BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SIGHAT DALAM AKAD NIKAH
A. Pengertian Sighat dalam Akad Nikah Sighat secara bahasa artinya bentuk kalimat, kata (bahasa).
20
Sedangkan sighat secara istilah yaitu lafadz atau kata yang digunakan dalam akad tertentu. Sehingga dapat dipahami bahwa sighat dalam akad nikah adalah lafadz atau kata-kata yang gunakan oleh kedua belah pihak, baik dari pihak laki-laki atau perempuan dalam proses akad nikah. Dalam hukum Islam, Sighat merupakan salah satu unsur sahnya pernikahan. Akad nikah mempunyai dua unsur yaitu lafadz akad dan nikah. Lafadz nikah juga disebut juga dengan sighat nikah, artinya lafadz atau ucapan yang dilakukan oleh dua orang dari pihak mempelai pria dan wanita. Akad menurut bahasa diambil kata „aqoda – ya‟qidu – aqdan yang berarti mengikat sesuatu dan juga bisa dikatakan seseorang yang melakukan ikatan, seperti halnya dalam perkataan „aqoda al-bai‟ yaitu seseorang yang melakukan ikatan jual beli. Jama’ dari „aqoda yaik „uquudun yang artinya perjanjian (yang tercatat) atau kontrak. Sedangkan menurut istilah,pengertian akad adalah sebagai berikut: 1. Menurut Al-Zurjani, akad menurut istilah adalah:
20
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996) hlm. 1198
11
12
ِ ط أَجز ِاء التَّصُّر ِ َال ْْي ِْ ِف ب اب َواْل ُقبُ ْوِل َش ْر ًعا َ ْ ُ َْرب َ Artinya : “Suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sesuatu dengan adanya ijab dan qobul”. 2. Menurut Ibnu Abidin, akad adalah:
ِ َإِرتِبا ُط إِ ْْي ت أَثَ ُرهُ ِف مَ َحلِّ ِو ُ ُاب بَِقبُ ْول َعلَى َو ْجو َم ْش ُرْوع يَثْب َْ Artinya: “Ikatan yang ditetapkan dengan ijab dan qobul berdasarkan ketentuan syara, yang berdampak pada objeknya”. 21
Dengan pengertian lain sighat akad nikah adalah suatu ikatan yang menerapkan keridlaan kedua belah pihak yang berwujud dengan adanya ucapan ijab dan qobul. Akad yang sah dilakukan oleh manusia harus dilandasi dengan aturanaturan yang tetapkan oleh Allah SWT. Jika akad tersebut tidak menghiraukan rambu-rambu atau batasan yang ditetapkan dalam hukum Islam maka akad tersebut tidak sah. Adapun macam-macam akad yaitu: 1. Akad antara Allah dan hamba-Nya 2. Akad antara sesama hamba 3. Akad antara seseorang hamba dengan dirinya Dan tiap-tiap akad itu, jika dipandang kepada yang mengerjakan, terbagi menjadi dua: 21
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia,2001) hlm. 201
13
1. Diwajibkan oleh akal 2. Diwajibkan oleh syara’ yaitu dari al-Qur’an dan al-Sunnah Dan akad-akad itu ada yang diwajibkan dari permulaannya: akad yang dibuat oleh Allah denga kita, yaitu kita berjanji akan melaksanakan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya. Dan akad yang wajib karena diakadkan oleh manusia. Yang diakadkan oleh manusia sendiri ada beberapa macam yaitu: Pertama, ada yang wajib ditunaikan, seperti nadzar, bila seseorang bernadzar ia berkeajiban untuk melakukannya jika tidak maka akan berdosa. Kedua, ada yang disukai kita melanggar perjanjian itu, yaitu apabila kita berjanji (bersumpah) tidak akan mengerjakan sesuatu kemudian terasa oleh kita, bahwa mengerjakannya lebih utama, lebih menguntungkan, akan kita sukai melanggar dan merusakannya, lalu mengerjakan yang telah kita ikrarkan, tidak mengerjakannya dengan member kaffarat saja. Ketiga, ada yang wajib dirusakkan, tidak boleh ditunaikan seperti berjanji akan mengerjakan maksiat.22 Dalam hukum islam untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) termasuk juga didalamnya akad nikah supaya dianggap sah dan mengikat maka haruslah dipenuhi syarat-syarat akad. Jika ada salah satu tidak terpenuhi, maka akad tersebut tidaklah sah. Adapun syarat-syarat akad yaitu: 1. Syarat terbentuknya akad (syuruth al-in‟iqad) 22
Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 471
14
Syarat terbentuknya akad ini dibagi menjadi dibagi menjadi delapan yang harus dipenuhi untuk terjadinya akad, yaitu: a. Tamyiz Tamyiz dalam bahasa arab mempunyai arti membedakan atau memisahkan. Artinya seseorang yang mampu membedakan antara yang baik dan buruk dalam segala hal, tamyiz inilah yang sering dijadikan persyaratan oleh para fuqaha dalam keabsahan bermuamalah. Kedewasaan dan kecakapan seseorang yang bisa membedakan mana yang baik dan buruk itulah yang menjadi tolah ukur untuk mengukur ukuran tamyiz ini, karena dengan batasan umur saja belum cukup. Banyak kita dapati seseorang yang umurnya masih belia tetapi secara prilaku dan perbuatannya sudah dewasa, inilah sudah bisa dianggap tamyiz. Begitu juga sebalik jika ada seseorang yang sudah berumur dewasa tetapi belum mempunyai kecakapan dalam berbuat maka hal ini belum dianggap tamyiz. b. Terbilang pihak (at-ta‟adud) Manusia dalam berinteraksi sesasamanya tentu tidak bisa terjadi jika ada satu pihak saja, pihak yang lain juga dibutuhkan karena interaksi itu terjadi jika minimal terjadi oleh dua orang pihak, inilah yang kemudian manusia juga disebut oleh makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam berinteraksi. Ini yang menjadi dasar, bahwa dalam akad juga merupakan salah satu interaksi sesama manusia yang mempunyai tujuan terentu,
15
yang mana akad tidaklah bisa terjadi jika hanya ada oleh satu pihak saja. c. Persesuaian ijab dan qobul (kesepakatan) Sebelum adanya akad, biasanya orang yang akan melaksanakan akan mempunyai kesamaan atau kesepatakan yang menjadi tujuan untuk dicapai setelah adanya akad. Tanpa adanya kesepatkan akad itu tidak berarti. Ketika akad sudah disepakati oleh kedua belah pihak, kemudian dimulainya akad tersebut ketika adanya ucapan ijab dan qobul. Sejak ijab dan qabul itulah pelaksanaan kesepakatan atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai mulai dilaksanakan oleh pihak yang melakukan akad. d. Kesatuan majelis akad Salah satu persyaratan dalam suatu akad yaitu kesatuan majelis akad. Maksudnya bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad haruslah dalam majlis atau tempat yang sama untuk mempermudah dan meyakinkan akad tersebut. Perbedaan tempat atau majelis sering kali lebih berpotensi merugikan salah satu pihak yang melakukan akad, karena objeknya menjadi tidak bisa dilihat langsung. Kerugian atau ketidakrelaan oleh salah satu pihak bisa mengakibatkan batalnya akad tersebut. e. Objek akad dapat diserahkan
16
Setelah terjadinya akad tentu ada konsekuen hukum yang dimiliki oleh pihak yang terkait dalam akad tersebut, salah satu yang paling mendasar pasca akad pasti ada objek yang akad yang dapat diserahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Objek yang diserahkan bisa berupa barang, jasa dan lain sebagainya. Penyerahan objek akad dilakukan setelah adanya ucapan ijab dan qabul. Sejak itulah objek yang akadkan sudah beralih ke pihak tertentu yang sesuai dengan isi akadnya. f. Objek akad tertentu atau dapat ditentukan Setelah adanya objek yang akan diakadkan kemudian yang tidak kalah penting yaitu adanya kejelasan tentang kadar atau seberapa besar objek yang akan diakadkan. Kadar atau prosentasenya harus jelas ketika akad supaya adanya kejelasan akan pembagian hasil yang menjadi objek akad. Ukuran terhadap objek akad yang sudah ditentukan akan memberikan kepuasaan atau kerelaan terhadap pihak yang terkait sehingga antara pihak tidak merasa dirugikan. g. Objek yang akan ditransaksikan Objek yang akan ditransaksikan haruslah jelas maksudnya, artinya tidak boleh samar. Misal dalam akad jual beli yang barangnya belum jelas seperti ketela, singkong, dan sebagainya inilah yang objeknya belum ada kejelasan. Ada dua kemungkinan dalam hal itu
