BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Strategi Pembelajaran Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or
series of activities designed to achieves a particular educational goal (David, 1976 dalam Sanjaya, 2006). Jadi, dengan demikian strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Ada dua hal yang perlu kita cermati dari pengertian diatas. Pertama, strategi pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian kegiatan) termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya/kekuatan dalam pembelajaran. Kedua, strategi disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, arah dari semua keputusan penyusunan strategi adalah pencapaian tujuan. Oleh sebab itu, sebelum menentukan strategi, perlu dirumuskan tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya, sebab tujuan adalah rohnya dalam implementasi suatu strategi. Di bawah ini merupakan beberapa istilah yang memiliki kemiripan dengan strategi: 1. Model, merupakan suatu pola pembelajaran yang dapat digunakan untuk menciptakan
situasi
belajar
berdasarkan
mengorganisasikan pembelajaran yang digunakan.
8
teori-teori
dan
cara
9
2. Pendekatan, merupakan orientasi dari aspek hasil belajar yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah melaksanakan pembelajaran (Arifin, M. dkk., 2003). 3. Metode pembelajaran atau cara mengajar, menyangkut cara guru memberikan pengalaman belajar siswa sehingga kemampuannya dapat berkembang, dan belajar dapat berjalan secara efisien serta bermakna bagi siswa. 4. Teknik,
adalah
cara
yang
dilakukan
seseorang
dalam
rangka
mengimplementasikan suatu metode. 5. Taktik, adalah cara seseorang dalam melaksanakan suatu teknik tertentu. Dari penjelasan diatas, maka strategi pembelajaran yang diterapkan akan menentukan langkah-langkah pembelajaran. Strategi tersebut dapat ditetapkan dengan berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode pembelajaran guru dapat menentukan teknik yang dianggapnya relevan dengan metode. Setiap guru memiliki taktik yang berbeda antara guru yang satu dengan guru yang lain dalam penggunaan teknik. Rowntree (dalam Sanjaya, 2006) mengelompokkan strategi pembelajaran berdasarkan sudut pandang pembelajarannya, yaitu: 1. Strategi penyampaian-penemuan (exposition-discovery learning) a. Strategi penyampaian (exposition) Dalam strategi exposition,bahan pelajaran di sajikan kepada siswa dalam bentuk jadi dan siswa dituntut untuk menguasai bahan tersebut. Roy Killen menyebutnya dengan strategi pembelajaran langsung (direct instruction), karena materi pelajaran dalam strategi ini disajikan begitu saja kepada
10
siswa; siswa tidak dituntut untuk mengolahnya. Kewajiban siswa adalah menguasainya secara penuh. Dengan demikian, dalam strategi exposition guru berfungsi sebagai penyampai informasi. b. Strategi penemuan (discovery) Dalam strategi ini bahan pelajaran dicari dan ditemukan sendiri oleh siswa melalui berbagai aktivitas, sehingga tugas guru lebih banyak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswanya. Strategi ini dinamakan strategi tidak langsung. 2. Strategi pembelajaran individu-kelompok (groups-individual learning) a. Strategi belajar individual dilakukan oleh siswa secara mandiri. Kecepatan, kelambatan dan keberhasilan pembelajaran siswa sangat ditentukan oleh kemampuan individu siswa yang bersangkutan. Bahan pelajaran serta bagaimana mempelajarinya didesain untuk belajar sendiri. Contohnya belajar melalui modul, atau belajar bahasa melalui kaset audio. b. Strategi belajar kelompok. Strategi ini dilakukan secara berkelompok. Sekelompok siswa diajar oleh seorang atau beberapa orang guru. Bentuk belajar kelompok bisa dalam pembelajaran kelompok besar atau pembelajaran klasikal; atau bisa juga siswa belajar dalam kelompokkelompok kecil semacam buzz group. Strategi kelompok tidak memperhatikan belajar individual karena setiap individu dianggap sama.
