BAB VI
PENUTUP
Sebagaimana telah disampaikan pada bab pertama, penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab beberapa pertanyaan terkait ciri-ciri formal maupun fungsional pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris. Paparan mengenai berbagai bentuk lingual pengungkap pembentengan dalam Bab III dan Bab IV telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait ciri-ciri formal pembentengan dalam karya tulis yang demikian itu dan variasi pemakaiannya baik dalam lima bidang yang diteliti, yaitu ekonomi, kedokteran, linguistik, MIPA dan teknik, maupun dalam empat bagian artikel penelitian, sedangkan pembahasan mengenai fungsifungsi pembentengan dalam Bab V telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait ciri-ciri fungsional pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris. Dalam bab ini akan disampaikan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, terutama dari ketiga bab tersebut. Di samping itu, akan dibahas pula dalam bab ini beberapa implikasi yang dapat dipetik dari penelitian ini serta beberapa persoalan yang masih tersisa dan saran-saran mengenai kemungkinan arah penelitian lanjutan terkait pemakaian pembentengan secara umum maupun pemakaian pembentengan dalam karya tulis ilmiah, khususnya artikel penelitian ilmiah baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Indonesia.
BAB VI: PENUTUP | 529
BAB VI: PENUTUP | 530
6.1
Kesimpulan
Telah disebutkan di atas bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemakaian strategi pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris, terutama terkait dengan bentuk-bentuk lingual pengungkapnya serta motivasi dan fungsi-fungsi pemakaiannya. Secara lebih khusus, penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan (a) bentuk-bentuk lingual yang digunakan untuk mengungkapkan pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris, (b) frekuensi dan distribusi pemakaian bentuk-bentuk pembentengan tersebut dalam lima bidang ilmu, yaitu ekonomi, linguistik, kedokteran, MIPA, dan teknik, (c) frekuensi dan distribusi pemakaian bentuk-bentuk pembentengan tersebut dalam empat bagian artikel penelitian ilmiah, yaitu bagian Pengantar, Metode, Hasil, dan Pembahasan, dan (d) fungsi-fungsi pembetengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris. Kesimpulan-kesimpulan berikut disajikan berdasarkan butir-butir permasalahan tersebut di atas.
Pertama,
berdasarkan
penelitian
mengenai
bentuk-bentuk
lingual
pengungkapnya, pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris cenderung lebih banyak direalisasikan oleh bentuk-bentuk leksikal, yang mencakup adverbia, ajektiva, nomina dan verba epistemis daripada oleh bentuk-bentuk gramatikal, yang mencakup konstruksi impersonal, konstruksi interogatif, konstruksi kondisional dan konstruksi pasif. Kecenderungan ini bukan hanya dalam hal frekuensi pemakaiannya, melainkan juga dalam hal jenis bentuk lingual yang digunakan. Dalam hal frekuensi pemakaiannya, penelitian ini menunjukkan bahwa
BAB VI: PENUTUP | 531
bentuk-bentuk leksikal lebih sering digunakan daripada bentuk gramatikal. Ini agaknya mendukung klaim Hyland (1998) bahwa pembentengan dalam karya ilmiah cenderung merupakan fenomena leksikal. Di samping itu, dalam hal jenis bentuk lingual yang digunakan, penelitian ini menujukkan bahwa tidak kurang dari 238 leksem digunakan untuk merealisasikan strategi pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris, yang terdiri dari 63 adverbia, 52 ajektiva, 58 nomina dan 65 verba. Jumlah bentuk leksikal ini jauh lebih besar apabila dibandingkan
dengan
keempat
bentuk
gramatikal
yang
digunakan
untuk
merealisasikan strategi komunikasi tersebut, tetapi lebih kecil daripada ke-350 bentuk leksikal yang telah berhasil diidentifkasi oleh Holmes (1988: 27). Ini tampaknya mengindikasikan bahwa pembentengan sebagai produk komunikasi antara penulis dan pembaca dapat direalisasikan oleh berbagai bentuk leksikal dalam jumlah yang nyaris tak terbatas sebagimana telah diperkirakan oleh Brown & Levinson (1987) maupun oleh Markkanen & Schrӧder (1997).
Namun demikian, menarik untuk dicatat bahwa meskipun secara umum bentuk leksikal lebih menonjol, tetapi kategori bentuk lingual yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini ternyata justru bentuk gramatikal, yaitu konstruksi pasif. Hal ini menarik untuk dicatat karena alasan-alasan berikut. Pertama, meskipun telah banyak diakui sebagai bentuk pengungkap pembentengan (lihat, mis., Brown & Levinson, 1987; Hyland, 1996a, 1998; Lachowics, 1981; Markkanen & Schrӧder, 1992; Zuck & Zuck, 1985), konstruksi pasif jarang dianggap serius sebagai bentuk pembentengan sehingga penghitungan frekuensi pemakaiannya pun jarang, atau bahkan tidak, ditemukan. Kedua, sebagai pengungkap pembentengan, konstruksi pasif ternyata
BAB VI: PENUTUP | 532
sangat membantu dalam memberikan nuansa objektif yang menjadi salah satu ciri khas karya tulis ilmiah, meskipun tingginya frekuensi pemakaian konstruksi tersebut tidak jarang telah mendatangkan kecaman dari berbagai pihak (lihat, mis., Cook 1985; Day, 1998; Hacker 2008; Lipson 2005; Manser 2006; Strunk and White 2000; Taylor,
2005).
Ini
mengindikasikan
bahwa
sebagai
bagian
dari
strategi
impersonalisasi untuk mengungkapkan pembentengan, konstruksi pasif memegang peranan sangat penting dalam penulisan karya ilmiah dan oleh karenanya barangkali merupakan salah satu ciri penting register bahasa ilmiah (bdk. Biber dkk., 1999).
Kedua, berdasarkan kajian tentang frekuensi dan dan distribusi pemakaian pembentengan dalam lima bidang ilmu, yaitu ekonomi, linguistik, kedokteran, MIPA dan teknik, dapat disimpulkan bahwa secara umum, pembentengan banyak digunakan dalam bidang ekonomi, kedokteran, linguistik, MIPA dan teknik. Pembentengan dalam kelima bidang tersebut hampir dua kali lipat lebih sering digunakan daripada yang digunakan dalam bidang biologi yang merupakan bagian dari bidang MIPA (Hyland, 1998) maupun dalam bidang ekonomi, kedokteran dan teknik sebagaimana dilaporkan oleh Varttala (2001). Perbedaan ini mengindikasikan bahwa para penulis artikel dalam penelitian ini tampaknya bersikap lebih hati-hati dalam menyampaikan klaim-klaim mereka. Perbedaan ini barangkali juga disebabkan karena tingginya frekuensi pemakaian bentuk gramatikal pembentengan, khususnya konstruksi pasif dan konstruksi impersonal.
