BAB II
TINJAUAN UMUM ETIKA ISLAM DAN ETIKA PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
A. Etika Islam Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konsep- konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan yang buruk. Untuk lengkapnya sistem etika harus berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek penelitian moral ini dengan cara yang bermakna dan koheren. Al-Qur’an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekali pun, Al-Qur’an membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi, cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga hal yang menjanjikan arah di mana penelitian kini dapat membuahkan hasil yang kesemuanya itu kembali kepada teks Al-Qur’an itu sendiri, yaitu tafsir, fiqih, dan kalam. Para sufi dan filosofis yang sering menggali otoritas Al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat dikatakan telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia, karena bentuk pemikiran mereka sebelumnya, terutama Yunani. Sehingga teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi, yang menyusunnya sebagian dari teori umum yang berakar dari Al-Qur’an dan hadits. Pemikiran etika membutuhkan sistematisasi dan shophistifikasi intelektual yang maju. Sebelum munculnya teologi dan filsafat aktivitas
17
18
semacam itu benar terputus. Para komentator Al-Qur’an, ahli hadits dan ahli hukum telah berusaha dalam menganalisa dan interpretasinya melibatkan aktivitas intelektual yang sungguh-sungguh dalam arti luar. Akan tetapi aktivitas tersebut berhubungan erat dengan sumber asli kebenaran yaitu AlQur’an dan hadits dan kurang menggunakan akal sebagai karakter aktivitas dialektika dan rasional murni, dengan kesan koherensi dan komprehensifnya. Yang muncul dalam proses ini adalah serangkaian pandangan atau refleksi moral dan bukan teori etika dalam arti baku. Untuk memperluas usaha yang telah dilakukan oleh para komentator, para ahli hadits dan ahli hukum menerangkan atau menjustifikasikan ethos moral Al-Qur’an dan hadits. Usaha mereka dalam lapangan etika dapat dikatakan untuk menyusun subtansi apa yang kita sebut moralitas skriptual1 (teks moral). Kemudian dalam rangka menjabarkannya maka muncullah para pemikir dan filosof Islam yang mengetengahkan teori-teori akhlak atau etika, yang mengadakan pembahasan dengan pendekatan falsafat maupun langsung dengan Al-Qur'an dan hadits. Ihwanus Shafa adalah suatu kelompok yang bergerak dalam lapangan pemikiran yang anggotanya khusus kaum laki-laki, dalam lapangan etika kelompok ini mendasarkan pada prinsip rohaniyah dan zuhud. Manusia dipandang baik apabila melakukan perbuatannya sejalan dengan karakter yang hakiki. Al-Farabi berpendapat akal mampu menetapkan suatu perbuatan apakah baik atau buruk, akal sebagai limpahan dari alam ulwa, dan ma’rifat sebagai pokok keutamaan, mengapa tidak meletakan akal pada kaidah-kaidah akhlak. Menurut Ibnu Sina dalam rangka memeperbaiki akhlak dirinya, maka seseorang harus melakukan dua cara, yaitu mengenal akhlaknya sendiri dan bercermin kepada akhlak orang lain. Ibnu Bajjah, menurutnya perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan hewani dan manusiawi serta tindakan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang
1
Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 1
19
bersih dan tinggi.2 Ibnu Miskawaih berpendapat akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah AlAkhlak) dan latihan-latihan.3
1. Pengertian Etika Islam Penyepadanan istilah moral atau sopan santun, norma serta etiket dengan etika secara umum sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.4 padahal bila dicermati cakupan makna yang terdapat pada moral atau sopan santun memiliki perbedaan arti yang sangat mendasar dengan cakupan makna yang terdapat pada etika. Secara bahasa etika merupakan kata turunan dari ethokos (Yunani) yang berasal dari ethos yang berarti “penggunaan, karakter, kebiasan, kecenderungan.”5 Kata etika identik dengan moral yang berasal dari bahasa latin mos yang bentuk jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup. Dengan demikian etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada perbedaanya. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem pengkajian nilai-nilai yang ada. Moral lebih cenderung terhadap hal-hal yang bersifat praktis, sedangkan etika lebih cenderung terhadap teoritis.6 Dalam bahasa Arab etika Islam sama artinya dengan Akhlak jamak dari Khuluqun ( )ﺧﻠﻖyang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.7 Dengan demikian dari beberapa arti di atas dapat dikemukakan bahwa etika menurut bahasa mempunyai beberapa makna yang komprehensip antara teori dan praktek, yaitu kesusilaan, adat tingkah laku dan ungkapan perasaan batin. Secara umum etika adalah sepadan dengan moral yang keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasan, yang 2 Muhammad Nasuha, Etika Filsafat Dalam Perspektif Islam, jurnal teologia, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 1995, Hlm. 10-13 3 Sirajuddin Zan, Filsafat Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 135 4 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hlm. 13 5 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1996, hlm. 105 6 Achmad Charis Zubair, Op.Cit., hlm. 13 7 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hlm. 11
20
