BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pajak
2.1.1
Pengertian Pajak Terdapat beberapa definisi pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli,
yaitu: Menurut Mohamad Zain (2007:10) menjelaskan bahwa: “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan umum undang-undang dengan tidak mendapatkan pretasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Menurut Mardiasmo (2011:92) menjelaskan bahwa: “Pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada jasa timbal balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Sedangakan pengertian pajak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 ayat (1), adalah: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dan ketiga definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri atau unsur pokok yang terdapat pada pengertian pajak, yaitu: 9
10
1.
Pajak
dipungut
berdasarkan
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontrapretasi individual oleh pemerintah.
3.
Pajak dipungut oleh negara baik pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
4.
Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
5.
2.1.2
Berfungsi sebagai budgeter dan regulerend.
Fungsi Pajak Terdapat dua fungsi pajak dalam menjalankan pemerintahan yaitu:
1.
Fungsi Budgeter (Fungsi Pemerintahan) Yaitu
sumber
dana
yang
diperuntukan
bagi
pembiayaan
negara/pemerintah, misalnya dimasukannya pajak ke dalam APBN sebagai sumber dana pemerintah dalam negeri. 2.
Fungsi Regulerend (Fungsi Mengatur) Yaitu sebagai alat yang digunakan untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan bidang sosial dan ekonomi, misalnya dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dan barang mewah.
11
2.1.3
Pembagian pajak Menurut Waluyo (2011) berdasarkan jenisnya pajak dikelompokan
menjadi 3, yaitu: 1.
Menurut Lembaga Pemungutan a. Pajak Negara (Pemerintahan Pusat) Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah pusat dan dipergunakan untuk membiayai Rumah Tangga Negara. Misalnya, PPN, PPnBM, Bea Materai, PBB, Cukai, Bea Masuk, dan Pajak Ekspor. b. Pajak Daerah Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai Rumah Tangga Daerah. Misalnya, Pajak reklame, dan Pajak Pertunjukan.
2.
Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif Yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objeknya dengan memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Misalnya, PPh. b. Pajak Objektif Yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak. Misalnya, PPN, PBB, Bea Materai.
12
3.
Menurut Golongannya a. Pajak Langsung Yaitu pajak yang pembebananya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Misalnya, PPh. b. Pajak Tidak Langsung Yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Misalnya, PPN.
2.1.4
Cara Pemugutan Pajak Menurut Waluyo (2011) mengemukakan tentang cara pemungutan
pajak dilakukan berdasarkan pada tiga stelsel, yaitu: 1.
Stelsel Nyata (Rill stelsel) Pengenaan Pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, setelah penghasilan yang sesungguhnya dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini lebih realistis. Kelemahannya pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan rill diketahui).
2.
Stelsel Anggapan (Fictif stelsel) Pengenaan Pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnnya, sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan.
13
Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun pajak berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan sebenarnya. 3.
Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada menurut anggapan, maka wajib pajak harus melunasi kekurangannya. Demikian pila sebaliknya, apabila lebih kecil maka wajib pajak dapat meminta kembali kelebihan pajak yang telah dibayar.
2.1.5
Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga jenis seperti yang
diungkapkan oleh Waluyo (2011), yaitu: 1.
Official Assessment System Yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
14
b. Wajib pajak bersifat aktif c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2.
Self Assessment System Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya: a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri. b. Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang tarutang. c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3.
With Holding System Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga pihak selain fiskus dan wajib pajak.
15
2.1.6
Subjek Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 2 adalah : (1)
Yang menjadi subjek pajak adalah : a. Orang pribadi; Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. b. Badan. c. Bentuk usaha tetap.
