BAB IV ESTETIKA BATIK TRADISI di DESA GIRILOYO, WUKIRSARI, BANTUL, YOGYAKARTA
A. Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta 1. Munculnya Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta Wilayah Yogyakarta berkaitan dengan sejarah kerajaan besar Islam di abad ke-16 yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa. Mataram Islam di Yogayakarta terkenal dengan nama Alas Mentaok yang saat ini berada di Kotagede Yogyakarta. Alas Mentaok merupakan sebuah pusat Kesultanan Mataram di lereng selatan Gunung Merapi. Alas ini berupa sebuah hutan, sebagai hadiah sayembara dari Sultan Pajang untuk Ki Ageng Pemanahan. Panggilan lain Ki Ageng Pemanahan yaitu Ki Gede Mataram, maka dari itu Alas Mentaok disebut sebagai Bumi Mataram (Abimanyu, 2015 : 13). Daliman (2012 : 23) dalam bukunya dijelaskan kerajaan Mataram Islam berasal dari sayembara Sultan Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang sebagai pemberontak. Sayembara terjadi karena adanya perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak. Meninggalnya pendiri kerajaan Demak yaitu Sultan Trenggono (Raden Patah) dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah atau Sultan Ngabdil Suryangalam membuat Arya Penangsang merasa Kerajaan Demak adalah miliknya. Wasiat berisi kerajaan Demak diberikan Raden Kikin (Pangeran Sekar Seda Lepen) ayah Arya Penangsang yang dibunuh oleh Pangeran Mukmin atau Pangeran Prawata (Putera Sulung Pangeran Trenggono). Arya Penangsang membunuh Pangeran Prawata untuk membalas dendam serta merebut tahta, Arya 47
48 Penangsang menjadi Adipati Demak. Kerajaan Demak dipindah ke Pajang dan menjadi Kerajaan Pajang dibawah pimpinan Sultan Hadiwijaya sebagai mantu dari Sultan Trenggono. Tahun 1558 Sultan Hadiwijaya memberikan wilayahnya sebagai hadiah. Ki Panjawi mendapat wilayah Pati dan Ki Ageng Pemanahan mendapat wilayah kurang subur dan berupa Alas yaitu Mataram atau Mentaok. Tahun 1577 Ki Ageng Pemanahan mulai membabat Alas Mentaok dan membangun sebuah kadipaten yang maju bernama Mataram. Tahun 1584 Ki Ageng Pemanahan meninggal sehingga Kerajaan Mataram diwariskan kepada putranya bernama Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati). Bumi Mataram masih sebagai kadipaten dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang. Kekuasaan Pajang diberikan kepada putera mahkota Pageran Benawa setelah Sultan Hadiwijaya meninggal. Arya Pengiri berusaha merebut kekuasaan dengan membunuh Pangeran Benawa. Sutawijaya berhasil merebut Pajang dari Arya Pengiri dan merubah nama menjadi Mataram sebagai pertanda kekuasaannya(Abimanyu, 2015 : 18-20). a. Panembahan senopati Panembahan Senopati merupakan masa pertama Kerajaan Mataram Islam berdiri. Abimanyu (2015 : 28-31) menjelaskan masa pemerintahan Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama dari tahun 1588 hingga 1601. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati (Panembahan Seda ing Krapyak) sebagai putra ke-8 dipilih menjadi penerus Mataram oleh Panembahan Senopati. Pemberontakan dari saudara Panembahan Hanyokrowati terjadi karena tidak terima tahtanya sebagai Sultan kedua Mataram. Pemberontakan pertama oleh Pangeran Puger (Raden Mas Kentol Kejuron) yang merupakan putra kedua dari
49 Panembahan Senopati. Tahun 1605 Pangeran Puger dibuang ke Kudus dan pada tahun 1627 putra Pangeran Puger diangkat sebagai Adipati Pati (Adipati Pragola II). Pemberontakan kedua oleh Pangeran Jayaraga setelah dua tahun pemberontakan Pangeran Puger selesai. Sultan Mataram kedua Panembahan Hanyokrowati memerintah dari tahun 1601-1613 dengan gelar Anumerta Panembahan Seda ing Krapyak dengan arti “Baginda yang wafat di Krapyak” (Abimanyu, 2015 : 44-49). Masa ketiga tahun 1613 kekuasaan Mataram Islam berada dibawah pimpinan Raden Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusuma. Mataram Islam memiliki keyakinan jika dewa-raja, yaitu raja disamakan derajadnya dengan dewa. Tidak ada kekuasaan tertinggi kecuali raja, maka sultan atau raja digambarkan dengan sifat keramat, kebijaksanaan yang terpancar dari aura wajah dan kewibawaan. Tahun 1645, sebelum meninggal Sultan Agung sudah membuat Mataram Islam mencapai kejayaan dan membangun Astana Imogiri sebagai pusat makam keluarga raja Mataram (Abimanyu, 2015 : 53). Tahun 1752 telah terjadi pemberontakan Mangkubumi di provinsiprovinsi Pesisir mulai dari Banten sampai Madura. Terjadi perpecahan Mangkubumi dengan Susuhunan Pakubuwana III kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk membuat perdamaian dengan menghentikan perang saudara sebab membuat kerusakan dan penderitaan rakyat. “Perjanjian Giyanti” atau “Pilihan Negari” antara VOC, Pakubuwono III dan Mangkubumi tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi untuk memecah Mataram menjadi dua kerajaan yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Ditahun yang sama
50 Mangkubumi menjadi sultan atas Kesultanan Yogyakarta atau dikenal gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I (Suyami, 2008 : 24-25). Mataram terpecah setelah perjanjian Giyanti tahun 1755 perbedaan dibuat oleh Kesultanan Yogyakarta dengan Kesunanan Surakarta baik seni wayang, seni tari, seni karawitan, seni sastra dan seni batik bagi kaum wanita. Buku “Sekar Jagad Ngayogyakarta Hadiningrad” dari Mary J.E dan Soedarmadji J.H. Dimas (1990 : 13-21) menjelaskan Sri Sultan Hamengkubuwana I dalam memerintah Yogyakarta berniat untuk menjadikan kerajaan yang memiliki otoritas baru terhadap kebudayaan Jawa-Mataram. Usaha ini dilihat dari upaya menciptakan kesenian tari Jawa. Hamengkubuwono I juga menghidupkan kesenian wayang wong. Pertunjukan penuh gemerlap dan kemegahan yang melibatkan penari laki-laki dan perempuan. Wayang kulit dibuat menggunakan bahan dari kulit kerbau kudisan agar tidak terdapat lemak. Sama halnya dengan membuat kain batik menggunakan bahan mori cap sen biru atau merah untuk menghasilkan batik berkualitas baik. Seni batik mulai populer saat Sultan Agung memakai batik dan lurik yang sekarang menjadi bagian tradisi berbusana di Jawa. Awalnya orang sudah merasa puas jika mengenakan batik hasil buatan dari istri atau ibunya. Hal tersebut diartikan bukan siapa yang membuat melainkan sebagai simbol keinginan mengambil berkah pangestu dari pembuat kain (Mary, 1990 : 21). Tradisi berbusana batik di Jawa mulai dijumpai dalam upacara kebesaran kraton sehingga timbul beragam motif batik yang digunakan untuk kesempatan tertentu seperti pakaian upacara peringatan grebegan, syawalan, upacara pernikahan, upacara kematian, kelahiran dan pentas tari. Membatik juga mengandung
51 pernyataan kasih sayang, menjadi kebanggaan keluarga dan dapat dijadikan hadiah untuk anaknya yang akan menikah dari orang tua. Daerah pesisir kain batik sebagai penutup kapal layar tujuannya untuk menolak bala bila kapal berada ditengah lautan. Aturan untuk mengenakan batik sebagai pakaian kebesaran diresmikan tanggal 3 Mei 1927 oleh Sultan Hamengkubuwana VIII (Yusuf, 1991 : 3). Menurut pendapat GBRA Murywati Darmokusumo dalam buku “Sekar Jagad Ngayogyakarta Hadiningrad” (1990 : 31) bahwa dari perjanjian Giyanti batik-batik dari kraton Yogyakarta dan Surakarta mempunyai kekhasan dan keasrian
masing-masing
yang
dibedakan
berdasarkan
perwujudannya.
Kesultanan Yogyakarta masih mempertahankan pola dan motif Mataram. Ragam hias kawung diambil dari jubah relief-relief candi Hindu di Prambanan. Wulandari (2011 : 59) menjelaskan kesunanan Surakarta mulai berkembang dengan inovasi tapi tidak meninggalkan unsur-unsur motif yang masih sesuai pakem bersumber batik kesultanan Yogyakarta. Di Surakarta memiliki ragam hias buketan dengan pinggiran kembang, berlatar parang atau kawung, dan warna dasar putih. Perbedaan yang lain yaitu tata ragam hias batik Yogyakarta cenderung perpaduan berbagai ragam hias geometris dan non geometris berukuran besar dan Surakarta cenderung ragam hias geometris dan non geometris berukuran kecil. Segi warna batik Yogyakarta lebih terang dan bersih, warna hitam mendekati biru sedangkan Surakarta putih kecoklatan dan hitam mendekati kecoklat. Perbedaan lain pada warna babaran serta sogan antara batik Yogyakarta dan Surakarta. Ragam hias kain batik Yogyakarta memiliki makna simbolis lebih sedikit daripada Surakarta. Kedua daerah tersebut memiliki
52 sebutan nama motif batik yang sama namun berbeda pada bentuk visual seperti Sida Asih (Djoemena, 1990 : 20-23). Penggunaan batik di kraton Yogyakarta pada motif parang berbeda dengan di Surakarta yaitu ketika laki-laki dan perempuan berdampingan motif parang akan berbentuk huruf “V” yang melambangkan kemenangan. Membentuk huruf “V” terbalik apabila batik Surakarta dan Yogyakarta berdampingan. Perbedaan lain terdapat dalam wiron sebelah sisi di Yogyakarta diperlihatkan keluar, sedangkan Surakarta dimasukkan kedalam. Hal tersebut menjadi sebuah aturan yang menjadi pakem selain pembeda lain yaitu perwarnaan, jarak setiap motif serta ukuran. Motif Yogyakarta berkarakter kaku, besar-besar atau mblegar-mblegar, serta memiliki warna lebih maskulin daripada Surakarta. Simbol Yogyakarta memberikan motif khas Gurdo yang melambangkan kekuasaan 1). Wanita kraton memiliki kegiatan membatik sebagai sarana latihan olahraga untuk mencapai kesempurnaan (Mary, 1990 : 31). Menurut Ambar (2011 : 36) setelah memindahkan pusat kerajaan Mataram Islam dari Demak ke Mataram, raja sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelusuri tebing Pegunungan Seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris. Tempat tersebut menjadi inspirasi raja Mataram dalam membuat motif parang. Pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan raja dan keturunannya dilingkungan istana. Terjadinya perjanjian tersebut muncul wilayah-wilayah pembatik di Yogyakarta untuk memenuhi kebutuhan lingkungan kraton dan para bangsawan. Tahun 1813 terjadi perpecahan kembali di Mataram yaitu Pangeran
1)
Desi,Wawancara, 21/04/2016
53 Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas kadipaten Paku Alaman yang lepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Batik juga masuk dalam Pura Pakualaman terjadi saat adanya hubungan Pura Pakualaman dengan kraton Surakarta kemudian memadukan pola batik Yogyakarta dan pada warna dari Surakarta (Wulandari, 2011 : 55). Kerajinan melukis atau membatik berawal dari olahraga putri-putri kraton yang kemudian berkembang pesat diluar kraton. Menurut BRay Poeruoeboyo
2)
mengenai muncul dan keluarnya batik kraton Yogyakarta sejak
Sultan yang pertama. Kegiatan membatik difungsikan sebagai sarana olahraga putri-putri kraton. Batik keluar kraton dari abdidalem yang harus mengenakan kain batik saat melayani Sultan. Abdidalem membeli batik Giriloyo yang merupakan salah satu tempat membuat batik yang menyerupai batik kraton Yogyakarta. Menurut pendapat Pemerintahan Daerah Kabupaten Bantul (2010 : 12) pembatikan di daerah Yogyakarta benar dikenal sejak Kerajaan Mataram I masa pemerintahan Panembahan Senopati. Awal pembatikan terbatas hanya terdapat dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh para wanita pembantu ratu. Upacara resmi keluarga kraton baik pria atau wanita menggunakan busana batik dikombinasi lurik. Hal tersebut membuat rakyat yang berkunjung tertarik sehingga mengikuti untuk membuat batik tersebut. Muncul pengrajin yang tinggal dikota mengerjakan batik tulis dengan bekerja sama dengan pembatik didesa. Batik yang dibuat pengrajin kota sampai proses pewarnaan dan lorod sehingga menjadi kain batik siap dijual (Samsi, 2007 : 5). Berkembangnya batik diluar kraton tidak terlepas dari peran pedagang Arab dan
2)
BRay Poeruoeboyo, Guide Kraton Yogyakarta, Wawancara, 23/04/2016
54 Cina sehingga muncul kerjasama pengrajin dengan industri fashion lokal. Desa Giriloyo, kecamatan Imogiri, Bantul, Yogyakarta mulai berkembang batik dengan motif dan warna tradisi kraton.
