BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS 2.1 Efektivitas Hukum Kesadaran hukum dan ketaatan hukum merupakan dua hal yang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan perundang-undangan atau aturan hukum dalam masyarakat.1 Menurut Krabbe bahwa kesadaran hukum sebenarnya merupkan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Pernyataan tersebut sudah cukup menjelaskan apa yang dimaskud dengan kesadara hukum, tetapi akan lebih lengkap lagi jika ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. 2 Ketaatan hukum sendiri masih dapat dibedakan kualitasnya dalam tiga jenis, seperti yang dikemukakkan oleh H.C Kelmen, yaitu:3 1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut sanksi.
1
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, h.375 2
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, Yarsif watampone, 1998,
h.191 3
Ibid, h.193
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taatterhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak. 3. Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sesuai dengn nili-nilai intrisik yang dianutnya Menurut Soerjono Soekanto mengemukakan empat kesadaran hukum, yaitu :4 a. Pengetauhuan tentang hukum; b. Pengetahuan tentang isi hukum; c. Sikap hukum; d. Pola Perilaku hukum. 2.1.1
Pengertian Efektivitas Hukum Efektivitas hukum berarti bahwa orang benar - benar berbuat sesuai
dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti efeknya (akibatnya, pngaruhnya, kesanya); manjur atau mujarab(tentang obat); dapat membawa
4
Ibid, h.194
hasil; berhasil guna (tentang usaha atau tindakan); hal mulai berlakunya (tentang undang-undang peraturan).5 Efektivitas adalah perbandingan positif antara hasil yang dicapai dengan masukan yang digunakan dalam menyelesaikan pekerjaan tepat waktunya untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan. 6 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa suatau keadaan hukum tidak berhasil atau gagal mecapai tujuannya biasanya diatur pada pengaruh keberhasilannya untuk mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu, sehingga yang mencapai tujuan disebutnya positif, sedangkan yang menjauhi tujuan dikatakan negatif.7 Adapun kriteria mengenai pencapaian tujuan secara efektif atau tidak antara lain:8 1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai; 2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan; 3. Kejelasan analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap; 5
Soerjono soekanto, loc.cit, h.9
6
Sondang Siagi, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1991, h.71
7
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Saksi, Remaja Karya, Bandung, 1985,h.7
8
Sondang Siagi, Op.Cit,h.77
4. Perencanaan yang mantap; 5. Penyusunan program yang mantap; 6. Tersedianya sarana dan prasarana; 7. Pelaksanaan yang secara efektif dan efisien; 8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat medidik. Dalam kamus ilmiah populer, istilah efektivitas diartikan sebagai ketepatgunaan, hasil guna, menunjang tujuan.9 Ini berarti bahwa kata efektivitas digunakan untuk menentukan
apakah sesuatu yang digunakan
sudah tepat penggunaanya dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Berikut ini merupakan definisi efektivitas menurut beberapa ahli:10 1. Hidayat: “Efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana semakin besar presentase target yang dicapa, makin tinggi efektivitasnya”. 2. Schemerhon John R. Jr : “Efektivitas adalah pnecapaian target output yang diukur dengan cara membandingkn output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (disebut efektif)”.
