BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perilaku Sosial Sebagai Suatu Paradigma Paradigma perilaku sosial yang berbeda dengan paradigma fakta sosial dan
paradigma defenisi sosial. Menurut Skinner (George, 2003 :69-72), paradigma definisi sosial dan fakta sosial memiliki sifat sulit untuk dijelaskan secara rasional. Setiap realita dan fenomena yang terdapat pada kedua paradigma tersebut, tidak mudah untuk dipecahkan dengan kerasionalan pikiran manusia. Skinner menyebut persoalan ini dengan istilah “mistik”. Hal ini dikarenakan, paradigma fakta sosial memiliki struktur sosial dan pranata sosial yang menjadi obyek studi. Ketika terjadi suatu rangsangan atau stimulus dari luar diri, keberadaan paradigma defenisi sosial merupakan sebagai penyelidik bagi hal-hal yang terjadi dalam pemikiran manusia berupa “tanggapan kreatif”. Jadi, bagi Skinner, paradima perilaku sosial merupakan obyek studi sosiologis yang konkrit-realistis (kelihatan dan terdapat peluang untuk terjadi pengulangan). Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara individu dan lingkungannya yang terdiri atas : 1. Beragam obyek sosial. 2. Beragam obyek non-sosial. Paradigma ini, memiliki prinsip untuk menguasai hubungan antara individu dengan obyek sosial dan hubungan antara individu dengan obyek nonsosial. Dapat ditarik kesimpulan secara singkat, bahwa pada intinya paradigma perilaku sosial merupakan tingkah laku individu yang berlangsung dalam 12
Universitas Sumatera Utara
hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Dalam paradigma ini, interaksi adalah media terjadi perubahan tingkah laku dalam lingkungan aktor,di mana hubungan fungsional terjadi pada proses tersebut. Hanya saja, pada paradigma ini, sifatnya lebih mekanik, yakni kurang memiliki kebebasan, dibandingkan dengan paradigma lain, seperti paradigma defenidi sosial yang lebih dapat menginterpretasikan stimulus yang diterima dan paradigma fakta sosial lebih kepada norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial yang terdapat pada tingkah laku.
2.2
Gaya Hidup Pada Masyarakat Postmodern Di era globalisasi saat ini, manusia tidak hanya sekedar sebagai pelaku
ekonomi primer, sekunder dan tersier biasa. Akan tetapi hampir dalam ketiga kebutuhan utama tersebut, manusia harus mengontrol setiap kegiatan ekonomi mereka. Namun, tidak jarang kita melihat, bahwa sebagian individu mengonsumsi secara berlebih dan memiliki barang dan jasa yang berbeda sesuai dengan kebutuhannya serta mengikuti fenomena yang muncul atau “booming” belakangan ini. Manusia tidak bisa lepas sebagai konsumen utama dalam setiap proses kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk hidup yang terus maju dalam pencapaian kebutuhan, untuk kelangsungan hidupnya. Sebagai konsumen, manusia akan mengalami perubahan sosial, terutama dalam tingkah laku dalam kehidupannya.
13
Universitas Sumatera Utara
Menurut Engel, Blackwell dan Miniard (Tatik, 2008 : 5), hal tersebut merupakan perilaku konsumen, di mana konsumen secara langsung melakukan tindakan dalam hal mendapatkan, mengkonsumsi dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut. Dari sisi pemenuhan kebutuhan, konsumen memilih jenis kebutuhan yang disesuaikan dengan gaya hidup mereka. Gaya hidup menunjukkan pada bagaimana seseorang mengalokasikan pendapatannya, dan memilih produk maupun jasa dan berbagai pilihan lainnya ketika memilih alternative dalam satu kategori jenis produk yang ada, berdasarkan perspektif ekonomi. sedangkan melihat dari perspektif pemasaran, tampak jelas bahwa konsumen yang memiliki gaya hidup yang sama akan mengelompokkan dengan sendrinya ke dalam satu kelompok berdasarkan apa yang mereka minati untuk menghabiskan waktu senggang dan bagaimana mereka membelanjakan uangnya. Seiring dengan