2. Latar Belakang Batik di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta Desa Giriloyo merupakan salah satu dusun yang berada di kelurahan Wukirsari, kecamatan Imogiri, kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Letak desa Giriloyo secara geografis berbatasan dengan: a. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Cengkehan yang dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Karang Kulon. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Mangunan. d. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Cengkehan dan desa Mangunan (Umami, 2013 : 65). Wilayah desa Giriloyo sebagian besar berada di lereng perbukitan dan memiliki penduduk yang padat. Sebagian besar hutan ditumbuhi pohon jati, pohon mahoni, dan pohon sono yang dapat digunakan untuk bahan bangunan. Ladangladang yang ada digunakan untuk menanam palawija misalnya kacang tanah, ketela pohon, jagung, sirgunggu dan talas. Historis nama Giriloyo diambil dari keberadaan Syeh Abdul Karim (Sunan Cirebon) yang melakukan semedi sampai akhir hidup di bukit Makam raja-raja Imogiri. Giriloyo berasal dari dua kata yaitu Giri dan Loyo yang artinya Giri adalah Gunung atau Bukit yang berkaitan dengan tempat Syeh Abdul Karim bersemedi, sedangkan Loyo adalah wafat dikaitkan dengan tempat wafat dan pemakaman beliau (Umami, 2013 : 69).
55
Gambar 18. Pintu Masuk Desa Giriloyo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Asal usul batik tulis Giriloyo muncul bersama berdirinya makam raja-raja di Imogiri yang terletak di Bukit Merak tahun 1654. Pendapat Nur Ahmadi ketua dua paguyuban batik Giriloyo dalam skripsi Apridaniati (2012 : 68) menjelaskan bahwa “Giriloyo terletak di antara makam Raja Sultan Agung dan paman Raja yaitu Panembahan Juminah. Kurang lebih sejak abad ke 17 masyarakat Giriloyo dapat membatik, sebab terjadi komunikasi abdidalem dan keluarga kraton dengan warga sehingga diajarkan ketrampilan membatik agar warga Giriloyo dapat membatik”. Kerajinan membatik muncul sejak Sultan Agung menugaskan tenaga abdidalem untuk bertanggung jawab dalam memelihara dan menjaga makam. Abdidalem masih berhubungan dengan kraton dan memiliki keahlian maka untuk menghabiskan waktu dilakukan membatik dan mengajarkan keahlian tersebut pada warga desa. Berkembangnya waktu maka semakin banyak warga memiliki keahlian membatik dengan motif khas Kraton. Menurut Syamsudin
3)
kemunculannya batik berawal dari istri raja yang sudah tidak produktif untuk melakukan kegiatan membatik didaerahnya. Giriloyo merupakan kampung batik 3)
Syamsudin, Staff batik di Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 24/05/2016
56 yang sejak dari simbah-simbah sudah dapat mencanting tetapi dengan sistem buruh. Kain yang selesai dicanting nanti dijual kekota untuk proses pewarnaan sampai menjadi kain. Pasca gempa terdapat bantuan pelatihan dari LSM, warga diajarkan pewarnaan, pemasaran dan saat ini dapat berjalan sendiri
4)
. Awal
pembatikan di Giriloyo hanya mencanting dan mulai dapat memproses pewarnaan hingga kain kurang lebih tahun 2006 setelah gempa. Muncul motif-motif tradisional baik warna atau motif-motif klasik yang mereka kembangkan 5). Hal tersebut juga dijelaskan bahwa pengrajin batik bekerjasama dengan pembatik desa. Pembatik mengambil mori yang sudah digambar atau belum dari kota, selanjutnya melakukan proses klowong, ngrengreng, isen-isen, dan ditembok. Upah ditentukan pengusaha yang berdasarkan dua pertimbangan yaitu bekerja untuk mendapat penghasilan atau hanya mengisi waktu luang dari pekerjaan pokok bertani (Samsi, 2007 : 5). Punggawa kraton menilai batik yang dihasilkan memuaskan maka pesanan batik setengah jadi dari kraton untuk dibuat didesa Pajimatan akan mulai berdatangan (Arlita, 2014 : 62). Hal tersebut dapat diterima secara logika sebab batik berasal dari kraton dan raja-raja Mataram yang dimakamkan dalam wilayah tersebut maka secara otomatis terdapat abdidalem yang menjaga. Penjaga dapat dari orang luar atau warga sekitar makam. Semua orang berkeinginan memiliki pekerjaan sehingga dimanfaatkan untuk diajarkan sebuah ketrampilan yang tidak jauh berbeda dengan kraton. Teknologi yang ditransfer tersebut hanya membatik putihan tidak dapat dijual beli tetapi disetorkan dikota untuk menerima upah. Proses selanjutnya hanya boleh dilakukan oleh juragan yang terdapat dikota. 4) 5)
Susi, Wawancara, 25/04/2016 Giyanto, Staff Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 12/04/2016
57 Logikanya dilingkungan Giriloyo memang berawal dari orang-orang kraton yang turun ke desa. Awal produksi dibuat untuk kebutuhan kraton tetapi karena semakin banyak yang dapat membatik maka batik tersebut dijual belikan secara umum (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016). Pesanan batik dalam kraton semakin banyak sementara jumlah perajin batik yang ada di Pajimatan terbatas maka menugaskan tenaga-tenaga dari Giriloyo. Ngangsu kaweruh batik di Pajimatan penduduk Giriloyo menganggap sebagai keberuntungan sebelum mereka berusaha sendiri. Artinya kain yang akan dibatik dibawa pulang ke Giriloyo dikerjakan dirumah masing-masing, setelah selesai disetorkan ke Pajimatan sehingga nama Giriloyo lebih terkenal (Suyani dkk, 2008 : 25-26). Keuntungan lain permintaan batik yang meningkat, membuat kegiatan ini dijadikan sebagai pekerjaan sampingan yang mampu menambah pemasukan keluarga. Gempa tahun 2006 membuat perkembangan batik mengalami kemunduran sehingga berpengaruh bagi kondisi kerajinan membatik di Giriloyo. Terbentuk kelompok baru tahun 2007-an yang berdiri hingga saat ini memiliki 12 kelompok pembatik yaitu kelompok Sekar Arum, Sido Mukti, Sari Sumekar, Berkah Lestari, Sekar Kedhaton, Giri Indah, Sungging Tumpuk, Suka Maju, Sri Kuncoro, Sido Mulyo, Sungsang Batik dan Bima Sakti. Kelompok tertua yang ada di Giriloyo adalah Bima Sakti yang berdiri tahun 1982. Kelompok-kelompok pembatik dapat disatukan dengan membentuk Paguyuban Batik Tulis Girioyo yang diketuai oleh Amarullah. Pernyataan Larasari Suliantoro “bahwa kegiatan pembangkitan industri seni kerajinan batik tidak hanya berupa menghimpun para perajin batik di Giriloyo, Wukirsari saja tetapi juga berupaya menghimpun dukungan dari
58 berbagai pihak baik lembaga maupun perseorangan untuk menghidupkan kembali batik” (Masiswo, 2012 : 53). Kebangkitan sentra industri batik tulis Giriloyo setelah diresmikan desa Wukirsari sebagai Desa Wisata. Muncul bantuan-bantuan untuk membantu kesejahteraan pengrajin diantaranya Gazebo wisata oleh IRE (Institute for Research and Empowerment) tahun 2009, Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekarjagad, Pemerintah daerah Bantul, Pemerintah daerah DIY, serta adanya pelatihan-pelatihan proses pewarnaan oleh Balai Besar Kerajaan Batik. Tahun 2007 muncul kelompok batik baru yang membuat suasana baru dalam perbatikan di Giriloyo.
B. Estetika Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta 1. Batik Tradisi di desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta Hasil observasi batik di desa Giriloyo banyak diketahui menggunakan warna dan motif batik kraton secara turun temurun. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan informan serta dokumen-dokumen yang didapatkan selama penelitian. Dari pak Lurah saya itu mengingatkan “pokok e kowe ora usah mbatik seng macem-macem. Pokok e kowe nguri-nguri batik jaman kuno. Nak kowe arep melu-melubatik macem-macem sesok suwe-suwe batikan kuno ora ono. Dadi kowe nguri-nguri batikan kuno....” (Hartiah, Wawancara : tanggal 25 April 2016). Warna batik tradisi di Giriloyo menggunakan zat pewarna sintetis dan zat pewarna nabati sesuai dengan permintaan pembeli dan melestarikan pewarnaan alam. Pewarnaan nabati diperoleh dari tumbuh-tumbuhan kulit bawang merah, tingi, jambal, mahoni, indigo. Batik tradisi yang dikerjakan menggunakan
59 pewarna sintetis dibuat lebih cerah agar dapat memenuhi keinginan pasar anak muda selain itu untuk mempermudah dan mempercepat proses pengerjaan. Desa Giriloyo selain melestarikan motif kraton juga masih menggunakan cara tradisional dalam produksinya yaitu dengan canting sebagai bentuk melestarikan tradisi yang sudah turun temurun. Batik yang dihasilkan ada yang murni juga pengembangan. Tapi kalau klasik itu tidak bisa diowah-owah mbak, jadi klasik itu harus seperti itu...ya mungkin hanya agak ada cengkoknya saja berbeda namun motifnya tidak bisa dikurangi tidak bisa ditambah...kecuali Parang, Truntum itu dapat dimasukan garuda atau motif lain. Sedangkan klasik Sida Mukti, Sida Luhur, Wahyu Tumurun dikurangi salah satu motifnya ya nanti waktu dipakai ada yang komentar “oo... kok jadi kaya gitu” kan tidak boleh soalnya motif kraton motif turun temurun (Susi, Wawancara : tanggal 25 April 2016). Motif batik tulis di Giriloyo yang diproduksi masih melestarikan motif batik kraton. Pengaruh sangat kuat dari kraton sehingga muncul Sida Asih, Sida Mukti, Sida Drajad, Sida Mulyo, Semen Romo, Semen Rejo yang menjadi keunggulan yang dimiliki sentra batik Giriloyo. Kain batik tersebut berupa kain panjang yang dipakai untuk pakaian. Pembatik kraton Yogyakarta menggunakan isen-isen Sawut Cecek. Khas asli Yogayakarta dibuat klowongan besar dan dibuat dengan hitam dan sogan. Menggunakan dua latar khas yaitu latar putih disebut dengan bledak dan latar hitam. Latar bledak dan latar hitam istilah lain dari background. Bledak ditutup semua dan latar hitam background ini dikasih warna hitam (Kasih, Wawancara : tanggal 23 April 2016). Ragam hias batik di desa Giriloyo bersifat tradisional secara turuntemurun sejak dari kraton Kesultanan Yogyakarta. Awal corak batik Giriloyo hanya menggunakan bledak dan tutul. Kurang lebih pada tahun 1980-an terdapat
60 pengembangan pada latar dengan dibuat variasi seperti Kembang Pacar, Sungut, Canthel, Ukel, atau Ukel Canthel 6). Hal tersebut terjadi karena mengikuti trend pasar. Kalau perkembangan dari waktu kewaktu orang akan bosan dengan latar bledak yang seperti itu saja. Sehingga berkeinginan suasana yang lain maka diberilah latar yang beda seiring dengan macam batik, macam teknologi, macam berbagai macam penelitian. Penelitian bukan hanya proses tapi juga ekonomi, ternyata bledak sudah tidak banyak yang suka maka dikasih latar yang lain maka disebut uji pasar. Pentingkan kendile ora jomplang wes pokok e seng penting payu gitu aja biasanya itu sudah berjalan alami seperti itu (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016). Batik tradisi Giriloyo yang masih banyak diminati terdapat dalam kelompok golongan Non Geometris, dilihat dari banyaknya batik dengan motif Semen atau Lung-lungan. Beragam variasi bentuk maupun warna terjadi karena perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam setempat. Motif batik tradisi di desa Giriloyo melakukan pengembangan pada variasi latar.