merupakan cara perilaku manusia. Maka secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang cara-cara perilaku manusia atau keterus-terusan tindakan manusia. Maka singkatnya bahwa pokok persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang-orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja apa yang diperbuat. Inilah yang dapat kita beri hukum “baik atau buruk”, demikian juga segala perbuatan yang timbul tidak dengan kehendak , tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu sadar.8 Adapun secara terminologi para ahli memberikan pemahaman bahwa etika dipandang sebagai ilmu filsafat, diantaranya adalah : a. Ki Hajar Dewantara berpendapat etika adalah ilmu yang mempelajari tentang segala bentuk kebaikan dan keburukan di dalam manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.9 b. Muslim Nurdin dkk. Etika lebih merupakan kesepakatan masyarakat pada suatu waktu dan di tempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat akan bercorak religius. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak sekuler, maka etika yang dikembangkan bercorak jiwa sekuler.10 c. Ahmad Amin, etika ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, merenungkan yang seharusnya dilakukan oleh manusia pada manusia lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia pada perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.11 d. Ahmad Charis Zubair, etika adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang masalah baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama, dan juga dapat dikatakan ilmu pengetahuan 8
Ahmad Amin, Etika, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 5 Achmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 15 10 Muslim Nurdin, dkk.,Moral dan Kognisi Islam, CV Alfabeta, Bandung, 1995, hlm.209 11 Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 3 9
21
yang bersifat normative, evatuatif, yang hanya memberikan nilai baik dan buruk terhadap perilaku manusia.12 e. H. Hamzah Ya’qub, Etika ialah ilmu yang menyelidiki makna yang baik dan makna yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui akal pikiran.13 Etika secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis definisi, yaitu aspek historis, deskriptif, dan sifat dasar etika. 1. Aspek historis, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan mengenai nilai baik dan buruk perilaku manusia. 2. Deskriptif,
etika
dipandang
sebagai
ilmu
pengetahuan
yang
membicarakan perilaku baik dan buruk manusia dalam kehidupan masyarakat. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat karena bersifat Sosiologi. 3. Sifat dasar, etika sebagai yang normatif dan bercorak kefilsafatan, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, evaluatif yang memberikan hanya nilai-nilai baik dan buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini perlu menunjukan adanya fakta yang cukup memberikan informasi menganjurkan dan mereflesikan.14 Namun ada yang memahami antara etika dan akhlak berbeda, jika etika hanya berhubungan dengan sopan santun antara sesama manusia serta tingkah laku lahiriah, maka akhlak lebih luas cakupannya, yakni mencakup hal-hal yang tidak bersifat lahiriah tetapi termasuk sikap batin dan pikiran manusia. Oleh sebab itu, akhlak atau etika Islam mencakup etika terhadap Allah, etika terhadap Rasul, etika terhadap Manusia dan etika terhadap alam lingkungan sekitar.15
12
Achmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 17 Hamzah Ya’qub. Op. Cit.,hlm. 13 14 Ahmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 17 15 Zuly Qodir, Etika Islam : Suatu Pengantar (Sejarah, Teologi Dan Etika AgamaAgama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 270-276 13
22
Adapun Pengertian etika Islam atau akhlak adalah: a. Hamzah Ya’qub Etika Islam adalah ilmu yang menjelaskan (menetapkan) bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan didasarkan pada ajaran Allah SWT ( Al-Qur’an dan ajaran Rasulnya)16 b. M. Amin Syukur Ilmu akhlak yaitu suatu ilmu yang menerangkan pengertian baik dan buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, menjelaskan tujuan yang seharusnya dituju dan menunjukkan jalan untuk melakukan sesuatu yang seharusnya diperbuat.17 c. Ibnu Maskawaih Akhlak menurut Ibnu Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.18 Dari pengertian-pengertian di atas, meskipun redaksi berbeda dapat diambil kesimpulan bahwa etika atau dalam Islam yang kita sebut dengan akhlak adalah kebiasan keadaan gerak jiwa yang mempengaruhi perbuatan lahir dengan adanya tekanan-tekanan dari luar. Sehingga timbul adanya kemungkinan-kemungkinan yang merupakan akibat dari sebab adanya perbuatan itu terjadi. Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manisfestasi dari akhlaknya, apabila perbuatan itu dilakukan berulang kali sehingga menjadi kebiasan serta perbuatan itu dilakukan dengan sadar karena dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang dari luar dirinya, seperti adanya paksaan atau bujukan.
16
Hamzah Ya’qub., hlm. 14 M. Amin Syukur, Pengatar Studi Islam, Bima Sejati, Semarang, 2000, hlm. 117 18 Sirajuddin Zan, Op. Cit., hlm. 135 17
23
Dengan arti demikian maka pemahaman bahwa etika dan akhlak memiliki persamaan, di mana didalamnya berkaitan dengan perbuatan baik dan buruk manusia. Perbedaan dan persamaan antara akhlak dengan etika: 1.
Persamaan a. Obyek, yaitu perbuatan dan tingkah laku manusia b. Pembahasan, yaitu penilaiannya adalah baik dan buruk
2.
