BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Teori Teori adalah seperangkat konsep, definisi, dan proporsi yang terkait
secara sistematis untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena (fakta) (Cooper dan Schindler, 2006). Kajian teori merupakan dasar berpikir yang bersumber dari suatu teori yang relevan dan dapat digunakan sebagai tuntunan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian. 2.1.1
Teori Atribusi (Attribution Theory) Teori
atribusi
mempelajari
proses
bagaimana
seseorang
menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan atau sebab perilakunya. Teori atribusi dikembangkan oleh Fritz Heider tahun 1958 yang mengargumentasikan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri seseorang (Suartana, 2010). Gordon dan Graham (2006) menjelaskan situasi di sekitar yang menyebabkan perilaku seseorang dalam persepsi sosial disebut dengan dispositional attributions dan situational attributions. Dispositional attributions merupakan penyebab internal yang mengacu pada aspek perilaku individual yang ada dalam diri seseorang, misalnya kepribadian, persepsi diri, kemampuan, dan motivasi. Sedangkan situational attributions merupakan penyebab eksternal yang
10
11
mengacu pada lingkungan sekitar yang dapat memengaruhi perilaku, misalnya kondisi sosial, nilai-nilai sosial, dan pandangan masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori atribusi untuk menjelaskan dan memrediksi pengaruh karakteritik personal auditor, yaitu locus of control dan komitmen organisasi pada perilaku audit dalam pelaksanaan program audit. 2.1.2
Teori Model Stres Kerja Stres adalah suatu keadaan yang menekankan diri dan jiwa seseorang di
luar batas kemampuannya, sehingga jika terus dibiarkan tanpa ada solusi maka ini akan berdampak pada kesehatannya. Stres tidak timbul begitu saja namun sebabsebab stres timbul umumnya diikuti oleh faktor peristiwa yang memengaruhi kejiwaan seseorang, dan peristiwa itu terjadi diluar dari kemampuannya sehingga kondisi tersebut telah menekankan jiwanya (Fahmi, 2014). Faktor yang menyebabkan stres adalah kondisi pekerjaan individu, tekanan peran, kesempatan pelibatan diri dalam tugas, tanggung jawab individu, dan faktor organisasi (Tosi, 1971). Pada dasarnya, sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara individu dan lingkungannya. Dalam pembahasan ini lingkungan individu tersebut dapat digolongkan menjadi dua faktor sebagai sumber dari stres, yaitu faktor-faktor pekerjaan dan faktor-faktor di luar pekerjaan itu sendiri (Wijono, 2010). Pada latar belakang penelitian telah diuraikan bahwa keterbatasan atau kendala anggaran waktu dapat mengakibatkan auditor merasakan suatu tekanan dalam mengerjakan tugas audit tertentu, dan kondisi tersebut selanjutnya dapat memengaruhi perilaku audit dalam pelaksanaan program audit. Hal tersebut sesuai
12
dengan literatur stres yang berkaitan dengan pekerjaan (stres kerja) yang menjelaskan bahwa penyebab stres yang dihadapi individual dalam lingkungan kerja dapat mengakibatkan individu merasakan tekanan (stres) dalam melakukan pekerjaan, dan selanjutnya dapat memengaruhi sikap, intensi dan perilaku individual (Silaban, 2009). Model teori stres kerja dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Penyebab stres
Stres
Konsekuensi
Karakteristik Personal Gambar 2.1 Model Teori Stres Kerja Sumber: Gibson et al. (1995) Auditor dapat menghadapi berbagai penyebab stres, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar KAP. Penyebab stres yang berasal dari dalam KAP, misalnya: beban tugas, konflik peran, kendala anggaran waktu dan kondisi fisik lingkungan kantor. Sedangkan penyebab stres yang berasal dari luar KAP, misalnya: keadaan keluarga dan tuntutan dari klien, kompetisi pada pasar audit, dan tuntutan ligitasi. Lazarus (1995) dengan teori proses transaksional menyatakan stres yang dirasakan seseorang akibat dari interaksi antara faktor-faktor eksternal (penyebab stres) dan faktor-faktor internal (karakteristik personal). Hubungan antara individu dengan lingkungannya adalah bersifat dinamis, bergantung pada kondisi tertentu dan konteks personal. Secara spesifik dinyatakan bahwa stres yang berdampak pada sikap, intensi dan perilaku individual dipengaruhi oleh karakteristik personal.