6)
Hartinah, Wawancara, 25/4/2016.
61 a. Sida Asih II latar Ukel
Gambar 19. Sida Asih II latar Ukel Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Variasi latar Ukel Variasi latar ukel
Gambar 20. Sida Asih II latar Ukel Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
62 b. Sida Mukti latar Kembang Pacar Menurut Syamsudin
7)
Giriloyo mengambarkan motif tradisional
Yogyakarta. Bahasa jawa disebut ndudah nduduk lan ngembrakake. Kalimat tersebut mengandung sebuah arti ndudah itu ndudah mengkorek atau mencari motif yang dulu tersimpan, nduduk istilahnya menggali sedangkan ngembrakake itu melestarikan, mengembangkan. Diperjelas kembali kata Ndudah nduduk lan ngembrakake adalah menggali, melestarikan dan mengembangkan.
Gambar 21. Sida Mukti latar Kembang Pacar Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
7)
Syamsudin, Staff Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 24/5/2016
63
Variasi latar Kembang Pacar
Gambar 22. Sida Mukti latar Kembang Pacar Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Peneliti mengambil beberapa batik tradisi Giriloyo yang masih banyak diminati dan dicari misalnya untuk acara pernikahan yaitu: Trutum Gurdo, Nitik Rengganis, Kawung Beton, Wahyu Tumurun, Sida Asih, Babon Angkrem, dan Udan liris
8).
Tujuh kelompok tersebut terbagi menjadi dua golongan yaitu:
Geometris yaitu Truntum Gurdo, Nitik, Kawung dan Udan Liris. Non Geometris yaitu Sida Asih, Wahyu Tumurun, dan Babon Angkrem. Batik-batik yang dibuat secara turun temurun tersebut menggunakan pola asli dari kraton dan masih dilakukan hingga saat ini. Motif tersebut dibuat dari dulu hingga sekarang masih diwariskan secara turun temurun, sehingga polanya tidak berubah karena cara memola motif dilakukan oleh orang-orang tertentu (Jayantoro, dkk, 2009 : 5).
8)
Imaroh, Wawancara, 25/4/2016
64 2. Kelompok Motif Batik Tradisi Giriloyo Menurut estetika yang diungkapkan oleh Dharsono Sony Kartika bahwa wujud estetika jenis motif batik meliputi tontonan berupa visual dari motif pendukung dan isen-isen dari sebuah motif batik. Batik memiliki tuntunan berupa filosofi pada motif utama yang berkaitan oleh Agus Sachari untuk menganalisis estetika dari simbol, makna dan daya. Tuntunan tersebut berkaitan dengan simbol dan makna berupa wujud bentuk dan warna mengandung harapan yang akan disampaikan. Terlihat juga sebuah daya berasal dari pengaruh kondisi sosial masyarakat agar melakukan pengembangan dalam melestarikan sebuah tradisi membatik yang sudah dilakukan turun temurun. Analisis estetika serta pengelompokan jenis batik tradisi Giriloyo: a. Motif Geometris Motif geometris mengandung unsur-unsur ilmu ukur seperti garis-garis lengkung dan lurus, lingkaran, segitiga, segiempat, dan lain-lain yang cenderung mengulang. Motif Geometris dapat dibagi menjadi dua macam raport, pertama berbentuk segi empat, segi empat panjang atau lingkaran seperti golongan ceplok, nitik, dan kawung. Kedua, tersusun dalam bidang garis miring membentuk belah ketupat pada golongan lereng.
1) Ceplok Truntum merupakan tum-tum, tumbuhan, atau mengumpulkan. Motif ini dapat dilihat sebagai bentuk bintang juga sebagai ceplok (Rabi’ah, 2000 : 37).
65 a) Analisis tontonan (1) Motif utama Unsur-unsur motif utama pada motif Truntum yaitu titik, lingkaran, ceplok bunga kecil-kecil yang memiliki delapan kelopak. Ceplok bunga yang digambarkan dalam satu kotak persegi diatur sejajar memenuhi dalam satu kain menjadi dominan maka disebut gambar Ceplok atau motif Truntum (Samsi, 2007 : 103).
Gambar 23. Unsur-Unsur Motif Truntum Sumber: Rabi’ah 2000 : 37 (2) Motif pengisi Pendukung dalam motif tradisi Truntum Gurdo Giriloyo digambarkan dalam motif Gurdo penuh dengan dua sayap. Gurdo dalam motif Truntum merupakan stilir burung garuda yang merupakan bentuk burung yang perkasa seperti Rajawali. Burung garuda merupakan makhluk khayalan atau mitos gurdo. Stilir burung garuda ini adalah suatu bentuk melambangkan perkasa dan sakti sebagai kendaraan dewa Wisnu. (3) Isian (isen) Unsur motif isen dalam motif Truntum Gurdo yaitu Cecek, Matan dan Cecek Telu. Isen-isen dalam motif ini berfungsi sebagai pemanis agar terlihat indah dalam tontonan motif Truntum Gurdo.
66
Cecek Telu
Gurdo
Bunga
Gambar 24. Truntum Gurdo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 b) Analisis tuntunan (1) Motif utama (a) Simbol Truntum dan Gurdo dengan warna latar hitam. Permukaan kain terdiri dari penggambaran bunga-bunga kecil yang tumbuh mekar memiliki delapan kelopak dan tersusun sejajar secara merata. Motif Truntum termasuk
67 dalam kelompok geometris sebab terdapat seret putih, hiasan dalam berupa motif bunga-bunga kecil menyerupai bunga tanjung dan berwarna putih (Yusuf, 2000 : 23). Menggunakan pola ulang diagonal yaitu pola ulang motif yang dibuat menggunakan susunan garis bantu diagonal (x), dan pola ulang melintang karena pola yang dibuat menggunakan susunan garis bantu melintang (+). Teknik penyusunan motif Truntum ini adalah teknik diagonal. Dilingkungan Yogyakarta kain motif truntum digunakan sebagai busana pengantin (Yusuf, 1991 : 10). (b) Makna Motif Truntum ini memiliki arti sebuah tuntunan agar menyatunya setiap keluarga. Nama Truntum berawal dari kata tumaruntum yang berarti saling menuntun (Soeharto, dkk, 1997 : 47, 70). Beberapa juga mengkaitkan dengan kata tentrem yang merupakan keadaan kejiwaan manusia pada umumnya. Disamping itu motif Truntum merupakan peringatan kepada kedua orang tua mempelai bahwa keadaan yang dialami manusia selalu ada gelap dan terang. Keadaan yang dimaksud adalah bintang di langit kadang bercahaya kadang tidak muncul karena tertutup awan (Rabi’ah, 2000 : 48). Kisah dari terciptanya motif Truntum berawal dari kisah cinta Kanjeng Ratu Kencana seorang permaisuri yang menciptakan motif ini untuk Sunan Pakubuwana III dan berharap cintanya dapat bersemi kembali. Motif ini menggambarkan sebuah cinta yang suci dan tulus, sehingga akan abadi dan terus bersemi dihati. Kata temruntum menjadi “truntum” yang berarti semakin tumbuh subur. Kegunaan motif Truntum dikenakan untuk orang tua pengantin, harapannya agar curahan cinta kasihnya tidak sia-sia melainkan tumbuh subur dan
68 abadi bagaikan bintang dilangit yang tiada berhenti memancarkan cahaya (Tjahjani, 2013 : 33). Jika truntum itu tumaruntum biasa dipakai kalau mantu. Sehingga orang tua bisa memberi suri tauladan pada anak-anaknya sehingga anaknya bisa meneladani orang tuanya sehingga orang tua seyogyanya memakai tumaruntum. Motif truntum digunakan oleh orang tua pengantin yang mengandung makna simbolis pengharapan orang tua agar kedua mempelai memperoleh kelestarian dalam perkawinannya dan kekekalan dalam membina persaudaraan diantara kedua orang tua mempelai (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
2) Nitik a) Analisis tontonan (1) Motif utama Pola motif batik Nitik terinspirasi gambar tenun dan anyaman. Motif Nitik berkembang memiliki nilai tambah berbentuk segiempat dan diyakini motif tertua dari segi teknis. Perkembangan motif Nitik memunculkan beragam variasi yang rumit, lemut dan elok dari ketrampilan dan kelembutan rasa seniman dalam memvisualkan (Samsi, 2007 : 301). Motif Nitik Rengganis memiliki unsurunsur titik, lingkaran, segitiga, belah ketupat, ceplok, dan garis sejajar/silang. Unsur titik terdapat dalam setiap motif Nitik sesuai dengan namanya, sedangkan unsur-unsur lain sebagai kombinasi dalam sebuah motif misalnya segiempat dan segitiga.
Gambar 25. Unsur-Unsur Motif Nitik Rengganis Sumber: Rabi’ah 2000 : 36
69 (2) Motif pengisi Pendukung motif tradisi Nitik Rengganis Giriloyo digambarkan dalam bentuk titik-titik yang menyerupai kelopak bunga. Motif pendukung ini digunakan untuk mengisi ruang kosong antara motif utama guna melengkapi tatasusun dalam pola dan tidak memiliki makna yang menyertainya.
Cecek
Titik-titik membentuk kelopak bunga
Nitik Rengganis
Gambar 26. Nitik Rengganis Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 (3) Isian (isen) Unsur motif isen dalam motif Nitik Rengganis yaitu titik-titik dalam batik disebut Cecek. Isen-isen dalam motif ini berfungsi sebagai pemanis secara keseluruhan baik ornamen pokok dan ornamen pendukung dalam tontonan motif Nitik Rengganis tradisi Giriloyo. Dilingkungan Yogyakarta kain motif Nitik digunakan untuk busana pengantin (Yusuf, 1991 : 10).
70 b) Analisis tuntunan (1) Motif utama (a) Simbol Syamsudin (Wawancara : tanggal 24 Mei 2016) menjelaskan motif Nitik merupakan titik (niteni), gabungan dari titik-titik sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah motif dan memiliki makna. Motif Nitik memiliki beberapa macam namun di Giriloyo hanya ditemukan motif Nitik yang bernama Nitik Rengganis. Umumnya motif ini berlatar hitam atau biru tua serta dikenal dengan kain Cinden atau Cinde dan terbuat dari sutera. Motif Nitik Rengganis merupakan motif lama yang digambarkan Ceplok bunga-bunga yang ditata menggunakan teknik pengulangan teratur. Motif Nitik adalah deformasi stilir dari bunga-bunga yang disusun melingkar atau berkeliling membentuk segiempat, tersusun secara seimbang dan simetris (Ambar, 2011 : 51). Motif ini menggunakan pola ulang diagonal dan melintang sedangkan teknik penyusunan motifnya vertikal dan horizontal. Pola ulang diagonal yaitu pola ulang motif yang dibuat menggunakan susunan garis bantu diagonal (x). Pola ulang melintang yaitu pola ulang motif yang dibuat menggunakan susunan garis bantu melintang (+). Teknik penyusunan motif yang digunakan adalah diagonal, vertikal, dan horizontal (Rabi’ah, 2000 : 21-36). (b) Makna Kain dengan motif Nitik saat ini yang masih digunakan dalam acara ritual atau upacara tertentu. Motif Nitik Rengganis ini merupakan salah satu jenis motif Nitik yang hanya sekedar nama untuk mempermudah menyebutnya. Makna dari motif Nitik ini sendiri adalah mengandung kedamaian dan
71 kesejahteraan dalam keseimbangan, yang merupakan harapan kehidupan yang diilhami ajaran Budhisme (Rabi’ah, 2000 : 46). Motif batik tradisi Nitik Rengganis di desa Giriloyo pada umumnya lebih berisi, padat, tidak memberikan ruang untuk isian lain. Hal tersebut menunjukkan kuatnya ikatan keluarga besar masyarakat Yogyakarta dalam satu kultur sosial.
