BAB IV ANALISIS PENILAIAN YAHYA BIN MA’IN DAN IBN HIBBAN TERHADAP AHMAD BIN ISA AL-MISHRI
A. Analisis penilaian jarh wa ta’dil terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri. Langkah yang harus disiapkan dalam menganalisis hadits baik sanad maupun matan adalah pengumpulan data. Untuk mendapatkan hasil analisis yang maksimal, maka pengumpulan data sebagai objek penelitian harus dikumpulkan selengkap-lengkapnya1. Untuk mengumpulkan pendapat ulama terhadap rawi, dalam hal ini penilaian jarh wa ta’dil terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri, perlu merujuk kitab rijal. Disini kami merujuk kitab tahz\i>b al-tahz\i>b karya imam Ibn Hajjar al-Asqalani sebagai rujukan utama. Seperti telah dipaparkan dalam bab III, bahwa ada kontradiksi penilaian terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri al-Tustar. Yahya bin Ma’in menilai kaz\z\a>b sedangkan Ibn Hibban menilai mutqin. 1. Analisis penilaian ﻛﺬابoleh Yahya bin Ma’in (w 233H) Yahya bin Ma’in menilai Ahmad bin Isa al-Mishri2 sebagai rawi
kadzab3. Imam Ibn Hajar dalam tahz\i>b al-tahz\i>b memberikan penjelasan tentang Ahmad bin Isa sebagai berikut :
1
Arif Chasanul Muna, Metode Penelitian Hadis Beragam Versi,(Pekalongan : Mahabbah Press, 2015), hlm. 37 2 Nama lengkapnya Ahmad bin Isa bin Hassan al-Mishri al-Tustar, Abu Abdullah al‘askari
69
70
Imam al-Razi (w 322H) berkata : ada gosip tentang Ahmad bin Isa saat saya di Mesir. bahwasanya ketika Ahmad bin Isa datang ke Mesir, beliau membeli beberapa kitab karangan Ibn Wahb dan sebuah kitab karya Mufadhal bin Fudhalah. Kemudian ketika saya datang ke Baghdad, saya bertanya kepada penduduk Baghdad : apakah Ahmad bin Isa meriwayatkan hadits dari Mufadhal? Mereka menjawab : ya.., maka saya mengingkari hal tersebut, sebab sesungguhnya riwayat dari Ibn Wahb dan Mufadhal tidaklah sama4. Imam Sa’id bin Umar al-Barda’i berkata : Abu Zur’ah mengingkari periwayatan imam Muslim dari Ahmad bin Isa dalam kitab dengan derajat “Shahih”, menurut Abu Zur’ah : warga Mesir tidak meragukan sesungguhnya Ahmad bin Isa (sambil memberi isyarat seolah hendak berkata “bohong”)5. Ketika bertemu imam Muslim, imam Sa’id bin Umar mendapat penjelasan dari imam Muslim. “ sesungguhnya saya tidak mengatakan ‘shahih’, saya memasukkan hadits dari Ahmad bin Isa yang diriwayatkan oleh guru-gurunya yang tsiqah, dan saya juga mempunyai riwayat dari seorang yang lebih tsiqah dari Ahmad bin Isa6”
3
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\i>b al-Tahz\i>b juz.1 hlm 39
4
Ibid., Ibid.,
5 6
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma> al-Rijal, ed Basyar Awdh Ma’ruf (Baghdad : Muassasah al-Risalah), hlm. 420
71
Imam Khatib al-Baghdadi berkata : mereka yang bergunjing tentang Ahmad bin Isa tidak berdasar, maka gunjingan tersebut harus dikesampingkan. Imam Ibn Hajar berkata : bahwasanya pengingkaran terhadap Ahmad bin Isa adalah : klaim bahwa beliau telah mendengar (dari Ibn Wahb dan Mufadhal) padahal beliau diisukan tidak mendengar secara langsung, melainkan membeli beberapa kitab Ibn Wahb dan sebuah kitab Mufadhal ketika beliau datang ke Mesir7. Imam Ibn Hajar juga memaparkan cerita lain yang memungkinkan terjadinya salah paham, sehingga berkembang gosip tentang Ahmad bin Isa