BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 2.1.1
Konsep Dasar Kepuasan Pelanggan Definisi Kepuasan Kepuasan menurut pakar pemasaran, Kotler (2009) dalam Sutrisni
(2006) didefinisikan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kinerja (hasil) yang ia rasakan dengan harapan-harapannya. Menurut Bitner (2003) bahwa kepuasan adalah evaluasi konsumen terhadap produk atau jasa dimana produk atau jasa tersebut telah memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah hasil dari perbedaan antara tingkat kinerja dan harapan. 2.1.2
Kepuasan Pelanggan Kepuasan pelanggan menurut Hallowell, 1996; Heskett et al., 1990;
Blanchard and Galloway,1994 dalam Jahanshahi et al. 2011 menyebutkan bahwa bahwa kepuasan pelanggan adalah hasil dari persepsi konsumen terhadap nilai yang diterimanya dalam transaksi
atau hubungan, dimana nilai tersebut dirasa sama
dengan persepsi kualitas layanan relatif terhadap harga atau pelanggan biaya akuisisi. Dalam kategori tingkat kepuasan, pelanggan dapat mengalami tingkat kepuasan yang berbeda-beda terhadap pelayanan yang didapatnya. Apabila kinerja berada dibawah harapan maka pelanggan akan merasa kecewa, jika kinerja sesuai harapan maka pelanggan akan merasa puas. Dan apabila kinerja melebihi harapan, maka pelanggan akan
merasa
sangan
puas,
senang
atau
8
gembira.
Terdapat
dua
jenis
9
kepuasan
konsumen
yaitu
kepuasan
fungsional
dan
kepuasan
psikologikal. Kepuasan fungsional adalah kepuasan yang diperoleh dari pemakaian suatu produk. Kepuasan psikologikal merupakan kepuasan yang diperoleh dari atribut yang sifatnya tidak berwujud, salah satunya adalah jasa pelayanan kesehatan. Pelanggan yang telah menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan oleh penyedia jasa atau produk akan merasakan manfaat yang didapatnya yang memberi berpengaruh terhadap perilaku pelanggan dalam keberlangsungan penggunaan jasa atau produk, yang dibagi atas tiga kategori yaitu : 1.
Diskonfirmasi positif Dimana kinerja melebihi harapan yang menghasilkan respon kepuasan yang tinggi dan akan kembali untuk membeli lagi.
2.
Diskonfirmasi sederhana Dimana kinerja sesuai dengan harapan yang menyiratkan suatu respon netral dan mempengaruhi kenginan untuk membeli lagi.
3.
Diskonfirmasi negatif Dimana kinerja lebih rendah dari harapan sehingga tidak ada keinginan untuk membeli lagi. Harapan pelanggan merupakan keyakinan atau standar acuan yang
digunakan oleh perusahaan atau penyedia layanan untuk mengukur kinerja dan juga mutu dari produk atau jasa yang ditawarkan. Apabila pelanggan merasa puas atau sangat puas akan membawa keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. 2.1.3
Mengukur Tingkat Kepuasan Pelanggan Terdapat beberapa cara dan metode untuk mengukur kepuasan
pelanggan, yaitu (Kotler & Keller, 2007a) : 1.
Sistem Keluhan Dan Saran
10
Perusahan memberikan kemudahan bagi pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat dan keluhan mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyediakan kotak saran ditempat-tempat strategis sebagai media penyalur, menyediakan formulir yang berisi keluhan dan saran sehingga perusahaan apat mengetahui gambaran kepuasan pelanggan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan oleh perusahan. 2.
Survei Kepuasan Pelanggan Penelitian umumnya menggunakan survei secara langsung dengan wawancara atau kuesioner sebagai instrumennya untuk mengetahui tanggapan pelanggan. Melalui survei perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik seara langsung bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya. Metode pengukuran survei kepuasan pelanggan dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya : a.
Directly Reported Satisfaction Pengukuran kepuasan dilakukan secara langsung melalui pertanyaanpertanyaan.
b.