9
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arloka, Surabaya, 1994
10
http:// dansite.wordpress.com/pengertan-efektivitas/,diakses pada tanggal 9 September 2015
3. Prasetya Budi Saksono: “Efektivitas adalah seberapa besar ingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari jumlah input”. Berdasarkan pada pendapat para ahli diatas, bisa disimpulkan bahwa konsep efektivitas merupakan konsep yang bersifat multidimensional, yang artinya bahwa dalam mendefenisikan efektivitas berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu yag dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektivitas adalah selalu sama yaitu pencapaian tujuan. 2.1.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi hukum Pada umumnya, faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu
perundang-undangan adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik didalam menjalankan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut. Menurut Soerjono Seokanto bahwa masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positf atau negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:11
11
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2011, h.8-9
1. Faktor hukumnya sendiri, yag didalamnya dibatasi pada undangundang saja; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukm; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang ddasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup; Kelima faktor tersebut saling berkaitan denga eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegak hukum. Harus diakui pula bahwa banyak anggota masyarakat yang masih sering melakukan hal-hal bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, contohnya yaitu mempengaruhi aparatur hukum secara negatif dan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku pada proses penegakan hukum yang bersangkutan, yang ditujukan kepada diri pribadi, keluarga atau anak/kelompoknya.12
12
Soerjono Soekanto, Kejahtan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta: Cipta, 1966, hlm.1
2.2 Gelandangan dan Pengemis Gelandangan dan pengemis adalah wujud dari wajah kemiskinan di perkotaan dan juga pedesaan. Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta benda”.13 Menurut Friedman (1979) kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Sementara yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman meliputi: Pertama, modal produktif atas asset, misalnya tanah perumahan, peralatan, dan kesehatan. Kedua, sumber keuangan, seperti income dan kredit yang memadai. Ketiga, organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, seperti koperasi. Keempat, network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengethuan dan keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan. Dengan melihat banyaknya ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan seseorang atau sekelompok orang untuk disebut miskin atau tidak miskin, maka umumnya para ahli akan merasa kesulitan dalam mengklasifikasikan masyarakat masyarakat menurut garis kemiskinan. Namun, dari berbagai studi yang ada, pada dasarnya ada beberapa ciri dari kemiskinan, yaitu :14
13
14
Poerwadarminta, 1996, h.322
Bagong Suyanto, op.cit, h.5
1. Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup modal ataupun keterampilan. Faktor produksi yang dimiliki umumnya sedikit, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas. 2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sementara mereka pun tidak memiliki syarat untuk terpenuhinya kredit dan lain-lain, yang mengakibatkan mereka berpaling ke lintah darat yang biasanya untuk pelunasannya meminta syarat-syarat berat dan bunga yang amat tinggi. 3. Tingkat pendidikan golongan miskin umumnya rendah, tidak sampai tamat Sekolah dasar. Waktu mereka umumnya habis tersita untuk mencari nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tak dapat menyelesaikan sekolah oleh karena harus membantu orang tua mencari nafkah tambahan. 4. Banyak diantara mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan tidak mempunyai tanah garapan, atau kalaupun ada relatif kecil sekali. Pada umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Tetapi, karena bekerja di pertanian berdasarkan musiman, maka kesinambungan pekerjaan mereka menjadi kurang terjamin.
Banyak diantara mereka lalu menjadi pekerja bebas (self employed) yang berusaha apa saja. Akibat di dalam situasi penawaran tenaga kerja yang besar, maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka selalu hidup dibawah garis kemiskinan. Didorong oleh kesulitan hidup di desa, maka banyak di antara mereka mencoba berusaha ke kota (urbanisasi) untuk mengadu nasib. 5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan atau skill dan pendidikan. Sedangkan kota sendiri terutama di Negara berkembang tidak siap menampung gerak urbanisasi penduduk desa tersebut. Apabila di Negara maju pertumbuhan industri menyertai urbanisasi dan pertumbuhan kota, maka proses penyerapan tenaga kerja dalam perkembangan industri. Bahkan sebaliknya, perkembangan teknologi di kota-kota Negara sedang berkembang justru menampik penyerapan tenaga kerja sehingga penduduk miskin yang pindah ke kota terdampar dalam kantong-kantong kemelaratan (slumps). Dari kemiskinan tersebut membuat sebagian masyarakat miskin menjadi terpinggirkan, sehingga ia akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dengan cara meminta-minta serta mengharap belas kasihan orang lain. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan fenomena kemiskinan sosial, ekonomi dan budaya
