‘pangeran halus’ dan pangugal ‘penyanyi utama dari koor perempuan’. Para kemenakan perempuannya mengatakan bahwa Ni Lemon telah berusia 40-an tahun saat rekaman-rekaman ini dibuat. Menurut keterangan keluarganya, meski pun adik laki-lakinya yang bernama Wayan Pantinon mempunyai tiga istri, Ni Nyoman Lemon tidak pernah menikah karena hal tersebut dipahami sebagai penghambat kebebasannya sebagai seorang penari dan penyanyi, dan beliau dikatakan memiliki “jiwa seni” yang tinggi. Penari I Wayan Sura dari Batuan mengatakan bahwa Ni Ketut Ribu, salah seorang penyanyi arja hebat dari generasi berikutnya, seniman Radio Republik Indonesia, juga tetap melajang walaupun ditaksir dan diburu banyak peminang. Pak Sura menjelaskan bahwa di masa lalu sering dikatakan bahwa taksu ‘kekuatan batin dan aura estetis’ seorang wanita akan mulai pudar dan hilang setelah menikah.63 Ni Lemon mementaskan arja dengan berbagai kelompok dan berkeliling ke desa-desa lain. Salah satu unsur unik dari karir artistik Ni Lemon – menurut para kemenakan perempuannya – adalah ketika memasuki paruh lanjut kariernya, ia memerankan Punta dalam kelompok-kelompok arja yang penari-penari lainnya adalah laki-laki.64 Punta adalah tokoh bertopeng setengah, panasar ‘penutur jenaka dan penerjemah’ dan merupakan hal yang luar biasa mengagumkan ketika seorang perempuan memerankan karakter laki-laki kuat yang bersanding dengan Wijil ‘adik laki-laki’ (Kartala) yang diperankan oleh seorang laki-laki. Wayan Rugeh mengatakan bahwa Ni Lemon sebagai tokoh laki-laki mantri adalah sama halnya dengan Ni Ketut Ribu (yang memerankan mantri buduh ‘pangeran gila’) dan belakangan ini, Ni Wayan Murdi. Hal tersebut secara bersamaan membuatnya dicintai oleh banyak laki-laki dan perempuan yang mengikuti 63
Percakapan pribadi (2014) Menurut Ni Ketut Arini, neneknya yang bernama Ni Klopok juga mementaskan tokoh Punta dalam kelompok arja di Banjar Lebah pada masa yang sama (Percakapan pribadi, 2014). 64
52
pementasannya di mana-mana. Pak Rugeh mengambarkan suara Ni Lemon yang terekam ini sebagai kental penuh nuansa ‘tebal, padat dan mendalam’.65 Menurut para kemenakan perempuannya, Ni Lemon mulai meninggalkan dunia peran saat mereka beranjak dewasa dan sepenuhnya berhenti saat ia mencapai usia pertengahan hidupnya. Beliau secara antusias berganti peran sebagai penjual kopi dan nasi, menjajakan masakan dan kopi serta minuman lainnya di warung-warung sementara yang didirikan pada saat upacara-upacara keagamaan. Ia pun berhenti menyanyikan Wargasari saat usia tuanya, memilih untuk membiarkan generasi yan gmuda mengambil peran berkesenian dan keagamaan itu. Salah seorang kerabatnya, Dadong Wirasta (Ibu Tin) melayani katering makanan dan menjadi pemandu acara untuk sebuah program pasantian di Radio Diva FM. Kelompok jangér Abian Timbul rajin pentas selama beberapa tahun, namun kini sudah tidak utuh saat ini. Kemenakan perempuan Ni Lemon yang berumur 67 tahun, Ni Ketut Mitar, berlinang air mata saat kembali mendengarkan suara bibinya.66 Kemenakan perempuan lainnya, Ni Made Dantini menjelaskan bagaimana di masa sekarang mereka melagukan Wargasari dari buku-buku saku terbitan masa kini yang ditulis dalam huruf Latin. Mereka mengingat semua kata-kata dari Wargasari dalam trek #17, tetapi semua lirik yang direkam pada tahun 1928 sudah tidak digunakan lagi. Para perempuan dalam keluarga itu, dipimpin oleh Bu Kinon yang berumur 74 tahun, menyanyikan Wargasari bagi kami. Bergabung sebagai Sekaa Wirasanti, mereka biasanya pentas untuk upacara keagamaan tingkat keluarga dan odalan pura keluarga, dan sesekali untuk upacaraupacara keagamaan keluarga lain di lingkungan mereka. Menurut catatan sebuah riwayat hidup dari I Gusti Putu Made Geria, ia telah mengajar jangér di Abian Timbul pada tahun 1927. Ini bisa menjadi petunjuk terkait tingkat kerumitan dan variasi dalam lagu. Pada tahun 1928, Geria juga mengajar jangér di Desa Seririt (Buleleng), di Desa Mas (Gianyar), dan Banjar Anyar Kerobokan (Denpasar).67
65
Percakapan (2013) Dua trek Wargasari oleh Ni Lemon terdapat dalam Bali 1928, vol II, termasuk pula pembahasan tentang gaya nyanyiannya. 67 Arthanegara 1981/82: 36 66
53
Jangér Abian Timbul yang dipimpin Ni Lemon CD Trek #16 Ganda Pura Sak byak pyak cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk, cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk, té-ak — té-ak — té-ak — té-ak — té-ak Ti-ta-ta-pi-ta-pi-pi-ta-poh-byang byak…pyak cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk… (berbisik) cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk, cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk, Ti-ta-ta-pi-ta-pi-pi-ta-poh-byang byak…pyak cipuk cipuk kécak-é kécak-é syar kécak-é kécak-é syar Ganda pura, ganda pura, jalan dini majangéran, Ganda pura, mari mementaskan jangér, kacang komak, kacang komak, kacang komak, kacang komak,
54
kébisané sareng sami. kehebatan kita bersama. sak-dé-dé-sak-dé-sak-dé byong Técak a técak écak kécak a técak écak sakdé sak-dé Técak a técak écak kécak a técak écak sak-dé sak-dé tih-toh-toh-tih-toh-toh-tih tih-toh-toh-tih-toh-toh-tih sriang ntir di cangkohin cetag ntur kopyak koh kicangkoh, kicangkoh sakdé sakdé sakdé pyong kicangkoh kicangkoh sakdé sakdé sakdé pyong a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak té-cak a té – cak é cak sakdé sakdé a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak té-cak a té – cak é cak sakdé sakdé a – ra– ki– jang rangi jangér tih-toh-toh-tih – tohtoh- tih a – ra– ki– jang rangi jangér tih-toh-toh-tih – tohtoh- tih sriang ntur di cangkohan cetég ntur kopyak pong di-cangkoh, ki-cangkoh sakdé sakdé sakdé pyong ki-cangkoh ki-cangkoh sakdé sakdé sakdé pyong a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak técak a té – cak é cak sakdé sak-dé a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak técak a té – cak é cak sakdé sak-dé a – ra– ki– jang rangi jangér tih-toh-toh-tih - tohtoh- tih
55
a – ra– ki– jang rangi jangér tih-toh-toh-tih - tohtoh- tih sriang ntur di cangkohan cetég ntur kopyak pong di-cangkoh, ki-cangkoh sakdé sakdé sakdé pyong ki-cangkoh ki-cangkoh sakdé sakdé sakdé pyong a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak técak a té – cak é cak sakdé sak-dé a–ra–ki-jang rangi jangér, a–ra–ki-jang rangi jangér técak a té – cak é cak técak a té – cak é cak sakdé sak-dé a – ra– ki– jang rangi jangér tih-toh-toh-tih - tohtoh- tih a – ra– ki– jang rangi jangér tih-toh-toh-tih - tohtoh- tih a – ra–kijang rangi – jangér sriang ntir – di cangkohin sriang ntur sriang a pyong Daag!
CD Trek #17 Kladi Nguda Kladi nguda adi ngebét banah, kladi nguda adi ngebét banah, Umbi keladi dicabut dari tanah, ramé-ramé makumpulan, ramé-ramé makumpulan, dikumpulkan bersama-sama, Jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kocah ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kocak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti,
56
kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kopyak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kopyak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kopyak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kopyak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kopyak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung kopyak ocaké cangkohin, jani jani kocah-ntur rora roti, jani jani kocah-ntur rora roti, kopyak da-dé-da-doh-pung, dé-doh-dé-doh pung, sriang entah pung. Daag!
CD Trek #18 Kembang Rampé Kembang rampé mangawénin , kembang rampé mangawénin, Bunga rampai penuh pesona, kembang jepun di kaléran, kembang jepun di kaléran, bunga kamboja di utara, arasijang rangi jangér arakijang jang jangér, sriang ntur rora roti,
57
arakijang rangi jangér, arakijang rangi jangér, técak a técak écak, kopyak dég tut kopyak a pong técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti arakijang jangi jangér, arakijang jangi jangér técak a técak écak kopyak dég tut kopyak a pong técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti arakijang rangi jangér, arakijang rangi jangér técak a técak écak kopyak dég tut kopyak a pong técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti Daag! Ramé-ramé jani ditu, ramé-ramé jani ditu, Sekarang beramai-ramai di sana, bungsal-bangsul majangéran, bungsal-bangsul majangéran, berayun-ayun, mementaskan jangér, arakijang rangi jangér, arakijang jangér, sriang ntur rora roti, arakijang rangi jangér, arakijang rangi jangér, técak a técak écak kopyak dég tut kopyak a pong técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti arakijang rangi jangér, arakijang rangi jangér, técak a técak écak kopyak dég tut kopyak a pong técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti arakijang jangi jangér, arakijang jangi jangér, técak a técak écak kopyak dég tut kopyak a pong
58
técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti arakijang jangi jangér, arakijang rangi jangér, técak a técak écak kopyak dég tut kopyak a pong técak a técak écak ta-té-té-ta-té-ta-té-byong técak a técak écak sriang ntur rora roti Daag!