Derived Dissatisfaction Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal yaitu besarnya kinerja yang telah mereka rasakan/terima dan besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu.
c.
Problem Analysis Pelanggan diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok, yaitu masalahmasalah yang mereka hadapi dalam menerima penawaran yang diberikan oleh perusahaan atau atau saran-saran yang diperlukan untuk perbaikan pelayanan/penawaran.
11
d.
Importance Performance Analisis Teknik yang dilakukan dengan cara memberi penilaian terhadap penawaran/pelayanan yang diberikan menggunakan derajat pentingnya setiap atribut dengan pemberian skor atau bobot yang telah ditetapkan.
3.
Belanja Siluman (ghost sgopping) Metode yang dilaksanakan dengan cara mempekejakan beberapa orang (ghost shopper) untuk menjadi pelanggan yang berperan sebagai pembeli produk pada perusahaan pesaing sehingga ghost shopper dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan produk perusahaan pesaing berdasarkan pengalamannya serta dapat mengetahui bagaimana cara petugas atau karyawan perusahan berinteraksi dengan pelanggannya.
4.
Analisis Pelanggan Yang Hilang (lost customer analysis) Metode ini adalah metode yang unik dimana perusahaan berusaha menghubungi kembali para pelanggannya yang telah berhenti berlangganan sehingga perusahaan mengetahui faktor penyebab kejadian tersebut. Terdapat beberapa alasan mengapa pengukuran kepuasan pelanggan sangat penting bagi penyedia jasa yaitu : a. Untuk menentukan harapan pelanggan. b. Untuk mengetahui bagaimana pelanggan menikmati produk atau jasa yang diterima dan melakukan identifikasi terhadap apa yang diharapkan pelanggan dari produk atau jasa yang diberikan. c. Untuk menutu kesenjangan antara penyedia jasa atau produk dengan pelanggan dalam penyampaiannya yang dapat mempengaruhi penilaian pelanggan atas kualitas jasa/produk.
12
d. Untuk mengetahui apakah kualitas jasa/produk yang diberikan oleh perusahaan kepada pelanggannya lebih tinggi dari perusahaan pesaing. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan dengan menggunakan metode derived dissatisfaction.
2.1.4
Manfaat Pengukuran Kepuasan Pelanggan Manfaat utama dari pengukuran kepuasan pelanggan adalah tersedianya
umpan balik yang sifatnya objektif dan berarti (Gerson, 2004 dalam Nasution, 2009). Dengan hasil pengukuran perusahaan dapat menilai pelaksanaan/kinerja perusahaan di dalam memberi pelayanan kepada pelanggan dan dapat melakukan perbaikan kinerja perusahaan berdasarkan hasil pengukuran tersebut. Adapun manfaat pengukuran kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut : a.
Pengukuran bisa dijadikan standar kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai yang akan mengarah perusahaan terhadap peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelanggan.
b.
Pengukuran memberikan umpan balik yang segera kepada perusahaan, apabila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana yang memberikan pelayanan.
c.
Pengukuran menyebabkan perusahaan memilik rasa berhasil dan berprestasi yang dapat dijadikan motivasi perusahaan didalam pencapaian produktivitas yang tinggi dan menjadikannya pelayanan yang prima kepada pelanggan.
d.
Pengukuran menjadi alat untuk mengetahui perbaikan mutu pelayanan dan kepusan pelanggan.
13
Untuk itu pengukuran kepuasan pelanggan mutlak dilakukan oleh perusahaan atau penyedia produk/jasa lainnya sebagai tolak ukur keberhasilan dan keberlanjutan pelayanan. 2.2
Konsep Dasar Mutu Pelayanan Kesehatan
2.2.1
Definisi Mutu Pelayanan Kesehatan Menurut Ali Gufran (2007) dalam Machmud (2008), isitilah mutu
memiliki banyak penafsiran yang mungkin berbeda-beda ketika digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau pelayanan tertentu. Mutu pelayanan kesehatan erat kaitannya terhadap subjektivitas individu atau pasien, penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah sehingga akan membentuk pandangan yang berbeda-beda terhadap definisi mutu pelayanan kesehatan. Adapun definisi mutu pelayanan kesehatan menurut para pakar dalam manajemen mutu terpadu (total quality management) adalah sebagai berikut : 1.
