BAB IV UPAYA PENGEMBANGAN POTENSI PIKIR MANUSIA MENURUT Q.S. AL-BAQARAH : 242 DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
A. Peran Pendidikan Islam Dalam Pengembangan Potensi Pikir Manusia Kesadaran manusia secara teknis dan menyeluruh mengenai peran ilmu pengetahuan
dalam
meningkatkan
kesejahteraan
manusia
berkelanjutan,
merupakan fenomena baru yang khas di abad modern ini. Pendidikan sebagai masalah yang peka, canggih dan penuh resiko, menempatkan manusia sebagai sesuatu yang penuh kemungkinan-kemungkinan pengembangan. Termasuk kemungkinan pengembangan kesadaran manusia secara teknis dan upaya pengembangan sumber daya manusia untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Strategi pendidikan yang perlu disusun pada saat tertentu akan tergantung bukan saja pada keadaan awal yang telah dicapai, sasara-sasaran yang ingin diupayakan pada akhir periode tertentu. Tetapi juga pandangan yang dianut mengenai peran manusia dalam keseluruhan kegiatan pembangunan. Bilamana manusia dilihat hanya berperan sebagai faktor produksi belaka, maka strategi pendidikan itu akan mengutamakan pendidikan teknis ketrampilan agar dapat bekerjasama dengan unsur-unsur non manusia, dalam rangka menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi bilamana manusia dilihat secara holistik, maka jelas strategi pendidikan perlu menyesuaikan dengan strategi yang lebih luas. Dalam perspektif Islam, manusia bukanlah makhluk yang pantas dimainkan oleh nasib atau kekuatan buta yang berada di luar dirinya. Manusia punya pilihan dan kemauan bebas dalam batas-batas kemanusiaannya. Ini merupakan suatu yang inheren dalam konstitusi fitrahnya. Sebagai khalifah Allah yang terhormat, manusia diberi amanah di muka bumi. Wujud amanah itu adalah memimpin,
mengelola
dan
memakmurkan
51
bumi
dengan
melaksanakan
52
syari’atnya. Sehingga inti tugas manusia di bumi tersebut pada dasarnya “realisasi” atau “aktualisasi” dari prinsip tauhid itu sendiri, yang merupakan landasan eksistensial manusia. Dalam mewujudkan misi manusia di bumi, Allah juga memberikan kecedasan (yang khas manusiawi) dan sikap hidup yang bebas. Kecerdasan ini benar-benar manusiawi dan tidak terdapat pada makhluk lain, meskipun banyak binatang yang dianggap seperti manusia. Begitu juga dengan sikap bebas manusia, yang juga tidak terdapat pada makhluk-makhluk lainnya, namun sikap bebas manusia tersebut tetap dibatasi norma-norma Islam, dan untuk mengarahkan sikap bebas tersebut diupayakan melalui pendidikan, walaupun sesederhana apapun upaya pendidikan melalui pendidikan tetap memiliki peran penting dalam membentuk sebuah peradaban manusia.1 Pendidikan adalah suatu “developmental intervention” yang bertujuan agar seseorang dapat berkembang secara baik dan mengoptimalkan seluruh potensinya. Optimalisasi ini tidak semata-mata berarti peningkatan kecerdasan atau pembentukan manusia serba bisa, tetapi suatu usaha untuk membuat seseorang mengetahui dan menyadari kelebihan dan keterbatasannya, sehingga dapat mengembangkan kelebihan yang dimiliki. Lebih jauh dikatakan oleh Fuad Hasan, bahwa : Tujuan pendidikan bukanlah sekedar membuat seseorang mampu dan mahir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi atau terampil dan tangkas dalam suatu kejuruan dan keahlian. Labih dari sekedar penguasaan ilmu (science) yang bisa menunjang prestasi manusia, pendidikan seharusnyapun meliputi usaha demi terbentuknya fungsi nurani (conscience) sebagai pengatur akhlak dan adab.2 Tugas membangun manusia yang beramal dan berakhlak serta beradab itu diliput oleh ikhtiar pendidikan. Pendidikanlah yang bertujuan membangun seutuhnya, sebagai pribadi yang mandiri dan sekaligus sebagai anggota masyarakat yang bermartabat. 1