Namun demikian, pemakaian strategi komunikasi ini dalam kelima bidang ilmu tersebut secara umum dapat dikatakan hampir sama. Ini mengisyaratkan bahwa
BAB VI: PENUTUP | 533
pemakaian strategi ini agaknya tidak terletak pada frekuensi pembentengan secara umum, melainkan pada frekuensi bentuk-bentuk tertentu dalam kelima bidang yang diteliti tersebut. Hampir semua kategori bentuk lingual menunjukkan perbedaan pemakaian yang sangat signifikan dalam bidang-bidang tersebut, kecuali pemakaian konstruksi kondisional dan konstruksi interogatif, yang disebabkan karena rendahnya frekuensi pemakaian kedua bentuk tersebut dalam korpus penelitian ini.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan dari penelitian ini adanya perbedaan antardisiplin ilmu yang sangat signifikan terkait frekuensi, bentuk lingual dan variasi pemakaian bentuk lingual pembentengan. Perbedaan pemakaian pembentengan ini barangkali disebabkan oleh hakikat kelima bidang ilmu yang diteliti serta ciri-ciri artikel penelitian ilmiah dalam kelima bidang tersebut. Perbedaan tradisi penelitian dalam bidang-bidang tersebut agaknya tercermin dalam pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian yang melaporkan hasil-hasil penelitian mengenai topik-topik penting dalam masing-masing bidang. Bidang linguistik dan teknik tampaknya merupakan bidang yang paling banyak memanfaatkan pembentengan dibandingkan dengan ketiga bidang yang lain. Kecenderungan ini barangkali juga disebabkan karena perbedaan ciri masing-masing disiplin ilmu, objek penelitian ataupun bahan dan metode yang digunakan untuk memperoleh data penelitian dalam masing-masing bidang.
Bidang teknik, yang sering dianggap termasuk dalam hard science atau sains keras, atau sering juga disebut sebagai bagian dari klaster sains dan teknik, cenderung lebih dekat dengan ilmu-ilmu alam sebagai prototipe sains keras terkait dengan objek
BAB VI: PENUTUP | 534
dan metode penelitian yang ketat yang merefleksikan empirisme tradisional. Hal ini tercermin dari tingginya pemakaian bentuk gramatikal pembentengan dalam bidang ini, terutama konstruksi pasif dan impersonal yang tampaknya lebih menekankan objektifitas daripada dialog antara penulis dan pembaca. Sebaliknya, meskipun tidak jauh berbeda dengan bidang teknik dalam hal frekuensi pemakaian pembentengan, bidang linguistik yang sering digolongkan ke dalam soft science atau sains lunak, atau klaster sosial-humaniora, di mana metode penelitian yang digunakan tidak sekaku atau seketat metode yang diterapkan dalam sains keras, lebih banyak memanfaatkan bentuk leksikal, kendatipun bentuk gramatikal juga cukup tinggi pemakiannya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa dalam bidang linguistik agaknya terdapat kecenderungan untuk mengutamakan tentatifitas daripada objektifitas informasi, terkait terutama dengan ketidakpastian teori dan metode dalam bidang ini. Dengan kata lain, dalam artikel penelitian ilmiah dalam bidang linguistik tentatifitas informasi tampaknya lebih penting daripada objektifitas informasi.
Di samping itu, menarik untuk dicatat kecenderungan yang diperlihatkan oleh bidang ekonomi dan kedokteran meskipun keduanya menunjukkan pemakaian pembentengan yang kurang lebih sama. Karena lebih dekat dengan bidang linguistik sebagai sains lunak, mengutamakan
bidang ekonomi sebagai ilmu sosial cenderung lebih
tentatifitas
daripada
objektifitas
informasi.
Ini
barangkali
mencerminkan tentatifitas teori-teori yang menjadi landasan bagi ilmu ekonomi pada umumnya. Tentatifitas ini juga tercermin dari tingginya pemakaian bentuk leksikal, terutama verba modal, dibandingkan dengan pemakaian bentuk gramatikal. Sebaliknya, bidang kedokteran, yang dalam hal metode penelitian lebih dekat dengan
BAB VI: PENUTUP | 535
bidang teknik sebagai sains keras, menunjukkan keseimbangan antara objektifitas dan tentatifitas informasi yang terungkap dalam artikel penelitian ilmiah, mengingat pemakaian bentuk leksikal dalam bidang ini tidak jauh berbeda dengan pemakaian bentuk gramatikal. Berbeda dengan keempat bidang tersebut di atas, sebagai prototipe sains keras, bidang MIPA jauh lebih mengutamakan objektifitas daripada tentatifitas informasi. Hal ini terbukti dari tingginya pemakaian bentuk gramatikal, terutama konstruksi pasif dan impersonal. Ini mengindikasikan bahwa artikel penelitian ilmiah dalam bidang MIPA mencerminkan konsepsi tradisional tentang karya tulis ilmiah yang lebih mengutamakan objektifitas dan impersonalitas.
Ringkas kata, dapat disimpulkan bahwa sebagai bagian dari sains lunak, bidang ekonomi dan linguistik lebih menonjolkan tentatifitas informasi daripada objektifitas informasi yang disampaikan terutama karena status teori dan metode dalam kedua bidang tersebut cenderung masih bersifat tentatif. Sebaliknya, sebagai bagian dari sains keras, bidang MIPA dan teknik lebih mengutamakan objektifitas daripada tentatifitas, sedangkan bidang kedokteran berada di antara keduanya, dan menunjukkan keseimbangan antara objektifitas dan tentatifitas.
Dari uraian tersebut di atas agaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa sains lunak, yang dalam hal ini diwakili oleh bidang ekonomi dan linguistik, cenderung menonjolkan pemakaian bentuk leksikal untuk memberikan perlindungan pada proposisi, penulis maupun pembaca, sedangkan sains keras, yang diwakili oleh bidang MIPA dan teknik, cenderung menonjolkan pemakaian bentuk gramatikal pembentengan. Bidang kedokteran, yang dapat dianggap mewakili health science
BAB VI: PENUTUP | 536
atau sains kesehatan, tampaknya menunjukkan keseimbangan dalam hal pemakaian bentuk leksikal dan bentuk gramatikal pembentengan.
Ketiga, Berdasarkan kajian tentang frekuensi dan distribusi pemakaian pembentengan dalam bagian-bagian artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris, dapat disimpulkan bahwa pembentengan digunakan secara berbeda-beda dalam keempat bagian dari artikel penelitian ilmiah dalam kelima bidang yang diteliti. Dari keempat tersebut, bagian Pembahasan merupakan bagian di mana pemakaian pembentengan paling dominan dalam semua bidang ilmu, sedangkan bagian Pengantar merupakan bagian di mana pembentengan paling sedikit digunakan, terutama dalam bidang ekonomi MIPA dan teknik. Tingginya tingkat pemekaian pembentengan dalam bagian Pembahasan tidaklah terlalu mengejutkan karena pada bagian inilah penulis artikel menyampaikan interpretasi mereka terhadap hasil-hasil penelitian yang mereka peroleh. Di sinilah mereka menyampaikan generalisasi dan spekulasi mengenai hasil penelitian mereka. Dengan kata lain, bagian Pembahasan merupakan bagian yang sangat penting di mana penulis artikel menyampaikan klaimklaim mereka atas pengetahuan baru. Agar klaim-klaim ini dapat diterima oleh pembaca, penulis artikel harus berhati-hati dalam menyampaikannya. Itulah sebabnya mengapa pembentengan banyak digunakan pada bagian ini. Menarik untuk dicatat bahwa bagian berikutnya setelah bagian Pembahasan yang paling banyak memanfaatkan pembentengan adalah bagian Metode praktis dalam semua bidang ilmu. Hal ini kemungkinan besar disebabkan terutama karena kontribusi yang besar dari konstruksi pasif, khususnya dalam bidang teknik, di mana deskripsi metode penelitian disajikan secara cepat dengan pemanfaatan beberapa bentuk pasif secara
BAB VI: PENUTUP | 537
berurutan. Menarik juga untuk dicatat bahwa seperti halnya bagian Metode, pembentengan
juga
cukup
banayak
digunakan
pada
bagian
Hasil.