Menutut Crosby (1979:58) menyatakan mutu adalah conformance to requirement, yaitu kesesuain dengan yang disyaratkan atau distandarkan.
2.
Menurut Juran (V. Daniel Hunt, 1993:32), mutu produk adalah kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
3.
Mutu adalah gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan kebutuhan kepuasan pelanggan. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan
kesehatan
adalah
kesesuaian
pelayanan
klien/konsumen/pasar atau melebihi harapan.
kesehatan
dengan
kebutuhan
14
2.2.2
Kualitas Pelayanan Kesehatan Kualitas meliputi setiap aspek dari suatu perusahaan dan sesungguhnya
merupakan suatu pengalaman emosional bagi pelanggan. Pelanggan ingin merasa senang dengan pembelian mereka, merasa bahwa mereka telah mendapatkan nilai terbaik dan ingin memastikan bahwa uang mereka telah dibelanjakan dengan baik, dan mereka merasa bangga akan hubungan mereka dengan sebuah perusahaan yang bercitra mutu tinggi (Lovelock & Wright, 2007). Kualitas sangat bersifat subjektif, tergantung pada persepsi, sistem nilai, latar belakang sosiall, pendidikan, ekonomi, budaya, dan banyak faktor lain pada masyarakat atau pribadi yang terkait dengan jasa pelayanan perusahaan tersebut. Kualitas bersifat dinamik dan diasosialsikan dengan produk jasa, proses, orang, lingkungan yang dapat mendapai atau melebihi harapan. Produk atau jasa yang selalu mengacu pada kepuasan pelanggan merupakan kunci utama menjadikan organisai kain mampu bersaing dan menjaga kelanjutan hidup jangka panjang. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan (expected service) dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan (perceived service) oleh pelanggan lain pada masyarakat atau pribadi yang terkait dengan jasa pelayanan perusahaan tersebut (Lovelock & Wright, 2007) Dalam pengukuran mutu pelayanan, harus bermula dari mengenali kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini berarti bahwa gambaran kualitas pelayanan harus mengacu pada pandangan pelanggan dan bukan pada penyedia jasa, karena pelanggan mengkonsumsi dan memakai jasa. Pelanggan layak menentukan apakah pelayanan itu berkualitas atau tidak (Kotler & Keller, 2007b). Menurut Zeithmal, 1985 terdapat sepuluh dimensi kualitas pelayanan, yaitu :
15
1.
Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti organisasi jasa kesehatan memberikan jasanya secara terpat semenjak saat pertama (right the first time). Selain itu juga memenuhi janjinya, misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan jadwal yang disepakati
2.
Responsiveness,
yaitu kemauan atau kesiapan para karayawan untuk
memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan. 3.
Competence, artinya setiap orang dalam suatu organisasi kesehatan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
4.
Access, meliputi kemudahan untuk dihubungkan dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi organisasi mudah dihubungi, dan lain-lain
5.
Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian, keramahan yang dimiliki para contact personnel (seperti resepsionis, petugas pendaftaran, kasir, operator telepon, dan lain-lain).
6.
Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan
7.
Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama organisasi pelayanan kesehatan, reputasi, karakteristik pribadi contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan.
8.
Security, yaitu aman dari bahaya, risiko, atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik, keamanan finansial, dan kerahasiaan.
16
9.
Understanding/knowing the customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan.
10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan. Dalam penelitian-penelitian selanjutnya, Parazuraman, Zeithaml dan Berry, 1985 menemukan adanya kesenjangan diantara beberapa dimensi diatas oleh karena itu disempurnakannya kesepuluh dimensi tersebut menjadi lima dimensi pokok untuk menganalisis kualitas jasa. Kelima komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama ServQual, meliputi: 1.
Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberi pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan.
2.
Responsiveness (ketanggapan). Dimensi ini dimasukkan dalam kemampuan petugas dalam menolong pelanggan dan melayani sesuai dengan prosedur sehingga bisa memenuhi harapan pelanggan. Dimensi ini merupakan dimensi paling dinamis, dimana harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan.
3.
Assurance (jaminan). Dimensi ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan sifat petugas yang dapat dipercaya oleh pelanggan dan mengakibatkan pelanggan terbebas dari risiko.
4.
Emphaty (empati). Dimensi ini terkait dengan rasa kepedulian dan perhatian petugas kesehatan kepada pelanggan, kemampuan untuk memahami kebutuhan mereka dan kemudahan untuk dihubungi saat para pengguna jasa memerlukan bantuan.
17
5.
Tangible (bukti fisik). Dimensi ini berkaitan dengan bukti fisik jasa yang dirasakan
oleh
penggunanya
dengan
menyediakan
fasilitas
fisik
dan
kelengkapan yang memadai. Para penyedia layanan kesehatan akan mampu bekerja secara optimal sesuai dengan keterampilannya masing-masing (Muninjaya, 2011 dalam Riyadi, 2015). Kualitas jasa pelayanan akan sangat ditentukan apabila kebutuhan atau ekspektasi para pengguna jasa bisa terpenuhi dan diterima tepat waktu. Untuk itu para penyedia jasa harus mampu memenuhi harapan pengguna jasa sehingga dapat mencapai kepuasan pelanggan dan terjadinya peningkatan mutu layanan yang diberikan oleh para penyedia jasa. 2.3
Skrining
2.3.1
Skrining atau Deteksi Dini Screening (skrining) adalah suatu upaya atau pemeriksaan untuk mencari
kemungkinan suatu kelainan di antara orang atau sekelompok orang yang tidak mempunyai keluhan atau gejala dari kelainan tertentu (Purwanto, 2012). Ada yang berpendapat bahwa skrining pada kanker identik dengan prevensi sekunder sehingga terapi dapat dilakukan seawal mungkin. Skrining untuk pengendalian penyakit adalah pemeriksaan orang-orang asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori yang diperkirakan mengidap atau diperkirakan tidak mengidap penyakit (as likely or unlikely to have disease) yang menjadi objek skrining. Selain program skrining yang dikaitkan dengan diagnosis dan pengobatan dini, istilah skrining mungkin memiliki pengertian lain, yaitu : a.
Rangkaian pengujian dilakukan terhadap pasien simptomatik yang diagnosisnya belum dapat dipastikan.
18
b.
Agen kimiawi dapat di-skrining denhan pengujian laboratorium atau surveilans epidemiologi untuk mengidentifikasi zat-zat yang diperkirakan bersifat toksik.
c.
Prosedur skrining dapat digunakan untuk mengestimasi prevalensi berbagai kondisi tanpa bertujuan untuk mengendalikan penyakit dalam waktu dekat.
d.
Skrining adalah pengidentifikasian orang yang berisiko tinggi terhadap suatu penyakit. Tujuan skrining adalah menemukan penyakit dalam stadium dini dan
melakukan pengobatan awal sehingga akan mengurangi angka kematian dan keparahan akibat suatu penyakit. Tujuan menjalankan skrining bukan saja mendeteksi awal suatu kelaianan tetapi yang lebih penting adalah membantu agar hidup lebih lama dan lebih baik (Purwanto, 2012). Skrining secara umum bukanlah suatu tes diagnostik. Skrining dilakukan pada orang atau sekelompok orang yang tak mempunyai keluhan klinis untuk menentukan kemungkinan menderita atau kemungkinan tidak menderita. Karena itu, selanjutnya harus dilakukan tes diagnostik pada orang atau kelompok orang yang mungkin menderita itu untuk menetapkan apakah memang betul menderita penyakit. Skrining dapat juga berarti prevensi primer dalam arti mengurangi angka kesakitan; misalnya, mendeteksi dan membuang adenoma pada kolon. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kanker mempunyai prognosis lebih baik bila didiagnosis dan diterapi sedini mungkin dalam perjalanan penyakitnya. Tetapi hal ini tidak cukup untuk dipakai sebagai dasar melakukan skrining kanker di masyarakat. Sejumlah kriteria WHO harus ada untuk memulai program skrining (Wilson dan Junger, 1968 dalam Purwanto, 2012) : a.