Perbedaan Perbedaan akhlak dengan etika adalah terletak pada tolak ukurnya. jika akhlak, perbuatan dan tingkah laku manusia dalam menentukan baik dan buruk diukur dengan agama yakni berdasarkan ajaran Allah dan Rasulnya. Sedangkan etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.19 Dengan demikian etika dan akhlak begitu kecil untuk mendapatkan
pembenaran sebagai penilaian-penilaian yang universal yang dinamis terhadap subyek maupun obyek etika karena adanya tekanan-tekanan itu. Adapun tekanan yang dimaksudkan, yaitu: pertama lingkungan, bertitik tolak dari ajaran Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon (makhluk sosial), makhluk hidup membentuk masyarakat.20 Makna paling dalam pada ajaran tersebut merupakan penemuan nilai-nilai hakikat manusia. Secara kodrat manusia sejak lahir memiliki pembawaan untuk hidup bermasyarakat di lingkungan di makna manusia tinggal atau. Menurut sifat kodratnya manusia adalah individu dan masyarakat, mustahil sekali jika seorang manusia mampu hidup seorang diri, sebab secara kodrati saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, untuk dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya. Di sisi lain juga manusia terbentur dengan realita-realita yang nyata secara kasat mata. Intinya
19 20
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 259-261 Harun Hadiwiyono, Sari Filsafat Barat I, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 53
24
bahwa lingkungan sangat mempengaruhi bagaimana manusia bertingkah laku. Kedua, keadaan obyek etika, obyek etika adalah tindakan manusia itu sendiri yang berkedudukan sebagai obyek forma, Sedangkan manusia itu sendiri adalah obyek materinya etika, Keadaan yang dimaksud adalah keadaan jiwa ketika manusia itu berperilaku, tanpa mengkesampingkan faktor-faktor yang mempengaruhi suasana jiwa itu sendiri yang akan menghasilkan penilaian tersendiri terhadap etika, sehat atau tidak sehatnya, indah atau tidak indahnya bahkan baik atau buruknya suatu tindakan. Ketiga, tujuan pelaku etika yang sekaligus merupakan obyek etika. Dalam diri manusia terdapat hati serta akal yang keduanya merupakan karunia Allah sebagai Sang Pencipta. Sedangkan secara perorangan manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan hawa nafsu akan keinginan-keinginan untuk mendapatkan suatu tujuan yang dimaksud. Kecenderungan-kecenderungan tersebut yang akan menimbulkan problem tersendiri dalam permasalahan etika terjadi di seluruh lapisan masyarakat. Keempat, pemahaman terhadap konsep etika. Konsep etika yang ditawarkan oleh Islam adalah etika yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadits, lain halnya dengan etika yang sekuler yang cenderung dan memang didasarkan untuk pemenuhan kenikmatan semata (hedonisme). Pemikiran lebih rinci tentang etika sebagai salah satu cabang ilmu filsafat di satu sisi, dan akhlak (etika Islam) di sisi lain adalah jelas memiliki aspek kesamaan dan aspek perbedaan. Etika dalam berbagai aliran filsafat seperti: hedonisme, utilitarisme, vitalisme, sosialisme, religionisme, dan humanisme. Adapun konsep-konsep yang ditawarkan oleh aliran-aliran tersebut, yaitu: 1. Hedonisme Aliran ini amat tua, sebetulnya terdapat dimana-mana sebagai aliran filsafat yang terumuskan terutama terkenal di Yunani. Disebut demikian aliran ini karena yang dianggap ukuran tindakan baik ialah
25
hedone: kenikmatan dan kepuasan rasa. Bahkan ada ahli psikologi yang berpendapat semua tindakan itu berdasarkan atas cenderung yang tak tersadari, ialah cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang disebut libido seksualitas, atau cenderung untuk mencapai kepuasan dalam memiliki kepuasan. Bagi penganut hedonisme rasa puas dan bahagia disamakan. Adapun bahagia itu menenangkan manusia, ada kepuasan yang merupakan kebahagiaan dan menenangkan tetapi ada juga kepuasan rasa belaka yang kemudian menimbulkan kehausan dan kegelisahan.21 Kelemahan paham ini, ialah menganggap manusia seolah-olah menjadikan binatang sebagai idaman hatinya, karena binatang mempunyai tabiat mengejar kenikmatan dan kelezatan sesaat. 2. Utilitarisme Yang baik yang berguna, Demikianlah ukuran baik bagi penganut aliran utilitarisme (utilis: berguna). Kalau ukuran ini berlaku bagi perorangan disebut indiviual, dan jika berlaku bagi masyarakat, disebut sosial.22 Ciri pengenal kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan dan yang khas dari aliran ini, bahwa akibat-akibat baik itu tidak hanya dilihat dari kepentingan si pelaku sendiri, tetapi juga semua orang yang terkena tindakan tersebut. Sekalipun demikian aliran ini mempunyai kelemahan. Kelemahan yang mendasar dari aliran ini ialah tidak dapat menjamin keadilan dan hak-hak manusia, terutama hak asasinya.23 3. Vitalisme Istilah ini sebetulnya tidak terlalu baik, sebab agak membingungkan. Oleh karena di sana sini terpakai juga, untuk menunjuk aliran yang mengatakan bahwa yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.24 Aliran ini mengajarkan bahwa perilaku yang baik ialah perilaku yang menambah daya hidup. Sedangkan perilaku 21
Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 44 Ibid., hlm. 45 23 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hlm. 126 24 Poedjawiyatna, Op. Cit., hlm. 46 22
26
yang buruk ialah yang mengurangi bahkan merusak daya hidup. Etika semacam ini mengandalkan manusia dapat menempatkan diri di luar arus kehidupan serta dapat mempengaruhinya, baik secara positif maupun negatif. Kelemahan aliran ini, selain terlalu mengagungkan kehidupan dan mendewakan para penguasa juga secara metodologis telah membantah dirinya sendiri. 4. Religionisme Ialah aliran yang berpendapat, bahwa baiklah yang sesuai kehendak Tuhan itu. Maka tugas teologilah yang menentukan, manakah yang menjadi kehendak Tuhan. Keberatan terhadap aliran ini ialah ketidakumuman dari ukuran itu. Kita tahu ada terdapat berbagai macam-macam agama. Agama itu mengutarakan pedoman hidup yang menurut agama masing-masing merupakan kehendak Tuhan. Pedoman itu tidak sama malahan di sana sini nampak pertentangan.25 5. Humanisme Menurut aliran ini, yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaannya. Dalam tindakan kongkrit tentulah manusia kongkrit pula yang menjadi ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi seluruh akan ikut menentukan baik dan buruknya tindakan kongkrit itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang kongkrit adalah kata hati yang bertindak.26 Jadi humanisme menelaah apa yang dilakukan manusia secara kodrati, artinya berdasar keadaan dalam diri manusia sendiri. Dengan demikian paham semacam ini mempunyai kelemahan. Kelemahan yang nyata ialah karena etika ini hanya menyandarkan kepada panggilan tabiat manusia itu sendiri, Sedangkan kenyataannya bahwa ketentuanketentuan kesusilaan sering bahkan lazimnya bertentangan dengan kecenderungan-kecenderungan kodrati. 25 26
Ibid., Hlm. 47-48 Ibid., Hlm. 48-49
27
Oleh sebab itu etika berupaya melakukan penyelidikan dan penilaian terhadap perbuatan baik dan buruk manusia maka di sini harus dipahami bahwa pembuatan atau tabiat manusia sangat beragam. Keragaman ini dapat ditinjau dari segi nilai kelakuannya apakah baik atau buruk serta tujuan obyeknya tanpa mengkesampingkan pokok-pokok etika serta hukum kausalitas yang merupakan bagian dari kodrat kehidupan manusia.