perkembangan waktu, gaya hidup terus mengalami perubahan baik di masyarakat yang masih tradisional sampai kepada masyarakat modern, terutama pada masyarakat postmodern, ataupun gaya hidup akan barang konsumsi yang cenderung modern ataupun berbalik ke tahap tradisional. Bagi pemilik modal, perubahan gaya hidup merupakan kesempatan bagi mereka untuk menciptakan inovasi baru seperti produk-produk dan menyesuaikan produknya sesuai dengan gaya hidup pasar yang dituju (Tatik, 2008 : 73). Menurut Kamar, istilah postmodernitas menunjuk pada suatu epos, jangka waktu, zaman atau masa, sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman sejarah. Postmodernisme sebagai bagian dari era 14
Universitas Sumatera Utara
globalisasi, mengarahkan manusia kepada budaya yang baru. Perkembangan postmodernisme tidak hanya mengarahkan pada sisi budaya, akan tetapi intelektual, artistik dan akademik secara spesifik (Mike, 2005 : 87-103). Postmodernisme menunjuk pada satu produk budaya (dalam seni, arsitektur dan sebagainya) yang terlihat berbeda dengan produk budaya manusia modern. Jadi, definisi postmodern meliputi suatu epos sejarah baru, produk budaya baru, serta tipe teori baru yang menjelaskan dunia sosial (Nanang, 2011: 112). Menurut Gidden (Mike, 2005 : 69), budaya postmodern dapat dihubungkan dengan pilihannya dengan strategi menengah yang mencoba untuk melebihi dualitas objektifisme dan relativisme melalui perkembangan ‘ontologi potensial’ sebagai bagian dari teori strukturasinya. Bagi Vattimo (Mike, 2005 : 80), menekankan bahwa postmodern tidak hanya difahami sebagai yang mengartikan suatu perpecahan sejarah yang menunjuk pada suatu gerakan di atas modernitas. Postmodernime melibatkan berbagai gagasan mengenai epoch postmetafisik dan epoch postmodern, dengan penolakkan terhadap ide para modernis tentang perkembangan sejarah, atau titik pandang yang menyatukan yang dapat dihadapkan pada sejarah. Akibatnya selalu ada akhir dari sejarah dan baru sekarang inilah kita dapat mengakui dan menerimanya. Kritik postmodernisme dan penolakkan atas meta-naratif modernitas yang kesemuanya mencoba untuk memasukkan pengertian tentang koherensi dan daya meyakinkan dalam sejarah, menjauhkan kita dari universalisasi menuju kekhususan pengetahuan lokal.
15
Universitas Sumatera Utara
Modernisme merupakan tahap awal yang dilalui sebelum memasuk babak awal postmodern. Hal ini dikemukakan oleh Smart (George, 2007 : 629) ketika membedakan tiga pendirian pemikiran mengenai postmodern, diantaranya : 1. Pendirian yang ekstrem menyatakan bahwa masyarakat modern telah terputus dan sama sekali telah digantikan oleh masyarakat postmodern. 2. Pendirian yang menyatakan bahwa meski telah terjadi perubahan, postmodernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan modernism. 3. Pendirian Smart sendiri yang lebih memandang modernisme dan postmodern sebagai zaman. Dampak dari modernisasi itu sendiri membawa perubahan terhadap masyarakat tradisional, ditandai dengan masuknya teknologi dan media massa. Serta membentuk sistem startifikasi di dalam masyarakat.
Pada masyarakat
modern telah terjadinya pergeseran dalam peluang hidup di berbagai strata sosial. Masyarakat modern mengalami proses diferensiasi dalam kelas sosial. Ketika sistem stratifikasi sosial terbentuk, maka kita tidak dapat memungkiri bahwa terbentuk juga gengsi sosial di dalam masyarakat. Gengsi sosial atau prestise dapat diwujudkan dalam berbagai cara pada masyrakat modern. Gengsi sosial tidak hanya sekedar dari cara berpakaian atau melalui berbagai atribut yang melekat di dalam diri seseorang, tetapi juga melalui bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi, tempat rekreasi, tempat belanja, tempat makan, serta merek baju yang digunakan (Nanang, 2011: 96).
