BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daun Sirih Merah Sirih Merah atau bahasa latinnya Piper crocatum, tumbuh berselang-seling dengan cara merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai. Dari batangnya, tampak daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap. Karena banyaknya kandungan zat bermanfaat, daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat, tidak hanya sebagai tanaman hias, tetapi juga dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah. Hal ini sangat baik bagi penderita kencing manis (Diabetes mellitus). Secara empiris, selain diabetes, sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti hepatitis, batu ginjal, menurunkan kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi, radang liver, radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi, dan memperhalus kulit (Sudewo, 2005). Adapun klasifikasi daun sirih merah tersebut adalah sebagai berikut: Kingdom Subkingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae (Tumbuhan) : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) : Spermatophyta (Menghasilkan biji) : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) : Magnoliidae : Piperales : Piperaceae (suku sirih-sirihan) : Piper : Piper crocatum.
12
13
Gambar 2.1 Piper crocatum(Koleksi Pribadi, 2012)
Tanaman sirih, juga dikenal dengan nama lain seperti base, sedah, nahi, kuta, mota, taa, mokeh, malu, ranub, blo, sereh, purokawo, gapura, ganjang, baulu, buya, bolu, komba, lalama, sangi, dondili, suruh, seureuh, sere. Mempunyai banyak spesies serta memiliki jenis beragam, seperti sirih gading, sirih hijau, sirih hitam, sirih kuning, dan sirih merah (Darwis, 1992). Tanaman sirih merah tumbuh merambat pada pagar atau pohon, berbatang bulat dengan warna hijau keunguuan, tidak berbunga, daunnya bertangkai dan membentuk jantung hati dengan ujung yang meruncing, permukaan daun tidak merata, berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya matahari serta tumbuh berselang-seling dari batangnya (Waldan, 2008). Tumbuhan sirih merah (Piper Crocatum) tidak tumbuh disetiap tempat atau daerah. Sirih merah tumbuh subur di tempat berhawa dingin dan jika terlalu banyak terkena sinar matahari, batangnya cepat mengering, tetapi jika disiram secara berlebihan akar dan batang cepat membusuk. Tumbuhan sirih merah akan
14
tumbuh dengan baik jika mendapatkan 60-70% cahaya matahari. Sehingga, perlakuan khusus sangat dibutuhkan dalam upaya menjaga syarat tumbuhnya. Banyak orang menanam tumbuhan sirih merah, tetapi tidak banyak yang mengerti syarat tumbuhnya, sehingga gagal dan tanamannya sering mati (Sudewo, 2005). Semua jenis tanaman sirih memiliki ciri yang hampir sama yaitu tanamannya merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai yang tumbuh berselang-seling dari batangnya. Perbedaan yang khas antara tanaman sirih merah dengan tanaman sirih lainnya yaitu, pada sirih merah selain daunnya berwarna “merah keperakan”, bila daunnya disobek, akan mengeluarkan lendir dan baunya lebih wangi (Duryatmo, 2005). Tanaman sirih merah bisa ditanam pada area atau tempat yang teduh dan tidak terlalu banyak terkena sinar matahari agar warna merah daunnya tidak menjadi pudar, buram dan kurang menarik yang dapat mempengaruhi kadar senyawa fitokimia didalamnya (Sudewo, 2005). Tanaman sirih merah tergolong dalam bangsa piperales, jenis Piper crocatum. Penyebarannya cukup luas, khususnya di kawasan tropis dan subtropis. Tanaman sirih ditemukan dibagian timur pantai Afrika, disekitar pulau Zanzibar, Madagaskar, India ke timur meliputi daratan Cina, kepulauan Bonim, kepulauan Fiji, Malaysia, Indonesia dan kawasan Asia Tenggara lainnya. Tanaman sirih merah berasal dari kawasan Malaysia Timur dan Tengah dan sejak dahulu tersebar ke seluruh daerah tropika asia, sedangkan Indonesia termasuk dalam kawasan Asia yang menurut Vavilov merupakan salah satu pusat keanekaragaman genetika dari delapan pusat keanekaragaman tanaman dunia, termasuk didalamnya
15
kelompok sirih-sirihan, maka Indonesia juga merupakan salah satu tempat asal tanaman sirih merah (Rostiana et al., 1991).
