BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proliferasi Sel Proliferasi sel menghasilkan dua sel yang berasal dari satu sel. Keadaan ini membutuhkan pertumbuhan sel yang kemudian diikuti oleh pembelahan (divisi) sel. Pertumbuhan sel yang tidak terkendali merupakan ciri khas kanker. Sel kanker secara umum berisi biomolekul yang diperlukan untuk bertahan, proliferasi, diferensiasi, kematian sel dan ekspresi tipe sel dengan fungsi khusus (specific functions). Kegagalan regulasi fungsi inilah yang menghasilkan perubahan fenotip dan kanker (Brody dan Rudel, 2003; Tan, 2001). Pada jaringan normal, proliferasi sel mengarah kepada penambahan jaringan di mana jumlah sel tidak hanya tergantung kepada proliferasi sel tetapi juga oleh kematian sel. Kematian sel terprogram (apoptosis) adalah proses dikeluarkannya sel-sel yang rusak. Keseimbangan antara produksi sel baru dan kematian sel itulah yang mempertahankan sel yang tepat pada jaringan (homeostasis) (Brody dan Rudel, 2003). 2.1.1 Siklus Sel Divisi sel terdiri dari dua proses yang berurutan, terutama ditandai dengan repikasi DNA dan segregasi kromosom yang bereplikasi menjadi dua sel yang terpisah. Secara umum sel divisi terbagi dua tahap: mitosis (M) yaitu proses divisi inti, dan interfase yaitu fase selingan diantara dua fase M. Tahap mitosis dibagi atas profase, metafase, anafase dan telofase. Tahap interfase terdiri dari G1, S dan G2. Replikasi DNA terjadi pada fase S. Fase S didahului oleh suatu gap yang
8
disebut G1. Pada fase ini, sel bersiap-siap untuk sintesis DNA dan diikuti dengan gap yang disebut G2, yaitu fase ketika sel siap untuk mitosis. Sel pada G1, sebelum berkomitmen replikasi DNA, akan memasuki fase istirahat disebut G0. Sel pada G0 berada pada keadaan tidak tumbuh atau sel tidak berproliferasi (Kissane, 1990). Siklus sel dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sel-sel labile yang bergilir secara terus menerus (misalnya epidermis, epitelium saluran pencernaan)
Pemeriksaan kerusakan DNA atau DNA yang belum terduplikasi (cekpoin G2/M)
Duplikasi Pemeriksaan kerusakan DNA (cekpoin G1/S)
SIKLUS SEL
Titik restriksi
Mitosis
Duplikasi sentrosom Pertumbuhan dalam jumlah besar
Sel-sel stabil (misalnya hepatosit)
Pembelahan sel
Sel-sel permanen (misalnya neuron, miosit kardiak)
Gambar 2.1 Siklus Sel (Sumber: Pathologic Basis of Disease 7th ed., 2005. Kumar, Abbas, Fausto)
Siklus sel adalah suatu proses yang tertata amat teratur untuk menggandakan dan menebarkan informasi genetik dari satu generasi sel ke generasi yang berikutnya. Selama proses ini berjalan, DNA harus digandakan secara tepat dan salinan kromosom harus dibagikan tepat sama jumlah pada kedua
9
sel anak yang terbentuk. Siklus sel dapat dibedakan menjadi beberapa tahap yang terpisah jelas yaitu: Fase G1
Suatu interval atau celah antara mitosis (fase M) dan sintesis DNA (fase S), selama fase ini sel dapat mengalami stimulasi dari berbagai mitogen dan faktor pertumbuhan (growth factor) ekstraselular
Fase S
Pada fase ini, DNA digandakan dengan cara membuat salinan komplemennya (complementary copy)
Fase G2
Suatu interval atau celah antara penyempurnaan sintesis DNA (fase S) dan mitosis (fase M)
Fase M
Pada fase ini, terjadi pembentukan benang-benang mitotik yang terpisah pada kedua kutub sel, pemisahan khromatid menjadi dua bagian yang sama persis dalam kualitas dan kuantitas (two sister chromatids) dan pembelahan sel (Karsono, 2009).