59
60
CD Trek #19 Pusuh Biu Dinyanyikan oleh Ni Lemon Wasuh biu kinara gusiné ring suarga, Jantung pisang bagaikan guci sorga, kacang nguda lén gunané, kacang mentah mempunyai kegunaan lain, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti arakijang jangér, jangrangi jangi jangér arakijang jangér sé ya pé-pa a-pih jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér arakijang rangi jangér aro jang rora roti arakijang jangér, jangrangi jangi jangér arakijang jangér sé ya pé-pa a-pih Daag! Musuh liu kinara gusiné ring raga, Ada banyak musuh dalam diri, pacang sida ban ngidanin, akan bisa dikalahkan, jangrangi jangi jangér nara ntur rora roti arakijang jangér, jangrangi jangi jangér arakijang jangér sé ya pé-pa a-pih jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér arakijang rangi jangér aro jang rora roti arakijang jangér, jangrangi jangi jangér arakijang jangér sé ya pé-pa a-pih jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér arakijang rangi jangér nara ntur rora roti arakijang jangér, jangrangi jangi jangér arakijang jangér sé ya pé-pa a-pih jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér arakijang rangi jangér aro ntur rora roti arakijang jangér, jangrangi jangi jangér arakijang jangér Daag! (dengan koor menyanyikan sé ya pé-pa a-pih)
61
CD Trek #20 Durma Sudarsana Dinyanyikan oleh Ni Lemon Bahasa: Bali Halus mbek ngalah dé (ring) ana sira soka, Kelakuan orang saat berduka, ariné i jemparing, janganlah bertindak kasar, tur mawicaksana, harus bijaksana, astiti tekéning raga, rawatlah diri sebaik-baiknya, purnama tilem mabresih, sucikan diri setiap bulan purnama dan tilem, mangaturang canang, persembahkanlah canang, (bunga-bunga pemujaan) masambatan masasangi. ujarkan janji dan kaul agar permintaan dikabulkan Jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér kocah-ng cetég ndur kocah-ng rororo roti jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér kocah-ng cetég ndur kocah-ng rororo roti jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér kocaké cetég ndur kocah-ng rororo roti jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér kocah-ng cetég ndur kocah-ng rororo roti jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér kocah-ng cetég ndur kocah-ng rororo roti jangrangi jangi jangér, jangrangi jangi jangér kocah-ng cetég ndur kocah-ng rororo roti Daag!
62
CD Trek #21 Putih Putih Saput Anduk Sak byak, pyak cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk (berbisik) cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk Ti-ta-ta-pi-ta-pi-pi-ta-poh-byang byak…pyak cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk (berbisik) cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk Ti-ta-ta-pi-ta-pi-pi-ta-poh-byang byak…pyak cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk cipuk (berbisik) cipuk cipuk siur tebaya-koh kécak-é kécak-é syar Putih putih kamben anduké, putih putih kamben anduké, Handuk mandi berwarna putih, sumagané buah buniné, jeruk banyak bijinya, kécak a técak écak jangi janger kécak kijang i jangér jangi jangér kécak kijangi jangér kecak a técak écak jangi jangér, arakijang i ja byong técak a técak écak jangi jangér, arakijang i ja byong técak a técak é-cak jang- i jangi jangér sriang ntur rora roti técak a técak é-cak jang- i jangi jangér sriang ntur rora roti jangrangi jangi jangér arakijang i jangér técak a técak écak jangi jangér arakijang i jangér técak a técak écak jangi jangér arakijang i ja byong técak a técak écak jangi jangér arakijang i ja byong
63
técak a técak écak jang- i jangi jangér sriang ntur rora roti técak a técak écak jang- i jangi jangér sriang ntur rora roti técak a técak écak jangi jangér arakijang i jangér kécak a técak écak jangi jangér arakijang i jangér kécak a técak écak jangi jangér arakijang i ja byong kécak a técak écak jangi jangér arakijang i ja byong kécak a técak écak jang- i jangi jangér sriang ntur rora roti Daag!
CD Trek #22 Tembang Semarandana: Monyèh Cepung Sasak Lombok Lagu-lagu cepung dalam kebudayaan Muslim Sasak di Lombok umumnya bersumber dari cerita-cerita dalam lontar Monyèh, yang ditulis dalam campuran bahasa Sasak, Bali dan Jawa, serta kerap berhubungan dengan kisah Raden Witara Sari yang menyamar sebagai seekor monyet.68 Cepung – juga dipentaskan oleh masyarakat Hindu Bali di Lombok – dan cakepung Karangasem, Bali Timur menggunakan lelakakan, sebuah gaya nyanyian dalam penggalan suku kata yang lincah, biasanya dalam irama penuh sinkopasi, saling-kait ngedit ‘mengisi’ dan macingklak ‘mengolah’. Rekaman yang mengisahkan kesedihan seorang putri muda ini, dilantunkan dalam gaya pupuh ‘lagu’ yang lebih sederhana, diiringi oleh rebab ‘biola tegak’ dan alunan suling yang sendu. Hashim Achmad (1933-), seorang penyanyi Sasak di Dangin Sema, Amlapura mengatakan bahwa para penyanyi dalam rekaman ini adalah Hindu Bali, sebuah tanggapan yang muncul karena gaya yang terungkap. Ayah dari Hashim, Kakek Suleiman, adalah seorang penyanyi pupuh Sasak dan cepung terpandang, dan kerap mengajar para seniman Hindu Bali di Budakeling termasuk Ida Wayan Padang (19132012). Ia mengatakan bahwa seharusnya ada ngedit (teknik mengisi yang saling-kait; tidak digunakan dalam rekaman ini) agar lantunan ini benar-benar menjadi cepung.69 Ia menerjemahkan bait-bait ini dari bahasa Sasak ke bahasa Indonesia dari sebuah buku,
68
Ada pandangan umum di antara masyarakat Bali (di Lombok dan Bali) yang menyatakan bahwa Raden Witara Sari adalah sesungguhnya Pangeran Panji yang menyamar dan Monyèh bermula dari sastra Malat dari Jawa. Namun, Hashim Achmand bersikeras bahwa masyarakat Sasak percaya Monyèh adalah karya asli setempat dan hanya dihubungakan dengan Malat dan Panji karena kemiripan dasar cerita yang melibatkan penukaran identitas (percakapan, 2015). 69 Keluarga Hashim Achmad adalah keturunan Sasak yang telah menetap di Bali selama delapan generasi. Seperti halnya warga Sasak lainnya, ia mempraktikkan solat lima waktu (Waktu Lima) setiap harinya. Adat Sasak semasa Dang Hyang Nirartha pada abad ke-16 adalah Wetu Telu, sembahyang tiga kali dalam sehari.
64
De Toetoer Monyèh Op Lombok, karya J. C. van Eerd. Lirik-lirik yang direkam pada tahun 1928 berbeda, mengingat jenis kesenian ini merupakan suatu tradisi lisan turuntemurun sehingga para penyanyi berkreasi dari ingatan, dan mempunyai kebebasan luas untuk berimprovisasi dengan kata-kata. Tetapi, baik Hashim Achmad dan Mamiq Ambar dari Cakranegara, Lombok,70 menyepakati bahwa kesemuanya adalah naskah yang sama. Karena bahasa Sasak sebagian besar tak diketahui dan ditulis dalam bentuk yang kurang lazim pada masa sekarang, bahkan di Lombok, kami menyertakan tanda-tanda diakritik sebagaimana muncul dalam naskah Monyèh demi mencatat suara-suara setepat mungkin. Pelafalan khas Sasak adalah tanda kutip tunggal (’ seperti dalam kata mami’) yang disebut sebagai koma ‘ain dan dijelaskan oleh Ida I Dewa Gde Catra sebagai bunyi “setengah k”. Suara glotis ini sangat penting dalam gaya nyanyian Sasak. Kami menghindari praktik penulisan masa kini yang menggantikan koma ‘ain dengan sebuah k atau q untuk mengenal kehalusan karakter pelafalan dan juga mematuhi nasakah Monyèh yang kami temukan. Dikisahkan ada seorang putri yang mempunyai delapan kakak perempuan . Putri ini adalah yang tercantik dan keelokannya menjadi dasar dari kebencian kakak-kakaknya; yang selalu menceritakan kisah-kisah bohong tentang sang putri kepada ayah dan ibu mereka, Akibatnya, raja dan permaisuri mengasingkan sang putri jauh dari istana dan membiarkannya sendiri, tidak terurus dan tidak mempunyai apa-apa. Jeput mangsi banjur nulis, mina’ gambar nempadi’ na, talĕpèknĕ lan panganggo, pĕlung buruk jajahitan, dahit anak pondokna, teken ampèl pĕtung lĕbung, salapu’ taè’ lè’ gambar.
Mengambil tinta dan mulai melukis, meniru paras dan perawakan dirinya dengan persis, seolah ditempel, bajunya lusuh dan penuh tambalan, mirip rumah yang bobrok, betung bambunya membusuk, semuanya dimuat dalam lukisan.
Kocap wah ne pade jāri, banjur mara’ije si nyurat, bilang tĕpin gambarna no, si mungguh ito, lė’surat, dahit aran désanĕ, ampo’ sanakna salapu’, si ndè’ dĕmĕn lė’nè dēnda.
Diceritakan setelah lukisan kelar, ia pun menorehkan kata-kata, sepanjang tepi lukisan, semua dicurahkan dalam lukisan, termasuk nama kerajaannya, dan saudara-saudari, yang tak menyukainya.
Mami’ ne sibini laki, si milu pada ndė’ girang, nurut pisunan si luwè’, lé’ kaka’ne salapu’, pada mungguh lè’ surat, ina’ sayoman bajulu, si gita’ in ruwan gambar.
Ayah dan ibunya, juga tak menyenanginya, karena fitnah kakak-kakaknya semua saudara memfitnahnya, semua itu ditulis, kemudian pengasuhnya, melihat gambar dan tulisan
70
Percakapan di Cakranegara, Lombok (2006)
65
Gitá’ gambar banjur nangis, ring gitá’ gambarnè’ denda, nangis sambilna ngangapang, aduh dēwa ratu mas, ngumbè si pakayunan, sangka peng kaji no banjur, sing gambarang ragan raka.
Ketika melihat semua itu, ia langsung menangis, hatinya hancur melihat lukisan anak asuh kesayangannya, menangis sambil memeluknya, oh, Tuanku Putri, kenapa berpikiran seperti itu? kenapa melakukan semua ini? mengapa mengungkapkan semua ini?