al-Mishri, sebab ada juga rawi Ahmad bin Isa al-Mishri yang secara kredibilitas dhaif yaitu : Ahmad bin Isa bin Zaid al-Tunisi al-Mishri (w. 273 H). Oleh sebab itu, persaksian imam al-Nasa’i terhadap gurunya yakni Ahmad bin Isa al-Mishri al-Tustar, dengan menyebutnya secara lengkap : Ahmad bin Isa yang ada di ‘Askar tidak bermasalah ()ﻟ ﺲ ﺑﻪ ﺑﺄس8 Penilaian Yahya bin Ma’in mungkin berkenaan dengan klaim “sima>” Ahmad bin Isa dari Ibn Wahb dan Mufadhal, mungkin juga yang dimaksud adalah Ahmad bin Isa al-Tunisi al-Mishri. Sebab diantara ketiganya merupakan ulama sezaman. Imam al-Dzahabi memberi kesimpulan bahwa Ahmad bin Isa alMishri adalah s\iqah,s\ubt. Meskipun ulama sezamannya yakni Yahya bin
7 8
Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\i>b al-Tahz\ib juz.1, hlm. 39
Ibid.,
72
Ma’in memfonis beliau bohong, namun sebenarnya beliau jujur dan
mutqin.9 2. Penilaian mutqin oleh Ibn Hibban Imam Ibn Hibban mengelompokkan Ahmad bin Isa al-Mishri dalam rawi tsiqah, bahkan beliau mencantukan Ahmad bin Isa dalam kitab al-
s\iqa>t10. Dalam kitab tersebut diinformasikan bahwa Ahmad bin Isa adalah rawi yang mutqin, beliau menetap di Baghdad dan beliau adalah periwayat kedua bagi Ibn Wahb. Sedangkan periwatan utamanya adalah Ashbagh. Selain Ibn Hibban, beberapa ulama lain juga men-ta’dil Ahmad bin Isa. Imam Ahmad bin Syuaib al-Nasa’i menyatakan bahwa Ahmad bin Isa adalah rawi yag tidak bermasalah “”ﻻ ﺑﺄس ﺑﮫ. Imam Khatib al-Baghdadi menyatakan bahwa orang-orang yang bergunjing tentang Ahmad bin Isa tidak berdasar maka gosip mereka harus dikesampingkan11. Imam Ibn Hajar menilai Ahmad bin Isa sebagai rawi yang Shaduq. Imam al-Dzahabi menilai Ahmad bin Isa digosipkan tanpa dasar, meskipun ulama sezamannya memfonis beliau berbohong, padahal beliau shadiq dan
mutqin.
9
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Man Tukullima fih Wahuwa Muwatsaq au Shalih al-Hadits, (Madinah : Maktabah Malik Fahd, 2005), hlm. 86 10 Abu Hatim Ibn Hibban, al-Tsiqa>t juz 8, hlm. 15 11 Ibn Hajar al-Asqalani, Tahz\i>b al-Tahz\ib juz.1, hlm. 39
73
3. Tarji>h terhadap perbedaan penilaian dan implikasi periwayatan Ahmad bin Isa al-Mishri. Untuk melakukan tarji>h kedua pendapat tersebut, perlu ditelusuri faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi penilaian masing-masing kritikus. Data yang terhimpun sebagai berikut : Yahya bin Ma’in ( 158 – 233 H) :[1] hidup sezaman dengan Ahmad bin Isa, [2] menurut Ibn Hajjar termasuk kritikus
mutasyaddid , muta’annit fi al-jarh mutatsabbit fi al-ta’dil. Ibn Hibban (270 – 354 H):[1] hidup setelah masa Ahmad bin Isa, [2] menurut Ibn Hajjar termasuk kritikus mutasahhilin Selanjutnya, perlu dipertimbangkan pula pendapat ulama-ulama yang berkompeten dalam jarh wa ta’dil. Sebab beberapa ulama paska periode al-riwa>yah telah menyusun penjelasan ijtihad mereka dengan mengkomparasi pendapat ulama generasi sebelumnya12. Sebagai peneliti pemula, setidaknya perlu merujuk kesimpulan Ibn Hajjar dalam kitab
Taqrib al-Tahz\ib serta pendapat imam al-Dzahabi dalam kitab al-Kasyif fi Ma’rifat Man lahu Riwa>yat fi al-Kutub al-Sittah. Satu hal yang perlu digaris bawahi dalam mempelajari pendapat kritikus ialah “semahir-mahirnya seorang kritikus, dia tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan tidak pula ma’shum.”13