13
Dengan kata lain, tingkat stres yang dirasakan serta tindakan yang dipilih auditor untuk mengatasi penyebab stres dipengaruhi oleh karakteristik personal auditor tersebut. Penelitian ini menggunakan teori model stres kerja, yaitu untuk menjelaskan penyebab stres yang berasal dari dalam KAP serta dipengaruhi oleh karakteristik personal seorang auditor, menyebabkan auditor mengalami stres yang selanjutnya akan memengaruhi perilaku audit. Penyebab stres yang berasal dari dalam KAP pada penelitian ini, yaitu tekanan anggaran waktu audit yang dihadapi auditor dalam pelaksanaan program audit. 2.1.3
Perilaku Audit Perilaku dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi yang dimiliki oleh
seseorang terhadap segala sesuatu yang dilihat, dirasa, dan dipahami untuk selanjutnya terbentuk dalam perbuatan dan sikap. Dalam konteks ilmu perilaku dijelaskan bahwa setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam menilai dan memahami setiap keadaan apalagi jika itu dituangkan dengan latar belakang (background) yang pernah dijalaninya. Aplikasi tergambarkan pada setiap keputusan yang dibuat, termasuk keputusan itu bisa memberi pengaruh pada organisasi tempat ia bernaung (Fahmi, 2014). Tingkah laku seseorang salah satunya dipengaruhi oleh faktor situasional dan kepribadian (Allen et al., 1980). Perilaku auditor merupakan faktor penting yang memengaruhi kualitas audit yang dihasilkan KAP (Kelley dan Margheim, 1990; Raghunathan, 1991; Malone dan Robert, 1996). Perilaku auditor yang menurunkan kualitas audit secara langsung maupun tidak langsung disebut perilaku disfungsional audit.
14
Perilaku disfungsional audit terdiri dari perilaku reduksi kualitas audit dan perilaku underreporting of time (Kelley dan Margheim, 1990; Otley dan Pierce, 1996). Perilaku audit yang diteliti dalam penelitian ini adalah perilaku reduksi kualitas audit. Perilaku reduksi kualitas audit merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan auditor selama pelaksanaan prosedur audit yang mereduksi efektivitas bukti-bukti audit yang dikumpulkan (Malone dan Robert, 1996). Alderman dan Deitrick (1982) serta Raghunathan (1991) memfokuskan pada satu tipe perilaku reduksi kualitas audit yang dianggap paling serius adalah penghentian prematur atas prosedur audit (premature sign-off). Penghentian prematur atas prosedur audit merupakan tindakan yang dilakukan auditor dengan tidak melaksanakan atau mengabaikan satu atau beberapa prosedur audit yang disyaratkan, namun auditor mendokumentasikan semua prosedur audit telah diselesaikan secara lengkap (Alderman dan Deitrick, 1982; Raghunathan, 1991). Hasil penelitiannya mengkonfirmasi temuan penelitian sebelumnya yang menemukan respondennya mengakui mereka kadang-kadang melakukan penghentian prematur atas prosedur audit. Temuan-temuan dari penelitian lainnya, Kelley dan Margheim (1990), Malone dan Robert (1996), Otley dan Pierce (1996), Herrbach (2001), serta Pierce dan Sweeney (2004) menunjukkan selain penghentian prematur prosedur audit, berbagai bentuk tindakan lainnya yang dilakukan auditor dalam pelaksanaan program audit yang berpotensi mereduksi kualitas audit adalah sebagai berikut:
