BAB III PANDANGAN TOKOH MUHAMMADIYAH KOTA PEKALONGAN TERHADAP PENGGUNAAN HADIS DHA’IF UNTUK FADHAIL AL A’MAL
A.
Profil Muhamamadiyah Kota Pekalongan. Secara historis, kelahiran Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari sosok pendirinya, K. H. Ahmad Dahlan. Pengalaman pribadi, pengalaman intelektual dan situasi yang dihadapinya merupakan faktor yang mendorong lahirnya gerakan ini. K. H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Pada waktu ibadah haji yang pertama, mendapatkan ijazah nama Ahmad Dahlan dari pengikut Syafi‟i, Sayyid Bakri Shatha‟. Ayahnya bernama K. H. Abu Bakar seorang Khatib Masjid besar kota Yogyakarta dengan gelar Khatib Amin, yang menurut riwayat silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Pada tahun 1896 M, K. H. Abu Bakar wafat, maka jabatan Khatib Amin dilimpahkan kepada putranya K. H.Ahmad Dahlan. 1 1.
Sejarah Muhammadiyah Kota Pekalongan.2 Pada sekitar tahun duapuluhan, Pekalongan adalah kota kecil yang cukup dinamis. kondisi sosio-ekonominya sudah terhitung maju.
1
Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam Pustaka Pelajar Yogyakarta, Cet III 2003, hal 109-110. 2 Masyhudi Sa'an, Kaderisasi dan Tantangan Masa Depan Dalam Milad Muhammadiyah ke-85 dari berbagai sumber- PDM 1994 / 1415 H. Hal 31-34, diakses dari http://www.sangpencerah.com/2013/10/muhammadiyah-diperkenalkan-dari-gedung.html pada September 2015.
38
Barangkali,
ini lantaran
letak
Pekalongan
berada
di
kawasan pantai utara Jawa, disamping sebagai ibukota karesidenan. Posisi itu menjadikan Pekalongan sebagai kota yang strategis tidak hanya bagi kaum pedagang, pun bagi orang-orang pergerakan Pekalongan menjadi salah satu peta yang harus diperhitungkan. Suatu ketika, tersiar kabar bahwa HOS Cokro Aminoto, tokoh pergerakan kebangsaan akan berpidato dalam rapat umum. Dan 'konon rapat 'umum itu juga akan menampilkan seorang kyai dari KaumanYogyakarta. Tokoh yang kedua ini sedang ramai dibicarakan orang (kalangan santri) karena pendapatnya yang dalam bahasa sekarang "Kontroversial". Rapat Umum itu adalah peristiwa besar dan langka untuk sebuah kota Pekalongan. Dalam pandangan Rum yang waktu itu masih kelas 4 HIS mendengarkan pidato tokoh-tokoh dalam rapat umum sungguh sangat istimewa. Bersama kakak iparnya, Ranuwiharjo , Muhammad Rum yang mulai remaja itu "nonton'' rapat umum di gedung Bioskop Irama. Tampillah apa yang ditunggu-tunggu banyak orang. Cokro Aminoto berpidato berapi-api tentang politik, kesadaran berbangsa dan bernegara disemburkan dalam gedung bioskop yang padat dengan pengunjung. Isi pidatonya benar-benar membakar dan membangkitkan sentimen terhadap pemerintah kolonial Belanda. Tak kecuali Rum remaja seperti membara darah mudanya. Tentu saja bagi kalangan
39
pemerintah, pidato Cokro itu sangat menyentak dan menyengat sehingga telinga menjadi merah dibuatnya. Lain lagi dengan pidato tokoh kedua. Kyai Ahmad Dahlan tampil dengan lugu dan tenang. Yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata yang menyejukkan. Beliau banyak berbicara tentang masyarakat dan kehidupan beragama. Ayat-ayat Al- Quran dan Hadis yang ia kemukakan bagai menyiram tanah yang lama kekeringan dengan hujan air salju. Suasana rapat umum menjadi hening, hati para pengunjung tersentuh kalimatkalimat Kyai Dahlan. Berawal dari rapat umum di gedung bioskop itulah orang Pekalongan
berkenalan
dengan
gerakan
yang
bernama
Muhammadiyah. Sebuah gerakan Islam amar makruf nahi munkar. Adalah Ranuwirjo seorang aktivis PSII adalah satu dari sekian orang yang tertarik dengan usaha-usaha Muhamadiyah dengan gerakannya. Menurutnya, Muhammadiyah yang dikenalkan oleh Kyai Dahlan mengisyarakatkan
bagaimana
berislam.