Suharsono, Melejitkan IQ, IE, dan IS, Inisiasi Press, Jakarta, 2002, hlm. 54. Fuad Hasan, Dimensi Budaya dan Pengembangan Sumber Daya Manusia , PN Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 212. 2
53
Dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik, sehingga sistem pendidikan dirancang sesuai dengan pencerminan manusia, bukan sekedar manusia, tetapi manusia yang universal, sempurna. Fokus perhatiannya tidak terbatas pada satu aspek saja, tetapi menyeluruh. Pendidikan Islam tidak mengkhususkan perhatiannya pada aspek rohani, tidak pula membatasi usahanya pada pembinaan akal. Begitu juga tidak menjadikan cita-citanya yang utama pada latihan fisik bagi penguatan jasmani. Pada hakekatnya pendidikan Islam mementingkan seluruh aspek tersebut dan ingin mewujudkan segala macam pendidikan secara utuh, karena pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya. Yaitu akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya serta akhlak dan ketrampilannya. Itulah keunikan penddidikan Islam dalam usaha pengembangan sumber daya manusia, dengan kesempurnaan dan kelengkapan yang menyeluruh sebagi ciri khas Islam.
B. Upaya Pengembangan Potensi Pikir Manusia Menurut Q.S. Al-Baqarah : 242 dalam Perspektif Pendidikan Islam Islam adalah agama yang menghormati akal. Ia menjadikan akal sebagai syarat taklif dan dasar pemberian pahala dan siksa. Syari’at Islam sendiri hanya dapat dilaksanakan, diamalkan dengan adanya pemahaman terhadapnya. Disinilah tugas akal bekerja sesuai dengan fungsinya sebagai perangkat untuk berfikir. “Akal adalah sebagai sumber ilmu pengetahuan, tempat tertib dan sendisendinya. Dalam ilmu pengetahuan itu berlaku pada akal, sebagaimana berlakunya buah-buahan dari pohon, sinar dari matahari dan penglihatan dari
54
mata”.3 Maka dari itu, “pendidikan akal hendaknya memperhatikan daya akal dan melatihnya, agar dapat digunakan untuk kebaikan”.4 Manusia yang mempunyai kepribadian utuh adalah manusia yang terpelajar, manusia yang mempelajari ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan adalah salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai jalan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk. Juga sebagai jalan untuk mengatur masalahmasalah keduniaan dengan segala aktivitasnya. Untuk itu manusia dapat mengerahkan segenap potensi pikirnya untuk menangkap fenomena alam sekitarnya. Akal dan kecerdasan kita, dapat diibaratkan dengan mata, yang berfungsi untuk melihat. Meskipun mata kita cukup sehat, tetapi tanpa cahaya yang menerangi obyek-obyek yang hendak kita lihat, maka mustahil kita akan mampu melihatnya. Cahaya itu adalah Al Qur’an, yang dengannya segala sesuatu itu dapat dilihat dengan jelas. Melalui Al Qur’an inilah kita dapat mengamati berbagai aspek kehidupan, fenomena alam atau bahkan diri kita sendiri. Lebih dari itu, Al Qur’an juga memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dan memikirkan hal-hal yang bersifat intelektual.5 Jika proses penajaman kecerdasan kita ini dapat dilakukan dengan cermat, tekun,dan sabar, minat untuk mendapatkan kebenaran serta dedikasi yang luhur, maka muncullah kepekaan yang luar biasa. Dalam kesadaran kita seolah-olah terdapat suatu radar yang sangat peka yang dapat menangkap sesuatu yang lembut (substil), yang terlewatkan oleh tingkat pemahaman umum (common platform). Kreatifitas itu muncul ketika adanya hal-hal yang lembut tersebut diolah kembali oleh kecerdasan yang sangat terlatih. Itulah maka karya-karya kretif yang muncul
3
Zainuddin, dkk., Seluk-beluk Pendidikan dari Al Ghozali, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm.