2. Pokok-pokok Etika Islam Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan hadits maka etika atau akhlak merupakan bukti pengangkatan Nabi Muhammad SAW, di mana Nabi Muhammad SAW mempunyai akhlak yang terpuji, terpilih. Sebagaimana Al-Qur’an menyatakan:
(4 : ﻋﻈِﻴ ٍﻢ )ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻠﹸ ٍﻖﻠﻰ ﺧﻚ ﹶﻟﻌ ﻧﻭِﺇ Artinya :”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”. (Q.S. Al-Qalam : 4).27 Mengingat etika Islam merupakan etika yang berdasarkan pada AlQur’an dan hadits, maka di sana pula seseorang akan dinilai baik dan buruk perbuatannya, apakah sesuai atau tidak dengan dua sumber tersebut. Kaitannya dengan etika Islam adalah etika yang didasarkan pada pokokpokok agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits atau sunnah Nabi, kebiasan sahabat, serta ijma ulama. Sistem etika Islam berbeda dengan sistem etika sekuler dan dari ajaran moral yang diyakini oleh agama-agama lain. Sepanjang rentang Sejarah peradaban, model-model sekuler mengasumsikan ajaran moral yang bersifat sementara dan berubah karena didasarkan pada nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya, sebaliknya ajaran Islam yang melekat dalam sistem etika Islam menekankan hubungan antara manusia dengan
27
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahan Al-Qur'an, Departemen Agama R.I., Jakarta, 1980, hlm. 960
28
Sang Penciptanya. Karena Allah SWT Maha Sempurna dan Maha Mengetahui, maka kaum muslim memiliki ajaran moral yang tidak terikat waktu dan tidak dipengaruhi oleh perilaku manusia. Ajaran etika Islam dapat diterapkan sampai kapan pun karena sang pencipta berada lebih dekat dari urat leher manusia dan memiliki pengetahuan yang sempurna dan abadi.28 Secara umum, Islam mendukung semua prinsip dalam pendekatan keadilan distributive terhadap etika, namun dalam proporsi yang seimbang. Islam tidak mendukung prinsip keadilan buta.29 Berdasarkan pembahasan di atas, sejumlah parameter kunci sistem etika Islam telah terungkap, dan dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa dan mengetahui apapun niat kita sepenuhnya dan secara sempurna. 2. Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal. 3. Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan. 4. Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah. 5. Keputusan yang mengutungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya. Etika bukanlah permainan mengenai jumlah. 6. Islam menggunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam. 7. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qur’an dan alam semesta. 28
Muhammad, dkk., Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, Salemba Diniyah, Jakarta, 2002, hlm. 43-44 29 Ibid., hlm. 52
29
8. Tidak seperti sistem etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan ketaatannya kepada Allah.30 Untuk mengembangkan lebih jauh hendaknya kita memperhatikan Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran etika Islam atau akhlak, maka kita dapat mengatakan bahwa teori moralitas Islam sangat menyeluruh dan terperinci, mencakup segala hal yang telah kita lihat, alami sehari-hari. Karena Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia yang meliputi segala segi hidup dan kehidupan manusia tidak hanya mengajarkan kebaikankebaikan dari pada akhlak Islam akan tetapi juga-janji dan sanksi dari Allah. Dan konsep mengenai baik dan buruk dijelaskan dalam firman Allah:
ﻢ ﻫ ﻚ ﻭﺃﹸﻭﹶﻟِﺌ ﻨ ﹶﻜ ِﺮﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻮ ﹶﻥ ﻬ ﻨﻳﻭ ﻑ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﻭ ﹶﻥ ﺑِﺎﹾﻟﻣﺮ ﻳ ﹾﺄﻭ ﻴ ِﺮﺨ ﻮ ﹶﻥ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﺪﻋ ﻳ ﻣ ﹲﺔ ﻢ ﹸﺃ ﻨ ﹸﻜﻦ ِﻣ ﺘ ﹸﻜﻭﹾﻟ (104 : ﻮ ﹶﻥ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻤ ﹾﻔِﻠﺤ ﺍﹾﻟ Artinya :”Hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebaikan (al-khair) menyerukan kepada ma’ruf (yang baik) dan melarang dari perbuatan munkar dan itulah orangorang yang bahagia” (Q.S. Ali-Imran: 104).31
ﻦ ﻚ ِﻣ ﻚ ِﺇﻥﱠ ﹶﺫِﻟ ﺑﺎﺎ ﹶﺃﺻﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺮ ﺻِﺒ ﺍﻨ ﹶﻜ ِﺮ ﻭﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟﻤ ﻪ ﻧﺍﻑ ﻭ ِ ﻭﻌﺮ ﻤ ﺮ ﺑِﺎﹾﻟ ﻣ ﻭﹾﺃ ﺼﻠﹶﺎ ﹶﺓ ﹶﺃِﻗ ِﻢ ﺍﻟﻨﻲﺑ ﺎﻳ (17 : ﻮ ِﺭ )ﻟﻘﻤﺎﻥﺰ ِﻡ ﺍﹾﻟﹸﺄﻣ ﻋ Artinya :”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
30 31
Ibid., hlm. 56-57 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 93
30
