BAB V SIMPULAN
Dalam sastra nasional, Paranggi menempati posisi objektif sebagai penyair yang terkonsekrasi dan terlegitimasi dengan baik dalam arenanya. Konsekrasi dan legitimasi itu didasarkan kepada prinsip legitimasi spesifik, yaitu pengakuan yang diberikan oleh sekelompok penyair lain yang sekaligus menjadi pesaingnya dalam arena. Dengan kata lain, pengakuan itu diberikan oleh dunia seni untuk seni yaitu menempatkan seni untuk seniman yang otonom. Dalam hubungannnya dengan legitimasi itu, Paranggi tidak memosisikan diri pada prinsip legitimasi dominan dan populer. Artinya, legitimasi Paranggi tidak bersesuaian dengan selera fraksifraksi dominan seperti negara atau akademi-akademi yang sanggup memberikan penguatan etis dan estetis terhadap dirinya. Paranggi tetap konsisten bergerak dalam arena produksi terbatas atau apa yang disebut dengan seni tinggi karena dalam kompetisi itu, dirinya lebih mengutamakan modal-modal simbolis, melibatkan prestise, konsekrasi dan selebrasi artistik. Produk kultural utama Paranggi adalah puisi. Dengan memosisikan pilihan pada audien yang terbatas itu dengan laba kapital yang terbatas bahkan tidak ada sama sekali, dan membuat aktivitas atas kepentingan seni semata sekaligus menjadi penyebab prestisenya dalam rangka mendapatkan legitimasi karismatik yang diberikan oleh segelintir orang yang mengenalnya yaitu dalam lingkup jaringan seniman.
206
207
Selain sebagai penyair, Paranggi juga memosisikan diri sebagai apresiator dan motivator bagi kelahiran calon-calon penulis yang kemudian dikenal dengan baik dan luas dalam sejarah sastra Indonesia. Keberhasilan Paranggi pada posisi tersebut karena adanya dukungan media lokal, yaitu Pelopor Yogya (Yoyakarta) dan Bali Post (Bali) yang memberikan ruang baginya menjadi redaktur sastra dan budayanya. Posisi ini kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Paranggi dalam menggerakkan kegiatan apresiasi di masing-masing wilayah tersebut. Posisi itulah yang membedakan dirinya dengan seniman-seniman lain di Indonesia. Penguasaan media menjadi sangat penting bagi Paranggi sebagai peralihan atas kegagalan produk kulturalnya dalam perkembangan karya sastra Indonesia. Puisi-puisi Paranggi yang sejak awal telah mampu menembus media nasional–yang diakui oleh masyarakat bahwa koran atau majalah nasional diakui sebagai media pemberi konsekrasi atau legitimasi atas kepenyairan seseorang– tidak mampu memberikan corak yang berarti bagi kebaruan pencapaian artistik perpuisian Indonesia karena hanya mengangkat tema-tema introspektif dan religious-kontemplatif. Itu berarti Paranggi tidak besar karena kualitas karyanya, tetapi besar karena kesetiaan, totalitas, atau kefanatikannya terhadap dunia puisi. Keadaan itu ternyata homolog dengan beberapa puisi yang ditulisnya. Di sanalah kredo “kehidupan adalah puisi” diciptakan dan dijadikan dasar baginya dalam menghadapi arena sastranya, bahwa totalitas hidupnya diserahkan untuk menekuni dunia perpuisian. Dengan kredo itu, Paranggi menghendaki agar setiap orang mencintai puisi
208
dengan melihat lebih ke dalam tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, tetapi bukan pula bermaksud untuk menciptakan sederet penyair. Kebesaran Paranggi tidak bisa dilepaskan dari Persada Studi Klub (PSK). Di komunitas inilah Paranggi mulai mematangkan habitus dan modal-modal yang dimilikinya. Paranggi sebagai pendiri PSK mendapatkan penghargaan dari muridmuridnya atas kemampuannya sebagai penyair dan redaktur koran. Bahkan, murid-murid dalam PSK itu melakukan semacam pengkultusan terhadap Paranggi. Dalam pengkultusan itu, murid-muridnya menambahkan dengan mitosmitos yang melingkungi seluruh sepak terjang kehidupannya. Mitos-mitos yang terpelihara itu digunakan sebagai strategi untuk membesarkan nama dan jaringan komunitas. Paranggi punya pilihan lain dalam memperoleh posisi dan pencapaian yang sukses dalam arena sastra Indonesia meski dirinya tidak pergi ke Jakarta, sebagai pusat