4
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Ruhama, Jakarta, 1994,
5
Suharsono, op.cit, hlm. 149.
118. hlm.7.
55
senantiasa berkaitan erat dengan pergulatan kerja atau perjuangan yang tidak mengenal lelah.6 Untuk mengembangkan potensi pikir manusia, diperoleh melalui pendidikan akal, yang mana pendidikan akal merupakan suatu keharusan dalam Islam sebagaimana dimuliakannya pikiran manusia. Adapun petunjuk pendidikan akal dalam Islam antara lain menyebutkan, bahwa dalam pelaksanaannya ditanamkan sikap untuk mengikuti persangkaan dan perkiraan yang berkaitan dengan pikiran. Karena akal memiliki hak untuk mengkritik dengan berani dan merasa bebas, maka Islam menganjurkan agar memanfaatkannya sebagai wahana untuk mengungkapkan kebenaran. Di samping itu tidak memuja akal secara berlebihan.meski dengan modal akal, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat serta berbagai karya canggih diciptakan manusia, namun hendaknya tidak sampai membuahkan perasaan yang menipiskan rasa iman. Akhirnya lupa kepada Allah yang telah menciptakan manusia dan akalnya. Pendidikan akal tidak sekedar mengetahui dan memikirkan kepentingan intelektual semata, tetapi merupakan suatu cara mengenal Allah. Beribadah kepada-Nya dan memperoleh kebahagiaan. Islam beranggapan bahwa manusia memiliki fitrah dan sekaligus memandang bahwa pendidikan adalah sesuatu yang penting bagi realisasi potensipotensi dasar manusiawi tersebut dalam kehidupan di dunia. Al Qur’an memberikan konsep yang sangat mendasar dan integratif berkenaan dengan pendidikan, sebagaimana firman Allah berikut :
6
Ibid.
56
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.7 (Q.S. Al-Baqoroh :129) Dalam perspektif ayat tersebut, ada sejumlah aspek penting pendidikan yang harus diperhatikan secara cermat, yaitu : 1. Ta’lim al-Ayat (membacakan ayat-ayat atau tanda-tanda Allah) Ada dua hal yang harus dipahami dalam hal ini, yakni ayat-ayat Qauliyah (tekstual, Al-Qur’an) dengan proses pemahamannya melalui “Al Ma’rifatu bi at-Taufiqiyah”, yaitu proses pencarian pengetahuan yang didasarkan pada petunjuk wahyu. Sedangkan ayat-ayat Allah dan alam semesta yang secara tekstual tidak disebutkan dalam Al Qur’an maupun AlSunah, dalam konteks ini disebut ayat Qauniyah, seperti : alam semesta atau realitas itu sendiri. Proses pemahaman ayat ini disebut “Al Ma’rifatu bi al Muktasabah”, yaitu proses pencarian pengetahuan melalui usaha-usaha tertentu untuk memahami ayat-ayat Qauniyah.8 Firman Allah dalam Al Qur’an :
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, supaya kamu bersyukur. 9 ( Q.S. An-Nahl : 78)
7
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara dan penafsir Al Qur’an, Departemen Agama RI., Jakarta, 1989, hlm. 33. 8 Suharsono, Mencerdaskan Anak, Inisiasi Press, jakarta, 2000, hlm. 81-83. 9 Soenarjo, op.cit, hlm. 413.