Ini
mengindikasikan bahwa penulis artikel dalam penelitian ini juga menganggap perlu untuk bersikap hati-hati dalam menyampaikan hasil-hasil penelitian mereka. Mereka tidak ingin bersikap gegabah dengan menyampaikan pernyataan-pernyataan terkait dengan hasil-hasil penelitian secara terus terang tanpa adanya peranti perlindungan. Pendek kata, dapat disimpulkan bahwa digunakannya pembentengan dalam bagianbagian dalam artikel penelitian, dengan tingkat intensitas yang berlain-lainan dalam kelima bidang yang diteliti, mengisyaratkan sikap hati-hati penulis artikel dalam menyampaikan pernyataan-pernyataan mereka, terutama dalam menyampaikan informasi yang masih terbuka tingkat kebenarannya.
Selanjutnya, dalam hal distribusi pemakaian bentuk-bentuk lingual dalam bagian-bagian artikel penelitian dalam bahasa Inggris pembentengan lebih banyak didominasi oleh bentuk leksikal daripada bentuk gramatikal. Ini berlaku untuk semua bagian kecuali bagian Metode di mana bentuk gramatikal jauh lebih banyak digunakan daripada bentuk leksikal. Tingginya frekuensi pemakaian bentuk gramatikal dalam bagian Metode ini disebabkan terutama oleh tingginya frekuensi pemakaian bentuk pasif dalam bagian tersebut. Bentuk ini ternyata juga merupakan bentuk pembentengan yang paling banyak digunakan dalam semua bagian dalam artikel penelitian. Sekali lagi, ini mengindikasikan bahwa konstruksi pasif merupakan peranti favorit dan sangat penting yang dalam prakteknya banyak dipakai oleh para penulis artikel untuk menyembunyikan agen atau pelaku atau untuk menghindari penyebutan diri. Ini sejalan dengan klaim Brown & Levinson (1987) mengenai
BAB VI: PENUTUP | 538
bentuk pasif sebagai peranti utama dalam bahasa Inggris untuk menghindari penyebutan pelaku tindakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan lebih banyak menggunakan konstruksi pasif, para penulis artikel penelitian ilmiah ingin
menonjolkan
objektifitas
informasi
yang
mereka
sampaikan,
yang
merefleksikan ciri karya tulis ilmiah Pada gilirannya, strategi ini digunakan untuk meningkatkan keberterimaan klaim-klaim atas pengetahu baru yang diajukan oleh penulis artikel. Selanjutnya, verba modal sebagai bentuk pembentengan terbanyak kedua setelah pasif paling banyak digunakan dalam bagian Pembahasan. Demikian pula halnya dengan ajektiva, nomina, konstruksi impersonal dan interogatif. Adapun adverbia paling banyak ditemukan dalam bagian Hasil, sedangkan konstruksi kondisional paling banyak ditemukan dalam bagian Metode.
Keempat, terkait permasalahan mengenai fungsi-fungsi pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris, dapat disimpulkan bahwa konteks, baik yang linguistik maupun yang ekstralinguistik, berperan sangat penting dalam kajian mengenai pembentengan, terutama untuk memahami motivasi, tujuan atau fungsi-fungsi pemakaiannya dalam karya tulis ilmiah. Untuk memahami motivasimotivasi yang melandasi pemakaian pembentengan diperlukan bukan hanya pemahaman mengenai ujaran-ujaran yang di dalamnya diduga ditemukan bentukbentuk lingual yang digunakan untuk mengungkapkan pembentengan serta ujaranujaran lain sebelum dan/atau sesudahnya, melainkan juga pemahaman mengenai bagaimana ilmu pengetahuan ilmiah dibangun dan secara sosial dikomunikasikan. Di samping itu, diperlukan pula pemahaman mengenai hubungan antara penulis artikel dan pembaca dan pandangan penulis artikel terhadap peran pembaca, terutama dalam
BAB VI: PENUTUP | 539
proses negosiasi dan ratifikasi hasil-hasil penelitian sebagai pengetahuan yang baru. Faktor-faktor kontekstual tersebut perlu dipelajari untuk memperoleh pemahaman yang baik mengenai pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah.
Lebih lanjut, dalam penelitian ini juga telah dibeberkan model pembentengan yang diadopsi dalam penelitian ini, model yang dibangun berdasarkan pada model pembentengan sebagai strategi kesopanan, terutama kesopanan negatif, yang diusulkan oleh Myers (1989) dan model pembentengan polipragmatik yang diusulkan oleh Hyland (1996ab; 1998). Model pembentengan yang digunakan dalam penelitian ini menempatkan pembentengan sebagai strategi untuk mengelola ketegangan antara keinginan penulis artikel untuk menyampaikan klaim-klaim yang seluas mungkin cakupannya, yang dapat berarti bahwa klaim-klaim yang mereka kemukakan kemungkinan besar akan bertentangan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu, dan keinginan penulis artikel agar klaim-klaim yang mereka ajukan tersebut dapat diterima dan diakui sebagai pengetahuan baru, yang berarti bahwa mereka harus bersikap hati-hati dalam menyampaikan klaim-klaim tersebut dengan mentaati konvensi-konvensi retoris yang dibangun dan dianut oleh komunitas ilmiah mereka karena senantiasa terbuka kemungkinan bahwa klaim yang mereka sampaikan akan ditolak oleh pembaca yang notabene umumnya merupakan ilmuwan-ilmuwan seminat. Mengingat motivasi-motivasi tersebut, maka pembentengan sangat diharapkan kehadirannya dalam karya tulis ilmiah pada umumnya, dan dalam artikel penelitian ilmiah khususnya. Dengan demikian, pembentengan digunakan secara rutin dalam artikel penelitian ilmiah dan oleh karenanya menjadi salah satu ciri penting dari artikel penelitian ilmiah.
BAB VI: PENUTUP | 540
Di samping tujuan makro tersebut, pembentengan juga digunakan sebagai strategi defensif-protektif untuk melindungi baik proposisi, penulis maupun pembaca. Sebagai upaya untuk melindungi proposisi, penulis artikel dapat memanfaatkan pembentengan dengan cara meningkatkan akurasi proposisi yang mereka sampaikan. Pembentengan dalam hal ini dapat dipandang sebagai upaya penulis artikel untuk menyampaikan informasi seakurat, seutuh dan seobjektif mungkin. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi, atau menghindarkan penulis artikel dari kemungkinan timbulnya respons negatif dari pembaca. Namun demikian, adakalanya terdapat kesenjangan antara keinginan penulis artikel untuk menyampaikan informasi secara akurat, utuh dan objektif seperti tersebut di atas dan peranti kebahasaan yang tersedia untuk mengungkapkannya. Oleh sebab itu, penulis artikel lantas terpaksa menggunakan bentuk-bentuk lingual, seperti, misalnya, verba modal epistemis maupun ajektiva, adverbia dan nomina epistemis, yang mengungkapkan perkiraan, kemungkinan dan ketidakpastian. Penerapan strategi indeterminasi ini dilandasi oleh motivasi penulis artikel untuk meningkatkan keberterimaan klaim-klaim yang mereka kemukakan dan menurunkan kemungkinan penolakan oleh pembaca.