(1a) bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
(3)
Subjek pajak dalam negeri adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : 1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan;
16
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; 4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan c. Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. (4)
Subjek pajak luar negeri adalah : a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memparoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(5)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yag berada
17
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak berkedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : a. Tempat kedudukan manajemen; b. Cabang perusahaan; c. Kantor perwakilan; d. Gedung kantor; e. Pabrik; f. Benkel; g. Gudang; h. Ruang untuk promosi dan penjualan; i. Pertambangan dan penggalian sumber alam; j. Wilayah kerja pertambahan minyak dan gas bumi; k. Perukanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; l. Pertambangan dan penggalian sumber alam; m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan; n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
18
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan bertempat kedudukam di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia; dan p. Komputer agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. (6)
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
2.1.7
Objek Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesi Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, pasal 2 ayat (1) : (1)
yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiunan atau imbalan
19
badan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UndangUndang ini; b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun; 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan keagamaan, badan pendididkan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penugasan diantara pihak – pihak yang bersangkutan;
20
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak pengembangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau pemodalan dalam perusahaan pertambangan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajaka; f. Bungan termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah; l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktifa; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usahannya atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari peghasilan yang belum dikenakan pajak;
21
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah; r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; s. Surplus Bank Indonesia;
2.2
Pengetahuan pajak Pengetahuan memiliki arti yang luas sehingga sulit untuk menentukan
definisi yang pasti. Berikut ini beberapa definisi mengenai pengetahuan: 1.
“Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; kepandaian” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003).
2.
“Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga” (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan pajak dapat diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki
oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan tentang peraturan perpajakan yang ada di Indonesia. Seberapa luas pengetahuan pajak oleh wajib pajak tentang perpajakan yang ada. Menurut Supriyanti dan Hidayat (2008) terdapat beberapa indikator bahwa Wajib Pajak perlu mengetahui peraturan perpajakan, sebagai berikut:
22
1.
Wajib pajak mengetahui bahwa pajak diatur oleh Undang-Undang Pajak tidak lepas dari peraturan yaitu Undang-Undang Perpajakan dimana segala hal yang berhubungan dengan pajak sudah ada dalam Undang-Undang. Maka dari itu Wajib Pajak tidak dapat menganggap pembayaran pajak adalah hal tidak berhukum.
2.
Pengetahuan mengenai hak dan kewajiban sebagai wajib pajak Masyarakat perlu mengetahui bahkan memahami hak dan kewajiban mereka sebagai wajib pajak, maka mereka akan melakukan
kewajibannya
untuk
membayar
pajak
dengan
sendirinya. 3.
Kepemilikan NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pada dasarnya harus dimiliki oleh setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas batas penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). NPWP merupakan sarana pengadministrasian pajak.
4.
Pengetahuan dan memahami tata cara menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang. Sesuai dengan tax reform yaitu adanya perubahan sistem perpajakan yang digunakan yaitu self assessment system, pengetahuan dan pemahaman mengenai PTKP, PKP dan tarif pajak sangat penting karena wajib pajak akan mampu menghitung sendiri jumlah pajak terutangnya.
23
5.
Pengetahuan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) SPT merupakan surat yang wajib disampaikan atau dilaporkan oleh wajib pajak mengenai perhitungan pajak terutang serta pembayaran pajak, oleh karena itu, pengetahuan wajib pajak mengenai SPT sangat penting.
6.
Pengetahuan mengenai sanksi perpajakan Pengetahun wajib pajak mengenai sanksi perpajakan dapat berpengaruh terhadap kemauan wajib pajak untuk membayar pajak, karena wajib pajak akan dirugikan oleh sanksi tersebut apabila wajib pajak melalaikan kewajiban perpajakannya.
2.3
Sistem Administrasi Perpajakan
2.3.1
Pengertian Administrasi Perpajakan Menurut Nurmantu (1998:53). Administrasi pajak mempunyai dua arti
yaitu: a. Administrasi pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan manajemen publik. b. Administrasi pajak dalam asti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan dikantor fiskus maupun dikantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing).