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan”.(Q.S. Luqman :17)32 Sedangkan hadits merupakan aktualisasi dari pencitraan suasana hati Nabi yang berdasarkan Al-Qur’an dan merupakan kehidupan seorang individu yang terasing, tetapi ia adalah seorang yang mempunyai berbagai hubungan dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana Sabdanya:
ﺎ ﻳﻫﻦ ﺎﻴ ﹶﻞ ﻣ ِﻗﺴِﻠ ِﻢ ِﺳﺖ ﻋﻠﹶﻰ ﺍﹾﻟﻤ ﺴِﻠ ِﻢ ﻖ ﺍﹾﻟﻤ ﺣ :ﻡ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ.ﷲ ﺹ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﺮ ﹶﺓ ﹶﺍﻥﱠ ﻳﺮ ﻲ ﻫ ﻦ ﹶﺍِﺑ ﻋ ﺢ ﹶﻟﻪ ﺼ ﻧﻚ ﻓﹶﺎ ﺤ ﺼ ﻨﺘﺳ ﻭِﺍﺫﹶﺍ ﺍ ﺒﻪﻙ ﹶﻓﹶﺄ ِﺟ ﺎﺩﻋ ﻭِﺍﺫﹶﺍ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻢ ﺴِّﻠ ﻪ ﹶﻓ ﺘﻴ ِﺍﺫﹶﺍ ﹶﻟ ِﻘ:ﻮﻝﹸ ﺍﷲِ؟ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺭﺳ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﻪ ﻌ ِﺒﺕ ﻓﹶﺎﺗ ﺎﻭِﺍﺫﹶﺍﻣ ﺪﻩ ﺽ ﹶﻓﻌ ﻣ ِﺮ ﻭِﺍﺫﹶﺍ ﻪ ﺘﺴ ِّﻤ ﷲ ﹶﻓ َ ﺪ ﺍ ﺤ ِﻤ ﺲ ﹶﻓ ﻋ ﹶﻄ ﻭِﺍﺫﹶﺍ Artinya :”Dari Abu Hurairah r.a katanya: ” Kewajiban orang muslim terhadap orang muslim lain enam perkara. Orang beratnya kepada beliau; apakah itu ya Rasulallah? Jawab Rasulallah SAW.: “ Jika berjumpa dengannya diberi salam, jika diundang mendatanginya, jika dimintanya nasihat diberikan, jika bersin dan ia menyebut nama Allah, dido’akan dengan beroleh rahmat, jika ia sakit ditengok dan jika ia meninggal diantarkan”. (H.R. Muslim)33 Selain itu juga Allah mengaruniakan kita akal sebagai pokok dasar lain etika Islam. Sebagai makna pendapat al Maturidi yang berpendapat ” akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk terdapat yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk. Dan pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan larangan”.34 Jika kita memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar, maka kita dapat mengetahui bahwa pada dasarnya Islam bertujuan untuk membangun kehidupan manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan dan 32
Ibid., hlm. 655 H.A. Rajak dan H. Rais Lathief, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, Cet. 1, Jilid III, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1980, hlm. 162 34 Harun Nasution , Teologi Islam, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 89 33
31
membersihkan
dari
berbagai
kejahatan.
Konsekuensi
logis
dari
pemahaman Islam secara utuh adalah bahwa syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits mengatur kehidupan manusia secara individu dan kolektif. Al-Qur’an sendiri sebagai dasar etika Islam bagi kehidupan manusia, terutama dalam hal kemasyarakatan harus ditegakkan atas tiga dasar yaitu negara dan masyarakat harus ditegakkan atas dasar keadilan, musyawarah, dan persaudaraan atau persamaan.35 Dengan demikian sasaran pokok dari pada etika Islam atau akhlak menurut Muh. Zain Yusuf mempunyai ciri-ciri yang khusus yang membedakan dengan akhlak yang diciptakan manusia yaitu: kebajikan yang mutlak, kebaikan yang menyeluruh, kemantapan, kewajiban yang dipatuhi dan pengawasan yang menyeluruh.36 Untuk membentuk pribadi yang takwa, yang menjadikan amal baik sebagai sesuatu yang wajib dan menghindari perbuatan yang buruk dan tercela. B.
Etika Pergaulan Laki-Laki Dengan Perempuan Dalam Islam Manusia diciptakan Allah SWT berpasang-pasangan, ada laki-laki dan perempuan, masing-masing pihak saling membutuhkan dan saling tertarik satu sama lain. Allah juga menjelaskan bahwa perempuan atau pasangan laki-laki itu diciptakan dari unsur laki-laki itu sendiri agar mereka bisa meneruskan tugas Allah sebagai khalifah di bumi. Hal dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
ﺎﻬﻤ ﻨﺑﺚﱠ ِﻣﻭ ﺎﺟﻬ ﻭ ﺯ ﺎﻨﻬﻖ ِﻣ ﺧﹶﻠ ﻭ ﺪ ٍﺓ ﺍ ِﺣﺲ ﻭ ٍ ﻧ ﹾﻔ ﻦ ﻢ ِﻣ ﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸ ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹸﻜﺭﺑ ﺗﻘﹸﻮﺍﺱ ﺍ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎﹶﺃﻳ ﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﺭﻗِﻴﺒ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻡ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺎﺭﺣ ﺍﹾﻟﹶﺄﺎ َﺀﻟﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑ ِﻪ ﻭﺗﺴ ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﺎ ًﺀ ﻭﻭِﻧﺴ ﺍﺎﻟﹰﺎ ﹶﻛِﺜﲑِﺭﺟ (1 : Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari seseorang diri dan dari padanya Allah
35 36
22-23
M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1983, hlm. 50 Ali Saefudin, Etika Islam Sebagai Modal Kebahagiaan, Jurnal Teologia, Op. Cit., hlm.