Di samping untuk melindungi proposisi, pembentengan juga dapat digunakan untuk melindungi penulis. Perlindungan terhadap penulis dilandasi oleh keinginan penulis untuk menghindarkan diri dari kemungkinan timbulnya kesalahan. Pembentengan dalam hal ini digunakan untuk melindungi reputasi penulis artikel sebagai ilmuwan dan sekaligus untuk meminimalkan kerugian yang mungkin timbul. Hal ini dilakukan dengan menggunakan bentuk-bentuk lingual, di antaranya konstruksi pasif, konstruksi impersonal, verba kognitif dan verba nonfaktif, yang
BAB VI: PENUTUP | 541
semuanya mengungkapkan bahwa penulis artikel sebagai peneliti secara pribadi tidak berkomitmen atas kebenaran klaim-klaim yang mereka sampaikan. Penerapan strategi impersonalisasi ini menjadikan artikel penelitian terkesan lebih objektif dan meningkatkan kredibilitas karya tulis tersebut. Namun demikian, bersamaan dengan itu, penerapan strategi ini sekaligus juga membuat karya tulis terkesan kering dan tidak bernyawa seperti layaknya karya tulis ilmiah pada umumnya, “bloodless and impersonal in the manner of scientific prose” (Halloran, 1984: 75). Penulis artikel beranggapan bahwa “facts do speak for themselves” (ibid.; penekanan asli) “fakta memang berbicara sendiri”: tugas seorang ilmuwan hanyalah sekedar menyampaikan fakta. Dengan kata lain, dengan strategi tersebut penulis artikel seolah berusaha untuk berlindung di balik fakta-fakta yang mereka kemukakan.
Akhirnya, pembentengan dapat juga dimanfaatkan untuk tujuan melindungi pembaca. Dalam hal ini pembentengan digunakan untuk menekankan betapa pentingnya peran pembaca dalam proses negosiasi dan ratifikasi hasil-hasil penelitian. Mengingat pentingnya peran pembaca dalam konstruksi pengetahuan ilmiah, penulis artikel harus berupaya untuk menghormati pembaca sebagai ilmuwan yang cerdas dengan tidak memaksakan kehendak dan menghormati keinginankeinginan mereka, termasuk keinginan untuk tidak dipaksa menerima begitu saja apa yang disampaikan oleh penulis. Dengan kata lain, pembentengan di sini digunakan sebagai suatu strategi untuk secara aktif melibatkan pembaca dalam proses ratifikasi klaim-klaim yang disampaikan oleh penulis. Untuk itu, penulis artikel harus berusaha untuk menghindarkan diri dari penyampaian pernyataan-pernyataan yang absolut. Sebaliknya, untuk meningkatkan keberterimaan klaim-klaim yang mereka ajukan,
BAB VI: PENUTUP | 542
penulis justru dapat menggunakan bentuk-bentuk lingual yang mengungkapkan bahwa penulis bertanggung jawab atas apa yang mereka utarakan dan oleh karenanya informasi yang mereka kemukakan tersebut dapat dianggap sebagai pandangan pribadi dan bersifat tentatif. Bentuk-bentuk lingual yang demikian itu meliputi, di antaranya, verba bantu modal, verba kognitif dan verba nonfaktif yang digunakan bersama-sama dengan pronomina persona pertama tunggal maupun jamak, nomina kognitif dan nomina nonfaktif yang digunakan bersama-sama dengan pronomina posesif persona pertama tunggal maupun jamak, konstruksi kondisional hipotetis dan konstruksi interogatif. Dengan menerapkan strategi subjektifikasi seperti itu, penulis artikel berharap untuk dapat “merebut hati audiens” (Adnan & Zifirdaus, 2005), agar klaim-klaim yang mereka kemukakan dapat diterima dan diakui sebagai pengetahuan baru.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris dilandasi oleh berbagai motivasi yang berlain-lainan, yang terkadang bertentangan yang satu dengan yang lain. Sementara sebagai pelindung proposisi, pembentengan digunakan untuk menekankan upaya penulis artikel untuk menyampaikan informasi seobjektif dan seakurat mungkin sesuai dengan hasil penelitian yang mereka temukan, sebagai pelindung penulis, pembentengan digunakan untuk mengungkapkan hubungan antara penulis dengan klaim-klaim yang mereka sampaikan, untuk mengurangi atau menurunkan tingkat komitmen mereka terhadap kebenaran klaim yang mereka ajukan; sebaliknya, sebagai pelindung pembaca, pembentengan digunakan untuk mengungkapkan tanggung jawab penulis atas apa yang mereka katakan, untuk menunjukkan bahwa apa yang
BAB VI: PENUTUP | 543
mereka sampaikan merupakan gagasan pribadi yang bersifat tentatif kebenarannya dan masih terbuka untuk diperdebatkan. Ini menunjukkan bahwa pembentengan dapat dimanfaatkan oleh penulis artikel sebagai sumber daya untuk mencapai tujuan utama mereka dalam mempublikasikan hasil penelitian mereka, yaitu diterima dan diakuinya hasil-hasil penelitian mereka sebagai pengetahuan baru. Lebih lanjut, pembentengan dapat dikatakan sebagai salah satu ciri penting karya tulis ilmiah, terutama artikel penelitian ilmiah karena secara rutin digunakan dan kehadirannya diharapkan oleh pembaca sebagai penanda pengetahuan baru yang memiliki status tentatif dan provisional hingga pengetahuan itu diakui secara luas oleh komunitas ilmiah, diacu dalam artikel-artikel penelitian yang terbit kemudian, hingga akhirnya digunakan tanpa perlu lagi diberi acuan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa dalam karya tulis ilmiah pembentengan berperan sangat penting dalam penyampaian klaim-klaim baru yang membutuhkan ratifikasi. Oleh sebab itu, pembentengan sangat berperan dalam pengembangan retorika wacana persuasif dengan memungkinkan terjadinya proses dialektis antara fakta objektif dan penilaian subjektif yang merupakan inti dari karya tulis ilmiah. Pembentengan berperan sebagai salah satu ciri pragmatis penting yang membentuk artikel penelitian ilmiah sebagai wahana utama untuk menyampaikan pengetahuan baru dan juga berperan dalam memberikan ciri khas pada artikel penelitian ilmiah yang membedakannya dari bentuk-bentuk karya tulis ilmiah lainnya.