17
barangnya bisa lebih baik dan lebih buruk, ini dapat menimbulkan ketidakrelaan salah satu pihak. Objek yang akan ditransaksikan apabila sudah jelas akan memberikan kesenangan atau kerelaan yang keduanya tentu bisa menimbang konsekuensinya jika melakukannya akad tersebut, inilah yang harus diperhatikan bagi yang akan melakukan akad. h. Tujuan akad tidak bertentangan dengan syara’ Akad merupakan salah satu proses yang salah satu tujuannya untuk kebaikan atau kemaslahatan manusia, segala aturan tentang pelaksanaan akad yang benar sudah diatur dalam al-Qur’an dan hadist. Jika tujuan dari akad tersebut merupakan hal yang dibolehkan oleh agama islam maka pelaksanaan akad tersebut dianjurkan. Tujuan akad menjadi tolak ukur apakah akad itu bisa dilaksanakan atau tidak, karena tidak mungkin bersatu antara halal dan haram. Jika tujuannya merupakan hal yang dilarang maka akadnya juga dilarang, begitu juga sebaliknya jika tujuan dari akad itu merupakan hal yang baik maka pelaksanaan akad juga baik. 2. Syarat keabsahan akad (syuruth ash-shihhah) Terpenuhinya syarat dan rukun akad sudah dianggap terjadinya akad secara yuridis syar’i, namun belum serta merta sah. Untuk itu perlu adanya unsur-unsur penyempurna yang menjadikan akad tersebut sah. Unsur-unsur penyempurna ini disebut syarat keabsahan akad. Syarat keabsahan akad dibagi menjadi dua macam, yaitu syarat-syarat keabsahan
18
umum yang berlaku terhadap semua akad, dan syarat-syarat keabsahan khusus yang berlaku bagi masing-masing akad tertentu saja. Pertama, yaitu para pihak dengan dua syarat, tamyiz dan berbilang pihak yang melakukan akad. Kedua, pernyataan kehendak dengan kedua syaratnya, persetujuan ijab dan qobul yang harus dicapai dengan bebas tanpa paksaan. Bila ada paksaan maka akad tersebut fasid. Ketiga, yaitu objek akad, dengan tiga syaratnya yaitu, sesuatu yang dapat diserahkan yang tidak menimbulkan kerugian, harus tertentu artinya harus jelas maksdun akadnya, dan bisa untuk dijadikan akad atau ditransaksikan. 3. Syarat berlakunya akibat hukum akad (syuruth al-nafadz) Yang harus dipenuhi akibat hukumnya bagi kedua belah pihak yang melakukan akad, jika akad tersebut tidak dilaksanakan akibat hukumnya, meskipun itu sah, namun hal itu disebut akad mauquf (terhenti). 4. Syarat mengikat akad (syuruth al-luzum) Dalam pelaksanaan akad itu menimbulkan ikatan antara kedua belah pihak yang telah pahaminya. Mengikatnya akad ini tidak boleh salah satu pihak menarik akad yang mengikat ini tanpa kesepakatan oleh pihak lain.23
23
hlm. 104
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari‟ah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010)
19
B. Dasar Hukum Akad Nikah Pernikahan adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, dan akadnya merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh dianggap main-main. Oleh karena itu, akad nikah harus didasarkan pada landasan dan pondasi yang kuat, ibarat suatu bangunan yang kokoh dan kuat karena pondasinya. Akad nikah juga harus didasarkan atas suka sama suka, atau rela sama rela. Oleh karena perasaan rela sama rela itu merupakan hal yang tersembunyi, maka sebagai manisfestasinya adalah ijab dan qobul. Oleh karena itu, ijab dan qobul adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad nikah.24 Adapun dasar hukum pelaksanaan akad nikah sebagai berikut : 1. Surat An-nisa ayat 21;
َخ ْذ َن ِمنْ ُك ْم ِميْثَاقًا َغلِْيظًا ُ ضى بَ ْع َ ْف تَأْ ُخ ُذ ْونَوُ َوقَ ْد أَف َ َوَكْي َ ض ُك ْم إِ ََل بَ ْعض َوأ Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ”.