yang dialami oleh sebagian masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan. Dari hal tersebut banyak orang menempatkan mereka pada lapisan sosial yang paling rendah. 2.2.1
Pengertian Gelandangan dan Pengemis Kemiskinan sesungguhnya adalah masalah sosial yang jauh lebih
kompleks dari sekedar persoalan kekurangan pendapatan atau tidak dimilikinya aset produksi untuk melangsungkan kehidupan.15 Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa kota yang antara lain memunculkan gelandangan dan pengemis karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan. 16 Dampak positif dan negatif tampaknya sulit untuk dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan.17
15
Bagong Suyanto, loc.cit
16
Faisal, Samapiah, 1999, Format-format penelitian Sosial, Jakarta : PT. Radja Grafindo Perkasa,
h.32. 17
Anak Jalanan Perempuan, Jurnal Perempuan 55, h.40
Menurut Departemen Sosial R.I (1992), gelandangan adalah orangorang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. “Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang.18 Selain itu dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 menyebutkan bahwa gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara ditempat umum. Sedangkan, pengemis adalah orangorang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum denga berbagai cara dan alasan untuk mengaharap belas kasihan. 2.2.2
Faktor Penyebab dan Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) Gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan bagian dari gejala
sosial
budaya yang relatif. Dibalik semua itu ada faktor penyebab yang
mengakibatkan mereka harus melakukan perbuatan diluar ketentuan norma-
18
Departemen Sosial R.I, Pedoman Penyelenggaraan Panti Sosial, Jakarta, h.8
norma yang berlaku, faktor-faktor penyebab diantaranya adalah sebagai berikut:19 1. Faktor Internal Faktor internal dan keluarga yang dimaksudkan adalah suatu keadaan di dalam diri individu dan keluarga gepeng yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis. Faktor-faktor tersebut diuraikan secara ringkas berikut ini : a. Kemiskinan Individu dan Keluarga Terbatasnya penguasaan lahan diperburuk lagi oleh kondisi lahan yang tandus, kritis dan kurangnya ketersedaan air, kecuali saat musim hujuan mengakibatkan mereka tidak dapat mengusahakan lahannya sepanjang tahun. Dengan demikian, kesulitan memperoleh penghasilan dari lahan pertanian
yang
dikuasainya
mendorong
mereka
untuk
meninggalkan desanya dan terpaksa harus mencari penghasilan dengan cara-cara yang mudah dan tanpa memerlukan keterampilan, yaitu menjadi gelandangan dan pengemis (gepeng). b. Umur
19
Ir. Gede Sedana, M.Sc. MMA dalam artikel Faktor Penyebab terjadinya Geladangan dan Pengemis, Tanggal 9 september 2015
Faktor umur yang masih muda ini memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan kegiatan menggelandang dan mengemis karena tiadanya memikirkan rasa malu yang kuat. c. Pendidikan Formal Berkenaan degan faktor umur tersebut diatas, ternyata faktor pendidikan juga turut mempengaruhi. Pada tingkat umur yang masih terkategori anak-anak, semestinya mereka sedang mengikuti kegiatan pendidikan formal di sekolah. Namun, mereka memelih menjadi Gepeng dibandingkan bersekolah karena tidak memiliki kemampuan finansial untuk kebutuhan sekolah sebagai akibat dari kemiskinan orang tua. Tidak berpendidikannya menyebabkan mereka tidak memperoleh pengetahuan atau pemahaman tentang budi pekerti, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang mampu menggugah hati mereka untuk tidak melakukan kegiatan sebagai gepeng. d. Ijin Orang Tua Seluruh
anak-anak
yang
melakukan
kegiatan
menggelandang dan mengemis bahwa mereka telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang tuanya. Sehingga
pada
musim
kemarau,
mereka
“terpaksa”
membiarkan anaknya dan “menyuruh” anaknya untuk ikut
mencari penghasilan guna membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya. e. Rendahnya Keterampilan Para Gepeng tersebut tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja, kondisi ini sangat wajar karena sebagian terbesar dari mereka adalah masih berusia belia atau muda. Sementara mereka yang tergolong relatif lebih tua dan berjenis kelamin perempuan sejak muda tidak pernah memperoleh pendidikan keterampilan di desa. Oleh karena itu, menggelandang dan mengemis adalah pilihan yang gampang untuk dilaksanakan guna memperoleh penghasilan secara mudah. f. Sikap Mental Pikiran ini terjadi karena di pikiran para Gepeng muncul kecenderungan bahwa pkerjaan yang dilakukannya tersebut adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, selayaknya pekerjaan lain yang bertujuan untuk memperoleh penghasilan. Ketiadaan sumber-sumber penghasilan dan keterbatasan penguasaan prasarana dan saran produktif, serta terbatasnya keterampilan menyebabkan mereka menjadikan mengemis sebagai suatu pekerjaan.