BAB VI: PENUTUP | 544
6.2
Implikasi
Penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya peran bahasa dalam produksi pengetahuan ilmiah. Dalam publikasi karya ilmiah mereka, penulis artikel penelitian ilmiah memanfaatkan semua peranti kebahasaan yang mereka miliki, termasuk pembentengan, untuk mencapai tujuan utama mereka, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat institusional, yaitu untuk memperoleh pengakuan dan pengesahan oleh komunitas mereka masing-masing atas hasil-hasil penelitian yang mereka lakukan. Ini mengimplikasikan bahwa untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena kebahasaan dalam karya tulis ilmiah, termasuk di antaranya pembentengan, kita harus dapat memahami dan menjelaskan bagaimana para ilmuwan bekerja selama mereka melakukan penelitian dan proses-proses penalaran apa saja yang mereka lalui untuk memperoleh bukti yang diperlukan dalam penelitian mereka. Banyak upaya telah dilakukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut terutama oleh para ahli sosiologi, terutama para ahli sosiologi ilmu pengetahuan seperti Gilbert & Mulkay (1984), Knorr-Cetina (1981), Latour (1987), Latour & Woolgar (1979), dan Mulkay (1979). Berbagai penelitian tersebut telah berupaya untuk mengungkap peran penting komunikasi verbal antarilmuwan dalam dunia penelitian ilmiah. Kendatipun upaya-upaya tersebut sedikit banyak telah mengungkapkan pentingnya klaim pengetahuan sebagai sumber pengembangan pengetahuan ilmiah serta kemungkinan pengaruhnya terhadap reputasi para ilmuwan, kebanyakan penelitian tersebut telah mengabaikan peran bahasa sehingga deskripsi mengenai pola-pola wacana serta ciri-ciri kebahasaan yang terkandung dalam karya tulis ilmiah belum banyak terungkap; padahal pola-pola serta ciri-ciri tersebut sangat
BAB VI: PENUTUP | 545
penting peranannya dalam membangun wacana ilmiah. Penelitian ini telah memberikan cukup bukti bahwa karena perannya yang begitu penting dalam pengakuan dan pengesahan terhadap hasil-hasil penelitian, pembentengan merupakan salah satu ciri penting karya ilmiah, terutama dalam bentuk artikel penelitian ilmiah.
Di samping itu, implikasi lain dari penelitian ini terkait dengan konteks pemakaian pembentengan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pembentengan tidak mungkin dapat dipahami tanpa pemahaman yang baik bukan hanya mengenai konteks linguistik di mana pembentengan itu digunakan melainkan juga mengenai konteks situasi, sosial dan bahkan budaya yang memberikan banyak informasi mengenai latar belakang situasi, sosial dan budaya dari para penggunanya. Dengan demikian, untuk memahami pembentengan diperlukan pemahaman terhadap berbagai lapis konteks yang mencakup informasi gramatikal dan leksikal, jenis wacana, fungsifungsi serta peran pembentengan dalam suatu komunitas ilmiah. Mengingat pembentengan merupakan salah satu bentuk penggunaan bahasa yang terkait dengan praktik sosial suatu komunitas ilmiah, maka kajian mengenai pembentengan harus didasarkan pada pemahaman yang baik mengenai konteks penulisan karya ilmiah. Di samping itu, kajian mengenai pembentengan juga harus mengakui adanya pengaruh situasi sosial terhadap penggunaan bahasa dan adanya tujuan-tujuan pribadi maupun institusional yang hendak dicapai dengan pemakaian bahasa, dalam hal ini pemakaian pembentengan. Lagi pula, kajian mengenai pembetengan harus dilandasi oleh gagasan bahwa bukan bentuk linguallah yang memberikan makna pembentengan, melainkan penulislah yang melakukan pembentengan. Bukan bentuk-bentuk lingual melainkan konteks-konteks penulisan karya ilmiahlah yang memberikan makna
BAB VI: PENUTUP | 546
pembentengan. Bukan sekedar makna-makna gramatikal dan semantis saja yang menentukan interpretasi terhadap makna pembentengan dalam suatu konteks tertentu, melainkan juga faktor-faktor lain juga menentukan interpretasi tersebut, termasuk di dalamnya tujuan penulis serta peran yang umumnya dimiliki oleh bentuk-bentuk tersebut dalam karya tulis ilmiah.
Pemahaman
mengenai
pentingnya
peran
konteks
dalam
pemakaian
pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah juga mengimplikasikan pentingnya penggunaan data alami dalam upaya untuk mendeskripsikan strategi-strategi komunikasi seperti pembentengan yang dipakai dalam karya tulis ilmiah, khususnya dalam artikel penelitian ilmiah, baik dalam bahasa Inggris atau pun dalam bahasabahasa lainnya, termasuk bahasa Indonesia. Dengan kata lain, sulit kiranya untuk memperoleh gambaran dan penjelasan yang baik mengenai strategi-strategi seperti itu apabila analisis dan deskripsi didasarkan pada data tidak alami yang diperoleh melalui intuisi, misalnya, bukan didasarkan pada penggunaan bahasa yang merefleksikan aspek sosial dan interaksi dalam komunitas ilmiah. Di samping itu, hal ini juga mengimplikasikan bahwa untuk memahami wacana ilmiah, perhatian harus dipusatkan pada aspek-aspek sosial dan interaksi antaranggota komunitas ilmiah. Tujuan analisis berdasarkan data alami tidak lain adalah untuk memperoleh penjelasan dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan bagaimana komunitas-komunitas ilmiah memproduksi karya ilmiah serta untuk tujuan apa karya-karya ilmiah tersebut diproduksi. Pemakaian strategi-strategi komunikasi seperti strategi pembentengan akan dapat dipahami dengan lebih baik apabila dikaitkan dengan motivasi pribadi maupun motivasi institusional yang melandasi penggunaan strategi tersebut dalam
BAB VI: PENUTUP | 547
artikel penelitian ilmiah. Harus dipahami bahwa tujuan utama penulis berkomunikasi melalui karya tulis ilmiah bukanlah sekedar untuk melaporkan hasil penelitian mereka, melainkan juga untuk memperoleh pengakuan dan pengesahan atas hasilhasil penelitian mereka. Lagi pula mereka juga ingin mengejar ambisi pribadi melalui saluran-saluran resmi yang diakui oleh komunitas ilmiah mereka. Melalui tujuantujuan tersebut faktor-faktor sosial, institusional dan bahkan ideologi dapat membantu kita dalam pemaknaan karya tulis ilmiah.
Lebih lanjut, mengingat penelitian ini mempelajari kompetensi komunikasi penutur asli dalam hal pemakaian strategi pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam bahasa Inggris, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai model untuk perbandingan penggunaan strategi pembentengan dalam karya tulis ilmiah dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh penutur asli bahasa Inggris dan oleh non-penutur asli bahasa Inggris dengan latar belakang budaya yang berlainlainan, terutama penutur asli bahasa Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat perbedaan latar belakang budaya, terutama budaya penelitian dan penulisan karya ilmiah, yang dimiliki oleh penutur asli bahasa Inggris dan penutur asli bahasa Indonesia. Di samping itu, para peneliti Indonesia akhir-akhir ini banyak didorong untuk mempublikasikan karya tulis ilmiah mereka dalam jurnal ilmiah internasional yang pada umumnya diterbitkan dalam bahasa Inggris. Sangat disayangkan bahwa belum banyak ditemukan penelitian yang mempelajari penggunaan strategi pembentengan dalam karya tulis ilmiah dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh ilmuwan dan peneliti Indonesia (bdk. Hidayati, Muhammad & Dallyono, 2008; Supriyati, 2002).