2.1.2 Pengaturan Proliferasi Sel Dalam pengaturan proliferasi sel tahap G1/S memegang peranan terpenting. Pada lebih kurang sepertiga akhir fase G1 terdapat suatu periode yang disebut titik restriksi. Titik restriksi sebenarnya hanya merupakan salah satu dari cekpoin yang terdapat dalam siklus sel. Peraturan siklus sel menetapkan bahwa harus dapat dipastikan semua langkah dalam setiap fase sudah benar-benar sempurna selesai pada waktu memasuki fase berikutnya. Untuk itu, beberapa cekpoin pemantau keutuhan DNA ditempatkan secara strategis di akhir fase G1 dan pada ambang peralihan fase G2/M guna mencegah gerak maju atau perambatan siklus pada sel yang mengalami mutasi atau kerusakan. Titik restriksi ini dikawal oleh protein RB (pRB, retinoblastoma). pRB bertindak memantau
10
keutuhan DNA. Dalam keadaan tidak terfosforilasi, pRB mengikat protein lain yaitu E2F. E2F adalah suatu faktor transkripsi. Bila DNA dalam keadaan utuh maka terjadi fosforilasi pRB oleh CDK4/CDK6 (cyclin dependent kinase). Akibat fosforilasi pRB, maka pRB tidak dapat lagi mengikat E2F. E2F yang terlepas akan menyebabkan transkripsi beberapa gen termasuk di antaranya gen untuk cyclin E. Cyclin E dibutuhkan sel untuk menembus titik restriksi. Beberapa protein dapat menghambat fosforilasi pRB, antara lain p53, p16INK4a, p19ARF dan p21. p53 bekerja mengaktifkan p21 dan pada gilirannya p21 menghambat CDK4/6. p19ARF bekerja dengan cara menginaktivasi MDM2. Inaktif MDM2 tidak dapat menghambat p53 sehingga p53 dapat mengaktifkan p21. p16INK4a bekerja langsung menginaktivasi CDK4/6 sehingga tidak dapat memfosforilasi pRB. Apabila terjadi kerusakan DNA, maka siklus sel akan dihambat terutama di G1. Bila kerusakan DNA tak mungkin diperbaiki maka sel akan melakukan apoptosis (Karsono, 2009). Sinyal-sinyal yang berasal dari TGF-β (transforming growth factor β) mengendalikan
berbagai
proses
selular
seperti
proliferasi,
identifikasi,
diferensiasi, apoptosis dan pembentukan dalam embriogenesis. Umumnya sinyalsinyal dari TGF-β mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan sel, oleh karena itulah tidak mengherankan bila inaktivasi jalur sinyal TGF-β berperan dalam tumor genesis. Ikatan TGF-β sebagai ligand terhadap reseptornya akan mengakibatkan hetero-dimerisasi reseptor TGF-β. Selanjutnya reseptor ini akan memfosforilasi Smad4, Smad4 terfosforilasi akan membentuk dimer dengan Smad4 inaktif dan tertranslokasi ke inti sel. Di dalam inti sel dimer Smad4 akan bekerja menghambat ekspresi c-myc dan meningkatkan ekspresi protein-protein
11
inhibitor siklus sel baik dari keluarga INK maupun dari keluarga KIP (Karsono, 2009). Proses apoptosis dapat terjadi melalui beberapa jalur. Salah satu jalur yang mempunyai kaitan erat dengan kanker adalah melalui induksi apoptosis oleh protein p53. Protein p53 merespon kerusakan DNA atau stres sel yang meliputi aktivitas onkogen (gen pendorong terbentuknya tumor), hipoksia (kekurangan oksigen dalam sel), erosi telomerase (pemendekan DNA akibat non-aktif-nya enzim telomerase) dan stres sel yang lain (Stokloza dan Golab, 2005) Aktivitas transkripsi dari p53 bergantung pada pembentukan tetramer dari protein tersebut yang berinteraksi dengan DNA dengan urutan yang spesifik (sequence-specific). Tiap subunit p53 terdiri dari 4 domain yang berbeda fungsinya. Residu 1 sampai residu 44 merupakan ujung N yang sedikit terlipat sebagai domain pengaktif transkripsi. Domain inti merupakan bagian yang berinteraksi dengan DNA dan berawal dari residu 102 sampai residu 292. Residu 320 sampai residu 356 bertanggung jawab atas pembentukan tetramer, sedangkan residu 356 sampai residu 393 merupakan domain regulator (Zhao et al., 2001). Kurang lebih 55% sel tumor pada manusia kehilangan fungsi p53 akibat mutasi. Hilangnya fungsi p53 menyebabkan kerusakan DNA atau kecacatan pada sel yang lain yang tidak diikuti dengan penghentian penggandaan dan/atau proses apoptosis meskipun terjadi kenaikan konsentrasi p53 (Bykov et al., 2002; Joerger et al., 2005).