16
Universitas Sumatera Utara
Menurut Baudrillard, ini dikarenakan setiap individu dalam suatu masyarakat mengalami diferensiasi, diskriminasi sosial dan di setiap organisasi struktural akan mendasarkan pada penggunaan dan distribusi harta kekayaan. Posmodernitas menurut Baudrillard adalah dunia yang penuh dengan simbol dan citra. Termasuk dalam konsumsi. Ketika orang mengkonsumsi, maka yang dikonsumsi sebenarnya bukan nilai barang, namun citra atas barang tersebut. Citra atas suatu barang yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaimana barang tersebut
dapat
mempengaruhi
diri
individu
atau
kelompok
ketika
menggunakannya, dengan kata lain membawa status bagi orang yang memakainya. Dalam pandangan Baudrillard, kapitalisme akhir memanfaatkan mesin hasrat tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat konsumerisme. Praktik-praktik konsumsi selanjutnya menjadi gaya hidup masyarakat. Konsumsi menjadi cara pandang (baru) masyarakat. Menurut Baudrillard, masyarakat konsumsi merupakan konsep kunci dalam pemikirannya untuk menunjukkan gejala konsumerisme yang sangat luar biasa dan telah menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern melalui yang menjadi objek konsumsi, yakni barang dan jasa. Masyarakat konsumsi menjadi topik diskusi oleh Baudrillard
dengan melihat dampak dari globalisasi yang
semakin meluas di seluruh dunia. Terjadinya globalisasi, dipicu oleh adanya sistem kapitalisasi di berbagai sektor kehidupan, seperti ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Namun, dalam pembahasan kali ini paham kapitalisme diangkat berdasarkan sektor ekonomi, yang mempengaruhi pangsa pasar di dunia (Nanang, 2011 : 130).
17
Universitas Sumatera Utara
Baudrillard menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat. Dalam pandangannya produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang. Musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas). Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat. Bourdieu (Mike, 2005 : 107) menyatakan bahwa pencarian mereka akan perbedaan melalui gaya hidup, kehidupan yang sesuai dengan mode dan ekspresif, menjadikan dapat ditemukannya sikap yang khas oleh hampir setiap orang, demikian juga permainan yang khas serta kekayaan batin yang sebelumnya merupakan ciri dari kaum intelektual. Terkait dengan konsumsi yang terbentuk dari kapitalisasi, maka kita membahas mengenai startifikasi sosial. Startifikasi sosial membahas lapisan yang terbentuk akibat konstruksi sosial. Di dalam startifikasi sosial, terbentuk pembagian lapisan atau yang pada umumnya disebut pembagian kelas. Masyarakat yang berada dalam kelas sosial yang berbeda cenderung mempunyai sikap dan perilaku yang berbeda, sebaliknya mereka yang berada dalam kelas sosial yang sama cenderung mempunyai persamaan sikap. Menurut (Tatik, 2008 ; 262-265) Di Indonesia, kelas sosial dibagi menjadi tiga, yakni : 1.1 Kelas sosial atas, yang terdiri dari : a. Atas atas b. Atas menengah c. Atas bawah 2.1 Kelas menengah, yang terdiri dari : 18
Universitas Sumatera Utara
b. Kelas menengah c. Kelas pekerja 3.1 Kelas bawah, yang terdiri dari : a. Kelas bawah b. Kelas bawah bawah Pembagian ini menggambarkan bahwa kelas sosial memiliki sifat yang berjenjang, ada yang paling rendah, mengah dan tinggi. Kelas sosial bawah dikelompokkan
lagi
berdasarkan
tingkat
kemiskinananya
yang
pengelompokkannya didasarkan pada kebijakkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup kelas sosial kelompok ini. Namun, setiap individu ataupun kelompok dapat mengalami perubahan posisi kelas. Hal ini menyatakan bahwa kelas sosial bersifat dinamis. Di mana dalam segi ekonomi, konsumen dapat berubah menjadi lebih tinggi (naik) atau lebih rendah (turun), yang disesuaikan dengan pola konsumsi dan gaya hidup (Tatik, 2008 : 262-265). Lapisan kelas tersebut juga dapat terbantahkan oleh Fenomena batu akik belakangan ini, dimana tidak ada lagi sekat pembagian kelas, baik itu tinggi menengah maupun rendah, karena semua kelas dapat menyatu asalkan dalam satu kepentingan yang sama yakni, penggemar batu akik. Maka dalam penelitian ini kita dapat lebih detail mengetahui apakah lapisan kelas juga bisa mempengaruhi pada konsumsi batu akik yang akan saya teliti.
19
Universitas Sumatera Utara
2.3
Budaya Populer Mendefinisikan
budaya
populer
adalah
dengan
mempertimbangkan
budaya tertinggal (rendah) Budaya populer menurut definisi ini
merupakan
kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya populer didefinisikkan sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya populer meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Sebagai contoh, kita bisa berpegang pada kompleksitas formal sebuah budaya populer. Kita juga bisa mempertimbangkan kebermanfaatan moralnya sebagai metode untuk menerapkan pertimbangan nilai tersebut. Kritik budaya yang lain bisa juga menyatakan bahawa pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam tinjauan kritis terhadap teks atau
praktiknya.