57
Ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia supaya manusia mendayagunakan penglihatan, pendengaran dan hatinya untuk mengadakan pengamatan, penelitian, perenungan dan pemikiran atas ayat-ayat Allah. Obyek pengamatan dimulai dari hal yang sederhana dan mudah dipikirkan, yaitu apa yang dapat dilihat dengan mata kepala. Seperti, langit dan bumi. Apa yang terdapat di kolong langit, bintang-bintangnya yang dapat dipandang, matahari dengan gerakan dan rotasinya. Bumi dapat dilihat gunung-gunungnya, sungai, lautan, binatang dan tumbuhannya. Cuaca dengan segala keadaannya, hujan, angin, kilat dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut merupakan sunnatullah sebagai ayat-ayat kauniyah yang menjadi tanda-tanda kebesaran Allah. Di samping itu, rahasia yang terkandung dalam tubuh manusia sendiri, merupakan misteri yang harus dipikirkan oleh akal manusia, agar manusia dapat lebih mengenal dirinya. Penelitian dan penyelidikan manusia terhadap semua fenomena alam akan menghasilkan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi manusia dan untuk mengungkapkan keagungan serta kebesaran kekuasaan Allah. Dikatakan Al-Ghazali : Hasil dari tafakkur ialah ilmu pengetahuan, keadaan dan amal. Ilmu merupakan buah yang terutama, bila ilmu sudah masuk ke dalam hati maka berubahlah keadaan hati, dan bila keadaan hati sudah berubah maka berubah pula keadaan amal perbuatan anggota badan. Jadi amal itu tergantung pada keadaan, dan keadaan itu bergantung pada ilmu, sedang ilmu bergantung pada fakkur. Kesimpulannya tafakkur yang menjadi prinsip-prinsip dari segala kebaikan.10 Dengan demikian, akal pikiran tidak dapat menjadi cerdas dan berguna, selama akal manusia tidak diperkenalkan, digunakan, bahkan ditantang dengan berbagai ilmu pengetahuan. Antara berfikir, ilmu pengetahuan dan amal perbuatan adalah adanya saling keterkaitan, ketergantungan dan saling melengkapi sehingga dapat mencapai kebaikan
58
yang sempurna. Pendidikan akal mengarahkan potensi pikir untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebabnya dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah, serta menemukan ayat-ayat-Nya yang mengandung nilainilai keimanan. 2. Ta’lim al-Kitab wa al-Hikmah. Pada tataran kedua, ayat yang berkenaan dengan pendidikan tersebut adalah mengajarkan al-Kitab (Al Qur’an) dan al-Hikmah. Apabila kita merujuk pada ayat-ayat Al Qur’an tentang dirinya sendiri, kita akan memperoleh penjelasan yang memadai, bahwa Al Qur’an mengangkat tematema penting berkenaan dengan hidup manusia itu sendiri, kemungkinankemungkinan penggambaran alam pikiran manusia dan juga jawaban-jawaban terhadap berbagai persoalan yang tidak terjangkau pengetahuan rasional. Di samping itu Al Qur’an juga menyajikan sistem dan metode logis dan intelektual dalam memberikan jawaban atau penjelasan tersebut, di samping tentu saja redaksi ayat-ayat tertentu yang bersifat imperatif. Sedangkan istilah al-hikmah, Suhrawardi menyebutnya dengan alhikmah al-‘atiqah (philosophia priscorium), yang tak lain merupakan hasil ‘perkawinan’ antara latihan intelektual (melalui filsafat) dan pemurnian hati (melalui metode sufistik). Di sini, seperti ditegaskan oleh Suhrawardi, bahwa setiap manusia itu memiliki apa yang disebut sebagai al-Khamirat al-azaliyah (fitrah, nurani) yang bisa aktual melalui latihan-latihan intelektual dan spiritual sekaligus.11 3. Tazkiyah an-Nafs (penyucian jiwa) Salah satu misi Rasulullah, berkenaan dengan pendidikan yang penting adalah tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Misi tazkiyah ini mengandung makna, bahwa manusia pada hakekatnya lahir dalam keadaan suci, sebagaimana telah disabdakan sendiri oleh Rasulullah. Tetapi, karena
10 11
Zainuddin, dkk, op cit, hlm. 121. Suharsono, op.cit, hlm. 85-86.