Kyai
Dahlan
dengan
Muhammadiyahnya memberikan contoh nyata bagaimana Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa mengurangi perhatiannya terhadap politik, sejak saat itu Ranuwiharjo pegawai kantor pegadaian yang kemudian berjualan batik, mulai berpikir bagaimana ikut melebarkan sayap pergerakan Muhammadiyah yang berdiri di Yogya tahun 1912 diterapkan di Pekalongan. Untuk merealisasikan pemikirannya, beliau mulai
40
berkomunikasi dengan sahabatnya, Sutan Mansyur, seorang mubaligh terkenal dari tanah Minang untuk mewujudkan pemikirannya. Sebagai orang pergerakan mereka sudah mengantisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan kendala yang menghadang ide-idenya. Terutama dan yang pasti adalah sinisnya kalangan pemerintah waktu itu. Hal lain adalah reaksi yang datang dari kalangan santri Pekalongan yang belum sepenuhnya menerima pemikiran keislaman Kyai Dahlan melalui pergerakan Muhammadiyahnya. Hebatnya pidato Kyai Dahlan Ternyata tidak hanya dikagumi Ranu dan Sutan saja yang notabene adalah pendatang. Dikalangan putra-putra
daerah
asli
juga
sudah
merebak
perbincangan
kemungkinan mendirikan cabang Muhammadiyah di Pekalongan. Mereka adalah Citro Suwarno, Mu'arif, Abdul Hadi dan lain-lain. Seperti gayung bersambut, putra-putra daerah itu keternu ide dengan Ranu dan Sutan Mansur. Mereka kemudian sering mengadakan pertemuan kecil. Lalu bersama istri-istri mereka mengadakan kelompok pengajian yang mereka namakan kelompok tabligh. Dari kelompok tabligh tersebut kemudian pada tahun 1923 Pengurus Besar Muhammadiyah
mernberi
lampu
hijau
untuk
berdirinya
Muhamrnadiyah di Pekalongan dan baru pada tanggal 1 Juli 1928 mendapat surat pengesahan dengan nomor 12/P.K Nama-narna di atas yang dinobatkan menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah periode awal dengan ketuanya Sutan Mansyur. Bukan orang Muhammadiyah
41
kalau hanya banyak omong tanpa berbuat sesuatu. Meski sederhana, dengan bangunan dari bambu, cabang Muhammadiyah baru itu mendirikan HIS Muhammadiyah, menempati sebagian tanah di sebelah rumah Ranuwiharjo. Siswanya adalah anak-anak mereka sendiri. Iskandar Ranuwiharjo dan Dahlan Ranuwiharjo adalah dua diantara siswa pertama HIS Muhammadiyah Pekalongan. Tercatat pada tahun 1927 HIS Muhammadiyah pernah dijadikan ajang Kongres (Muktamar) Muhammadiyah. Salah satu hasilnya adalah
keputusan
tentang
terbentuknya
Majlis
Tarjih.
HIS
Muhammadiyah yang terletak di Kelurahan Poncol (Jl. Wahidin) itu merupakan peninggalan Ranuwiharjo yang wafat pada tahun 1926. Setelah HIS pindah, gedung yang semula bambu itu dipakai untuk TK Aisyiah. Oleh ibu-ibu Aisyiah yang dimotori oleh istri Ranuwiharjo (Muti' ah) gedung itu dijadikan tempat pertemuan Aisyiah dengan diberi nama Wisma Ranuwiharjo. Kini gedung itu menjadi Rumah Bersalin Siti Aisyiah. Pergerakan pendiri Muhammadiyah Pekalongan berjalan dengan pasang surut, namun ruh perjuangan dengan segala keikhlasannya tak pernah lekang karena panas tak juga lapuk karena hujan. Perjuangan mereka disamping menegakkan Islam juga dituntut mernperjuangkan kemerdekaan bangsa. Gelombang patriotik di kalangan pemimpinpemimpin Muhammadiyah pada tahun tigapuluhan hingga awal
42
limapuluhan tak pernah berhenti. Bahkan hingga para pemimpin itu uzur dan akhirnya wafat. Ibarat
patah
tumbuh
hilang
berganti,
kader-kader
Muhammadiyah selanjutnya siap menerima estafet kepernimpinan. Muncul pemimpin baru pada tahun limapuluhan seperti R. . Mohammad Toyeb, A. Salim, Dahlan Cholil, Adnan Martawirdja, A. Muhajir Bakri, dll. Beliau-beliau itulah generasi kedua dalam kepemimpinan Cabang Muhammadiyah hingga tahun 1965, yang kemudian melahirkan angkatan berikutnya; Mufidi Abbas, Sutji Mardiko, Zein Daud, Muhammad Buchori, M. Thojib, Edi Sukaryo dan lain-lain. (Maaf yang masih hidup tidak kami sebut). Berawal dari pidato Kyai Dahlan sekitar tahun 1921 di bioskop Irama itu Muhammadiyah Pekalongan yang kemudian berbias kedaerah-daerah lain se eks karesidenan Pekalongan. Bahkan sekarang Pirnpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pekalongan baik anggota maupun jumlah amal usahanya dibanding daerah-daerah lain seperti Kab.Pekalongan, Kab. Pemalang dan Tegal dapat dikatakan tertinggal.