12
2.2 Kanker Payudara 2.2.1 Etiologi dan Patogenesis Ada 3 pengaruh penting pada kanker payudara: a. Faktor genetik Faktor genetik berpengaruh dalam peningkatan terjadinya kanker payudara. Pada percobaan tikus dengan galur sensitif kanker, melalui persilangan genetik didapatkan tikus yang terkena kanker. Ada faktor turunan pada suatu keluarga yang terkena kanker payudara. Kelainan ini diketahui terletak di lokus kecil di kromosom 17q21 pada kanker payudara yang timbul saat usia muda (Restifo dan Wunderlich, 2001). b. Hormon Kelebihan hormon estrogen endogen atau lebih tepatnya terjadi ketidakseimbangan hormon terlihat sangat jelas pada kanker payudara. Banyak faktor resiko yang dapat disebutkan seperti masa reproduksi yang lama, nulipara, dan usia tua saat mempunyai anak pertama akan meningkatkan estrogen
pada siklus
menstruasi.
Wanita pasca
menopause dengan tumor ovarium fungsional dapat terkena kanker payudara karena adanya hormon estrogen berlebihan. Suatu penelitian menyebutkan bahwa kelebihan jumlah estrogen di urin, frekuensi ovulasi, dan umur saat menstruasi dihubungkan dengan meningkatnya resiko terkena kanker payudara (Bast, 1985; Sobin dan Wittekind, 2002). Epitel payudara normal memiliki reseptor estrogen dan progesteron. Kedua reseptor ditemukan pada sebagian besar kanker payudara. Berbagai bentuk growth promoters (transforming growth
13
factor-alpha/epitehlial growth factor, platelet-derived growth factor), fibroblast growth factor dan growth inhibitor disekresi oleh sel kanker payudara manusia. Banyak penelitian menyatakan bahwa growth promoters terlibat dalam mekanisme autokrin dari tumor. Produksi GF tergantung pada hormon estrogen, sehingga interaksi antara hormon disirkulasi, reseptor hormon pada sel kanker dan GF autokrin merangsang sel tumor menjadi lebih progresif (Restifo dan Wunderlich, 2001; Junqueira, et al., 1995; Whiteside dan Haberman, 2003). c. Faktor lingkungan dan gaya hidup Pengaruh lingkungan diduga karena berbagai faktor antara lain alkohol, diet tinggi lemak, dan infeksi virus. Hal tersebut mungkin mempengaruhi onkogen dan gen supresi tumor dari kanker payudara (Restifo dan Wunderlich, 2001). 2.2.2 Klasifikasi Berdasarkan gambaran histologis, WHO membuat klasifikasi kanker payudara sebagai berikut (Sobin dan Wittekind, 2002; Junqueira, et al., 1995; Robbin, et al., 1994). a. Kanker payudara non invasif i.
Karsinoma intraduktus non invasif Karsinoma intraduktus adalah karsinoma yang mengenai duktus disertai infiltrasi jaringan stroma sekitar. Terdapat 5 subtipe dari karsinoma intraduktus, yaitu komedokarsinoma, solid, kribriformis, papiler, dan mikrokapiler. Komedokarsinoma ditandai dengan selsel yang berproliferasi cepat dan memiliki derajat keganasan tinggi.
