BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Kata kerja bantu modal atau modal memiliki fungsi sebagai pengungkap sistem modalitas Bahasa Inggris. Modalitas merupakan sistem semantis di mana pembicara menyatakan sikapnya mengenai proposisi yang dia ungkapkan, dan mengenai
peristiwa
yang
tergambar
dalam
proposisi
tersebut,
dengan
menggunakan bahasa sebagai alat. Modal merupakan salah satu alat leksikal dalam bahasa Inggris yang digunakan dalam menyatakan sistem modalitas. Dari kesepuluh modal yang sudah ditentukan berdasar kriteria sintaksis dan bentuk yang membedakannya dari kategori verba lain, modal dikelompokkan menjadi modal primer dan sekunder. Modal primer terdiri dari may, can, must, will, dan shall. Modal sekunder adalah might, could, should, ought to, dan would. Perbedaan modal primer dan sekunder terletak pada adanya interpretasi tambahan pada modal sekunder yang berhubungan dengan konteks pemakaian modal tersebut, yaitu berkaitan dengan referensi waktu (kala), kesopanan atau fungsi keformalan, dan penanda tentativeness. Modal primer dan modal sekunder berfungsi mengungkapkan paling tidak tiga jenis kategori modalitas, yaitu modalitas epistemik atau modalitas ekstrinsik, modalitas deontik, dan modalitas dinamik. Dua yang terakhir ini disebut juga modalitas intrinsik. Modal juga menunjukkan kadar yang berbeda dalam mengungkap ketiga jenis modalitas tersebut. May dapat berfungsi sebagai modal
170
171
epistemik may1 dan modal deontik may2 berkadar ‘kemungkinan’ (possibility). Can berfungsi sebagai modal deontik can2 dan modal dinamik can1 yang juga berkadar kemungkinan. Can dapat berfungsi sebagai modal epistemik can3 dalam bentuk yang dinegasikan untuk memperlihatkan kadar ketidakmungkinan. Will berfungsi sebagai modal epistemik will1 dan modal dinamik will2 dengan kadar ‘kemungkinan yang lebih kuat’ (probability). Must berfungsi sebagai modal epsitemik must1 dan modal deontik must2 berkadar ‘keharusan’ atau ‘keperluan’ (necessity). Shall sebagai modal hanya berfungsi untuk menyatakan modalitas deontik, shall1, dengan kadar yang lebih kuat dari modal deontik must2. Modal sekunder berkaitan dengan modal primer dalam hal pengungkapan jenis modalitas yang sama, namun modal sekunder menandai adanya fungsi lain yang diungkapkan modal tersebut. Might dan could dapat berfungsi sebagai modal epistemik dan modal deontik layaknya modal primer may dan can namun dengan kadar possibility yang lebih lemah (tentative). Modal epistemik might1 dan could3 juga menandai ‘ketidaknyataan’ (unreality) atau adanya sikap yang hanya berupa hipotesis dari pembicara. Modal deontik might2 dan could2 menunjukkan pikiran yang lebih sopan dibandingkan dengan modal deontik may2 dan can2, sehingga kedua modal deontik tersebut hanya digunakan dalam konstruksi interogatif dalam tindak tutur permintaan yang sopan. Adapun modal dinamik could1, selain sebagai bentuk tentative atau unreal dari can1, dapat menjadi bentuk lampau dari can1 sebagai karakteristik dari subjek di waktu lampau. Should dan ought to berfungsi sebagai modal epistemik dan modal deontik layaknya modal primer must dengan kadar necessity yang (tentative). Would
172
berfungsi sebagai modal epistemik would1 dengan kadar probability yang lebih lemah (tentative) dibandingkan modal primer will1. Sebagai modal dinamik, would2, selain sebagai bentuk tentative atau unreal dari will2, dapat menjadi bentuk lampau dari will2 sebagai karakteristik dari subjek di waktu lampau. Penggunaan modal dalam kontruksi non-assertive mengimplikasikan makna yang berbeda-beda. Dalam bentuk yang dinegasikan, modal epistemik dapat mengimplikasikan makna penegasian terhadap modalitas maupun proposisi. Modal may1, will1 dan bentuk sekundernya, might1 dan would1, dan modal should1 dan ought to1 yang dinegasikan menghasilkan makna penegasian terhadap proposisi. Sedangkan modal can1 dan could1 menghasilkan makna penegasian makna modalitas. Adapun modal must1 tidak muncul dalam bentuk yang dinegasikan. Penegasian modal deontik menghasilkan makna penegasian proposisi kecuali pada modal berkadar possibility, yaitu modal may2 dan can2 yang menghasilkan makna penegasian modalitas. Adapun penegasian modal dinamik menghasilkan penegasian makna modalitas. Dalam bentuk non-assertive konstruksi interogatif, semua penggunaan modal menghasilkan makna yang mempertanyakan makna modalitas. Modal sekunder yang berfungsi sebagai modal epistemik dan modal deontik selalu menunjukkan makna kala kini yang menunjukkan sikap pembicara saat bertutur, kecuali penggunaan dalam reported speech di mana modal sudah tidak memperlihatkan sikap pembicara, namun sikap dari subjek kalimat. Hal ini berbeda dengan modal sekunder dinamik, yakni could1 dan would2, yang dapat bermakna lampau sebagai karakteristik yang melekati subjek di waktu lampau.