2.1.1 Kandungan kimia daun sirih merah Sirih merah merupakan tanaman yang menghasilkan berbagai macam bahan kimia untuk tujuan tertentu, yang disebut metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk mahluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti alkaloid, terpenoid, isoprenoid, flavanoid, cyanogenic, glucoside, glucosinolate dan non protein amino acid (Solikhah, 2006). Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang paling banyak diproduksi tanaman. Alkaloid adalah bahan organik yang mengandung nitrogen sebagai bagian dari sistem heterosiklik. Nenek moyang kita telah memanfaatkan alkaloid dari tanaman sebagai obat. Sampai saat ini semakin banyak alkaloid ditemukan dan diisolasi untuk obat modern. Para ahli pengobatan tradisisonal telah banyak menggunakan tanaman sirih merah karena mempunyai kandungan kimia yang penting untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Dalam sirih merah terkandung senyawa fitokimia yakni alkaloid flavonoid, saponin, tanin, dan minyak atsiri. Menurut Ivorra, M.D di dalam buku ”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic”
senyawa
aktif
flavonoid
dan
alkaloid
memiliki aktivitas
hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah (Hartono, 2006).
16
Kandungan kimia lainnya yang terdapat pada daun sirih merah adalah minyak astiri sampai 4,2% (Kartasapoetra, 1992), hidroksikavicol, kavicol, kavibetol, allylprokatekol, karvakrol, eugenol, p-cymene, cineile, caryofelen, kadimen estragol, ter-penena, dan fenil propada (Mahendra, 2005). Karena banyaknya kandungan zat/senyawa kimia bermanfaat inilah, daun sirih merah memiliki manfaat yang sangat luas sebagai bahan obat. Karvakrol dan fenil propada bersifat desinfektan antimikroba dan anti jamur yang kuat dan dapat menghambat beberapa jenis bakteri, sehingga bisa digunakan untuk obat antiseptik pada bau mulut dan keputihan (Agusta, 2000; Hariana, 2007). Eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan tanin dapat digunakan untuk mengobati sakit perut dan terbukti mempunyai aktivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor (Harborne, 1987). Hasi uji fitokimia dari penelitian Salim (2007) rebusan daun sirih merah mengandung alkaloid, flavonoid, dan tannin. Alkaloid dan favonoid merupakan senyawa aktif bahan alam yang memiliki aktifitas hipoglikemia (Ivorra, 1989), sedangkan tannin berfungsi sebagai antioksidan dan penghambat pertumbuhan tumor (Lenny, 2006). Berdasarkan penelitian Salim (2007) didapatkan hasil bahwa tidak ada kematian pada tikus putih galur Sprague-Dawley yang diujikan pada rendaman sirih merah dengan dosis 20g/kg BB, sehingga dikatakan bahwa rebusan daun sirih merah tidak bersifat toksik.
17
2.2 Diabetes mellitus (DM) Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah). Peningkatan kadar glukosa darah bervariasi terutama setelah makan. Hal ini akibat dari tubuh tidak melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup (Suyono, 1996). Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator karena dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan dengan gejala bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan fisiologis tubuh seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih sering ataupun berat badan yang menurun (Djojosoebagio, 1996).
2.2.1 Klasifikasi diabetes mellitus Klasifikasi diabetes mellitus secara umum dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: 1). Diabetes mellitus tipe I Diabetes mellitus tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Pada tipe I ini tubuh penderita hampir sama sekali tidak ada insulin atau sangat rendah dalam menghasilkan insulin akibat dari sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Rahardja, 2002). Hal ini disebabkan oleh karena pada jenis ini timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel β (insulitis) sehingga menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel β yang disebut Islet Cell Antibodi (ICA). Reaksi antigen (sel β) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel β (Soegondo, 2002). Diabetes
18
tipe I ini merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan terjadinya ketosis apabila tidak diobati, lazimnya terjadi pada anak remaja tetapi kadangkadang juga terjadi pada orang dewasa (Maulana, 2008). Gangguan katabolisme yang disebabkan hampir tidak terdapatnya insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel β pankreas gagal merespon semua stimulus insulinogenik (Katzung, 2002). Sebagian besar individu DMTI biasanya dengan berat badan normal atau dibawah normal. Gejala kliniknya adalah poliuria, polidipsi, dan polifagi (Moore, 1997).