32
menciptakan
istrimu,
dan
dari
keduanya
itu
Allah
mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah dengan (menggunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (periharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawal kamu”. (Q.S. An-Nisa : 1).37
ﻢ ﻣﻜﹸ ﺮ ﺭﻓﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﹶﺃ ﹾﻛ ﺎﺘﻌﺎِﺋ ﹶﻞ ِﻟﻭﹶﻗﺒ ﺎﻮﺑﺷﻌ ﻢ ﺎ ﹸﻛﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻭ ﻧﺜﹶﻰﻭﹸﺃ ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ ﻢ ِﻣ ﺎ ﹸﻛﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺎﺱ ِﺇﻧ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ (13 : ﲑ )ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ ﺧِﺒ ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻪ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃ ﻨِﻋ Artinya :”Wahai manusia, aku ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan wanita dan aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal, sesugguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”.(Q.S. Al-Hujurat :13).38 Dalam pandangan Islam, manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baiknya bentuk dan merupakan hambaNya yang paling mulia jika ia taat kepada-Nya di muka bumi ini. Manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya karena manusia dianugrahi oleh Allah suatu bentuk tubuh yang bagus dan indah, dan dilengkapi pula dengan akal budi yang dapat dipakai untuk melakukan penalaran sehingga bisa menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Sebagai hamba Allah, tugas dan misi manusia dalam hidupnya adalah tunduk (berislam) dan patuh kepada Allah, Sang Penciptanya.39 Bagi manusia, keunikan struktur fisik dan keajaiban rahasia psikis merupakan keunggulan tersendiri, dengan keunikan dan kewajiban itu manusia dapat mempererat hubungan dengan Allah dan sesama makhluk.40 Allah SWT. Menyerukan kepada segenap umat manusia
37
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 114 Ibid., hlm. 847 39 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Jakarta ,2002, hlm. 256 40 Saudi Berlian, Pengelolaan Tradisinal Gender,Telah Keislaman, Cet.1, Milennium Publisher, Jakarta, 2000, hlm. 59 38
33
berbagai macam taklif. Manusia telah dijadikan-Nya sebagai sasaran khithab (seruan) dan taklif.41 Dari sudut pandang Islam, perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya bersifat biologis atau psikologis, tetapi berakar pada sifat dasar illahiyah itu sendiri. Pembedaan laki-laki dan perempuan adalah bagian penting dari misteri penciptaan Tuhan. Setiap jenis kelamin sepenuhnya manusia yang dilengkapi dengan jiwa illahiyah, dan kedua seks (jenis kelamin) ini sama dalam hal tanggung jawab keagamaan mereka dan keduanya sejajar di hadapan Tuhan. Namun, masing-masing pihak melengkapi yang lain dan keduanya bersama-sama, seperti simbol yin-yang dalam
budaya
Timur
jauh,
membentuk
sebuah
lingkaran,
yang
menyimbolkan kesempurnaan, totalitas, dan kelengkapan. Oleh karena itulah laki-laki dan perempuan keduanya saling berlomba dan juga saling tertarik satu sama lain. Alkemia perkawinan serta perpaduan seksual memiliki kekuatan untuk mengubah dan melengkapi dan untuk kebutuhan menyeluruh melalui cinta yang melampaui kedua pihak, tetapi melingkupi mereka, cinta yang berakar pada Tuhan.42 Ajaran Islam menekankan bahwa walaupun laki-laki dan perempuan sejajar dihadapan Tuhan dan hukum, mereka harus saling melengkapi satu sama lain dalam kehidupan sosial dan keluarga. Persamaan di depan Tuhan dan hukum tidak merusak realitas saling melengkapi. Firman Allah:
(36 : ﺎ )ﻳﺲﺝ ﹸﻛﱠﻠﻬ ﺍﺯﻭ ﻖ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﺧﹶﻠ ﺎ ﹶﻥ ﺍﱠﻟﺬِﻱﺒﺤﺳ Artinya :”Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan semua” . (Q.S. Yasin: 36).43 Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dengan suatu fitrah yang khas, yang berbeda dengan hewan. perempuan adalah seorang manusia, sebagai mana halnya laki-laki. Masing-masing 41
Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, Terj., M. Nashir, Pustaka Thariqul ‘Izzah, Bogor, 2001, hlm.10 42 Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Terj., Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 226-227 43 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 710
34
tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi yang lain dalam hal ini. Allah telah menciptakan pada masing-masing pihak sebuah potensi dinamis (thaqah hayawiyyah). Potensi tersebut berupa dorongan kebutuhan jasmani (hayat ‘udhawiyyah) seperti lapar, rasa dahaga, atau buang hajat; serta berbagai potensi naluriah/instingtif (ghara’iz, bentuk jamak dari gharizah) seperti naluri mempertahankan kehidupan, naluri seksual untuk melestarikan keturunan, dan naluri beragama (religiousitas). Ternyata, dorongan kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada masing-masing jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada diri keduanya kekuatan berpikir. Akal yang ada pada seorang laki-laki ternyata ada pula pada perempuan, karena Allah memang menciptakan akal untuk seluruh manusia.44 Ayat-ayat Al-Qur’an sangat memperhatikan manusia, maksudnya pada penciptaan dan tujuan dari penciptaan laki-laki dan perempuan. Ayatayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, naluri seksual diciptakan agar manusia menjalani kehidupan secara berpasang-pasangan sebagai suami istri dan sekaligus melanjutkan keturunan (kehidupan suami istri saja). Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan keterangan
demikian
dengan berbagai cara dan makna yang beragam agar pandangan manusia sejalan dengan tujuan dari diciptakan manusia sebagaimana penilaian Islam terhadap laki-laki dan perempuan.
1. Perspektif Islam Tentang Pergaulan Pergaulan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya dibolehkan sampai pada batas-batas yang wajar yang tidak membuka peluang untuk terjadinya perbuatan dosa (zina). Apalagi pergaulan dan hubungan itu dalam rangka untuk mencari dan mengenal lebih baik dan dalam calon pasangan hidupnya. Sebab kalau salah pilih akan menyesal berkepanjangan.