Jenis penyakit kankernya harus merupakan problem kesehatan masyarakat dalam frekuensi dan beratnya.
19
b.
Riwayat alami penyakitnya mempunyai peluang untuk dideteksi dini.
c.
Terapi yang efektif untuk fase dini tersedia, dalam arti akan menurunkan causespecific mortality.
d.
Terapi yang diberikan pada masa preklinis (dini) akan lebih efektif dibanding jika terapi dikerjakan setelah ada gejala atau pada fase klinis (lanjut).
e.
Tes atau pemeriksaan skrining dapat dikerjakan di masyarakat, akurat, dapat diterima, mudah dikerjakan, dan relatif tidak mahal. Harus dipikirkan strategi skrining yang terbaik (baik dalam hal populasi target maupun masa/interval skrining).
f.
Harus dipertimbangkan juga kelanjutan skrining yaitu tindakan diagnostik dan pengobatan yang terjangkau.
DETEKSI BIASA
AWITAN Tidak ada penyakit
PREVENSI
PRIMER Hilangkan faktor risiko
Penyakit asimtomatik
SEKUNDER Deteksi dini dan pengobatan
Perjalanan klinis
TERSIER Kurangi komplikasi
Gambar 2.31 Tingkatan Prevensi Penyakit
Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan kepada penyakit tidak menular, seperti kanker, diabetes mellitus, glaucoma, dan lain-lain. Dalam skala tingkatan prevensi penyakit, deteksi dan pengobatan dini ini termasuk dalam tingkat prevensi sekunder (Gambar 2.1).
20
Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi orang-orang asimptomatik yang berisiko mengidap gangguan kesehatan serius. 2.3.2
Prinsip Skrining pada Kanker Meskipun perkembangan kanker sampai saat ini belum sepenuhnya
dimengerti tetapi jelas perkembangan suatu sel normal menjadi suatu kanker tidak secara mendadak; sering dimulai dari perubahan menjadi sel abnormal atau lesi intermediate, seperti Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN), polip kolon, atau ductal Carcinoma In Situ Of The Breast (DCIS ). Lesi intermediate ini belum disebut kanker, tetapi suatu saat dapat menjadi kanker. Jika pada skrining ditemukan fase ini, akan sangat berguna. Di lain pihak, jika lesi intermediate ini (cukup sering) tidak pernah berkembang menjadi kanker, skrining atau deteksi dini dan pengobatan dini sebetulnya tidak dibutuhkan. Karena itu, harus sangat diperhitungkan untung ruginya terutama jika skrining dan pengobatan dini sangat memberatkan penderita. Setelah terjadi kanker, meskipun jenis kanker sama namun perkembangan ke arah kematian sangat bervariasi. Bila perkembangannya progresif maka deteksi dini melalui skrining dan pengobatan dini akan sangat bermakna; tetapi bila perkembangan demikian cepat atau terapi apapun tidak efektif maka skrining dan terapi dini tidak diperlukan. Sebaliknya, beberapa jenis kanker (sering pada jenis kanker yang sama) berkembang sangat lambat dan sering menetap; dalam kondisi ini, skrining dan terapi dini patut dipertanyakan kegunaannya. Secara umum, terdapat anggapan bahwa skrining dan terapi dini pada kanker selalu dibutuhkan karena persepsi bahwa kanker biasanya suatu penyakit yang berkembang terus dan berpotensi menyebabkan
21
kematian. Harus diingat beberapa penderita akan mempunyai survival yang panjang karena sifat kankernya atau karena pengobatan yang efektif. 2.3.3
Mobile Screening Mobile
screening
adalah
layanan
kesehatan
perempuan
yang
