BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Ruku-ruku 2.1.1 Sinonim Sinonim dari tumbuhan ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) adalah: Ocimum tenuiflorum L., dengan nama daerah: Ruku-ruku, ruruku (Sumatera), klampes, lampes, kemangen, kemanghi, ko-roko (Jawa), Uku-uku (Nusa Tenggara), balakama (Sulawesi), lufe-lufe, kemangi utan (Maluku) (Depkes, 1995)b. 2.1.2 Klasifikasi Menurut Sharma (1993) dan Tjitrosoepomo (2002), tumbuhan ruku-ruku dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Sympetalae
Bangsa
: Tubiflorae
Suku
: Labiatae
Marga
: Ocimum
Spesies
: Ocimum sanctum L.
2.1.3 Morfologi Tumbuhan ini termasuk terna atau perdu, biasanya bercabang banyak dan mempunyai bau khas aromatis, rasa agak pedas dan warnanya hijau sampai hijau kecoklatan. Helaian daun bentuk jorong memanjang, ujung runcing, pangkal daun
Universitas Sumatera Utara
runcing/tumpul/membundar, tulang daun menyirip, tepi bergerigi dangkal, daging daun tipis, dan permukaan daun berambut halus (Depkes, 1995)b. 2.1.4 Kandungan kimia Daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) mengandung minyak atsiri 2%, tanin 4,6%, flavonoid, streoid/triterfenoid (Depkes, 1995)b. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dari daun ruku-ruku (Ocimi sancti L.) adalah adanya senyawa golongan alkaloida, flavonoida, glikosida, triterpenoida/steroida, tanin, dan saponin (Darmiati, 2007). 2.1.5 Khasiat Secara tradisional infusa dari daun tumbuhan ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) ini digunakan untuk mengobati sakit perut, sakit gigi, batuk dan pencuci luka. Sari dari daun tumbuhan digunakan sebagai peluruh dahak, peluruh haid, peluruh kentut, pencegah mual, penambah nafsu makan, pengobatan pasca persalinan, pereda kejang, laksatif, dan secara eksternal digunakan untuk reumatik. Sedangkan biji digunakan sebagai pelembut kulit, peluruh air seni, peluruh keringat dan pereda kejang (Christine, 1985); karminatif, dan antipiretik (Depkes, 1995)b. 2.2 Nata de Coco Istilah nata berasal dari bahasa Spanyol yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai natare, yang berarti terapung-apung. Nata dapat dibuat dari air kelapa, santan kelapa, tetes tebu (molases), limbah cair tahu, atau sari buah (nanas, melon, markisa, pisang, jeruk, jambu biji, stroberi, dan lain-lain). Pemberian nama untuk nata tergantung dari bahan baku yang digunakan. Nata de
Universitas Sumatera Utara
pinna untuk yang berasal dari nanas, nata de tomato untuk tomat, serta nata de soya yang dibuat dari limbah tahu (Anonim, 2009)b. Nata de coco dibentuk oleh spesies bakteri asam asetat pada permukaan cairan yang mengandung gula, sari buah, atau ekstrak tanaman lain. Beberapa spesies yang termasuk bakteri asam asetat dapat membentuk selulosa, namun selama ini yang paling banyak dipelajari adalah Acetobacter xylinum. Bakteri Acetobacter xylinum termasuk genus Acetobacter. Bakteri Acetobacter xylinum bersifat Gram negatip, aerob, berbentuk batang pendek atau kokus (Anonim, 2010)b. Bakteri ini secara alami dapat ditemukan pada sari tanaman bergula yang telah mengalami fermentasi atau pada sayuran dan buah-buahan bergula yang sudah membusuk. Bila mikroba ini ditumbuhkan pada media yang mengandung gula, organisme ini dapat mengubah 19% gula menjadi selulosa. Selulosa yang dikeluarkan ke dalam media berupa benang-benang yang bersama dengan polisakarida berlendir membentuk jalinan yang terus menebal menjadi lapisan nata (Anonim, 2009)b. Bakteri
Acetobacter
xylinum
akan
dapat
membentuk
nata
jika
ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon (C) dan nitrogen (N), melalui proses yang terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa, dari jutaan renik yang tumbuh pada air kelapa tersebut akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata (Anonim, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang membentuk Nata de Coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa (Anonim, 2010)b. Sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata dapat berasal dari nitrogen organik, seperti misalnya protein dan ekstrak yeast, maupun nitrogen anorganik seperti misalnya ammonium fosfat, urea, dan ammonium sulfat. Namun, sumber nitrogen anorganik sangat murah dan fungsinya tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber nitrogen organik, bahkan diantara sumber nitrogen anorganik ada yang mempunyai sifat lebih yaitu ammonium sulfat. Kelebihan yang dimaksud adalah murah, mudah larut, dan selektif bagi mikroorganisme lain (Anonim, 2008). Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan nata de coco yaitu kondisi peralatan serta ruangan yang cukup steril. Apabila kondisi ruangan kurang steril sehingga memungkinkan sirkulasi udara berjalan seperti biasa maka peluang untuk terjadinya kontaminasi pada nata yang diproduksi cukup besar, begitu pula jika peralatan yang digunakan kurang steril maka juga dapat menimbulkan kontaminasi kerusakan pada lapisan nata yang diproduksi (Anonim, 2009)a. Proses bagaimana sebenarnnya aktivitas dari Acetobacter xylinum dalam memproduksi nata de coco seperti diuraikan dibawah ini. Proses terbentuk-nya
Universitas Sumatera Utara
nata de coco adalah sel-sel Acetobacter xylinum mengambil glukosa dari larutan gula, kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel, dan keluar bersama-sama enzim yang mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa diluar sel. Prekursor dari polisakarida tersebut adalah GDPglukosa. Pembentukan prekursor ini distimulir oleh adanya katalisator seperti Ca2+, Mg2+. Prekursor ini kemudian mengalami polimerisasi dan berikatan dengan aseptor membentuk selulosa (Anonim, 2008). Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5–7,5, namun akan tumbuh optimal bila pH nya 4,3, sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada suhu 28°–31°C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glasial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH 4,5–5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak. Selain asam asetat, asam-asam organik dan anorganik lain bisa digunakan ( Anonim, 2010)a. Nutrisi yang terkandung dalam air kelapa antara lain : gula sukrosa 1,28%, sumber mineral yang beragam antara lain Mg2+ 3,54 gr/L, serta adanya faktor pendukung pertumbuhan merupakan senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (Acetobacter xylinum) (Anonim, 2010)b. Jika dilihat dari sudut gizinya, nata ini sangat miskin zat gizi. Kandungan gizi nata yang dihidangkan dengan sirup adalah sebagai berikut: 67,7 persen air, 0,2 persen lemak, 12 mg kalsium, 5 mg zat besi, 2 mg fosfor, sedikit vitamin B1, sedikit protein, serta hanya 0,01 mikrogram riboflavin per 100 gramnya (Anonim, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, dan flavonoida, dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia maka akan mempermudah pemisahan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000). Berdasarkan atas sifatnya eksrak dikelompokkan sebagai berikut (Voigt, 1995): 1. Ekstrak encer (Extractum tenue). Sediaan ini memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang. 2. Ekstrak kental (Extractum spissum). Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. 3. Ekstrak kering (Extractum siccum). Sediaan ini memiliki konsistensi keing dan mudah digosokkan. 4. Ekstrak cair (Ectractum fluidum). Dalam hal ini diartikan sebagai ekstrak cair, yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang satu bagian) ekstrak cair. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu : 1. Maserasi Maserasi berasal dari kata ”macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah
Universitas Sumatera Utara
cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006). Maserasi adalah proses pengekstrakan dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000). 2. Perkolasi Perkolasi berasal dari kata ”percolare” yang artinya penetesan (Voigt, 1995). Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurangkurangnya selama 3 jam. Maserasi ini penting terutama pada serbuk simplisia yang keras dan mengandung bahan yang mudah mengembang. Bila serbuk simplisia tersebut langsung dialiri dengan penyari, maka cairan penyari tidak dapat menembus ke seluruh sel dengan sempurna (Depkes, 1979; Ditjen POM, 2000). 3. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). 4. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi
Universitas Sumatera Utara
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). 5. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Ditjen POM, 2000). Dengan cara ini perolehan bahan aktif agak lebih banyak meskipun pada saat pendinginannya pada suhu kamar bahan ekstraktif dalam skala besar mengendap (Voigt, 1995). 6. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000; Syamsuni, 2006). 7. Dekok Dekok adalah perebusan simplisia halus dicampur dengan air bersuhu kamar atau dengan air bersuhu > 90oC sambil diaduk berulang-ulang dalam pemanasan air selama 30 menit. Perbedaannya dengan infus, rebusan disari panaspanas (Voigt, 1995). Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). 2.4 Uraian Tablet Nama tablet (Tabuletta, Tabletta) berasal dari kata tabuletta lempeng pipih, papan tipis. Beberapa farmakope mencantumkkan tablet dengan nama kompresi (Comprimere = dicetak bersama), juga sebagai komprimat, yang sekaligus menunjukkan cara pembuatannya (Voigt, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja (Depkes, 1995)a. Definisi lain tablet kempa adalah unit bentuk sediaan solid dibuat dengan mengempa suatu campuran serbuk yang mengandung zat aktif dengan atau tanpa bahan tertentu yang dipilih guna membantu dalam proses pembuatan dan untuk menciptakan sifat-sifat sediaan tablet yang dikehendaki (Ansel, 1989). Pada umunya tablet adalah bentuk obat untuk orang dewasa yang paling luas diterima karena berbagai keuntungan sebagai berikut (Siregar, 2010): 1. Harga pada umumnya relatif cukup murah dibandingkan dengan semua bentuk sediaan oral lainnya. 2. Bentuk sediaan yang paling ringan dan paling kompak dari pada semua bentuk sediaan oral. 3. Pada umumnya, pengemasan dan pengiriman sediaan tablet paling mudah dan murah. 4. Sediaan tablet dapat diformulasikan untuk memberi kemungkinan pelepasan zat aktif tertentu, seperti sediaan enterik atau pelepasan diperlambat atau lepas-terkendali. 5. Sediaan tablet lebih cocok untuk produksi skala besar dari pada bentuk unit oral lainnya karena mesin rotari berkapasitas besar dan juga peralatan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
6. Sifat tablet yang mendasar adalah mudah dibawa, bentuk kompak, stabilitas yang memadai, ekonomis dibandingkan dengan bentuk sediaan lain, segera tersedia, mudah diberikan, memastikan kesan psikologis yang baik bagi penerimaan hampir semua pasien. 7. Rasa obat yang pahit atau tidak menyenangkan dibuat agar dapat diterima dan bahkan enak dengan menutup keseluruhan tablet atau granul tablet dengan suatu salut pelindung yang cocok. 8. Keuntungan tablet yang nyata adalah kemudahan dalam pemberian dosis yang akurat. Dosis dapat
didistribusikan secara seragam dalam
keseluruhan tablet untuk memberi kemudahan dalam pemberian dosis yang akurat apabila tablet dipotong menjadi dua bagian atau lebih untuk pemberian pada anak-anak. Selain keuntungan tablet yang besar, terdapat juga keterbatasan sediaan tablet sebagai berikut (Banker dan Anderson, 1994): 1. Beberapa obat tidak dapat dikempa menjadi padat dan kompak, tergantung pada keadaan amorfnya, flokulasi atau rendahnya berat jenis. 2. Obat yang sukar dibasahkan, lambat melarut, dosisnya cukupan atau tinggi, absorpsi optimumnya tinggi melalui saluran cerna atau setiap kombinasi dari sifat atas, akan sukar atau tidak mungkin diformulasi dan dipabrikasi dalam bentuk tablet yang masih menghasilkan bioavaibilitas obat cukup. 3. Obat yang rasanya pahit, obat dengan bau yang tidak dapat dihilangkan, atau obat yang peka terhadap oksigen atau kelembaban udara perlu pengkapsulan atau penyelubungan dulu sebelum dikempa (bila mungkin)
Universitas Sumatera Utara