24
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Jakarta: Prenada Media, 2004) hlm. 2
20
2. Surat al-Maidah ayat 1;
يَاأَيُّ َها الَّ ِذيْ َن َأمنُ ْوا أ َْوفُ ْوا بِالْ ُع ُق ْوِد Artinya: “Hai orang-orang yang berriman, penuhilah akad-akadmu”.
Penegasan ayat ini, mencakup semua jenis akad yang ada dalam Islam, walaupun tidak secara eksplisit menjelaskan tentang akad nikah, tetapi secara implisit terkait juga dengan akad nikah karena akad nikah merupakan bagian dari akad.
3. Surat al-Baqarah ayat 221;
ِ وََل تَْن ِكحوا الْ م ْش ِرَك ات َح ّت يُ ِْْم َّن َوََلََمٌ ُم ِْْمنٌَ َخْي ر ِم ْن ُم ْش ِرَكٌ َولَ ْو أ َْع ََبَْت ُك ْم َوََل ُ ُْ َ ِ ِ ك َ ِي َح ّت يُ ِْْمنُ ْوا َولَ َعْبد ُم ِْْمن َخْي ر ِم ْن ُم ْش ِرك َولَ ْو أَ ْع ََبَ ُك ْم أُولئ َ ْ تُْنك ُح ْوا الْ ُم ْش ِرك ِ ِ ِ ْ ي ْدعو َن إِ ََل النَّا ِر وللا ي ْدعوا إِ ََل ِ َّي أيتِ ِو لِلن اس لَ َعلَّ ُه ْم َُِّاَْنٌَّ َوالْ َمغْفَرةِ بِِإ ْذنو َويُب ُْ َ ُ َ ُْ َ .يَتَ َذ َّك ُرْو َن Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
21
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran ”.
Artinya: “Tidak ada (akad) nikah kecuali dengan adanya wali”
Demikianlah beberapa ayat al-Qur’an dan hadist Nabi SAW yang berkaitan dengan akad nikah. Sementara itu beberapa ulama juga berbeda pendapat mengenai bahasa yang harus digunakan untuk mengucapkan kalimat (sighat) akad nikah. Ada yang berpendapat bahwa lafadz akad nikah harus menggunakan lafadz nikah dan tazwij ini sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali, sedangkan pendapat yang lain berpendapat mengatakan boleh menggunakan lafadz selain nikah dan tazwij yaitu dengan menggunakan lafadz hibah, tamlik, jual-beli dan lain sebagainya, hal ini sebagai mana pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
C. Syarat-Syarat Nikah Sebelum melakukan akad nikah, harus dipenuhi syarat-syarat pernikahan sebagai berikut: 1. Calon mempelai pria; a. Beragama Islam, b. Laki-laki
22
c. Jelas orangnya, d. Dapat memberikan persetujuan, e. Tidak terdapat halangan perkawinan, 2. Calon mempelai wanita; a. Beragama Islam, b. Perempuan, c. Jelas orangnya, d. Dapat dimintai persetujuan, e. Tidak terdapat halangan perkawinan 3. Wali nikah; a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian, d. Tidak terdapat halangan perkawinannya, 4. Saksi nikah; a. Minimal dua orang b. Hadir dalam proses ijab qobul c. Dapat mengerti maksud akad, d. Islam e. Dewasa, 5. Ijab dan qobul; a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali, b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai pria,
23
c. Antara ijab dan qabul harus bersambung, d. Antara ijab dan qabul harus jelas maksudnya, e. Orang yang melakukan ijab dan qobul tidak sedang melakukan ihram haji dan umrah. f. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri oleh minimal 4 orang, yaitu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali, dan dua orang saksi. 25
D. Rukun-rukun akad nikah Yang dimaksud dengan rukun-rukun akad nikah adalah: aspek-aspek atau unsur-unsur pernikahan, jika sudah diketahui dalam keadaan komplit, maka terwujudlah akad nikah. Apabila secara keseluruhan atau sebagian tidak ada, maka akad nikah belum bisa terlaksana secara benar.26 Dan unsur hakiki dalam sebuah pernikahan adalah kerelaan dua belah pihak (mempelai pria dan wanita) yang hendak melangsungkan akad nikah, dan persesuaian kesepakatan antara keduanya dalam melakukan tali ikatan pernikahan itu. Mengingat kerelaan dan persesuaian kesepakatan tergolong ke dalam hal-hal yang bersifat kejiwaan, yang tidak bisa diekspresikan begitu saja tanpa menyatakannya dalam bentuk ucapan (isyarat), maka mau tidak mau perasaan rela dan kesesuaian antara calon suami dan calon isteri harus dituangkan dalam bentuk ucapan (ikrar) oleh kedua beleh pihak. Ikrar yang dinyatakan
26
Yusuf Ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut‟ah dan Kontrak dalam Pertimbangan al-Qur‟an dan As-sunnah (Jakarta: Darul Haq, 2010) hlm. 39
24