2.
Peranan Muhammadiyah di Masyarakat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, bukan sekedar organisasi, lebih-lebih dalam pengertian administrasi yang bersifat
teknis. Sebagai
gerakan Islam,
Muhammadiyah
merupakan suatu gerakan agama (relegious movement), yang di
43
dalamnya
terkandung
sitem
keyakinan
(belief
system),
pengetahuan (knowledge), organisasi, dan praktek-praktek aktivitas (practise activity) yang mengarah pada tujuan (goal) yang
dicita-citakan.3Adapun
maksud
dan
tujuan
Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarbenarnya.4 Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan merupakan “Gerakan Islam”. Maksud gerakannya
yang ialah
“Dakwah Islam dan Amar ma’ruf Nahi Munkar” yang ditujukan kepada dua bidang : perseorangan dan masyarakat dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan : a.
Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni.
b.
Kepada yang belum Islam, bersifat seruan atau ajakan untuk memeluk Islam. Adapun dakwah Islam dan amar ma’ruf nahi munkar
bidang kedua ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan, bimbingan dan peringatan. Kesemuanya itu
3
dilaksanakan
Haedar Nashir, Meneguhkan Idiologi Muhammadiyah (Malang UMM Press), 2007, Cet II, hal. 5 Pengantar: DR. Haedar Nashir Manhaj Gerakan Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah Yogyakarta 2012, hal 288 4
44
bersama dengan bermusyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridhaan Allah semata-mata.5 Dalam mewujudkan cita-cita Muhammadiyah tersebut, Muhammadiyah membentuk majelis-majelis yang menangani berbagai bidang. Majelis-majelis tersebut
mempunyai fungsi
masing-masing sebagai repesentasi terhadap cita-cita tersebut yang diaktualisasikan dalam amal usaha, program dan kegiatan. Majelis-majelis tersebut adalah :6 1.)
Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus. Adalah
suatu
pembantu
menggerakkan tabligh
pimpinan
yang
bertugas
atau menyiarkan ajaran agama
Islam kepada seluruh umat manusia dengan segenap lapisan masyarakat.
Tugas
dakwah khusus
adalah
melakukan dakwah Islamiyah ditempat-tempat terpencil yang memerlukan strategi khusus. 2.)
Majelis Tarjih dan Tajdid Menurut bahasa kata “tarjih “ berasal dari “rajjaha” yang berarti memberi pertimbangan lebih dari yang lain. 7yang dimaksud majelis tarjih adalah suatu majelis yang bertugas membahas hukum-hukum Islam yang sesuai dengan Al-
5
Pengantar: DR. Haedar Nashir Manhaj Gerakan Muhammadiyah Suara Muhammadiyah Yogyakarta 2012, hal 43. 6 Dimas Aryo Sumulih, Nevyaning n. Setyani, Pendidikan Kemuhammadiyahan Sekolah Dasar/madrasah ibtidaiyah Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka SM, 2007) hal 30-34. 7 Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi Pustaka Pelajar Yogyakarta Cet III 2004, hal 3.
45
Qur‟an
dan
As-sunnah.
Tokoh
sentral
dibalik
pembentukan Majelis Tarjih adalah K.H. Mas Mansur. Pada kongres Muhammadiyah ke-16, tahun 1927 di Pekalongan, Mas Mansur mengusulkan agar dibentuk Majelis
tarjih
yang
bertugas
mengeluarkan
fatwa
berkenaan dengan masalah-masalah tertentu yang muncul di tengah masyarakat.8 3.)
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Adalah
majelis
yang
bertugas
menyelenggarakan
pendidikan pada pendidikan tingkat dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan khusus (Muallimat, Kulliyatu Muballighin). 4.)
Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan. Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang perekonomian berusaha memajukan kaum lemah untuk dapat berwirausaha, berdagang kecil dengan prinsip gotong royong, koperasi atau sistem kekeluargaan.
5.)
Majelis Pendidikan Kader Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah, berusaha mengembangkan kualitas sumberdaya kader Muhammadiyah yan pelaksanaannya dilakukan secara
8
DR. Kasman., Hadits dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta. Mitra Pustaka Cet I. 2012, hal 78.
46
bertahap. Tujuan pengkaderan adalah terbentuknya kader Muhammadiyah yang memiliki ruh (spirit) serta integritas dan kompetensi untu berperan di persyarikatan dalam kehidupan umat dan dinamika bangsa sertakonteks global. 6.)
Majelis Pendidikan Tinggi Pengembangan dan Penelitian Muhammadiyah membentuk majelis ini yang bertugas mengurus pendidikan tinggi serta melakukan penelitian dan pengembangan untuk kemajuan Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
7.)