Namun
untuk
menentukan kebermanfaatan sesuatu cara budaya tidak semudah yang dipikirkan orang. Salah satu kesulitan besar yang dihadapi adalah bagaimana caranya menjaga ekslusivitas budaya tinggi. Secara harfiah, sangat sulit mengesampingkan ekslusivitas audiens suatu budaya tinggi (Storey, 2003: 11).
Pierre Bourdieau pernah mengatakan
bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan kelas. ”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah ”kelas” dalam hal ini diposisikan dalam aarti ganda, yaitu kategori
sosial
ekonomi dan tingkat kualitas tertentu).
20
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bourdieu satu contoh. ”konsumsi budaya”. Baginya konsumsi budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau
tidak
untuk
tujuan
memenuhi fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial (Bourdieu, 1984: 5). Pembatasan ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya populer adalah budaya komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh karena itu budaya tinggi adalah budaya
yang mendapatkan
penerimaan
moral
dan
estetis
yang
lebih,
sementara budaya populer malah mendapatkan pengawasan secara sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikanbnya. Apapun metode yang digunakan oleh mereka yang ingin membedakan antara budaya tinggi dan populer, pada dasarnya mereka sama-sama bersikukuh bahwa perbedaan di antara keduanya memang sangatlah jelas (Storey, 2003: 12). Lebih jauh, perbedaan itu bukanlah hanya sangat jelas, akan lebih bersifat abadi karena sepanjang waktu. Hal ini terutama berlaku jika perbedaan itu bergantung pada sifat-sifat yang dianggap esensial. Sebenarnya ada
beberapa
kekeliruan
dalam pembatasan tersebut. Misalnya William
Shakespeare, sekarang dianggap sebagai pelopor budaya tinggi, padahal pada zamannya karyanya ini hanya dianggap tidak lebih sebuah teater pop. Begitu juga dalam persoalan yang sama terjadi pada Charles Dickens. Mendefinisikan
budaya
populer
sebagai ”budaya massa”.Definisi
tersebut sangat tergantung pada definisi sebelumnya. Mereka menyatakan budaya pop adalah ”budaya massa” dengan tujuan menegaskan bahwa budaya massa secara komersial tidak bisa diharapkan. Ia diproduksi massa untuk konsumsi massa. Audiaensnya adalah sosok-sosok
konsumen
yang
tidak
21
Universitas Sumatera Utara
memilih. Budaya itu sendiri dianggap hanya sekedar rumusan, manipulatif (misalnya,
politik
kanan/kiri
yang
tergantung
pada
siapa
yang
meganalisisnya). Budaya ini dikonsumsi oleh tanpa dipikirkan panjang. John Fiske
mengungkapkan
”antara
80-90%
produk
baru
gagal
walaupun
diiklankan dengan kuat....beberapa film gagal kembali modal meskipun hanya biaya promosinya sangat besar (Fiske, 1989; 31). Fiske mengemukakan bahwa 80% album single mengalami kerugian. Statistik seperti ini seharusnya mengundang pertanyaan tentang gagasan ”konsumsi budaya” sebagai aktivitas yang pasif dan otomatis. Mereka yang bekerja dalam perspektif budaya massa biasanya akan memikirkan ”massa keemasan” manakala masalah budaya jauh berbeda dari apa
yang difahami
sebelumnya. Hal ini biasanya muncul dala dua bentuk; (1) komunitas yang kehilangan organisasinya, atau (2) budaya yangkehilangan daerahnya. Namun seperti diungkapkan oleh Fiske; ”dalam masyarakat kapitalis tidak ada yang disebut
sebagai
budaya
daerah
yang
otentik
untuk mengukur
”ketidakotentikan” budaya massa, yang menyesalkan hilangnya otensitas sebagai akibat kegagalan nostalgia romantik (Fiske, 1989: 27). ”Hal ini juga berlaku pada komunitas organik ”yang hilang”. Mazhab Frankfurt, secara paradoks menempatkan masa keemasan yang hilang ini tidak pada masa lampau , tetapi masa depan. Dalam beberapa kritik budaya
yang ada dalam parigma
budaya
massa, budaya massa bukan hanya sebagai budaya terapan untuk kaum miskin,
