BAGIAN I PERKEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN REFORMASI PELAYANAN KESEHATAN PENGANTAR Perkembangan rumah sakit saat ini mengalami transformasi besar. Pada masa sekarang rumah sakit sedang berada dalam suasana global dan kompetitif, termasuk bersaing dengan pelayanan kesehatan alternatif seperti dukun dan tabib. Pada keadaan demikian pelayanan rumah sakit sebaiknya dikelola dengan dasar konsep manajemen yang mempunyai etika. Tanpa konsep manajemen yang jelas, perkembangan rumah sakit di Indonesia akan berjalan lambat. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan aspek keuangan rumah sakit. Infrastruktur keuangan rumah sakit pemerintah sangat buruk karena belum ada pemahaman bahwa sistem keuangan harus berdasarkan sistem akuntansi yang benar. Sebagai ilustrasi, pada suatu pertemuan pembahasan sistem keuangan di rumah sakit pemerintah milik pusat tahun 1995 teridentifikasi bahwa penyusun sistem keuangan rumah sakit ternyata para dokter yang sehari-hari masih melakukan praktik klinis. Akibatnya, pada waktu itu sistem akuntansi rumah sakit pemerintah pusat praktis tidak mengacu pada kaidah-kaidah akuntansi yang disusun oleh profesi akuntan. Hingga tahun 2001 ketika Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) harus menjadi rumah sakit berbentuk perusahaan jawatan, sistem akuntansinya belum terbentuk dengan benar. Keadaan ini memperkuat laporan konsultan manajemen rumah sakit dari Belanda pada tahun 1983 yang menyatakan bahwa keadaan manajemen rumah sakit di Indonesia berada di bawah standar
2
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
(Hardjosoebroto dan Bal, 1983). Akan tetapi terdapat perkembangan menggembirakan karena pada penghujung dekade 1990-an telah terjadi kesadaran bahwa infrastruktur manajemen rumah sakit harus berdasarkan kaidah-kaidah modern yang universal. Kaidah tersebut universal karena dipergunakan di berbagai negara. Bagian I merupakan pendahuluan untuk memahami perkembangan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Terdapat empat bab dalam bagian ini. Bab I membahas sejarah perkembangan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia dari masa kolonial hingga masa sekarang. Pembahasan ini akan dilakukan dengan latar belakang perkembangan sejarah rumah sakit melalui penelitian berbagai arsip, kutipan, dan diskusi dengan seorang ahli sejarah ekonomi dari UGM, Yogyakarta. Dengan berpijak pada akar sejarah tersebut, maka keadaan rumah sakit di Indonesia saat ini dibahas secara berkelompok yaitu: rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta keagamaan, hingga rumah sakitswasta yang mencari keuntungan. Pembahasan secara berkelompok ini penting untuk melihat berbagai ciri rumah sakit dan sistem manajemennya. Dapat dilihat bahwa perbedaan sistem manajemen dipengaruhi pula oleh sejarah dan perilaku ekonomi. Namun, menarik untuk disimak bahwa sistem manajemen rumah sakit swasta keagamaan ternyata berubah akibat hilangnya subsidi pemerintah dan donor. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar rumah sakit keagamaan praktis beroperasi pada segmen masyarakat kelas menengah ke atas dan hidup dari cash-flow yang bersumber pada perdagangan obat, serta menjadi tempat para spesialis memaksimalkan pendapatan. Keadaan ini hampir terjadi di seluruh rumah sakit besar keagamaan akibat tekanan sumber pendanaan yang semakin sulit. Sorotan mengenai perubahan sistem pendanaan rumah sakit dan perdebatan apakah mungkin sistem rumah sakit berkembang menjadi lembaga usaha yang mempunyai aspek sosial di Indonesia dibahas pada Bab II. Bab III membahas perkembangan terakhir sistem pada sektor kesehatan di Indonesia yaitu berbagai perubahan pada komponen
Bagian I
3
sektor kesehatan, antara lain perubahan pemerintah, masyarakat, lembaga asuransi kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, hingga perubahan pada sumber daya manusia (SDM). Perubahan yang terjadi pada berbagai komponen sistem kesehatan mendorong munculnya manajerialisme sektor rumah sakit yang diwujudkan dengan fenomena otonomi manajemen rumah sakit. Fenomena ini dibahas pada Bab IV dengan menekankan pada konsep otonomi penuh atau sebagian bagi rumah sakit. Kedua konsep tersebut saat ini banyak dibahas di berbagai negara.
4
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
BAB I
SISTEM MANAJEMEN RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF SEJARAH Menurut seorang ahli sejarah ekonomi (Purwanto, 1996) pelayanan rumah sakit di Indonesia telah dimulai sejak awal keberadaan VOC pada dekade ketiga abad XVII, sebagai suatu bagian tidak terpisahkan dari usaha VOC itu sendiri. Pembangunan rumah sakit merupakan upaya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi akibat pelayaran yang jauh yaitu dari Eropa ke Indonesia dan tidak didukung oleh fasilitas medis yang baik, adaptasi klimatis, dan ketidakmampuan mengadaptasi serta mengatasi penyakit tropik. Boomgard (1996) menyatakan bahwa sejarah rumah sakit di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran Barat di Asia yang berlangsung sejak tahun 1649, ketika seorang ahli bedah bernama Caspar Schamberger berada di Edo (saat ini Tokyo) untuk mengajarkan ilmu bedah kepada orang Jepang. Masa ini merupakan awal dari beralihnya sistem tradisional kesehatan di Asia yang mengacu pada sistem Cina dan berubah menjadi sistem Belanda (Akira, 1996). Pengalihan ini berjalan secara lambat. Patut dicatat bahwa pelayanan kesehatan Barat sering diperuntukkan bagi keluarga bangsawan. Purwanto (1996) menyatakan bahwa pada masa awal rumah sakit di Indonesia secara eksklusif hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa. Baru pada masa berikutnya orang non-Eropa yang bekerja dengan VOC mendapat kesempatan untuk menggunakan rumah sakit, akan tetapi berbeda tempat, fasilitas, dan pelayanan. Sementara itu, orang Cina secara eksklusif digiring oleh peraturan VOC maupun oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan rumah sakit sendiri sehingga ilmu kedokteran dan pengobatan
Bagian I
5
tradisional Cina diberlakukan tanpa ada pengaruh terapeutik dan farmakologis barat. Baru pada awal abad XX pengaruh Barat mulai ada di rumah sakit yang dikelola oleh orang Cina. Selain itu, penduduk pribumi boleh dikatakan tidak mendapat perhatian dalam masalah pelayanan rumah sakit ini. Walaupun pada akhir abad XVII ada usaha dari misionaris Kristen untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada anak-anak pribumi, tetapi lingkup dan dampak tindakan ini terlihat kecil. Baru pada akhir abad XIX suatu usaha sistematis dalam pelayanan rumah sakit kepada penduduk pribumi dilakukan oleh para misionaris Kristen di Indonesia. Sampai akhir abad XIX, pada dasarnya rumah sakit di Indonesia merupakan rumah sakitmiliter yang secara eksklusif ditujukan kepada anggota kesatuan militer dan pegawai VOC atau kemudian pemerintah baik orang Eropa maupun pribumi. Sementara itu, orang sipil yang berhak mendapat pelayanan rumah sakit hanya orang Eropa atau penduduk non-Eropa yang secara yuridis formal disamakan dengan orang Eropa. Hal ini berhubungan dengan kebijakan kesehatan penguasa pada waktu itu yang tidak mengindahkan penduduk pribumi. Apabila penduduk pribumi mendapat pelayanan kesehatan, hal itu hanya dilakukan sebagai bagian dari upaya melindungi kepentingan orang Eropa. Pelayanan rumah sakit kepada orang pribumi dipelopori oleh para misionaris Kristen. Dalam perkembangannya beberapa organisasi sosial-keagamaan, seperti Muhammadiyah mendirikan rumah sakitsederhana dalam bentuk pelayanan kesehatan umum seperti yang ada di Yogyakarta dan memberikan pelayanan rumah sakit untuk penduduk pribumi. Ketika terjadi pergeseran kebijakan politik kolonial pada akhir abad XIX dan awal abad XX, secara langsung berdampak pula pada kebijakan kesehatan pemerintah kolonial yang berpengaruh terhadap perkembangan pelayanan rumah sakit oleh pemerintah untuk penduduk pribumi. Keberadaan pendidikan "Dokter Jawa" pada bagian kedua abad XIX mempunyai arti penting dalam pelayanan rumah sakit untuk penduduk pribumi. Pada masa awal para "Dokter Jawa" ini hanya
6
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
memberikan pelayanan kesehatan untuk penduduk sipil pribumi tidak dalam pengertian pelayanan rumah sakit, akan tetapi setelah pemerintah mulai membangun rumah sakit maka para "Dokter Jawa" ini merupakan pendukung utama dari pelayanan rumah sakit untuk penduduk sipil pribumi (Purwanto, 1996). Sejak akhir abad XIX terdapat pengembangan rumah sakit swasta yang dikelola oleh perkebunan besar dan perusahaan pertambangan. Satu catatan yang perlu diperhatikan bahwa walaupun hampir semua rumah sakit pada awal abad XX sudah membuka pelayanan untuk penduduk pribumi, pada dasarnya perbedaan secara yuridis formal dalam masyarakat kolonial tetap tercermin dalam pelayanan rumah sakit. Menurut Purwanto (1996) pada masa awal perkembangan rumah sakit masa VOC sampai awal abad XIX, pendanaan rumah sakit diperoleh dari subsidi penguasa dan dana yang diambil dari pasien yang pada dasarnya adalah pegawai VOC. Pada saat itu juga telah berkembang pemberian pelayanan rumah sakit tergantung kepada kebutuhan dan kemampuan pasien, terutama yang berhubungan dengan diet yang diterima pasien. Tinggi atau rendahnya tarif yang diberlakukan sesuai dengan pelayanan dan kebutuhan pasien, sehingga secara tidak langsung kelas dalam rumah sakit sudah tercipta pada waktu itu. Pada masa kekuasaan Daendels terjadi perubahan yang cukup penting. Sejak saat itu personil militer dibebaskan dari biaya rumah sakit, sedangkan pegawai sipil baru menikmati pembebasan biaya rumah sakit. Di kalangan penduduk sipil pribumi ada delapan kelompok yang dinyatakan bebas dari biaya rumah sakit, antara lain pelacur yang ditemukan sakit, orang gila, penghuni penjara, dan orang sipil yang bekerja pada kegiatan pemerintah. Pada sektor perkebunan dan pertambangan, biaya rumah sakit para buruh dipotong langsung secara reguler dari upah yang mereka terima, terlepas dari apakah mereka memanfaatkan pelayanan rumah sakit ataukah tidak. Sementara itu, rumah sakit milik orang Cina diharuskan membiayai sendiri dan dana itu terutama diambil dari pajak khusus yang berlaku pada masyarakat Cina pada waktu itu.
Bagian I
7
Rumah sakit swasta, seperti rumah sakit misionaris Kristen dan milik perusahaan pada mulanya harus membiayai sendiri semua kebutuhan dan sejak tahun 1906 pemerintah sudah memberikan subsidi secara teratur dalam bentuk bantuan tenaga, peralatan, obatobatan, maupun dana. Berdasarkan peraturan tahun 1928, sekitar 60% sampai 70% dari seluruh biaya operasional rumah sakit milik misionaris Kristen disubsidi oleh pemerintah. Trisnantoro dan Zebua (2000) menggambarkan keadaan pendanaan ini melalui sebuah rumah sakit Zending di Indonesia. Rumah sakit Zending tersebut, pada jaman Belanda (1936) mendapat subsidi yang cukup besar untuk membiayai rumah sakit. Jumlah pengeluarannya sebesar F. 218,459.03. Berdasarkan jumlah pengeluaran sebesar itu, sumber pendanaannya diperoleh dari berbagai sumber dengan rincian sebagai berikut: subsidi dari gubernemen atau pemerintah (44,5%); dari gereja-gereja di negeri Belanda, dari dokter, dan keuntungan bagian kelas (19,4%); dari pembayaran pasien rumah sakit (10,7%); Sumbangan Pemerintah Kasultanan termasuk F. 250 dari Pakualaman (8,4%); sumbangan perusahaan-perusahaan perkebunan, N.I.S, pemberian dan iuran Ned. Indie (5,6%); setoran premi pensiun dari personil (2,4%), dan pengeluaran yang tidak tertutup atau defisit (9%). Dengan demikian, rumah sakit keagamaan ini mempunyai subsidi pemerintah dan bantuan dari donor sebesar kurang lebih 70%-80% dari total sumber pendanaan. Namun, enam puluh tahun kemudian, rumah sakit tersebut tidak lagi mempunyai subsidi yang substansial untuk membiayai pelayanannya. Praktis rumah sakit keagamaan tersebut telah menjadi lembaga usaha yang harus membiayai segala kegiatannya dari pendapatan pasien. Akar sejarah tersebut menunjukkan bahwa rumah sakit di Indonesia berasal dari suatu sistem yang berbasis pada rumah sakit militer, yang diikuti oleh rumah sakit keagamaan, dan kemudian berkembang menjadi rumah sakit pemerintah serta menunjukkan aspek sosial yang akan memberikan pengaruh besar pada persepsi masyarakat mengenai rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa subsidi pemerintah merupakan suatu hal yang sangat umum terjadi sebelum kemerdekaan. Sebagai catatan lain, sistem asuransi kesehatan telah
8
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dikenal lama dalam sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam hal ini, maka jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah merupakan hal yang sudah lama dipraktikkan. Sebagaimana dinyatakan oleh Boomgaard (1996) akar sejarah jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah berdasarkan pada pemikiran sederhana para pelaut, serdadu, pedagang, dan birokrat layak mendapat pelayanan dari pemerintah karena jauh dari keluarga. Berdasarkan pengaruh sejarah, maka pada awal abad XXI terdapat berbagai jenis pemilik rumah sakit di Indonesia dengan berbagai kasus yang menarik untuk dibahas.