11
Sebelum menentukan strategi pembelajaran yang dapat digunakan, ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan yaitu: 1. Pertimbangan yang berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. a. Apakah tujuan pembelajaran yang ingin dicapai berkenaan dengan aspek kognitif, afektif, atau psikomotor? b. Bagaimana kompleksitas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, apakah tingkat tinggi atau rendah? c. Apakah untuk mencapai tujuan itu memerlukan keterampilan akademis? 2. Pertimbangan yang berhubungan dengan bahan atau materi pembelajaran: a. Apakah materi pelajaran itu berupa fakta, konsep, hukum, atau teori tertentu? b. Apakah untuk mempelajari materi pembelajaran itu memerlukan prasyarat atau tidak? c. Apakah tersedia buku-buku sumber untuk mempelajari materi itu. 3. Pertimbangan dari sudut siswa : a. Apakah strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat kematangan siswa? b. Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan minat, bakat, dan kondisi siswa? c. Apakah strategi pembelajaran itu sesuai dengan gaya belajar siswa? 4. Pertimbangan-pertimbangan lainnya: a. Apakah untuk mencapai tujuan hanya cukup dengan satu strategi saja? b. Apakah strategi yang kita tetapkan dianggap satu-satunya strategi yang dapat digunakan.
12
c. Apakah strategi itu memiliki nilai efektivitas dan efisiensi? Setiap strategi memiliki kekhasan tersendiri, seperti yang dikemukakan oleh Killen (dalam Sanjaya, 2006): “No teaching strategy is better than others in all circumstances, so you have to be able to use a variety of teaching strategies, and make rational decision about when each of the teaching strategies is likely to most effective.”
Apa yang dikemukakan oleh Killen sesuai dengan prinsip
penggunaan strategi pembelajaran bahwa tidak semua strategi pembelajaran cocok digunakan untuk mencapai semua tujuan dan semua keadaan, sehingga guru harus mampu memilih strategi yang cocok dengan keadaan. Prinsip umum penggunaan strategi pembelajaran tersebut antara lain berorientasi pada tujuan, aktivitas, individualitas, dan integritas; sedangkan prinsip khusus dalam pengelolaan pembelajaran diantaranya yaitu interaktif, inspiratif, menyenangkan dan menantang.
2.2
Represestasi Kimia Kimia direpresentasikan secara makroskopis, mikroskopis dan simbolis (Wu,
2002). Terdapat berbagai macam definisi dari ketiga level representasi tersebut, namun secara garis besar terdapat beberapa persamaan. Fenomena pada level makroskopis merupakan fenomena yang dapat diamati secara langsung, baik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari maupun yang dipelajari di laboratorium (Johnstone, 1982, Wu, J.S. Krajcik, E. Soloway, 2000 dalam Wu, 2002). Level mikroskopis merupakan level partikel yang tidak dapat dilihat oleh mata secara langsung, seperti elektron, molekul, dan atom (Chittleborough, Treagust, dan
13
Mocerino, 2002). Level simbolis merupakan representasi dari fenomena kimia dengan menggunakan persamaan kimia, rumus kimia, dan simbol (Johnstone, 1982 dalam Wu, 2002). Seperti sebuah kata, rumus kimia mempunyai maksud tertentu yaitu untuk mengidentifikasi dan menggambarkan komponen-komponen yang menyusun zat tersebut. Implikasi utama dari representasi simbolis dalam kimia yaitu berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi (Wu, J.S. Krajcik, E. Soloway, 2000). Ketiga level representasi kimia mengandung informasi mengenai konsepkonsep yang relevan. Berbagai teori dan temuan dalam sains kimia direfleksikan dengan representasi makroskopis, mikroskopis dan simbolis. Representasi merupakan bahasa bagi sains kimia. Ahli-ahli kimia menggunakannya untuk berkomunikasi
dan
untuk
mengembangkan
keterampilan
berpikir
atau
keterampilan proses atau metode ilmiah (Wu, J.S. Krajcik, E. Soloway, 2000). Representasi makroskopis, mikroskopis, dan simbolis saling berhubungan seperti yang digambarkan pada model mental berikut dan ketiganya berkontribusi dalam pemahaman konsep siswa.
14
Makroskopis
(sesuatu yang dapat dilihat, dibaui, didengar dan dirasakan)
Model mental
Mikroskopis
(partikel dari zat seperti elektron, molekul dan atom)
Simbol (seperti gambar, model, persamaan, rumus, dan simbol)
Gambar 2.1 Tiga level representasi kimia (Jhonstone dalam Chittleborough, Treagust, dan Mocerino, 2002) Untuk mencapai pemahaman yang memadai dalam kimia adalah dengan meningkatkan kemampuan menjelaskan dan mendeskripsikan level makroskopik (eksperimen), mikroskopik (atom, molekul, ion), dan simbolik (lambang, rumus, persamaan), serta kemampuan menghubungkan diantara ketiganya secara tepat (Raviolo, 2001 dalam Chittleborough, Treagust, dan Mocerino, 2002).