Majelis Kesehatan Masyarakat. Adalah majelis yang bergerak di bidang amal usaha kesehatan, membimbing anak yatim, fakir miskin, urusan penyembelihan
hewan
kurban,
khitanan,
mengurus
jenazah dan sebagainya. Juga membina kesejahteraan umat melalui pemanfaatan dan pendaya gunaan zakat, infak, dan wakaf, agar tercapai tujuan Muhammadiyah. Seiring perkembangan kebutuhan maka unsur pembantu pimpinan Muhammadiyah yang terdiri atas Majelis, Lembaga, dan Badan pun turut berkembang sesuai kebutuhan. Hal ini sesuai amanat dari Anggaran Dasar dan anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah bahwa Majelis dibentuk oleh Pimpinan
47
Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, dan Pimpinan Cabang di tingkat masing-masing sesuai kebutuhan.9
B.
Amal Usaha Muhammadiyah Kota Pekalongan. 1.
Susunan
Personalia
Pimpinan
Daerah
Muhammadiyah
Kota
Pekalongan periode 2010-201510 ; Penasehat
:
Ir. H. Eddi Supardi Manifes Zubayr, BA
Ketua Wakil Ketua I Wakil Ketua II Wakil Ketua III Wakil Ketua IV Wakil Ketua V
: : : : : :
Dr. H. M. Hasan Bisysri, M. Ag H. Slamet Mahfudh, BA Drs. H . Ghozali Dr. H. Imam Suradji, M. Ag H. Hasan Bisri, S. Ag Drs. H. Kartono, MM
Sekretaris : Wakil Sekretaris : Bendahara :
Bagiyo HS, Ama. Pd M. Bilal, S. HI H. Badarudin
Unsur pembantu Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pekalongan. Majelis dan Lembaga : 1.
Majelis Tarjih dan Tajdid Ketua : Dr. Akhmad Jalaludin , MA
2.
Majelis Tabligh Ketua : Drs. H. Nurkhan
3.
Majelis Pendidikan Kader Ketua : Drs. Abuzar
9
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah Yogyakarta 2002, BAB V pasal 15. 10 Sekretariat PD Muhammadiyah Kota Pekalongan : Jln. K.H. Mas Mansyur No. 2 Telp. (0285) 423850 fax (0285) 423850 Pekalongan
48
4.
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (DIKDASMEN) Ketua : Drs. H. Suparto, M. Pd
5.
Majelis Pelayanan Kesehatan Umum Ketua : dr. H. AS. Sewoyo Hadi
6.
Majelis Pelayanan Sosial Ketua : M. Fuad Hatta
7.
Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Ketua : Kisyono, SE
8.
Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Ketua : Muflichin SE
9.
Majelis Pemberdayaan Masyarakat Ketua : Oemar Khayyam El Arief, SU
10.
Majelis Pustaka dan Informasi Ketua : M. Imaduddin, S. Ag
11.
Lembaga Penanganan Bencana (LPB/MDMC) Ketua : Heri Kuswanto
12.
Majelis Lingkungan Hidup Ketua : drh. Widagdo
13.
Lembaga Pengembagan Cabang dan Ranting Ketua : Drs. Pasrum Affandi
14.
Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU) Ketua : H. A. Yani Setiawan, SE
15.
Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Ketua : Andi Abdillah,S.Pd.
2. Data Amal Usaha Muhammadiyah Kota Pekalongan. Dalam perkembangannya, pergerakan Muhammadiyah di Indonesia hingga akhir tahun 2014 di bidang pendidikan telah memiliki 176 Perguruan Tinggi, 14346 TK ABA-PAUD, 2604 SD/MI, 1772 SMP/MTs, 1143 SMA/SMK/MA, 71 SLB, 102 PONPES. Dalam bidang kesehatan dan
49
pelayanan sosial, Muhammadiyah tercatat memiliki 457 Rumah Sakit dan Rumah Bersalin, 421 Panti Asuhan, 82 Panti Berkebutuhan Khusus, 78 Asuhan Keluarga, 54 Panti Jompo, 1 Panti Khusus Bayi Terlantar dan lainlain.11 Adapun Amal Usaha di bidang pendidikan yang dikelola oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Pekalongan diantaranya 12 : No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Amal Usaha STIE Muh Pekalongan SMA Muh Pekalongan SMK Muh Pekalongan SMP Muh Pekalongan MTs Muh Pekalongan SD Muh 02 Bendan SD Muh 01 Kandang Panjang SD Muh 02 Noyontaan SD Muh 01 Kuripan Kidul SD Muh Kramatsari
Lokasi Jln. KH. Mas Mansyur No. 2 Pekalongan Jl. KH.Mas Mansyur Pekalongan Jln. AMD No. 1 Pekalongan Jln. Pramuka No. 1 Pekalongan Jln. A. Yani No. 9. Pekalongan Jln. Kurinci No. Pekalongan Jl. Tentara Pelajar No. 73 Pekalongan Jln. Dr. Wahidin No. Pekalongan Jln. HOS Cokroaminoto Kurian Kidul Pkl Kramatsari III Pekalongan