Di sini, metrum puitis dari naskah Monyèh berubah dari pupuh Asmarandana (Semarandana) menjadi pupuh Mas Kumambang. Kami sertakan dua bait pertama dari agar ada bayangan akan akhir dari kisah. Banjur nimbal nènē’ bini sambil nangis, duh ina’ sajoman, alur ji pangèling-eling’, sang ku maté’ lawun jema’. dè ara’ tatemu si’ kanak mudi, datu ndèjang bija, bija, ndè’ nĕ trungu sai’, sĕdih hingking kalaparan.
Lalu sang putri menjawab sambil menangis, Oh, pengasuh setiaku, mohon diingat, bila ajal menjemputku, jadikanlah kisahku sebagai peringatan, agar generasi mendatang tahu, bahwa ada seorang raja, yang tak menyukai putrinya, membiarkannya merana dan kelaparan
Hashim Achmad menjelaskan bahwa keseluruhan puisi mengungkap maksud dari sang putri dalam pengasingan, “Agar sang raja tak dipuja lagi dan agar dunia tahu akan deritaku, melarat dan merana karena serba kurang. Lebih baik aku tak dilahirkan sebagai bangsawan dan hidup sebagai rakyat biasa di pedesaan dibandingkan di sebuah istana. Aku malu hidup seperti ini, putri seorang raja namun selalu mengemis sesuap nasi.”
66
Sekilas Kehidupan Ida Boda Keluarga Ida Boda berasal dari Budakeling, Karangasem, Bali Timur, dan beliau dilahirkan pada tahun 1870 dalam lingkup keluarga Geria Budha di Batuan (sebuah desa yang masih menjunjung tinggi tradisi dramatari klasik gambuh), yang pada saat itu masih dalam lingkup kerajaan Negara, Sukawati. Desa Budakeling, yang kerap beliau kunjungi, juga mempunyai tradisi gambuh yang masih utuh, dan beliau turut serta dan berperan dalam perkembangan kedua kelompok tersebut.71 Menurut Ida Bagus Pujiarsa, keluarga Ida Boda (termasuk istri, putri dan orang tuanya)72 pindah ke Kaliungu, Badung (kini Denpasar) mendirikan Geria Budha di Kaliungu atas undangan Raja Badung, yang menginginkan adanya pendampingan bagi pedanda Siwa (pendeta Brahmana) oleh Pedanda Budha sehingga terdapat representasi lengkap dari tradisi Brahmana dalam domainnya. Pendeta-pendeta Brahmana dari Ubud pun diundang ke Kaliungu. Perpindahan tersebut terjadi pada tahun 1897 setelah keruntuhan kerajaan
71
Menurut Ida Wayan Padang. Ida Boda memiliki seorang putri, Ida Ayu Sunya dari istri pertamanya yang mana keluarganya mempunyai hubungan dengan Puri Negara. Ida Bagus Pujiarsa adalah cucu dari anaknya ini yang menikahi Ida Bagus Madé Neka dari Peliatan. Ida Boda tidak dikaruniai keturunan dari istri keduanya, Ida Ayu Putu Santi. 72
67
Negara di tangan Raja Ubud.73 Raja Denpasar meminta Raja Ubud untuk memberi izin bagi pendeta-pendeta, ahli-ahli dan seniman-seniman dari Negara untuk pindah ke Kaliungu. Ida Boda sangat dibutuhkan oleh Raja Badung untuk mementaskan topéng Sidha Karya, sebuah persembahan tarian wali ‘sakral’ di mana sang penari berfungsi menuntaskan upakara ‘upacara keagamaan’.74 Sebagai anggota dari tiga serangkai penari legendaris, Ida Boda memerankan panasar topéng dan arja bersama Ida Bagus Rai Purya dari Serongga, Gianyar dan Nyarikan Seriada (1877-1947) dari Banjar Gemeh yang menjadi tokoh topéng Dalem ‘raja’ atau mantri arja. Kelompok topéng panca mereka kemudian menyertakan I Ketut Keneng dari Belaluan (ayah dari Made Regog dan kakek dari Wayan Beratha) dan Guru Grebeg dari Angabaya. Menurut penari Made Monog (1920-2013) Ida Boda dikenal sebagai pencipta tokoh topéng jenaka; bondrés cungih ‘sumbing’, yang nyanyiannya dipengaruhi gaya Sasak. Pak Monog menambahkan, Ida Boda menciptakan cara pengujaran suku kata terpenggal-penggal untuk pangécét ‘bagian cepat’ dari tabuh Jaran Sirig yang dinyanyikan saat tandak Dalem ‘tibanya sang raja’; inovasi Ida Boda tersebut tetap menjadi kekhasan tandak Dalem sampai saat ini. Ida Boda mengadaptasi sebuah teknik dari Sasak yang disebut macingklak ‘nyanyian kelompok dalam sinkopasi (merubah atau menukar posisi nada untuk memberi penekanan pada irama yang teratur) yang saling-kait dalam cepung’. Beliau akan mengiramakan lagu sesaat sebelum atau sesudah nada-nada gamelan, lalu kembali mengikuti irama ritmis gamelan. Beliau juga menerapkan teknik ini dalam menyanyikan tandak légong secara tunggal. Sama halnya dengan kelompok-kelompok lainnya yang direkam pada tahun 1928, tiga serangkai topéng ini pentas dengan gong Belaluan (lihat Bali 1928, vol I) di Bali Hotel dan juga untuk masyarakat umum di Bali. Menurut keterangan penabuh I Wayan Begeg (1919–2012), I Gusti Ngurah Mayun dari Puri Kaba-Kaba memerankan kartala, berpasangan dengan Ida Bagus Ngurah dari Buduk yang menjadi panasar, dan bersama-sama pentas dengan gamelan gong Pangkung (Bali 1928, vol I) di Bali Hotel. Menurut keterangan teman dan rekan kerjanya di Radio Republik Indonesia, penabuh Wayan Konolan (1923–2008), rentangan nada Ida Boda pun merendah seiring pertambahan usianya, dan itulah yang diakrabi oleh kebanyakan masyarakat Bali. Pak Konolan menjelaskan bagaimana Ida Boda gemar menyanyi dalam nada-nada tinggi seperti terdengar dalam rekaman ini, dan menunjukkannya dalam pementasan topéng menggunakan gamelan angklung yang mempunyai tingkat nada tinggi dari Banjar Bun (dalam Bali 1928, vol IV). Umumnya pementasan topéng diiringi oleh gamelan gong, tetapi Ida Boda mengatur agar gamelan dari Banjar Bun tersebut dipinjamkan dan
73
Salah satu keberhasilan artistik dari kekalahan Negara melawan Ubud adalah perolehan gamelan Semar Pagulingan dari Ubud ke Puri Kaleran yang bersebelahan dengan Peliatan, dan kemudian kepada desa penghasil beras Teges Kanginan. Colin McPhee dipinjamkan gamelan tersebut oleh Anak Agung Gede Mandera dan mengundang I Lunyuh dari Payangan untuk mengajar penabuh-penabuh muda berbagai repertoar kuno termasuk légong, dan kemudian membawa I Wayan Lotring dari Kuta untuk mengajarkan kreasi-kreasi barunya. Pada akhirnya, Gung-kak Mandera mengembalikan gamelan tersebut ke Teges, yang sampai saat ini melanjutkan tradisi gamelan dan palégongan Lotring, dengan penuh kemampuan teknis tinggi dan penuh pengabdian. 74 Penari Topéng Sidha Karya, Ketut Kodi menjelaskan intisari ritual ini adalah Sidha Karya yang menuntaskan pementasan, keberadaaan tebasan (persembahan sesajen khusus) dan penghamburan beras oleh sang penari sebagai wujud meneruskan kemurahan hati, keberuntungan dan kebahagiaan dari yadnya ‘upacara’. Sang penari berfungsi sebagai penghubung antara alam, Widhi ‘Sang Maha Tunggal’, manusia dan makhluk hidup lainnya.