3) Kawung Beton
Mrutu Sewu
Buah Kolangkaling
Diamon
Kembang Tiba
Gambar 27. Kawung Beton Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
72 a) Analisis tontonan (1) Motif utama Motif utama Kawung berada pada bentuk bundar atau lonjong yang merupakan stilir dari biji buah nangka yaitu “beton” maka disebut dengan motif Kawung Beton. Ragam hias tersebut yang memiliki pengaruh terhadap pemaknaan dan memiliki sebuah ajaran tertentu. (2) Motif pengisi Pendukung motif tradisi Kawung Giriloyo digambarkan dalam bentuk kapalan sebagai pengisi latar kain di antara corak utama. Empat bentuk lonjong (kawung) akan membentuk segiempat yang seperti bentuk diamon. Ragam hias tersebut tidak memiliki makna namun berfungsi sebagai tambahan visual saja. (3) Isian (Isen) Motif Kawung Beton Giriloyo ini memiliki pengisi bidang setiap bentuk kawung disebut Kembang Tiba dan Mrutu Sewu. Isen-isen dalam motif ini berfungsi sebagai penghias secara keseluruhan baik ornamen pokok dan ornamen pendukung dalam tontonan motif Kawung Beton tradisi Giriloyo. b) Analisis tuntunan 1) Motif utama (a) Simbol Berbentuk lonjong seperti kolang-kaling karena stilasi buah nangka tersebut disusun memanjang menurut garis diagonal miring kekiri dan kekanan berselang-seling seperti buah aren. Buah aren berbentuk lonjong berwana putih, pada umumnya disebut “kolang kaling” (Sewan, 1980 : 226). Motif
73 Kawung di desa Giriloyo terinspirasi dari bentuk Beton, yaitu suatu benda yang bersifat dinamis, keras atau kuat. Terbentuk oleh empat buah lingkaran yang bersinggungan pada satu titik pusat, susunan memanjang menurut garis diagonal miring kekiri dan kekanan berselang-seling (Susanto, 1980 : 226). Garis horisontal dan vertikal melambangkan kestabilan, kemegahan, kekuatan dan kejujuran. (b) Makna Menurut buku “Batik” dari Lisbijanto (2013 : 58) dijelaskan kawung digambarkan lingkaran yang dibelah, dan mengambil unsur bunga sebagai harapan pemakainya dapat menjaga kesucian serta doa agar memiliki umur panjang. Motif Kawung Beton memiliki makna yang digambarkan seperti berikut “Kehidupan itu harus dijalani dengan sabar dan jangan mudah putus asa seperti tembok beton walaupun terkena hujan dan panas kekuatannya tetap terjaga tidak mudah dirobohkan, dalam menggambarkan motif Kawung Beton ini sebagai kehidupan yang kuat tidak mudah menyerah walaupun susah, senang silih berganti menghampiri”. Motif Kawung dihormati karena mencerminkan pancapat karena terdapat jumlahnya empat dan satu bentuk kelima sehingga pusat atau inti (Ambar, 2011 : 40).
4) Lereng a) Analisis tontonan (1) Motif utama Motif batik tradisi Udan Liris Giriloyo yang menjadi motif utama digambarkan berbentuk Lereng. Unsur-unsur motif Udan Liris yaitu titik, garis
74 Parang, Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan, Mlinjon dan Kopi Pecah dan Kembang. Udan Liris seperti hujan rintkrintik sehingga motif kecenderungan lembut dengan bentuk kecil-kecil 9). (2) Motif pengisi Motif pendukung pada motif utama tersebut yaitu Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan, Mlinjon dan Kopi Pecah dan kembang. Motif pendukung tersebut tidak memiliki makna yang menyertai hanya berfungsi sebagai tambahan untuk keindahan visual. (3) Isian (isen) Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan, Mlinjon dan Kopi Pecah dan kembang juga merupakan isen-isen pada motif Udan Liris. Memiliki unsur titik, garis dan garis lengkung menandakan motif Udan Liris ini halus sebab dilihat dengan indra penglihatan rapi khususnya bagian kecil-kecil. b) Analisis tuntunan a) Motif Utama (1) Simbol Udan liris digambarkan pola lereng dengan warna latar hitam dan coklat tua. Motif ini terdiri dari garis-garis miring yang sejajar terlihat lebih dinamik dan digunakan untuk keluarga raja. Motif ini merupakan gabungan bermacam-macam corak dalam bentuk garis-garis sejajar diagonal/ semakin tinggi mutu batik semakin banyak macam ragam hias pengisinya.
9)
Syamsudin, Wawancara, 24/5/2016.
75
Sirapan Berangan Kembang Lombok dan Mata Deruk
v
Kembang Paran g
Melinjon
Kopi Pecah Gondosuli
Tritis
Gambar 28. Udan Liris Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Udan Liris ini merupakan motif Lereng yang melambangkan pertumbuhan dan perkembangan sehingga dihubungkan dengan penguasa yang dianggap simbol kesuburan, perkembangan dan pembuahan. Sesuai dengan namanya hujan rintikrintik yang bermanfaat untuk menyuburkan serta menghidupkan tumbuhan dan ternak. Kesempatan menggunakan motif Udan liris biasanya untuk busana pernikahan (Soeharto, dkk, 1997 : 65-66).
76 (2) Makna Menurut Lisbijanto (2013 : 77) dijelaskan motif tradisi Udan Liris dipakai sebagai busana daerah. Memakai kain ini diharapkan pemakai dapat terhindar dari hal-hal yang kurang baik dan sebagai doa agar selalu diberi petunjuk untuk melangkah menuju hal yang baik. Makna lain dapat dijelaskan dari motif Udan Liris yaitu seperti hujan rintik-rintik, gerimis sehingga menimbulkan perasaan ada kedamaian, ada kesejukan, dan cocok digunakan untuk melamar. Memiliki isian motif banyak maka motif Udan Liris kecenderungan berbentuk motif kecil-kecil. Kata orang calon mantu namanya ngebun-ngebun enjang anjen jawa sonten seperti kamis berarti merendah diri (merendah) (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
b. Motif non geometris 1) Semen Sida Asih a) Analisis tontonan (1) Motif utama Ornamen-ornamen utama dimodifikasi dengan bentuk yang sangat variasi namun tetap pada pakem ornamen asli. Terdapat ragam hias yang menjadi motif utama berupa tumbuhan, Meru, Pohon Hayat, bangunan, burung atau lar, dan binatang. Perkembangannya desa Giriloyo memperindah tampilan motif dengan membat strategi permainan perubahan beberapa variasi yang terjadi dalam latar atau motif pendukung namun tidak merubah unsur-unsur dalam Sida Asih.
77 Motif Tangkai dan Kuncup Bunga
Lar/Mirong
Meru Burung
Bangunan
Pohon Hayat
Gambar 29. Sida Asih Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 (2) Motif pengisi Motif pendukung tidak memiliki makna dan berfungsi sebagai tambahan dalam tontonan motif batik itu. Sida Asih memiliki motif pendukung yang berbentuk motif tangkai dan kuncup bunga serta motif yang menyerupai bangunan digambarkan dalam bentuk yang sederhana. (3) Isian (isen) Isen-isen memiliki nama dalam setiap jenis serta dikerjakan dalam waktu lama. Pengisi latar Sida Asih ini terdiri dari Cecek Pitu, Cecek, Sraweyan. Isian ini hanya berfungsi untuk memperindah visual sehingga saat ditonton akan terlihat indah dan bagus. Lingkungan kraton Yogyakarta Sida Asih digunakan sebagai busana pengantin (Yusuf, 2000 : 10).
78
Cecek Pitu
Cecek Sraweyan
Cecek
Gambar 30. Isen-Isen dalam Semen Sida Asih Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 b) Analisis tuntunan (1) Motif utama (a) Simbol Kata semen berarti semi, yang dimaksud semi dapat digambarkan dalam bentuk tumbuh-tumbuhan; daun, bunga serta tangkai. Semen merupakan perlambang kekuatan, sumber dari segala keberadaan dan pusat kekuasaan (Soeharto, dkk, 1997 : 66). Semen terbagi dalam tiga golongan yaitu semen dengan ornamen tumbuh-tumbuhan, semen dengan ornamen tumbuhan dan binatang, dan semen ornamen-ornamennya tumbuhan, binatang, lar, dan binatang bersayap. Sida Asih termasuk dalam golongan semen yang ornamen-ornamen
79 tersusun dari lar, tumbuhan, Pohon Hayat, burung dan Meru. Simbolis ragam hias semen mengandung arti kesuburan, kemakmuran bagi kaum tani dan masyarakat umum. Batik tradisi Sida Asih di desa Giriloyo ini menggunakan latar bledak (putih). (b) Makna Motif Lar, berbentuk setengah sayap gurdo disebut mirong (Samsi, 2011 : 347). Ragam hias Lar hanya boleh digunakan untuk putra raja yang memiliki gelar pangeran. Pergeseran budaya saat ini Sida Asih boleh dipakai oleh masyarakat dan biasanya untuk acara pernikahan. Nama Sido Asih berasal dari dua motif lar yang disusun saling berhadapan, sehingga makna dari Sida Asih adalah saling mengasihi 10). Ragam hias Meru, sebagai gunung yang merupakan lambang bumi atau tanah, sering disebut empat unsur hidup yaitu Bumi, Geni, Banyu dan Angin. Digambarkan bergelombang dan dihias serta digabung dengan kuncup bunga dan daun. Terdapat ornamen utama lain yaitu Pohon Hayat yang digambarkan berpangkal pada dahan dan bervariasi pada bagian kuncup dan daun. Seni kebudayaan Indonesia Pohon Hayat merupakan stilir pohon khayalan yang bersifat perkasa dan sakti sebagai lambang ke Esa-an, sumber dalam semua kehidupan, dan kepercayaan suku daya jika dewa penghuni atas berupa burung enggang dan penguasa bawah berupa ular. Maka berdirilah “satu kebutuhan” yang meliputi dan menguasai dunia atas dan dunia bawah serta dilambangkan dengan Pohon Hayat (Yusuf, 1988 : 5-6).
10)
Aisah, Pembatik Giriloyo, Wawancara, 3/5/2016.
80 Ragam hias burung juga sebagai ornamen utama dengan tipe merak ini digambarkan dengan kepala berjengger, sayap yang seperti sayap garuda terbuka, serta pada bagian ekor dan sayap tidak bergelombang. Disimpulkan makna Sida Asih adalah dua hati yang disatukan kaya orang mau nikah itu jadi saling mengasihi (Murjaroh, Wawancara : tanggal 3 April 2016). Hampir sama dengan penuturan Kasih
11)
Sida Asih memiliki makna agar
disayangi oleh semua orang. Makna Sida Asih selain saling mengasihi, saling menyayangi, saling menghormati saling menghargai. Artinya saling-saling tapi yang baik atau mengkritik tapi sifatnya membangun itu Sida Asih (Syamsudin, Wawancara : tanggal 24 Mei 2016).
2) Babon Angkrem a) Analisis tontonan (1) Motif utama Babon Angkrem termasuk dalam golongan lung-lungan yang berupa motif tunas, ranting, daun, bunga dari tumbuh-tumbuhan yang menjalar baik dari tumbuhan pohon atau tumbuhan merambat diatas tanah (Samsi, 2007 : 347). Motif utama digambarkan dalam bentuk binatang ayam dengan ekor kembang padi yang melengkung dan dibuat dengan lebih besar dari motif lain. (2) Motif pengisi Motif pengisi terdiri dari picisan dan tiga ornamen tambahan yang bervariasi bentuk tetapi tetap jenis berupa tumbuhan yang digambarkan bunga.