C. Pandangan Tokoh Muhammadiyah Kota Pekalongan Terhadap Penggunaan Hadis Dha’if Untuk Fadhail Al A’mal 1. Pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah Dalam Penggunaan Hadis Sebagai Dasar Hukum. Dalam memutuskan suatu persoalan, Majlis Tarjih Muhammadiyah berpatokan pada ketentuan yang telah dirumuskan dalam pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah sebagai berikut : 13
11
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Program Muhammadiyah 2015-2020, hal 27. Sekretariat PD Muhammadiyah Kota Pekalongan : Jln. K.H. Mas Mansyur No. 2 Telp. (0285) 423850 fax (0285) 423850 Pekalongan 13 Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, Pustaka Pelajar Yogyakarta Cet III 2004, hal. 12-14 12
50
a. Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung. b. Dalam memutuskan suatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama'i. Dengan demikian pendapat perorangan dari majelis tidak dapat dipandang kuat. c. Tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur'an dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat. d. Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang lebih kuat. Dan koreksi dari siapapun akan diterima sepanjang dapat memberikan dalil-dalil yang lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis tarjih akan mempertimbangkan untuk mengubah keputusan yang telah ditetapkan. e. Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawattir. f. Tidak menolak ijma' sahabat, sebagai dasar suatu keputusan. g. Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta'arud dipergunakan cara: al-jam'u wa'l-tawfiq. Dan kalau tidak dapat, baru dilakukan tarjih. h. Menggunakan asas sadd-u'l-dzara'i untuk menghindari terjadinya fitnah dan masfsadah. i. Menta'lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah: a-hukmu yadiru ma'a illatihi wujudan wa'adaman dalam hal-hal tertentu dapat berlaku. j. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.
51
k. Dalil-dalil umum al-Qur'an dapat ditakhsis dengan hadis ahad kecuali dalam bidang aqidah. l. Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip al-taysir m. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari alQur'an dan as-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi. n. Dalam hal-hal yang termasuk al-umur-u dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat. o. Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima. p. Dalam memahami nash, makna dhahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah, ta’wil sahabat dalam hal itu, tidak harus diterima.
2. Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah Terkait Penggunaan Hadis. Dalam menggunakan hadis, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagai berikut : 14 a. Hadis Mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah. b. Hadis Mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu‘ dapat dijadikan hujjah. c. Hadis Mauquf termasuk kategori marfu‘ apabila terdapat qarinah yang darinya dapat difahami ke-marfu„annya kepada Rasulullah saw. d. Hadis Mursal Tabi‘i murni tidak dapat dijadikan hujjah. e. Hadis Mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya. f. Hadis Mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya.
14
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Op. Cit hal 302-303, H. Fathurrahman Djamil Op. Cit Lampiran II.
52
g. Hadis-hadis dha„if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan ketetapkan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis shahih. h. Jarh (cela) didahulukan atas ta„dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara„. i. Riwayat orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlis nya tidak sampai merusak keadilannya. j. Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) musytarak dengan salah satu maknanya wajib diterima. k. Penafsiran Shahabat terhadap lafal (pernyataan) zahir dengan makna lain, maka yang diamalkan adalah makna zahir tersebut.