BAB VI: PENUTUP | 548
Namun demikian, beberapa penelitian yang berkaitan dengan perbandingan seperti tersebut di atas telah menunjukkan bahwa perbedaan pemakaian pembentengan dalam karya tulis ilmiah dalam bahasa Inggris disebabkan terutama oleh latar belakang budaya dan kecapakan bahasa (Clyne, 1991; Mauranen, 1997; Vassileva, 1997, 2001). Sebagai contoh, Clyne (1991: 57ff) menemukan bahwa dalam karya ilmiah yang mereka tulis dalam bahasa Inggris, ilmuwan Jerman cenderung lebih banyak menggunakan pembentengan daripada penutur asli bahasa Inggris. Kecenderungan ini, menurut Clyne (ibid.: 64), kemungkinan besar disebabkan karena konvensi linguistik dalam bahasa Jerman. Clyne (ibid.) berargumentasi bahwa kecenderungan tersebut kurang menguntungkan bagi ilmuwan Jerman karena karya tulis ilmiah yang terlalu banyak ditandai oleh pembentengan akan terdengar tidak ilmiah. Di samping itu, Clyne (ibid.: 60) juga mengamati bahwa perbedaan pemakaian pembentengan tersebut sebagian juga disebabkan karena adanya interferensi bahasa Jerman dalam bahasa Inggris. Interferensi pula agaknya yang menyebabkan rendahnya pemakaian strategi pembentengan oleh ilmuwan Bulgaria yang menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris apabila dibandingkan dengan karya ilmiah yang ditulis oleh penutur asli (Vassileva, 2001: 99). Vassileva (ibid.) berargumentasi bahwa interferensi ini sebagian disebabkan karena perbedaan latar belakang budaya. Di samping itu,
menurut Vassileva, perbedaan tersebut
disebabkan pula oleh penyimpangan-penyimpangan bukan hanya kaidah bahasa Inggris melainkan juga kaidah bahasa Bulgaria. Contoh lain perbedaan penggunaan pembentengan oleh penutur asli dan non-penutur asli ditunjukkan oleh Mauranen (1997), yang menemukan bahwa ilmuwan Finlandia dalam karya tulis mereka dalam
BAB VI: PENUTUP | 549
bahasa Inggris tampaknya tidak menggunakan pembentengan sebagaimana penutur asli bahasa Inggris. Mauranen (ibid: 132) menunjukkan bahwa non-penutur asli yang memiliki tingkat kecakapan bahasa yang lebih rendah cenderung lebih jarang menggunakan pembentengan dibandingkan mereka yang memiliki tingkat kecakapan bahasa yang lebih tinggi. Mauranen (ibid.) menyimpulkan bahwa kemampuan untuk menggunakan pembentengan seperti penutur asli ditentukan oleh kecakapan bahasa.
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas mengimplikasikan bahwa bagi nonpenutur asli, menggunakan pembentengan dalam karya ilmiah yang ditulis dalam bahasa Inggris bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan kecakapan bahasa tingkat tinggi yang mendekati kecakapan penutur asli agar dapat memakai strategi pembentengan seperti penutur asli. Flowerdew (1999a) melaporkan berbagai persoalan yang telah diidentifikasi oleh beberapa peneliti (seperti, mis., Bazerman, 1988; Johns, 1993; Mauranen, 1993; St. John, 1987; Swales, 1990, 2004), persoalanpersoalan yang dihadapi oleh non-penutur asli bahasa Inggris yang berupaya untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka dalam jurnal ilmiah internasional berbahasa Inggris. Dua di antara persoalan-persoalan tersebut terkait dengan pemakaian pembentengan dan cara-cara yang tepat untuk menyampaikan klaim pengetahuan. Persoalan yang kedua ini ternyata juga dialami oleh penutur asli. Mengutip Myers (1990), Swales (2004: 48) menuturkan: “Don’t we all have difficulty in finding le mot juste, in adjusting our level of claim so that it is as strong as we can make it and yet still defensible to our peers” (penekanan asli) ‘Bukankah kita semua memiliki kesulitan dalam menemukan le most juste atau kata yang tepat, dalam menyesuaikan
BAB VI: PENUTUP | 550
tingkat klaim kita sehingga klaim tersebut sekuat seperti yang dapat kita sampaikan, akan tetapi masih dapat kita pertahankan di hadapan kolega seminat kita”.
Persoalan-persoalan tersebut di atas mengimplikasikan pentingnya solusi pengajaran dan pembelajaran baik untuk meningkatkan kesadaran pembelajar, khususnya ilmuwan dan peneliti Indonesia yang ingin mempublikasikan karya ilmiah mereka dalam bahasa Inggris, dalam penggunaan pembentengan dalam karya tulis ilmiah mereka maupun untuk mencari metode-metode yang tepat untuk mengajarkan pemakaian pembentengan dalam karya tulis ilmiah. Kesulitan dalam pemakaian secara tepat pembentengan sebagian barangkali disebabkan karena kurangnya pengajaran tentang pemakaian strategi komunikasi ini. Para pembelajar tidak diajari untuk memodulasikan proposisi yang mereka buat, atau bahkan tidak diajari untuk memiliki sensitifitas terhadap persoalan ini. Namun demikian, harus diakui bahwa mengajarkan pemakaian secara tepat pembentengan, terutama dalam artikel penelitian ilmiah, dapat menimbulkan beberapa persoalan. Persoalan pertama terkait dengan konteks; maksudnya, pembentengan hanya dapat dimaknai melalui konteks pemakaiannnya. Persoalan lain, menurut Markkanen & Schrӧder (1997), adalah bahwa pemakaian pembentengan seringkali berkaitan, dalam karya tulis ilmiah, dengan nilai, keyakinan dan bahkan kepribadian penulis sehingga tidak mudah untuk mengajarkannya. Oleh karena itu, Markkanen & Schrӧder (ibid.: 12) berargumentasi, satu-satunya metode untuk mengajarkannya adalah melalui awareness-raising atau peningkatan kesadaran pembelajar mengenai pemakaian pembentengan dalam konteks. Berbagai metode lain telah diusulkan, di antaranya oleh Hyland (1998), Salager-Meyer (1994, 1997) dan Skelton (1988a). Sebagai contoh, Skelton (1988a)
BAB VI: PENUTUP | 551
menyarankan tiga macam latihan yang bermanfaat untuk pengajaran penggunaan pembentengan,
yaitu
latihan
peningkatan
kepekaan
pembelajar
terhadap
pembetengan, latihan penulisan ulang sebuah teks dengan menambah dan/atau mengurangi pembentengan di dalamnya, dan untuk pembelajar tingkat dasar, latihan pengenalan seperangkat bentuk lingual pembentengan. Demikian halnya, SalagerMeyer (1994: 165) juga menganjurkan latihan peningkatan kepekaan dan latihan penulisan ulang, sedangkan Hyland (1998) menekankan pentingnya latihan-latihan, di antaranya
untuk
meningkatkan
kesadaran
pembelajar
mengenai
pengaruh
pembentengan terhadap pernyataan, untuk membiasakan pembelajar pada konsep pembentengan
dan
meningkatkan
keyakinan
mereka
terhadap
pemakaian
pembentengan, dan untuk mengembangkan kesadaran pembelajar tentang peran pembaca dan tujuan penulisan karya ilmiah.