pihak pertama lazim disebut ijab, sedangkan ikrar yang disampaikan oleh pihak kedua, dinamakan qobul. Dalam pada itu ijab dan qobul merupakan satu senyawa yang tidak boleh dipisahkan antara satu dari yang lainnya, bahkan dalam pengucapannya selalu diisyaratkan harus dilakukan secara berdampingan dalam arti tidak boleh berselang atau berselang dengan hal-hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan proses ijab qobul. Itulah sebabnya mengapa para fuqaha sering menjuluki ijab qobul dalam pernikahan ini sebagai arkan az-zawaj (rukun-rukun pernikahan) yaitu : 1. Tamyiz al-muta‟aqidain, artinya bahwa orang yang melakukan akad nikah harus sudah mumayyiz atau tepatnya telah dewasa dan berakal sehat. Itulah sebabnya mengapa orang gila dan anak kecil yang belum bisa membedakan antara perbuatan yang benar dan salah serta perbuatan yang bermafaat dan madlarat, akad pernikahannya tidak dianggap sah. Dalam rangka persyaratan mumayyiz inilah fiqih munakahat dan undang-undang perkawinan selalu saja mencantumkan batas minimal usia pernikahan. 2. Ittihad majlis al-ijab wal- qabul. Maksudnya, bersatunya majelis ijab dan qobul, dalam konteks pengertian harus beriringan antara pengucapan ikrar ijab dan qobul. Dalam kalimat lain, ikrar ijab dan qobul tidak boleh diselingi dengan aktivitas atau pernyataan lain yang tidak ada relevansinya dengnan kelangsungan akad nikah itu sendiri. 3. At-tawafuq bainal ijan wal-qabul, maksudnya tidak boleh ada perbedaan apalagi pertentangan antara ijab dan qobul. Misalnya pihak wali
25
menyatakan: “Saya nikahkan anak perempuan saya fulanah kepada engkau fulan dengan mas kawin 100 gram emas 24 karat”. Suami harus menjawab dengan ucapan yang sama mas kawinnya yakni “Saya terima nikahnya fulanah binti fulan dengan mas kawin 100 gram emas 24 karat”. Bila pihak suami dalam qobulnya mengucapkan berbeda misal “dengan mas kawin 50 gram emas 24 karat”, maka ijab dan qobul yang berbeda ini dianggap tidak sah karena tidak ada kesamaan dalam ikrar ijab dan qobul. Kecuali kalau perbedaan itu lebih menguntungkan pihak yang mengucapkan ijab maka itu sah, misalnya “Saya terima nikahnya fulanah binti fulan dengan mas kawin 150 gram emas 24 karat”. Ini berarti lebih banyak 50 gram dari ijab walinyanya, namun ini tetap sah ijab dan qobulnya. 4. Para pihak yang melakukan akad nikah (mempelai suami atau yang mewakili dan mempelai perempuan atau wali/ yang mewakilinya) harus medengar secara jelas dan memahami maksud dari ikrar atau pernyataan yang disampaikan oleh masing-masing pihak. Jika salah satu apalagi kedua belah pihak tidak memahami akad yang dilakukan, maka akad nikahnya dianggap tidak sah.27
E. Macam-Macam Sighat Sighat merupakan hal yang terpenting dalam melaksanakan akad nikah, karena sighat itu lafadz yang diucapkan ketika ijab qobul 27
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) hlm. 55
26
dilaksanakan, apabila sighat itu benar maka sah akad nikahnya, namun jika sighat salah maka batal akad nikah itu. Ada beberapa macam Sighat yang bisa dilakukan oleh kedua pihak yang melakukan akad nikah. Adapun bentuk sighat sebagai berikut: 1. Sighat dengan ucapan Sighat dengan ucapan adalah sighat yang paling banyak digunakan orang dalam akad nikah, sebab yang paling mudah digunakan dan cepat dipamahi. Tentu saja, kedua belah pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukan keridlaanya. Sighat dengan ucapan inilah yang sering digunakan oleh orang yang tidak mempunyai halangan atau cacat tertentu. 2. Sighat dengan perbuatan Dalam akad nikah, terkandang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan perbuatan yang menunjukan saling meridlai, misalnya penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi di zaman sekarang. Dalam menanggapi persoalan ini, ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang-barang yang sudah sangat diketahui oleh masyarakat umum oleh manusia. Jika belum diketahui secara umum, akad itu dianggap batal. Adapun sighat dalam akad pernikahan, para ulama sepakat hanya dibolehkan menggunakan ucapan. Begitu pula, dalam talak dan rujuk.