12
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Man Tukullima fih Wahuwa Muwatsaq au Shalih al-Hadits, (Madinah : Maktabah Malik Fahd, 2005), hlm. 74 13 Umar Iman Abu Bakar, al-Ta’sis fi Fanni Dira>sat al-Asa>ni>d, (Riyadh : Maktabah alMa’arif), hlm. 263
74
Dalam malakukan tarjih rawi mukhtalaf fi>h,
perlu diaplikasikan
kaidah-kaidah sebagaimana dipaparkan dalam bab dua yaitu : 3.1. Tidak diterima penilaian jarh atau ta’di>l kecuali dari orang yang adil dan mengetahui sebab-sebabnya. Apabila kaidah ini diterapkan dalam tarji>h atas kedua penilaian yang dimaksud, maka kedua kritikus masuk dalam katagori adil. Sedangkan item “mengetahui sebab-sebabnya”, sebab penilaian Yahya bin Ma’in terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri tidak ditemukan keterangan jelas yang menunjukkan penilaian Yahya bin Ma’in mempunyai dasar hujjah. Mengenai penilaian Ibn Hibban, penilaian ta’di>l yang diungkapkan didukung penilaian ulama lain yang juga menjadi rujukan dalam ilmu jarh wa ta’di>l. Jadi, penilaian Ibn Hibban lebih kuat. 3.2. Mendahulukan ta’di>l atas jarh yang samar. Penilaian tarji>h dengan menerapkan kaidah ini bisa disimpulkan bahwa penilaian Ibn Hibban harus didahulukan dari pada penilaian Yahya bin Ma’in, karena jarh yang dilontarkan Yahya bin Ma’in masih samar sebab tidak disertai keterangan jelas dari penilaian jarh tersebut.
75
3.3. Menjelaskan perbedaan para imam dan kritikus dalam jarh wa ta’di>l. Ketika menjelaskan perbedaan penilaian, maka harus dipahami secara hermeneutik dari penilaian tersebut. Pemahaman hermeneutik membutuhkan pengetahuan secara komprehensif pribadi kritikus, meliputi pre-knowledge, preferensi dan semua hal yang dapat mempengarui penilaiannya terhadap rawi. Dari penelitian yang kami lakukan, Yahya bin Ma’in terkadang melontarkan cercaan kepada orang yang berbeda madzhab dengan beliau14. Beliau juga menilai beberapa rawi dengan penilaian yang berubah-ubah, meskipun beliau seorang pakar dalam jarh wa ta’dil. Ketika menilai Ahmad bin Isa, Yahya bin Ma’in tidak menyertakan alasan dan keterangan dari penilaiannya. Sedangkan penilaian Ibn Hibban mendapat persaksian dari ulama kritikus lain yang juga pakar dan menjadi rujukan dalam hal ilmu rijal dan diakui
mu’tadil dalam jarh wa ta’dil, sehingga penilaian tarjih menyimpulkan lebih diterima penilaian dari Ibn Hibban. 3.4. Tidak diterima penilaian jarh dari mereka yang berbeda keyakinan, kecuali dijelaskan tafsir penilaian jarh tersebut. Ketika kaidah ini diterapkan dalam tarjih ketika menyimpulkan kualitas Ahmad bin Isa, peneliti tidak menemukan keterangan apakah Yahya bin Ma’in dan Ibn Hibban berbeda madzhab dengan Ahmad bin
14
Contoh : cercaan beliau terhadap imam Syafi’i yang ternyata berdasar perbedaan madzhab, sebab beliau lebih cenderung mendukung madzhab Hanafiah.. (lihat Abdul Hayyi alLaknawi dalam al-Raf’u wa al-Takmi>l)
76
Isa atau semadzhab. Namun, keterangan yang jelas dan ditemukan adalah Yahya bin Ma’in tidak menjelaskan tafsir dari penilaian jarhnya. 3.5. Tidak diterima jarh yang samar dari ulama mutasyaddid ketika penilaian ta’dil rawi yang dimaksud layak diterima. Merujuk kaidah ini, maka penilaian jarh dari Yahya bin Ma’in patut
dikesampingkan.