2.3
Intertekstualitas Kimia Banyak penelitian memperlihatkan bahwa siswa tidak mampu memahami
representasi mikroskopis sebaik para ahli kimia (misalnya Ben-Zvi, Eylon, & Silberstein, 1986, Nakhleh, 1992 dalam Wu, 2002). Kesulitan siswa dalam menginterpretasikan representasi, memberikan penjelasan verbal dalam proses
15
kimia, dan membuat translasi diantara jenis representasi yang berbeda memperlihatkan lemahnya hubungan/keterkaitan diantara fenomena kimia, representasi, dan konsep-konsep yang relevan. Terinspirasi oleh konstruktivis sosial pembelajaran, Kozma, Chin Russel dan Marx (2000 dalam Wu, 2002) menyarankan
agar
kurikulum
kimia
dapat
membimbing
siswa
untuk
menggunakan representasi majemuk secara visual dan verbal dalam hubungannya dengan fenomena didalam kelas. Lingkungan pembelajaran harus secara eksplisit memperlihatkan hubungan konseptual diantara representai level makroskopis, mikroskopis dan level simbol dalam pemecahan-masalah atau konteks inkuiri. Wu (2002) mencoba menggali dan mengungkapkan sifat sosial dan interaksional dari proses memberi-makna dengan menggunakan gagasan intertekstualitas untuk mengkonseptualkan proses pemberian-makna tersebut dan mengkaji wacana kelasnya secara mendetail. Dia menyandarkan definisinya tentang teks pada apa yang dikemukakan oleh Halliday dan Hasan. Teks didefinisikan sebagai bahasa fungsional yang “bisa berupa percakapan atau tulisan, atau medium apapun lainnya untuk mengekspresikan apa yang kita pikirkan’. Dari sudut pandang ini, representasi kimia pada level yang berbedabeda (yakni level makroskopis, mikroskopis, dan simbol), pengalaman siswa sehari-hari, dan kejadian-kejadian dalam kelas dapat dipandang sebagi suatu teks. Ketika siswa mengkonstruk pemahaman mengenai konsep-konsep kimia, mereka mungkin
mengkoordinasikan
pengalamannya
sehari-hari.
representasi Pertautan
yang
diantara
berbeda-beda
representasi,
dengan
pengalaman
16
kehidupan sehari-hari, dan kejadian-kejadian di kelas yang dilakukan pembelajar dapat dipandang sebagai hubungan intertekstual. Berbagai strategi pembelajaran, alat, dan kurikulum telah dikembangkan untuk mengatasi kesulitan siswa dan sebagian besar menekankan pada pentingnya tantangan dan mengubah konsepsi alternatif dan model mental tak lengkap dari siswa. Faktor sosiobudaya yang menjembatani pembelajaran menjadi semakin mengemuka, yang didasarkan pada sejarah perkembangan representasi kimia dan penelitian mengenai bagaimana ilmuwan menggunakan representasi untuk penyelidikan ilmiah dan komunikasi sosial. Kozma dkk (1997, 2000 dalam Wu, 2002) memberi pandangan berbeda terhadap pembelajaran kimia yang fokus pada perkembangan kompetensi representasi siswa dalam konteks sosial. Kompetensi representasi tersebut termasuk membangkitkan tujuan representasi, menggunakan representasi untuk membuat eksplanasi, menggunakan representasi dalam konteks sosial untuk mengkomunikasikan pemahaman, dan membuat tautan antar representasi. Strategi pembelajaran yang menghubungkan representasi majemuk dengan pengalaman sehari-hari siswa dalam proses pembelajaran dinamakan sebagai strategi pembelajaran intertekstual.