1.1 Rumah sakit Milik Pemerintah Ada dua jenis pemilikan rumah sakit pemerintah, yaitu rumah sakit milik pemerintah pusat atau RSUP dan rumah sakit milik pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota (Rumah Sakit Umum Daerah atau RSUD). Kedua jenis rumah sakit pemerintah ini berpengaruh terhadap gaya manajemen rumah sakit masing-masing. Rumah sakit pemerintah pusat, mengacu kepada Departemen Kesehatan (Depkes), sementara rumah sakit pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota mengacu pada stakeholder utamanya yaitu pimpinan daerah dan lembaga perwakilan masyarakat daerah. Rumah sakit pemerintah pusat sebagian adalah rumah sakit pendidikan yang cukup besar dengan hubungan khusus ke Fakultas Kedokteran. RSUD mempunyai keunikan karena secara teknis medis berada di bawah koordinasi Depkes, sedangkan secara kepemilikan sebenarnya berada di bawah pemerintah provinsi atau kabupaten atau kota dengan pembinaan urusan kerumahtanggaan dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Patut dicatat bahwa banyak rumah sakit milik pemerintah pusat atau daerah yang berakar dari rumah sakit zaman Belanda milik pemerintah Hindia Belanda atau milik lembaga keagamaan yang dikonversi. Pada dekade 1990-an rumah sakit pemerintah menerapkan kebijakan swadana yaitu rumah sakit pemerintah diberi kewenangan lebih besar dalam mengelola sistem keuangannya. Keluaran yang
Bagian I
9
diharapkan dari kebijakan swadana adalah kinerja pengelola yang semakin meningkat sehingga citra rumah sakit pemerintah di mata masyarakat semakin baik. Akan tetapi, kebijakan swadana di rumah sakit pemerintah tidak diteruskan menuju otonomi rumah sakit akibatnya, walaupun sudah swadana tetapi kinerja rumah sakit pemerintah masih rendah. Pada tahun 2000, dengan adanya UndangUndang (UU) baru mengenai desentralisasi pelayanan kesehatan, sebagian RSUP berubah menjadi perusahaan jawatan dan sebagian RSUD menjadi Lembaga Teknis Daerah atau tetap sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah. Kasus Rumah sakit Pemerintah di Bali Rumah sakit milik pemerintah cenderung hidup dalam suasana birokrasi yang mempunyai sistem kaku sehingga ada kemungkinan tidak mendapatkan manfaat positif dari perkembangan lingkungan yang semakin membaik. Sebagai gambaran, berbagai RSUD di Bali tidak mendapatkan manfaat dari perbaikan lingkungan eksternal berupa status sosial ekonomi Bali yang meningkat. Terjadi suatu kegagalan usaha rumah sakit untuk mendapatkan dana dari masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena rumah sakit-rumah sakit daerah di Bali dikelola dengan suatu asumsi dasar bahwa pelayanan kesehatan harus murah dan mengikuti berbagai kaidah birokrasi pemerintah. Keadaan ini merupakan bentukan dari sejarah rumah sakit pemerintah yang mendapat subsidi besar di masa lampau. Kebijakan rumah sakit di Bali tidak mengenal nilai-nilai lembaga usaha, misalnya keinginan para stafnya untuk mendapatkan penghasilan memadai dari rumah sakit pemerintah. Berbagai penelitian di Bali menunjukkan adanya bukti bahwa pelayanan kesehatan yang ditekan murah di rumah sakit daerah ini tidak berarti sangat murah. Tarif rawat jalan yang murah untuk pelayanan dokter spesialis dapat tidak bermakna karena resepnya berisi obat-obat mahal dan harus dibeli di apotek tertentu. Konsep yang dipergunakan di Bali menyebabkan pelayanan rumah sakit menjadi bersifat lapis dua (two-tier). Bagi masyarakat
10
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
kelas menengah ke atas, rumah sakit swasta merupakan tempat berobat, sedangkan rumah sakit pemerintah khususnya rumah sakit daerah diperuntukkan bagi kelompok masyarakat miskin. Keadaan ini sebenarnya tidak ada masalah asalkan subsidi pemerintah untuk rumah sakit daerah cukup tinggi yang mencakup subsidi untuk fisik bangunan, peralatan medis, sampai ke insentif bagi SDM. Namun, data menunjukkan bahwa subsidi tersebut relatif kecil. Akibatnya, gedung dan fasilitas fisik rumah sakit relatif tidak sesuai dengan standar, proses kerja di dalam rumah sakit menjadi tidak baik, dan keinginan para dokter spesialis bekerja di luar menjadi lebih banyak. Dalam keadaan ini, rumah sakit pemerintah daerah di lingkungan Bali yang sangat dinamis pertumbuhan ekonominya, dapat berpredikat sebagai "bulgur" atau menjadi ”tikus yang kurus di lumbung padi”. Mengapa menjadi ”bulgur”? Rumah sakit daerah di Bali berkembang hanya untuk melayani orang miskin sehingga mutunya rendah akibat subsidi yang sangat kecil dari pemerintah. Akibatnya, RSUD menjadi sebuah lembaga yang inferior karena masyarakat yang meningkat pendapatannya cenderung lebih menggunakan pelayanan rumah sakit swasta. Menarik untuk dicermati bahwa pada tahun 1999–2000, salah satu rumah sakit daerah di Bali, RSUD Tabanan, berusaha meninggalkan citra “bulgur” ini dan secara sistematis berusaha mengembangkan diri untuk melayani seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Tabanan. Pada tahun 2001, setelah melakukan perubahan selama 5 tahun, barulah RSUD Tabanan mampu meninggalkan citra ”bulgur” ini. Kasus Rumah sakit Pemerintah di Papua Provinsi Papua merupakan provinsi yang kaya dari segi alam, tetapi anggaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat sangat kurang (relatif) dan masyarakat tidak mempunyai daya beli untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Ada berbagai akibat yang muncul. Pertama, pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit masih diperlakukan berupa public-goods yang harus gratis atau tarif sangat rendah. Kedua, terdapat masalah dalam SDM. SDM termasuk
Bagian I
11
spesialis membutuhkan dukungan biaya agar pendapatan mereka cukup tinggi. Ketiga adalah perbedaan kultur antara sistem pelayanan kesehatan modern dan keadaan masyarakat Papua. Namun, masalah khusus yang dihadapi adalah kegagalan pengadaan SDM di Papua. Sebagai gambaran, tahun 1999 hanya terdapat dua orang dokter spesialis bedah. Dokter spesialis lebih banyak menghabiskan waktu Wajib Kerja Sarjana ke-2, kecuali beberapa orang dokter spesialis anak, kebidanan dan penyakit kandungan, serta penyakit dalam yang berada dalam kantong-kantong daerah makmur di Papua seperti, Jayapura dan Sorong. Seorang dokter spesialis bedah pada tahun 2000 menyatakan bahwa pendapatan seorang dokter spesialis bedah sangat rendah karena Peraturan Daerah (Perda) sangat kecil, sementara masyarakat banyak yang tidak mampu. Penghasilan yang diterima maksimal hanya Rp 5.000.000,00, sedangkan pada kota besar di Pulau Jawa dapat mencapai Rp 30.000.000,00 sebulan. Pada tahun 2000, harga tiket pesawat dari Pulau Jawa ke Papua mencapai Rp 7.500.000,00 untuk pulang pergi. Ditambahkan bahwa perhatian pemerintah daerah untuk dokter spesialis sangat kurang. Akibatnya, muncul berbagai kejadian, misalnya RSUD Merauke tidak dapat menarik dokter spesialis untuk datang ke sana. Bahkan RSUD Sorong yang dianggap baik ternyata terpaksa melepaskan dokter spesialis bedah untuk pulang ke Pulau Jawa karena yang bersangkutan tidak betah. Pada tahun 2003, dengan adanya kebijakan desentralisasi berbagai pemerintah kabupaten di Papua meningkatkan insentif bagi tenaga dokter spesialis. Kasus RSUD Banyumas dan RSD X Terdapat beberapa RSUD yang saat ini berkembang pesat, seperti RSUD Banyumas dengan pendapatan tinggi dan dapat menunjukkan sebagai suatu badan usaha yang dinamis. SDM termasuk direktur dapat menggantungkan hidup dari rumah sakit tersebut. Dengan demikian, profesionalismenya dapat diandalkan. RSUD Banyumas terlihat sangat kuat dalam pengembangan SDM karena hal
12
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
ini terkait dengan kompensasi yang diterima. Di samping itu, para pemimpin formal dan informal mempunyai komitmen tinggi untuk melakukan perubahan. Bupati sebagai stakeholder sangat penting dalam membantu pendanaan pengembangan, walaupun RSUD sudah menjadi swadana dan mempunyai pendapatan fungsional yang cukup tinggi. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga mendukung pengembangan RSUD Banyumas dari anggaran daerah selama sepuluh tahun terakhir. Sebagai perbandingan kontras, RSUD X tidak mempunyai gairah untuk berkembang. Para stakeholders dan pemimpin cenderung mengalami kebuntuan dalam pengembangan rumah sakit. Gambaran di bawah ini yang diucapkan Direktur RSUD X menunjukkan keputusasaan dalam usaha mengembangkan rumah sakit. “Sebelum krisis moneter pernah dilakukan uji coba swadana. Bupati sudah memberikan ijin dan mengerti diperlukan dana untuk menambah jasa medis dan memberikan kesempatan pada rumah sakit swasta untuk mempergunakan sumber daya manusia rumah sakit kami dengan sistem win-win. Tetapi, karena kenaikan harga barang habis pakai, pendapatan rumah sakit kami terus menurun, insentif atau jasa medis sampai menunggak tidak terbayarkan sehingga gagal uji coba yang dilakukan kembali pada keadaan semula sebelum uji coba. Upaya lain yang diusulkan menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) adalah bahwa tarif kelas II ditetapkan sesuai dengan unit cost. Dengan kondisi ini diharapkan penentuan tarif yang lain (kelas I dan VIP) dapat digunakan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. Akan tetapi DPRD tidak menyetujui hal ini.”
Lebih lanjut, sang Direktur menyatakan keputusasaannya: “Dengan SK lebih mudah, karena apabila ada kenaikan harga, tarif bisa disesuaikan dengan SK Bupati. Tetapi DPRD tidak mau, orang di sana hanya berfikir politis, berkeinginan murah dan bagus, tanpa melihat kebutuhan. Sehingga ya… sudah terserah saja semua kebijaksanaan pada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk diapakan rumah sakit ini apakah diswastakan
13
Bagian I
atau kalau perlu ditutup atau jadi agen SDM untuk rumah sakit swasta. ”
Dari keluhan-keluhan tersebut terlihat bahwa masalah ekonomi merupakan hal penting dalam usaha mengembangkan RSUD X. Akan tetapi, patut dicatat bahwa keberhasilan RSUD Banyumas ini masih harus diuji dalam jangka lebih panjang karena salah seorang dokter spesialisnya merencanakan untuk membuka klinik pribadi dengan rawat inap.
1.2 Rumah sakit Milik Militer Sejarah menunjukkan bahwa sebagian rumah sakit di Indonesia berasal dari program pelayanan kesehatan milik militer di masa kolonial Belanda. Contoh rumah sakit militer paling besar adalah Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto di Jakarta. Pada tahun 1995, di Indonesia terdapat 112 rumah sakit militer yang berinduk pada Angkatan Darat (62), Angkatan Laut (19), Angkatan Udara (19), dan Kepolisian (12). Rumah sakit-rumah sakit militer tersebut misi utama sebenarnya untuk kesehatan militer dan persiapan perang. Pihak militer menganggap bahwa pelayanan rumah sakit bukan urusan pokok sehingga pendanaan rumah sakit tersebut sangat terdesentralisasi dan akibatnya sangat tergantung pada situasi serta kondisi lingkungan bekerja. Beberapa rumah sakit militer seperti RSPAD Gatot Subroto Jakarta atau Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) di Surabaya merupakan ujung tombak kemajuan pelayanan kesehatan militer. Peralatan dan SDM dapat mengungguli Rumah Sakit Umum (RSU). RSPAD Gatot Subroto bahkan mempunyai visi untuk menjadi pusat berbagai subspesialis Indonesia dengan mengirimkan sumber daya medisnya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dan bekerja sama dengan negara maju. Rumah sakit militer di Bogor lokasinya sangat strategis yaitu di depan Istana Bogor dengan pemandangan indah ke lembah dan
14
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
gunung. Potensi rumah sakit ini luar biasa sehingga dapat memanfaatkan posisinya untuk berkembang. Pada sisi ekstrim lain, rumah sakit-rumah sakit militer di daerah terpencil berada dalam keadaan mempertahankan hidup. Rumah sakit militer di kota besar pun ada yang mengalami keadaan yang sulit berkembang, misal rumah sakit militer di Yogyakarta. Walaupun berada di daerah elite Kotabaru di Yogyakarta, rumah sakit ini menghadapi kendala pengembangan yang cukup berat. Secara keseluruhan rumah sakit militer saat ini sudah menerima pembayaran langsung dari masyarakat dan berkompetisi dengan rumah sakit lainnya. Pengamatan terakhir menunjukkan bahwa rumah sakit militer benar-benar mengembangkan suatu sistem manajemen yang berorientasi pada kompetisi.