68
dimainkan oleh para penabuh dari Belaluan pada perayaan-perayaan hari suci seperti Tumpek Landep, Tumpek Wayang atau odalan ‘perayaan hari kelahiran sebuah pura’. Pak Konolan dan dan lain-lain menggambarkan bahwa Ida Boda adalah guru yang tegas dan keras, sebagaimana banyak guru di masa lalu yang menampar, menyodok, dan memaksa para murid mengambil agem ‘posisi’ dan mempelajari rangkaian pakem ‘koreografi’ dengan benar. I Wayan Rai mengutip Wayan Beratha (salah seorang murid Ida Boda), yang mengatakan bahwa seiring usianya suara Ida Boda terlalu rendah untuk jangkauan nada ‘saih selisir’ Desa Sadmertha, maka dari itu, saat menyanyikan tandak Dalem untuk menyambut kedatangan Raja Arsa Wijaya dalam pertunjukan topéng, gending digubah ke dalam Jaran Sirig, “dengan gong yang aslinya mempunyai nada tinggi ndang dirubah menjadi nada ndéng yang berada dua nada di bawah ndang.” [Transposisi] ini dinamakan ‘gending mapelit’ atau ‘gending makipekan’ (Rai 1996: 33). Mapelit bisa diterjemahkan sebagai ‘melipat’ atau ‘membalik alunan lagu’. Baik Ida Boda dan muridnya, Nyoman Kaler, mengajar légong di Kelandis yang menyertakan bocah laki-laki Wayan Rindi sebagai condong, Ni Luh Cawan dan Ni Nyoman Sadri, semua dari Lebah (walau keluarga terdekat Sadri berasal dari Pemogan) dan sebelumnya Ni Nyoman Polok dan Ni Ketut Ciblun, keduanya dari Kelandis. Kaler juga mengajar gandrung kepada I Made Sarin dari Ketapian Kelod (terekam dalam film dalam Bali 1928, vol. III) dan Wayan Rindi. Murid Ida Boda lainnya adalah komponis I Wayan Beratha (1926–2014), penari arja dan topéng panasar I Wayan Geria dari Singapadu, penari arja dan topéng kartala I Made Kredek dari Singapadu, penari légong dan guru Ni Ketut Reneng dari Kedaton, penari kebyar Nyoman Ridet, dan penari topéng Ida Bagus Ngurah Buduk. Ida Boda meneruskan “nyuling” (memainkan suling bambu) saat memasuki masa tuanya, seperti dituturkan oleh cicitnya Ida Bagus Pujiarsa dan istrinya, Ida Ayu Kartika. Mereka mengingat bahwa walau sudah berusia 90-an tahun, dengan langkah pelan tertatih memegangi tongkat sembari dituntun pelayannya, Ida Boda tetap melanjutkan pekerjaannya di Radio Republik Indonesia. Begitu berada di studio beliau menemukan kembali semangat mudanya dan lanjut melakoni kegiatannya sebagai penyanyi, penutur dan penabuh gamelan. Menurut keluarganya, beliau berpulang pada tahun 1964 persisi setelah letusan dahsyat Gunung Agung dan sebelum Presiden Sukarno turun dari kekuasaan. I Made Nyarikan Seriada, aslinya dari Gemeh, Denpasar adalah seorang balian ‘dukun dan peramal’ terkenal seperti dicatat dalam buku Jane Belo, Trance in Bali. Seriada memerankan tokoh dramatis Wijil dalam arja, kartala dalam topéng, namun ia lebih tenar sebagai seorang penari topéng Dalem ‘tokoh raja halus’. Made Monog mengingat mengingat Seriada sebagai seniman pertama yang memperkenalkan tokoh bondrés ‘karakter jenaka’ dengan perawakan pérot ‘pincang’. Menurut tukang tapel ‘pembuat topeng’ I Made Sutiarka dari Singapadu, karakter pérot dibarengi dengan kicir ‘mata sipit atau mata berkedip-kedip atau memicingkan satu mata’ dan juga bibir tertarik ke satu sisi wajah. Made Sutiarka menjelaskan bahwa otot-otot kaki, mata dan mulut semuanya berhubungan dengan kondisi pérot. Karakter-karakter rakyat jelata Bali yang eksentrik ini berperan dalam menyegarkan suasana lakon menurunkan ketegangan dalam lakon. Seriada juga mementaskan topéng pajegan dan juga mahir dalam gambuh, baris, légong, dan jangér, terutama sebagai salah seorang guru dari jangér Kedaton.
69
Ida Bagus Purya yang aslinya dari Serongga, namun kemudian menetap di Kaliungu dijelaskan oleh Made Monog sebagai sosok yang sederhana dan mahir dan berpengetahuan luas dalam bidang kakawin. Ia juga menyenangi riuhnya suasana tajén ‘sabung ayam’ sebagai ruang pencarian inspirasi. Selain menguasai pelbagai jenis tarian, Purya terkenal juga karena keluwesannya menarikan Barong Landung. Sama halnya dengan Seriada, Purya juga mempunyai karakter jenaka bondrés péroti dalam repertoarnya. Pakem ‘pelakonan’ nyanyian dan tariannya luar biasa. Purya mampu membangkitkan aura sebuah gending ‘lagu’ dengan emosi mendalam dan taksu ‘karisma spiritual’ yang melingkupi penontonnya dengan getar perasaan meluap-luap. Pak Monog mengatakan kepada kami bahwa penonton selalu percaya dan larut dalam pementasan; bila adegan yang sedang dikisahkan berada di lingkup sebuah puri atau taman, maka penonton bisa membayangkan bahwa mereka betul-betul berada dalam suasana tersebut. Ia menambahkan bahwa di masa sekarang, ‘pementasan lebih cenderung penuh hiasan, kaya akan benda-benda artistik’; penonton tidak sepenuhnya larut dan kebanyakan menyayangkan hal tersebut. Pak Monong berkomentar bahwa penonton masa kini lebih menyukai humor.75
75
Percakapan (2009)
70
Trek #23 Bapang Topéng Prabu Dangdang Gendis III Dipentaskan oleh Ida Boda, Ida Bagus Rai Purya, dan I Nyarikan Seriada76 Panasar:
Rike ring balé meka manguranang téjan nyané mangulapin. Di sana di ruang berhias yang sinarnya menyilaukan.
Panasar:
Adi adi adi... Adik lelakiku...
Kartala:
Wuh-wuh-wuh-wuh-wuh-wuh-wuh... Ya, saya di sini...
76
Transkripsi dan terjemahan awal ke dalam bahasa Indonesia dibantu oleh ahli panasar Ketut Kodi.
71
Panasar:
Jalanang, jalan parekang [parekan] ida pedanda jani kadi wacanan ida idéwa agung. Ayo berangkat mengunjungi pendeta seperti yang diperintahkan Raja Dangdang Gendis.
Kartala:
Nah-nah-nah, ya-ha-ha-ha-ha-ha-ha Ya-ya-ya, ha-ha-ha-ha-ha-ha
Panasar:
Nah, lautang ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha Ya, teruslah melangkah, ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha Inggih inggih ratu peranda titiang ngatur uning ring singgih peranda kautus antuk ida ianak Prabu Dangdang Gendis. Tuan Pendeta yang terhormat, saya sampaikan kepada tuan bahwa hamba diutus oleh Raja Dangdang Gendis Inggih rikala peranda parek ring ida ianak déwa agung ida Dangdang Gendis. Ya, kalau Tuan Pendeta menghadap Raja Dangdang Gendis. Mangde peranda saha asawur sembah. Sebaiknya tuan menghormat dan tunduk kepada beliau. Sami semetonan yadnyan peranda istri yadnyan tamiu walaka. Beserta keluarga, pendeta wanita dan seluruh muridmu. Mangde saasal pedek yen ten asapunika nénten kalugra. Harus demikan setiap Tuan Pendeta menghadap, kalau tidak tidak akan diperbolehkan. Mawinan asapunika antuk sakurang-kurang kaluwihan peranda yadyan ring sastra ring kapradnyanan. Ini karena Tuan Pendeta lebih bodoh di bidang sastra maupun pengetahuan lainnya.
Kartala:
Aduh, luwir ipun yadian kawi sésan taler tuna palungguh peranda. Aduh, di bidang kekuatan ilmu gaib pun Tuan Pendeta masih kurang.
Panasar:
Nika mawinan niki peranda pireng. Oleh karenanya, dengarkanlah.
Pedanda:
Yayati Parasara sunu, satyawati astam ha-ha-ha-ha (mengutip sebuah sloka Adiparwa). Caraka maka ruang sanak... Hey, abdi dua bersaudara...
Panasar:
Ah titiang parekan singgih peranda. Oh, hamba hanyalah seorang pelayan, Tuanku.
Pedanda:
Yukti yukti maka kecapta tapuan hana singsal. Benar kata-katamu, tak ada yang keliru. Kurang rama ya bapa yadiapin kawi sésan Kelemahanku di bidang kekuatan gaib yadi apin kapradnyanan kurang-kurang ya bapa. dan ilmu pengetahuan lainnya, memang saya sangat bodoh. Kéwala ya rama ya bapa saking danggu natan hana atemah
72
lawan sang bapa. Tetapi sejak dahulu, tak ada yang berani menantang diriku.
73
Trek #24 Bapang Topéng Prabu Dangdang Gendis IV Dipentaskan oleh Ida Boda, Ida Bagus Rai Purya, dan I Nyarikan Seriada Bahasa: Bali Lumrah. Cerita dari Kitab Pararaton. Panasar:
Ucap kuri manguranyab maukiran mapinda macawi… Diceritakan pintu gerbangnya berukir indah dan rumit… Adi, adi, adi! Hey, adik lelakiku!
Kartala:
Wuh-wuh-wuh-wuh-wuh-wuh... Ya, saya di sini...
Panasar:
Nah-nah dadabang-dadabang jani watek Brahmana telahang rarud yadian welaka peranda istri, bih, déwa ratu. Bergegaslah, para Brahmana dan pendeta wanita telah mengungsi. Tut jani tepak kulkulé yen dija tepuk dijalan-jalan rejek-rejek ida ianak. Pukul dan bunyikanlah kentungan dan saat kita menjumpai beliau di jalanan, mari kita aniaya.
Kartala:
Nah, nah, jalan-jalan lautang, lautang, lautang, lautang… Ya, lekas berangkat, teruslah melangkah!
Pedanda:
Badah-badah jani kénkénan ban mekeneh adi. Aduh, apa yang harus kita lakukan sekarang, wahai istriku.
Kartala:
Kudiang men sewiréh lacuré ada buka jani… Ya, apa yang bisa kita lakukan di saat-saat sial ini... …ngiring palungguhan Anak Agung, yé-hi ha-ha-ha-ha-ha …menghamba kepada Raja Dangdang Gendis.
Panasar:
Nah, yan na pa bli sing ja nyebetan pacang i déwék pacang… Ya, sesungguhnya aku tak berkeberatan... …karusak antuk Sang Prabu Dangdang Gendis né anggon bli… ...dibinasakan oleh Raja Dangdang Gendis... …singgih pedanda suba bakal sing buwungan ida kelebok yén sing nyak nyumbah Sang pendeta pasti akan menderita bila menolak tunduk dan menolak menyembah …sang prabu to né sasakitan bli ..kepada raja, itu yang membuatku sedih
. Pedanda:
Aduh…apa…temahané dadi Sang Brahmana? Aduh, bagaimana akan nasibku sebagai Brahmana?
Panasar:
Aduh ha-ha-ha (menangis)…kudiang titiang aratu pedanda, ha-ha-ha-ha Aduh, mesti berbuat apa saya terhadap Tuan Pendeta?
Pedanda:
Istri apa-apa temahané bapa mangkin? Oh, istriku, bagaimana akan nasib kita?
74
Kartala:
Wiakti ratu pedanda. Ya, benar, Tuanku.
Panasar:
Nunas mangkin ka Tumapél ida Sang Prabu Ken Arok ring Tumapél ungsi jani ida kocap dharma ratu nasakan tastra taler. Mari menuju Kerajaan Tumapel dan minta pertolongan dari Raja Ken Arok, seorang raja yang baik dan menguasai ilmu kesusastraan.
Pedanda:
Aduh, istri jalan kumpul-kumpul. Aduh, istriku mari jalan bersama.