memprioritaskan layanan deteksi dini suatu penyakit secara bergerak. Penelitian melaporkan bahwa mobile screening dapat meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan di pedesaan, perkotaan, dan populasi medis yang belum terlayani (Atkins et al., 2013). Skrining secara bergerak lebih mungkin dilakukan jika mereka memiliki akses layanan dengan mudah yaitu layanan mamografi bergerak serta peningkatan kepatuhan terhadap pedoman skrining mamografi (Atkins et al., 2013). 2.4 2.4.1
Mangupura Woman Services (MAWAS) Gambaran Umum Program MAWAS atau Mangupura Woman Services merupakan program
layanan kesehatan perempuan yang memprioritaskan layanan deteksi dini kanker payudara secara bergerak (mobile) dengan sasaran utama Wanita Usia Subur (WUS) di Kabupaten Badung. Layanan ini merupakan layanan inovasi pertama di Bali berupa bus dengan desain khusus yang dilengkapai alat ABVS (Automated Breast Volume Scanner) dan USG 4 Dimensi serta peralatan audio visual untuk promosi kesehatan dengan maksud untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat Badung. Alat ABVS merupakan pendeteksi canggih terhadap penyakit kanker payudara dengan sistem robotic sehingga saat pelayanan pasien tidak merasa sakit. Selain itu masyarakat yang mendapat pelayanan deteksi dini tidak akan dipungut biaya apapun atau gratis karena semua operasional pembiayaannya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Badung.
22
Pelayanan deteksi dini kanker payudara ini akan berkeliling melakukan pelayanan ke seluruh kecamatan di Kabupaten Badung pada hari Selasa dan Kamis sedangkan hari Senin, Rabu dan Jumat bus MAWAS akan bertempat di Dinas Kesehatan Kabupaten Badung. Target yang harus dicapai adalah 1200 orang yang melakukan deteksi dini kanker payudara tahun 2015. Selain melakukan pelayanan deteksi dini kanker payudara bergerak (mobile), Dinas Kesehatan Kabupaten Badung juga bekerjasama dengan pihak Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan penyakit tidak menular seperti pemeriksaan gula darah, asam urat dan kolesterol pada saat pelayanan di desa-desa atau wilayah kerja puskesmas tersebut. Secara teknis, pemeriksaan payudara dengan USG kanker payudara ini dilakukan selama kurang lebih 15-20 menit. Sehingga masyarakat yang datang pada saat melakukan pelayanan harus melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) terlebih dahulu sebelum masuk ke bus MAWAS untuk dilakukannya pemeriksaan USG. Waktu pemeriksaan untuk 1 pasien selama 15-20 menit sehingga yang diutamakan untuk dilakukan USG adalah WUS yang ada benjolan, riwayat keluarga kanker payudara dan adanya keluhan di sekitar payudara. 2.4.2
Tujuan Tujuan yang diharapkan dari Program MAWAS Dinas Kesehatan
Kabupaten Badung adalah : 1.
Untuk menemukan kejadian kanker payudara sedini mungkin sehingga dapat dilakukan pengobatan secara tepat dan cepat
2.
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pencegahan kanker payudara
3.
Untuk menstimulasi masyarakat agar lebih peduli terhadap kanker payudara
23
4.
Untuk mengurangi beban masyarakat dari pembiayaan terhadap ancaman penyakit kanker payudara
5.
Untuk meningkatkan cakupan kinerja program pencegahan penyakit tidak menular khusunya pencegahan terhadap penyakit kanker payudara melalui pemeriksaan payudara dengan USG
2.4.3
Sasaran Sasaran dari Program MAWAS Dinas Kesehatan Kabupaten Badung
adalah Wanita Usia Subur (WUS) yaitu umur 17 tahun ke atas atau yang sudah menarch di Kabupaten Badung. 2.4.4
Pelaksanaan dan Penerapan 1.