atau memerlukan penyalutan dulu. Pada keadaan ini kapsul dapat merupakan jalan keluar yang terbaik serta lebih murah. 2.4.1 Komponen Tablet Semua eksipien tablet harus memenuhi kriteria tertentu dalam formulasi, seperti tertera dibawah ini, yaitu eksipien harus: 1. Tidak toksik dan dapat diterima oleh lembaga regulator semua negara tempat produk tablet dipasarkan. 2. Tersedia secara komersial dalam tinngkat kualitas yang dapat diterima disemua negara tempat produk tablet dibuat. 3. Tersedia dengan biaya rendah yang dapat diterima. 4. Tidak kontraindikasi oleh bahan itu sendiri (misalnya sukrosa) atau komponennya (misalnya natrium) untuk populasi tertentu (misalnya pasien penyakit gula atau pasien hipertensi). 5. Inert secara fisiologi 6. Stabil secara fisik dan kimia, baik tunggal dan /atau dalam kombinasi dengan zat aktif dan komponen tablet lainnya. 7. Bebas dari kandungan mikrobiologis yang tidak dapat diterima. 8. Kompatibel dengan zat warna (tidak memberikan penampilan tak pantas). 9. Tidak mempunyai pengaruh buruk pada ketersediaan hayati zat aktif dalam tablet. 10. Disetujui secara langsung sebagai zat tambahan makanan jika sediaan obat juga digolongkan sebagai makanan (berbagai sediaan vitamin tertentu). Tablet oral yang konvensional di samping zat aktif biasanya terdiri dari salah satu atau lebih zat-zat berikut yang berfungsi sebagai: pengisi, pengikat,
Universitas Sumatera Utara
penghancur, dan pelincir. Tablet tertentu mungkin memerlukan pemacu aliran, zat warna, zat perasa, dan pemanis pada tablet kunyah (Banker dan Anderson, 1994). a. Pengisi Berfungsi untuk memperbesar volume massa agar mudah dicetak (Syamsuni, 2006). Bahan pengisi ditambahkan jika jumlah zat aktif sedikit dan sulit dikempa. Bahan pengisi tablet yang umum adalah laktosa, pati, kalsium fosfat dibasa dan selulosa mikrokristal (Depkes, 1995)a, dekstrosa, manitol, sorbitol, sukrosa, dan selulosa mikrokristal. Selulosa mikrokristal ini sering disebut Avicel, suatu zat dapat dicetak langsung. Ada dua kualitas tablet: PH 101 (serbuk) dan PH 102 (granul). Sifat mengalirnya baik dan sifat-sifat pencetakan langsungnya bagus sekali. Avicel bersifat unik, karena pada saat menghasilkan kohesi gumpalan, zat ini juga bertindak sebagai zat penghancur (Banker dan Anderson, 1994). b. Pengikat Berfungsi memberikan daya adhesi pada massa serbuk sewaktu mengranulasi dan pada tablet kempa serta menambah daya kohesi yang telah ada pada bahan pengisi. Bahan pengikat yang umum meliputi gom akasia, gelatin, sukrosa, povidon, metilselulosa, dan karboksimetilselulosa. Bahan pengikat kering yang paling efektif adalah selulosa mikrokristal, yang umumnya digunakan dalam membuat tablet kempa langsung (Depkes, 1995)a. c. Penghancur Berfungsi untuk memudahkan pecahnya atau hancurnya tablet ketika berkontak dengan cairan saluran pencernaan. Dapat berfungsi menarik air ke dalam tablet, mengembang dan menyebabkan tablet pecah (Banker dan Anderson,
Universitas Sumatera Utara
1994). Disintegran tablet yang paling banyak digunakan adalah pati. Pati dan selulosa yang termodifikasi secara kimia, asam alginat, selulosa mikrokristal dan povidon sambung-silang (Depkes, 1995)a. Bahan lain yang digunakan sebagai pengembang yaitu : amilum, gom, derivat selulosa, dan clays (Soekemi, dkk., 1987). d. Pelincir Ditambahkan untuk meningkatkan daya alir granul-granul pada corong pengisi, mencegah melekatnya massa pada punch dan die, mengurangi pergesekan antara butir-butir granul, dan mempermudah pengeluaran tablet dari die. Bahan pelicin yaitu : metalik stearat, talk, asam stearat, senyawa lilin dengan titik lebur tinggi, amilum maydis, dan Avicel. Avicel selain sebagai bahan pengisi dapat juga berfungsi sebagai bahan pengikat, bahan penghancur maupun sebagai lubrikan, sehingga sering digunakan untuk mencetak tablet secara langsung (Soekemi, dkk., 1987). 2.4.2 Metode Pembuatan Tablet Tablet dibuat dengan 3 cara yaitu granulasi basah, granulasi kering (mesin rol atau mesin slag) dan kempa langsung. Tujuan granulasi basah dan kering adalah untuk meningkatkan aliran campuran dan atau kemampuan kempa (Depkes, 1995)a. a. Granulasi basah Dilakukan dengan mencampurkan zat berkhasiat, zat pengisi dan zat penghancur sampai homogen, lalu dibasahi dengan larutan pengikat, bila perlu ditambahkan bahan pewarna. Setelah itu diayak menjadi granul dan dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40-50°C. Setelah kering diayak kembali untuk