3. Pandangan Tokoh Muhammadiyah Kota Pekalongan Terhadap Penggunaan Hadis Dha’if Untuk Fadhail Al A’mal. Dalam menyikapi hadis dha‟if untuk fadha’il A’mal tokoh Muhammadiyah Kota Pekalongan berpendapat sebagai berikut : a. Dr. Akhmad Jalaludin, MA. ( Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Kota Pekalongan) Menurut Akhmad Jalaludin, Hadis dha‟if tidak dapat dijadikan dasar dalam masalah hukum, namun dalam masalah fadhail al A’mal boleh diamalkan dengan catatan : - Kedha‟ifan hadis itu tidak sangat, - Tidak diyakini benar-benar bahwa, hadis itu dari Nabi SAW, - Tidak diamalkan secara terus menerus. Adapun alasan pendapat beliau di atas adalah, bahwa hadis dha‟if tidaklah sama dengan hadis maudhu’ yang jelas bukan dari Nabi SAW. Hadis
53
dha‟if masih memiliki kemungkinan benar dari Nabi SAW, meskipun kemungkinan itu kecil. Sehingga menurut Akhmad Jalaludin adalah berlebihan jika hadis dha’if itu ditolak sama sekali. Berbeda dengan hadis sahih maupun hadis hasan yang kecil kemungkinan bahwa itu bukan dari Nabi SAW. Jika hadis hasan berstatus hukum dhanni atau dugaan, maka dugaan yang dimaksud adalah dugaan yang kuat, sedangkan hadis dha‟if berstatus hukum syakk atau wahm (dugaan yang lemah dan meragukan), tergantung pada tingkat ke-dhaifannya, semakin dha’if sebuah hadis maka semakin hadis itu diragukan keasliannya. Maka hadis dha’if yang tidak parah ke-dha’ifannya dan berkaitan dengan keutamaan sebuah amalan yang secara umum amal tersebut berdasarkan dalil yang sahih maka boleh diamalkan dengan tidak meyakini secara yakin bahwa hadis itu dari Nabi SAW, dan hendaknya amalan tersebut tidak dilakukan secara terus menerus agar tidak dianggap benar-benar dari Nabi SAW yang menyebabkan ancaman Nabi SAW dalam hadis :
ُ َّللا ْب ِن نُ َمي ٍْر َح َّدثَنَا أَبِي َح َّدثَنَا َس ِعي ُد ب ُْن ُعبَ ْي ٍد َح َّدثَنَا َعلِ ُّي ب ُْن َربِي َعتَ قَا َل أَتَي ْت ِ َّ َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ب ُْن َع ْب ِد َّ صلَّى ُ ا ْل َم ْس ِج َد َوا ْل ُم ِغي َرةُ أَ ِمي ُر ا ْل ُكوفَ ِت قَا َل فَقَا َل ا ْل ُم ِغي َرةُ َس ِمع َّللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُو ُل َ َّللا ِ َّ ْت َرسُو َل ْ ار َّ َي لَ ْي َ َ َك ِ ٍ َعلَى أَ َح ٍد فَ َم ْن َ َ َ َعل َّ َِ َّ َ ِ بًبا َعل ِ َّي ُم َ َع ِّمدًبا فَ ْليَ َبَ َّوأ َم ْق َع َد ُ ِم ْن الن Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami Bapakku telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ubaid telah menceritakan kepada kami Ali bin Rabi'ah dia berkata, "Aku mendatangi masjid sedangkan al-Mughirah, gubernur Kufah. Ia berkata, "Lalu alMughirah berkata, 'Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta
54
atas nama seseorang, barangsiapa berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka."15 Selain itu, menurut beliau berlebih-lebihan dalam mengamalkan hadis dha‟if dikhawatirkan menjadikan lalai akan hadis-hadis yang sahih.16 b. Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag. ( Anggota Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqoh Muhammadiyah Kota Pekalongan) Dalam menggunakan hadis dha’if untuk fadha’il A’mal pada dasarnya Ali Trigiyatno sependapat dengan Ibnu Hajar Al Asqalani yaitu bahwa hadis dha’if dapat digunakan dengan tiga syarat : 1. Ke-dha’ifan hadis tidak terlalu parah. 2. Hadis dha’if itu didukung oleh hadis lain yang sahih atau hasan. 3. Tidak diyakini secara pasti bahwa hadis itu benar-benar dari Nabi SAW. Sehingga mengamalkan hadis dha‟if itu hanya sebagai ikhtiyath, selain itu dalam menyampaikan hadis dha’if tidak boleh menggunakan lafadz jazm atau lafadz yang tegas, seperti “ Qoola an Nabi “ atau Nabi telah bersabda, tapi hendaklah meriwayatkan hadis dha’if itu menggunakan lafadz tamridh seperti kalimat “diriwayatkan dari Nabi” ( ruwiya/ yurwa ‘ani an nabi ). Dari ketiga syarat yang dikemukakan Ibnu Hajar Al Asqolani tersebut apabila diterapkan sesungguhnya akan mengacu pada hadis hasan lighairih, karena hadis hasan lighairih sebetulnya adalah hadis dha’if yang didukung oleh hadis lain sebagai syahid sehingga derajatnya naik menjadi hasan lighairih, hanya saja dikalangan awam penggunaan hadis dha’if untuk fadha’il a’mal ini terkadang menjadikan mereka men-sunnahkan amalan tertentu dengan berdasar pada hadis dha’if, padahal mensunnahkan suatu amalan adalah termasuk wilayah hukum yang harus didasarkan pada hadis yang sahih dan hasan ( sunnah maqbulah ). Kategori hadis yang parah ke-dha’ifannya adalah hadis maudhu’ atau palsu, yang merupakan seburuk-buruknya kualitas hadis, meskipun hakikatnya hadis palsu bukanlah hadis, namun dalam penyebutannya sering disebut hadis. Selanjutnya hadis yang termasuk kategori parah ke-dha’ifannya 15
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, bab Ancaman Berdusta Atas Nabi, Darul Ihya‟ Kutub Bairut 1412 H/1991 M, jilid I hal 10 no5. 16 Wawancara, dengan Dr. Akhmad Jalaludin, MA, Ketua Majelis Tarjih, Februari 2016