2.4
Deskripsi Materi Tekanan Osmotik Larutan Osmosis merupakan perpindahan molekul pelarut melalui membran
semipermeabel secara netto dari pelarut murni ke dalam larutan atau dari larutan yang berkonsentrasi rendah ke larutan yang berkonsentrasi tinggi sampai tercapai kesetimbangan. Membran semipermeabel merupakan membran yang dapat
17
dilewati oleh molekul pelarut dan tidak dapat dilewati oleh molekul zat terlarut. Gambar di bawah ini merupakan gambar pemodelan dari peristiwa osmosis dengan menggunakan pipa U yang disekat dengan membran semipermeabel:
Gambar 2.2 (A) sebelum terjadi peristiwa osmosis, (B) pada saat terjadi peristiwa osmosis, (C) setelah peristiwa osmosis.
Tekanan osmotik merupakan tekanan eksternal yang diterapkan untuk menghentikan peristiwa osmosis dari pelarut murni ke dalam larutan. Tekanan osmotik bergantung pada molaritas dan tidak bergantung pada jenis zat terlarut, sehingga tekanan osmotik termasuk kedalam sifat koligatif larutan. Pada konsentrasi yang sama, larutan elektrolit mempunyai tekanan osmotik yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan osmotik larutan nonelektrolit, karena zat elektrolit dapat terurai menjadi ion-ion baik sebagian ataupun seluruhnya, sehingga pada konsentrasi yang sama, larutan elektrolit mengandung jumlah partikel lebih banyak daripada larutan nonelektrolit. Oleh sebab itu tekanan osmotik pada larutan elektrolit lebih besar daripada tekanan osmotik pada larutan nonelektrolit.
18
Tekanan osmotik sebanding dengan molaritas larutan sesuai dengan persamaan berikut: π = MRT Keterangan: π = Tekanan osmotik (atm atau Nm-2) M = Molaritas (mol/L) R = Tetapan gas ideal (0,08205 L atm/mol K) T = Suhu mutlak larutan (K) Molaritas adalah jumlah mol zat terlarut dalam setiap liter larutan. Molaritas dapat dinyatakan dengan persamaan berikut: =ܯ
ೣ
dengan
݊= ݔ
ݔݓ ݔܯ
Keterangan: M = Molaritas (mol/L) V = Volum larutan (L) nx = Jumlah mol zat terlarut x (mol) wx = Massa zat terlarut x (g) Mx = Massa molar zat terlarut x (g/mol) Untuk larutan elektrolit encer, besarnya tekanan osmotik sebanding dengan jumlah zat terlarut relatif terhadap volum larutan sesuai dengan persamaan berikut: π = MRTi Keterangan: i = Faktor Van’t Hoff
19
Faktor Van’t Hoff merupakan perbandingan antara harga tekanan osmotik yang terukur dari suatu larutan elektrolit dengan tekanan osmotik yang diharapkan dari suatu larutan nonelektrolit pada konsentrasi yang sama. Besarnya faktor Van’t Hoff dinyatakan dengan persamaan i = 1 + (n-1) α Keterangan : n = Jumlah ion yang dapat dihasilkan oleh satu satuan rumus senyawa
elektrolit
α = Derajat ionisasi elektrolit. Tekanan osmotik memiliki peran penting dalam bidang biologi dan obatobatan. Sel diselaputi oleh membran yang tidak dapat dilewati oleh molekul zat terlarut tetapi dapat dilewati oleh molekul air secara bebas. Untuk menjaga agar jumlah air selalu tetap, tekanan osmotik larutan yang ada pada kedua sisi membran harus sama. Contohnya, larutan NaCl 0,9 % (massa/volum) memiliki tekanan osmotik yang sama dengan tekanan osmotik cairan sel darah merah, yang menyebabkan jumlah air di dalam sel darah merah akan tetap terjaga jika sel darah merah ditempatkan dalam larutan tersebut. Larutan tersebut dikatakan isotonik dengan cairan sel darah merah. Jika sel darah merah ditempatkan di dalam larutan garam yang konsentrasinya lebih tinggi dari konsentrasi cairan sel, maka akan terjadi osmosis yang menyebabkan air keluar sel. Larutan seperti itu kita sebut sebagai larutan yang hipertonik. Sedangkan air akan mengalir ke dalam sel jika sel ditempatkan dalam larutan yang memiliki tekanan osmotik lebih rendah daripada tekanan osmotik cairan selnya. Larutan tersebut dinamakan larutan yang hipotonik.