2). Diabetes mellitus tipe II Diabetes mellitus tipe II atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Diabetes mellitus tipe II pada umumnya lebih bersifat genetik (Gustaviani, 2007). Tipe ini mencakup lebih dari 90% dari semua populasi diabetes. Diabetes ini tidak tergantung pada insulin eksogen, tidak cenderung untuk terjadi ketoasidosis dan tidak berhubungan dengan adanya antibodi terhadap sel-sel langerhans (Watts, 1984). Diabetes ini lebih sering terjadi daripada diabetes tipe I, perkembangannya lebih lambat, terjadi karena kekurangan insulin relatif (Mutschler, 1991). Pada diabetes mellitus jenis ini dijumpai kadar insulin normal atau meningkat yang disebabkan oleh sekresi insulin dan resistensi terhadap kerja insulin karena kurangnya reseptor insulin pada organ target sehingga terjadi defek relatif pankreas untuk mensekresi insulin (Suyono, 2005). Penderita yang relatif tidak obesitas, mereka akan mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin. Hal ini membuktikan bahwa
19
obesitas bukan satu-satunya penyebab resistensi insulin (Foster, 2000). Pada NIDDM pankreas masih mempunyai beberapa sel β yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa. Diabetes tipe II sering dihubungkan dengan resistensi organ target yang membatasi respon insulin endogen dan eksogen. Pada beberapa kasus disebabkan oleh penurunan jumlah atau reseptor insulin (Mycek et al., 2001).
3). Diabetes mellitus gestasional Diabetes mellitus dalam kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (Sacks, 2001). Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar. Diabetes mellitus tipe I atau Diabetes mellitus tipe II terjadi pada wanita yang tidak menjalani penanganan pada saat diabetes gestasional ini terjadi. Perlu dilakukan pemeriksaan sebelum 24 minggu kehamilan. Data statistik menunjukkan bahwa pengontrolan gula darah selama masa kehamilan bagi penderita diabetes gestasional akan menghindari ibu dan bayi yang dilahirkan dari kematian atau cacat (Gutrhrie dan Guthrie, 2003). Oleh karena risiko kesakitan dan kematian perinatal tinggi, maka dianjurkan skrinning diabetes mellitus gestasi dilakukan pada semua wanita hamil. Pada umumnya skrining dilakukan pada minggu gestasi ke 24-28 (John, 2000).
20
4). Diabetes mellitus tipe lain Adapun beberapa tipe diabetes yang lain seperti defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi sebab imunologi yang jarang dan sindroma genetik yang berkhasiat dengan diabetes mellitus (Soegondo, 2002).
2.2.2 Gejala diabetes mellitus dan komplikasinya Penyakit diabetes mellitus ditandai dengan poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan), walaupun banyak makan tetapi berat badan menurun, hiperglikemia, glikosuria, ketosis, asidosis dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi dengan berat badan diatas 4 kg (Sudiartawan, 1995). Hal ini disebabkan karena pengurangan masuknya glukosa ke dalam jaringan perifer dan peningkatan pelepasan glukosa ke dalam sirkulasi dari hati (meningkatkan glukogenesis hati). Gejala lain yang sering dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur, dan impoten pada pasien pria serta pruritus vulvae pada wanita (Pranadji et al., 1995). Komplikasi-komplikasi pada diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) komplikasi metabolit akut, seperti ketoasidosis diabetik dan hiperosmolaritas, hiperglikemia. Hiperglikemia merupakan komplikasi yang tersering dan paling serius pada terapi insulin. Keparahan dan lamanya hiperglikemia bisa diperkirakan dari dosis, aktivitas puncak dan lama aksi jenis insulin yang diberikan secara subcutan (Khomsan, 2004). 2) komplikasi vaskular
21
jangka
panjang,
melibatkan pembuluh-pembuluh kecil
“mikroangiopati”,
pembuluh-pembuluh sedang dan besar “makroangiopati” (Silbernagl, 2006). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), otot-otot dan kulit. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologi berupa aterosklerosis (Price dan Wilson, 1995), dan yang lainnya adalah berupa impotensi, infeksi stafilokok pada kulit dan keluhan claudicatio ditungkai yang berciri kejang-kejang sangat nyeri di betis setelah berjalan beberapa meter. Infark jantung juga bisa terjadi yaitu di dinding arteri timbul benjolan-benjolan yang mengganggu sirkulasi darah (Tjay dan Raharja, 2002).