tetapi
juga
bisa diidentifikasi sebagai budaya yang diimpor dari
“Amerika:”jika kita hendak menemukan budaya dalam bentuk modernnya..., 22
Universitas Sumatera Utara
lihatlah kota-kota besar Amerika terutama “New York” (Malthy, 1989; 11). Pernyataan
bahwa
budaya
populer
merupakan
budaya
massa Amerika,
mempunyai sejarah yang panjang dalam pemetaan teoretis budaya populer. Budaya massa ala Amerika ini seringkali muncul dalam istilah ”Amerikanisasi”. Pengkajian dalam hal ini termasuk merosotnya budaya Eropa Barat di bawah hegemonisasi budaya Amerika. Ada dua hal yang bisa kita katakan tentang
kepercayaan
diri
Amerika
dan budaya populer. Pertama, seperti
diungkapkan oleh Andrew Ross ”budaya populer secara sosial dan kelembagaan telah berpusat di Amerika dengan jangka waktu yang lebih lama dan lebih signifikan dibanding di Eropa”. Kedua, pengaruh budaya Amerika
di seluruh dunia sudah
tidak
diragukan lagi, tetapi hakikat pengaruh itu sangat kontradiktif. Yang benar adalah pada tahun 1950-an oleh pemuda Eropa Barat (khususnya Inggris), budaya Amerika dimenjaadi sarana liberalisasi menentang ketentuan kaku aturan kehidupan ala budaya Eropa Barat. Hal lain yang cukup jelas adalah bahwa
ketakutan
terhadap Amerikanisasi sangat erat kaitannya dengan
ketidakpercayaan dalam munculnya berbagai bentuk budaya populer. Terdapat versi lunak darui perspektif budaya massa ini. Teks dan praktik budaya populer lebih dilihat dari sebagai fantasi publik. Budaya populer dianggap sebagai dunia impian kolektif. Seperti diungkapkan oleh
Richard
Malthy,
budaya populer memberi ruang bagi ”eskapisme yang bukan hanya lari dari, atau ke tempat tertentu, tetapi suatu pelarian dari utopia kita sendiri” (Maltby, 1989; 14). Dalam hal ini, praktik budaya seperti hari ini Raya Idul Fitri maupun liburan lainnya bisa dikatakan berfungsi layaknya sebuah mimpi. 23
Universitas Sumatera Utara
Mereka
mengartikulasikan
dalam
bentuk
yang
tersamar
secara
kolektif (tetapi dalam relasi menekan dan tertekan, keinginan dan harapan). Inilah versi lunak dari kritik budaya massa. Maltby mengungkapkan: Kalau hal ini disebut kejahatan budaya populer karena merampas angan-angan kita kemudian mengemas dan menjualnya kembali kepada kita, maka ia juga adalah prestasi, budaya pop yang telah membawa kita pada berbagai angan-angan selain pada angan-angan yang sudah kita kenal (Maltby, 1989: 14). Makna yang lain yakni bahwa budaya populer adalah budaya yang berasal dari ”rakyat”. Ia mengangkat masalah ini melalui beranggaapan
pendekatan
yang
bahwa budaya populer adalah sessuatu yang diterapkan pada
”rakyat” dari atas. Budaya populer adalah budaya otentik ”rakyat”. Budaya pop seperti halnya budaya daerah merupakan dari rakyat untuk rakyat. Definisi populer dalam hal ini seringkali dikait-kaitkan dengan konsep romantisme budaya kelas buruh yang kemudian ditafsirkan sebagai sumber utama protes simbolik dalam kapitalisme kontemporer (Benet, 1982; 27). Namun ada satu persoalan dengan pendekatan ini yakni pertanyaan tentang siapa yang termasuk dalam kategori ”rakyat”. Persoalan lainnya adalah hakikat wacana dari mana asal-usul budaya itu terbentuk. Tidak peduli beraapa banyak
kita memakai definisi ini, fakta membuktikan bahwa rakyat tidak
secara spontan mampu menghasilkan budaya dari dari bahan-bahan material yang mereka buat sendiri. Apapun budaya populer itu, yang pasti
bahan
mentahnya disediakan selalu secara komersial. Pendekatan ini cenderung menghindar dari kesimpulan ini.
24
Universitas Sumatera Utara
Analisis mengenai judul penulis dapat dikaitkan bahwa budaya populer dikarenakan adanya media massa yang menyalurkan informasi mengenai batu akik
yang
dapat
mengenyampingkan
budaya
populer
mainstream dan
memasukkan batu akik dalam budaya populer yang baru.
2.4
Teori Fetisisme Komoditas Fetisisme pada komoditas merupakan rangkaian dari proses konsumsi pada
produk setelah perilaku konsumsi menjadi bersifat konsumtif dan berkembang menjadi gaya hidup (Mulvey, 1993; 1996). Fetisisme berkaitan erat dengan konsumtivisme, atau kondisi di mana seorang individu, sebagai konsumen, mengkonsumsi barang di luar kebutuhan riilnya. Dalam perspektif Teori Kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika menganalisis mengapa individu yang terdominasi dapat menerima dan mengadopsi kepercayaan yang dapat mendukung dan
mereproduksi
status
quo
kapitalisme.
Tesis
Marx
ini
selajutnya
dikembangkan menjadi terfokus pada operasionalisasi berbagai komoditas yang dihasilkan kapitalis dalam membentuk kepercayaan individu yang terdominasi. Bagi Marx, cara seorang individu menerima dan mengalami dominasi kapitalis, berbeda dari cara bagaimana sistem kapitalisme itu bekerja (Marx, dalam Lloyd, 2008). Dengan demikian, berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem kapitalisme, dalam Teori Fetisisme Komoditas, yang menjadi fokus adalah bagaimana kapitalisme bekerja membentuk kepercayaan pada tataran individu. Fetisisme terjadi apabila konsumsi individu terhadap suatu produk tidak berada
25
Universitas Sumatera Utara
pada level yang dibutuhkan, tetapi pada level di mana individu tersebut bahkan tidak mengetahui fungsi utama produk tersebut. Pada fetisisme komoditas, kebutuhan seorang individu didominasi dan dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang diperoleh dari komoditas tersebut (Ripstein, 1987). Dalam relevansinya dengan kapitalisme, fetisisme menjadi salah satu pondasi yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan dan abadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bourdieu (1989) melalui teori distingsi sosialnya bahwa status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu-individu di dalamnya melalui cara konsumsi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Akar konseptual Teori Fetisisme Komoditas berasal dari pemikiran Karl Marx. Komodifikasi bisa berfungsi mengamankan dominasi modal ekonomi. Menurut Marx, asal mula fetisisme komoditas adalah hasil usaha kerja manusia yang diobjektifikasi. Hubungan antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri dihadirkan sebagai suatu hubungan sosial sosial yang tidak hanya terjadi di antara produsen itu sendiri, tetapi juga di antara berbagai hasil produksi mereka. Hasilhasil usaha tersebut menjadi sebuah komoditas yang seolah menjelma sebagai entitas otonom dan menjalin relasi sosial di antara mereka. Berbagai komoditas tersebut seolah memiliki wujud jiwa yang nyata, memiliki sifat dapat ditangkap sekaligus tidak dapat ditangkap oleh kemampuan indrawi. Meskipun sebenarnya perwujudan komoditas tersebut hanyalah pendefinisian manusia yang mengambil wujud fantastis dari suatu hubungan di antara benda-benda hasil produksi tersebut. Inilah yang disebut Marx sebagai fetisisme, yang merekatkan manusia
26
Universitas Sumatera Utara
pada hasil-hasil kerja ketika diproduksi sebagai komoditas (Marx, 1963 dalam Strinati, 2007: 63). Fetisisme komoditas merupakan cara bagaimana produsen menunjukkan bahwa asas pertukaran dapat memaksakan kekuatannya secara khusus dalam dunia benda-benda budaya (Adorno, 1991, dalam Strinati, 2007). Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena roda eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di mana masyarakat merasa bahwa konsumsi yang dilakukan merupakan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Cara yang dilakukan kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya melalui fetisisme komoditas ialah mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia dengan
‘kebutuhan’
semu
untuk
melakukan
pertukaran
yaitu
dengan
mengkonsumi berbagai komoditas yang dihasilkan para produsen kapitalis tersebut. Dengan demikian, dalam fetisisme komoditas, asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat dengan cara menyamarkan dirinya sebagai objek kenikmatan (Strinati, 2007). Menurut Bourdieu, pola konsumsi individu dalam masyarakat kapitalis modern ini dapat mereproduksi kapitalisme dalam dua jalan. Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme.
Bourdieu
menyebutkan bahwa yang diciptakan fetisisme sebenarnya tak lebih dari differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah dan jarak sosial antara keduanya selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu kelas atas. Dengan demikian, differensiasi sosialmelalui fetisisme ini menjadi kontributor utama dalam kelanggengan dominasi kapitalis. 27
Universitas Sumatera Utara