44
Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 11
35
Fakta telah menunjukkan bahwa dalam kehidupan umum, pertemuan laki-laki dan perempuan adalah suatu hal yang pasti terjadi dan masing-masing harus bekerja sama. Sebab kerjasama merupakan kebutuhan yang amat diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi, sebuah kerja sama di atas tidak mungkin tercipta kecuali dengan suatu sistem yang mengatur hubungan yang bersifat seksual antara kedua lawan jenis itu dan mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum. Sistem interaksi atau pergaulan laki-laki perempuan dalam Islam menempatkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-mata untuk melestarikan keturunan umat manusia. Satu-satunya yang dapat menjamin ketentraman hidup dan mampu mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan pengaturan yang selaras dengan karakter kemanusiaan hanyalah sistem yang diatur oleh Islam. Sistem interaksi dalam Islamlah yang menjadikan aspek rohani sebagai landasan dan hukum-hukum syariat sebagai tolak ukur yang didalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. Sistem interaksi Islam memandang manusia, baik laki maupun perempuan, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri, perasaan kecenderungan, dan akal sehat. Sistem ini memperbolehkan manusia bersenang menikmati hidup secara optimal, tetapi dengan tetap memelihara komunitas dan masyarakat manusia. Sistem ini pun mendorong kukuhnya manusia dalam menempuh perjalanan untuk memperoleh ketentraman hidupnya.45 Dengan demikian, Islam telah menjadikan kerjasama antara lakilaki dan perempuan dalam berbagai segi kehidupan serta interaksi antara sesama manusia sebagai perkara yang pasti di dalam seluruh aspek muamalat. Sebab mereka semuanya adalah hamba Allah, dan semuanya saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan dan pengabdian kepada-Nya. Atas dasar inilah sistem interaksi atau tata 45
Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 23
36
pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam harus dipelajari secara menyeluruh dan mendalam. Dengan itu persoalan interaksi antara laki-laki dan perempuan terdapat implikasi hubungan yang dapat dipahami dengan pemecahan yang rasional dan sesuai dengan segala sesuatu yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits, tanpa perlu memperhatikan apakah hal tersebut bertentangan dengan adat istiadat maupun tradisi.
2. Ciri-ciri Pergaulan Islami Sejauh telaah terbatas penulis pada buku-buku yang berbicara tentang aspek pergaulan, Sistem Pergaulan dalam Islam, Syekh Taqiyuddin An Nabhani merupakan satu-satunya buku yang mampu menghadirkan paradigma baru dalam memandang problem pergaulan, solusi hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun peran keduanya dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, serta negara. Buku mengkomparasikan pandangan-pandangan Islam dan dunia Barat dalam melihat aspek filosofis hubungan laki-laki dan perempuan yang diketengahkan oleh dua peradaban tersebut. Tetapi sebagaimana yang tercantum pada judul sub bab, penulis akan menitikberatkan kepada pandangan Islam terhadap ciri-ciri pergaulan dalam Islam. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: 1. Konteks Islam interaksi (pergaulan) laki-laki dan perempuan dipenuhi dengan pandangan kesucian, kemulian, dan kehormatan diri; di samping itu dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan manusia.46 2. Interaksi atau pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Islam menetapkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah sematamata untuk melestarikan keturunan umat manusia.47 (Melalui lembaga pernikahan). 46 47
Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 19 Ibid., hlm. 23
37
3. Interaksi atau pergaulan laki-laki dan perempuan dijadikan sebagai sasaran seruan dan pembebanan (taqlif),48 maka semuanya harus saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan dan pengabdian kepada Allah.49 4. Aspek rohani sebagai landasan dan hukum-hukum syariat sebagai tolak ukur yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur.50
3. Batasan-batasan Pergaulan Islami Zaman sekarang, pertemanan setiap individu dalam pergaulan lebih bebas dan tidak mau diintervensi atau dipaksa oleh siapapun. Untuk itu dalam menghadapi semua ini, hendaklah pergaulan itu didasari oleh sikap saling hormat menghormati antara laki-laki dan perempuan. Dengan senantiasa berpedoman pada batas yang telah ditetapkan oleh agama, diantaranya: 1. Menjaga Pandangan Mata Mata adalah satu karunia Allah yang amat cepat dan jauh jangkauannya. Memelihara mata cukuplah dengan menundukan sebahagian pandangan mata bila berhadapan dengan laki-laki atau perempuan yang bukan muhrim. Jangan lah membidikan mata kita kepada mereka, dan janganlah memandangnya berulang-ulang agar kita dapat mengendalikan pandangan dan memelihara faraj, karena pada keduanya ada hubungan anatomis (kematangan fungsi tubuh), fisiologis (baligh), serta psikologis (insting kecenderungan kepada lawan jenis) yang dapat memancing mata sebagai panca indra yang sangat peka.51 Hal ini diatur oleh Allah dan Rasulnya :
48
Ibid., hlm. 10 Ibid., hlm. 24 50 Ibid., hlm. 23 51 Abdurahman Al Mukaffi, Pacaran Dalam Kaca Mata Islam, Media Dakwah, Jakarta, 2000, hlm. 69 49
38