24
Sedangkan Mohammad Zain (2004:49) yang mengemukakan bahwa: “Administrasi perpajakan adalah bagian dari administrasi negara, yang merupakan keseluruhan aparat perpajakan beserta kegiatan yang dilakukan oleh aparat perpajakan dan pemotong/pemungut pajak di luar aparat perpajakan dari suatu negara, dalam usaha mengelola dan menghimpun penerimaan pajak beserta pengaturan lainnya sehubungan dengan perpajakan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Dan menurut Ensiklopedi perpajakan yang ditulis oleh Sophar Lumbanturun (2005:19) Administrasi Perpajakan yaitu: “Administrasi perpajakan (tax administration) ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak”.
2.3.2
Sistem Administrasi Perpajakan Indonesia Sistem administrasi perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak
diperlukan adanya sistem yang disetujui oleh masyarakat, fiskus maupun pemerintah. Sistem yang disetujui kelak menjadi dasar pelaksanaan perpajakan fiskus dan wajib pajak. Sistem perpajakan di suatu negara terdiri dari tiga unsur yang berkaitan satu dengan yang lainnya yaitu tax policy, tax low dan tax administration. Sistem administrasi perpajakan di Indonesia telah mengalami reformasi pajak sebanyak tiga kali yaitu tahun 1983,1994 dan tahun 2000. Sistem administrasi yang berlalu di Indonesia adalah Self Assessment System. Sistem self assessment system ini merupakan sistem pemungutan pajak yang
memberikan
kepercayaan
kepada
Wajib
Pajak
(WP)
untuk
menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak
25
yang seharusnya terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, sedangkan fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan. Sistem administrasi perpajakan mengalami reformasi perpajakan secara terstruktur. Dimulai dari reformasi perangkat lunak, perangkat keras serta kualitas SDM. Reformasi perangkat lunak adalah perbaikan struktur organisasi, sistem operasi hingga proses pengawasan agar efektif dan efisien. Perangkat keras berupa perbaikan sarana dan prasaranan yang menunjang mutu dalam upaya modernisasi. Terakhir adalah kualitas SDM dilakukan dengan pelaksanaan test yang ketat, penempatan pegawai sesuai kapasitas, pelatihan serta program pengembangan self capacity. Hal tersebut di atas telah diterapkan oleh Direktorat Jendral Pajak, seperti adanya perbaikan pelayanan dengan dibentuknya Account Representative (AR) dan Compliant Center, adanya kemajuan teknologi (e-filling, e-payment, eregistration, dan e-counceling).
2.3.3
Asas Ease of Administration dalam Pemungutan Pajak
2.3.3.1
Asas Ease of Administration Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di
suatu negara. Sukses tidaknya pemerintah dalam pemungutan pajak tergantung pada efisiensi dan efektifitas pelaksanaan administrasi perpajakannya. Dalam pemungutan pajak, asas ease of administration atau asas kemudahan administrasi sangat berhubungan dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau menyetorkan pajak terutangnnya. Sistem administrasi perpajakan yang tidak
26
efektif dan efisien akan menimbulkan kerugian-kerugian yang membuat pemungutan pajak terasa semakin membebankan bagi wajib pajak. Hal ini tentu akan membuat wajib pajak semakin enggan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Banyak tokoh pemikir yang telah merumuskan aspek-aspek dalan asas ease of administration, salah satu tokoh yang membahasnya secara komprehensif adalah Rosdiana (2010) beliau menggambarkan asas ease of administration dengan beberapa indikator sebagai berikut: 1.
Asas Certainty Asas certainty ini berhubungan dengan aspek hukum atau ketentuan
perundang-undangan dalam sistem perpajakan. Pemungutan pajak harus ada kepastian hukum sehingga dapat dihindari tindakan sewenang-wenang dan tindakan kompromi antara wajib pajak dan petugas pajak Frizt Neumark mengungkapkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam sistem perpajakan harus dapat dipahami (comprehensible), tidak boleh menimbulkan keragu-raguan atau penafsiran yang berbeda, tetapi harus menimbulkan kejelasan (must be unambiguous dan certain), baik bagi wajib pajak maupun fiskus. Mansury menjelaskan bahwa dalam asas certainty terdapat empat hal yang perlu diperhatikan, yaitu (i) harus pasti siapa yang dikenakan pajak (subyek), (ii) harus pasti apa yang menjadi dasar pemungutan pajak (obyek), (iii) harus pasti berapa jumlah yang dibayar (tarif), dan (iv) harus pasti bagaimana cara pembayarannya (prosedur).