1.3 Rumah sakit Swasta Milik Yayasan Keagamaan dan Kemanusiaan Di Indonesia, pemilikan rumah sakit oleh yayasan mempunyai sejarah panjang yang bersumber dari masa kolonial Belanda, terutama rumah sakit Kristen dan Katolik. Di berbagai kota, rumah sakit swasta besar dimiliki oleh lembaga-lembaga keagamaan misalnya: Rumah Sakit (RS) Bethesda di Yogyakarta, RS PGI Cikini di Jakarta, RS Charitas di Palembang, RS St. Elisabeth di Semarang, RS PKU Muhammadiyah di Yogyakarta. Perkembangan menarik terjadi saat ini yaitu sumbangan dana-dana kemanusiaan yang menjadi sumber tradisional pendanaan ternyata semakin berkurang, kecuali pada beberapa rumah sakit Islam. Filosofi pemilik rumah sakit ini mempengaruhi pola manajemen dan situasi rumah sakit. Sebagai contoh, rumah sakit keagamaan yang dimiliki oleh lembaga keagamaan yang konservatif terlihat sangat berhati-hati dalam melakukan investasi untuk pengembangan. Dalam perkembangannya, rumah sakit keagamaan Kristiani yang berasal dari semangat misionaris tersebut saat ini justru terkenal sebagai rumah sakit untuk kelas menengah ke atas, atau dalam arti lain tarif sebagian besar kelas perawatannya adalah mahal. Hal ini wajar
Bagian I
15
terjadi karena untuk biaya operasional, bantuan dari charity funds sudah berkurang tajam. Di beberapa rumah sakit misionaris, boleh dikatakan dana sumber pendanaan dari kemanusiaan sudah mendekati nol persen. Walaupun demikian, rumah sakit keagamaan tersebut masih berusaha memberikan pelayanan kesehatan untuk orang miskin dengan konsep subsidi silang. Pada beberapa daerah, masih ada rumah sakit Kristiani yang berusaha untuk tetap pada semangat misionaris, bahkan RS Elim di Sulawesi Selatan menolak keras pengaruh perbedaan kelas di masyarakat. Rumah sakit tetap bertahan menyelenggarakan pelayanan murah yang seragam, walaupun sebagian masyarakat ada yang meminta pelayanan yang lebih baik dengan membayar lebih mahal. Sebagai jawaban terhadap perubahan yang terjadi, sebagian besar pengambil keputusan di rumah sakit keagamaan masih melihat perubahan yang ada tanpa strategi pengembangan yang jelas. Hal ini dapat membawa suatu risiko yaitu rumah sakit keagamaan akan menjadi lembaga usaha yang praktis untuk mencari keuntungan atau untuk menghidupi SDM. Hal ini disebabkan hilangnya subsidi dan kenyataan bahwa pelayanan kesehatan semakin mahal serta tenaga kesehatan semakin menuntut pendapatan yang tinggi. Sudah menjadi kenyataan bahwa justru rumah sakit keagamaan menjadi: 1) tempat bagi sebagian dokter spesialis untuk meningkatkan pendapatan setinggi-tingginya; dan 2) tempat penjualan yang baik bagi industri farmasi. Subsidi yang mengecil ini mengakibatkan rumah sakit keagamaan kesulitan mencari sumber dana bagi orang miskin. Sementara itu, penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali tidak dilakukan secara sistematis. Dalam melayani orang miskin, pengamatan menunjukkan bahwa sebagian direktur rumah sakit keagamaan berkeinginan menerapkan konsep subsidi silang yaitu keuntungan dari kelas atas akan diberikan kepada orang miskin yang sakit. Akan tetapi, patut dicatat bahwa pendekatan subsidi silang dalam era manajemen modern sama sekali tidak masuk akal. Dalam persaingan ketat tidak mungkin diharapkan bahwa semua orang kaya yang sakit bersedia mensubsidi orang miskin yang sakit. Orang kaya yang sakit mencari pengobatan yang terbaik dan paling efisien. Berbagai pengamatan
16
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
menunjukkan bahwa konsep subsidi silang ternyata tidak ada, ataupun jika ada, subsidi silang ini akan menggerogoti aset dan kemampuan investasi rumah sakit keagamaan. Penelitian Abeng dan Trisnantoro (1997) di sebuah rumah sakit swasta menunjukkan bahwa tarif kamar VIP berada di bawah unit cost. Hal yang dikhawatirkan adalah justru pasien kelas bawah memberikan subsidi ke kelas atas. Hal ini mungkin terjadi karena harga obat yang mempunyai keuntungan yang sama besarnya antara kelas atas dan kelas bawah, sedangkan jumlah pasien kelas bawah jauh lebih banyak di banding dengan kelas atas. Konsep subsidi silang, apabila dilakukan secara murni, akan menurunkan daya kompetitif sebuah rumah sakit, termasuk daya kompetitif internasional. Pendekatan subsidi silang ini secara praktis mengharapkan direktur rumah sakit melakukan pekerjaan yang sangat berat yaitu sebagai manajer lembaga pelayanan kesehatan, sekaligus sebagai pengatur redistribusi pendapatan masyarakat yang notabene adalah tanggung jawab pemerintah atau yayasan pemilik rumah sakit. Dapat dibayangkan bahwa beban direktur dan sistem manajemen menjadi sangat berat dalam melakukan subsidi silang ini yang sebenarnya berada di luar jangkauan mereka. Pada kasus ekstrim, sebuah rumah sakit keagamaan besar harus mensubsidi rumah sakit keagamaan kecil atau bahkan mensubsidi sekolah-sekolah atau panti asuhan. Keadaan ini mencerminkan ketidaksiapan rumah sakit keagamaan bersaing dengan rumah sakit lain yang tidak terbebani misi sosial. Hal penting lain yang mengesankan ketidaksiapan rumah sakit keagamaan menjadi rumah sakit yang berbasis pada sistem manajemen modern adalah keengganan mengembangkan diri menjadi lebih efisien dan kompetitif. Salah satu hal penting di sini adalah bentuk kerja sama antarrumah sakit keagamaan. Sampai saat ini belum ada sistem jaringan antarrumah sakit keagamaan yang mencerminkan efisiensi dan daya saing yang tinggi. Berbagai bukti pada sektor lain seperti makanan dan perhotelan, serta keadaan rumah sakit keagamaan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sistem jaringan merupakan jawaban peningkatan efisiensi dan daya saing. Perubahan ke arah jaringan ini memang sulit, apalagi merubah dari suatu sistem yang
Bagian I
17
sudah terbiasa sendiri-sendiri menjadi suatu jaringan. Hal ini berbeda dengan Hotel Ibis atau Novotel yang membuat jaringan dari kegiatan yang baru sama sekali. Kasus Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dan Rumah Sakit Bethesda Serukam Pontianak Dua rumah sakit Kristen yang kontras keadaannya akibat lingkungan dapat dipaparkan sebagai studi kasus menarik. Rumah sakit Bethesda di Yogyakarta merupakan rumah sakit swasta terbesar di Yogyakarta. Rumah sakit Bethesda mempunyai lingkungan baik untuk pengembangan usahanya dan telah menjadi rumah sakit yang sistem manajemennya sudah menyerupai badan usaha yang progresif. Pelayanan perawatan medis saja mempunyai sekitar 10 kelas, mulai dari yang paling murah hingga yang super VIP. Bandingkan dengan RS Elim di Sulawesi Selatan yang menolak keras adanya perbedaan kelas perawatan. Di samping pelayanan medis sebagai bisnis inti, RS Bethesda Yogyakarta melakukan berbagai diversifikasi, terutama yang memperkuat bisnis medisnya. Tidak dapat dibayangkan oleh pendiri RS Bethesda seratus tahun yang lalu, bahwa saat ini rumah sakit mempunyai hotel, kantin, ruang pertemuan, sampai warung telepon. Sebelum krisis moneter di penghujung tahun 1990-an RS Bethesda merencanakan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi rumah sakit militer yang berada di belakangnya untuk mengembangkan suatu rumah sakit dengan standar internasional. Pengamat luar menyebutkan bahwa perilaku RS Bethesda merupakan tindakan usaha yang agresif. Akan tetapi, agresivitas RS Bethesda ini perlu dikaji dalam hal efektivitas dan efisiensinya. Dipertanyakan apakah sistem manajemen di dalamnya mempunyai kemampuan sebagai suatu corporate yang mempunyai berbagai usaha. Dikhawatirkan terjadi suatu kesalahan perencanaan yang fatal, terlebih lagi pada situasi moneter yang banyak ketidakpastiannya. Ketika terjadi pergantian direksi di RS Bethesda selama krisis moneter di Indonesia, terlihat bahwa direksi baru menerapkan sistem manajemen yang tidak agresif, termasuk tidak
18
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
meneruskan pengembangan rumah sakit standar internasional. Rumah sakit Bethesda di Serukam Kalimantan Barat menunjukkan kondisi berbeda. Lingkungan luar RS Bethesda di Serukam tidak dapat diandalkan untuk pemasukan. Sementara itu, dana-dana kemanusiaan (sebagai charity funds) menurun. Akibatnya, terjadi penurunan kinerja dan kesulitan menarik staf untuk bekerja di sana. Hal ini dipersulit dengan kenyataan adanya saingan dari rumah sakit di Kuching, Malaysia. Kasus Rumah Sakit Islam dan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta Menurut sejarah, Rumah Sakit Islam (RSI) dibangun lebih belakangan dari rumah sakit keagamaan non-Islam. Hal ini terlihat dari letak bangunan. Rumah sakit-rumah sakit keagamaan Kristiani biasanya berada di jalan-jalan paling strategis di kota-kota besar, misal di Palembang (RS Charitas), Yogyakarta (RS Bethesda dan RS Pantirapih), RS RKZ Surabaya, dan RS Elisabeth Semarang. Saat ini RSI mulai bangkit dengan pengembangan-pengembangan baru yang dimulai dari fisik. Dengan demikian, banyak dana yang digunakan untuk pengembangan fisik (kasus RSI Klaten, RSI Solo, RSI Yogyakarta). Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta merupakan rumah sakit yang tertua dan letaknya strategis, tetapi memiliki lahan yang sangat sempit. Rumah sakit PKU Muhammadiyah bahkan harus membuat kebijakan strategis yang sulit untuk dipilih, apakah tetap berada pada lokasi lama yang sangat sempit ataukah pindah agak ke luar kota. Masalah yang dapat diamati dari RSI ini adalah efek dari kesibukan untuk membangun secara fisik, kelengkapan fasilitas, ketenagaan medis dan manajerial, serta warisan sejarah yang masih kurang mengakar. Memang menjadi pertanyaan menarik, apakah sistem manajemen yang diimpor dari Barat dapat diadopsi oleh semangat Islami di RSI. Dengan usia RSI yang relatif masih muda, dapat dipahami apabila sistem manajemennya belum tertata dengan
Bagian I
19
baik. Keadaan ini dapat dipersulit dengan kondisi moneter saat ini yang pembangunan fisik (konstruksi) dan pembelian alat-alat medis menghadapi kendala nilai ”kurs dollar” yang tinggi. Sebagai contoh, pembangunan RSI di Kalasan Yogyakarta saat krisis tentu membutuhkan penanganan yang jauh lebih rumit dibanding rumah sakit-rumah sakit yang telah berdiri dan beroperasi dalam waktu lama. Disinilah sistem manajemen RSI yang baru berada dalam ujian yang berat. Hal penting lain bagi RSI adalah masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tidak semudah biaya investasi untuk memperolehnya. Akibatnya, terdapat kemungkinan rumah sakit terbangun secara fisik dan tercukupi peralatannya, tetapi tidak mempunyai subsidi untuk operasional dan pemeliharaan. Akibatnya, tarif menjadi tinggi yang sebenarnya berlawanan dengan misi sosial RSI. Sementara itu, belum ada standar sumber pendanaan termasuk pembagian SHU, apakah untuk pemilik ataukah harus dipakai untuk pengembangan. Sebuah kasus di RSI telah terjadi pertikaian antara pemilik dengan direksi. Pertikaian berlarut-larut hingga terjadi perangkapan jabatan direktur oleh pemilik. Lebih lanjut terjadi masalah hukum akibat situasi ini.
1.4 Rumah sakit Swasta Milik Dokter Kepemilikan rumah sakit oleh dokter biasanya bersumber dari prestasi klinis seorang dokter. Sebagai contoh, seorang dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan dapat memiliki rumah sakit melalui perluasan klinik spesialis kebidanan dan penyakit kandungannya. Perluasan klinis ini dimulai dari kesehatan anak dengan membentuk rumah sakit ibu dan anak. Kemudian dapat berkembang menjadi RSU. Adapula rumah sakit khusus yang dimiliki oleh dokter misalnya rumah sakit mata, rumah sakit jiwa, dan lainlain. Fenomena saat ini menunjukkan terdapat sejumlah dokter
20
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
bersepakat membangun rumah sakit secara bersama-sama. Akan sulit seorang dokter tanpa kerja sama dengan rekan-rekannya membangun dan menjalankan rumah sakit yang lengkap dengan sarana dan prasarana medis yang kompleks. Gaya kepemilikan dokter akan mempengaruhi pola manajemen. Kasus di Bali, Padang, dan Yogyakarta menunjukkan bahwa dosen-dosen senior di Fakultas Kedokteran biasanya mempunyai rumah sakit kecil atau klinik besar yang menempati areal yang tidak dirancang untuk rumah sakit. Keadaan ini membuat sistem manajemen sulit dikembangkan dengan berlandaskan visi yang mantap. Di samping itu, ada berbagai masalah antara lain keterbatasan lahan, fasilitas, gedung yang semakin menua, dan juga kepemilikan yang merangkap sebagai dokter. Di tengah tuntutan masyarakat yang semakin kritis akan mutu pelayanan, tuntutan untuk mematuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan tuntutan hukum, maka sistem manajemen rumah sakit yang dimiliki oleh dokter membutuhkan pemikiran kembali. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kemunduran keterampilan klinis pemilik diakibatkan karena usia lanjut sehingga menyebabkan kemunduran rumah sakit. Dengan demikian, timbul berbagai alternatif di masa mendatang bahwa rumah sakit kecil milik para dokter ini mungkin akan merger dengan sesamanya atau dibeli oleh rumah sakit besar dan akan berfungsi sebagai satelit-satelitnya. Pada prinsipnya rumah sakit kecil milik para dokter sulit berkembang menjadi pusat pengembangan teknologi kedokteran. Dikhawatirkan apabila dosen senior terlalu mementingkan praktik di rumah sakit pribadinya maka kemungkinan terjadi stagnasi dalam pengembangan teknologi kedokteran di suatu wilayah, termasuk di tempat yang ada rumah sakit pendidikannya. Keadaan ini sudah tercermin pada berbagai rumah sakit pendidikan pemerintah, yang para dokter senior dan profesor lebih banyak melakukan kegiatan di rumah sakitnya daripada di rumah sakit pendidikan. Hal ini tentu mengurangi laju perkembangan rumah sakit pemerintah. Patut dicatat bahwa kegiatan rumah sakit pribadi pada umumnya adalah kasuskasus penyakit yang sederhana karena keterbatasan peralatan medik.
Bagian I
21
1.5 Rumah sakit Swasta Milik Perusahaan yang Mencari Keuntungan Rumah sakit saat ini sudah dianggap sebagai tempat yang menarik dan potensial untuk menghasilkan keuntungan. Dengan demikian, berbagai perusahaan, terutama yang bersifat konglomerasi memandang perlu untuk mendirikan rumah sakit yang menguntungkan. Kecenderungan lain adalah tantangan pendirian jaringan rumah sakit, seiring dengan ekspansi bisnis konglomerasi. Contoh paling menarik adalah RS Gleneagles Siloam di Karawaci Tangerang yang berinduk pada kelompok perusahaan Lippo. Rumah sakit yang dikelola oleh perusahaan untuk mencari keuntungan ini merupakan fenomena baru yang melanda Indonesia, khususnya di Jakarta pada tahun 1980-an dan 1990-an. Sejarah rumah sakit ini masih singkat, tetapi dengan naluri bisnis yang baik dan kekuatan modal dan sistem manajemennya, rumah sakit milik perusahaan ini dapat menggantikan peran rumah sakit keagamaan di masa mendatang, apabila rumah sakit lainnya tidak memperbaiki sistemnya. Sistem manajemen rumah sakit yang mencari keuntungan relatif lebih mudah dibandingkan dengan rumah sakit keagamaan atau rumah sakit pemerintah. Sistem manajemen perusahaan dengan mudah dapat diterapkan.