Hasil penelitian ini telah menunjukkan frekuensi berbagai bentuk pengungkap pembentengan dan pentingnya pemakaian pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah dalam berbagai bidang ilmu. Hasil-hasil tersebut diharapkan dapat membantu pengembangan pengajaran dan pembelajaran terkait dengan penggunaan strategi pembentengan
dalam
karya
tulis
ilmiah.
Menggunakan
berbagai
peranti
pembentengan tersebut secara tepat bukan saja merupakan aspek penting dari argumentasi yang efektif, melainkan juga dapat dipandang sebagai tanda keanggotaan dalam suatu komunitas ilmiah (Hyland, 1997). Di samping itu, penggunaan pembentengan secara terampil merupakan bagian dari kompetensi pragmatik seorang pengguna bahasa. Kekurangan dalam kompetensi ini dapat menghadirkan kesalahan yang lebih serius dibandingkan dengan kesalahan dalam tata bahasa karena kesalahan
BAB VI: PENUTUP | 552
pragmatik tidaklah segamblang kesalahan tata bahasa. Kesalahan pragmatik, dalam hal ini kesalahan penggunaan pembentengan, dapat membuat pengguna bahasa, terutama bahasa Inggris sebagai bahasa asing, terdengar terlalu tegas, kurang sopan, terlalu agresif, terlalu tentatif atau bahkan terlalu
yakin daripada yang
dimaksudkannya. Pada akhirnya, ini semua dapat menyebabkan kegagalan pragmatik (Thomas, 1983).
6.3
Beberapa Persoalan dan Saran
Salah satu persoalan yang segera dapat dideteksi dari penelitian ini barangkali terkait erat dengan ketuntasan kajian bentuk-bentuk lingual yang digunakan untuk merealisasikan strategi pembentengan. Akan tetapi, mengingat bahwa pembentengan bukanlah ciri yang melekat pada suatu teks melainkan produk dari komunikasi antara penulis dan pembaca; maksudnya, bentuk lingual yang digunakan untuk mengungkapkan pembentengan memperoleh maknanya melalui respons yang diberikan oleh pembaca (Markkanen & Schrӧder, 1997), maka mempelajari fenomena-fenomena kebahasaan seperti pembentengan barangkali tidak akan pernah dapat tuntas. Saya yakin masih terdapat bentuk-bentuk lain yang luput dari pengamatan, terutama bentuk-bentuk yang mengungkapkan indirectness atau ketidaklangsungan seperti, misalnya, ironi dan metafora. Oleh sebab itu, sejak awal penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memperoleh ketuntasan kajian, melainkan untuk mempelajari bentuk-bentuk lingual yang mengungkapkan, terutama komitmen yang tidak mutlak, tentatifitas, ketidakpastian, perkiraan dan kehati-hatian, yang
BAB VI: PENUTUP | 553
sebagian terkait erat dengan modalitas epistemis dan pada umumnya digunakan untuk mengungkapkan pembentengan.
Satu persoalan penting lainnya barangkali
berkaitan
dengan
konsep
pembentengan itu sendiri. Dalam penelitian ini istilah pembentengan digunakan sebagai padanan dari istilah bahasa Inggris hedging, sebuah konsep yang dalam penelitian ini digunakan dengan pengertian yang sudah agak jauh berbeda dengan konsep awal yang diusulkan oleh Lakoff (1973). Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, konsep ini telah mengalami banyak perkembangan, terutama dengan digolongkannya pembentengan sebagai konsep pragmatik. Model pembentengan yang diusulkan dalam penelitian ini mungkin harus dipandang sebagai alternatif dari model-model yang sudah ada mengingat belum ditemukan dalam kepustakaan satu pun kerangka pemikiran yang dapat mempersatukan berbagai model yang ada. Oleh sebab itu, bentuk-bentuk lingual yang dalam penelitian ini dianggap sebagai bentuk pembentengan barangkali di tempat lain diberi nama yang berbeda, atau sebaliknya, bentuk-bentuk lingual yang di dalam penelitian lain disebut sebagai bentuk pembentengan, di dalam penelitian ini tidak dianggap sebagi bentuk pembentengan.
Persoalan lain lagi yang yang dapat dipertanyakan mengenai penelitian ini barangkali berkaitan dengan keengganan saya untuk menjawab pertanyaan berapa banyak bentuk lingual yang digunakan untuk merealisasikan fungsi pembentengan sebagai pelindung proposisi, berapa banyak bentuk lingual untuk merealisasikan fungsi pembentengan sebagai pelindung penulis dan berapa banyak bentuk lingual untuk merealisasikan fungsi pembentengan sebagai pelindung pembaca. Sebagaimana
BAB VI: PENUTUP | 554
telah disebutkan sebelumnya, tidak diupayakannya penghitungan bentuk-bentuk lingual yang dipakai untuk merealisasikan suatu fungsi pembentengan dilandasi oleh kesulitan untuk mengidentifikasi fungsi apa yang direalisasikan oleh suatu bentuk lingual tertentu mengingat suatu bentuk lingual memiliki potensi untuk digunakan sebagai realisasi berbagai fungsi, dan adakalanya sekaligus. Di samping itu, tidak jarang dalam suatu pernyataan ditemukan lebih dari satu bentuk pembentengan yang digunakan untuk mengungkapkan fungsi yang berlain-lainan. Oleh sebab itu, saya yakin
bahwa
menggolongkan
masing-masing
bentuk
lingual
pengungkap
pembentengan berdasarkan fungsinya sulit, atau bahkan mustahil, untuk dilakukan.
Selanjutnya, terlepas dari persoalan-persoalan di atas, penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian-penelitian lanjutan tentang pembentengan. Penelitian ini telah menunjukkan adanya variasi pemakaian bentuk lingual pengungkap pembentengan baik dalam lima bidang ilmu, yaitu ekonomi, kedokteran, linguistik, MIPA dan teknik, maupun dalam keempat bagian artikel penelitian ilmiah, yaitu bagian Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk perbandingan dengan penelitian-penelitian serupa dalam bidang-bidang ilmu yang lain yang belum banyak diteliti seperti, misalnya, bidang antropologi, hukum, ilmu politik dan pertanian. Perbandingan dapat pula dilakukan dengan penelitian-penelitian yang menyoroti genre-genre lain seperti, misalnya, popularisasi artikel penelitian ilmiah (Fahnestock, 1986; Varttala, 2001) dan disertasi doktoral (Thompson, 2001), dan dapat pula dengan penelitian-penelitian dalam ranahranah lain penggunaan bahasa di luar konteks akademis sebagaimana yang dilakukan oleh Fraser (2010) yang mempelajari pembentengan dalam wacana politis.