2.3 Glibenklamid Glibenklamid adalah hipoglikemik oral derivat sulfonilurea yang bekerja aktif menurunkan kadar gula darah. Berbentuk tablet dengan kandungan glibenclamide 5 mg/tablet. Glibenklamid bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari pankreas untuk menghasilkan lebih banyak insulin, atau membantu sel untuk menggunakan insulin yang tersedia dengan lebih maksimal (Mellina, 2007). Oleh karena itu glibenklamid hanya bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin. Pada penggunaan per oral glibenklamid diabsorbsi sebagian secara cepat dan tersebar ke seluruh cairan ekstra sel, yang sebagian lagi terikat dengan protein plasma. Glibenklamid diekskresikan bersama feses dan sebagai metabolit bersama urin (Tjay dan Rahardja, 2002).
22
Glibenklamid menstimuli sel-sel β dari pulau langerhans pankreas sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Disamping itu kepekaan sel-sel β bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Ada indikasi bahwa obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay dan Rahardja, 2002). Glibenklamid secara reaktif mempunyai efek samping yang rendah. Hal ini umum terjadi dengan golongan-golongan sulfonilurea dan biasanya bersifat ringan dan hilang sendiri setelah obat dihentikan. Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam (Mutschler, 1991). Hipoglikemia merupakan efek samping utama glibenklamid yang biasanya bersifat ringan, tetapi kadang-kadang dapat menjadi berat dan berkepanjangan. Glibenklamid dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna seperti mual, rasa tidak enak diperut, dan anoreksia (Harjasaputra et al., 2002). Bentuk glibenklamid adalah serbuk hablur putih, tidak berbau, atau hampir tidak berbau. Glibenklamid praktis tidak larut air dan dalam eter, sukar larut dalam etanol dan dalam metanol, larut dalam kloroform. Obat antidiabetika selain glibenklamid yang dijual di pasaran, diantaranya Metformin Hidroklorida yang bekerja tidak melalui perangsangan insulin tetapi langsung terhadap organ sasaran (Ganiswarna et al., 1995). Akarbosa yang bekerja menghambat α glukosidase sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat (Santoso dan Zaini, 2002).
23
2.4 Aloksan Aloksan adalah suatu substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin sederhana termasuk dalam senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik (Yuriska, 2009). Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan percobaan. Pemberian aloksan adalah cara
yang
cepat
untuk
menghasilkan
kondisi
diabetik
eksperimental
(hiperglikemik) pada hewan percobaan. Aloksan dapat menyebabkan diabetes mellitus tergantung insulin pada hewan tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan diabetes mellitus tipe 1 pada manusia. Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel β pankreas yang memproduksi insulin karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui transporter glukosan (Watkins et al., 2008). Aloksan telah digunakan secara luas untuk menginduksi diabetes mellitus pada hewan percobaan. Terdapat beberapa teori yang menerangkan mekanisme kerja aloksan terhadap sel beta pankreas. Aloksan dalam darah berikatan dengan GLUT-2 (pengangkut glukosa) yang memfasilitasi masuknya aloksan ke dalam sitoplasma sel β pankreas (Amma, 2009). Di dalam sel beta, aloksan menimbulkan depolarisasi berlebih pada mitokondria sebagai akibat pemasukan ion Ca2+ yang diikuti dengan penggunaan energi berlebih sehingga terjadi kekurangan energi dalam sel. Dua mekanisme ini mengakibatkan kerusakan baik dalam jumlah sel maupun massa sel pankreas sehingga terjadi penurunan pelepasan insulin yang mengakibatkan terjadinya diabetes mellitus (Santoso, 2008).