1.6 Rumah sakit Milik Badan Usaha Milik Negara Beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempunyai rumah sakit, misalnya Pertamina, PT. Aneka Tambang, PT Pelni, dan berbagai perusahaan perkebunan. Dengan sifat sebagai organ BUMN, maka keadaan rumah sakit tersebut sangat tergantung pada kondisi
22
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
keuangan induknya. Rumah sakit Pertamina Pusat terkenal sebagai rumah sakit yang mempunyai peralatan dengan teknologi tinggi karena Pertamina mampu membiayainya dan mempunyai segmen masyarakat yang menuntut penyediaan peralatan dengan teknologi tinggi. Sebaliknya, kondisi PT Timah yang pernah mempunyai masa sulit, mempengaruhi rumah sakitnya hingga dalam kondisi yang sulit untuk berkembang, sehingga rumah sakit dilepas dari induknya. Isu tentang strategi besar PT Pertamina saat ini, juga mempengaruhi rumah sakit-rumah sakit Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia. Dapat diramalkan apabila Pertamina mempunyai strategi efisiensi maka sebagian rumah sakit diharuskan berubah menjadi pusat keuntungan. Hal ini tentu menuntut keterampilan manajerial yang berbeda dibandingkan ketika rumah sakit-rumah sakit Pertamina dikelola sebagai cost-centre. Perkembangan Rumah sakit dan Ilmu Ekonomi Dengan memahami perkembangan berbagai rumah sakit dari masa lalu sampai sekarang, secara keseluruhan, perkembangan sejarah rumah sakit menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan hal penting sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu faktor penting dalam pertumbuhan ataupun kemunduran rumah sakit adalah aspek ekonomi. Tanpa adanya sumber dana cukup, perkembangan rumah sakit akan sulit berjalan. Tanpa insentif ekonomi memadai bagi sumber daya manusia, sebuah rumah sakit akan kesulitan menarik tenaga yang menjadi penentu keberhasilan pelayanan rumah sakit. Pertanyaan pentingnya adalah apakah para pengambil kebijakan dan pengelola rumah sakit mau dan mampu mempelajari ilmu ekonomi untuk merumuskan kebijakan dan mengelola rumah sakit di Indonesia.
23
Bagian I
BAB II
ASPEK PENDANAAN RUMAH SAKIT 2.1 Pemahaman terhadap Public dan Private Goods Secara konsepsual, sistem pelayanan kesehatan berjalan berdasarkan pemahaman akan makna public goods dan private goods. Katz and Rosen (1998) menyatakan bahwa public goods mempunyai berbagai sifat. Pertama, pemakaian jasa kepada seseorang tidak mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin menggunakannya sehingga tidak perlu berebut. Sifat ini disebut non-rivalry. Hal ini berlawanan dengan private goods yang penggunaannya akan mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin menggunakannya pula. Sifat kedua adalah non-excludable, artinya adalah tidak mungkin atau mahal sekali untuk mencegah orang menggunakannya, walaupun yang bersangkutan tidak mau membayar jasa pelayananan ini. Contoh yang paling terlihat adalah penyuluhan kesehatan melalui radio atau televisi yang tidak mungkin mencegah orang menikmati jasa pelayanan penyuluhan walaupun yang bersangkutan tidak membayar biaya penyuluhan. Sifat ketiga, adanya eksternalitas positif yaitu pelayanan jasa publik kepada seseorang akan menimbulkan pengaruh kepada orang lain yang tidak menggunakan. Contoh eksternalitas yang positif adalah pemberian jasa imunisasi kepada satu anak akan mengurangi risiko penularan penyakit kepada anak lain. Private goods mempunyai sifat sebaliknya yaitu pemakaian jasa kepada seseorang akan mengurangi jatah bagi orang lain yang ingin menggunakannya, bersifat excludable, walaupun mungkin mempunyai eksternalitas positif. Pemilahan public goods dan private goods bukanlah hitam-putih (dikotomi), tetapi memiliki gradasi pada titik terdapat public goods tidak murni.
24 Public Goods
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Private Goods
Gambar 2.1 Kontinum antara jasa publik dan jasa pribadi
Contoh pelayanan public goods dalam kesehatan adalah program peningkatan higine dan sanitasi, penyuluhan kesehatan, program pembinaan kesehatan perusahaan, imunisasi. Contoh pelayanan private goods adalah bangsal VIP rumah sakit, pelayanan bedah plastik, operasi perorangan, dan lain sebagainya. Pelayanan jasa publik biasanya disubsidi oleh pemerintah. Pemahaman mengenai public goods dan private goods ini penting dalam menganalisis kebijakan pendanaan kesehatan. Konsep welfare state menyatakan bahwa pelayanan public goods seharusnya dibiayai oleh negara melalui mekanisme pajak. Dalam hal ini kesehatan merupakan salah satu sektor kehidupan yang mempunyai banyak pelayanan bersifat public goods. Secara normatif memang ada pernyataan bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak bagi setiap warga untuk menerimanya, seperti yang terdapat dalam UUD 45. Namun, fakta berbicara lain karena biaya untuk pelayanan kesehatan sebagai public goods yang dibiayai negara ternyata tinggi. Akibatnya, membutuhkan sumber keuangan yang besar. Data Tabel 2.1 menunjukkan bahwa negara yang mempunyai persentase besar sumber pendanaan oleh negara adalah negara-negara yang termasuk kelompok kaya, kecuali Amerika Serikat. Di negara-negara yang tidak kaya ternyata sumber pendanaan lebih banyak berasal dari masyarakat, seperti di Indonesia, Vietnam, dan Myamar. Dengan melihat latar belakang ini perlu dicermati pemberian pelayanan private goods tidak hanya oleh swasta tetapi juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Sebagai gambaran kasus pelayanan kuratif oleh rumah sakit pemerintah dan dalam masa keterbatasan sumber ekonomi negara mengakibatkan adanya kecenderungan semakin banyak lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan private goods. Hal ini yang menjadi pendorong utama berkembangnya proses korporatisasi pelayanan kesehatan.
25
Bagian I
Tabel 2.1 Perbandingan antarnegara dalam pengeluaran anggaran pemerintah untuk kesehatan
Negara
Australia Belgia Kanada Denmark Perancis Jerman Itali Jepang Amerika Serikat Inggris China India Brazil Kuba Iran Kuwait Brunei Indonesia Malaysia Myamar Filipina Thailand Singapura Vietnam
Pengeluaran kesehatan total per kapita dalam dollar
Pengeluaran kesehatan oleh pemerintah per kapita dalam dollar
Persentase Pengeluaran Kesehatan oleh pemerintan terhadap total %
%
1997
1998
1997
1998
1997
1998
1912 1944 2183 1953 1905 2225 1603 1783 3915 1457 127 111 454 282 406 554 992 78 194 24 162 221 679 90
2226 2122 2363 2138 2074 2382 1712 1763 4055 1512 143 110 470 303 397 536 985 54 168 32 144 197 744 112
1655 1380 1525 1607 1449 1703 1157 1417 1780 1220 50 17 183 247 188 485 403 18 112 5 70 126 233 18
1982 1510 1657 1751 1578 1806 1231 1377 1817 1260 55 20 227 266 193 487 428 14 97 5 61 121 263 27
87 71 70 82 76 77 72 79 45 84 39 15 40 88 46 88 41 23 58 21 43 57 34 20
89 71 70 82 76 76 72 78 45 83 38 18 48 88 49 91 43 26 58 16 42 61 35 24
Sumber data: Diolah dari WHO Report 2001.
2.2 Perkembangan Sumber Dana Kesehatan Masalah utama yang saat ini dihadapi oleh sistem pelayanan kesehatan adalah sumber daya yang semakin lama semakin sulit mengejar kebutuhan pelayanan. Sumber daya ini berasal dari swasta dan pemerintah dengan persentase dari swasta relatif semakin mem-
26
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
besar sehingga muncul masalah baru yang berkaitan dengan akses ke pelayanan kesehatan dan semakin rendahnya mutu pelayanan kesehatan masyarakat karena kekurangan subsidi pemerintah. Di negara-negara sedang berkembang, public spending pada semua sektor berkembang dengan pesat pada dekade 1960-an dan 1970-an. Pada periode ini ada optimisme bahwa pemerintah dapat aktif membiayai program-program kesejahteraan rakyatnya. Salah satu program kesejahteraan adalah membiayai pelayanan rumah sakit. Dengan demikian, rumah sakit milik pemerintah adalah suatu organisasi normatif yang mengacu pada fungsi sosial untuk menyehatkan masyarakat. Periode ini dipuncaki dengan deklarasi pada tahun 1978 di Alma-Ata. Di bekas negara sosialis Uni Soviet tersebut WHO mengeluarkan deklarasi "Health for All by the Year 2000". Pada dekade 1980-an, pertumbuhan ekonomi dunia melambat dan pengeluaran untuk kesehatan menurun. Subsidi untuk pelayanan kesehatan semakin kecil, sementara itu biaya pelayanan kesehatan semakin meningkat, khususnya pelayanan rumah sakit yang menggunakan teknologi canggih. Tidaklah mengherankan jika terjadi pergeseran mengenai arti pelayanan rumah sakit dari suatu pelayanan yang bersifat public-goods (dengan subsidi tinggi atau bahkan gratis sama sekali) menjadi suatu pelayanan yang bersifat individualistis (private goods). Pelayanan rumah sakit semakin mengarah pada barang komoditi yang mengacu pada kekuatan pasar dalam perekonomian masyarakat. Sebagai suatu organisasi, rumah sakit mulai berubah dari organisasi yang normatif (organisasi sosial) ke arah organisasi yang utilitarian. Saat ini dikenal istilah rumah sakit sebagai suatu organisasi sosial-ekonomis. Perubahan sifat rumah sakit ke arah organisasi sosial-ekonomi ini dipacu oleh keterlibatan Bank Dunia dalam sektor kesehatan. Tahun 1980 Bank Dunia mulai memberikan pinjaman ke sektor kesehatan. Pada tahun 1983 Bank Dunia telah menjadi salah satu pemberi dana kesehatan terbesar untuk negara-negara sedang berkembang. Tidaklah mengherankan para ekonom sebagai organisasinya apabila Bank Dunia berperan dalam menekankan prinsip-prinsip
Bagian I
27
ekonomi dalam manajemen rumah sakit. Pada tahun 1987, Bank Dunia mengeluarkan satu publikasi berjudul Financing Health Services in Developing Countries: an Agenda for Reform. Dalam publikasi tersebut, Bank Dunia melihat adanya tiga masalah, yaitu: misallocation, internal inefficiency of public programs, dan inequity in the distribution of benefit from health services. Untuk mengatasinya Bank Dunia mengusulkan 4 reformasi, yaitu: (1) subsidi untuk pelayanan kesehatan pemerintah harus dikurangi; (2) meningkatkan cakupan asuransi kesehatan; (3) meningkatkan peran swasta; dan (4) mendesentralisasikan pelayanan kesehatan pemerintah. Terlihat jelas bahwa reformasi ini terutama mengacu pada konsep efisiensi, walaupun Bank Dunia telah memasukkan konsep equity. Terjadi debat antara equity yang dicanangkan dalam Deklarasi Alma Ata dengan konsep efisiensi dalam reformasi Bank Dunia. Pada tahun 1993, Bank Dunia memilih kesehatan sebagai pokok bahasan World Development Report. Masalah hampir sama dengan publikasi tahun 1987 tetapi dengan sedikit perbedaan, yaitu: Misallocation, Inequity, Inefficiency, dan Exploding Costs. Terdapat berbagai penafsiran yang dapat ditarik dari laporan tersebut. Pertama, Bank Dunia ingin meningkatkan sumber daya untuk peningkatan status kesehatan melalui pendekatan di luar sektor pelayanan kesehatan dan peningkatan dana dari asuransi kesehatan. Kedua, Bank Dunia ingin meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan melalui realokasi sumber daya pemerintah dari pelayanan kuratif tersier ke program-program kesehatan masyarakat dan pelayanan klinik dasar serta sistem asuransi kesehatan yang fair. Ketiga, Bank Dunia ingin meningkatkan efisiensi melalui peningkatan mutu pelayanan dan penurunan ongkos produksi. Untuk peningkatan efisiensi ini perlu adanya keragaman dan kompetisi sisi supply dan input pelayanan kesehatan serta adanya peningkatan kemampuan manajerial. Sebagai lembaga berpengaruh di negara sedang berkembang, usulan-usulan Bank Dunia tentunya tidak dapat diabaikan. Situasi ekonomi makro dunia sangat diperhatikan oleh Bank Dunia dan manajemen suatu rumah sakit pemerintah maupun swasta yang tidak
28
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
lepas dari pengaruh perekonomian dunia. Pada akhirnya terjadi pergeseran sifat rumah sakit dari suatu organisasi yang bertitik berat pada fungsi sosial (normatif) menjadi suatu lembaga sosial-ekonomi ke arah utilitarian. Satu kata kunci yang sangat penting adalah posisi "laba" atau profit dalam tujuan rumah sakit. Secara tradisional, sebagai organisasi normatif yang bersifat sosial maka laba merupakan hal yang jarang ditemui dalam manajemen rumah sakit, khususnya rumah sakit-rumah sakit pemerintah. Ada pertanyaan dalam perubahan menjadi organisasi sosio-ekonomi, apakah laba merupakan suatu hal yang tidak patut dalam rumah sakit? Dalam memahami suatu organisasi yang mengandung sifat ekonomi, posisi laba sangat penting. Para ekonom secara umum mendefinisikan laba sebagai kelebihan penerimaan atas biaya-biaya yang digunakan dalam usaha. Dalam konteks manajemen rumah sakit kelebihan pembayaran ini dapat dipergunakan untuk berbagai hal seperti usaha pengembangan rumah sakit, peningkatan insentif untuk bekerja, dan usaha subsidi silang. Jika laba merupakan hal yang tidak patut maka perlu suatu pertanyaan mengenai kemampuan subsidi pemerintah dan sifat pelayanan rumah sakit. Dalam era teknologi dan SDM sektor kesehatan yang semakin membutuhkan dana, sulit mencari rumah sakit yang tidak memperdulikan unit-cost dan cost-recovery dalam pengelolaannya. Dalam sistem pelayanan kesehatan, dikenal barang atau jasa yang bersifat publik dan yang bersifat perorangan. Dalam hal ini, rumah sakit dibanding misalnya dengan pelayanan penyakit menular, lebih bersifat sebagai jasa perorangan. Ini berarti bahwa subsidi pemerintah sebaiknya lebih diarahkan pada program pemberantasan penyakit menular. Dengan pengertian ini maka timbul pertanyaan lebih lanjut: apakah pelayanan rumah sakit merupakan suatu hak ataukah komoditi dagang? Sejarah yang akan membuktikan nanti. Akan tetapi, saat ini berkembang rumah sakit yang tegas-tegas menempatkan pelayanan rumah sakit sebagai komoditi dagang dengan bentuk hukum PT.