Pedanda Istri: Titiang sanikan sang gedé titiang Ya, suamiku, saya turuti kemauanmu. Pedanda:
Aturan anakta aturan awaké ke Tumapel. (Memberi arahan kepada istri dan anak-anaknya) Mari kita menyerahkan diri kepada Raja Tumapel.
Panasar:
Aduh, ha-ha-ha-ha-ha. Kudiang titiang ida pedanda cerik-cerik pada padalem titiang. Aduh, apa yang mesti kulakukan untuk anak-anak Tuan, kasihan saya pada mereka. Sing je buwungan pacang kelebok bakalan. Mereka pasti akan menderita. Yan tan pakayunan ida sang prabu tan pariwangdia atemahan pati. Bila kita tidak mengikuti arahan raja, kita pasti akan binasa.
Edward Herbst 2015
75
Keterangan Tentang DVD Bali 1928, vol. V Panorama, Tari, Tabuh dan Nyanyian Bali Tahun 1930-an Selain CD Bali 1928, vol. V Nyanyian dalam Dramatari: Jangér, Arja, Topéng dan Cepung, volume ini juga menyertakan sebuah DVD yang berjudul Panorama, Tari, Tabuh dan Nyanyian Bali Tahun 1930-an yang memuat beragam cuplikan film tanpa suara tentang ranah berkesenian geguntangan, jangér, dan barong landung serta pelbagai cuplikan yang menggambarkan panorama di Bali pada masa tahun 1930-an, termasuk juga cuplikan film tentang kunjungan McPhee dan Jane Belo di Surabaya. DVD juga memuat cuplikan film tentang Walter Spies dan Katharane Mershon yang mempersembahkan tarian di hadapan sekelompok penonton Bali dan cuplikan film Rosa Covarrubias berdandan busana Bali. Mengingat dalam CD terdapat rekaman Cepung Monyèh Sasak Lombok, DVD juga menyertakan rekaman video penyanyi Sasak, Mamiq Ambar melantunkan sebuah tembang. Direkam oleh Colin McPhee antara tahun 1931-1938: Kunjungan Colin McPhee dan Jane Belo di Surabaya Persembahan tari oleh Walter Spies dan Katharane Mershon Gamelan Geguntangan Batuan: Ida Bagus Manje (kendang), I Dewa Nyoman Dadug (kendang), I Dewa Ketut Genjing (suling), I Wayan Rugrug (kelintit), dan I Dewa Putu Sérong (kelenang) Gamelan Geguntangan Peliatan: Anak Agung Gede Mandera (kendang), I Gusti Kompyang Pangkung (suling), I Made Lebah (kendang), Mangku Gede Pura Dalem (guntang kempluk) dan I Made Gerundung (guntang kempli). Gamelan Geguntangan Perérét Direkam oleh Miguel Covarrubias antara tahun 1930-1934: Rosa Covarrubias, I Gusti Alit Oka dan Ni Made Gubreg Jangér Kedaton: Ni Wayan Pempen, Ni Gusti Putu Rengkeg dan I Wayan Marek Barong Landung Direkam oleh Rolf de Maré pada tahun 1938: Jangér Barong Landung Direkam oleh Edward Herbst pada tahun 2006: Penyanyi Sasak, Mamiq Ambar melantunkan tembang Dangdang Sasak di Lombok Cuplikan-cuplikan ini dikumpulkan dari film-film karya Colin McPhee, Miguel Covarrubias, Rolf de Maré dan Edward Herbst. Identifikasi para individu dan pelbagai lokasi dalam film berikut pemberian subtitelnya, dilakukan oleh tim peneliti berdasarkan penelitian lapangan untuk memperjelas segenap pemandangan dan kegiatan dalam dokumentasi tanpa suara tersebut.
76
Dangdang Sasak Dinyanyikan oleh Mamiq Ambar Video direkam di Cakranegara, Lombok (2006) Ditranskripsi dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ida Nengah Pidada, Cakranegara Mamik Ambar aslinya membaca pupuh ini dari sebuah buku saku tentang naskah Monyèh Semarandana yang ditulis menggunakan huruf ‘k’ daripada koma ‘ain. Kocap Raden Mas Witarasari pekayunan, Katanya Raden Mas Witasari mempunyai pikiran, genlalo mesiram, hendak pergi mandi, teiring si parekan kodik, diantar oleh seorang bocah, kancan bijan pararatu, bersama putra dari seorang Raja (atau Bangsawan), dait bija ne milu ngiring, dan anak-anak lainnya juga ikut, Raden Kitab Muncar, Raden Kitab Muncar, Pada lekak banjur, Semua berjalan bersama-sama, aneng taman Indra Kila, menuju Taman Indra Kila, Mapan itu pesiraman Raden Mantri, Karena itu tempat permandian Raja dan keluarganya, ndik na kocap silik langan. tak ada yang bercakap-cakap dalam perjalanan. Wahana dateng raden Mantri ba terus ngoojog, Raden Mantri datang dengan tiba-tiba, Lik sadin pancoran, Setelah tiba dari tempat permandian, cingak na gambar nyampek, sang pangeran melihat sebuah lukisan, Lik priji punjeput, Di teras terlihat gambar itu,
77
Apeedas gambar apinda putri, Dilihat dengan jelas gambar tersebut adalah seorang putri, Malik cingakina surat, Lagi dilihatnya surat itu, Pun baca banjur, Setelah membaca surat tersebut, tanantara den truna lupak, ia tidak bisa melupakannya, kitab Muncar gelis berari, dan pangeran pun cepat berlari, Tinjot nulung den nuna. Beliau terkejut berusaha membantu anak tersebut. Mamiq Ambar (1920/1922–2014) telah lama dihormati dan dirayakan sebagai penyanyi cepung, sebuah jenis tembang Sasak yang bersumber dari naskah lontar Monyèh, yang ditulis dalam bahasa Sasak-Jawa dan dinyanyikan dalam campuran bahasa Sasak, Bali dan Jawa. Sebuah kelompok cepung terdiri dari suling, redep (rebab ‘alat gamelan senar, dimainkan secara tegak, baik bertumpu di pangkuan atau di lantai dan dimainkan dengan busur), dan pemakhitanaos ‘penutur-penyanyi’, punggawa ‘penerjemah’ serta penyokong ‘pendukung’ yang turut serta ikut bernyanyi. Di Lombok, pandangan publik tentang cepung tak bisa dipisahkan dengan sosok Mamiq Ambar, yang lebih dikenal dengan sebutan Ambar. Kami mengunjungi dan bertemu dengannya di Cakranegara, Mataram, Lombok Barat, dalam dua kali kunjungan panjang pada tahun 2006 dan 2009, yang dilengkapi dengan sesi menembang petang hari di kediaman rekannya Ida Ketut Pidada. Video dalam DVD direkam oleh penulis pada salah satu kesempatan menyanyi di siang hari, di kediaman Ambar. Kita juga bisa mendengar Mamiq Ambar dalam rekaman kaset tahun 1970-an yang diproduksi di Bali.77
77
Cepung: Jagaraga-Cakranegara Lombok Barat. B-558. Denpasar: Bali Record.
78
Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih Proyek Bali 1928 ini telah diuntungkan oleh partisipasi dari berbagai pihak. Tim peneliti inti dari volume Nyanyian dalam Dramatari: Jangér, Arja, Topéng dan Cepung ini termasuk I Ketut Kodi (Singapadu), Ni Ketut Suryatini (Kaliungu Kaja), Ni Ketut Arini (Banjar Lebah), Komang Ongki (Batuan), dan penulis sendiri. Penelitian kami di tahun 2003 secara seksama mempelajari pelbagai jenis gamelan dan nyanyian dengan tim peneliti termasuk Ketut Suryatini, I Made Arnawa (Tunjuk), I Wayan Dibia (Singapadu) dan penulis sendiri. Tim peneliti utama pada tahun 2006, ‘07, ‘08–’09, dan ‘13–‘15 terdiri dari Ketut Kodi, Ketut Suryatini, Ketut Arini, Wayan Dibia, Komang Ongki, dan penulis sendiri. Transkripsi naskah dan penerjemahan awal dari bahasa Bali dan Kawi ke bahasa Indonesia dilakukan oleh I Nyoman Suarka (Cekik Berembeng, Tabanan), Ketut Kodi, Ida I Dewa Gde Catra (Sideman/Amlapura), Ni Nyoman Candri dan penulis sendiri. Penasihat ahli untuk publikasi di Indonesia adalah I Made Bandem (Singapadu). Proyek ini terlaksana akibat diskursus lintas-subyek yang mendalam melalui kerjasama dan kebersamaan yang menyenangkan selama bertahun-tahun, dan saya bertanggung jawab atas segala kesalahan yang mungkin ditemukan para pembaca dalam artikel ini. Ucapan terima kasih setulusnya kami sampaikan kepada para seniman, informan dan konsultan yang telah membantu penggarapan volume ini termasuk Mémén Redia alias Ni Wayan Pempen, I Made Monog, I Wayan Redia (Kedaton), Mamiq Ambar, Ida Nengah Pidada, Ida Ketut Pidada (Cakranegara, Lombok), Ida Wayan Padang, Ida
79
Made Basma (Budakeling), Ni Nyoman Candri (Singapadu), I Wayan Redia, Anak Agung Ngurah Wira, Ni Wayan Sukerni Jero Kusuma (Kedaton), Ni Gusti Putu Sita, Hashim Achmad (Amlapura), I Wayan Pamit, Ida Bagus Pujiarsa (Kaliungu), I Made Rudju (Batuan), Ni Gusti Ayu Raka Rasmi (Peliatan), I Wayan Suweca, I Wayan Konolan (Kaliungu), I Dewa Putu Serong (Batuan), Ida Pedanda Gde Manuaba Geria Peling, Padang Tegal, Ida Bagus Pujiarsa, I Wayan Beratha, I Nyoman Yudha (Belaluan-Sadmertha), I Wayan Tangguh dan I Made Sutiarka (Singapadu), Ida Bagus Pidada Kaut (Geria Pidada, Klungkung), Bu Kinon, Dadong Wirasta (Ibu Tin), Ni Ketut Mitar, Ni Made Dantini (Abian Timbul), Ida Wayan Ngurah (Budakeling), I Nyoman Astita (Kaliungu), I Wayan Sinti (Binoh), N.L.N. Suasthi Widjaja Bandem (Denpasar), Cokorda Raka Tisnu (Singapadu), I Wayan Pogog and I Made Netra (Lebah). Ucapan terima kasih kami sampaikan juga kepada I Gedé Arya Sugiartha, Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, yang senantiasa menjadi tuan rumah bagi seminar-seminar kami tentang berbagai isu yang berkaitan dengan riset dan dokumentasi.