14
Karsinoma jenis ini dapat meluas ke duktus ekskretorius utama, kemudian menginfiltrasi papilla dan areola, sehingga dapat menyebabkan penyakit Paget pada payudara. ii. Karsinoma lobular in situ Karsinoma ini ditandai dengan pelebaran satu atau lebih duktus terminal dan/atau tubulus, tanpa disertai infiltrasi ke dalam stroma. Sel-sel berukuran lebih besar dari normal, inti bulat kecil dan jarang disertai mitosis. b. Kanker payudara invasif i.
Karsinoma duktus invasif Karsinoma jenis ini merupakan bentuk paling umum dari kanker payudara. Karsinoma duktus infiltratif merupakan 65 – 80% dari karsinoma payudara. Secara histologis, jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk bulat sampai poligonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada tepi tumor, tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar seperti sarang, kawat atau seperti kelenjar. Jenis ini disebut juga sebagai infiltrating ductus carcinoma not otherwise specified (NOS), scirrhous carcinoma, infiltrating carcinoma atau carcinoma simplex.
ii. Karsinoma lobular invasif Jenis ini merupakan karsinoma infiltratif yang tersusun atas sel-sel berukuran kecil dan seragam dengan sedikit pleimorfisme. Karsinoma lobular invasif biasanya memiliki tingkat mitosis
15
rendah. Sel infiltratif biasanya tersusun konsentris disekitar duktus berbentuk seperti target. Sel tumor dapat berbentuk signet ring, tubuloalveolar, atau solid (Chapoval, et al., 1998). iii. Karsinoma musinosum Pada karsinoma musinosum ini didapatkan sejumlah besar mukus intraseluler dan ekstraseluler yang dapat dilihat secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara histologis, terdapat 3 bentuk sel kanker. Bentuk pertama, sel tampak seperti pulau-pulau kecil yang mengambang dalam cairan musin basofilik. Bentuk kedua, sel tumbuh dalam susunan kelenjar berbatas jelas dan lumennya mengandung musin. Bentuk ketiga terdiri dari susunan jaringan yang tidak teratur berisi sel tumor tanpa diferensiasi, sebagian besar sel berbentuk signet ring. iv. Karsinoma meduler Sel berukuran besar berbentuk poligonal atau lonjong dengan batas sitoplasma tidak jelas. Diferensiasi dari jenis ini buruk, tetapi memiliki prognosis lebih baik daripada karsinoma duktus infiltratif. Biasanya terdapat infiltrasi limfosit yang nyata dalam jumlah sedang di antara sel kanker, terutama dibagian tepi jaringan kanker. v.
Karsinoma papiler invasif Komponen invasif dari jenis karsinoma ini berbentuk papiler.
vi. Karsinoma tubuler Pada karsinoma tubuler, bentuk sel teratur dan tersusun secara tubuler selapis, dikelilingi oleh fibrous stroma. Jenis seperti ini
16
merupakan karsinoma dengan diferensiasi tinggi (Abbas, et al., 2005). vii. Karsinoma adenokistik Jenis ini merupakan karsinoma invasif dengan karakteristik sel yang berbentuk kribriformis. Sangat jarang ditemukan pada payudara. viii. Karsinoma apokrin Karsinoma ini didominasi dengan sel yang memiliki sitoplasma eosinofilik, sehingga menyerupai sel apokrin yang mengalami metaplasia. Bentuk karsinoma apokrin dapat ditemukan juga pada jenis karsinoma payudara yang lain.
2.3 Kemoterapi Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi kanker payudara, antara lain stadium kanker, usia, ukuran dari tumor, menopause dan apakah sel-sel kanker memiliki reseptor terhadap hormon tertentu (misalnya estrogen) atau protein-protein khusus pada permukaan reseptor (Anonimb, 2013). Kemoterapi
adalah
suatu
pengobatan
sistemik
yang
melibatkan
penggunaan obat antikanker atau obat-obat sitotoksik yang biasanya diberikan melalui injeksi ataupun secara oral. Kemoterapi seringkali digunakan sebagai terapi tambahan pada perawatan yang lain, seperti pembedahan atau terapi radiasi. Kemoterapi biasanya diberikan 1 – 2 minggu setelah operasi. Namun, untuk tumor yang lebih besar, sebaiknya dilakukan kemoterapi pra-operasi (Damayanti, 2006).
17
Pengobatan kanker dengan kemoterapi telah dibuktikan lebih efektif jika digunakan secara kombinasi dua atau lebih jenis obat. Obat-obat yang digunakan secara kombinasi hendaknya telah menunjukkan efektivitas ideal pada penggunaan tunggal, memiliki mekanisme yang berbeda satu dengan yang lain, dan memiliki profil toksisitas yang berbeda sehingga dapat digunakan pada dosis optimal (Damayanti, 2006). Resiko penggunaan obat-obat sitotoksik adalah obat-obat ini dapat menyebabkan proliferasi pada jaringan yang normal. Efek samping ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien tersebut. Pada Tabel 2.1 disajikan keterangan mengenai efek samping dari pengobatan kanker dengan kemoterapi yang umum terjadi berdasarkan skala waktu kejadian efek samping tersebut (Damayanti, 2006). Tabel 2.1 Efek samping kemoterapi Waktu Kejadian Efek Samping Kemoterapi Immediate (terjadi dalam hitungan jam)
Awal (terjadi dalam hitungan hari)
Tertunda (terjadi dalam hitungan minggu)
Efek Samping Kemoterapi Plebitis, hyperuricaemia, mual/muntah, gagal ginjal akut, anafilaksis, iritasi kulit, demam Ototoksisitas, hipomagnesemia, diare, stomatitis, konjungtivitis, alopecia, myelotoxicity Fibrosis pulmo, neurophaty perifer, hiperpigmentasi, hepatocellular toxicity, anemia
Lambat (terjadi dalam hitungan bulan/ tahun)
Menopause dini, malignan sekunder, sterilitas
18
2.4 DRPs 2.4.1 Definisi DRPs DRPs adalah adalah kejadian yang tidak diinginkan pasien terkait terapi obat, dan secara nyata maupun potensial berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu: (a) adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi; dan (b) adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990). 2.4.2 Klasifikasi DRPs Jenis-jenis DRPs dan penyebabnya menurut Cipolle, et al. (2004) disajikan sebagai berikut: a. Membutuhkan terapi tambahan obat i. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat. ii. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat berkesinambungan. iii. Pasien
mempunyai
kondisi
kesehatan
yang
membutuhkan
farmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergisme atau potensiasi. iv. Pasien dalam keadaan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang dapat dicegah dengan penggunaan pencegah penyakit melalui terapi obat dan/atau tindakan pramedis.
19
b. Terapi obat yang tidak perlu i. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada waktu itu. ii. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja menerima sejumlah racun dari obat atau bahan kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu. iii. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok. iv. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat. v. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana hanya satu terapi obat yang terindikasi. vi. Pasien yang mendapatkan terapi obat yang tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan oleh pengobatan lainnya. c. Terapi obat salah i. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. ii. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan. iii. Bentuk sediaan obat tidak tepat. d. Dosis terlalu rendah i. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada pasien. ii. Konsentrasi obat dalam darah pasien di bawah batas terapetik yang diharapkan.
20
iii. Selang waktu pemberian obat terlalu jarang sehingga tidak menghasilkan respon yang diinginkan. e. Reaksi obat yang merugikan i. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan. ii. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau makanan pasien. iii. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis. iv. Penggunaan obat yang kontraindikasi. f. Dosis terlalu tinggi i. Dosis terlalu tinggi untuk memberikan respon kepada pasien. ii. Pasien dengan konsentrasi obat di dalam darah di atas batas teurapetik obat yang diharapkan. iii. Obat, dosis, rute atau perubahan formulasi tidak tepat untuk pasien. iv. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien. g. Kepatuhan i. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan, pemberian atau pemakaian). ii. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan. iii. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal. iv. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang mengerti.
21
v. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena sudah merasa sehat.
22