Sebab,
penilaian
beliau
samar
tanpa
keterangan dan alasan jelas, beliau juga tergolong kritikus
mutasyaddid. Sedangkan penilaian ta’dil atas Ahmad bin Isa patut diterima seperti diungkapakan para kritikus lainnya. Dalam
hal
ini,
penilaian
Ibn
Hibban
diterima
dan
dimenangkan. 3.6. Tidak diterima perkataan ulama sezaman kecuali dijelaskan keterangannya. Apabila kaidah ini terapkan ketika melakukan tarjih dari kasus yang diteliti, maka penilaian jarh Yahya bin Ma’in dikalahkan karena beliau merupakan ulama sezaman dengan Ahmad bin Isa, penilaian tersebut juga tanpa keterangan jelas, sehingga penilaian Ibn Hibban dimenangkan.
77
3.7. Mentsiqahkan rawi yang majru>h tidak menunjukkan hilangnya jarh rawi yang dimaksud. Dari kaidah ini disimpulkan bahwa penilaian s}iqah Ahmad bin Isa tidak berarti hilangnya jarh yang disematkan padanya, apabila jarh tersebut benar-benar melekat pada diri Ahmad bin Isa. 3.8. Penilaian jarh diperhitungkan meskipun yang memuji lebih banyak. Merujuk pada kaidah ini, maka penilaian jarh dari Yahya bin Ma’in terhadap Ahmad bin Isa dipertimbangkan dan patut ditarjih dengan mengkomparasikan penilaian ta’dil yang disematkan pada Ahmad bin Isa. 3.9. Jika yang memuji lebih banyak, maka penilaian ta’dil didahulukan. Dalam tarjih yang penulis lakukan, didapati bahwa kritikus yang memuji (men-ta’dil) Ahmad bin Isa lebih banyak dibanding kritikus yang mencela (men-jarh). Sehingga, penilaian ta’dil dimenangkan. 3.10.
Jika ada kontroversi jarh wa ta’dil, maka tidak bisa dimenangkan
salah satunya kecuali menurut murajjih sendiri. Kontroversi penilaian jarh wa ta’dil membutuhkan tarjih untuk menentukan pendapat yang patut dimenangkan. Dan hal itu lebih banyak bergantung pada murajjih (orang yang men-tarjih) dalam menentukan kesimpulannya. Satu hal yang harus diperhatikan adalah sikap netral dan harus menampung semua pendapat yang mengemuka agar supaya kesimpulan tarjih-nya tidak didasari hawa nafsu.
78
Setelah menimbang dan mengakomodir semua penilaian jarh wa
ta’dil terhadap Ahmad bin Isa, peneliti memenangkan pendapat ta’dil terhadap Ahmad bin Isa. Kesimpulan dari tarjih yang penulis analisa adalah : para ulama telah berselisih pendapat mengenai Ahmad bin Isa al-Mishri, sebagian menilai ‘adil dan s\iqah sebagian lain menilai dhaif dan kaz\b. sebagaimana penilaian Al-Dzahabi dalam kitab al-Mughni fi al-Dhu’afa (jilid 1/15), penulis juga menilai Ahmad bin Isa tsiqah, sebab penilaian kaz\ab Yahya bin Ma’in dan Abu Zur’ah adalah hal yang berlebihan. Jadi tarjih yang bisa diangkat atas rawi Ahmad bin Isa adalah jujur dan tsiqah. Sebab : [1] pendapat Yahya bin Ma’in yang notabene ulama sezaman tidak dapat diterima karena tanpa disertai penjabaran dari perkataannya, [2] jumlah ulama yang men-ta’dil Ahmad bin Isa lebih banyak dari jumlah ulama yang men-jarh. Setelah mengamati hasil penerapan kaidah untuk menentukan tarji>h terhadap rawi mukhtalaf fi>h, penulis simpulkan implikasi periwayatan Ahmad bin Isa al-Mishri shahih dan diterima (maqbu>l). Imam Bukhari juga meriwayatkan tiga hadits dari Ahmad bin Isa alMishri, salah satunya hadits “ﺻ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻃﻮاف
”ان اول ﺷﻴﺊ ﺑﺪا ﺑﻪ ا.