Kami sampaikan terima kasih setulusnya kepada para seniman dan narasumber yang telah terlibat dalam keseluruhan proyek Bali 1928 termasuk I Wayan Begeg (Pangkung), I Wayan Pamit (Kaliungu), I Putu Sumiasa (Kedis Kaja), Guru Rsi Gde Adnya (Sawan), I Gusti Gde Tika and I.G.B.N. Pandji (Bungkulan), Ida Bagus Made Gandem (Cakranegara, Lombok), I Dewa Putu Berata (Pengosekan), I Wayan Madra Aryasa (Subamia, Tabanan), I Nyoman Sumandhi (Tunjuk), I Wayan Rugeh (Abian Kapas), I Made Sija (Bona), Ni Nengah Musti (Bubunan/Kedis), I Wayan Weker, I Gde Kuat Kusnadi, I Gde Ratep Suryasa dan I Ketut Artika (Busungbiu), I Ketut Gede Asnawa (Kaliungu), I Gusti Ngurah Gede Sumantra dan I Gusti Ngurah Agung (Tegaltamu), I Putu Mataram, I Wayan Budiyasa, I Ketut Nurina, dan I Gde Putra (Jineng Dalem, Singaraja), I Gusti Bagus Sudyatmaka Sugriwa (Ida Rsi Agung Bungkulan), I Wayan Kelo, I Wayan Teling, I Wayan Pursa, I Made Artajaya, I Wayan Karyasa, I Wayan Suwija, I Wayan Egler dan I Wayan Darta (Kuta), I Wayan Sinti (Ubung), I Gusti Serama Semadi (Saba), De Guh (Titih), I Wayan Tangguh (Singapadu), I Wayan Loceng, I Wayan Nartha (Sukawati), I Wayan Lura, I Ketut Suendra, I Nyoman Mindra (Tumbak Bayuh), I Wayan Gunastra (Kaliungu Kelod), Pedanda Gde Ida Bagus Rai (Tampakgangsul), Ida Wayan Ngurah (Budakeling), Ni Wayan Murdi (Sumerta), I Kadek Wahyudita (Kebon Kuri Mangku), I Gede Anom Astawa (Sebudi), I Wayan Dedi (Tanjung), Wayan Lantir (Teges Kanginan), Dewa Nyoman Widja, Desak Made Warni (Penarukan, Singaraja), Ida Pedanda Gde Oke (Geria Toko, Sanur), Mangku Regig (Abian Nangka), Ida Pedanda Ngurah Bindu (Kesiman), Ni Jero Ranten (Sukawati/Abian Kapas), Ni Desak Made Suarti Laksmi (Manggis), I Wayan Gendra (Batuan), Ida Pedanda Gde Made Tembawu (Aan, Klungkung), Ida Bagus Rai (Geria Pidada, Klungkung), I Gusti Ketut Sudhana (Negara), Anak Agung Gde Ngurah Oka Jaya (Puri Klungkung), Ni Luh Sustiawati (Kedis Kaja), I Gusti Made Peredi (Jeroan Abasan), Jro Mangku Gede Penyarikan, Jro Gede Kehen dan Jro Mangku Gede Dalem Purwa (Pura Kehen, Bangli), Arya Godogan (Marga), I Gusti Nyoman Wirata dan Mangku Wayan Putra (Pura Beda), I Gusti Nengah Nurata dan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (Banjar Tegal Belodan, Tabanan). Kami sampaikan terima kasih atas saran-saran dalam hal bahasa, kesusastraan, karawitan, dan budaya kepada Hildred Geertz, I Nengah Medera, Evan Ziporyn, I Wayan Juniartha, Mas Ruscitadewi, Thomas M. Hunter, Hedi Hinzler, Beth Skinner, Tilman Seebass, Danker Schaareman, José Evangelista, I Wayan Ardika, Raechelle Rubinstein, Ruby Ornstein, David Sandberg, John Stowell, Sugi Lanus, I Nyoman
80
Darma Putra, I Made Suastika, Ron Lilley, Ida Ayu Ari Janiawati, I Made Setiawan, Anak Agung Ayu Kusuma Arini, serta Anak Agung Made Djelantik dan Anak Agung Ayu Bulan Trisna Djelantik yang telah berbagi kenangan dan surat-surat dari Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Djelantik kepada Mangkunegara VII dari Surakarta. Terima kasih setulusnya kepada Andrew Toth, Anthony Seeger, Judith Becker, Mark Slobin, June Nash, David Irons dan Sue Flores atas berbagai masukan berharga dan dukungannya, serta Robert J. Buckley dan para staf Research Administration di Hunter College termasuk juga RF–CUNY atas dukungannya. Akses kepada koleksi piringan hitam 78 rpm telah dimungkinkan atas kebaikan University of California, Los Angeles, Ethnomusicology Archive dan the Colin McPhee Estate (terima kasih kepada John Vallier, Maureen Russell, Anthony Seeger, Marlowe Hood, Jacqueline DjeDje dan Aaron Bittel), Museum Nasional Indonesia di Jakarta (Retno Sulisthianingsih, mantan direktur) dan Sana Budaya di Yogyakarta, Laurel Sercombe di University of Washington, New York Public Library, Martin Hatch di Cornell University, Nancy Dean dan Ellen Koskoff, Totom Kodrat dan Soedarmadji J.H. Damais di Jakarta (dan juga koleksi Louis Charles Damais), Wim van der Meer dan Ernst Heins di Jaap Kunst Archives, University of Amsterdam, Jaap Erkelens, Anak Agung Ngurah Gde Agung, Puri Karangasem, Allan Evans, Michael Robertson, dan Pat Conte. Ucapan terima kasih khusus juga kami sampaikan kepada Rocio Sagaon Vinaver, Djahel Vinaver dan José G. Benitez Muro atas izin yang diberikan untuk memakai rekaman film dari Bali karya Miguel Covarrubias yang telah sangat berguna untuk menggugah kembali kenangan-kenangan masa lalu dari para seniman generasi tua. Film-film Rolf de Maré disertakan dalam proyek ini atas izin dari Dansmuseet dan the Rolf de Maré Foundation, Stockholm. Reproduksi foto-foto Arthur Fleischmann digunakan atas izin keluarga Arthur Fleischmann. Foto-foto oleh Walter Spies diterbitkan ulang atas seizin Walter Spies Foundation, Holland. Kami haturkan terima kasih setulusnya atas kemurahan hati dan kepercayaan dari UCLA Ethnomusicology Archive, yang telah meminjamkan banyak piringan hitam aslinya dan juga cuplikan film dan foto-foto oleh Colin McPhee yang sungguh tak ternilai dan berperan begitu besar dalam proyek ini. Terima kasih khusus kepada Philip Yampolsky atas ketangkasannya sebagai Program Officer di Ford Foundation, Jakarta (yang mendukung penelitian kami pada tahun 2003, 2006 dan 2007) dan sebagai informan akan sejarah dan keberadaan rekaman-rekaman Odeon-Beka, yang tanpa perannya, koleksi ini tak mungkin kami kumpulkan dan kompilasi. Endo Suanda (Tikar Media Budaya Nusantara) membantu kami memvisikan dan mengatur proyek Bali 1928 pada masa permulaannya. Terima kasih kepada Asian Cultural Council atas pendanaan penelitian selama tahun 2008–2009. Dukungan juga datang dari Ray Noren dan juga Yayasan Bali Purnati. Hibah Fulbright Senior Research Scholar Award 2014-15 membantu Edward Herbst dalam melaksanakan penelitian lapangan yang berkaitan dengan rekaman-rekaman bersejarah tahun 1928 ini. The Research Foundation of the City University of New York (CUNY) telah menerima hibah dari The Andrew W. Mellon Foundation untuk mendukung penelitian yang melibatkan penulis sebagai pemimpin proyek, etnomusikolog dan peneliti utama,
81
bersama Arbiter of Cultural Traditions di New York, dipimpin oleh Allan Evans, dan STMIK STIKOM Bali, di bawah koordinasi Marlowe Makaradhwaja, di Indonesia. Bali 1928 Project, “Restoration, Dissemination and Repatriation of the Earliest Music Recordings and Films in Bali” akan menghasilkan lima volume CD, DVD dan kaset di Amerika Serikat dan Indonesia, dan juga menyediakan arsip audio-visual melalui pusat data seni dan teknologi berbasis internet di http://www.bali1928.net. Rekan penerbit kami di Indonesia adalah STMIK STIKOM Bali yang dipimpin Dadang Hermawan dengan koordinator proyek dan penerjemah Marlowe Makaradhwaja, video editor Ridwan Rudianto, dan desainer grafis Jaya Pattra Ditya. Beth Skinner secara konsisten memberi saran dan dukungan yang tak bisa dihitung kepada proyek ini. Saya selalu terinspirasi oleh putra dan putri saya, Nico dan Gabrielle, yang tarian dan gubahan musiknya sealami bernafas. Dan akhirnya, apresiasi mendalam kami haturkan kepada Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions atas kemahirannya dalam mendengarkan, kecanggihan teknisnya dalam rekayasa suara ‘sound engineering’, keahliannya dalam bidang pemutar piringan hitam ‘turntable’ dan dedikasinya yang tulus dalam proses pemulangan kembali ‘repatriation’ dengan tujuan membuat rekaman-rekaman bersejarah ini tersedia untuk masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya. Edward Herbst pertama kali mengunjungi Bali pada tahun 1972 sembari menyelesaikan studi B.A. di Bennington College dan dibiayai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama setahun untuk mempelajari gendér wayang dan palégongan dari I Made Gerindem di Teges Kanginan, praktik pembuatan dan akustik gong di Tihingan, Klungkung, dan keterhubungan gamelan dan dramatari. Ia dan Beth Skinner belajar dari I Nyoman Kakul, master gambuh, baris, dan topéng, sembari tinggal dengan keluarganya di Batuan. Pada tahun 1980-1981, Herbst mendapat hibah dari Fulbright-Hays untuk mempelajari dan meneliti pementasan musik vokal dengan gamelan dan dramatari di Bali selama lima belas bulan, berguru di antaranya dengan I Made Pasek Tempo dari Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pande Made Kenyir dari Singapadu, serta I Ketut Rinda dari Blahbatuh. Herbst ditugaskan oleh sanggar teater-tari eksperimental Indonesia di bawah pimpinan Sardono Kusumo untuk berkolaborasi sebagai komponis dan vokal tunggal dalam Maha Buta di Swiss dan Mexico serta dalam film karya Sardono, The Sorceress of Dirah, di Indonesia. Setelah meraih Ph.D dalam bidang Etnomusikologi dari Wesleyan University, Herbst kembali berada di Bali selama empat bulan pada tahun 1992 (dibiayai oleh Asian Cultural Council) untuk menyelesaikan penelitian untuk buku Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater. Herbst terus membagi waktunya antara penelitian, mengajar dan turut serta dalam berbagai proyek kreatif di Indonesia dengan perannya di Amerika Serikat sebagai co-artistik direktur dan komponis untuk kelompok pementasan Triple Shadow. Saat ini ia adalah peneliti senior di Department of Anthropology, Hunter College–City University of New York. Sepanjang tahun 20142015, Edward Herbst akan melakukan berbagai studi lapangan dan seminar di Bali yang berhubungan dengan rekam jejak musik tahun 1928 dan keberlanjutannya di masa sekarang. Hibah Fulbright Senior Research Scholar Award 2014-15 membantu Edward Herbst dalam melaksanakan penelitian lapangan dan seminar-seminar yang berkaitan dengan rekaman-rekaman bersejarah tahun 1928 ini dan seni-budaya Bali masa kini, disponsori oleh AMINEF dan Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia.