Universitas Sumatera Utara
memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan dan ditambahkan bahan pelicin kemudian dicetak dengan mesin tablet (Syamsuni, 2006). Granulasi basah adalah proses menambahkan cairan pada suatu serbuk atau campuran serbuk dalam suatu wadah yang dilengkapi dengan pengadukan yang akan menghasilkan granul (Banker dan Anderson, 1994). Keuntungan metode granulasi basah adalah memperoleh aliran yang baik, meningkatkan kompressibilitas, untuk mendapatkan berat jenis yang sesuai, mengontrol pelepasan, mencegah pemisahan komponen campuran selama proses, dan distribusi keseragaman kandungan. Kekurangan metode granulasi basah adalah banyaknya tahap dalam proses produksi yang harus divalidasi, biaya cukup tinggi, zat aktif yang sensitif terhadap lembab dan panas tidak dapat dikerjakan dengan metode ini (Andayana, 2009). b. Granulasi kering Dilakukan dengan mencampurkan zat berkhasiat, zat pengisi, dan zat penghancur, serta jika perlu ditambahkan zat pengikat dan zat pelicin hingga menjadi massa serbuk yang homogen, lalu dikempa cetak pada tekanan tinggi, sehingga menjadi tablet besar (slug) yang tidak berbentuk baik, kemudian digiling dan diayak hingga diperoleh granul dengan ukuran partikel yang diinginkan. Akhirnya dikempa cetak lagi sesuai ukuran tablet yang diinginkan (Syamsuni, 2006). Granulasi kering dilakukan apabila zat aktif tidak mungkin digranulasi basah karena tidak stabil atau peka terhadap panas dan /atau lembap atau juga tidak mungkin dikempa langsung menjadi tablet karena zat aktif tidak dapat mengalir bebas, dan /atau dosis efektif zat aktif terlalu besar untuk dikempa
Universitas Sumatera Utara
langsung. Sebagai contoh, acetosal dan vitamin pada umumnya dibuat menjadi tablet dengan granulasi kering (Banker dan Anderson, 1989). Keuntungan metode granulasi kering adalah peralatan lebih sedikit karena tidak menggunakan larutan pengikat, mesin pengaduk berat dan pengeringan yang memakan waktu, baik untuk zat aktif yang sensitif terhadap panas dan lembab, mempercapat waktu hancur karena tidak terikat oleh pengikat. Kekurangan metode granulasi kering adalah memerlukan mesin cetak khusus untuk membuat slug, tidak dapat mendistribusi zat warna seragam, proses banyak menghasilkan debu sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang (Andayana, 2009). c. Kempa Langsung Pembuatan tablet dengan mengempa langsung adalah dengan mencampur zat aktif dan eksipien kering tanpa melalui perlakuan lebih awal terlebih dahulu (Andayana, 2009). Sekarang istilah kempa langsung digunakan untuk menyatakan proses ketika tablet dikempa langsung dari campuran serbuk zat aktif dan eksipien yang sesuai (termasuk pengisi, desintegran, dan lubrikan), yang akan mengalir dengan seragam kedalam lubang kempa dan membentuk suatu padatan yang kokoh (Siregar, 2010). Kemajuan pesat kempa langsung dipicu oleh penemuan eksipien mikrokristalin selulosa (Avicel PH mikrokristalin cellulose) walaupun laktosa kering beku sudah ditemukan satu tahun sebelumnya. Keduanya sering digunakan dalam bentuk campuran dalam formulasi tablet kempa langsung. Eksipien kempa langsung yang sering dikatakan sebagai pengisi-pengikat sudah digunakan sejak beberapa puluh tahun terakhir. Keuntungan proses kempa langsung adalah lebih ekonomis karena validasi proses lebih sedikit, prosesnya singkat karena proses
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan lebih sedikit maka waktu yang diperlukan untuk menggunakan metode ini lebih singkat, tenaga dan mesin yang dipergunakan juga lebih sedikit, dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan tidak tahan lembab, waktu hancur dan disolusinya lebih baik karena tidak melewati proses granul tetapi lanngsung menjadi partikel. Kerugian metode kempa langsung adalah sulit dalam pemilihan eksipien karena eksipien yang digunakan harus bersifat mudah mengalir, kompressibilitas yang baik, kohesifitas dan adhesifitas yang baik (Andayana, 2009). 