55
adalah yang levelnya mendekati hadis palsu seperti hadis munkar dan hadis bathil atau hadis matruk maupun istilah lain yang semakna yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tertuduh dusta dan banyak kesalahannya serta buruk akhlaknya. Adapun contoh hadis fadha’il amal itu seperti hadis tentang keutamaan shalat tarawih, dimana shalat tarawih sesungguhnya telah ada dalil yang sahih yang memerintahkan, maka jika ada hadis dha’if yang menyebutkan keutamaan shalat tarawih itulah yang disebut hadis fadha’il amal, jadi bukan hadis yang memerintahkan amalan tertentu. Menurut beliau Muhammadiyah dalam menggunakan hadis dha’if mengacu pada apa yang telah disyaratkan Ibnu Hajar yaitu tidak memutlakkan penggunaan hadis dha’if untuk fadha’il amal tapi menggunakan hadis dha’if untuk fadha’il amal minimal dengan hadis hasan lighairi.17
c. Drs. H. Ghozali, M. Si ( Kepala SMK Muhammadiyah Pekalongan ) Menurut Bapak Ghozali penggunaan hadis dha’if untuk fadha’il a’mal cenderung menerima dengan beberapa syarat yang cukup ketat, hal ini mengacu pada Manhaj Tarjih dan keputusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah diantaranya bahwa : 1. Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah
yang
menunjukkan
ketetapkan
asalnya
serta
tidak
bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis shahih. 3. Hadis Mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah, adapun Hadis Mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu‘ dapat dijadikan hujjah. 4. Hadis Mursal Tabi‘i semata tidak dapat dijadikan hujjah, hadis Mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungan sanadnya sampai kepada Nabi SAW. 17
Wawancara dengan Dr. Ali Trigiyatno, M. Ag., Februari 2016.
56
5. Hadis Mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya. 6. Dalam menilai perawi hadis, Jarh (cela) didahulukan atas ta„dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara„. 7. Periwayatan orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlis nya tidak sampai merusak keadilannya. Menurut beliau ketentuan-ketentuan di atas berlaku juga pada hadis-hadis fadha’il a’mal., diantara contoh hadis fadha’il a’mal yang dapat diamalkan adalah hadis tentang mengadzankan bayi yang baru lahir, karena meskipun hadis tersebut dha’if namun sesuai dengan ilmu pengetahuan dan bahkan janin yang dalam kandunganpun dapat merespon suara yang ada disekitarnya maka demikian pula bayi yang baru lahir akan baik jika kalimat yang didengarnya adalah kalimat thayyibah seperti adzan. Namun juga bukan berarti mensunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir, karena mensunnahkan sesuatu berarti memunculkan hukum yang harus disandarkan pada hadis yang sahih (maqbul). Adapun dalam masalah akidah maka hadis dha’if tidaklah dapat dijadikan hujjah samasekali. Hal ini dikarenakan hadis dha‟if mengandung unsur yang meragukan sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. 18 d. H. Slamet Mahfudh, BA ( Anggota Pleno PDM Kota Pekalongan ) Menurut Bapak Slamet Mahfudh penggunaan hadis dha’if untuk fadha’il a’mal mengacu pada Manhaj Tarjih dan keputusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah diantaranya bahwa : 18
Wawancara dengan Drs. H. Ghozali, M.Si pada hari Selasa , 29-3-2016, Pukul 14.30 WIB
57
a. Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan ketetapkan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis shahih. b. Hadis Mauquf murni tidak dapat dijadikan hujjah, adapun Hadis Mauquf yang termasuk ke dalam kategori marfu‘ dapat dijadikan hujjah. c. Hadis Mursal Tabi‘i semata tidak dapat dijadikan hujjah, hadis Mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungan sanadnya sampai kepada Nabi SAW. d. Hadis Mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat qarinah yang menunjukkan kebersambungannya. e. Dalam menilai perawi hadis, Jarh (cela) didahulukan atas ta„dil setelah adanya keterangan yang jelas dan sah secara syara„. f. Periwayatan orang yang terkenal suka melakukan tadlis dapat diterima apabila ia menegaskan bahwa apa yang ia riwayatkan itu bersambung dan tadlis nya tidak sampai merusak keadilannya. Menurut beliau ketentuan-ketentuan di atas berlaku juga pada hadis-hadis fadha’il a’mal., bahkan bukan hanya hadis dha’if saja, perkataan seseorang yang ilmiah dan berdasarkan pemikiran yang sehat serta tidak bertentangan dengan Al Qur‟an maupun hadis yang maqbul maka hal itu bisa diterima dan menjadi bahan pertimbangan dalam suatu masalah. Adapun dalam masalah akidah dan hukum maka hadis dha’if tidaklah dapat dijadikan hujjah sama sekali karena pada hakikatnya hadis dha‟if berstatus dhanni atau dugaan yang lemah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau sandaran. Jika ulama‟ hadis menamainya dha’if (lemah) maka penamaan itu menjadi
58
pertanda bahwa hadis itu juga lemah dan rapuh untuk dijadikan hujjah atau pun sandaran bagi suatu keyakinan maupun amalan.