15
1) Review yang dangkal terhadap dokumen klien. Hal ini merupakan tindakan auditor tidak memberi perhatian yang memadai atas keakuratan dan validitas dokumen klien. 2) Pengujian terhadap sebahagian item sampel. Hal ini merupakan tindakan auditor tidak melaksanakan prosedur audit pada seluruh item sampel yang didesain dalam program audit. 3) Tidak menginvestigasi lebih lanjut item yang diragukan. Hal ini merupakan tindakan auditor tidak memperluas ruang lingkup pengujian ketika terdeteksi suatu transaksi atau pos yang mencurigakan. 4) Penerimaan atas penjelasan klien yang lemah. Hal ini merupakan tindakan auditor menerima penjelasan klien sebagai pengganti suatu bukti audit yang tidak diperoleh selama pelaksanaan audit. 5) Tidak meneliti prinsip akuntansi yang diterapkan klien. Hal ini merupakan tindakan auditor tidak meneliti lebih lanjut kesesuaian perlakuan akuntansi yang diterapkan klien dengan prinsip akuntansi. 6) Pengurangan pekerjaan audit pada tingkat yang lebih rendah dari yang disyaratkan dalam program audit. Hal ini merupakan tindakan auditor mengurangi pekerjaan audit yang dilakukan dari yang seharusnya dilaksanakan sesuai dengan program audit. 7) Penggantian prosedur audit dari yang ditetapkan dalam program audit. Hal ini merupakan tindakan auditor yang tidak mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam program audit.
16
8) Pengandalan berlebihan terhadap hasil pekerjaan klien. Hal ini merupakan tindakan auditor mengandalkan bukti audit atas hasil pekerjaan yang dilakukan klien. 9) Pendokumentasian bukti audit yang tidak sesuai dengan kebijakan KAP. Hal ini merupakan tindakan auditor tidak mendokumentasikan bukti audit atas pelaksanaan suatu prosedur audit yang disyaratkan sesuai program audit yang ditetapkan oleh KAP. Perilaku reduksi kualitas audit merupakan ancaman serius terhadap kualitas audit karena bukti-bukti audit yang dikumpulkan selama pelaksanaan prosedur audit tidak kompeten dan cukup sebagai dasar memadai bagi auditor untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diaudit (Otley dan Pierce, 1996; Herrbach, 2001). 2.1.4
Karakteristik Personal Auditor Karakteristik personal merupakan ciri yang membedakan seseorang
dengan orang lain. Karakteristik personal yang membedakan setiap individu meliputi kepribadian, gender, kebangsaan dan hasil-hasil dari proses sosialiasi dan pengembangan sumber daya manusia seperti komitmen organisasional dan komitmen profesional (Ford dan Rhichardson, 1994). Pada penelitian ini karakteristik individual auditor yang dikaji adalah adalah locus of control dan komitmen auditor terhadap organisasinya. Kedua karakteristik individual auditor ini mengacu pada sikap dan keyakinan individu auditor yang diduga berpengaruh pada persepsi auditor atas anggaran waktu audit serta perilaku audit dalam pelaksanaan program audit.