ﲑ ﺧِﺒ ﻪ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﻬ ﺯﻛﹶﻰ ﹶﻟ ﻚ ﹶﺃ ﻢ ﹶﺫِﻟ ﻬ ﺟ ﻭﺤ ﹶﻔﻈﹸﻮﺍ ﹸﻓﺮ ﻳﻭ ﻢ ﺎ ِﺭ ِﻫﺑﺼﻦ ﹶﺃ ﻮﺍ ِﻣﻐﻀ ﻳ ﲔ ﺆ ِﻣِﻨ ﹸﻗ ﹾﻞ ِﻟ ﹾﻠﻤ ﻭﻟﹶﺎ ﻬﻦ ﺟ ﻭﻦ ﹸﻓﺮ ﺤ ﹶﻔ ﹾﻈ ﻳﻭ ﻦ ﺎ ِﺭ ِﻫﺑﺼﻦ ﹶﺃ ﻦ ِﻣ ﻀ ﻀ ﻐ ﻳ ﺕ ِ ﺎﺆ ِﻣﻨ ﻤ ﻭﹸﻗ ﹾﻞ ِﻟ ﹾﻠ ﴾30﴿ ﻮ ﹶﻥﻨﻌﺼ ﻳ ﺎِﺑﻤ (31-30 : ﺎ )ﺍﻟﻨﻮﺭﻨﻬﺮ ِﻣ ﻬ ﺎ ﹶﻇﻦ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣ ﺘﻬﻨﻦ ﺯِﻳ ﺒﺪِﻳﻳ Artinya :”Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki (mukmin) agar mereka menundukan sebahagian dari pandangan mata (terhadap wanita),dan memelihara akan kemaluan mereka (menutupnya). Yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah amat mengetahui akan apa yang meraka kerjakan. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasanya, kecuali yang bisa nampak dari padanya”.(Q S. An-Nur :30-31).52
ﻲ ﹶﺍ ﹾﻥ ﺮِﻧ ﻣ ﺎ َﺀ ِﺓ ﹶﻓﹶﺄﻧ ﹶﻈﺮِﺍﹾﻟ ﹸﻔﺠ ﻦ ﻋ .ﻡ.ﷲ ﺹ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﺳﹶﺄﹾﻟﺖ :ﷲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِ ﺒﺪِﺍﻋ ﺑ ِﻦﻳﺮِﺍﺟ ِﺮ ﻦ ﻋ ( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﻱ ﺼ ِﺮ ﺑ ﻑ ﺻ ِﺮ ﹶﺍ Artinya :” Dari Jarir bin Abdullah r.a. Katanya: Saya telah beratnya kepada Rasulallah SAW. tentang melihat wanita tanpa sengaja/mendadak; maka saya diperintahkan beliau agar menjauhkan pandangan mataku”.(H.R. Muslim).53 2. Menjauhi Pergaulan Bebas54 Menjauhi pergaulan bebas yang akibatnya sudah pasti dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam kehidupan kota besar dan dampak dari globalisasi informasi, anak muda banyak yang bergaul bebas dengan lawan jenisnya meniru budaya barat yang 52
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 548 H.A. Rajak dan H. Rais Lathief, Op. Cit., hlm. 160 54 Abdurrahman al Mukaffi, Op. Cit., hlm. 79 53
39
serba permissive (serba boleh) sehingga pergaulan bebas. Karena bebasnya kadangkala mereka melanggar norma dan etika agama, sehingga terjadi pergaulan bebas atau free sex yang akhirnya terjadilah kehamilan dini yang tidak dikehendaki. Firman Allah :
(32 : ﺳﺒِﻴﻠﹰﺎ )ﺍﻻﺳﺮﺍﺀ ﺎ َﺀﻭﺳ ﺸ ﹰﺔ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻓﹶﺎ ِﺣ ﺎ ِﺇﻧﺰﻧ ﻮﺍ ﺍﻟﺮﺑ ﺗ ﹾﻘ ﻭﻟﹶﺎ Artinya :”Dan janganlah engkau dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang rendah dan seburuk-buruknya perbuatan”.(Q.S. Al-Isra: 32).55 Meskipun demikian, Islam sangat berhati-hati menjaga masalah ini. Oleh karena itulah, Islam melarang segala sesuatu yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang tidak disyariatkan. Islam melarang siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki, keluar dari sistem Islam yang khas dalam mengatur hubungan lawan jenis. Larangan dalam persoalan ini demikian tegas. Atas dasar itu, Islam menetapkan sifat iffah (menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban.56 Selain dari itu, Syekh Taqiyuddin An Nabhani berkesimpulan bahwa Islam telah menetapkan setiap metode, cara, maupun sarana yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak terpuji sebagai sesuatu yang juga wajib dilaksanakan. Islam telah menetapkan hukumhukum tertentu yang berkenaan dengan hal ini. Hukum-hukum diantaranya sebagai berikut: 1. Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menundukan pandangan. 2. Islam
memerintahkan
kepada
kaum
perempuan
untuk
mengenakan pakaian yang secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
55 56
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 429 Taqiyuddin An Nabhani, Op.Cit., hlm. 26
40
3. Islam melarang seorang perempuan melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lainnya selama sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahramnya. 4. Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali disertai oleh mahramnya. 5. Islam melarang perempuan untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya. 6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jama’ah (komunitas) kaum perempuan terpisah dari jama’ah (komunitas) kaum laki-laki; begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya. 7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara perempuan dengan laki-laki yang bukan mahramnya atau jalan-jalan bersama.57 Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi lakilaki dan perempuan sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual. Artinya, interaksi mereka tetap dalam koridor kerja sama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan dan dalam melakukan semacam aktivitas. Dengan hukum-hukum inilah, Islam mampu memecahkan hubungan-hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik laki-laki maupun perempuan, ketika masing-masing saling bertemu dan berinteraksi. Islam pun mampu memberikan solusi terhadap hubungan-hubungan yang mungkin mengemuka sebagai implikasi dari adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti: masalah kewajiban memberi nafkah, status perwalian anak, pernikahan dan lain-lain. Caranya adalah dengan membatasi interaksi yang terjadi sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut serta dengan 57
Ibid., hlm., 26-29
41
menjauhkan laki-laki dan perempuan dari interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.58 Dengan demikian, jelaslah bahwa betapa pandangan Islam dalam konteks interaksi laki-laki dan perempuan dipenuhi dengan pandangan kesucian, kemuliaan dan kehormatan diri, di samping merupakan pandangan yang dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian keturunan manusia.
58
Ibid., hlm. 30