79
B. Periwayatan Ahmad bin Isa al-Mishri dalam shahih Bukhari Hadits yang dimaksud adalah
َ ْ َ ََ ْ ُ َ ْ َ َُ َ َﺣﺪ َﻨَﺎ أَ ْ َ ُﺪ ْ ُ ﺧ َ َ َ ْﻤ ُﺮو ْ ُﻦ ا ْ َ ﺎر ِثْ ،ﻦ ﻤ ِﺪ : ﻗﺎل ، ﺐ ﻫ و ﻦ ا ﺎ ﻨ ﺪ ﺣ ، ﻋ ﻦ أ ِ ٍ ِ ِ َ ُ َ ََ ُ ْ َ َ ْ َ َْ َ َ َ َ ْ َ ﺑْﻦ َ ﺒْ ِﺪ ا ﺮ ْ َﻦ ﺑْﻦ ﻧَ ْﻮﻓَﻞ اﻟْ ُﻘ َ ا ﺞ ﺣ ﺪ ﻗ : ﺎل ﻘ ، ﺰ ا ﻦ ة و ﺮ ﻋ ل ﺄ ﺳ ﻪ ﻧ ، ِ ﺮ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ َََ َ َ َ َ ُ ََ َ ُ َ َ ََ ْ ََْ َ َ ُ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ َ ْ ٍء ﺑﺪأ ﺑِ ِﻪ ِﺣ ﻗ ِﺪم ﻧﻪ ﺗﻮﺿﺄ ،ﻢ ﻃﺎف ِﺸﺔ ر ِ اﷲ ﻨﻬﺎ أن أول ﻓﺄﺧ ﺗ ِ َََ ُ َُْ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ْ َ ُ ُ ً ْ ْ ﺖ ،ﻢ ْﻢ ﺗ ْﻦ ْﻤ َﺮة ،ﻢ َﺣﺞ أﺑُﻮ ﺑَ ٍﺮ َر ِ َ اﷲ ﻨﻪ ﻓ ن أول ْ ٍء ﺑﺪأ ﺑِ ِﻪ ﺑِﺎ َﻴ ِ َ ُ ُ َْ َ ُ ْ ُ ًَْ ُ ُ َُ َ َ ُ َُْ ْ َ َ ُ ْ ْ اﷲ ﻨﻪ ِﻣﺜﻞ ذ ِﻚ ،ﻢ َﺣﺞ ﺖ ،ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤﺮة ،ﻢ ﻤﺮ ر ِ اﻟﻄﻮاف ﺑِﺎ َﻴ ِ َََ ُ ْ َ ُ َ َ ُ َ ُْ َََْ ُ ُ َ ُ َ َ ُ ُ َ َ ُ ُ ً اف ﺑﺎ ْ َﻴْ ْ ﻮ اﻟﻄ ﻪ ﺑ أ ﺪ ﺑ ء ﺜﻤﺎن ر ِ اﷲ ﻨﻪ ﻓﺮأ ﺘﻪ أول ﺖ ،ﻢ ْﻢ ﺗ ْﻦ ْﻤ َﺮة، ٍ ِِ ِ ِ َ َ ْ ََ َ َ َ ْ ُ ُ ََ ُ َ َ ْ ُﻢ ُﻣ َﻌ َ ُ َ ْ ُ ﺠ ُ ﺖ َﻣ َﻊ أ ِ ا ﺰ َ ْ ِ ﺑْ ِﻦ اﻟ َﻌﻮامِ ﻓ ن أول ْ ٍء اﷲ ﻦ ﻤﺮ ،ﻢ ﺣﺠ ﺎو ﺔ َو ﺒﺪ ِ َ ِ َْ ُ َْ َ ُ ْ ُ ْ َ ً ُ ََْ ُ ْ َ ُ َ َ َْْ َ َ َْ َ ُ َ ََ ْ َ ُ ﺎﺟ ِﺮ ﻦ واﻷﻧﺼﺎر ﻔﻌﻠﻮن ﺑﺪأ ﺑِ ِﻪ اﻟﻄﻮاف ﺑِﺎ ﻴ ِ ﺖ ،ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤﺮة ،ﻢ رأﻳﺖ ا ﻤﻬ ِ َ َ ُ َْ َ ُ ْ ُ ْ ً ُ ُ َ ْ ََْ ُ َ َ َ َ ُ َ َُْ ْ ُ ﺖ َﻌﻞ ذ ِﻚ ا ْ ُﻦ َﻤ َﺮ ،ﻢ ْﻢ ﻨﻘﻀ َﻬﺎ آﺧﺮ ﻣﻦ رأﻳ ذ ِﻚ ،ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤ َﺮة ،ﻢ ِ َ ُ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َ ً َ َ َ ْ ُ ُ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َُ َ ُ َ َ َ َ ٌ َﻣﺎ ﻧﻮا ﺒْﺪ ُءون ﺣﺪ ِ ﻤﻦ ﻤﺮة ،وﻫﺬا ا ﻦ ﻤﺮ ِﻋﻨﺪﻫﻢ ﻓﻼ ﺴﺄ ﻮﻧﻪ وﻻ أ َْْ ُ َ َ َ َ َ ْ ََْ ُ ُ َ َ َ َ ْء َ ﺣ ﻳَ َﻀ ُﻌﻮا أَﻗْ َﺪا َ ُﻬ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﻄ َ ﺎ ﺑ اف ﻮ ﺎﻟ ﺧ و أ ﺖ ﻳ أ ر ﺪ ﻗ و ، ﻮن ﻠ ﻻ ﻢ ﺖ ﻴ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ َ ْ َ َ َ َ ُ ْ َْ َُ َ ََْ َ َْ َ َ َْ َ َ ﺎن ﺑِ ِﻪ ،ﻢ ﻻ ِ ﻼ ِنَ ،وﻗﺪ ﺎن ِ ْ ٍء أول ِﻣﻦ ا ﻴ ِ ﺎن ،ﻻ ﺗ ﺘ ِﺪﺋ ِ ِﺣ ﻘﺪﻣ ِ ﺖ ﻄﻮﻓ ِ َ ْ ََ ْ ُ َ َ َ َ ْ َ َُ ْ َُ َ َُْ َ َُ ٌ َ َُ ٌ ُ ْ َ ََ َ ُ َ ﻬﺎ أﻫﻠﺖ ِ وأﺧﺘﻬﺎ وا ﺰ وﻓﻼن وﻓﻼن ﺑِﻌﻤﺮ ٍة ،ﻓﻠﻤﺎ ﺴﺤﻮا أﺧ ﺗ ِ أ ْ 15 ا ﺮ َﻦ َﺣﻠﻮا " Skema sanad hadits diatas sebagai berikut : Rawi hadits ﺸﺔ ﺑﻨﺖ اﺑﻮ ﺑ ﺮ ا ﺼﺪﻳﻖ ﻋﺮوة ﺑﻦ ا ﺰ
اﻻﺳﺪي
Shighat tahammul اﺧ ﺗ
ﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ا ﺮ ﻦ اﻻﺳﺪي
ﺳﺄل) اﺧ
ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ا ﺎرث اﻻﻧﺼﺎري
ﻋﻦ
ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ وﻫﺐ اﻟﻘﺮ
اﺧ
ا ﺪ ﺑﻦ ﻋ
) اﺑﻦ ا
ﻤﺪ ﺑﻦ اﺳﻤﺎﺋﻴﻞ ا ﺨﺎرى
ﻮ (
(
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺣﺪﺛﻨﺎ
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari,Juz 2 (Beirut : Da>r al-Fikr,2000),
15
hlm. 168
80
Kalau diamati, memang ada hal yang perlu dijelaskan, berkenaan dengan cerita Abu Hatim al-Razi tentang isu ketika beliau berkunjung ke Mesir. Dalam cerita itu, diisukan bahwa Ahmad bin Isa hanya membeli beberapa kitab Ibn Wahb dan tidak diinformasikan adanya proses ‘ada wa
tahammul diantara keduanya. Namun, pemakaian shighat tahammul yang dipakai Ahmad bin Isa adalah “ ”ﺣﺪﺛﻨﺎsaat meriwayatkan kepada imam Bukhari. Kasus diatas sekilas mengurangi sisi kredibilitas Ahmad bin Isa, jika dikaitkan dengan isu yang diceritakan Abu Hatim al-Razi. Namun, misalkan isu itu benar, masih ada hadits sebagai muttabi dari rawi yang lebih kredibel dari beliau.