17
1) Locus of Control Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility). Kepribadian merupakan jumlah total cara-cara dimana seseorang individu beraksi atas dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins dan Timothy, 2015). Locus of control didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri (Kreitner dan Kinicki, 2005). Seseorang yang meyakini keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya berada dalam kontrolnya disebut memiliki locus of control internal, sedangkan yang diluar kontrolnya disebut memiliki locus of control eksternal (Lefcourt, 1982). Locus of control berperan dalam motivasi, locus of control yang berbeda bisa mencerminkan motivasi yang berbeda dan kinerja yang berbeda. Pada umumnya, individu yang memiliki locus of control internal memandang kejadian atau pengalaman adalah saling berkaitan dan mereka belajar dari pengalaman yang berulang, sedangkan individu yang memiliki locus of control eksternal cenderung memandang suatu kejadian atau pengalaman tidak berhubungan dengan kejadian berikutnya dan mereka tidak belajar dari pengalaman (Lefcourt, 1982). Individu yang memiliki locus of control internal cenderung memandang suatu keadaan atau kondisi sebagai peluang atau kondisi yang tidak menimbulkan tekanan, sedangkan individu yang memiliki locus of control eksternal menganggap sebagai ancaman atau menimbulkan tekanan. Ketika individu yang ber-locus of control internal menghadapi stres potensial,
18
mereka sebelumnya akan mempelajari terlebih dahulu peristiwa-peristiwa yang dianggap mengancap dirinya, kemudian ia bersikap tertentu secara rasional dalam menghadapi stres kerja tersebut. Sebaliknya, individu yang ber-locus of control eksternal menganggap bahwa segala peristiwa yang ada dalam lingkungan kerja di sekitarnya amat memengaruhi dirinya (Wijono, 2012). Individu yang memiliki locus of control eksternal, sikap hidupnya amat dikendalikan oleh faktor lingkungan. Mereka mempunyai perasaan cemas, mudah stres, depresi, neurosis, pekerjaan dan hidupnya selalu ditentukan oleh nasib yang mengendalikan dirinya (Wijono, 2012). Dengan demikian, auditor yang memiliki locus of control eksternal diprediksi lebih cenderung menerima perilaku disfungsional dibandingkan dengan auditor yang memiliki locus of control internal (Donnelly et al., 2003; Irawati dkk., 2005). 2) Komitmen Organisasi Komitmen organisasi adalah perasaan keterkaitan atau keterikatan psikologis dan fisik pegawai tempat ia bekerja atau orang dimana ia menjadi anggota (Wirawan, 2013). Definisi lain, komitmen organisasi merupakan tingkat dimana seseorang pekerja mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan, dan harapannya untuk tetap menjadi anggota (Robbins dan Timothy, 2015). Komitmen dibutuhkan oleh organisasi agar sumber daya manusia yang kompeten dalam organisasi dapat terjaga dan terpelihara dengan baik (Suparman, 2007). Tanpa adanya komitmen organisasi yang kuat dalam diri
19
setiap individu, tidak akan mungkin suatu organisasi dapat berjalan dengan maksimal. Komitmen yang kuat sangat berhubungan erat dengan rasa memiliki individu setiap organisasi. Komitmen organisasi menciptakan kekuatan untuk menyeimbangkan kecenderungan
disfungsional
(Triono
dkk.,
2012).
Seiring
dengan
peningkatan komitmen, organisasi tidak dipandang sebagai musuh dan manipulasi tidak diperlukan untuk mendapatkan yang diinginkan. Seseorang yang memiliki keyakinan kuat terhadap organisasi dan bersedia untuk bekerja keras untuk mencapai tujuan organisasi, akan kurang menerima perilaku disfungsional untuk mencapai tujuan pribadi (Triono dkk., 2012). Komitmen organisasi memiliki peran penting lainnya, yaitu dapat mencerminkan perbedaan dalam motivasi antara individu yang memiliki komitmen organisasi tinggi dan yang rendah (Nouri dan Parker, 1996). Lincoln