Strategi Pelaksanaan Strategi pelaksanaan pencegahan kanker payudara melalui pemeriksaan
payudara dengan USG ini dilakukan dengan rencana aksi berupa sosiallisasi. Sosialliasi ini dilakukan untuk memberikan pengetahuan tentang penyakit, deteksi dini dan upaya pencegahan melalui pemeriksaan payudara dengan USG serta PHBS. Sosiallisasi dilaksanakan kepada seluruh sasaran di Kabupaten Badung. Sosiallisasi yang diadakan bekerjasama dengan YKI Cabang Badung dengan metode langsung melalui penyuluhan secara tatap muka dan metode tidak langsung menggunakan media cetak dan elektronik. 2.
Pelaksanaan Pemeriksaan Payudara dengan USG Pemeriksaan payudara dengan USG kanker payudara di Kabupaten
Badung diresmikan pertama kali pada bulan Desember 2014. Cakupan hasil pelaksanaan pemeriksaan payudara dengan USG kanker payudara di Kabupaten Badung dari Januari sampai Desember 2015 sebanyak 1200 orang. 3.
Kesinambungan
24
Pemeriksaan payudara dengan USG ini telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Badung secara berkesinambungan. Program ini merupakan program pioneer di Kabupaten Badung bahkan di tingkat nasional sehingga dituntut selektif dalam penggunaan dana tetapi dalam pelaksanaanya harus tepat sasaran. 4.
Alur Pelaporan. Program MAWAS merupakan program pioneer di Kabupaten Badung,
untuk itu alur pelaporan yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Badung khusus Program MAWAS masih bersifat internal. Setiap bulannya petugas MAWAS melaporkan mengenai lokasi pelayanan yang telah dilaksanakan selama sebulan ke pihak atasan. Selain pelaporan mengenai lokasi pelayanan juga dilaporkan mengenai jumlah kejadian kanker payudara berdasarkan kategori tumor jinak dan tumor ganas yang ditemukan pada saat melakukan deteksi dini kanker payudara di Kabupaten Badung. Evaluasi Program juga dilaksanakan oleh Program MAWAS Dinas Kesehatan Kabupaten Badung yang melibatkan pihak Puskesmas khususnya petugas PTM. Evaluasi program ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada petugas puskesmas mengenai hasil yang diperoleh selama melakukan deteksi dini kanker payudara di wilayah kerja Kabupaten Badung. 5.
Pemangku Kepentingan Terkait Program MAWAS Pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan pemeriksaan
payudara dengan USG tidak lain keterlibatan lintas sektoral dan lintas progam. Keterlibatan dan peran pemangku kepentingan meliputi : a.
Bupati Badung
25
Bupati
Badung sebagai Kepala Daerah sekaligus sebagai
pengambil kebijakan daerah mempunyai komitmen yang tinggi terhadap program MAWAS. b.
Dinas Kesehatan Kabupaten Badung Dinas Kesehatan Kabupaten Badung bersama UPT Puskesmas bertanggung jawab secara teknis dan dalam penyediaan logistik dan tenaga pelaksana kegiatan.
c.
RSUD Kabupaten Badung RSUD Kabupaten Badung sebagai rumah sakit rujukan maka bertanggung jawab sebagai pengawas, tenaga pelaksana dan tindak lanjut jika terjadi kejadian pasca pemeriksaan payudara dengan USG.
d.
YKI Cabang Badung YKI Cabang Badung ikut terlibat aktif dalam memberikan sosiallisasi kepada sasaran dan masyarakat luas.
e.
POGI, IDI dan IBI Selaku organisasi profesi maka POGI, IDI dan IBI telah berperan sebagai narasumber dan pengawasan dalam kegiatan pemeriksaan payudara dengan USG.
f.
Pihak terkait lainnya Banyak pihak yang terlibat sebagai unsur penunjang dalam pelaksanaan pemeriksaan payudara dengan USG ini seperti Sekda Kabupaten Badung selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah,
Bappeda
&
Litbang,
BKD
dan
Diklat,
Kantor
Pemberdayaan Perempuan, Badan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera, Bagian Humas dan pihak terkait lainnya.