Bagian I
29
2.3 Situasi sumber Dana Kesehatan di Indonesia Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia didanai oleh pemerintah dan swasta. Secara garis besar pihak swasta membiayai sekitar 70% total pendanaan (Biro Keuangan Depkes, 2001). Pendanaan dari swasta terutama diperuntukkan bagi sistem pelayanan kesehatan perorangan yang lebih bersifat private goods. Di samping itu, sistem pelayanan kesehatan mendapatkan dana dari sumber pemerintah dan juga dari luar negeri. Sebagian kecil dana pelayanan kesehatan menggunakan asuransi kesehatan sebagai mekanisme pendanaan. Sumber dana kemanusiaan secara resmi tidak tercatat. Gambar 2.2 menunjukkan peta sumber pendanaan kesehatan di Indonesia. Industri farmasi merupakan satu aspek dalam sistem pelayanan kesehatan yang mempunyai ukuran ekonomi relatif besar. Pada tahun 1991 konsumsi per kapita untuk obat sebesar Rp 8.162,00, sehingga dengan demikian sekitar Rp 1,5 triliun beredar dalam industri farmasi. Pada tahun 1994/1995 anggaran Depkes berjumlah Rp 1,281,18 milyar. Apabila dibandingkan dengan total (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maka perkembangan proporsi anggaran Depkes dapat dilihat pada tabel berikutnya. Secara nasional, anggaran pemerintah untuk Depkes relatif kecil, sekitar 2,5%. Proporsi yang kecil ini menunjukkan bahwa Depkes bukan merupakan bagian utama dari kabinet. Dengan kata lain, pemerintah belum memberikan prioritas pada pelayanan kesehatan. Sebagai perbandingan tahun 1991, APBN untuk militer (8,2%), anggaran sektor pendidikan (9,1%), anggaran sektor kesehatan (2,4%), pelayanan jasa ekonomi (27,1%), perumahan (1,8%), dan lain-lain (51,5%). Di samping APBN yang rendah untuk kesehatan, pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan juga rendah, hanya 2%. Angka ini jauh dari pengeluaran untuk pakaian (7%), makanan (21%), bahan bakar (7%), dan pendidikan (4%). Setelah tahun-tahun tersebut, data anggaran pemerintah untuk kesehatan relatif tidak bertambah. Proporsi anggaran justru paling banyak untuk sekretariat jenderal (1994-1995: 52%, 1998/1999: 62,79%). Sangat menarik bahwa kenaikan anggaran Depkes banyak berasal dari pinjaman luar negeri.
30
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Pada tahun anggaran 1994/1995 pinjaman luar negeri dan bantuan luar negeri jumlahnya sebesar Rp 196.033.500.000,00, sedangkan pada tahun anggaran 1998-1999 berjumlah Rp 532.347.156.000,00. Data terbaru mengenai sumber pendanaan pemerintah dan swasta di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.2. Data di atas menunjukkan bahwa perkembangan sumber dana untuk kesehatan masih memprihatinkan, tarutama pada saat krisis
Gambar 2.2 Peta sumber pendanaan kesehatan di Indonesia
31
Bagian I
Tabel 2.2 Catatan Pengeluaran Kesehatan Indonesia dari Tahun 1995 s.d. 2000 1995
1996
1997
1998
1999
2000
Pengeluaran Kesehatan Total (PKT) sebagai % PDB
1.6%
2.0%
2.4%
2.5%
2.6%
2.7%
Pengeluaran Kesehatan Pemerintah (PKP) sebagai % PKT
46.0% 32.4% 23.7% 27.2% 28.0% 23.7%
Pengeluaran Kesehatan oleh Masyarakat (PKM) sebagai % PKT
54.0% 67.6% 76.3% 72.8% 72.0% 76.3%
PKP sebagai % dari total anggaran pembangunan pemerintah (APBN)
3.6%
2.8%
3.2%
3.2%
3.1%
Pengeluaran kesehatan melalui sistem jaminan kesehatan sebagai % dari PKP
11.4% 10.6% 14.1%
9.0%
7.3%
7.5%
Pengeluaran Kesehatan bersumber pajak sebagai % dari PKP
67.5% 68.9% 70.9% 60.3% 62.6% 64.0%
Pengeluaran Kesehatan pemerintah bersumber dari luar negeri sebagai % PKP
3.2%
3.7%
15.0% 30.7% 30.1% 28.5%
Sumber pendanaan masyarakat berdasarkan asuransi kesehatan sebagai % dari Pengeluaran Kesehatan Masyarakat.
N.A
N.A
4.3%
Sumber pendanaan masyarakat berdasarkan Out-of-Pocket sebagai % dari Pengeluaran Kesehatan Masyarakat
N.A
N.A
95.7% 93.3% 89.6% 91.8%
Pengeluaran total untuk farmasi sebagai % dari PKT
N.A
N.A
28.2% 34.0% 30.0% 26.7%
Pengeluaran Masyarakat untuk farmasi sebagai % dari PKM
N.A
N.A
34.5% 43.5% 37.9% 31.9%
Pengeluaran Kesehatan Total per kapita dalam US $
14.16
22.53
25.53
11.72
17.65
20.01
Pengeluaran Kesehatan Pemerintah per kapita dalam US$
6.51
7.30
6.04
3.19
4.95
4.74
3.5%
6.7%
10.4%
8.2%
Sumber: Data NHA, Biro Keuangan Departemen Kesehatan RI
moneter. Pada sisi lain, sumber pendanaan dari masyarakat juga masih rendah. Masyarakat lebih senang membelanjakan uangnya untuk konsumsi nonkesehatan termasuk tembakau yang justru membahayakan kesehatan. Tabel 2.3 menunjukkan keadaan ini. Pengeluaran untuk
32
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
tembakau dan rokok sebagai bagian dari pengeluaran untuk makanan jauh di atas pengeluaran untuk kebutuhan kesehatan. Menarik untuk dicermati bahwa Biro Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan tembakau dan rokok sebagai salah satu pengeluaran untuk makanan. Tabel 2.3 Rata-Rata Pengeluaran Konsumsi Per Kapita Penduduk Menurut Jenis di 5 Propinsi (Persentase Terhadap Konsumsi Per Kapita Per Bulan, 1999). Jenis Pengeluaran
Daerah Aceh (%) Riau (%) Bengkulu (%) Bali (%) Sulut (%)
Pengeluaran Untuk Makanan Tembakau, Rokok Desa
6.18%
6.57%
6.77%
2.92%
5.24%
Kota 5.29% Desa+Kota 5.92% Pengeluaran Untuk Non-Makanan
4.62% 5.66%
4.63% 6.08%
2.18% 2.60%
3.89% 4.68%
1.60%
1.59%
1.10%
2.19%
1.74%
Kota 1.99% Desa+Kota 1.71%
1.98% 1.75%
2.02% 1.37%
2.23% 2.21%
2.16% 1.91%
Kebutuhan Kesehatan
Desa
Sumber: BPS
Prioritas rendah terhadap pengeluaran kesehatan menunjukkan bahwa penghargaan bangsa dan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan masih buruk. Hal ini disadari karena kegiatan peningkatan kesehatan merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu panjang untuk membuktikan hasilnya, bukan suatu kegiatan jangka pendek yang akan terlihat hasilnya seperti membangun jembatan. Dengan demikian, Indonesia masih menunggu waktu sampai terjadi peningkatan apresiasi bangsa dan masyarakat terhadap kesehatan sehingga investasi untuk pelayanan kesehatan dapat layak. Salah satu hal yang dapat menjelaskan mengapa terjadi sumber pendanaan yang cenderung tidak berkembang adalah sikap pemerintah sendiri yang akhirnya justru membatasi perkembangan ekonomi pelayanan kesehatan. Jarang dilakukan inovasi-inovasi politik dan ekonomi yang dapat mengembangkan kegiatan di sektor kesehatan. Pengalaman di negara-negara lain membutuhkan inovasi tersebut
33
Bagian I
(Kaluzny dkk, 1995; Bennet, 1991; Otter, 1991; Mick, 1990). Dengan tidak adanya inovasi, maka laju pembangunan kesehatan di Indonesia menjadi terhambat misal adanya fenomena dokter menganggur walaupun secara rasio masih sangat dibutuhkan. Dalam konteks pengembangan sumber pendanaan rumah sakit perlu diperhatikan mengenai peran swasta yang besar. Secara konseptual peran swasta sebagai sumber pendanaan diwujudkan dalam berbagai kegiatan pada kotak 3 dan kotak 4. Dengan adanya program pengembangan mutu rumah sakit pemerintah diharapkan masyarakat atau swasta menggunakan rumah sakit pemerintah untuk mencari pengobatan. Pada sisi lain, berbagai sumber pendanaan pemerintah mungkin akan dikontrakkan ke perusahaan swasta (Kotak 2), misalnya untuk promosi kesehatan ataupun kebersihan lingkungan. Pola kontrak keluar ini perlu diperhatikan karena cara yang baik untuk menghindari keadaan over-load pada lembaga pelayanan kesehatan pemerintah atau Dinas Kesehatan (Dinkes). Akibat keterbatasan subsidi pemerintah saat ini semakin banyak Pelaksanaan Program Pemerintah Pemerintah
Pendanaan Program
Swasta
Subsidi untuk rumah sakit pemerintah atau bagi orang miskin di rumah sakit pemerintah
Kontrak ke perusahaan swasta
1
2
Dana dari swasta dipergunakan untuk pelayanan kesehatan pemerintah
Perusahaan swasta mengerjakan pesanan dari masyarakat untuk pelayanan kesehatan
3
4
Swasta
Gambar 2.3 Peran Swasta dalam Pelayanan Kesehatan
34
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dana masyarakat yang dilaksanakan oleh rumah sakit pemerintah. Dengan demikian ada gerakan dari kotak 1 ke kotak 3. Hal ini yang menyebabkan semakin besarnya pengaruh mekanisme pasar di rumah sakit pemerintah. Dana yang didapat dari masyarakat dipergunakan oleh sistem manajemen rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dengan cara memperbaiki mutu pelayanan, memperluas bangsal VIP, dan mengeluarkan berbagai produk pelayanan baru. Dengan cara ini diharapkan akan semakin banyak dana masyarakat masuk ke rumah sakit pemerintah sehingga rumah sakit mampu meningkatkan motivasi sumber daya manusianya serta meningkatkan mutu pelayanannya.
35
Bagian I
BAB III
PERKEMBANGAN SEKTOR KESEHATAN Perkembangan sektor kesehatan di Indonesia saat ini terlihat tumbuh secara tidak maksimal. Sebagai contoh, standar mutu pelayanan rumah sakit masih belum tertata dengan baik, jumlah dokter khususnya spesialis masih sedikit, penyebaran dan pendapatan dokter tidak merata dan sebagian dokter rendah pendapatannya, indikator kinerja lembaga pelayanan kesehatan belum dipergunakan secara nyata. Bagian ini bertujuan membahas perkembangan komponenkomponen sektor kesehatan di Indonesia agar analisis dapat dilakukan secara baik. Pembahasan ini diperlukan untuk memahami hambatanhambatan yang ada dalam pertumbuhan sektor pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam membahas perkembangan sektor kesehatan, berbagai pelaku kunci dalam pelayanan kesehatan perlu diidentifikasi yaitu pemerintah, masyarakat, pihak ketiga yang menjadi sumber pendanaan, seperti PT Askes Indonesia, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM); penyedia pelayanan, termasuk industri obat dan tempat-tempat pendidikan tenaga kesehatan; dan pemberi hutang luar negeri (Bank Dunia, ADB, OECF), serta badan-badan internasional yang memberikan grant seperti WHO, GTZ, USAID. Gambar 3.1 menunjukkan komponen-komponen dalam sistem pelayanan kesehatan.
3.1 Pemerintah Selama hampir setengah abad ini, pemerintah Indonesia cenderung memandang kesehatan sebagai suatu sektor yang tidak
36
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
berdasar pada hukum ekonomi. Berbagai peraturan pemerintah, termasuk pentarifan Puskesmas dan rumah sakit yang mempengaruhi premi PT Askes Indonesia atau JPKM ditetapkan berdasarkan pertimbangan sosial dan politik, bukan dengan konsep unit-cost dan subsidy. Pengelolaan tenaga dokter spesialis dilakukan tanpa memperhatikan konsep pasar tenaga kerja. Masyarakat terbiasa memandang kesehatan sebagai sektor yang dibiayai oleh pemerintah dan murah. Keadaan ini mencerminkan ketidakjelasan situasi mengenai peran pemerintah dalam sektor kesehatan. Sebenarnya secara de-facto sistem kesehatan di Indonesia berjalan berdasarkan mekanisme pasar, akan tetapi sistem kesehatan nasional dikelola tidak berdasarkan hukum ekonomi, sehingga perlu dipikirkan peran pemerintah dalam kehidupan yang bertumpu pada mekanisme pasar. Secara konseptual peran pemerintah dalam kesehatan saat ini dapat mengacu pada jalan ketiga dari Giddens (1999), yang mempunyai nilai-nilai: persamaan, perlindungan atas mereka yang lemah, kebebasan sebagai otonomi, tak ada hak tanpa tanggung jawab, tak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme kosmopolitan dan konservatisme filosofis. Oleh karena itu, pemerintah memang harus tegas memutuskan pelayanan kesehatan sebagai pelayanan sosial atau komoditi pasar. Jika sudah mengarah ke komoditi pasar, maka diperlukan suatu sistem yang tepat dengan prioritas jelas untuk melindungi orang miskin (sebagai pihak yang lemah yang harus tetap dijaga). Untuk berbagai pelayanan kesehatan, termasuk JPKM, dapat dilaksanakan oleh lembaga swasta dengan sistem pengendalian mutu yang baik. Pemerintah diharapkan pula tetap menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat yang berciri public goods, karena pihak swasta tidak mempunyai insentif cukup untuk melakukannya. Kebijakan desentralisasi (otonomi daerah) tahun 2001 memicu pengkajian mengenai peran pemerintah pada sektor kesehatan. Terdapat beberapa hal penting yang perlu dibahas mengenai peran pemerintah. Pertama adalah peran pemerintah dalam konteks good governance. Kedua, mengenai hubungan antara kebijakan desentralisasi dan peran pemerintah dalam sektor kesehatan.
37
Bagian I
Ketiga, mengenai peran pemerintah dan equity serta keadaan pelaksanaannya di Indonesia. Auransi kesehatan/JPKM
Pemberi Pelayanan Kesehatan
Masyarakat
Tempat Pendidikan Tenaga Kesehatan
Industri Obat
Badan Pengatur Pemerintah/Tata Hukum
Pemerintah sebagai Pembayar Pemberi Pinjaman/Bantuan Luar Negeri
Gambar 3.1 Komponen Sistem Pelayanan Kesehatan (Diadaptasi dari: Public Health Forum di London School of Hygiene and Tropical Medicine, tahun 1998).
Peran Pemerintah dan Good Governance Pembahasan akademik mengenai peran pemerintah saat ini tidak dapat dipisahkan dari konsep good-governance. Governance menurut United Nations Development Programme (UNDP) adalah: “the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affairs at all levels. It comprises the mechanisms, processes and institutions through which citizens and groups articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligations and mediate their
38
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
differences ...”.