sastra nasional. Paranggi mencoba kemungkinan lain selain menjadi penyair juga menjadi redaktur, pembina komunitas, dan gerakan apresiasi langsung ke masyarakat. Percobaan ini memberikan hasil yang baik bagi perkembangan sastra tingkat regional yang sekaligus menjadikan dirinya berbeda dengan penyairpenyair lain yang turut serta berkompetisi dalam arena nasional. Paranggi menciptakan “Jakarta” lain sebagai salah satu regional centre sastra Indonesia di luar Jakarta. Pusat-pusat yang dimaksud adalah Yogyakarta, Bali, dan hampir di Bandung dan Surabaya. Di Bali, Paranggi melakukan reproduksi-reproduksi dalam pergulatan arena sastra regional yang hampir mirip dengan apa yang telah dilakukannya di
209
Yogyakarta. Reproduksi itu terjadi ketika Paranggi bekerja di koran Bali Post dengan mengasuh ruang budaya dan sastranya. Dengan demikian, kebesaran Paranggi tidak bisa lepas dari peranan media karena hanya dengan menjadi redakturlah dirinya mampu mewariskan konsep-konsep bersastranya kepada para calon penulis. Jika Yogyakarta dijadikan sebagai dasar perbandingan, Paranggi bisa dikatakan tidak cukup sukses dalam membina calon-calon penulis meskipun ada
sejumlah
penulis
Bali
yang
telah
diakui
legitimasi
karya
dan
kepengarangannya secara nasional. Namun, jika yang dijadikan pembanding adalah Bali, Paranggi telah berhasil membina sejumlah penulis yang terus mengalami kematangan dalam kepenulisannya. Meskipun bukan selaku pendiri, Paranggi tetap diakui sebagai pembina beberapa komunitas sastra di masyarakat, kampus, dan sekolah-sekolah. Di antara komunitas tersebut, Sanggar Minum Kopi (SMK) adalah komunitas yang paling menonjol dibina oleh Paranggi. Komunitas ini menjadi jejaring sosial baru bagi Paranggi dalam mengumpulkan modal-modal sosialnya termasuk juga modalmodal lain yang berpengaruh terhadap keberadaannya di Bali. Dengan memainkan disposisi yang halus dan lembut, Paranggi melakukan kegiatan apresiasi sastra ke sejumlah wilayah kabupaten di seluruh Bali. Tujuannya adalah menyemarakkan kegiatan sastra di setiap wilayah, sebagaimana kredo yang telah diciptakan bahwa puisi harus dinikmati oleh semua orang. Dalam mempertahankan konsekrasi dan legitimasi dirinya, Paranggi menerapkan sejumlah strategi di Bali. Di antara strategi yang dilakukan, strategi investasi simbolik adalah tipe strategi yang paling dominan dan menonjol. Dalam
210
strategi itu, Paranggi
memperkuat modal-modal yang bisa memberinya
pencapaian dalam arena dan mengesklusi modal-modal yang tidak terlalu dominan seperti modal ekonomi. Karena menyadari bahwa dirinya lemah dalam karya dan juga publisitasnya, Paranggi melakukan pengalihan disposisi sebagai bohemian sejati. Dengan menciptakan kehidupan yang serba misterius, antikemapanan, dan bergerak dalam wilayah independensi ekonomi, Paranggi ternyata mampu menarik perhatian publik untuk semakin membicarakannya dalam kancah sastra Indonesia. Prinsip seni untuk seni dalam perspektif Paranggi adalah sebuah posisi untuk membuat nilai baru. Meskipun posisi ini sudah ada di dalam ruang posisiposisi yang telah ada sebelumnya, tetapi Paranggi dengan segala modal yang dimilikinya bisa membedakan posisi baru ini dari semua posisi. Dirinya telah bisa menemukan pribadi sosial tanpa preseden apapun sebagai seniman modern, profesional sepenuhnya, berdedikasi terhadap pekerjaannya, tidak tunduk pada desakan politik ataupun moralitas tertentu, dan tidak mengakui yuridis apapun selain norma-norma seni. Lewat inilah Paranggi menciptakan sebuah estetika murni suatu titik pandang dengan penerapan universal yang sukses memanfaatkan kemungkinankemungkinan yang ada dalam arena sastra nasional. Paranggi hidup dari seni, dengan gaya hidup yang sedang ia coba terapkan, memisteriuskan diri sebagai pembedanya. Di tengah-tengah percobaan itu, Paranggi dengan penolakan atau pengingkaran terhadap pencapaian modal ekonomi, tetap kaya akan modal simbolik yang dipeliharanya dengan baik hingga saat ini.