11)
Kasih, Pembatik Kraton Yogyakarta, Wawancara, 23/4/2016
81 Motif pendukung ini berfungsi sebagai motif tambahan setelah motif utama yang tidak memiliki makna hanya untuk keindahan visual saat ditonton. (3) Pengisi (isen) Pengelompokan pengisi latar kain pada motif utama dan motif pendukung dalam motif tradisi Babon Angkrem Giriloyo yaitu kembang jeruk. Pengisi bidang dalam ragam hias seperti Cecek, Uceng, Kembang Jeruk. Isen-isen berfungsi untuk memperindah motif ketika dilihat akan menimbulkan kesatuan sehingga nampak indah dan bagus. b) Analisis tuntunan (1) Motif utama (a) Simbol Babon Angkrem termasuk dalam golongan semen yang ornamen-ornamennya terdiri dari tumbuhan dan binatang (lung-lungan). Lunglungan berupa motif tunas, ranting, daun, unga dari tumbuh-tumbuhan yang menjalar baik dari tumbuhan pohon atau tumbuhan merambat diatas tanah (Samsi, 2007 : 347). Memiliki ornamen utama binatang ayam dengan ekor kembang padi yang melengkung sebagai bentuk gambaran dari makna. Warna pada motif Babon Angkrem tersebut menggunakan warna latar hitam (biru tua) khas Yogyakarta, coklat dan isen-isen berwarna putih.
82
Kembang Pecisan
Bunga
Binatang Ayam
Uceng
Kembang Jeruk
Tumbuhan
Gambar 31. Babon Angkrem Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 (b) Makna Makna dari motif tradisi Babon Angkrem Giriloyo sama dengan
batik
kraton
Yogyakarta
yaitu
melindungi
anak-anaknya
12)
.
Melambangkan seekor ayam betina atau babon yang sedang mengerami telurnya atau angkrem. Motif batik ini merupakan perlambang bahwa orang tua akan selalu
12)
Aisah, Wawancara, 3/5/2016.
83 melindungi anaknya sampai dewasa dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Riyantono dalam buku “Batik Bantul” (2010 : 33) menjelaskan motif Babon Angkrem berawal dari kata “babon” (induk ayam dalam arti bahasa Jawa) dan “angkrem” (mengerami telur dalam arti bahasa Jawa). Maknanya yaitu manusia hendaknya bersabar seperti induk ayam yang sedang mengerami telur-telurnya hingga menetas. Dijelaskan kembali manusia diibaratkan induk ayam setelah melahirkan memiliki ikatan atau batin kepada anaknya untuk mencurahkan kasih sayang dengan bentuk mengerami hingga anaknya dewasa.
3) Wahyu Tumurun Latar Canthel
Pohon Hayat
Burung
Cecek dan Cecek Pitu
Gurdo Tumbuhan
Mahkota
Gambar 32. Wahyu Tumurun Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Tumbuh -an Pinang
84 a) Analisis tontonan (1) Motif utama Ragam hias yang menjadi motif utama digambarkan dalam bentuk Pohon Hayat, Gurdo dengan bentuk dua sayap dan ekor, tumbuhan pinang digambarkan daun dan bunga yang terbentuk dari lengkungan dan dibelah menjadi dua secara berhadapan, dan mahkota. (2) Motif pengisi Ornamen tumbuhan dalam motif tradisi Wahyu Tumurun Giriloyo ini digambarkan bunga digambarkan secara stilir dari salah satu bagiannya seperti daun, bunga dan tanaman yang menjalar (berbentuk melengkung-lengkung). Ragam hias tersebut digunakan untuk mendukung bidang motif utama atau diantara pola batik. Ukuran kecil dari motif utama, berfungsi sebagai penghias pola dan tidak mengandung makna. Motif ini tidak memiliki ruang lagi sebab menggunakan latar Canthel sebagai variasi yang sudah menjadi tradisi di Giriloyo. (3) Pengisi (isen) Unsur pengisi yang berfungsi menghias antara motif utama dan motif pengisi (motif pendukung) pada motif tradisi Wahyu Tumurun Giriloyo berupa Cecek dan Cecek Pitu. b) Analisis tuntunan (1) Motif utama (a) Simbol Motif Wahyu Tumurun termasuk dalam golongan semen yang memiliki ornamen-ornamen tersusun dari Gurdo, tumbuhan, Mahkota, Pohon
85 Hayat dan tumbuhan pinang, dimana setiap motif memiliki makna tersendiri. Motif-motif tersebut disusun sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pada motif-motif tersebut. Simbolis ragam hias motif Wahyu Tumurun secara garis besar mengandung sebuah harapan dan anugrah untuk mencapai angan-angan atau cita-cita kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalani kehidupan yang harmonis (Muryai, 2015 : 87-88). Warna latar yang digunakan dalam motif yaitu hitam (biru tua), coklat dan isen-isen berwarna putih. Terjadi modifikasi latar bledak, hitam menjadi latar Chantel. (b) Makna Ornamen utama Gurdo digambarkan dengan bentuk dua sayap dan ekor. Gurdo memiliki nama lain dalam batik yaitu Sawat. Bentuk asli burung Garuda yang distilir menjadi Gurdo dalam batik ini merupakan makhluk khayalan atau mitos yang bersifat sakti dan perkasa. Burung Gurdo ini melambangkan kendaraan dewa Wisnu, dalam kenyataan motif ini melambangkan penguasa raja. Maka bentuk Gurdo dalam Wahyu Tumurun Giriloyo digambarkan menyerupai lambang Yogyakarta. Ornamen tumbuhan pinang digambarkan daun dan bunga yang terbentuk dari lengkungan dan dibelah menjadi dua secara berhadapan. Ornamen ini menunjukkan sikap kerjasama untuk mewujudkan suatu harapan baru. Motif ini menggambarakan sebuah harapan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik sebagai manusia. Ornamen Pohon Hayat, menurut Muryani (2013 : 82) dijelaskan motif batik Wahyu Tumurun yang ada pada Giriloyo terdapat motif Pohon Hayat, dimana memiliki akar, batang, daun dan bunga yang sudah
86 distilirisasi. Pohon Hayat memiliki simbol yang merupakan lambang ke Esa-an, menjadi sumber kehidupan, kemakmuran dan kekayaan, serta menggambarkan dunia bawah, menengah dan atas. Digambarkan Pohon Hayat yang merupakan “satu ke Tuhanan” yang memiliki penguasa atas dunia (Yusuf, 1988 : 5-6). Tingkatan dalam kehidupan manusia, dari muda, dewasa dan tua yang harus ingat pada penguasa. Kehidupan manusia setiap saat, kapanpun dan dimanapun akan mengalami perubahan baik jasmani maupun rohani. Motif Mahkota, makna dalam batik Wahyu Tumurun digambarkan dalam motif Mahkota. Ornamen utama dalam motif Wahyu Tumurun terdiri dari rangkaian daun dan bunga (Aisah, Wawancara : tanggal 3 Mei 2016). Menurut Syamsudin 13) motif Wahyu Tumurun memiliki dua seri yaitu sama-sama memiliki motif Burung Huk (burung raja). Ciri khasnya pada motif Burung Huk yang munculnya dimalam hari dan di atas pantai, membedakan satu ada sulur-sulur memanjang yang satu tidak ada, tapi sama-sama bernama Wahyu Tumurun. Motif Mahkota dalam Wahyu Tumurun ini sebagai gambaran salah satu bentuk angan-angan atau cita-cita, pangkat, dan derajat, agar tidak selalu digantung di atas dan berusaha untuk menggapainya.
3. Estetika Batik Tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta Batik kraton Yogyakarta memiliki ciri khas menggunakan kelompok motif geometris dan non geometris berukuran besar. Menggunakan latar warna batik bledak (putih) dan hitam. Perpaduan warna lain coklat dan putih pada motif isian. Ditemukan dalam hasil observasi, wawancara dan sumber buku bahwa desa
13)
Syamsudin, Staff Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB), Wawancara, 24/5/2016
87 Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta melestarikan motif-motif klasik dan cara pembuatan yang masih menggunakan canting secara turun-temurun dari nenek moyang. Motif-motif yang terlihat di daerah penelitian serupa dengan batik kraton Yogyakarta. Berawal dari raja Sultan Agung yang meninggal dan dimakamkan di Giriloyo sehingga terjadi interaksi abdidalem dengan warga. Nilai positif daerah Giriloyo masih tetap melestarikan motif-motif dan teknik batik tradisi klasik Yogyakarta ditengah era pengembangan yang hingga saat ini batik tersebut menjadi batik tradisi Giriloyo, Wukirsari. Semakin lama akan mengalami perkembangan dan variasi latar Chantel, Kembang Pacar dan Ukel dapat dilihat pada gambar 20, 21 dan 31 (halaman 62, 63 dan 84). Faktor yang menjadi penyebab hal tersebut karena tuntutan menjadi salah satu daerah wisata di Yogyakarta dan adanya pengaruh mengikuti trend. Keinginan membuat perubahan agar tidak tertinggal pada variasi latar yang tidak meninggalkan motif pakem batik kraton Yogyakarta. Pengkajian estetika ini pada faktor daya yang terdapat di daerah Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta. Kajian estetika dalam penelitian ini menggunakan pandangan dari Dharsono Sony Kartika dijelaskan estetika batik tradisi meliputi tontonan berupa visual dari motif utama, motif pengisi dan isian (isen) dalam sebuah motif batik. Tuntunan berupa filosofi pada motif utama yang terkait oleh estetika Agus Sachari dari simbol, makna dan daya. Tuntunan berkaitan dengan simbol dan makna berupa wujud bentuk motif utama dan warna mengandung harapan yang akan disampaikan. Terlihat juga sebuah daya berasal dari pengaruh kondisi sosial masyarakat agar melakukan pengembangan melestarikan sebuah tradisi membatik yang sudah dilakukan turun temurun. Demikian peneliti menemukan beberapa
88 motif batik tradisi sesuai jenis penggelompokan geometris dan non geometris tanpa mengurangi nilai filosofis. Golongan motif geometris berupa motif Truntum Gurdo, Kawung Beton, Nitik Rengganis, dan Udan Liris. Kelompok motif non geometris yaitu Sida Asih, Babon Angkrem, dan Wahyu Tumurun. a. Analisis tontonan 1) Motif utama Ragam hias yang dipilih menjadi pembahasan pada penelitian ini secara keseluruhan termasuk dalam kelompok motif geometris dan non geometris. Kelompok motif geometris pada motif Truntum Gurdo yang menjadi motif utama yaitu Ceplok bunga yang memiliki delapan kelopak dapat dilihat pada gambar 23 (halaman 66). Kedua, motif batik Nitik Rengganis terinspirasi gambar tenun dan anyaman sehingga memiliki unsur-unsur titik, lingkaran, segitiga, belah ketupat, ceplok, dan garis sejajar/silang dapat dilihat pada gambar 25 (halaman 70). Ketiga, motif Kawung terdapat motif utama yang digambarkan stilir dari biji buah nangka yaitu “beton” maka disebut dengan motif Kawung Beton dapat dilihat pada gambar 26 (halaman 72). Kelompok geometri keempat motif Udan Liris digambarkan berbentuk Lereng. Ragam hias motif Udan Liris yaitu titik, Parang, Gondosuli, Kembang Lombok dan Mata Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan, Mlinjon dan Kopi Pecah dan kembang. Motif-motif tersebut kecenderungan lembut dengan bentuk kecil-kecil seperti hujan rintk-rintik dapat dilihat pada gambar 27 (halaman 75). Kelompok motif non geometris yang dibahas Sida Asih terdapat motif utama yang digambarkan tumbuhan, Meru, Pohon Hayat, bangunan, burung atau lar, dan binatang dapat dilihat dalam gambar 28 (halaman 77). Kedua, motif