24
Beberapa teori lain menerangkan bahwa aloksan dapat membangkitkan reactive oxygen species (ROS) melalui siklus reaksi yang hasil reduksinya berupa dialuric acid. Dialuric acid ini akan mengalami siklus redoks dan membentuk radikal superoksida. Kemudian radikal ini akan mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida dan pada tahap akhir mengalami reaksi katalisasi besi membentuk radikal hidroksil. Radikal hidroksil inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel β pankreas sehingga terjadilah insulin dependent diabetes mellitus atau disebut juga “alloxan diabetes” pada hewan percobaan. Diabetes tipe ini memiliki karakteristik yang serupa dengan diabetes tipe I pada manusia (Dorland, 2002). Aloksan menjalankan aksi diabetagoniknya ketika obat ini diberikan secara parenteral, intravena, intraperitonium dan subkutan. Dosis aloksan yang di butuhkan untuk menginduksi diabetes tergantung pada jenis spesies, status gizi dan jalur pemberian. Dosis obat yang sering digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus secara intraperitonium atau subkutan dosis yang diberikan 120-150mg/kg BB dan secara interavena dengan dosis 65 mg/kg BB (Katsumata et al.,1992). Tingginya konsentrasi aloksan tidak mempunyai pengaruh pada jaringan percobaan lainnya. Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan selektif sel β pankreas belum diketahui dengan jelas. Efek diabetogeniknya bersifat antagonis terhadap glutathion yang bereaksi dengan gugus Sulfur Hidrogen (SH). Aloksan bereaksi dengan merusak substansi esensial di dalam sel β pankreas sehingga menyebabkan berkurangnya granula-granula pembawa insulin didalam sel β
25
pankreas. Aloksan meningkatkan pelepasan insulin dan protein dari sel β pankreas tetapi tidak berpengaruh pada sekresi glucagon. Efek ini spesifik untuk sel β pankreas sehingga aloksan dengan konsentrasi tinggi tidak berpengaruh terhadap jaringan lain. Aloksan mungkin mendesak efek diabetogenik oleh kerusakan membran sel β dengan meningkatkan permeabilitas (Suharmiati, 2003). Mendemonstrasikan adanya depolarisasi membran sel β pankreas dengan pemberian aloksan (Szkudelski, 2008). Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria mengakibatkan gangguan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Suharmiati, 2003).
2.5 Tikus Putih Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorik. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme,
26
embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku (Malole dan Pramono, 1989). Tikus atau rat memiliki sifat-sifat yang mudah berkembang biak dan morfologi organ tubuhnya analog dengan organ manusia. Oleh karena itu, tikus sering digunakan sebagai hewan pengujian obat sebelum diberikan kepada manusia. Tikus juga memiliki sifat mudah dipelihara dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk penelitian (Malole dan Pramono, 1989). Dalam pemeliharaan sistem perkandangan tikus putih sangat sederhana, yang terpenting kandang harus kuat dan guna menjaga kesehatan tikus maka sekamnya diganti 3 hari sekali. Pakan tikus putih mudah didapatkan (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri albino, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari pada badannya. Galur Wistar mempunyai ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek, sedangkan galur Long Evans berukuran lebih kecil dari tikus putih, memiliki warna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih merupakan spesies yang paling sering ditemukan di daerah perkotaan. Hasil seleksi terhadap hewan ini banyak digunakan sebagai hewan percobaan (Kohn dan Barthold, 1987). Ukuran tubuh tikus yang lebih besar dari pada mencit membuat tikus lebih disukai untuk berbagai penelitian. Beda dengan hewan laboratorium lainnya, tikus tidak pernah muntah. Disamping itu tikus tidak mempunyai empedu. Lambung tikus terdiri dari dua bagian yaitu non-glandular
27
dan glandular, dan small intestine terdiri dari duodenum, jejunum, dan ilium (Farris dan Griffith, 1971). Tikus merupakan hewan yang mudah dipegang dibandingkan mencit. Pada umur dua bulan, beratnya bisa mencapai 200-300 gram. Tikus putih mempunyai kemampuan reproduksi cukup tinggi dibandingkan dengan hewan menyusui lainnya. Dewasa kelaminnya antara 2-3 bulan, masa bunting 21-23 hari, dan estrus segera kembali setelah melahirkan 1-2 hari (Priyambodo, 1995). Tikus putih juga memiliki beberapa sifat menguntungkan seperti : cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang dan ukurannya lebih besar dari pada mencit. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri : albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat,
tempramennya
baik,
kemampuan laktasi
tinggi
(Anggarawati, 2006). Adapun klasifikasi dari tikus putih menurut Natawidjaya (1983) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Subordo Familia Genus Spesies
: : : : : : : :
Animalia Chordata Mamalia Rodentia Odontoceti Muridae Rattus Rattus norvegicus
28
Gambar 2.2 Rattus norvegicus (Natawidjaya, 1983)