Ada beberapa hal penting dalam konsep good-governance menurut UNDP antara lain, partisipasi masyarakat, transparasi, akuntabilitas, dan pengutamaan aturan hukum. Dalam konteks goodgovernance ini perlu dicermati Laporan Pembangunan Bank Dunia (1997) berjudul State in Changing World, yang menekankan peranan negara dalam memperbaiki pemerataan dan kegagalan pasar, serta mengenai peran sebagai pemberi pendanaan dan pemberi pelayanan. Dalam laporan ini disebutkan juga bahwa peran negara terdiri atas 3 tingkat: (1) peranan minimal; (2) peran menengah; dan (3) peran sebagai pelaku kegiatan (Kovner, 1995). Pada peran minimal, pemerintah bertugas menyediakan pelayanan publik murni, misalnya, pertahanan, tata hukum dan perundangan, hak cipta, manajemen ekonomi mikro dan kesehatan masyarakat. Di samping itu, pemerintah harus meningkatkan program untuk mengatasi kemiskinan, melindungi orang miskin dan mengatasi bencana. Pada peran yang lebih meningkat maka dalam kegiatan mengatasi kegagalan pasar, pemerintah harus melakukan berbagai hal misalnya: menjamin pendidikan dasar, melindungi lingkungan hidup, mengatur monopoli, mengatasi berbagai hal yang terkait dengan tidak seimbangnya informasi, hingga menyediakan jaminan sosial. Pada tingkat pemerintah berperan sebagai pelaku kegiatan, maka dilakukan beberapa kegiatan seperti: mengkoordinasi swasta supaya tidak terjadi kegagalan pasar dan melakukan kegiatan mengatasi ketidakmerataan dengan tindakan redistribusi. Pemahaman mengenai good governance bervariasi. Thoha (2000) menyatakan bahwa ada tiga pilar dalam masyarakat sipil yang madani yaitu pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga usaha. Sebagai catatan, pemahaman mengenai lembaga pelaku usaha bukan harus mencari keuntungan. Dalam konteks good governance, dimanakah peran pemerintah dalam sektor kesehatan? Brecher dalam Kovner (1995) menyatakan bahwa peran pemerintah ada tiga, yaitu (1) regulator, (2) pemberi biaya; dan (3) pelaksana kegiatan.
Bagian I
39
Kebijakan Desentralisasi dan Peran Pemerintah Pada intinya kebijakan desentralisasi kesehatan di Indonesia menegaskan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintah dalam sektor kesehatan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2000 menekankan peran pemerintah pusat lebih sebagai regulator. Peran pemerintah provinsi terlihat terbatas, sedangkan peran pemerintah kabupaten dan kota tidak disebutkan secara eksplisit sehingga membutuhkan berbagai penafsiran. Hasil dari seri workshop mengenai pengaruh desentralisasi terhadap lembaga-lembaga di pelayanan kesehatan di Indonesia pada bulan Juli 2002 - Agustus 2002 menunjukkan bahwa terjadi berbagai penafsiran terhadap fungsi Dinas Kesehatan Kabupaten (Dinkeskab). Penafsiran ini tidak lepas dari pengaruh situasi lingkungan pemerintah dan masyarakat ke dinas yang bersangkutan. Sebagai gambaran Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta cenderung memilih peran sebagai regulator dalam kegiatan kuratif, sementara di Kabupaten X cenderung ingin bertindak sebagai pelaksana dalam kegiatan kuratif. Secara keseluruhan, sebenarnya dapat ditafsirkan bahwa pemerintah diharapkan lebih berfungsi pada peran regulasi dan pemberi biaya, khususnya di subsektor swasta yang sudah banyak melakukan kegiatan. Di sektor kesehatan dalam hal ini berarti banyak pada tindakan kuratif. Swasta cenderung tidak melakukan kegiatan promotif dan preventif tanpa dukungan pendanaan pemerintah kecuali apabila tindakan preventif dan promotif tersebut menuju ke arah yang lebih bersifat private-goods. Di dalam sektor kesehatan terdapat berbagai lembaga pemerintah yang beroperasi. Peran sebagai pelaksana dilakukan misalnya oleh rumah sakit milik pemerintah pusat atau daerah. Peran sebagai pemberi sumber pendanaan dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Peran sebagai regulator pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh Departemen Kesehatan bagi pemerintah pusat untuk sistem kesehatan di Indonesia ataupun Dinas Kesehatan Propinsi dan
40
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Kabupaten/Kota bagi daerah-daerah. Peran sebagai pelaksana membutuhkan sistem manajemen yang baik. Salah satu konsep yang perlu dikembangkan dalam perbaikan sistem manajemen adalah konsep manajerialisme dan otonomi rumah sakit yang akan dibahas pada Bab IV. Perubahan peran pemerintah pada sektor rumah sakit dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 8 yang dikeluarkan pada awal tahun 2003. Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/2003 mengatur posisi rumah sakit daerah, tetapi juga memperkuat fungsi Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Dapat ditafsirkan bahwa sebagai pengganti PP No. 84/2000, PP No. 8/2003 mempertegas peran dinas. Dalam perubahan struktur sistem kesehatan, Dinas Kesehatan diharapkan berperan sebagai perumus kebijakan dan regulator termasuk pemberi perijinan untuk rumah sakit. Di samping itu, sebagai perumus kebijakan teknis diharapkan Dinkes dapat mengelola sistem pembiayaan kesehatan. Untuk provinsi dalam hal ini, Dinkes akan mengelola dana dekonsentrasi. Di samping fungsi regulasi dan penentu kebijakan, dinas diharapkan memberikan pelayanan umum. Dalam sektor kesehatan kegiatan yang unsur public goodnya besar, misal kegiatan preventif dan promotif, maka peran Dinkes diharapkan meningkat. Terlihat bahwa PP No. 8/2003 melakukan pemisahan rumah sakit daerah dari Dinkes secara manajerial. Keadaan ini dikhawatirkan mengakibatkan fragmentasi sistem kesehatan. Dalam menyikapi pemisahan ini perlu suatu kajian mengenai konsekuensi berupa reposisi hubungan antara RSD dan Dinkes. Peraturan Pemerintah No. 8/2003 mengisyaratkan pemisahan aspek manajemen rumah sakit daerah dari Dinkes. Di sisi lain, PP No. 8/2003 menekankan mengenai fungsi perijinan yang dipegang oleh dinas. Sebagai konsekuensi dari perubahan struktur ini, rumah sakit daerah perlu dipantau aspek mutu pelayanan kesehatan dan fungsinya dalam sistem rujukan oleh Dinkes. Pemantauan ini perlu dikaitkan dengan perijinan rumah sakit. Oleh karena itu, timbul wacana baru: rumah sakit daerah sebagai lembaga pelayanan kesehatan harus diperlakukan sama dengan rumah sakit swasta dalam hal perizinan. Analog dengan Surat Izin Mengemudi
Bagian I
41
(SIM) yang harus diberlakukan kepada semua orang (termasuk pegawai negeri) yang ingin mengemudikan mobil di jalan umum, maka perizinan rumah sakit harus diberlakukan juga kepada rumah sakit pemerintah.
3.2 Masyarakat Masyarakat merupakan pihak yang harus merubah pandangan ekonomi terhadap kesehatan mereka sendiri. Di pandang berdasarkan perspektif sejarah, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan sistem pelayanan yang bersifat sosial-misionarisme. Dengan latar belakang sejarah ada kemungkinan masyarakat belum siap melihat pelayanan kesehatan sebagai suatu industri yang berbasis pada unit-cost. Dalam hal ini masyarakat menganggap bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Masyarakat tidak siap membayar untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini terbukti dari data Susenas di berbagai daerah yang menunjukkan bahwa pengeluaran rumah tangga untuk tembakau lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk kesehatan. Dalam konteks masyarakat yang seperti ini haruslah dicari upaya agar timbul kebutuhan pada sistem asuransi kesehatan dengan cara pooling risiko. Dapat dipahami JPKM yang saat ini bertumpu pada pelayanan kesehatan primer sederhana tidak mampu menarik para peserta. Dalam hal ini tidak ada demand untuk membeli premi asuransi yang rendah biayanya karena masyarakat masih beranggapan bahwa tarif pelayanan masih rendah (Sudibya, 1997). Di samping itu, ada kemungkinan masyarakat masih mempunyai gotong royong (asuransi sosial) sendiri jika anggota keluarganya sakit atau anggota kampung, atau teman sekantor yang menderita sakit. Berbagai penelitian menunjukkan angka drop out yang tinggi dan kegagalan JPKM di berbagai tempat (Kusumo, 1998; Sudjarwo dkk, 1998; Sukeksi, 1998). Masyarakat di Indonesia harus disadarkan bahwa pelayanan kesehatan bukan sebuah public-goods sejati. Situasi ekonomi negara
42
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
membuat masyarakat harus membayar guna memperoleh pelayanan kesehatan. Pendanaan pemerintah tidak mampu menanggung seluruh sistem pelayanan kesehatan. Masyarakat yang mampu diminta membayar melalui sistem JPKM atau langsung (tergantung kondisi). Dalam hal ini perlu upaya yang sistematik sehingga masyarakat siap menerima kenyataan bahwa pelayanan kesehatan membutuhkan biaya yang cukup tinggi, sehingga tertarik untuk membayar dengan cara pre-payment seperti premi asuransi kesehatan dan JPKM. Peluang untuk mendapatkan dana kesehatan dari masyarakat masih tinggi karena pengeluaran belanja rumah tangga untuk merokok masih tinggi.
3.3 Asuransi Kesehatan Di dunia internasional, terjadi berbagai perubahan yang mencakup berbagai hal antara lain: adanya kompetisi pada berbagai perusahaan asuransi dan pilihan untuk asuransi; tuntutan akan peningkatan kepuasan pembeli asuransi; pendekatan pada hubungan kontraktual antarberbagai tingkatan pemerintah dan antarpembeli dan penyedia. Secara nyata negara-negara maju, sistem asuransi kesehatan berjalan dengan pendekatan ekonomi yaitu demand dan supply, sedangkan bagi mereka yang miskin maka negara akan memberikan bantuan. Akan tetapi, di Indonesia saat ini pengembangan sistem asuransi kesehatan dijalankan tanpa menggunakan kaidah lembaga usaha yang berbasis ekonomi. Sistem penghitungan iuran dan pembayaran rumah sakit yang dilakukan oleh PT Askes Indonesia sebagai pengelola asuransi kesehatan terbesar di Indonesia belum sepenuhnya menggunakan pendekatan ekonomi. Sistem PT Askes Indonesia yang wajib untuk pegawai negeri dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) antarmenteri terkait belum mampu menggairahkan para dokter dan pengelola rumah sakit pada pihak pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat untuk membelinya. Surat Keputusan Bersama (SKB) antarmenteri bukanlah sebuah instrumen ekonomi,
Bagian I
43
tetapi lebih merupakan instrumen sosial yang belum mencerminkan logika usaha berbasis prinsip ekonomi. Program JPKM pemerintah masih jauh dari keadaan yang baik. Kritikan tajam untuk JPKM adalah bahwa program ini terkesan menjual produk preventif dan promotif yang notabene adalah program public-goods yang harus dibiayai oleh pemerintah. Seharusnya JPKM tegas menjual produk kuratif dengan aspek promotif dan preventif yang mengikuti di dalamnya. Dengan demikian, PT Askes Indonesia dan JPKM masih belum berfungsi sebagai alternatif sumber dana pelayanan kesehatan yang secara ekonomis menarik, kecuali beberapa produk sukarela PT Askes Indonesia. Di masa depan, sistem JPKM dan lembaga asuransi kesehatan harus ditata sehingga menarik bagi masyarakat dan sistem pelayanan kesehatannya. Dalam hal ini berkaitan dengan pertanyaan: siapkah dokter spesialis dibayar melalui model kapitasi? Sejarah menunjukkan bahwa dokter sama sekali tidak dididik mengenai kapitasi sehingga mereka cenderung tidak memahaminya. Dokter dan dokter spesialis dididik dalam suasana cash and carry. Ketika merencana ke depan untuk perbaikan asuransi kesehatan, sejarah masa lalu perlu diperhatikan. PT Askes Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan kritikan dari dokter, rumah sakit, dan masyarakat. Uji coba JPKM di berbagai daerah tidak disertai dengan penelitian evaluatif yang independen sehingga hasilnya membingungkan dan ada kesan bahwa kegagalan-kegagalan yang terjadi cenderung ditutup-tutupi. Dalam penataan mendatang harus diperhatikan berbagai hal, yaitu: (1) Aspek Manajemen Mikro Asuransi Kesehatan JPKM; (2) Hubungan antara masyarakat dengan lembaga JPKM dan Askes; dan (3) Hubungan antara lembaga asuransi kesehatan-JPKM dengan penyedia pelayanan. Di masa mendatang diharapkan JPKM dan perusahaan asuransi kesehatan merupakan unit usaha yang berdasarkan prinsip-prinsip risiko dan memenuhi kriteria industri. Dalam hal ini diperlukan keterampilan manajemen mikro untuk mengolah asuransi kesehatan dan Badan Pelaksana (Bapel) JPKM. Keterampilan manajerial dan kemantapan sistem manajemen ternyata masih memiliki kekurangan.
44
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Kasus di HKBP Tapanuli Utara menunjukkan bahwa keterampilan mengenai managed care masih sangat kurang (Sitorus, 1998). Hal ini dapat dipahami karena sumber daya manusia Indonesia yang paham dan terampil mengenai konsep managed care dan asuransi kesehatan masih belum banyak. Hubungan antara masyarakat dan lembaga asuransi sebenarnya berdasarkan pada teori ekonomi mengenai masyarakat yang rasional. Apabila masyarakat tidak puas, maka akan cenderung untuk mengeluh ataupun keluar dari sistem asuransi kesehatan. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat pada sistem asuransi kesehatan dengan cara pooling risiko. Masalah drop-out dalam sistem keanggotaan sukarela menjadi isu penting mengingat belum adanya undang-undang yang mewajibkan masyarakat menjadi anggota JPKM dan asuransi kesehatan. Hubungan antara lembaga asuransi kesehatan dan JPKM dengan penyedia pelayanan merupakan hubungan industrial yang diharapkan terkandung prinsip win-win. Tanpa prinsip win-win akan terjadi hal-hal yang cenderung menghambat perkembangan sistem asuransi kesehatan (Farida dan Kushadiwijaya, 1998). Dalam hal ini hubungan antara PT Askes Indonesia dan rumah sakit sebenarnya bukan merupakan hubungan industrial karena ditetapkan berdasarkan SKB tiga menteri mengenai Askes bagi pegawai negeri. Akibatnya, terjadi berbagai silang pendapat mengenai masalah keuangan antara rumah sakit dan PT Askes Indonesia. Walaupun demikian, ada hal menggembirakan di tahun 2002 terjadi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh PT Askes Indonesia untuk mengurangi ketegangan dengan pengelola rumah sakit yang bersumber pada masalah pembayaran pasien Askes. Salah satu hal menarik adalah pemerintah Indonesia ikut serta memberikan iuran kepada PT Askes Indonesia selaku pemberi pekerjaan para pegawai negeri. Diharapkan kegiatankegiatan yang dilakukan oleh PT Askes Indonesia dalam memperbaiki hubungan antara lembaganya dengan berbagai pihak dapat menjadi momentum baik bagi perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia.