89 Babon Angkrem termasuk dalam jenis lung-lungan memiliki motif utama digambarkan dalam bentuk binatang ayam dengan ekor kembang padi yang melengkung dan dibuat dengan lebih besar dari motif lain dapat dilihat pada gambar 30 (halaman 82). Ketiga, Wahyu Tumurun termasuk golongan semen yang memiliki motif utama digambarkan dalam bentuk Pohon Hayat, Gurdo, tumbuhan pinang dan mahkota dapat dilihat pada gambar 31 (halaman 84). 2) Motif pengisi Motif pengisi sebagian besar tradisi Giriloyo baik kelompok geometris dan non geometris adalah motif Gurdo penuh dengan dua sayap dalam motif Truntum Gurdo. Titik-titik yang menyerupai kelopak bunga menjadi motif pendukung motif Nitik Regganis. Motif pendukung batik tradisi pada motif Kawung Beton digambarkan dalam bentuk kapalan dan diamon yang berada diantara 4 bentuk lonjong (kawung). Sida Asih, Babon Angkrem dan Wahyu Tumurun digambarkan ragam hias yang hampir serupa terdiri dari tangkai dan kuncup bunga serta motif yang menyerupai bangunan, terdapat Picisan dan tiga ornamen tambahan yang bervariasi bentuk tetapi tetap jenis berupa tumbuhan. Stilir dari salah satu bagiannya seperti daun, bunga dan tanaman yang menjalar (berbentuk melengkung-lengkung). 3) Isian (isen) Berfungsi melengkapi motif utama dan motif pengisi, selain itu isian ini juga memperindah tontonan secara keseluruhan. Penelitian ditemukan gambaran-gambaran isian pada motif batik tradisi Giriloyo berdasarkan kelompok motif geometris dan non geometris. Isian (isen) yaitu Cecek, Matan, Cecek Telu, Cecek Pitu, Kembang Tiba, Mrutu Sewu, Gondosuli, Kembang Lombok, Mata
90 Deruk, Tritis, Sirapan, Berangan, Mlinjon, Kopi Pecah, kembang, Sraweyan, kembang Jeruk dan Uceng. b. Analisis tuntunan 1) Motif utama a) Simbol Truntum Gurdo, Nitik Rengganis, Kawung Beton,Udan Liris, Sida Asih, Babon Angkrem, Wahyu Tumurun dengan warna latar hitam dan putih (bledak). Wujud bentuk motif tradisi Giriloyo masih berkaitan dengan batik klasik Yogyakarta dan mengandung nilai-nilai sebuah harapan yang akan disampaikan serta dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat penggunanya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keidahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Terlihat juga sebuah upaya berasal dari pengaruh kondisi sosial masyarakat agar melakukan pengembangan dalam melestarikan sebuah tradisi membatik yang sudah dilakukan turun temurun baik dari segi visual motif dan warna batik klasik Yogyakarta. Bentuk perlambangan (simbolis) setiap daerah memiliki bentuk yang beraneka ragam karena dilandasi faktor pengaruh sistem kepercayaan dan letak geografis. Batik tradisi Giriloyo secara keseluruhan dan garis besar simbol dan makna yang ada memiliki keterkaitan vertikal dan horizontal. Bentuk simbol berdasarkan keterkaitan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dan manusia lainnya atau masyarakat. Pengalaman hidup manusia dan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dipisahkan (saling ketergantungan) dan manusia mengenal perasaan senang dan sedih, baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil. Pandangan
91 dari segi nilai kelompok yang mewakili sifat baik dan buruk terdapat dalam pengalaman hidup pribadi seseorang. b) Makna Berdasarkan dari pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan pengamatan terhadap pembeli melihat batik dari makna filosofi yang mengandung harapan kebaikan saja, tidak mementingkan motif batik tradisi digunakan pada kesempatan tertentu. Hal kedua yang menjadi pertimbangan pemilihan warna, motif dari visual batik tersebut dan kualitas produk batik. Adanya tuntutan agar batik tradisi tetap muncul maka mucul keinginan untuk para pengrajin
mengembangkan
motif
tersebut
dengan
mencampurkan
dan
pengembangan pada warna. Batik tulis yang diproduksi perajin Giriloyo mengandung nilai-nilai yang dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Pemakaian motif batik yang memiliki makna seyogyanya harus empat papan. Empat papan merupakan menyesuaikan tempat, acara dan menyesuaikan hajatannya. Motif batik memiliki unsur etika dan estetika. Pemaikanya harus ada estetika dan etika, pada acara juga harus ada etika dan estetika. Pelajaran Jawa yaitu ngadi saliro lan ngadi busana jadi berbusana pun harus ada etika dan estetika jika dikaitkan dalam batik yaitu pada saat memakai. Batik tradisional memiliki keindahan dilihat dari sisi keindahan jiwa atau keindahan filosofis, yaitu keindahan visual merupakan rasa indah yang diperoleh melalui indra penglihatan atau pancaindra dan memiliki keindahan jiwa atau keindahan filosofi yang diperoleh dari susunan arti lambang pada ornamenornamen yang membuat gambaran sesuai dengan paham yang dimengerti.
92 Pandangan bangsa Timur pada umumnya Indonesia memiliki sikap keterkaitan kosmos dan peng Esa-an, sikap seni yaitu merasa terikat pada penguasa alam semesta sehingga timbul sikap taat, takut, dan timbul rasa syukur dengan berterimaksih pada alam dan memuja penguasanya (keterkaitan vertikal), kemudian terdapat rasa terikat pada masyarakat sesama manusia yang hidup dalam lingkungannya (keterkaitan horizontal). Keterkaitan ini secara simbolik tergambar dari segala sikap hidup dalam kehidupannya. Kesenian batik dianggap sebagai suatu karya suatu bangsa dan tergambarkan dalam gaya ungkapan simbolisme.
Gambar 33. Motif Mahkota Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Simbol yang berkaitan dengan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa (vertikal) mengenal saling ketergantungan dan tidak dapat dipisahkan ditunjukkan dalam motif batik Wahyu Tumurun. Motif Wahyu Tumurun digambarkan dalam motif Mahkota. Menggambarkan sebuah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan
93 Yang Maha Esa kepada manusia yang memiliki kekuasaan paling tinggi yaitu Raja agar rakyatnya dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.
Gambar 34. Motif Gurdo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Keterkaitannya manusia dengan sesamanya (horizontal) pada sebagian ornamen pokok yang terdapat di dalam ragam hias banyak mengandung makna yang diharapkan mendatangkan kesejahteraan, kesucian, keagungan dan cinta kasih bagi pemakainya. Motif yang memiliki makna keagungan digambarkan dalam bentuk motif Gurdo yang sudah distilasi karena menurut orang Jawa menggambar tidak boleh menyerupai wujud asli dan burung yang memiliki kedudukan yang penting. Motif yang memiliki makna kasih sayang digambarkan dalam motif Truntum Gurdo. Motif ini terdiri dari bunga-bunga kecil yang baru mekar, tersusun secara sejajar merata keseluruh permukaan kain yang berwarna gelap (hitam atau biru tua). Bunga kecil ini berkelopak delapan yang dilukiskan dalam bentuk garis spiral kecil yang menajam pada ujung-ujungnya. Motif ini diterkenal
94 dengan simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi dan akan tumbuh berkembang seperti orang tua kepada anaknya tidak pernah putus.
Gambar 35. Truntum Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
Gambar 36. Sida Asih Foto : Dyah Setyaningsih, 2016
95 Sida Asih digambarkan pada Gurdo yang terlihat dari samping (setengah) dalam motif ini di buat kerhadapan berharap kedua mempelai dapat saling mengasihi. Visual motif lar ini berbentuk setengah sayap Gurdo diatasanya disebut dengan mirong. Pewarnaan motif batik tradisi di Giriloyo menggunakan warna sintetis karena dapat menghemat waktu dalam pewarnaan dan dapat menghasilkan warna sesuai yang diinginkan. Ditinjau dari letak warna dalam lingkaran warna desain, warna biru termasuk warna primer, warna coklat termasuk warna tersier karena merupakan campuran dari warna merah primer dan warna hijau sekunder. Warna hitam atau putih digolongkan kedalam warna netral. Tata warna batik tradisi putih, coklat, biru, dan hitam menjadi karakteristik orang Jawa yang dianggap memiliki lambang atau simbol. Masyarakat Jawa mempunyai pandangan tentang kehidupan seperti bangsa timur pada umumnya, yaitu adanya penyatuan antara alam, Tuhan dan manusia. Membicarakan arti simbolik warna batik klasik Yogyakarta, tidak akan lepas dari realitas kehidupan masyarakat Jawa. Di dalam realitas kehidupannya, masyarakat Jawa memiliki warna-warna khas. Warna batik klasik Yogayakarta sejalan dengan pandangan masyarakat Jawa tentang keblat papat lima pancer. Warna tersebut dipakai dalam warna Jenang untuk sesaji yaitu jenang abang-putih. Warna yang terdapat dalam batik tradisi di desa Giriloyo sesuai dengan tiga konsepsi dewa hindu yaitu trimurti. Trimurti adalah paham tiga dewa yang memiliki tiga sifat yang berbeda. Sifat pertama dilambangkan warna coklat identik dengan warna merah melambangkan keberanian dimiliki oleh dewa Brahmana, kedua warna putih identik dengan warna kuning melambangkan suci
96 dimiliki oleh dewa Syiwa, dan ketiga warna biru identik dengan warna hitam melambangkan abadi dimiliki oleh dewa Wisnu. Menurut konsep Jawa-Islam, bahwa warna-warna batik kraton Yogyakarta merupakan simbol nafsu-nafsu manusia. Pada ajaran Tasawuf Jawa sederek sekawan gangsal pancer yaitu: warna hitam melambangkan bumi yang bersifat laumawah, warna merah melambangkan api yang bersifat amarah, warna kuning melambangkan angin yang bersifat supiyah (baik budi), warna putih melambangkan air yang bersifat mutmainah (jujur). Dalam penempatan warna baku pada batik klasik warna tersebut berpengaruh. Mengenai catur warna, erat kaitannya dengan batik karena batik berkembang di Jawa dan tentunya dibuat oleh orang Jawa. Simbol warna tentang kain batik baik motif maupun warnanya diterapkan atas dasar falsafah hidup bangsa Jawa/masyarakat Jawa. Warna batik yang dipakai dalam batik klasik diterapkan atas dasar falsafah hidup dalam kebudayaan Jawa-Hindu. Warna-warna tersebut adalah : 1. Putih : simbol kesucian /kejujuran. 2. Coklat : simbol kehidupan 3. Biru tua/hitam : simbol keabadian. Umumnya menunjukkan bahwa warna biru tua (wulung), coklat tua (dragem sogan) dan putih lebih banyak disukai orang sebagai latar belakang ornamennya. Hal-hal yang terdapat pada warna mudah didapatkan dari bahan tumbuh-tumbuhan secara alamiah. Batik kelengan di buat dengan warna dasar wulung wedelan atau dengan warna hitam, mudah didapatkan misal warna biru diperoleh dari tumbuh-tumbuhan jenis indigo dan hitam dari daun ketepeng
97 Asal mula bahan warna alam yang digunakan menggunakan tumbuhtumbuhan seperti Indigo untuk menghasilkan warna biru tua, Tegeran, Tingi, atau Jambal untuk menghasilkan warna coklat. Berkembang saat ini maka menggunakan bahan pewarna sintetis dan menurut pendapat Ibu Hartinah batik tradisi Giriloyo pada umumnya menggunakan warna biru tua (wedelan), coklat (soga) dan putih yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Dimensi Hue warna batik tradisi Giriloyo terdiri dari atas coklat, biru tua (hitam), dan putih. Warna coklat termasuk dalam penggolongan warna tersier, karena merupakan hasil percampuran warna merah (warna primer) dengan warna hijau (warna sekunder). Warna hitam dan putih pada kain batik tradisi Giriloyo digolongkan kedalam warna netral. Peran warna netral sangat berpengaruh dalam dimensi value. Value adalah gelap terangnya warna atau tingkatan warna paling gelap dimulai dari warna hitam dan yang paling terang warna putih. Value warna batik tradisi Giriloyo debedakan sebagai berikut: warna hitam memiliki value yang paling gelap, sedangkan warna coklat terletak pada tingkat value kurang gelap, dan warna putih memiliki value yang paling terang.