82
Daftar Pustaka dan Bacaan Lanjutan Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, A. A. Bagus Wirawan. 2013. Sejarah Bali Dari Prasejarah Hingga Modern. Denpasar: Udayana University Press. _____. and Peter Bellwood. 1991. “Sembiran: the beginnings of Indian contact with Bali.” In Antiquity 65: 221-32. Canberra: Department of Prehistory and Anthropology, The Australian National University. Arthanegara, G.B. et al. 1980. Riwayat Hidup Seniman dan Organisasi Kesenian Bali. (Denpasar: Proyek Penggalian/Pembinaan Seni Budaya Klasik [Tradisional] dan Baru). Artika, I Gusti Lanang Oka. 1982. “Gambelan Angklung di Sidan”. Sarjana Muda thesis. (Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia). Aryasa, I Wayan et al. 1984–85. Pengetahuan Karawitan Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Astita, I Nyoman. 2012. “Transformasi Epos Ramayana Ke Dalam Sendratari Ramayana Bali.” (Doctoral dissertation. Denpasar: Universitas Udayana). _____. 2002. “I Lotring: (Tokoh Pembaharu Seni Tabuh Pelegongan di Bali).” In: Mudra, Vol. 10, No. 1. 126–140. (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia). Bandem, I Madé. 2009. Wimba Tembang Macapat Bali. (Denpasar: BP STIKOM Bali). _____. 1986. Prakempa: Sebuah Lontar Gamelan Bali. (Denpasar: ASTI). _____. 1991. “Tari Sebagai Simbol Masyarakat.” Jurnal Seni (ISI: Yogyakarta). _____. and Fredrik E. deBoer. 1981. Balinese Dance in Transition: Kaja and Kelod. (2nd Edition. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995). _____. 1983b. Ensiklopedi Tari Bali. (Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia). Bandem, N.L.N. Suasthi Widjaja. 2012. Dharma Pagambuhan. (Denpasar: BP STIKOM Bali). _____. 2007. “Dramatari Gambuh dan Pengaruhnya pada Dramatari Opera Arja.” (Doctoral diss. Universitas Gadja Mada, Yogyakarta) Bartók, Béla. 1992. Béla Bartók Essays, ed. Benjamin Suchoff (Lincoln: University of Nebraska [Bison] Press). Becker, Judith. 2004. Deep Listeners: Music, Emotion and Trancing (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press). _____. 1993. Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java (Arizona State University: Program for Southeast Asian Studies). _____. and Alan H. Feinstein, eds. 1988. Karawitan: Source Readings in Javanese Gamelan and Vocal Music, 3 vols. (Michigan Papers on South and Southeast Asia. Ann Arbor: The University of Michigan). Belo, Jane, ed. 1970. Traditional Balinese Culture (New York: Columbia Univ. Press). _____. 1960. Trance in Bali. (New York: Columbia University Press). _____. 1949. Bali: Rangda and Barong. (Seattle and London: University of Washington Press). Calo, Ambra et al. 2015. “Sembiran and Pacung on the north coast of Bali: a strategic crossroads for early trans-Asiatic exchange.” In Antiquity 89: 378–396. Catra, I Nyoman. 2005. “Penasar: A Central Mediator in Balinese Dance Drama/Theater” (Ph.D. dissertation. Middletown, CT: Wesleyan University). Carpenter, Bruce W., John Darling, Hedi Hinzler, Kaja M. McGowan, Adrian Vickers, and Soemantri Widagdo. 2014. Lempad of Bali: The Illuminating Line. (Singapore: Editions Didier Millet). Cohen, Mathew Isaac. 2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891–1903. (Athens: Ohio University Press). Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali. (New York: A. A. Knopf). [Reprinted 1956].
83
Darma Putra, I Nyoman. 2009. “‘Kidung Interaktif’: Reading and Interpreting Traditional Balinese Literature through Electronic Mass Media.” In Indonesia and the Malay World. Volume 37, Issue 109. Dibia, I Wayan. 2012. Taksu: in and beyond arts. Yogyakarta: Wayan Geria Foundation. _____. 2008. Seni Kakebyaran, ed. Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation). _____. and Ballinger, Rucina. 2004. Balinese Dance, Drama and Music: A Guide to the Performing Arts of Bali (Singapore: Periplus Editions). _____. 1992. “Arja: A Sung Dance Drama of Bali; A Study of Change and Transformation.” (Ph.D. diss., University of California, Los Angeles). _____. 1972. “Tari Arja di Singapadu.” Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia. Djelantik, A.A. Madé. 1997. The Birthmark: Memoirs of a Balinese Prince. Hong Kong: Periplus Editions. _____. “Peranan Guru Seni Non Formal Dalam Masyarakat Suku Bangsa.” Mudra: Jurnal Seni Budaya (Denpasar: Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 1993) 16–35. Fleischmann, Arthur. 2007. Bali in the 1930s: Photographs and Sculptures by Arthur Fleischmann. (The Netherlands: Pictures Publishers). Formaggia, Maria Cristina. 2000. Gambuh: Drama Tari Bali. Jilid I dan II (2 vol.) Jakarta: Yayasan Lontar (Lontar Foundation). Geertz, Clifford. 1983. Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology. New York: Basic Books Classics. _____.1980. Negara: The Theatre-State in Nineteenth-Century Bali. (Princeton: Princeton University Press). _____. The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973). Geertz, Hildred. 2004. The Life of A Balinese Temple: Artistry, Imagination and History in a Peasant Village. (Honolulu: University of Hawaii Press). _____. Images of Power: Balinese Paintings Made for Gregory Bateson and Margaret Mead. (Honolulu: University of Hawaii Press, 1994). _____. 1991. “A Theatre of Cruelty: The Contexts of a Topéng Performance.” In: State and Society in Bali, ed. by Hildred Geertz (Leiden: KITLV Press, 1991) 165–98. Gold, Lisa. 2004. Music in Bali: Experiencing Music, Expressing Culture. (New York: Oxford University Press). _____. 1998. “The Gender Wayang Repertoire in Theater and Ritual.” (Ph.D. diss., University of California at Berkeley). Gray, Nicholas. 2011. Improvisation and Composition in Balinese Gendér Wayang. Burlington and Surrey: Ashgate Publishing Co. Hanks, Lucien M. 1972. Rice and Man: Agricultural Ecology in Southeast Asia. Chicago: Aldine. New Edition: (Honolulu: University of Hawaii Press, 1992). Harnish, David. 2005. Bridges to the Ancestors: Music, Myth and Cultural Politics at an Indonesian Festival (Honolulu: University of Hawaii Press). Heger, F. 1902. Alte Metalltrommeln aus Sudostasien, 2 vols, Leipzig. Heimarck, Brita. 2003. Balinese Discourses on Music and Modernization: Village Voices and Urban Views. (New York: Routledge). Herbst, Edward. 2015. “Music for Temple Festivals and Death Rituals.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/worldarbiter/ _____. 2015. “Lotring and the Sources of Gamelan Tradition.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____ 2014. “Tembang Kuna: Songs from an Earlier Time.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/
84
_____. 2009. “Bali, 1928: Gamelan Gong Kebyar.” CD notes online. New York: Arbiter: http://arbiterrecords.org/catalog/category/world-arbiter/ _____. 1997. Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater (Hanover and London: Wesleyan University Press). _____. 1997. “Baris,” “Gamelan,” “Indonesia: An Overview,” “Balinese Dance Traditions,” Balinese Ceremonial Dance,” “Balinese Dance Theater,” “Balinese Mask Dance Theater,” “Kakul, I Nyoman,” “Kebyar,” “Légong,” “Mario, I Ketut,” “Sardono,” “Wayang.” International Encyclopedia of Dance, ed. by Selma Jeanne Cohen (New York: Oxford University Press and Dance Perspectives Foundation). Hinzler, H.I.R. 1994. “Balinese Palm-leaf Manuscripts.” In Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 149, pp. 438–74. Hiss, Philip Hanson. 1941. Bali. New York: Duell, Sloan and Pearce. Hobart, Mark. 2007 “Rethinking Balinese dance”, Indonesia and the Malay World 35101:107-28. _____.1978. “The Path of the Soul: The Legitimacy of Nature in Balinese Conceptions of Space.” In Natural Symbols in Southeast Asia, ed. by Miller, G. B. (London: School of Oriental and African Studies) 5–28. Hood, Mantle. 1969. “Bali.” Harvard Dictionary of Music, ed. by W. Apel (Cambridge: Harvard University Press) 69–70. _____. “Slendro and Pelog Redefined.” UCLA Selected Reports, 1: 28–48. Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Heavenly Orchestra of Bali. 2013. I Wayan Sumendra: leader, trompong; Walter Quintus, producer. CMP (Creative Music Productions); 1995: Silva Screen Records]. Hooykaas, C. 1973. Kama and Kala: Materials for the Study of Shadow Theatre in Bali. (Amsterdam, London. North-Holland Publishing Company). Kempers, A.J. Bernet. 1988. The Kettledrums of Southeast Asia: A Bronze Age World and its Aftermath. Modern Quarternary Research in Southeast Asia, Vol. 10. Rotterdam and Brookfields: A.A. Balkema. Laksmi, Désak Madé Suarti. 2007. Kidung Manusa Yadnya: Teks dan Konteksnya dalam Masyarakat Hindu di Bali. (Denpasar: Institut Seni Indonesia). Lansing, J. Stephen. 1991. Priests and Programmers: Technologies of Power in the Engineered Landscape of Bali (Princeton: Princeton University Press). Mardika, I Nyoman, Mardika, I Made & Sita Laksmi, A.A. Rai. 2011. Pusaka Budaya: Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Geriya, I Wayan (ed). Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. McPhee, Colin. 1970. “The Balinese Wayang Kulit and Its Music.” In: Traditional Balinese Culture, ed. by Jane Belo (New York: Columbia University Press) 146–211. _____. 1966. Music in Bali (New Haven: Yale University Press; reprint, New York: Da Capo Press, 1976). _____. “Children and Music in Bali.” In: Childhood in Contemporary Cultures, ed. by Margaret Mead and Martha Wolfenstein (Chicago: Chicago University Press, 1955). _____. 1948. A Club of Small Men (New York: The John Day Co.). _____. 1946. A House in Bali (New York: The John Day Company; reprint, Oxford University Press, 1987). _____. 1935. “The Absolute Music of Bali.” In: Modern Music 12 (May–June) 163–69. Medera, I Nengah et al. 1990. Kamus Bali–Indonesia (Denpasar: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali).