2. Faktor Eksternal/Lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud adalah beberapa faktor yang berada di sekeliling atau sekitar responden baik yang di daerah asal maupun di daerah tujuan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: (i) kondisi hidrologis; (ii) kondisi pertanian; (iii) kondisi prasarana dan sarana fisik; (iv) akses terhadap informasi dan modal usaha; (v) kondisi permisif masyarakat di kota; (vi) kelemahan penanganan gepeng di kota. Dari faktor penyebab yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penanggulangan gelandangan dan pengemis (gepeng) yang meliputi usahausaha preventif, represif, rehabilitatif agar tidak terjadi pergelandangan dan pengemisan di dalam masyarakat dan memasyarakatkan kembali para gelandangan dan pengemis menjadi anggota masyarakat yang mengahayati harga diri, serta memungkinkan pengembangan gelandangan dan pengemis untuk memiliki kemampuan mencapai taraf hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sesuai dengan harkat martabat manusia yang sesungguhnya. Usaha-usaha preventif, represif, dan rehabilitatif tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Penanggulangan gelandangan dan pengemis akan mampu mewujudkan stabilitas nasional, khususnya stabilitas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
2.2.3
Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Gelandangan dan Pengemis (gepeng) Permasalahan gelandangan dan pengemis (gepeng) merupakan salah
satu masalah sosial yang belum teratasi dengan baik. Sesuai dengan pembukaan UUD 45, Negara mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Adapun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan gelandangan dan pengemis adalah sebagai berikut: Dalam pasal 34 UUD 45 yang menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam KUHP juga mengatur tentang gelandangan dan pengemis yang tercantum dalam Pasal 504 ayat (1) dan (2) tentang pengemisan yang menyatakan : (1) Barang siapa yang mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu; (2) Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih yang berumur diatas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan. Selanjutnya, dalam pasal 505 ayat (1) dan (2) tentang gelandangan menyebutkan : (1) Barang siapa bergelandang tanpa pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan pidana kurungan paling lama tiga bulan. (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
Selain itu pengaturan gelandangan dan pengemis secara tegas telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 Tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis yang terdiri dari 7 BAB yang meliputi : a. BAB I Ketentuan Umum b. BAB II Tujuan, Wewenang dan Tanggung Jawab c. BAB III Usaha Preventif d. BAB IV Usaha Represif e. BAB V Usaha Rehabilitatif f. BAB VI Partisipasi Masyarakat g. BAB VII Ketentuan Peralihan dan Penutup Yang menjadi
dasar
hukum
mekanisme
dalam
penanganan
gelandangan dan pengemis di kabupaten Badung adalah Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2001 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum yang tercantum dalam pasal 24 ayat (2) yang menyatakan: (2) Dilarang melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum baik dijalan, taman dan tempat-tempat lain di Kabupaten Badung dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Serta dalam Pasal 42 ayat (1) menyatakan: (1) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang tercantum dalam Peraturan daerah ini diancam dengan Pidana kurungan paling
lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)
2.3 Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Penegak hukum Satuan Polisi Pamong Praja, selanjutnya disingkat Satpol PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, yang selanjutnya Satpol PP dipimpin oleh seseorang kepala satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.20 2.3.1
Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Satpol
PP
mempunyai
tugas
menegakkan
Perda
dan
menyelenggarakan keamanan dan ketertiban umum serta perlindungan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas, satpol PP mempunyai fungsi diantaranya sebagai berikut:21 a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegak Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ktentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat;
20
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja
21
Ibid.