98
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan mengkaji estetika batik tradisi Giriloyo memiliki latar belakang berkaitan dengan batik kraton Yogyakarta. Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 memecah Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Muncul kesepakatan perbedaan khusus pada seni batik Yogyakarta memiliki karakteristik warna cenderung maskulin, kedekatan antara motif terlalu besar atau mblegar-mblegar. Batik dibawa keluar kraton oleh para abdidalem yang bertugas menjaga makam Sultan Agung di Bukit Merak desa Pajimatan wilayah Girirejo. Berkembangnya waktu maka semakin banyak warga memiliki keahlian membatik dengan motif khas Kraton. Jumlah perajin batik yang ada di Pajimatan terbatas maka menugaskan tenaga-tenaga dari Giriloyo. Ngangsu kaweruh batik di Pajimatan penduduk Giriloyo menganggap sebagai keberuntungan sebelum mereka berusaha sendiri. Mulai dari saat itu tradisi membatik di Giriloyo terus dilakukan hingga saat ini mempertahankan motif-motif batik klasik kraton. Upaya agar tidak kehilangan dan salah pengertian mengenai makan dari setiap motif maka peneliti menggunakan estetika yang diungkapkan oleh Dharsono Sony Kartika bahwa wujud estetika jenis motif batik meliputi tontonan berupa visual pada motif utama, motif pengsi dan isian (isen). Memiliki tuntunan berupa filosofi hidup pada motif utama yang berkaitan oleh Agus Sachari untuk menganalisis estetika dari simbol, makna dan daya. Analisis tontonan motif batik tradisi Giriloyo yang termasuk
99 kelompok motif Geometris ini ditunjukkan pada sumber ide yang menjadi motif utama yaitu Ceplok (motif Truntum Gurdo) bunga dengan delapan kelopak, Nitik Rengganis menyerupai bentuk anyaman atau tenun, Kawung Beton dari stilir biji buah nangka, dan Udan Liris digambarkan rintik-rintik hujan berbentuk lereng. Tontonan kelompok motif Non Geometris ditunjukkan pada sumber ide yang menjadi motif utama yaitu semen (Sida Asih) tumbuhan, Meru, Pohon Hayat, bangunan, burung atau lar dan binatang, Lung-lungan (Babon Angkrem) berupa binatang ayam dengan ekor Kembang Picisan dan motif Wahyu Tumurun dalam bentuk Pohon Hayat, Gurdo, tumbuhan Pinang dan Mahkota. Motif pengisi dan isen-isen digambarkan dengan motif Gurdo penuh memiliki dua sayap, titik-titik, Kapalan, Bunga Picisan, Cecek, Cecek Pitu, Tritis, Kopi Pecah, Uceng dan lain sebagainya sebagai penambah visualisasi motif. Analisis tuntunan motif utama memiliki simbol perlambangan yang berkaitan manusia dengan Tuhan YME dan manusia atau masyarakat. Motif Mahkota dianggap wahyu yang diturunkan dari Tuhan YME kepada manusia yang memiliki kekuasaan tertinggi agar rakyatnya dapat menjalani kehidupan yang lebih baik (vertikal). Manusia dengan sesamanya (horisontal) ditunjukkan gambar gurdo diyakini mendatangkan kesejahteraan, kesucian, keagungan dan cinta kasih. Motif Truntum mengandung makna tumbuh kembalinya kasih sayang yang tulus. Hampir sama dengan makna Sida Asih untuk kedua mempelai agar saling mengasihi digambarkan motif Gurdo yang saling berhadapan.
Perkembangan
yang dilakukan menjadi
mempertahan kan motif batik tradisi.
daya
untuk tetap
100 B. Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan dan hasil yang didapatkan maka terdapat saran untuk peneliti sebagai berikut: 1. Nilai estetika batik tradisi Giriloyo sebagai tontonan dan tuntunan seperti yang disampaikan Dharsono Sony Kartika bahwa wujud estetika jenis motif batik meliputi tontonan berupa visual pada motif utama, motif pendukung dan isen-isen dari sebuah motif batik. Batik memiliki tuntunan dalam motif utama yang berkaitan oleh Agus Sachari untuk menganalisis estetika dari simbol, makna dan daya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar kajian estetika batik tradisi Giriloyo lebih sempurna dan diperdalam menggunakan teori atau pendekatan ilmu-ilmu yang lain. 2. Usaha
Giriloyo
untuk
mempertahankan
batik
tulis
sehingga
memunculkan berbagai motif-motif tradisi yang saat ini sudah mengalami pengaruh dari budaya pesisir menggunakan warna-warna cerah dan berani. Hal tersebut menjadi masukan untuk penelitian lebih lanjut mengenai batik tradisi di Desa Giriloyo, Wukirsari, Bantul, Yogyakarta. 3. Bagi
Pemerintah
Daerah
Bantul
untuk
meningkatkan
dalam
memperkenalkan kepada masyarakat khususnya generasi muda wilayah daerah Bantul. 4. Pagi
para
pengrajin
Giriloyo,
Wukirsari,
Bantul,
Yogyakarta
diharapkan tetap meningkatkan dalam melestarikan motif batik tradisi sebagai peninggalan leluhur daripada memperbanyak motif batik kontemporer agar motif batik tradisi tidak hilang nilai keaslian dan budaya turun-temurunnya.
101 DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soedjipto. 2015. Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa. Ambar, Arini B dan Asti Musman. 2011. Batik Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta: Andi Offset. Daliman, A. 2012. Upacara Garebek di Yogyakarta Arti dan Sejarahnya. Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI). Dharsono, Sony K. 2007. Estetika Seni Rupa Nusantara. Surakarta: ISI Press. _______________. 2015. Estetika Nusantara. Surakarta: ISI Press. Djoemena, Nian S, 1990,Ungkapan Sehelai Batik (Its Mystery and Meaning). Jakarta : Djambatan Doellah, S. 2002. Batik: Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: Danar Hadi. Hamzuri. 1994. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan. Jayantoro, dkk. 2009. Bima Sakti Bercerita (Bimasakti Tells Their Story). Yogyakarta: Amara. Lisbijanto, Herry. 2013. Batik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mary J.E dan Soedarmadji J.H. Dimas. 1990. Sekar Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Jakarta: Midas Surya Grafindo. Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Symbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB. Samsi, Sri Soedewi. 2007. Teknik dan Ragam Hias Batik Yogyakarta dan Solo. Yogyakarta: Yayasan Titian Masa Depan. Sewan, Susanto. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogayakarta: BPKB.
102 Soeharto, dkk. 1997. Indonesia Indah Buku ke-8 Batik. Percetakan Negara Republik Indonesia. Sutopo, HB. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif : Dasar teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS press. Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Tjahjani, Indra. 2013. Terampil Membatik untuk Siswa. Yogyakarta: Erlangga. Wulandari, Ari. 2011. Batik Nusantara (Makna Filosofis, Cara Pembuatan dan Industri Batik). Yogyakarta: Andi Offset. Yudhoyono, Ani B. 2011. Batikku Cinta Tak Berkata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yusuf, Achmad. 1991. Pameran Khusus Peranan Batik Sepanjang Masa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber lain: Ahya, Sifaun. 2013. Batik Tulis Dan Cap Perusahaan Tugiran Di Pandak Bantul Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakarta. Apridaniati. 2012. Upaya Pelestarian Batik Tulis dalam Kajian Sosio-Kultural di Dusun Giriloyo, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogayakarta. Universitas Negeri Yogyakarta. Arlita, Margareta N. 2014. Analisis Strategi Pemasaran dalam Meningkatkan Daya Saing Industri Batik Tulis Giriloyo untuk Mendukung Pembangunan Wilayah di Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul. UGM Yogyakarta.
103 Fitriani, Istiana. 2015. Kajian Pola Batik Tirto Tedjo Modifikasi Di Kampung Batik Laweyan Surakarta. Universitas Sebelas Maret. Masiswo. 2012. Pembangkitan Industri Seni Kerajinan Batik Wukirsari Bantul Yogyakarta Pascagempa Bumi 27 Mei 2006. Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Mulyani, Hesti dkk. 2014. Desain Batik Aksara Jawa pada Pengrajin Batik Berkah Lestari Giriloyo, Wukirsari, Bantul. Universitas Negeri Yogyakarta. Muryani. 2015. Batik Wahyu Tumurun Karya Kelompok Batik Sri Kuncoro Imogiri Bantul Yogyakarta. Universitass Negeri Yogyakarta. Rabi’ah. 2000. Analisis Motif dan Warna Batik Nitik Yogyakarta. Universitas Negeri Yogayakarta. Riyantono, dkk. 2010. Batik Bantul. Yogyakarta: Cahaya Timur Offset. Suyani dkk. 2008. Motivasi Perempuan Pengrajin Batik dalam Melestarikan Keberadaan Batik Tulis di Dusun Giriloyo Desa Wukirsari Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Umami, L. 2013. Pengaruh Pariwisata Terhadap Perkembangan Kerajinan Batik Pajimatan Giriloyo Imogiri. Universitas Negeri Yogyakarta. Wening, Sri dkk. 2013. Pengembangan Produk dan Strategi Pemasaran Busana Batik Bantulan dengan Stilasi Motif Ethno Modern. Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta. Widihastuti, Setiati dan Eny Kusdarini. 2013. Kajian Hak Kelayakan Intelektual Karya Perajin Batik Studi Kasus di Desa Wukirsari Imogiri Bantul. Universitas Negeri Yogyakarta.
104 DAFTAR ISTILAH
Abdidalem
: Pegawai Kerajaan
Adhiluhung
: Sesuatu yang memiliki tinggi mutunya
Babaran
: Pencelupan (sogan) yang terakhir
Banji
: Ragam hias batik yang berasal dari pengaruh Cina, berbentuk swastika
Bledak
: Warna latar putih atau creme yaitu istilah di daerah Solo-Yogyakarta
Canting
: Alat untuk membatik yang terbuat dari logam
Cecek
: Titik-titik kecil (halus) yang dibuat dengan canting
Ceplok
: Termasuk ragam hias silang yang diberi berbagai hiasan tambahan
Fiksasi
: Penguncian warna pada zat warna alam
Guide
: Orang yang memandu perjalanan
Isen-Isen
: Ragam hias batik pada motif berbentuk kecil-kecil untuk mengisi bidang datar/dasar kain putih yang dibatik
Jarit
: Batik berupa kain panjang dengan ukuran lebar lebih kurang 110 cm dan panjang lebih kurang 260 cm
Kawung
: Ragam hias silang. Termasuk golongan ragam hias geometris
Klowong
: Garis-garis utama pembentuk ragam hias penyusun pola batik
105 Lar
: Ragam hias yang berbentuk sayap garuda, termasuk golongan non geometris
Larangan
: Ragam hias yang pada zaman dahulu hanya boleh digunakan oleh raja dan keluarga dekatnya
Lereng
: Sebutan untuk ragam hias garis miring di daerah Cirebon
Lilin
: Bahan perintang yang digunakan pada proses pembuatan batik
Liris
: Sebutan untuk ragam hias garis miring di daerah Cirebon
Lonjong
: Bulat panjang
Lung-lungan
: Ragam hias non geometris yang merupakan untaian flora.
Meru
: Lambang gunung atau bumi
Mitoni
: Tujuh bulanan
Mlinjon
: Ragam hias batik berbentuk belah ketupat yang selalu terdapat pada pola parang, di tata berderet dalam satu garis yang membuat 45 derajad dengan garis horisontal
Ngangsu Kaweruh
: Golek Ngelmu = mencari ilmu.
Nitik
: Termasuk ragam hias geometris atau silang atau ceplok pengaruh ragam hias patola pada kain Cinde dari India
Otoritas
: Kekuasaan
yang
sah
diberikan
kepada
lembaga
dimasyarakat yang memungkinkan para pejabatnya untuk menjalankan fungsinya. http://kamusbahasaindonesia.org/otoritasakses tgl14/6/2016 jam 00.23 Owah-owah
: Tidak dapat dirubah-rubah
106 Parang
: Ragam hias garis miring dengan pilin berganda
Pohon Hayat
: Ragam hias batik yang berupa stiliran pohon berasal dari agama Hindu
Printing
: Suatu teknik pembuatan tekstil berpola dengan sistem cetak
Sawat
: Ragam hias berbentuk sayap garuda
Sembagen Huk
: Ragam hias yang dibentuk dari tumbuhan sebagai latar belakang corak-corak unggas yang mirip phoenix.