85
Nordholt, Henk Schulte. 1986. Bali: Colonial Conceptions & Political Change, 1700– 1940: From Shifting Hierarchies to “Fixed Order.” (Rotterdam: Erasmus University). Oja, Carol J. 1990. Colin McPhee: Composer in Two Worlds (Washington and London: Smithsonian Institution Press). Ornstein, Ruby. 1971. “Gamelan Gong Kebyar: The Development of a Balinese Musical Tradition.” (Ph.D. dissertation, UCLA). Pemda Tim Humas Kodya Denpasar: I Nyoman Astita, I Ketut Gedé Asnawa, I Gusti Ngurah Gedé Pemecutan, I Gusti Ngurah Yadnya. 1999. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: Pemda Kodya Denpasar). Perlman, Marc. 2004. Unplayed Melodies: Javanese Gamelan and the Genesis of Music Theory. (Berkeley: Univ. California Press). _____. 1997. “Conflicting Interpretations: Indigenous Analysis and Historical Change in Central Javanese Music.” In Asian Music 28 (1) 115–40. Rai, Wayan. 1992. “Balinese Gamelan Semar Pegulingan Saih Pitu: The Modal System.” (Ph.D. diss., University of Maryland–Baltimore County). Rassers, Urs. 1977. The Art and Culture of Bali. Oxford: Oxford University Press. Rembang, I Nyoman. 1973. Gamelan Gambuh dan Gamelan–gamelan Lainnya di Bali (Denpasar: Kertas Kerja Pada Workshop Gambuh, 25 Agustus s/d/ 1 September). _____. 1984–85. Hasil Pendokumentasian Notasi Gending–Gending Lelambatan Klasik Pegongan Daerah Bali (Denpasar: Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Richter, Karl. 1992. “Slendro–Pelog and the Conceptualization of Balinese Music: Remarks on the Gambuh Tone System.” Balinese Music in Context: A Sixty– fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman. Basler Studien zur Ethnomusikoligie. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 195–219. Rhodius, Hans and Darling, John; ed. John Stowell. 1980. Walter Spies and Balinese art. (Amsterdam: Terra, under the auspices of Tropenmuseum). Robson, Stuart. 2002. Javanese English Dictionary. (Singapore: Periplus). Rubinstein, Raechelle. 2000. Beyond the realm of the senses: The Balinese ritual of kekawin composition. (Leiden: KITLV Press). _____. 1992. “Pepaosan: Challenges and Change.” In Balinese Music in Context: A Sixty–fifth Birthday Tribute to Hans Oesch, ed. by Schaareman, D. (Winterthur: Amadeus Verlag, Forum Ethnomusicologicum 4) 85–114. Schaareman, Danker H. 1980. “The Gambang of Tatulingga, Bali.” In Ethnomusicology, vol. 24, No. 3 (Sep., 1980) 465–482. _____. “The Power of Tones: Relationship Between Ritual and Music in Tatulingga, Bali.” In Indonesia Circle, No. 52, June 1990) 5–21. Seebass, Tilman. 1986. “Notes and Paradigms.” In: La Musique et Le Rite Sacré et Profane. Vol.1. (Strasbourg: Association des Publications pres les Universités de Strasbourg). 207–221 _____. I Gusti Bagus Nyoman Pandji, I Nyoman Rembang, and Poedijono. 1976. The Music of Lombok (Bern: Francke Verlag Bern, Series I: Basler Studien zur Ethnomusikologie 2). Simpen, I Wayan. 1979. “Sejarah Perkembangan Gong Gedé.” (Naskah dikirim ke harian umum Bali Post). Sinti, I Wayan. 2011. Gambang: Cikal Bakal Karawitan Bali. (Denpasar: TSP Books). Stowell, John. 2012. Walter Spies: A Life in Art. (Jakarta: Afterhours Books).
86
Suastika, I Madé. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. (Yogyakarta: Duta Wacana University Press). Sudewi, Ni Nyoman. 2011. “Perkembangan dan Pengaruh Legong Keraton Terhadap Pertumbuhan Seni Tari di Bali Pada Periode 1920–2005.” Doctoral dissertation. Universitas Gadja Mada, Yogyakarta. Sudirga, I Komang. 2004. Cakepung: Ansambel Vokal Bali. Yogyakarta: Kalika Press. Sugriwa, I.G.B. Sudhyatmaka. 2008. “Lomba–lomba Gong Kebyar Di Masa Lalu, Sekarang, dan Masa Datang.” In Seni Kakebyaran, ed. by I Wayan Dibia (Denpasar: Balimangsi Foundation. (70–85). Sugriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. (Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali). _____. 1963. Ilmu Pedalangan/Pewayangan. (Denpasar: KOKAR-Bali). Sukartha, Nyoman. 1979. “Hubungan seni mabebasan dengan seni-seni lain.” In: I Wayan Jendra (ed.). Kehidupan mababasan di kebupaten Badung. (Denpasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Universitas Udayana). Sumarsam. 1995. Gamelan: Cultural Interaction and Musical Development in Central Java (Chicago: University of Chicago Press). Sumarta, I Ketut and Westa, I Wayan, eds. 2000. Sosok Seniman & Sekaa Kesenian Denpasar (Denpasar: PEMDA Kota Denpasar). Sutjaja, I Gusti Madé. 2006. Kamus Bali-Indonesia-Inggeris. (Denpasar: Lotus Widya Suari Bekerjasama dengan: Penerbit Universitas Udayana). Tenzer, Michael. Gamelan Gong Kebyar. 2000. (Chicago: University of Chicago Press). _____. 1992. Balinese Music (Singapore: Periplus Editions). Toth, Andrew. 1980. Recordings of the Traditional Music of Bali and Lombok (The Society for Ethnomusicology, Inc. Special Series No. 4). _____. 1975. “The Gamelan Luang of Tangkas, Bali”, UCLA Selected Reports in Ethnomusicology 2(2): 65–79). Vickers, Adrian. 1989. Bali: A Paradise Created (Singapore: Periplus Editions). _____. 1987. “Hinduism and Islam in Indonesia: Bali and the Pasisir World.” Indonesia 44: 30–58. _____. 1985 “The Realm of the Senses: Images of the Courtly Music of Pre-Colonial Bali.” Imago Musicae, International Yearbook of Musical Iconography, Vol. 2, pp. 143-77. Van Eck. 1878-1880 ‘Schetsen van het Eiland Bali’, Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, 4th series, 7,8,9. Vitale, Wayne. 2002. “Balinese Kebyar Music Breaks the Five–Tone Barrier: New Music for Seven–Tone Gamelan.” Perspectives of New Music 40/2) 5–69. Wiener, Margaret J. 1995. Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. (Chicago and London: University of Chicago Press). Yayasan Pustaka Nusatama. 2007. Kamus Bali-Indonesia (Edisi Ke-2). Denpasar: Balai Bahasa Denpasar-Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional. Yudha, I Nyoman. 1968. Sekaa Gong Sad Merta Belaluan: Juara Merdangga Utsava I (Festival Gong Kebyar). (Second printing, 2005). Zoete, Beryl de, and Spies, Walter. 1938. Dance and Drama in Bali (London: Faber and Faber, Ltd.) New Edition, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973. Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan; a Survey of Old Javanese Literature. (The Hague: Martinus Nijhoff). _____. with Robson, S.O. 1982. Old Javanese-English Dictionary. 2 vols. (The Hague: Nijhoff).
87
Zurbuchen, Mary S. 1991. “Palmleaf and performance; The epics in Balinese theater.” In: Joyce Burkhalter Flueckiger and Laurie J. Sears (eds.) Boundaries of the text; Epic performances in South and Southeast Asia. pp. 127-40. (Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan). [Michigan Papers on South and Southeast Asia 35]. _____. 1989 “Internal translation in Balinese poetry.” In: A.L. Becker (ed.), Writing on the tongue, pp. 215-279. Ann Arbor: Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan. [Michigan Papers on South and Southeast Asia 33]. _____. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater (Princeton: Princeton University Press).
88