26
6.
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi dilaksanakan melalui 2 kategori pendekatan
yaitu pendekatan secara internal dan pendekatan secara eksternal. a.
Pendekatan Internal Pendekatan ini melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten Badung beserta jajarannya dengan instansi terkait secara teknis meliputi kontinuitas pelayanan, penyiapan administrasi, persiapan logistik, serta kehadiran pada kegiatan pemeriksaan payudara berikutnya.
b.
Pendekatan Eksternal Secara eksternal pemantauan dan evaluasi kegiatan pemeriksaan payudara dengan USG kanker payudara di Kabupaten Badung dilakukan oleh pihak akademisi yang peduli terhadap pelaksanaan program ini.
2.5
Penelitian Terdahulu Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1.
Penelitian Schoen et al., 2000 yang berjudul “Patient Satisfaction With Screening Flexible Sigmoidoscopy” adalah penelitian untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien dalam program deteksi dini kanker kolon dengan prosedur diagnostik sigmoidoskopi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepusasan pasien dan faktor determinan penentu kepuasan pasien menggunakan prosedur diagnostik sigmoidoskopi. Sampel diambil sebanyak 1221 pasien (666 laki-laki dan 555 wanita, rata-rata umur 61,8 tahun) yang
27
sedang melakukan skrining pada University of Pittsburgh Medical Center and Magee Woman’s Hospital, Pitssburgh. Pertanyaan penelitian terpusat pada aspek : kenyamanan dan aksesibilitas (convenience and accessibility), keterampilan interpersonal petugas (staff interpersonal skills), lingkungan fisik (physical surroundings), kompetensi tekns yang dirasa (perceived technical competence), rasa sakit dan ketidaknyamanan (pain and discomfort), harapan dan kepercayaan (expectations and believes) dan kepuasan secara umum (general satisfaction). Kesimpulan penelitian didapat bahwa hampir 70% psien yang melaksanan skrining sigmodoskopi merasa puas dan mendapatkan prosedur pemeriksaan yang diberikan lebih nyaman dari apa yang diharapkan, hanya terdapat 15%-25% yang manyatakan pemeriksaan yang diberikan tidak memuaskan. Lebih dari 97% menyatakan sangat puas an puas dengan pelayanan yang diberikan, 91,3% menyatakan bahawa mereka ingin melaksanakan pemeriksaan lainnya, dan 74% akan memberikan rekomendasi mengenai prosedur pelayanan skrining ini kepada teman-temannya. 2.
Penelitian cross-sectional yang dilakukan di West Virginia (WV) oleh Vyas et al., 2013 tentang “Do Appalachian Women Attending a Mobile Mammography Program Differ from Those Visiting a Stationary Mammography Facility?” bertujuan untuk melihat perbedaan pasien yang melakukan skrining payudara dengan membandingkan karakteristik (demografi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan, riwayat medis diri dan keluarga) dari wanita berusia 40 tahun ke atas yang memanfaatkan unit skrining mamografi secara bergerak dengan wanita berusia 40 tahun keatas yang mendapatkan layanan skrining pada fasilitas kesehatan. Sampel sebanyak 1161 wanita yang telah melakukan skrining pada unit mamografi bergerak dan 1104 wanita yang
28
melakukan skrining mamografi pada fasilitas kesehatan (statis). Responden adalah seluruh wanita yang di West Verginia yang telah melakukan skrining mamografi pada Bonni Bus pada tahun 2009-2011 atau mereka yang telah melakukan skrining mamografi pada BPBCC setidaknya sekali dalam 10 tahun terakhir. Dilaporkan bahwa sebesar 48% wanita yang memanfaatkan skrining mamografi mobile lebih taat untuk melakukan skrining secara rutin dibandingkan meraka yang melakukan skrining di fasilitas kesehatan.