2.4.3 Uji Preformulasi Sebelum dicetak menjadi tablet, massa granul perlu diperiksa apakah memenuhi syarat untuk dapat dicetak. Preformulasi ini menggambarkan sifat massa sewaktu pencetakan tablet, meliputi waktu alir, sudut diam dan indeks tap. Pengujian waktu alir dilakukan dengan mengalirkan massa granul melalui corong. Waktu yang diperlukan tidak lebih dari 10 detik, jika tidak maka akan dijumpai kesulitan dalam hal keseragaman bobot tablet. Hal ini dapat diatasi dengan penambahan bahan pelicin (Cartensen, 1977). Pengukuran sudut diam digunakan metode corong tegak, granul dibiarkan mengalir bebas dari corong ke atas dasar. Serbuk akan membentuk kerucut, kemudian sudut kemiringannya diukur. Semakin datar kerucut yang dihasilkan, semakin kecil sudut diam, semakin baik aliran granul tersebut (Voigt, 1995). Granul yang mempunyai sifat yang baik mempunyai sudut diam lebih kecil dari 35o (Cartensen, 1977). Indeks tap adalah uji yang mengamati penurunan volume sejumlah serbuk atau granul akibat adanya gaya hentakan. Indeks tap dilakukan dengan alat
Universitas Sumatera Utara
volumenometer yang terdiri dari gelas ukur yang dapat bergerak secara teratur ke atas dan ke bawah. Serbuk atau granul yang baik mempunyai indeks tap kurang dari 20% (Cartensen, 1977). 2.4.4 Evaluasi Tablet a. Kekerasan tablet Ketahanan tablet terhadap goncangan saat pengangkutan, pengemasan dan peredaran bergantung pada kekerasan tablet. Kekerasan yang lebih tinggi menghasilkan tablet yang bagus, tidak rapuh tetapi ini mengakibatkan berkurangnya porositas dari tablet sehingga sukar dimasuki cairan yang mengakibatkan lamanya waktu hancur. Kekerasan dinyatakan dalam kg adalah tenaga yang dibutuhkan untuk memecahkan tablet. Kekerasan untuk tablet secara umum yaitu 4-8 kg, tablet hisap 10-20 kg, tablet kunyah 3 kg (Soekemi, dkk., 1987). Kekerasan tablet dipengaruhi oleh perbedaan massa granul yang mengisi die pada saat pencetakan tablet dan tekanan kompressi. Selain itu, berbedanya nilai kekerasan juga dapat diakibatkan oleh variasi jenis dan jumlah bahan tambahan yang digunakan pada formulasi. Bahan pengikat adalah contoh bahan tambahan yang bisa menyebabkan meningkatnya kekerasan tablet bila digunakan terlalu pekat (Banker dan Anderson, 1994). b. Friabilitas Tablet mengalami capping atau hancur akibat adanya goncangan dan gesekan. Selain itu, capping juga dapat menimbulkan variasi pada berat dan keseragaman isi tablet. Pengujian dilakukan pada kecepatan 25 rpm, dengan menjatuhkan tablet sejauh 6 inci pada setiap putaran, yang dijalankan sebanyak
Universitas Sumatera Utara
100 putaran. Kehilangan berat yang dibenarkan yaitu lebih kecil dari 0,5 sampai 1% (Banker dan Anderson, 1994). Kerenyahan tablet dapat dipengaruhi oleh kandungan air dari granul dan produk akhir. Granul yang sangat kering dan hanya mengandung sedikit sekali persentase kelembapan, sering sekali menghasilkan tablet yang renyah daripada granul yang kadar kelembapannya 2 sampai 4% (Banker dan Anderson, 1994). c. Waktu hancur Waktu hancur yaitu waktu yang dibutuhkan tablet pecah menjadi partikelpartikel kecil atau granul sebelum larut dan diabsorpsi. Waktu hancur menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya seluruh partikel melalui saringan mesh-10 (Banker dan Anderson, 1994). Hancurnya tablet tidak berarti sempurna larutnya bahan obat dalam tablet. Tablet memenuhi syarat jika waktu hancur tablet tidak lebih dari 15 menit (Soekemi, dkk., 1987). Kebanyakan bahan pelicin bersifat hidrofob, bahan pelicin yang berlebihan akan memperlambat waktu hancur. Tablet dengan rongga-rongga yang besar akan mudah dimasuki air sehingga hancur lebih cepat daripada tablet yang keras dengan rongga-rongga yang kecil (Soekemi, dkk., 1987). 2.5 Disolusi Disolusi adalah proses suatu zat solid memasuki pelarut untuk menghasilkan suatu larutan. Disolusi secara singkat didefinisikan sebagai proses suatu solid melarut (Siregar, 2010). Cara pengujian disolusi tablet dan kapsul, juga persyaratan yang harus dipenuhi dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Yang diukur adalah jumlah zat berkhasiat yang larut dalam satu satuan waktu dengan alat dissolution tester (Soekemi, dkk., 1987).