27
Apabila tidak mampu berbicara, yang lebih utama adalah dengan tulisan dibandingkan dengan isyarat. 3. Sighat dengan isyarat Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarkan melakukan sighat akad nikah dengan isyarat, melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat bicara, boleh menggunakan
isyarat,
tetapi
jika
tulisannya
bagus
dianjurkan
menggunakan tulisan. Jika tidak sejak lahir, maka ia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat. 4. Sighat dengan tulisan Dibolehkan sighat akan nikah dengan tulisan, bagi orang yang mampu berbicara meupun tidak,dengan syarat tulisan itu harus jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya. Namun demikian, dalam akad nikah tidak boleh menggunakan tulisan jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal ini karena akad nikah harus dihadiri saksi, yang harus mendengar ucapan orang yang akad, kecuali bagi orang yang tidak dapat berbicara. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh ijab diucapkan oleh pihak laki-laki atau yang mewakilinya dan qobul oleh pihak perempuan (wali atau yang mewakilinya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh sebaliknya.28
28
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana Prenada, 2010) hlm. 57
28
F. Pembatalan Akad Nikah Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan supaya pelaksanaan akad nikah bisa dilakukan dengan benar dan sah. Hal-hal yang membatalkan akad nikah adalah sebagai berikut: 1. Apabila sighat dalam akad nikah diselingi dengan suatu syarat, menangguhkan dengan waktu akan datang, atau waktu tertentu dan dikaitkan dengan suatu syarat. Dalam hal ini akad nikahnya dianggap tidak sah atau batal. Sighat yang isinya digantungkan kepada sesuatu yang lain, dengan suatu keadaan menyebabkan batalnya pernikahan karena sighat ini bergantung kepada syarat yang mungkin terjadi dan mungkin tidak. Padahal ijab qobul ini berarti telah memberikan kekuasaan untuk menikmatnya sekarang. Oleh karena itu, tidak boleh ada tenggang waktu antara syaratnya. Jika ini terjadi maka akad nikahnya tidak sah. 2. Ijab dan qobul yang diikatkan dengan waktu yang akan datang, maka itu tidak sah, baik pada waktu itu maupun waktu yang akan datang setelah tiba waktu yang ditentukan sebab mengaitkan dengan waktu yang akan datang berarti meniadakan ijab qobul yang memberikan hak (kekuasaan) menikmati seketika itu dari pasangan yang mengadakan akad nikah. Sementara pendapat lain juga mengatakan, sighat yang menyandarkan dengan waktu yang akan datang bertentangan dengan akan pernikahan itu sendiri, karena akad nikah itu mempunyai akibat hukum, yaitu suami dapat menggauli istri sejak adanya akad.dapat ditambahkan disini bahwa akad nikah yang dinyatakan untuk sebulan atau lebih, atau juga kurang,
29
pernikahannya tidak sah sebab pernikahan itu dimaksudkan untuk hidup bergaul secara langgeng untuk mendapat anak, memelihara keturunan untuk mendidiknya. Oleh karena itu, kalangan ulama kebanyakan menyatakan bahwa nikah mut‟ah (sementara) dan nikah cinta buta (tahlil) itu tidak sah, karena beberapa alasan, yang pertama bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja, sedang yang kedua bermaksud untuk menghalalkan bekas suami perempuan tadi dapat kembali dengannya.