59
pergumulannya di dunia yang profan ini, maka manusia menjadi tidak suci lagi. Dorongan nafsu dan godaan syetan, telah membuat manusia berbuat dusta, kezaliman dan dosa. Karena begitu kentalnya kotoran jiwa, pikiran dan perilakunya, sehingga manusia tidak lagi mengetahui “jati dirinya” (fitrah) yang murni dan primordial. Kenyataannya misi tazkiyah yang diemban Rasulullah, dilihat dari perspektif nubuwah (kenabian), yang utama dan pertama-tama adalah untuk mengingatkan kembali terhadap fitrah diri manusia itu sendiri, yakni kesadaran dan kesaksiannya berkenaan dengan Tuhan (Rabb). Ketika ayatayat ini turun, masyarakat Arab di mana Rasulullah dibesarkan, berada pada kemunduran manusiawi yang paling gelap (jahiliyah). Kejahatan dan kekafiran merajalela, sementara warisan ajaran Ibrahim yang hanif, tak ada lagi bekas-bekasnya di kawasan itu. Begitu juga halnya kehidupan masyarakat yang ada di kawasan lainnya. Karena itu dalam serangkaian misi kerasulan dan ayat-ayat berikutnya turun, membentuk orientasi Tauhid, di mana manusia disucikan dari kesyirikan dan kezaliman, baik berkenaan dengan perasaan, pikiran, maupun amal perbuatan. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa, meskipun manusia pada awalnya memiliki fitrah, akan tetapi kelahirannya di dunia sebenarnya telah berarti bersentuhan dengan dimensi-dimensi dunia yang profan dan tidak suci. Karena itulah maka tugas pendidikan tidak saja berkenaan dengan pengetahuan dan hikmah, tetapi juga perlu untuk menyucikan diri manusia dari berbagai pengaruh yang akan menghambat mereka mendapatkan inputinput kitab suci.12 Sedangkan aspek pendidikan ‘aqliyah, menurut al-Ghazali, dapat dilaksanakan dengan cara : 1. Mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya dan menguasainya secara intens dan akurat. 12
Suharsono, op.cit., hlm. 87.
60
2. Mengadakan pengamatan, penelitian dan tafakkur terhadap alam semesta dengan berbagai macam kegiatan, baik oleh anak maupun orang dewasa. 3. Mengamalkan ssegala ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan untuk pengabdian (kepentingan peribadatan) pada “khaliqul ‘alam”.13 Karena perkembangan pemikiran manusia yang bekerjasama dengan kalbunya senantiasa berubah untuk mencari kekuatan yang lebih di balik fenomena alam, maka pendidikan kalbu, sebagai pemupuk keimanan pemenuhannya harus pula diutamakan, terutama akidah tauhid atau mempercayai ke-Esaan, sebab, akan hadir secara sempurna dalam jiwa “perasaan ketuhaan” yang berperan sebagai fondamen dalam berbagai aspek kehidupan. Akidah tauhid yang tertanam dalam jiwa, akan terpengaruh oleh suatu pengakuan tentang adanya kekuasaan yang menguasainya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga timbul rasa takut untuk membuat tindakan yang dilarang Allah. Manusia akan terdorong untuk berbuat baik. Semakin matang perasaan ketuhanannya, semakin baik pula perilakunya. Al-Ghazali memberikan petunjuk mengenai cara pendidikan kalbu, sebagai pemupuk keimanan, dengan berangsur-angsur membaca ayat-ayat Allah, menghafalnya. Mengkaji untuk memperoleh pemahaman, mempercayai dan membenarkannya, kemudian tertanam dengan kuat pada jiwanya. Setelah dewasa, akan mempengaruhi perilaku yang menyangkut pola pikir, pola sikap dan pola tindak lahir serta pandangan hidup. Pendidikan keimanan yang bertujuan meningkatkan jiwa dan kesetiaan kepada Allah SWT semata dan melaksanakan akhlak islami yang diteladani dari Nabi SAW dengan berdasarkan pada cita-cita ideal pada Al Qur’an, memiliki nilai aplikatif dengan manifestasi amal perbuatan. Yaitu dengan menjadikan hidup dan kehidupan di dunia ini sebagai ibadah, dengan 13
Zainuddin, dkk., op.cit.