Semen
: Ragam hias non geometris yang terdiri dari Lar, Meru, fauna dan flora
Sered
: Bagian ujung kiri-kanan dan tepi atas bawah dari kain panjang dan tepi atas bawah sarung
Soga
: Warna-warna coklat yang terdapat pada batik, terutama pada batik kraton, pengaruh kraton, batik saudagaran, dan batik petani
Sogan
: Warna coklat pada batik
Staff
: Pegawai
Swastika
: Motif batik yang berbentuk dasar huruf z yang saling berlawanan.
Tegeran
: Pohon yang kayunya digunakan untuk pencelupan batik dan memberi warna kuning
Tingi
: Pohon yang kulit kayunya digunakan untuk pencelupan batik dan memberi warna merah coklat
107 Truntum
: Pola batik geometris berbentuk kuntum bunga dengan bunga yang disusun secara radial
Variasi
: Tindakan atau hasil perubahan dari keadaan semula
Wayang Wong
: Wayang yang diperankan oleh orang (manusia) http://kamusbahasaindonesia.org/otoritas akses tgl14/6/2016 jam 00.23
Wedelan
: Warna biru tua yang biasanya terdapat pada batik tradisional
Wiron
: Lipatan-lipatan pada ujung kain panjang dengan lebar dan jumlah tertentu untuk mempercantik penampilan kain panjang bila dipakai
Zat warna nabati
: Zat warna alam yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
Zat warna sintetis
: Zat warna yang berasal dari hasil sintetisbahan-bahan kimiawi
108
LAMPIRAN
109
110
111
112
113
114 Lampiran 2
Gambar 37.Lokasi Desa Giriloyo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Lampiran 3
Gambar 38.Makam Raja Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
115 Lampiran 4
Gambar 39.Showroom Gazebo Batik Giriloyo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Lampiran 5
Gambar 40.Penulis dan Beberapa Perajin Batik Giriloyo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
116 Lampiran 6
Gambar 41.Showroom Sungsang Batik, Giriloyo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Lampiran 7
Gambar 42.Lokasi Museum Joglo Cipto Wening, Giriloyo Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
117 Lampiran 8
Gambar 43.Aktivitas Perajin Batik di Gazebo Paguyuban Giriloyosebelum Acara Workshop Batik Foto: Dyah Setyaningsih, 2016 Lampiran 9
Gambar 44.Pengembangan Warna Motif Wahyu Tumurun Foto: Dyah Setyaningsih, 2016
118 Lampiran 10
PEDOMAN OBSERVASI Tanggal Observasi: Minggu, 3 April 2016 No. 1.
Aspek yang Diamati Lokasi
Keterangan Desa Giriloyo, Kel.Wukirsari, Kec. Imogiri, Kab. Bantul, Yogyakarta
2.
Kondisi Desa
Desa Giriloyo berada diantara desa Karang Kulon dan desa Cengkehan, dikelilingi oleh pegunungan. Saat akan memasuki desa masih banyak sawah yang membentang luas dan jalan yang sudah beraspal, terdapat kumpulan gazebo cukup luas untuk kegiatan desa atau paguyuban,
beberapa
rumah
penduduk
setelah gempa sudah tembok bata. Disebalah selatan diatas pegunungan desa terdapat makam. 3.
Karakteristik Batik
Batik yang peneliti jumpai meliputi motifmotif klasik yaitu sida asih, wahyu tumurun, truntum, nitik rengganis, kawung, dan lain sebagainya. Mengembangkan motif klasik karena memiliki makna yang dalam serta sebagai warisan sejak kraton masuk di desa Giriloyo. Di desa Giriloyo terdapat 12 kelompok batik dan memiliki paguyuban
119 untuk mengatur hubungan antar kelompok batik, termasuk dalam acara event-event, pameran semua kelompok batik berkumpul di gazebo.
Saat
pengembangan
ini motif-motif
berkembangnya baik
visual,
warna beranekaragam termasuk motif batik tradisi Giriloyo 4.
Aktivitas warga yang Jarang ditemui pemuda yang ikut membatik, membatik
5.
Upaya batik tulis
mayoritas dilakukan ibu-ibu dan nenek-nenek pelestarian Diteruskan secara turun temurun, adanya kelompok batik, paguyuban batik, museum Joglo Ciptowening, kegiatan wisata tentang batik tulis dan pengembangan jenis produk batik yang dihasilkan.
120 Lampiran 11
PEDOMAN DOKUMENTASI
A. Dokumentasi Gambar 1. Gambar motif batik 2. Foto batik 3. Foto perajin batik 4. Foto lokasi gazebo 5. Foto lokasi showroom 6. Foto lokasi Museum Joglo Ciptowening 7. Foto wisata religi Makam Raja 8. Foto aktivitas membatik
121 Lampiran 12
NOTULEN Tanggal Wawancara : 25 April 2016 Waktu wawancara
: Jam 10.30 WIB
Tempat
: Showroom Sungsang Batik
A. Identitas Informan 1. Nama
: Mbak Susi
2. Jenis Kelamin : Perempuan 3. Usia
: 28 tahun
4. Pendidikan
: SMA
5. Pekerjaan
: Pemilik
6. Agama
: Islam
B. Daftar Pertanyaan 1. Bagaimana latar belakang muncul batik Giriloyo? “Dulu kan sini itu kan merupakan kampung batik jadi satu kampung sini kan dari jaman simbah-simbah dulu sudah nyanting cuman kalo kita sistemnya buruh. Buruh, jadi kita nyanting putihan nanti kita jual kekota, terus nanti kota yang proses. Nah habis gempa ada pelatihan LSM masuk jadi orang-orang dari kita kan diajari pewarnaan, pemasaran habis itu kita sekarang bisa jalan sendiri.” 2. Jenis motif batik? “Motif modern tetap menyediakan batik klasik. Modern ada lung-lungan, nyamplung nama pohon, pohon sirgunggu. Motif tradisi seperti sida asih, wahyu tuumurun, sida asih, sida luhur, truntum. Karena mengikuti selera pasar jadi di sungsang batik lebih kekontemporer karena batik identik dengan jarik. Motif tradisi tetap kita produksi terus yang modern kita kembangkan terus.”
122 3. Bagaimana makna motif batik tradisi? “Wahyu tumurun itukan dipakai pas acara nikahan midodareni diharapkan yang memakainya wahyunya turumurn, kebaikan. Sedangkan sida mukti dipakai saat hari pernikahan dengan harapan akan mendapatkan kebaikan, mukti.” 4. Zat warna apa yang digunakan? “Disini spesial alam, tetapi kita juga menyediakan beberapa warna kimia soalnya mengikuti pembeli. Sebagian pembeli menginginkan warna cerah maka pakai kimia.” 5. Apakah ada pengembangan motif tradisi? “Ya ada yang murni ada yang pengembangan ada. Tapi soalnya kalau klasik itu ga bisa diowah-owah mbk, jadi kalau klasik itu ya harus seperti itu ya mungkin hanya agak ada cengkoknya aja berbeda tapi tetep motifnya tidak bisa dikurangi ga bisa ditambah kalau klasik itu. Kecuali kalo parang, truntum itu nantikan bisa dimasukn garuda dimasuki motif lain. Klox klasik sida mukti, sida luhur wahyu tumurun dikurangi salah satu motifnya ya nanti pas dipakai oo..kok jadi kaya gitu kan ga boleh soalnya kan motif kraton motif turun temurun.” 6. Bagaimana unsur-unsur motif tradisi? “Sida mukti ada garudanya. Apa ya kurang paham juga...tapi klasik itu pasti identik gurdo ada yang setengah ada yang penuh. Sida asih ada, sida mukti, wahyu tumurun juga ada, kan kalo ga tau kan aaahh...itu kaya korpri padahal ciri khasnya Yogyakarta.” 7. Bagaimana tanggapan anda mengenai terjadinya variasi latar? “Ooo...kalau variasi bebas jadi nanti ada yang di blok, dibikin dilatar putih ada yang di kasih beras mawur, kembang pacar. Kalau variasi semua motif bisa tidak harus klasik. Semuanya bisa tergantung keinginan mau full atau sederhana sama saja. Kalo full ya nanti latarnya dikasih kembang pacar atau mawur.” 8. Apakah pengembangan dapat mempengaruhi makna? “Kurang paham....misalnya orang nikahan itu kadang ada yang pakai sida mukti sogan latar putih, sida mukti sogan tp latar kembang pacar
123 atauriningan. Kalau menurutku tidak merubah makna, kan motif pokoknya tetap tidak dikurangi jadi tetap sama.” 9. Menurut anda bagaimana motif batik klasik Kraton itu? “Sogan latar putih..kalau kraton dulu sogan sekarang kita bisa warna-warna seperti ini karena sudah mengikut jaman, jadi ga monoton karena klasik kan terkesan jarik. Nanti kalau dipakai anak muda kan terkesan ketuaan.”
124
NOTULEN Tanggal Wawancara : 24 Mei 2016 Waktu wawancara
: Jam 09.10 WIB
Tempat
: Laboratorium Batik di Balai Besar Kerajinan Batik (BBKB)
A. Identitas Informan 1. Nama
: Bapak Syamsudin
2. Jenis Kelamin
: Laki-laki
3. Usia
: 47 tahun
4. Pendidikan
:-
5. Pekerjaan
: Pemerhati batik
6. Agama
: Islam
B. Daftar Pertanyaan 1. Bagaimana motif tradisi di Giriloyo? “Motif geometris cenderung mengulang seperti nitik, parang, kawung,. Non geometris seperti wahyu tumutun. Di Giriloyo membuat batik yang sudah pakem seperti macam-macam sida atau semen.” 2. Bagaimana batik tradisi jogja dan Giriloyo? “Tradisi baku itu sama. Giriloyo mengembangkan batik tradisi jogja. Motif tradisi dikembangkan bkn lg tradisi.” 3. Bagaimana tanggapan anda mengenai perkembangan variasi? “Variasi latar seperti kembang pacar dibuat untuk mengikuti tren pasar. Perkembangan waktu ke waktu karena orang pasti bosen pegen yang lain. Seiring berbagai macam penelitian tentang ekonomi, teknologi sehingga ada inovasi kemudian hal tersebut disebut uji pasar.” 4. Apakah terjadi perubahan motif Yogyakartaasli dan saat ini di Giriloyo?“seperti motif sida mukti Yogyakarta misalnya memiliki pakem latar putih “bledak”, karena perkembangan jaman dikasihlah latar lain seperti tadi tutul, kembang pacar, griging, beras mawur sesuai perkembangan. Seretnya Yogjakarta harus putih, jadi disebut tradisi
125 itubisa motifnyaatau warnanya. Karena orang yang mau berkembang kan harus mengikuti jaman tapi tidak meninggalkan turun temurunnya. Misalnya semen romo dengan perbedaan latar tidak mengubah makna motif dan filosofinya.” 5. Bagaimana makna unsur-unsur motif batik? “Pada motif wahyu tumurun memiliki 2 seri. Yang membedakan motif dan sama-sama ada burung huk atau burung raja. Jadi burung huk itu muncul dimalam hari dan diatas pantai. Sebenarnya semua unsur menjadi satu kesatuan sehingga menjadi motif pakem yang memiliki makna. Pada motif udan liris maknanya hujan rintik-rintik sehingga ada kedamaian, kesejukan dan kecenderungan bentuk motifnya kecil-kecil dan cocok untuk nglamar. Nah motif nitik itu artinya titik atau niteni, gabungan antara titik-titikyang membentuk sedemikian rupa, membentuk motif dan memiliki makna. Sida asih memiliki gurdo yang terdiri dari dua lar. Makna dari motif sida asih yaitu saling mengasihi, menyayangi, tidak menghujat, pokoknya saling-saling tapi yang baik.”