BAB VI: PENUTUP | 555
Mengingat, seperti telah disebutkan sebelumnya, pembentengan merupakan aspek yang melekat pada penggunaan bahasa, penelitian ini barangkali juga bermanfaat untuk mengungkapkan ciri-ciri pembeda dan faktor-faktor kontekstual yang terdapat dalam genre-genre atau register-register seperti tersebut di atas, yaitu melalui identifikasi baik frekuensi relatif bentuk-bentuk lingual pembentengan yang digunakan untuk mengungkapkannya maupun aspek-aspek kontekstual yang paling banyak memberikan pengaruh pada fungsi-fungsi pemakaiannya.
Penelitian ini, terutama kerangka pemikiran dan metode yang diterapkan di dalamnya, juga dapat dikembangkan untuk mengkaji pembentengan dalam artikel penelitian ilmiah yang ditulis oleh ilmuwan dan peneliti Indonesia baik dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia mengingat masih jarangnya penelitian semacam itu di Indonesia (tetapi lihat Djunaidi, 2002; Hidayati, Muhammad & Dallyono, 2008; Safnil, 2003; Sanjaya, 2013; Supriyati, 2002). Banyak kajian tentang pembentengan dalam wacana akademis dalam berbagai bahasa lain seperti bahasa Bulgaria (mis., Vassileva, 1997; 2001), bahasa Jerman (mis., Kreutz & Harres, 1997), bahasa Rusia (mis., Namsaraev, 1997) dan bahasa Spanyol (mis., Martín-Martín, 2008) telah berhasil mengidentifikasi berbagai perbedaan penggunaannya dengan bahasa Inggris. Namun
demikian, praktis
belum
ditemukan
satupun kajian
serupa
yang
membandingkan pemakaian pembentengan dalam karya tulis ilmiah yang ditulis dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia (tetapi lihat Sanjaya, 2013). Oleh sebab itu, masih banyak penelitian diperlukan untuk mempelajari berbagai perbedaan kultural baik dalam hal penulisan maupun pemerolehan bentuk-bentuk pengungkap pembentengan oleh ilmuwan dan peneliti Indonesia. Penelitian lain juga sangat
BAB VI: PENUTUP | 556
diperlukan untuk mengkaji pemakaian pembentengan dalam karya ilmiah dalam bahasa Indonesia yang ditulis oleh ilmuwan dan peneliti Indonesia, yang kemudian dapat dijadikan dasar perbandingan dengan pemakaiannya dalam bahasa Inggris.
Telah disebutkan di atas bahwa penggunaan pembentengan secara tepat dalam bahasa Inggris dapat menghadirkan persoalan serius bagi pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang sedang belajar untuk menulis secara efektif. Persoalan ini agaknya juga berlaku dalam penerjemahan (Markkanen & Schrӧder, 1989) dan proses penyuntingan teks (Burrough-Boenisch, 2005; Mauranen, 1997). Berdasarkan persoalan-persoalan ini, maka masih diperlukan lebih banyak penelitian mengenai pembentengan, terutama dalam kaitannya dengan perbedaan-perbedaan lintas budaya, dan perbandingan-perbandingan pembentengan dalam berbagai macam teks dari berbagai macam bidang ilmu, pengaruh pembentengan terhadap pembaca, dan peran serta penanganannya dalam penerjemahan. Di samping itu, masih diperlukan pula penelitian lanjutan untuk mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi tanggapan pembaca, baik penutur asli maupun non-penutur asli, terhadap pemakaian pembentengan dalam berbagai macam teks. Penelitian awal oleh Low (1996) tentang tanggapan responden penutur asli bahasa Inggris terhadap pemakaian pembentengan dalam kuesioner mengindikasikan bahwa responden tidak mengenali kehadiran bentuk pembentengan dalam kuesioner. Hal yang sama juga ditemukan oleh Hyland (2000) dalam penelitiannya mengenai tanggapan non-penutur asli, yakni mahasiswa strata 1 penutur asli bahasa kanton, terhadap pemakaian pembentengan dalam kuesioner. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut di atas, dalam penelitiannya mengenai tanggapan penulis artikel terhadap pembentengan yang mereka gunakan
BAB VI: PENUTUP | 557
dalam artikel penelitian yang mereka tulis dan tanggapan pembaca, yakni kandidat doktor yang mengikuti kelas English for Academic Purposes terhadap pembentengan yang digunakan dalam beberapa artikel, Lewin (2005) melaporkan bahwa bentukbentuk lingual pembentengan yang diidentifikasi oleh penulis artikel berbeda dengan bentuk-bentuk yang dikenali oleh pembaca dan bahwa kesopanan bukanlah motivasi utama yang mendorong penulis artikel untuk menggunakan pembentengan dalam artikel penelitian yang mereka tulis. Lewin (ibid.) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara penulis artikel dan pembaca dalam hal jumlah bentuk pembentengan yang mereka identifikasi; pembaca mengidentifkasi jauh lebih banyak bentuk pembentengan daripada yang dimaksudkan oleh penulis artikel. Mengingat perbedaan ini, maka masih banyak dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi tanggapan penulis artikel maupun tanggapan pembaca atas pemakaian pembentengan dalam karya tulis ilmiah.
Akhirnya, saya ingin menegaskan bahwa pembentengan merupakan aspek penting karya tulis ilmiah pada umumnya, terutama artikel penelitian ilmiah. Pembentengan menjadikan suatu artikel penelitian ramah terhadap pembaca karena memberi ruang untuk negosiasi antara penulis dan pembaca. Pembentengan berperan sangat penting bukan saja dalam pengembangan ilmu pengetahuan sebagai penanda pengetahuan baru yang membutuhkan ratifikasi dari pembaca, melainkan juga dalam memenuhi ambisi pribadi penulis artikel untuk memperoleh pengakuan atas kerja keras mereka dalam penelitian. Mengingat pentingnya peran pembentengan dalam karya tulis ilmiah, maka ilmuwan dan peneliti Indonesia yang berkeinginan untuk berhasil merebut hati audiens internasional melalui publikasi mereka dalam jurnal-
BAB VI: PENUTUP | 558
jurnal internasional, yang sebagian besar diterbitkan dalam bahasa Inggris, harus menyediakan waktu, tenaga dan biaya untuk belajar menentukan pernyataanpernyataan mana saja yang perlu dibentengi dan mana yang tidak, atau bahkan pernyataan mana yang perlu disampaikan secara tegas. Di samping itu, dan tidak kalah pentingnya, mereka juga harus bersedia untuk mempelajari dan mempraktekkan penggunaan berbagai macam bentuk lingual yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan pembentengan dalam artikel penelitian mereka dalam bahasa Inggris. Dari sudut pandang pengajaran, ini berarti bahwa sebagai strategi komunikasi yang sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya, pembentengan harus dijadikan bagian tak terpisahkan dari kurikulum pengajaran bahasa Inggris untuk tujuan akademis atau English for Academic Purposes (EAP), terutama dalam penulisan akademis. Pada gilirannya, ini merupakan tantangan bagi kita semua pendidik yang berkecimpung dalam
dunia
pengajaran
bahasa
Inggris
untuk
tujuan
akademis
untuk
mengembangkan metode-metode pengajaran dan latihan-latihan yang efektif untuk membantu ilmuwan dan peneliti Indonesia untuk berkiprah dalam publikasi internasional untuk menampilkan hasil-hasil penelitian mereka dan juga untuk meningkatkan ‘visibilitas’ mereka sebagai ilmuwan yang disegani di dunia internasional.