27
2.
Asas Convenience Asas convinience berhubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh
fiskus kepada wajib pajak, baik berupa kenyamanan dan kemudahan prosedur hingga waktu pemungutan yang sesuai dengan kondisi waji pajak. E. R. A. Seligman mengungkapkan bahwa prinsip convenience berhubungan dengan pernyataan tentang bagaimana pajak itu dibayar, kapan harus dibayarkan, kemana harus dibayarkan, dan dalam kondisi bagaimana pajak itu dibayarkan. 3.
Asas Efficiency Kaidah efficiency dimaksudkan supaya pemungutan pajak hendaknya
dilaksanakan dengan sehemat-hematnya jangan sampai biaya-biaya memungut pajak menjadi lebih tinggi daripada hasil pungutan pajaknya. Rosdiana (2010) menyatakan bahwa efisiensi dapat dilihat dari sisi fiskus dan wajib pajak. Secara keseluruhan pemungutan pajak dapat dikatakan efisien jika cost of taxation-nya rendah. Indikator cost of taxation adalah: a. Comliance cost b. Administrative cost c. Deadweight efficiency loss from taxation d. The excess burdeb of tax evasion e. Avoidance cost
28
2.3.3.2
Pentingnya Asas Ease of Administration dalam Pemungutan Pajak Seperti telah diungkapkan sebelumnya, administrasi perpajakan
berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara. Ease of administration sangat berhubungan dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayar atau menyetorkan pajak terutangnnya. Sistem administrasi perpajakan yang efektif dn efisien akan menimbulkan kerugian-kerugian yang membuat pemungutan pajak terasa semakin membebankan bagi wajib pajak. Hal ini tentu akan membuat wajib pajak semakin enggan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Penyimpangan dalam administrasi pajak berpotensi membawa pola hubungan yang menyimpang di antara aktor pajak, yakni aparat pajak dan wajib pajak. Administrasi pajak yang memiliki banyak kelemahan akan berpengaruh pada tidak optimalnya penerimaan negara. Sistem administrasi pajak yang baik berkorelasi positif dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan kewajibannya sebagai wajib pajak. Sistem administrasi pajak perlu dikembangkan secara kontinyu agar dapat memotivasi wajib pajak. Pengembangan tersebut akan menyebabkan meningkatnya penerimaan pajak. Konsep dan implementasinya di Indonesia
menyatakan bahwa
pengorganisasian sistem perpajakan melalui administrasi yang baik membawa konsekuensi politik bagi membaiknya hubungan antara negara dan rakyat. Apabila administrasi memenuhi kriteria sosial sebagai kompensasi yang diterima rakyat, nilai kepatuhan wajib pajak akan lebih baik.
29
2.4
Kepatuhan Wajib Pajak Menurut
keputusan
Menteri
Keuangan
No.
544/KMK.04/2000
menyatakan bahwa : “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”. Kesadaran untuk menjadi wajib pajak yang patuh merupakan salah satu kepatuhan terhadap hukum. Kepatuhan terhadap pembayaran pajak termasuk tertib terhadap hukum perpajakan dimana disebutkan hukum perpajakan tidak pandang bulu dan tidak luput dari perkecualian baik dimana saja serta siapa saja semua sama berdasarkan ketentuan hukum perpajakan yang berlaku untuk menghindari sanksi administrasi yang akan merugikan wajib pajak sendiri. Pengukuran efisiensi dan efektifitas administrasi perpajakan yang lebih akurat adalah berapa besarnya jurang kepatuhan (tax gap), yaitu selisih antara penerimaan yang sesunguhnya denga pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor pepajakan. Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban penpajakan yang sesuai. Menurut Norman D Nowak dalam buku Moh. Zain (2004:45), kepatuhan wajib pajak memiliki pengertian yaitu: “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana:
30
1.
Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3.
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4.
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Nurmantu (2007:148), mendefinisikan kepatuhan perpajakan adalah: “Suatu Keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakannya dan melaksanakan hak perpajakannya”.
Menurut Ony dkk (2008:69), tentang Pengertian Kepatuhan yaitu: “Kepatuhan Perpajakan merupakan kataantan, tunduk dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Terdapat dua macam kepatuhan, menurut Nurmantu (2007:149) yaitu: 1. Kepatuhan Formal, adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. 2. Kepatuhan material, yaitu suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal.
31
Prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sisten self assessment dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007, wajib pajak dimasukkan kedalam kategori Wajib Pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir. b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. d. Dalam
dua
tahun
pajak
terakhir
menyelenggarakan
pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 tahun 2007 KUP pasal 28, dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form
32
report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada huruf a, b, c dan d di atas. Berdasarkan pengertian di atas, kepatuhan mengandung unsur sebagai berikut: 1.
Adanya pengetahuan dan pengertian dari subyek pajak terhadap objek pajak.
2.
Adanya sikap setuju dari sbyek.
3.
Adanya tindakan perbuatan yang konsisten dengan pengetahuan dan sikap yang telah dimilikinya.
Menurut Chaizi Nasuha (2005:45), kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam memperhitungkan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul Penelitian
Sampel
1.
Fitta Amaliasari (2012)
Pengaruh Kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang Peraturan Perpajakan, dan
100 responden Wajib Pajak di KPP Pratama Subang.
Hasil Penelitian Kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang Peraturan Perpajakan, dan Persepsi yang Baik atas Efektifitas Sistem Perpajakan memiliki pengaruh terhadap Kemauan untuk Membayar
33
Persepsi yang Baik atas Efektifitas Sistem Perpajakan terhadap Kemauan untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas
2.
Nazmel Nazir (2010)
Pengaruh Pengetahuan Pajak dan Efektifitas Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Pajak Bumi dan Bangunan
80 orang responden Wajib Pajak Orang Pribadi Pajak Bumu dan Bangunan di KPP Pratama jakarta Pasar Rebo.
3.
Muhamad Septian (2014)
Pengaruh Self Assessment System, Pemeriksaan Pajak dan Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
11 unit responden di KPP Bandung Karees
Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas. Pengaruh Kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang Peraturan Perpajakan, dan Persepsi yang Baik atas Efektifitas Sistem Perpajakan terhadap Kemauan untuk Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Pekerjaan Bebas yaitu sebesar 25,2%. Pengetahuan Pajak dan Sistem Administrasi Perpajakan berpengaruh positif dan signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Pajak Bumi dan Bangunan. Pengaruh Pengetahuan Pajak dan Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Pajak Bumi dan Bangunan yaitu sebesar 52,2%. Self Assessment System, Pemeriksaan Pajak dan Sistem Administrasi Perpajakan tidak berpengaruh signifikan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Kontribusi Pengaruh yang diberikan sebesar 53% dan sisanya sebesar 47% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti.