Universitas Sumatera Utara
Bentuk sediaan farmasetik solid dan bentuk sediaan sistem terdispersi solid dalam cairan setelah dikonsumsi kepada seseorang akan terlepas dari sediaannya dan mengalami disolusi dalam media biologis, diikuti dengan absorpsi zat aktif kedalam sirkulasi sistemik dan akhirnya menunjukkan respon klinis. Garis besar tahapan yang dilalui suatu sediaan tablet/ kapsul setelah dikonsumsi adalah (Siregar, 2010): 1. Pembasahan sediaan tablet/kapsul. 2. Penetrasi media cairan ke dalam sediaan tablet/ kapsul 3. Tablet/ kapsul terdisintegrasi dan mengeluarkan granul 4. Deagregasi granul dan mengeluarkan partikel halus 5. Terjadi disolusi zat aktif dari partikel halus ke dalam media cair 6. Absorpsi zat aktif pada tempat absorpsi 7. Zat aktif berada dalam sirkulasi sistemik 8. Zat aktif bekerja dan memberi efek farmakologis 9. Efek farmakologis menyebabkan respon biologis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi zat aktif: 1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia zat aktif meliputi karakteristik fase solid, polimorfisa, karakteristik partikel, kelarutan zat aktif dan pembentukan garam (Siregar, 2010). 2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan meliputi eksipien atau zat tambahan, zat pengisi, desintegran, pengikat, lubrikan, antiadherent, glidan, pengaruh surfaktan, dan pengaruh zat pewarna larut-air pada laju disolusi (Siregar, 2010).
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor yang berkaitan dengan bentuk sediaan meliputi metode granulasi/ prosedur pembuatan, ukuran granul, interaksi zat aktif-eksipien, pengaruh gaya kempa, dan pengaruh penyimpanan pada laju disolusi (Siregar, 2010). 4. Faktor yang berkaitan dengan alat disolusi meliputi eksentrisitas gerakan pengaduk, vibrasi/ getaran, intensitas pengadukan, dan kesejajaran unsur pengadukan (Siregar, 2010). 5. Faktor yang berkaitan dengan parameter uji disolusi yaitu pH media disolusi, suhu media disolusi, viskositas media disolusi dan tegangan permukaan media disolusi (Siregar, 2010). 2.6 Spektrofotometri Visible Spektrofotometri ultraviolet – visible digunakan untuk analisa kualitatif ataupun kuantitatif suatu senyawa. Absorpsi cahaya ultraviolet maupun cahaya tampak mengakibatkan transisi elektron, yaitu perubahan elektron-elektron dari orbital dasar berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Penyerapan radiasi ultraviolet atau sinar tampak tergantung pada mudahnya transisi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk transisi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul-molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap panjang gelombang lebih panjang (Fessenden dan Fessenden, 1992). Jika suatu molekul dikenai suatu radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sesuai sehingga energi molekul tersebut ditingkatkan ke level yang lebih tinggi, maka terjadi peristiwa penyerapan (absorpsi) energi oleh molekul. Supaya
Universitas Sumatera Utara
terjadi absorpsi, perbedaan energi antara dua tingkat energi harus setara dengan energi foton yang diserap (Rohman, 2007). Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga mengalami penurunan dengan adanya penghamburan dan pemantulan cahaya, akan tetapi penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Rohman, 2007).
Universitas Sumatera Utara