61
bertaqwa dan berakhlak mulia dalam rangka mendapatkan hidayah dan ridla dari Allah. C. Kesatuan Pendidikan ‘Aqliyah (Akal) dan Qalbiyah (kalbu) Sesuai dengan konsep manusia yang disebutkan pada bab sebelumnya, yaitu pada Bab II, Al Qur’an berbicara kepada akal dan hati manusia. Kepada akal diperintahkan untuk berfikir, selain melalui ayat-ayat kosmos, juga melalui ajaran-ajaran yang argumentasinya terdapat dalam Al Qur’an. Kepada hati, Al Qur’an berbicara selain melalui ibadah juga melalui ajaran-ajaran moral yang terdapat dalam Hadis. Ajaran yang dibawa Al Qur’an mempunyai corak sosial yang jelas, yang penting diantaranya adalah kemurahan hati dan kesediaaan menolong orang, serta hormat dan berterima kasih kepada orang tua, sikap damai sikap tidak kikir, tidak melakukan zina, tidak bersumpah palsu, tidak tuli dan buta terhadap teguranteguran kepada kebaikan, menjadi teladan yang baik bagi manusia dan cinta sesama manusia. Karena itu, peradaban Islam tidaklah berdasar hanya kepada penalaran akal, tetapi juga pada hati nurani dengan budi pekerti luhur dan akhlak mulia.14 Pada masa-masa seperti sekarang ini, hati nurani yang diperlukan oleh manusia modern adalah sama dengan agama. Maka untuk penyucian hati nurani pendidikan agama yang baik dan efektif sangat diperlukan. Jelaslah kiranya bahwa pendidikan yang diperlukan dunia modern sekarang ini adalah pendidikan yang didasarkan pada konsep manusia sebagaimana diajarkan Al-Qur’an dan Hadis : Konsep manusia yang mempunyai daya pikir yang disebut akal dan daya rasa yang disebut kalbu. Akal dikembangkan melalui pendidikan agama. Dalam sistem pendidikan serupa ini pendidikan agama mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dengan pendidikan sains. Keduanya merupakan bagian yang esensial dan integral dari
14
Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran), Penerbit Mizan, Bandung, 1995, hlm. 38.
62
sistem pendidikan umat. Tidak tepat kalau di dalam pendidikan agama menomorduakan pendidikan sains, dan tidak tepat pula kalau pendidikan sains dianakemaskan dan pendidikan agama dianaktirikan. Keduanya harus dipandang sebagai anak emas.15 Pendidikan Islam yang jangkauan ruang lingkupnya lengkap dan menyeluruh,
merupakan
alternatif
yang
paling
mungkin
dalam
usaha
pengembangan potensi pikir manusia. Karena pendidikan Islam menyangkut pribadi manusia secara utuh dalam mempersiapkan manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Dengan corak pendidikan yang diinginkan Islam untuk dapat membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan”.16 Untuk Indonesia dengan jumlah penganut Islam yang terbesar di seluruh dunia, maka peranan pendidikan yang bercorak Islam harus ditempatkan pada posisi untuk kepentingan bangsa secara menyeluruh. Dengan menjadikan seluruh kekuatan dan jalur pendidikan Islam di Indonesia diarahkan untuk lebih mewarnai budaya bangsa ini dengan nilai-nilai Islam. Wawasan keislaman haruslah senantiasa dikaitkan dengan wawasa keindonesiaan. Doktrin universalisme Islam akan melepaskan Indonesia dari budaya nasionalisme yang sempit. Sedangkan wawasan keindonesiaan akan menyadarkan Islam agar tetap berubah dari waktu-kewaktu. Agar segala perubahan yang sedang dan akan terjadi tetap dalam kendali moral, maka Islam punya peran sentral dalam pembangunan bangsa. Konsep manusia yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya sama dengan konsep yang diajarkan Islam. Dalam Masyarakat kita terdapat konsep cipta, rasa dan karsa. Cipta adalah akal dan rasa adalah kalbu. Maka dalam sistem pendidikan nasional kita, pendidikan agama perlu mendapat tempat yang sama pentingnya dengan pendidikan sains, sehingga tujuan pembangunan 15 16
hlm. 154.
Ibid., hlm. 42. A. Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi inteletualisme Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1993,
63
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan Indonesia seluruhnya dapat tercapai, dan terbentuklah pula sistem pendidikan yang utuh dan menyeluruh.