45
Bagian I
3.4 Pemberi Pelayanan Kesehatan Di berbagai negara terjadi gejala yang hampir sama yaitu adanya kebijakan desentralisasi termasuk otonomi lembaga pelayanan kesehatan; kompetisi di antara providers; peningkatan pelayanan kesehatan primer; dan peningkatan mutu pelayanan melalui program evidence based medicine, serta peningkatan efisiensi (Meisenher, 1997; Joss dan Kogan, 1995). Prinsip-prinsip ekonomi semakin diacu oleh lembaga-lembaga pemberi pelayanan kesehatan, termasuk di negara-negara yang menganut paham welfare state (Bennet, 1991; Otter, 1991). Pelayanan kesehatan semakin mengarah ke pasar yang ditandai oleh semakin banyaknya pelayanan kesehatan yang menjadi private-goods. Kutub Lembaga Birokrasi PNBP
Dinas Kesehatan
RS non swadana
Kutub Lembaga Usaha Swadana
RS Swadana
UU No. 9/1969 (akan diganti di tahun 2003)
Perjan
Perjan RSUP
Perum
(Persero)
PT Askes Indonesia
Gambar 3.2 Spektrum jenis organisasi pada lembaga milik pemerintah sektor kesehatan
Di Indonesia saat ini lembaga pemberi pelayanan kesehatan sedang mencari bentuk, apakah mengarah ke lembaga usaha ataukah bentuk lainnya. Rumah sakit pemerintah sedang bergerak dari lembaga birokrasi ke lembaga usaha. Demikian pula rumah sakit swasta sedang bergerak dari lembaga misionaris dan kemanusiaan menuju ke lembaga yang didasari oleh konsep usaha. Perkembangan ke arah lembaga usaha ini seperti tidak dapat ditolak karena sudah
46
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
merupakan fenomena global. Apabila sektor rumah sakit di Indonesia tidak mengikuti, kemungkinan rumah sakit akan kesulitan dalam mengikuti persaingan dunia. Sesuai Gambar 3.2, maka ada dua kutub yang saling menjauhi, yaitu kutub birokrasi dan kutub lembaga usaha. Rumah sakit di Indonesia saat ini sedang bergeser dari kutub lembaga birokrasi mengarah ke kutub lembaga usaha (Trisnantoro, 1999a dan 1999b). Pada rumah sakit milik pemerintah pusat hal ini ditandai dengan berubahnya status menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Pergeseran dari kutub birokrasi ke kutub lembaga usaha ini ternyata tidak mudah. Rumah sakit pemerintah dan juga swasta mengalami apa yang disebut sebagai keterperangkapan dalam masa lalu. Lebih jelas lagi, sistem manajemen rumah sakit terperangkap oleh sifat birokratis di masa lalu dan dapat bersifat patologis. Struktur birokrasi yang dirancang untuk membuat birokrasi publik itu bisa memberi pelayanan kepada masyarakat secara efisien, adil, dan merata, ternyata juga memiliki potensi untuk melahirkan berbagai bentuk patologi birokrasi, yang membuat birokrasi menjadi disfungsional. Keadaan ini disebut dengan patologi dari birokrasi. Pada sektor rumah sakit, berbasis pada pandangan Dwiyanto (1998) beberapa fenomena patologi dari birokrasi adalah sebagai berikut: 1. Sikap dan perilaku rumah sakit yang belum menghargai konsumer. Salah satu sebab adalah langkanya tenaga dokter dan lemahnya posisi pasien sehingga terjadi paternalistik dalam pelayanan dokter. Sikap arogan dari dokter ini berlawanan dengan berbagai hasil penelitian yang menginginkan pelayanan dokter yang manusiawi (Dranove dkk, 1998; Like dan Zyzanski, 1988). Data mengenai jumlah dokter spesialis menunjukkan hal yang memprihatinkan. Indonesia kekurangan dokter spesialis yang pada akhirnya membuat laju perkembangan ekonomi sektor kesehatan menjadi rendah. 2. Koordinasi buruk antarberbagai instansi yang mengurusi rumah sakit. Sebagai contoh adalah koordinasi dalam penempatan dokter spesialis yang dapat berlawanan dengan logika. Contoh kasus, sebuah rumah sakit di era sebelum desentralisasi yang sudah mempunyai banyak dokter spesialis dipaksa oleh Kantor Wilayah
Bagian I
47
Departemen Kesehatan (Kanwil Depkes) menerima tambahan tenaga dokter spesialis, walaupun tidak dibutuhkan (Permana, 1999, komunikasi pribadi). 3. Prosedur pengadaan alat, peralatan serta bahan habis pakai yang berbelit-belit. Berbagai bukti empirik seperti adanya Keputusan Presiden (Kepres) yang mengurangi efisiensi dalam pengadaan barang, pembelian alat kesehatan oleh pemerintah pusat yang tidak diperlukan oleh rumah sakit, pengadaan obat secara sentralisasi yang kaku merupakan contoh-contoh patologi birokrasi yang sangat mudah ditemui di sektor rumah sakit pemerintah. 4. Penggunaan prosedur (ICW) yang merupakan peninggalan Belanda sudah tidak cocok lagi dengan situasi saat ini. Prosedur ICW ini sampai tahun 2003 di saat Musyawarah Kerja Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) di Balikpapan masih diperdebatkan karena pengelola rumah sakit meminta otonomi pengelolaan keuangan, sementara otoritas keuangan menyatakan sebaliknya. 5. Birokratisasi akreditasi rumah sakit. Proses akreditasi yang tercampur dengan pengaruh birokrat akan menimbulkan ketakutan sehingga justru menghilangkan esensi dari proses akreditasi yaitu pengembangan mutu pelayanan. Yang terjadi adalah ketakutan untuk tidak lulus akreditasi sehingga dengan berbagai cara, pengelola rumah sakit mencoba untuk lulus. Dalam keadaan seperti ini dapat terjadi sebuah rumah sakit sangat sibuk mengejar lulus akreditasi tetapi melupakan prasyarat dasar untuk menjadi sebuah lembaga usaha yang baik dalam pelayanan kesehatan. Berkembangnya berbagai bentuk patologi birokrasi itu merugikan masyarakat pengguna rumah sakit. Gejala ini banyak ditemui pada rumah sakit-rumah sakit pemerintah (Sufandi, 2000; Manurung dan Trisnantoro, 2000). Dampak lebih lanjut adalah kekacauan pandangan internal rumah sakit. Dapat terjadi fragmentasi kelompok. Direksi rumah sakit pemerintah dapat dengan mudah menjadi kelompok birokrat yang berbeda visi dan budaya kerja dengan para spesialis.
3.5 Tenaga di Rumah Sakit
48
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Salah satu faktor utama yang dikaitkan dengan lambatnya perkembangan sektor kesehatan adalah langkanya tenaga ahli dan profesional di rumah sakit. Dalam hal ini ada dua golongan besar yaitu para profesional bidang manajemen dan profesional bidang mediskeperawatan. Penelitian oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM, Yogyakarta menunjukkan bahwa keterampilan manajerial para direksi dan manajer-manajer instalasi, serta kepala-kepala Staf Medis Fungsional (SMF) masih sangat terbatas. Hal ini wajar terjadi karena rekruitmen mereka untuk menjabat posisi saat ini tidak berdasarkan pada kemampuan teknis manajerial. Di sektor rumah sakit pemerintah, adanya eselonisasi mengakibatkan munculnya para direktur rumah sakit yang birokrat, sementara di swasta terjadi fenomena direktur ”boneka” yang diangkat hanya sebagai formalitas belaka. Dengan demikian, saat ini relatif belum banyak jumlah profesional bidang manajemen yang terlatih dan menguasai keterampilan manajerial. Akibat langkanya tenaga terampil manajemen, menyebabkan keadaan penciptaan dan perluasan program kesehatan menjadi terhambat. Di bidang medis-keperawatan terlihat jelas bahwa jumlah dokter spesialis dan perawat ahli sangat rendah (Depkes, 2000; Depkes, 1999). Berbagai gambaran menunjukkan bahwa dokter spesialis sangat sedikit. Akibatnya, perangkapan pekerjaan pada beberapa rumah sakit. Dalam keadaan ini dapat muncul sesuatu yang menyerupai kartel dokter spesialis, yang memegang kekuasaan untuk mengatur jumlah dokter spesialis yang masuk di pendidikan hingga ke penyebaran alumninya. Adanya perangkapan pekerjaan yang sangat besar ini mengakibatkan kesulitan sistem manajemen mengelola dokter spesialisnya karena memang tidak ada sistem kontrak yang wajar. Terjadilah semacam keruwetan dalam penyebaran kerja. Apalagi sebagian dokter spesialis beranggapan bahwa profesi ini tidak boleh diatur orang luar karena memang jumlah dokter spesialis sangat sedikit sehingga power mereka untuk menawar menjadi sangat tinggi. Sebagai contoh, saat ini merupakan kelaziman apabila dokter spesialis bedah ortopedi sampai menjual sendiri pen untuk menyambung patah tulang tanpa melalui sistem keuangan rumah sakit. Perilaku ini bertentangan dengan sistem
Bagian I
49
manajemen lembaga usaha modern dan tentunya dapat melanggar UU Perlindungan Konsumen. Perilaku ini muncul karena rendahnya kepercayaan pada sistem manajemen rumah sakit atau karena motivasi keuntungan atau karena sistem manajemen rumah sakit yang tidak efisien. Akibat langkanya para dokter spesialis tertentu maka mereka yang ingin sembuh dari penyakit mempunyai dua alternatif: (1) pergi mencari dokter spesialis ke luar negeri; atau (2) pindah ke pengobatan alternatif. Hal ini dapat memberikan penjelasan tentang pejabat dan orang kaya di Indonesia yang pergi berobat ke luar negeri atau menjelaskan mengapa pengobatan alternatif semakin marak di Indonesia. Langkanya dokter spesialis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tempat pendidikan para dokter spesialis. Adanya kekurangan dokter spesialis dapat dilihat pada proses sejarah. Fakultas Kedokteran menempatkan proses pendidikan bukan sebagai hal yang penting. Sejarah perkembangan besarnya anggaran Fakultas Kedokteran dan akademik kesehatan sangat menyedihkan. Tidak ada anggaran khusus untuk pendidikan. Dokter spesialis yang berstatus sebagai dosen terlihat lebih memperhatikan aspek pelayanan medis di rumah sakit swasta yang memberikan insentif tinggi. Sistem pelayanan kesehatan swasta perlu diperbaiki dengan berbagai macam tindakan, termasuk melengkapi SDM, khususnya dokter spesialis. Apabila memang tidak mempunyai dokter spesialis, maka pihak rumah sakit swasta diminta untuk mendidik para dokter spesialis di pusat pendidikan. Apabila pusat pendidikan tidak mau menerima, maka perlu dilakukan upaya mencari tenaga dokter spesialis dari negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
3.6 Donor-Donor yang Meminjamkan Dana Departemen Kesehatan merupakan departemen yang output-nya sulit diukur. Berbeda dengan proyek-proyek fisik yang indikator keberhasilan dapat dilihat secara objektif. Di dalam proyek-proyek Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) sektor kesehatan,
50
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
ternyata output-nya tidak jelas indikatornya. Beberapa proyek fisik seperti pembangunan rumah sakit ternyata mengalami kegagalan di berbagai tempat, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Saat ini belum pernah dievaluasi secara independen dampak proyek Bank Dunia atau ADB atau Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) terhadap sistem manajemen status kesehatan masyarakat. Untuk itu, diharapkan muncul keadaan agar proyek-proyek Bank Dunia dan ADB dievaluasi oleh Badan Evaluator Independen. Dalam hal ini perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui akuntabilitas proyek-proyek bantuan dan pinjaman luar negeri.
51
Bagian I
BAB IV
KEBIJAKAN OTONOMI DALAM MANAJEMEN RUMAH SAKIT 4.1 Globalisasi dan Otonomi Rumah Sakit Di Indonesia problem keuangan menyebabkan kemampuan pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan menjadi berkurang. Secara praktis, pemerintah menjauhi negara kesejahteraan (welfarestate), yang seharusnya negara membiayai seluruh pelayanan publiknya dari hasil pajak dan usaha negara. Rumah sakit semakin dilepas ke arah sistem pelayanan yang berbasis pada prinsip privategoods. Akibatnya, di samping mengacu pada pelayanan sosial kemanusiaan secara faktual, pelayanan rumah sakit telah berkembang menjadi suatu industri yang berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi dengan salah satu ciri menonjol yaitu sifat kompetitif (Otter, 1991). Pemahaman bahwa rumah sakit sudah merupakan suatu industri ini menjadi dasar pengembangan mutu pelayanan rumah sakit. Tanpa pemahaman ini sulit bagi rumah sakit Indonesia untuk bersaing dengan pelayanan luar negeri. Fakta telah menunjukkan bahwa telah banyak orang Indonesia yang mencari pengobatan ke luar negeri. Fenomena ini dapat disebut sebagai globalisasi tahap pertama. Sementara itu, globalisasi tahap kedua adalah beroperasinya rumah sakit asing di Indonesia atau penanaman modal asing dalam sektor pelayanan kesehatan. Saat ini pelayanan rumah sakit di Indonesia menghadapi suatu masa yang menjadi tanda tanya. Benarkah kompetisi global akan menyebabkan pelayanan kesehatan di Indonesia terdesak oleh investasi asing atau pelayanan kesehatan pemerintah akan terdesak oleh pelayanan kesehatan swasta, termasuk pelayanan kesehatan preventif
52
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dan promotif (Brotowasito, 1993; Mulyadi, 1995). Apabila kita mengacu pada sektor lain, telah terdapat bukti sejarah bahwa produksi Indonesia terdesak oleh kompetisi global; misalnya minuman ringan, makanan cepat saji (fast-food), hingga manajemen perhotelan. Sementara itu, di lingkungan lokal terjadi pula keadaan yang menarik. Para staf organisasi pelayanan kesehatan melakukan berbagai tindakan untuk mencari pendapatan yang lebih tinggi. Organisasi pelayanan kesehatan yang dulu bersifat misionaris telah menjadi suatu lembaga, yang para profesionalnya, seperti dokter spesialis, dokter umum, perawat, dan tenaga-tenaga lain mencari nafkah untuk hidup. Ketidakmampuan lembaga rumah sakit dalam memberikan insentif ekonomi yang memadai menyebabkan para profesional mencari di tempat lain. Kasus dokter spesialis rumah sakit pemerintah yang mendapatkan penghasilan terbesarnya dari rumah sakit swasta merupakan contoh klasik kegagalan lembaga rumah sakit pemerintah dalam memberikan kompensasi yang cukup. Salah satu konsep penting dalam sektor rumah sakit yang digunakan secara global untuk meningkatkan mutu pelayanan adalah otonomi rumah sakit. Di berbagai negara konsep otonomi rumah sakit merupakan bagian reformasi pelayanan publik yang bertujuan memperhatikan tuntutan masyarakat agar terjadi peningkatan mutu pelayanan publik dan berkurangnya korupsi, pengembangan sumber daya manajemen, hingga peningkatan akuntabilitas dan transparasi dalam perencanaan dan penentuan proses anggaran. Hasil lain yang diharapkan dari otonomi rumah sakit adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat pada lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan rumah sakit.