34
2.5
Kerangka Pemikiran Penerimaan dari sektor pajak adalah sumber penerimaan terbesar
negara. Sebagai salah satu sumber penerimaan negara maka penerimaan pajak terus dipacu agar target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat tercapai. Dengan adanya target penerimaan pajak yang terus meningkat, sudah tentu fiskus sangat berkepentingan untuk mengamankan pendapatan negara dari sektor pajak melalui pengujiankepatuhan Wajib Pajak. Keadaan sosial ekonomi (tingkat Penghasilan, Pendidikan, status), faktor demografi (umur dan jenis kelamin), dan juga faktor lainnya seperti tingkat kepercayaan kepada pemerintah, akan mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan wajib pajak juga terkait dengan tingkat pendidikan. Menurut Mardiasmo (1997), secara teoritis untuk menumbuhkan sikap positif tentang sesuatu hal harus bermula dari adanya pengetahuan tentang suatu hal tersebut. Pengetahuan tentang pajak dapat dilihat dari pengetahuan yang menyangkut cara melaksanakan kewajiban pajak, siapa yang dikenakan, apa yang dikenakan, berapa besaranya, dan bagaimana cara menghitungnya. Suparmono dan Damayanti (2000) menyatakan bahwa wajib pajak harus mengetahui besarnya pajak terhutang, kapan harus membayar dan batas waktu pembayaran. Pengetahuan yang diungkapkan oleh beberapa orang tersebut pada dasarnya pengetahuan tentang pajak yang terkait dengan pengetahuan tentang peraturan perpajakan. Peraturan perpajakan yang dimaksud yaitu, Wajib Pajak mengetahui bahwa pajak diatur oleh Undang-Undang, mengetahui hak dan
35
kewajiban wajib pajak, kepemilikan NPWP, tata cara perhitungan sendiri pajak yang terutang, pengetahuan mengenai Surat Pemberitahuan (SPT) dan pengetahuan mengenai sanksi perpajakan. Faktor pengetahuan wajib pajak memiliki hubungan yang relatif erat dengan tingkat kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya. Kepatuhan wajib pajak dapat lebih ditumbuhkan jika pengelolaan perpajakan juga disiplin, dan aparatur perpajakan bekerja dengan jujur. Administrasi perpajakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka menunjang keberhasilan suatu kebijakan perpajakan yang telah diambil. Kemudahan administrasi perpajakan mencangkup adanya ketentuan untuk tidak melaksanakan sebagian atau seluruh
aktivitas ketatausahaan
perpajakan. Aktivitas ketatausahaan diartiakan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh wajib pajak dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan yang diisyaratkan dalam peraturan perpajakan yang berlaku. Penyederhanaan administrasi perpajakan berarti suatu proses yang meringankan beban administrasi pajak, dari suatu prosedur perpajakan yang rumit dan berbelit-belit menjadi sederhana yang akibatnya akan memberikan kemudahaan administrasi perpajakan bagi wajib pajak. Sistem perpajakan yang diterapkan oleh suatu daerah sangat mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar kewajiban pajaknya. Dalam sistem self assessment ini, wajib pajak harus aktif memenuhi kewajiban perpajakannya mulai dari pendaftaran diri, mengisi SPT, dengan jujur, baik dan benar, sampai dengan melunasi pajak terhutang tepat pada waktunya.
36
Walaupun sudah tersedia ancaman hukuman administrasi maupun pidana bagi wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya, ternyata masih banyak wajib pajak yang tidak atau belum sepenuhnya mematuhi kewajibannya. Hal ini terkait dengan kepatuhan perpajakan atau tax compliance. Wajib
pajak
dengan
sendirinya
akan
melakukan
kewajiban
perpajakannya apabila pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan yang dimilikinya sudah jelas, serta diikuti oleh sistem administrasi yang sederhana dan mudah bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya sebagai bentuk kepatuhan seorang wajib pajak. Dengan adanya hubungan antara pengetahuan pajak, sistem administrasi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak diharapkan dapat memberikan dampak pada kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dituangkan dalam suatu skema kerangka pemikiran sebagai berikut:
37
Pengetahuan Pajak (X1) :
Kepatuhan Wajib Pajak (Y) :
Sistem Administrasi Perpajakan (X2) :
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.6
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dan dukungan teori yang ada
maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha1:
Pengetahuan Pajak berpengaruh signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Ha2:
Sistem
Administrasi
Perpajakan
berpengaruh
signifikan
terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang pribadi. Ha3: Pengetahuan Pajak dan Sistem Administrasi Perpajakan berpengaruh signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.