173
Penggunaan modal primer dan sekunder dengan infleksi perfektif have dan infleksi progresif pada kata kerja utama menunjukkan bahwa modal tersebut merupakan modal epistemik. Modal yang berfungsi sebagai modal deontik dan modal dinamik hanya muncul dalam konstruksi tanpa infleksi perfektif dan progresif pada kata kerja utama. Adapun hubungan modal dengan diatesis atau infleksi pasif, hanya modal dinamik yang tidak menunjukkan kenetralan diatesis karena modal dinamik memiliki orientasi terhadap subjek kalimat. Padanan modal dalam bahasa Indonesia adalah unsur kebahasaan atau leksikal yang mengungkapkan makna modalitas yang sama dengan apa yang diungkapkan modal bahasa Inggris. Pertama, padanan dari setiap modal epistemik dapat dilihat dalam tabel berikut. Degree Proposition being false
Epistemic modal can3 could3 might1
Padanan tak mungkin mungkin saja
may1
mungkin barangkali mungkin barangkali akan bakal agaknya tampaknya sepertinya kelihatannya akan bakal agaknya tampaknya sepertinya kelihatannya seharusnya pasti
would1
will1
Proposition being true
should1 & ought to1 must1
mustahil bisa saja dapat saja bisa jadi boleh jadi bisa jadi boleh jadi bakalan rasanya nampaknya kayaknya bakalan rasanya nampaknya kayaknya semestinya tentu
174
Dalam tabel di atas, pemakaian can3 menunjukkan sikap pembicara yang paling ragu terhadap kebenaran proposisi. Hal ini karena can3 hanya muncul dalam bentuk yang dinegasikan yang berarti menegasikan makna ‘kemungkinan’, kemudian diikuti oleh penggunaan could3 dan might1, may1, would1, will1, should1, ought to1, dan must1, yang menunjukkan sikap yang paling yakin akan kebenaran proposisi. Makna would1 yang lebih lemah dari will1 dapat dipadankan dengan padanan modal may1 yaitu kata mungkin, barangkali, bisa jadi, dan boleh jadi. Padanan dari setiap modal deontik dapat dilihat dalam tabel berikut. Degree Event being nonactual
Event being actual
Deontic modal might2 could2 may2
Padanan bolehkah? bisakah? boleh
can2 should2 & ought to2
bisa perlu patut
must2
harus mesti wajib akan
shall1
dapatkah? diizinkan diperbolehkan diperkenankan dapat seharusnya semestinya sebaiknya diharuskan diwajibkan harus
Sebagai modal deontik, modal could2 dan might2 memperlihatkan sikap pembicara yang paling lemah terhadap aktualisasi peristiwa yang dihadapinya. Dalam pemakaiaannya, kedua modal tersebut hanya muncul dalam kalimat interogatif sebagai tindak tutur permintaan izin yang sopan. Pemakaian modal shall1 menunjukkan pengaruh pembicara yang paling besar terhadap aktualisasi peristiwa, karena pembicara yang menggunakan shall1, selain memerintahkan subjek sebagai pelaku, juga berjanji bahwa peristiwa akan teraktualisasi.
175
Modal dinamik dalam bahasa Inggris dapat dilihat padanannya dalam bahasa Indonesia dalam tabel berikut. Degree Event being nonactual
Dinamic modal could1 can1 would2
Event being actual
will2
Padanan bisa dapat bisa mau ingin mau ingin
sanggup mampu dapat bersikeras biasanya bersikeras
Modal dinamik, seperti yang telah dikatakan Palmer, menjelaskan karakteristik yang inheren dari subjek dan menjelaskan sikap pembicara dalam melihat subjek sebagai pelaku aktualisasi peristiwa. Modal dinamik dapat bermakna lampau untuk menggambarkan karakteristik subjek di waktu lampau, sehingga modal tersebut dapat berciri faktif atau aktual. Dengan demikian, could1 dapat dipadankan dengan mampu dan sanggup yang berciri faktif, dan would2 dapat dipadankan dengan biasanya yang juga faktif, ketika kedua modal tersebut digunakan sebagai bentuk lampau dari can1 dan will2.
5.2 Saran Setelah mengkaji hasil dari penelitian ini, peneliti menyadari bahwa kajian ini mempunyai beberapa keterbatasan. Dalam bahasa Inggris, sistem modalitas tidak hanya diwujudkan dengan penggunaan kata kerja bantu modal atau modal. Beragam alat leksikal sebagai pengungkap modalitas bahasa Inggris yang lebih menyeluruh perlu dilihat dan dilakukan penelitian atasnya dengan dibandingkan dengan penerjemahannya dalam bahasa Indonesia.
176
Permasalahan lain adalah, pengungkap modal bahasa Inggris tidak bisa lepas dari sistem kala dan aspek bahasa tersebut yang sebagian besar diungkapkan secara gramatikal. Penelitian yang lebih tuntas mengenai relasi kedua topik semantis tersebut dan padanannya sangat perlu untuk dilakukan. Hal ini karena sistem kala dan aspek bahasa Indonesia sebagian besar tidak diungkapkan dengan cara yang sama, sehingga tentu akan timbul permasalahan ketika memadankan pengungkap modalitas bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Selain itu, kajian mengenai modal dan modalitas sebagai bagian dari sistem semantis dapat diperluas ke tataran-tataran lain yang lebih luas dalam suatu bahasa. Penggunaan penanda modalitas sebagai penggambaran sikap pembicara yang memperlihatkan ciri performatif erat kaitannya dengan fungsi komunikasi yaitu aspek pragmatik suatu bahasa. Penelitian yang lebih jauh mengenai hubungan penggunaan modal bahasa Inggris dengan aspek pragmatiknya tentu sangat perlu dilakukan. Hal ini mengingat pentingnya kedudukan modalitas dalam bahasa termasuk bahasa Inggris dan bagi pembelajar bahasa Inggris berbahasa Indonesia. Dengan dijelaskannya permasalahan-permasalahan tersebut dalam penelitian lanjutan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam melihat fenomena kebahasaan dan memajukan bidang linguistik di Indonesia.