19
e. Drs.H. Nurkhan ( Ketua Majelis Tabligh PDM Kota Pekalongan ) Bapak Nurkhan berpandangan bahwa pada dasarnya jika sebuah hadis telah nyata berstatus dha’if maka hadis tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk suatu hukum termasuk untuk fadha’il a’mal mengacu pada Manhaj Tarjih dan keputusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah diantaranya bahwa : Hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah
yang menunjukkan ketetapkan asalnya
serta tidak
bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis shahih (sunnah maqbulah), hanya saja di kalangan umum, bahkan di kalangan mubaligh sekalipun mengetahui kualitas sebuah hadis apakah dha’if atau tidak, bukanlah perkara yang mudah, sehingga kalaupun ada mubaligh maupun tokoh Muhammadiyah yang menggunakan hadis dha’if hanyalah karena ketidak tahuannya. Seandainya mereka tahu tentu mereka akan beralih kepada hadis atau dalil yang sahih. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya Muhammadiyah tidak menjadikan hadis yang telah nyata ke-dha’ifannya sebagai hujjah. Menurut pandangan beliau ketentuan penggunaan hadis dha’if dalam putusan tarjih Muhammadiyah berlaku juga pada hadis-hadis fadha’il a’mal, adapun yang menjadi alasan tidak dijadikannya hadis dha’if sebagai hujjah adalah karena hadis dha’if mengantarkan kepada keragu-raguan. Padahal Nabi 19
Wawancara dengan H. Slamet Mahfudh, BA pada hari Rabu 30-Maret 2016
59
SAW menganjurkan kita untuk meninggalkan segala bentuk yang meragukan dan beralih kepada keyakinan yang mantap. sebagaimana sabda beliau dalam hadis
، ْما َو ِإ ِإي، َوا َو ُك ْم، الَّي َّي، َوِإ َّي، َو الَّي َّي، ِإ َّي ُكا ْم Artinya : Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. ( HR. Bukhari, No. 4747 ) Juga hadis beliau
ِّص، َوِإ َّي، َو ِإ ُكي َو، َو، َو، ِإَوا، َو ِإ ُكي َو، َو، َو ْم. ٌة، ِإ َوي، ْما َوا ِإ َو، َوِإِإ َّي، ُك َو ْميِإ َوي ٌة، ال ْم َو
Artinya : Tinggalkan yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu karena kejujuran itu ketenangan dan dusta itu keraguan.( HR. Tirmidzi, No. 2442 )20
f. Dr. M. Hasan Bisysri, M.Ag ( Ketua PDM Kota Pekalongan ) Menurut Bapak M. Hasan Bisysri merujuk kepada keputusan Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah bahwa hadis-hadis dha‘if yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan ketetapkan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadis shahih (sunnah maqbulah). Maka hadis dha’if yang telah nyata ke-dha’ifannya dan tidak memiliki dukungan dari hadis lain (syawahid) maka hadis tersebut termasuk kategori hadis yang tertolak (mardud) untuk dijadikan dasar atau hujjah suatu hukum dan termasuk di dalamnya fadha’il amal. Hal ini dikarenakan hadis dha’if tersebut diragukan kebenarannya dari Nabi SAW sehingga harus
20
Wawancara dengan Drs. H. Nurkhan, ketua Majelis Tabligh PDM Kota Pekalongan, 4-4-2016
60
dihindari dan menjadikannya sebagai hujjah dikhawatirkan akan terjebak pada ancaman Nabi SAW :
ْ " ار َّ َ" َم ْن َ َ َ َعل ِ َّ فَ ْليَ َبَ َّوأ َم ْق َع َد ُ ِم ْن الن،ي ُم َ َع ِّمدًبا "Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." Maka sebagai bentuk kehati-hatian hadis dha’if tidak dapat dijadikan hujjah meskipun untuk fadha’il amal, at-targhib dan at-tarhib.21 Demikianlah diantara pandangan tokoh Muhammadiyah Kota Pekalongan terhadap penggunaan hadis dha’if untuk fadha’il a’mal yang boleh jadi secara struktural mereka terikat oleh keputusan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun sebagai individu, tokoh Muhammadiyah tersebut tetap ber-ijtihad, terlebih dalam perkara yang lebih detil yang tidak atau belum diputuskan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tetap mengindahkan keputusan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah ada.
21
Wawancara dengan M. Hasan Bisysri, ketua PDM Kota Pekalongan, juni-2016
61