dan
Kalleberg
(1990)
berpendapat
bahwa
Individu
yang
berkomitmen tinggi terhadap organisasinya akan mengupayakan demi kesuksesan organisasi, walaupun upaya tersebut tidak langsung berkontribusi kepada kompensasi atau peluang karir individu. Sebaliknya, bila individu memandang beberapa perilaku sebagai perilaku disfungsional, individu tersebut akan kurang menerima aktivitas tersebut. Individu dengan komitmen organisasional yang rendah, mungkin akan lebih tertarik untuk mengejar kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan organisasi. Dengan demikian, seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang rendah lebih
20
cenderung untuk melihat perilaku disfungsional sebagai sesuatu yang dapat diterima, demi kepentingan pribadi (Triono dkk., 2012). 2.1.5
Tekanan Anggaran Waktu Audit Dalam Standar Audit (SA 300 tentang Perencanaan Suatu Audit Atas
Laporan Keuangan), mensyaratkan auditor harus merencanakan audit agar audit tersebut dapat dilaksanakan dengan efektif (IAPI, 2013). Untuk memenuhi standar audit tersebut, salah satunya diwujudkan dalam bentuk penyusunan anggaran waktu audit. Anggaran waktu audit merupakan perkiraan waktu yang dialokasikan untuk pelaksanaan tugas audit dalam suatu penugasan (Fleming, 1980). Anggaran waktu audit memiliki manfaat sebagai berikut: 1) Sebagai dasar untuk memperkirakan biaya audit. 2) Sebagai dasar untuk membagi tugas setiap personil tim 3) Sebagai dasar untuk mengevaluasi kinerja personil auditor. Kompetisi yang intensif pada pasar audit menuntut KAP untuk dapat beroperasi secara efektif dan efisien. KAP diharuskan mengumpulkan bukti kompeten yang cukup dalam memenuhi standar profesional, dan sisi lain KAP diharuskan melakukan efisiensi melalui pengendalian biaya audit (Arens dan Loebecke, 2002). Sebagian besar biaya audit ditimbulkan oleh waktu audit, maka untuk meningkatkan efisiensi salah satu usaha yang sering ditempuh KAP adalah menetapkan anggaran waktu audit secara ketat (McNair, 1991). Anggaran waktu audit yang ketat dapat mengakibatkan auditor merasakan tekanan dalam pelaksanaan prosedur audit karena ketidakseimbangan antara waktu yang tersedia dengan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas audit (Kelley dan
21
Seiler, 1982; Cook dan Kelley, 1988; Kelley dan Margheim, 1990). Akers dan Eaton (2003) mengemukakan jika auditor merasakan terdapat tekanan anggaran waktu dalam pelaksanaan tugas audit, maka auditor mungkin bertindak dengan salah satu dari cara berikut: 1) Melaksanakan proses audit sebagaimana mestinya dan melaporkan waktu sebenarnya yang digunakan dalam pelaksanaan tugas tersebut. Dalam hal ini auditor menanggulangi tekanan anggaran waktu dengan cara fungsional. 2) Melaksanakan prosedur audit sebagaimana mestinya, tetapi memanipulasi catatan waktu dengan tidak melaporkan waktu sebenarnya yang digunakan untuk pelaksanaan tugas audit. Dalam hal ini auditor menanggulangi tekanan anggaran waktu dengan melakukan perilaku underreporting of time. 3) Tidak melakukan prosedur audit sebagaimana mestinya, tetapi auditor mengklaim bahwa prosedur audit telah dilakukan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini auditor menanggulangi ketekanan anggaran waktu dengan melakukan perilaku reduksi kualitas audit. Meskipun auditor dapat menanggulangi kendala anggaran waktu dengan cara fungsional (misalnya, dengan meminta tambahan anggaran waktu), bukti empiris dari hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan auditor kadang-kadang merespon kendala anggaran waktu dengan melakukan perilaku reduksi kualitas audit atau underreporting of time (Cook dan Kelley, 1988; Otley dan Pierce, 1996; Coram et al., 2003; Pierce dan Sweeney, 2004).