Muttabi dan syawahid dari rawi yang lebih kredibel dapat menguatkan predikat hadits dari rawi yang kurang kredibel sesuai kaidah “Taqwiyat al-
Aha>di>ts bi al-Syawa>hi>d wa al-Muta>ba’a>t”. Dari takhrij hadits ditemukan dua hadits yang menjadi ta>bi’ satu hadits ada di shahih Bukhari melalui riwayat Ashbagh (w. 225 H) bab man tha>fa bi
al-bait idza qadima makkah, dan satu lagi ada di shahih Muslim melalui riwayat Harun bin Sa'id (w.253 H) bab ma> yulzam man tha>fa bi al-bait. Keduanya meriwayatkan hadits dari Ibn Wahb (w.197 H). Pendapat ulama mengenai Ashbagh dan Harun bin Sa’id sebagaimana dalam tabel berikut16 :
16
Program jawami al-kalim ver.4,5 (islamweb.net)
81
Ashbagh
Harun bin Sa’id
, ن اﺟﻞ اﺻﺤﺎب اﺑﻦ وﻫﺐ: اﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ا ﺮازي
ﺻﺪوق
ا ﻘﺎت
ذﻛﺮه: اﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن
ﺛﻘﺔ ﺛﻘﺔ: ﺑﻦ ا ﺴ ﻦ
اﺑﻮ
ﺛﻘﺔ ﺻﺎﺣﺐ ا ﺴﻨﺔ: ا ﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ اﻟﻌﺠ ﺛﻘﺔ ﻓﻘﻴﻪ: اﺑﻦ ﺣﺠﺮ اﻟﻌﺴﻘﻼ
ن ﻣﻦ اﻋﻠﻢ ﺧﻠﻖ اﷲ ﻬﻢ:
ا ﻘﺎت
ﺷﻴﺦ: اﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ا ﺮازى
ذﻛﺮه: اﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن
ﺛﻘﺔ: ى
اﺑﻮ ﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﻳﻮ ﺲ ا
ﺛﻘﺔ: ا ﺪ ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ اﻟ ﺴﺎئ
ﺛﻘﺔ ﻓﺎﺿﻞ: اﺑﻦ ﺣﺠﺮ اﻟﻌﺴﻘﻼ ﻓﻘﻴﺔ ﺛﻘﺔ: ا ﻫ
ﺑﻦ ﻣﻌ
ﺑﺮأي ﻣﺎ ﻚ
Dari tabel tersebut, kedua rawi yang menjadi tabi’ dari hadits yang dimaksud berkualitas dengan tingkat martabat qabul. Hasil komparasi hadits yang diriwayatka Ahmad bin Isa dengan riwayat kedua rawi diatas, tidak ditemukan hal yang janggal dan mungkar. Imam Muslim juga memberikan komentar mengenai periwayatan Ahmad bin Isa, apabila riwayatnya dinilai dhaif, maka terangkat predikatnya oleh riwayat orang yang lebih tsiqah darinya, riwayat asli hadits juga diketahui dari guru yang tsiqah17.
17
Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma> al-Rijal, ed Basyar Awdh Ma’ruf (Baghdad : Muassasah al-Risalah), hlm. 420