b. Pelaksanaan kebijakan penegak Perda dan Peraturan kepala daerah; c. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah; d. Pelaksanaan kebujakan perlindungan masyarakat; e. Pelaksanna koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri sipil daerah, dan/atau apartur lainnya; f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan mentaati Perda dan peraturn Kepala daerah; dan g. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. 2.3.2
Pelaksanaan Tugas dan Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP mempunyai peran yang penting dalam menjaga ketertiban
umum dan ketentraman masyarakat. Adapun pelaksanaan tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP adalah sebagai berikut: 1. Kepala Bidang Pendataan dan Pelaporan mempunyai tugas:22 a. Menyusun rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan, sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja b. Menyusun Laporan hasil kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan sebagai bahan penyusun laporan kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ; c. Menyusun, merekapitulasi dan mengkoordinasikan seluruh Program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan rencana kegiatan masing masing Bidang dan Bagian Tata Usaha sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja; 22
https://satpolppkabbadung.wordpress.com/,diakses tanggal 9 september 2015
d. Menyiapkan Laporan Pertanggung Jawaban Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja; e. Melakukan Koordinasi dengan Bagian Tata Usaha, Bidang Pengendalian dan Operasional dan Bidang Penyidikan dalam rangka kelancaran tugas; f. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan; g. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan; h. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan; i. Merakapitulasi dan mengolah data pelanggar; j. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; 2. Kepala Seksi Pengumpulan Data dan Informasi mempunyai tugas ; a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan Informasi sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan ; b. Menyusun Laporan kegiatan Seksi Pengumpulan Data dan Informasi sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan Pelaporan; c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan; d. Memberikan petunjuk, bimbingan dan pengawasan pada bawahan; e. Menyiapkan bahan perumusan rencana dan program Kerja Satuan Polisi Pamong Praja berdasarkan Bidang – Bidang dan Bagian Tata Usaha; f. Menyelenggaraan pendataan usaha-usaha; g. Menerima, mengkaji dan menelaah laporan dari masyarakat dan instansi terkait; h. Melaksanaan peninjauan bersama tim ke lokasi pemohon izin / pelanggaran peraturan;
i.
Mengadakan pencatatan dan pemantauan kembali hasil pembinaan, pemeriksaan dan Hasil Sidang Tindak Pidana Ringan;
j.
Membuat Peta Rawan Pelanggaran;
k. Membuat Papan Larangan atau Peringatan pelanggaran l.
Menyusun Rencana Strategi (RENSTRA) dan Rencana Kerja (RENJA) Kegiatan Satuan Polisi Pamong Praja ;
m. Melakukan validasi data ; n. Memeriksa, mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; o. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; p. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasan; 3. Kepala Seksi Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas ; a. Menyusun rencana kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai bahan penyusunan rencana kegiatan Bidang Pendataan dan Pelaporan; b. Menyusun Laporan Kegiatan Seksi Evaluasi dan Pelaporan sebagai bahan penyusunan laporan Bidang Pendataan dan Pelaporan; c. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas – tugas bawahan; d. Memberikan petunjuk dan bimbingan teknis serta pengawasan kepada bawahan; e. Menggandakan bahan bahan peraturan yang pelaksanakan tugas Satuan Polisi Pamong Praja;
mendukung
f. Menyiapkan bahan pembinaan organisasi dan tatalaksana; g. Memeriksa dan menilai hasil kerja bawahan; h. Mengevaluasi dan mempertanggungjawabkan hasil kerja bawahan; i. Menyiapkan bahan laporan pertanggung jawaban kinerja Satuan Polisi Pamong Praja;
j.
Menyusunj Laporan Kinerja (LAKIP) Satuan Polisi Pamong Praja;
k. Melaksanakan tugas dinas lainnya yang diberikan oleh atasan; l. Membuat laporan kegiatan pelaksanaan tugas kepada atasannya.