22
2.2
Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan oleh Silaban (2009), variabel yang digunakan
adalah locus of control, komitmen profesional, tekanan anggaran waktu audit, posisi auditor, tipe KAP, perilaku reduksi kualitas audit, dan underreporting of time. Sampel penelitian, yaitu 1.500 responden di 90 KAP di Kota Jakarta, Medan, dan Surabaya. Hasil penelitiannya, yaitu: karakteristik individual auditor (locus of control dan dimensi komitmen profesional) berpengaruh terhadap tekanan anggaran waktu yang dirasakan dan perilaku audit disfungsional (RKA dan URT); selanjutnya tekanan anggaran waktu yang dirasakan berpengaruh terhadap perilaku audit disfungsional; serta posisi auditor di KAP dan tipe KAP berpengaruh terhadap model perilaku audit disfungsional (RKA dan URT). Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan sama, yaitu locus of control, tekanan anggaran waktu audit, dan perilaku reduksi kualitas audit. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak menggunakan komitmen organisasi, serta waktu dan tempat penelitian yang digunakan berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Gustati (2012), variabel yang digunakan adalah locus of control eksternal, locus of control internal, dan perilaku disfungsional audit. Populasi penelitian adalah seluruh Pejabat Fungsional Auditor (PFA) dan yang pernah menjabat sebagai PFA yang masih aktif di Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Barat. Hasil penelitiannya, yaitu: locus of control internal tidak berpengaruh terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit, sedangkan locus of control eksternal berpengaruh terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel
23
yang digunakan sama, yaitu locus of control eksternal, locus of control internal, dan perilaku disfungsional audit. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak menggunakan komitmen organisasi, serta waktu dan tempat penelitian yang digunakan berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Triono dkk. (2012), variabel yang digunakan adalah locus of control, komitmen organisasional, posisi auditor di KAP, dan perilaku disfungsional audit. Hasil penelitiannya, yaitu: locus of control berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasional; locus of control berpengaruh positif terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit; posisi auditor berpengaruh positif dan terhadap komitmen organisasional; posisi auditor berpengaruh negatif terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit; komitmen organisasional berpengaruh negatif terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit; locus of control, posisi auditor, dan komitmen organisasional mempunyai pengaruh yang terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan sama, yaitu locus of control, komitmen organisasi, dan perilaku disfungsional audit. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak menggunakan tekanan anggaran waktu audit, serta waktu dan tempat penelitian yang digunakan berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Sudirjo (2013), variabel yang digunakan adalah locus of control, komitmen professional, tekanan anggaran waktu audit, perilaku reduksi kualitas audit, dan underreporting of time. Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah 230 auditor pada akuntan publik di Semarang. Hasil penelitiannya, yaitu: locus of control dan komitmen profesional berpengaruh
24
terhadap tekanan anggaran waktu yang dirasakan dan perilaku audit (RKA dan URT); selanjutnya tekanan anggaran waktu yang dirasakan berpengaruh terhadap perilaku audit (RKA dan URT). Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan sama yaitu locus of control, tekanan anggaran waktu audit, dan perilaku reduksi kualitas audit. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak menggunakan komitmen organisasi, serta waktu dan tempat penelitian yang digunakan berbeda. Penelitian yang digunakan oleh Tanjung (2013), variabel yang digunakan adalah karakteristik personal auditor, time budget pressure, dan perilaku disfungsional auditor. Variabel karakteristik personal auditor terdiri dari subvariabel: locus of control, harga diri, ketelitian dan kemantapan emosional. Hasil penelitiannya, yaitu: karakteristik personal auditor berpengaruh positif terhadap perilaku disfungsional auditor dan time budget pressure berpengaruh positif terhadap perilaku disfungsional auditor pada KAP di Kota Padang dan Pekanbaru. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan sama, yaitu locus of control, tekanan anggaran waktu audit, dan perilaku disfungsional audit. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak menggunakan komitmen organisasi, serta waktu dan tempat penelitian yang digunakan berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Wintari (2015), variabel yang digunakan adalah tekanan anggaran waktu, locus of control internal, locus of control eksternal, komitmen profesional, dan perilaku penurunan kualitas audit. Hasil penelitiannya, yaitu: tekanan anggaran waktu berpengaruh positif terhadap perilaku penurunan kualitas audit; locus of control internal berpengaruh negatif
25
pada perilaku penurunan kualitas audit sedangkan locus of control eksternal berpengaruh positif pada perilaku penurunan kualitas audit; serta komitmen profesional berpengaruh negatif pada perilaku penurunan kualitas audit. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel yang digunakan sama, yaitu locus of control eksternal, tekanan anggaran waktu audit, dan perilaku penurunan kualitas audit. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak menggunakan komitmen organisasi, serta waktu dan tempat penelitian yang digunakan berbeda.