4.2 Dua Dimensi Otonomi Rumah Sakit Chawla dkk (1996) menyatakan bahwa definisi otonomi rumah sakit berada pada dua dimensi, yaitu: (1) seberapa jauh sentralisasi pengambilan keputusan; dan (2) jangkauan keputusan untuk menentukan kebijakan dan pelaksanaan program oleh rumah sakit. Dengan
Bagian I
53
demikian, konsep otonomi rumah sakit dapat dipergunakan pada rumah sakit-rumah sakit pemerintah ataupun swasta. Pada konteks rumah sakit swasta, otonomi rumah sakit diartikan sebagai seberapa jauh direksi rumah sakit dapat melakukan keputusan manajemen, misalnya menentukan anggaran. Di rumah sakit pemerintah derajat otonomi dapat diukur, misalnya dari indikator mengenai proses rekruitmen dokter. Jika rumah sakit pemerintah tidak mempunyai wewenang untuk menerima dokter, rumah sakit tersebut tidak otonom dalam manajemen SDM. Perlu dipahami bahwa semakin besar level tingkatan otonomi sebuah rumah sakit pemerintah tidak berarti mengarah pada privatisasi, selama tidak ada pemindahan pemilikan ke pihak masyarakat. Lebih lanjut Chawla dkk (1996) memberikan sebuah model konseptual dalam bentuk matriks seperti pada Tabel 4.1 . Dalam model ini digambarkan bahwa ada sebuah kontinum (pada sumbu mendatar) yang terdapat sentralisasi penuh dengan otonomi rendah menuju desentralisasi penuh dengan otonomi tinggi. Pada kolom (sumbu tegak), terdapat pembedaan otonomi pada tingkat makro yaitu pada sistem kesehatan nasional dan pada tingkat mikro di rumah sakit. Terdapat lima domain dalam otonomi rumah sakit yaitu: (1) manajemen strategis yang memiliki fungsi penetapan visi dan misi, penetapan tujuan umum secara luas, pengelolaan aset rumah sakit, dan pertanggungjawaban kebijakan rumah sakit; (2) administrasi untuk mengelola manajemen sehari-hari, misalnya pengaturan jadual, alokasi ruangan, sistem informasi manajemen; (3) aspek pembelian yang mencakup obat, peralatan rumah sakit, dan barang habis pakai; (4) manajemen keuangan yang mencakup penggalian sumber daya keuangan, perencanaan anggaran, akuntansi, dan alokasi sumbersumber daya; (5) aspek manajemen SDM yang meliputi kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan sumber daya manusia, menciptakan pos-pos jabatan baru, menentukan peraturan kepegawaian, kontrak, dan gaji.
54
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Tabel 4.1 Kerangka konsepsual untuk otonomi rumah sakit Fungsi Manajemen dan Kebijakan
Tingkat Otonomi Sentralisasi Penuh dengan Otonomi Rendah
Manajemen Stratejik
Semua keputusan diambil oleh pemilik
Kontrol langsung oleh pemilik misal Pemerintah, Kementrian BUMN, atau lembaga swasta
Otonomi Sebagian a b c Keputusan diambil secara bersama oleh pemilik dan manajemen RS Diatur oleh Dewan Pengelola yang ditunjuk oleh pemilik, dan diarahkan oleh pemilik, tetapi bukan menjadi bawahan pemilik Kekuasaan terbatas yang didesentralisasikan ke manajemen RS; pemilik masih memiliki pengaruh atas keputusan manajemen
Administrasi
Manajemen langsung oleh pemilik, yang juga menetapkan peraturan untuk manajemen RS
Pembelian
Pembelian dilakukan secara terpusat, dimana pemilik menentukan jumlah dan total pengeluaran Didanai penuh oleh pemilik; pemilik memiliki kontrol atas keuangan
Kombinasi antara pembelian yang disentralisasi dan didesentralisasikan
Staf ditunjuk oleh pemilik; sepenuhnya berada dibawah kontrol peraturan pemilik
Staf dipekerjakan oleh Dewan Pengelola, dan bekerja dibawah peraturan Dewan Pengelola, tetapi juga harus mentaati peraturan pemilik
Manajemen Keuangan
Manajemen Sumber Daya
Pemilik mensubsidi plus mendanai melalui sumber-sumber lain. Ada pengaruh dari pemilik tetapi secara umum berada di bawah kontrol Dewan Pengelola
Desentralisasi Penuh dengan Otonomi Tinggi Keputusan diambil seluruhnya oleh manajemen RS
Dewan Pengelola yang dibentuk secara independen, membuat keputusan secara independen Manajemen independen yang beroperasi dibawah arahan Dewan Pengelola, dengan memiliki kewenangan pengambilan keputusan independen secara bermakna Pembelian secara keseluruhan dikontrol oleh manajemen RS
Otonomi penuh secara keuangan. Tidak ada subsidi dari pemilik; Pengelolaan dana secara keseluruhan berada di bawah kontrol Dewan; manajer memiliki kapasitas pengambilan keputusan independen yang signifikan Staf dipekerjakan oleh Dewan Pengelola; semua kondisi dan peraturan ditetapkan oleh Dewan; manajer memiliki kapasitas pengambilan keputusan yang signifikan
55
Bagian I
Dengan menggunakan pemahaman ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan swadana rumah sakit di Indonesia merupakan bentuk otonomi sebagian. Kebijakan swadana memberikan otonomi terbatas pada aspek keuangan dan tidak penuh. Sementara itu, terdapat istilah otonomi penuh yang disebut sebagai korporatisasi sampai ke arah privatisasi rumah sakit pemerintah.
4.3 Korporatisasi Rumah Sakit Di Filipina, bahasa yang dipergunakan untuk kebijakan otonomi rumah sakit adalah hospital corporatization. Dalam istilah ini terdapat pemahaman suatu proses yang mengarah menjadi lembaga usaha (corporate) yang mempunyai otonomi luas. Salah satu pokok reformasi di Filipina seperti yang dinyatakan oleh Dr. Mario C. Villaverde, seorang pejabat Depkes di Filipina, mengenai otonomi di bidang keuangan rumah sakit, sebagai berikut. “Reformasi dalam bidang perumah sakitan di Filipina diharapkan mampu untuk mengijinkan rumah sakit pemerintah menerima dan mengelola sendiri pendapatan fungsional yang didapat dari masyarakat”.
Pengalaman di Filipina menunjukkan bahwa rumah sakit-rumah sakit khusus mempunyai bentuk corporate seperti Philippine Children Medical Center. Di Indonesia pengembangan ke arah konsep otonomi rumah sakit sudah dilakukan dengan kebijakan swadana. Kebijakan ini sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil dari berbagai aspek otonomi rumah sakit. Kebijakan swadana terbatas pada penggunaan pendapatan fungsional rumah sakit. Sementara itu untuk aspek-aspek lain, termasuk pembelian alat rumah sakit, rekrutmen dokter spesialis misalnya, masih dilakukan oleh pemerintah pusat. Di Thailand kebijakan penggunaan pendapatan fungsional rumah sakit pemerintah secara otonom telah berjalan lama dan luas. Oleh karena itu, inovasi aplikasi otonomi rumah sakit di Thailand tidak hanya dalam hal manajemen keuangan saja, tetapi mencakup pula manajemen SDM
56
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
dan berbagai aspek lain. Inovasi ini dilakukan di RS Ban Phaew Bangkok. Pada intinya, proses korporatisasi rumah sakit sudah berjalan di Indonesia. Proses ini berjalan walaupun masih mengalami kerancuan mengenai makna yang ada. Sebagai contoh, di sebuah RSD di Jawa Timur, ditemukan pengembangan rumah sakit swadana menjadi rumah sakit dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah. Pengembangan ini ternyata justru kemunduran karena otonomi penggunaan pendapatan fungsional ternyata tidak ada lagi setelah menjadi Lembaga Teknis Daerah. Rumah sakit berubah kembali sistem manajemen keuangannya seperti lembaga birokrasi. Di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, rumah sakit-rumah sakit daerah berkembang menjadi Unit Pelaksana Teknis Plus (UPTP) yang memiliki berbagai tambahan otonomi, termasuk otonomi di bidang sumber daya manusia. Di kelompok RSUP, perubahan rumah sakit swadana menjadi Perjan berkembang menjadi lembaga yang diharapkan lebih otonom dan dikelola sebagai lembaga usaha (corporation). Akan tetapi, pada awal tahun 2003 kebijakan Perjan berada pada persimpangan jalan karena ternyata rencana undang-undang mengenai BUMN tidak mengenal bentuk Perjan. Dalam RUU tersebut hanya ada dua bentuk yaitu Perum dan PT yang keduanya berdasarkan asas mencari keuntungan. Dengan asas ini tentunya bentuk Perum dan PT bukanlah pilihan ideal bagi RSUP. Oleh karena itu, berkembang wacana untuk menjadikan RSUP sebagai organisasi yang berbentuk hukum Badan Layanan Umum (BLU). Bentuk hukum BLU ini sebenarnya dapat diartikan sebagai lembaga usaha tidak mencari untung (non-profit corporation). Bentuk BLU ini masih terus dikembangkan aplikasinya. Secara garis besar, pola berpikir bentuk otonomi rumah sakit di Indonesia dan aspek manajemen yang diberikan otonomi dapat dilihat pada Tabel 4.2.
57
Bagian I
Tabel 4.2 Aspek-aspek manajemen dalam otonomi rumah sakit di Indonesia Aspek manajemen yang diberikan otonomi
Bentuk Hukum RS Pemerintah
Keuangan
Pembelian Sumber Daya Alat, Obat, dan Manusia bahan habis pakai
Manajemen Stratejik
RSUP PNBP Unit Swadana
_ + (terbatas)
+(terbatas)
-
+ (Terbatas)
Perusahaan jawatan
+
+ (terbatas)
+
+
Badan Layanan Umum (dalam wacana)
?
?
?
?
+ (terbatas)
+(terbatas)
-
Terbatas
Lembaga Teknis Daerah (bervariasi pemahamannya)
?
?
?
?
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (dalam wacana)
+
?
?
?
RSD Unit Swadana
Sampai sekarang masih sulit untuk mengkaji aspek-aspek otonomi yang diberikan ke rumah sakit, khususnya rumah sakit daerah. Penyerahan berbagai aspek otonomi ini tergantung pada konteks daerah masing-masing. Patut dicermati pada tabel di atas dan perlu dipahami bahwa semakin banyak aspek manajemen yang diotonomikan, maka rumah sakit tersebut akan semakin menggunakan kaidah-kaidah perusahaan dalam pengelolaan rumah sakit. Dampak dari penggunaan kaidah-kaidah perusahaan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
58
Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi
Tabel 4.3 Cara menilai dampak otonomi Kriteria untuk Evaluasi
Tingkatan Dampak Otonomi Dampak Sebaliknya
Tidak Ada Perubahan
Beberapa Perbaikan
Perbaikan Bermakna
Efisiensi Kualitas layanan dan kepuasan public Akuntabilitas Pemerataan Mobilisasi Sumber Daya
Dalam kriteria evaluasi ini terlihat bahwa hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip ekonomi seperti efisiensi, akuntabilitas, pemerataan dan mobilisasi sumber daya merupakan hal penting dalam reformasi rumah sakit. Dengan demikian, perubahan rumah sakit dari lembaga sosial menjadi lembaga usaha membutuhkan kemampuan dan keterampilan menggunakan ilmu ekonomi yang tidak hanya mencari keuntungan keuangan semata, tetapi juga penggunaan ilmu ekonomi untuk pemerataan dan etika lembaga usaha rumah sakit.
PENUTUP Berdasarkan pengamatan dengan perspektif sejarah, secara defacto manajemen rumah sakit mengalami perubahan ke sistem yang mengarah pada sistem korporasi. Implikasinya adalah dampak terhadap citra sosial dan misionarisme yang melekat selama ini. Timbul beberapa pertanyaan kritis, yaitu: (1) Apakah mungkin sistem manajemen lembaga usaha dengan nilai-nilai sosial dilakukan oleh rumah sakit?; (2) Jika rumah sakit telah menerapkan sistem manajemen lembaga usaha, apakah pihak-pihak lain juga telah berubah? Sebagai catatan, rumah sakit harus dilihat sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang terdiri atas: masyarakat,
Bagian I
59
pemerintah, sistem JPKM dan lembaga asuransi kesehatan, serta pemberi pelayanan kesehatan yang terdiri atas pelayanan primer sampai tersier, industri farmasi atau peralatan medis, dan sistem pendidikan tenaga kesehatan. Apabila rumah sakit berubah akan tetapi pihak-pihak lain tidak berubah, maka dengan mudah akan terjadi konflik, misalnya konflik antara PT Askes Indonesia dan rumah sakit pemerintah; konflik antara rumah sakit dan Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten atau Kota; Konflik di dalam rumah sakit sendiri; antara direksi dan dokter spesialis; konflik dengan masyarakat mengenai masalah tarif yang terlalu mahal. Dengan demikian, apabila sistem pelayanan kesehatan menghendaki penurunan konflik, maka dibutuhkan suatu perubahan besar dalam sistem pelayanan kesehatan. Berpijak pada dinamika peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam sejarah, perubahan sektor pelayanan kesehatan layak disebut sebagai reformasi karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: perubahan lebih mengarah pada struktural dan bukan merupakan perubahan evolusioner atau sedikit-sedikit; perubahan tidak hanya kebijakan saja, tapi melembaga; perubahan merupakan hal yang disengaja, bukan kebetulan-kebetulan; perubahan harus berkelanjutan dan bersifat jangka panjang; dan perubahan didukung secara politis dari atas; yang di mulai dari pemerintah pusat, provinsi, hingga tingkat kabupaten. Dalam proses perubahan sejarah ini terlihat bahwa ilmu ekonomi menjadi sangat penting peranannya. Dalam hal ini patut ditekankan bahwa ilmu ekonomi bukan hanya bertujuan untuk mencari keuntungan, akan tetapi ilmu ini dapat dipergunakan sebagai dasar pegangan untuk mencari keadilan dan pemerataan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan.