6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ikan Tuna Bentuk tubuh dari ikan tuna menyerupai torpedo (Reiner, 1996). Ikan tuna
mempunyai dua sirip pada punggungnya (sirip depan pendek dan terpisah dari sirip belakang), terdapat sirip-sirip tambahan pada belakang sirip punggung dan dubur. Sirip dada tuna terletak agak ke atas, sirip perutnya kecil, dan sirip ekornya agak ke dalam dengan jari-jari penyokong yang menutupi seluruh ujung hipural ikan (Collette dan MacPhee, 2002; NMFS, 2009). Ikan tuna memiliki tubuh yang ditutupi oleh sisik berukuran kecil dengan warna sisik biru tua agak gelap pada bagian atas tubuhnya. Tubuh dari ikan tuna licin, dengan sirip dada melengkung dan sirip ekor yang bersesak dengan celah yang lebar. Sirip punggung, dubur, perut, dan dada dari ikan tuna memiliki ujung pangkal yang melekuk pada tubuh sehingga dapat menyebabkan daya gesekan air dengan tubuh ikan menjadi diperkecil, sehingga ikan tuna dapat berenang dengan kecepatan penuh (Nontji, 2002). Bentuk tubuh ikan tuna dapat dilihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Bentuk Tubuh Ikan Tuna (Thunnus sp) (Fishbase, 2010)
7
Menurut Saanin (1984), ikan tuna dapat diklasifikasi sebagai Phylum Chordata,
Sub-phylum
Vertebrata
Thunnus,
Class
Teleostei,
Actinopterygii, Ordo Perciformes, Family Scombridae, Genus
Sub-class
Thunnus, dan
Spesies Thunnus alalunga (Albacore, tuna albacore), Thunnus albacores (Yellowfin tuna, madidihang), Thunnus macoyii (Southern bluefish Tuna, tuna sirip biru selatan), Thunnus obesus (Big eye Tuna, tuna mata besar), Thunnus tonggol (Longtail Tuna, tuna ekor panjang), Thunus thynnus (Northern bluefin tuna, tuna sirip biru utara), dan Thunus atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam). Spesies Thunnus obesus (ikan tuna mata besar, big eye) merupakan ikan yang hidup di perairan tropis sampai dengan perairan subtropis (Klawe, 1980). Selain dapat hidup di perairan tropis dan subtropis, beberapa dari spesies ikan tuna juga dapat hidup di perairan yang bersuhu dingin (Lutcavage et al., 1999; Block et al., 2005). Ikan tuna adalah ikan yang termasuk kedalam family Scombroidae karena ikan tuna memiliki kemampuan untuk berenang yang cepat (Djuhanda, 1981). Kecepatan berenang dari ikan tuna mencapai 50-77 km/jam sehingga menyebabkan ikan tuna memerlukan ruang gerak yang cukup luas (Mather et al., 1995; McGowan dan Richards, 1989). Selain merupakan ikan perenang yang cepat, ikan tuna juga hidup secara bergerombol dalam mencari makan (Collette dan Nauen, 1983). Pada umumnya ikan tuna hidup dengan cara mengarungi samudra-samudra besar di dunia (Nontji, 2002). Menurut Nakamura (1969) penyebaran tuna dapat dibagi menjadi dua yaitu yang pertama adalah penyebaran menurut letak geografis atau penyebaran ikan tuna secara horizontal. Adapun daerah penyebaran ikan tuna di Indonesia meliputi
8
perairan barat dan selatan Sumatera, perairan selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi dan perairan utara Papua. Penyebaran ikan tuna yang kedua yaitu penyebaran menurut kedalaman perairan atau secara vertikal. Penyebaran dengan cara vertikal ini dipengaruhi oleh suhu dan kedalaman dari ikan tuna berenang (swimming layer) (Uktolseja, 1988). Adapun sebaran ikan tuna bila dilihat secara vertikal yaitu sebaran ikan tuna pada saat menjelang matahari terbit dan saat menjalang matahari tenggelam gerombolan tuna akan berada pada lapisan atas dari termoklin (Soepriyono, 2009; Lutcavage et al., 2000). Sedangkan pada saat menjelang malam hari, gerombolan tuna akan berada dilapisan permukaan sampai pada lapisan termoklin. 2.2
Penyakit Pada Ikan Tuna Ikan tuna merupakan salah satu dari jenis ikan yang hidup di perairan laut.
Ikan tuna dapat terserang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit dan mikroorganisme (virus, protozoa, jamur, dan bakteri). Kelompok bakteri yang sering menyebabkan penyakit bahkan dapat menimbulkan
kematian
pada
ikan
laut
adalah
Pseudomonas,
Vibrio,
Mycobacterium, Aeromonas sp (Rough et al., 1999; Munday et al., 2003). Peric (2002) menemukan pasteurellosis pada 25 ikan tuna spesies bluefin tuna. Selain itu juga ditemukan penyakit tuberkulosis pada tuna (Biavati dan Manera, 1991). Bakteri pada ikan tuna juga dapat menyebabkan keracunan makanan pada manusia, yaitu dengan cara mengubah asam histamin decarboxylase menjadi histamin. Salah satu bakteri yang dapat mengubah hdc menjadi histamin adalah bakteri Stahylococcus (Hwang et al., 2010).
9
2.3
Bakteri Staphylococcus Staphylococcus merupakan bakteri yang berbentuk bulat (coccus) dan
merupakan bakteri Gram positif. Bakteri ini tersusun kedalam kelompokkelompok yang tidak teratur sehingga bentuknya menyerupai buah anggur. Staphylococcus merupakan bakteri fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (Jawetz et al., 1995; Fischetti et al., 2000). Staphylococcus adalah bakteri yang dapat ditemukan di udara, debu, pasir, air, susu, makanan, lingkungan, dan saluran pencernaan ikan (Gotz et al., 2006). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini sendiri akan muncul apabila penderita mengkonsumsi makanan yang mengandung racun yang dihasilkan oleh enterotoksin dari bakteri. Racun ini memiliki sifat yang tahan dalam suhu panas (thermostabil), meskipun bakterinya telah mati dengan pemanasan namun enterotoksin yang dihasilkan tidak akan rusak (Stehulak, 1998). Albrecht dan Summer (1995) menyatakan bahwa enterotoksin masih tetap ada dan akan cederung bertahan dalam beberapa waktu. Gotz et al., (2006) menyatakan, bakteri Staphylococcus memiliki keragaman spesies berjumlah 36 spesies dan 8 sub-spesies. Adapun spesies dan sub-spesies dari bakteri ini yaitu S.arlettae, S. auricularis, S.aureus, S. aureus subsp. anaerobius, S. aureus subsp. aureus, S. capitis, S. capitis subsp. capitis, S.capitis subsp. urealyticus, S. caprae, S. carnosus, S. carnosus subsp. carnosus, S. carnosus subsp. utilis, S. chromogenes, S. cohnii, S. cohnii subsp. cohnii, S. cohnii subsp. urealyticus, S. condiment, S. delphini, S. epidermidis, S. equorum, S. felis, S. fleurettii, S. gallinarum, S. haemolyticus, S. hominis, S. hominis subsp. hominis,
10
S. hominis subsp. novobiosepticus, S. hyicus, S. intermedius, S. kloosii, S. lugdunensis, S. lutrae, S. muscae, S. pasteuri, S. piscifermentans, S. pulverei (= S. vitulinus), S. saccharolyticus, S.saprophyticus, S. saprophyticus subsp. bovis, S. saprophyticus subsp. saprophyticus, S.schleiferi, S. schleiferi subsp. coagulans, S. schleiferi subsp. schleiferi, S. sciuri, S.sciuri subsp. carnaticus, S. sciuri subsp. lentus, S. sciuri subsp. rodentium, S. sciuri subsp. sciuri, S. simulans, S. succinus, S. vitulinus, S. warneri, dan S. xylosus. Bakteri dalam spesies yang sama secara genetik dapat beragam. Keanekaragaman dan variasi genetik bakteri disebabkan oleh adanya rekombinasi gen antara gen bakteri jenis yang satu dengan gen bakteri jenis lainnya. Variasi genetik pada bakteri dapat terjadi karena transfer gen (transduksi, transformasi, konyugasi, dan transposisi) serta mutasi (Jobling dan Holmes, 2001). Pada transfer gen, materi genetik dan plasmid dari bakteri dapat berpindah atau dipindahkan melalui berbagai cara yaitu transduksi, transformasi, konyugasi dan transposisi. Pada proses tranduksi, DNA dari plasmid masuk ke dalam genom bakteriofaga. Kemudian oleh bakteriofaga plasmid, DNA bakteri yang pertama ditransfer ke populasi bakteri lainnya. Transduksi biasanya terjadi pada bakteri Gram positif seperti Staphylococcus. Pada proses transformasi, fragmen DNA bebas dapat melewati dinding sel bakteri pertama kemudian bersatu dalam genom sel bakteri yang baru sehingga dapat mengubah genotipnya. Teknik ini biasanya dilakukan di laboratorium. Sedangkan transposisi merupakan pemindahan dari rantai DNA pendek (hanya beberapa urutan saja) antara satu plasmid bakteri
11
pertama ke plasmid bakteri lain, atau dari kromosom ke plasmid dalam sel bakteri tersebut (Jobling dan Holmes, 2001). Variasi genetik yang disebabkan oleh mutasi yaitu terjadinya perubahan dari senyawa kimia pada DNA. Individu yang mengalami perubahan tersebut disebut dengan mutan. Perubahan yang disebabkan dengan cara mutasi, dapat diwariskan dan bersifat irreversibel (kecuali apabila terjadi mutasi balik menjadi DNA awalnya). Mutasi dapat menyebabkan perubahan gen akibat perubahan pada proses transkripsi dan perubahan pada urutan asam amino dari protein yang merupakan produk gen (Jobling dan Holmes, 2001). 2.4
Teknik isolasi dan identifikasi bakteri Staphylococcus
2.4.1 Teknik isolasi dan identifikasi bakteri Staphylococcus dengan cara konvensional Teknik isolasi dan identifikasi bakteri dengan cara konvensional didasarkan atas reaksi biokimia. Sehingga pada teknik ini media selektif diperlukan, setelah dilakukan penanaman bakteri dilanjutkan dengan pewarnaan Gram untuk identifikasi bakteri (Cowan, 1984). Pemeriksaan langsung dapat digunakan untuk mengamati pergerakan dan pembelahan secara biner, mengamati bentuk dan ukuran sel yang alami, dimana pada saat mengalami fiksasi panas serta selama proses pewarnaan dapat menyebabkan beberapa perubahan. Pemeriksaan dengan cara ini merupakan teknik pengamatan mikroskop yang baik dengan cara membuat sediaan tetesan gantung, hal ini dikarena bakteri yang diamati berada dalam keadaan utuh (Black, 2005).
12
Media untuk pertumbuhan bakteri Staphylococcus dapat digunakan media selektif. Media selektif merupakan media yang digunakan untuk mengisolasi kelompok bakteri khusus. Media selektif dilengkapi dengan bahan kimia untuk menghambat pertumbuhan beberapa tipe bakteri dan sebaliknya media ini juga menyebabkan pertumbuhan yang baik bagi beberapa tipe bakteri lainnya apabila bakteri yang tumbuh ini mendapatkan nutrisinya dalam media selektif ini (Roberson et al., 1992). Bakteri Staphylococcus dapat tumbuh dalam media selektif agar garam mannitol dan blood agar. Agar Garam Mannitol memiliki kandungan konsentrasi garam yang tinggi (7,5% NaCl), sehingga dapat menghambat pertumbuhan kebanyakan bakteri kecuali Staphylococcus. Media ini dapat mengadakan fungsi differensial karena mengandung karbohidrat mannitol. Beberapa spesies dari bakteri Staphylococcus dapat melakukan fermentasi dengan mendeteksi adanya asam hasil fermentasi manitol menggunakan “phenol red” sebagai pH indikator. Bakteri Staphylococcus dapat memperlihatkan suatu zona berwarna kuning di sekeliling pertumbuhannya, sedangkan untuk bakteri Staphylococcus yang tidak melakukan fermentasi tidak akan menghasilkan perubahan warna (Ito dan Downes, 2001). Bakteri Staphylococcus juga dapat tumbuh dalam media agar darah (Blood Agar). Darah dimasukkan ke dalam medium untuk memperkaya unsur dalam pembiakan mikroorganisme terpilih (Horowitz, 2000). Teknik pewarnaan dikelompokkan menjadi beberapa tipe berdasarkan respon sel bakteri terhadap zat pewarna dan sistem pewarnaan yang digunakan (Kloos dan Schleifer, 1981). Untuk pemisahan kelompok bakteri digunakan
13
pewarnaan Gram. Untuk prosedur pewarnaan mikrobiologi dibutuhkan pembuatan apusan lebih dahulu sebelum melaksanakan teknik pewarnaan pada bakteri Staphylococcus. 2.4.2
Identifikasi bakteri dengan metode molekuler
2.4.2.1 Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu metode molekuler untuk memperbanyak DNA (Hongbao, 2005). Menurut Handoyo dan Rudiretna (2001), PCR merupakan suatu teknik molekuker untuk sintesis dan amplifikasi DNA secara in vitro. Teknik ini memungkinkan adanya perbanyakan DNA diantara dua primer yang berlangsung di dalam tabung reaksi tanpa harus dimasukkan kedalam sel. PCR memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat mengarahkan polymerase-DNA untuk mensintesis wilayah DNA tertentu (Mahardika, 2003). Menurut Yuwono (2006), PCR memiliki lima komponen yang utama yaitu pertama adalah DNA cetakan yang merupakan fragmen dari DNA untai ganda yang berguna sebagai cetakan yang dilipatgandakan menjadi DNA baru. Kedua adalah Oligonukleotida primer, merupakan sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) berfungsi untuk mengawali proses sistesis rantai DNA. Ketiga adalah Dioksiribonukleotida trifosfat (dNTP) dibagi menjadi dATP, dCTP, dGTP, dTTP. Keempat adalah Enzim DNA Polimerase, merupakan enzim yang mengkatalis reaksi rantai DNA. Komponen yang kelima adalah larutan buffer dan ion Mg2+. Metode PCR terdiri dari tiga tahapan siklus yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA template, penempelan (annealing) pasangan primer DNA target, dan pemanjangan
14
(extension) primer atau reaksi polimerasi yang dikatalisis oleh DNA polymerase (Roche, 2006). Proses denaturasi dilakukan dengan pemanasan hingga mencapai suhu 96oC yang berlangsung selama 30-60 detik, agar DNA untai ganda terpisah menjadi DNA untai tunggal. Proses annealing terjadi saat DNA ganda telah menjadi DNA utas tunggal. Pada saat ini suhu harus diturunkan ke kisaran 40oC-60oC yang berlangsung selama 20-40 detik agar dapat memberikan kesempatan untuk primer menempel pada DNA template ditempat yang cocok dengan sekuen primer. Terakhir adalah tahapan elongasi dilakukan dengan menaikkan suhu kekisaran 70o-72oC (suhu kerja enzim DNA polymerase yang optimal). DNA polymerase akan memasangkan dNTP sesuai dengan pasangan DNA-nya, dan enzim akan memperpanjang rantai baru sampai ke ujung. Waktu elongasi tergantung dari daerah yang akan diamplifikasi (Vierstraete, 2009). 2.4.2.2 Penanda Genetik Selain RNA duta (mRNA) dan RNA transfer (tRNA), salah satu jenis RNA yang unik adalah ribosomal RNA (rRNA). rRNA memilliki peranan yang penting dalam pembentukan kerangka ribosom. Organel ini berperanan penting dalam proses translasi RNA menjadi asam amino (Glick dan Pasternack, 2003). Semua RNA tersebut terlibat didalam proses translasi. Ribosomal RNA terdiri dari 2 subunit yaitu subunit kecil 30S dan subunit besar 50S. Subunit kecil 30S terdiri dari 16S, sedangkan subunit besar 50S terdiri dari 5S dan 23S (Brimacombe dan Stiege, 1985; Olsen dan Woese, 1993; Agalarov et al., 2000). Dari ketiga jenis
15
rRNA tersebut, 16S rRNA paling sering digunakan sebagai prosedur yang baku dalam menentukan hubungan filogenik dan menganalisis suatu ekosistem. Komponen 16S rRNA saat ini telah banyak digunakan sebagai sumber analisis filogeni dan pengklasifikasian makhluk hidup. Hal tersebut dikarenakan molekul rRNA memiliki sifat yang homolog baik secara fungsional maupun evolusinya pada organisme yang berbeda dan merupakan molekul yang memiliki struktur terkonservasi (Howland et al.,1992). Penelitian pada keragaman spesies bakteri Staphylococcus yang dilakukan oleh Gotz et al., (2006) menggunakan penanda genetik 16S rRNA. 2.4.2.3 Sekuensing Sekuensing merupakan suatu proses untuk menentukan urutan nukleutida dalam DNA mikroorganisme. Hudson (2010) menyatakan teknik sekuensing DNA saat ini telah banyak dikembangkan, yaitu diantaranya metoda dasar (Maxam-Gilbert sekuensing dan metoda Chain-termination/Automatic Sanger), metoda lanjutan dan de novo sekuensing (Shotgun sequencing dan Bridge PCR), metoda generasi baru (Massively Parallel Signature Sequencing “MPSS” polony sequencing, 454 pyrosequencing, illumina “Solexa” sequencing, SOLID sequencing, ion semiconductor sequencing, DNA nanoball sequencing, heliscope single molecule sequencing, dan single molecule real time “SMRT” sequencing), metoda sekuensing terbaru dan sedang dikembangkan (Nanopore DNA sequencing, Sequencing by hybridization, Sequencing with mass spectrometry, Microfluidic
Sanger
sequencing,
Microscopy-based
techniques,
RNAP
sequencing, dan In vitro virus high-throughput sequencing). Hasil siklus
16
sekuensing dielektroforesis dengan agar poliacrylamic vertical, DNA yang berfluorence dan dibaca oleh komputer berupa kromatogram (Sambrook dan Russell, 2001). 2.4.2.4 Bioinformatika Bioinformatika merupakan ilmu yang mempelajari penerapan teknik komputasional untuk mengelola dan menganalisis informasi biologis. Ilmu ini mencangkup penerapan metode matematika, statistika, dan informatika untuk memecahkan masalah biologis terutama dengan menggunakan sekuen DNA dan asam amino, yang berguna dalam menganalisa kekerabatan suatu individu baik dalam satu spesies maupun antar spesies (Witarto, 2003). Dalam bioinformatika terdapat fitur yang memiliki fungsi berbeda. Fitur yang pertama yaitu Alligment berfungsi untuk menyetarakan nukleotida, kedua Blast berguna untuk mencari kekerabatan suatu individu melalui kesamaan nukleotida pada database internasional, dan yang ketiga Rekonstruksi Pohon Filogenetik berguna dalam membentuk struktur bagan kekerabatan (Baxevanis et al., 2002). 2.5
Kerangka Konsep Ikan tuna merupakan ikan yang habitat hidupnya diatas sampai pertengahan
dari laut dengan kedalaman yang mencapai 1600 kaki atau kedalaman 500 m (Allain, 2005). Ikan ini memiliki kemampuan berenang yang cepat dan hidup secara bergerombol (Bard et al., 1998). Oleh karena itu ikan ini disebut sebagai highly migratory species (McGowan dan Richards, 1989). Persebaran ikan tuna di Indonesia meliputi laut barat dan selatan Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa
17
Tenggara, Laut Banda dan sekitarnya, Laut Sulawesi dan perairan barat Papua (Allain, 2005). Di Indonesia, persebaran dari ikan tuna tersebut cukup luas. Ikan tuna ini memiliki kecepatan berenang yang memungkinkan untuk bepindah dari ruaya pakan yang satu ke ruaya pakan yang lainnya dengan cepat. Hal ini menyebabkan bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan tuna memiliki keragaman spesies dan variasi genetik. Selain disebabkan karena perbedaan dari ruaya pakan, bakteri pada saluran pencernaan ikan tuna juga didapat dari makanannya yang beragam. Makanan dari ikan tuna adalah ikan, kepiting, gurita, ubur-ubur, salps, dan sponges (Collette dan MacPhee, 2002; Chase, 2002). Selain itu tuna juga memakan udang dan cumi (Chase, 2002; Collette dan MacPhee, 2002). Makanan tuna memiliki bakteri yang berbeda-beda disetiap jenis dan habitatnya. Hal tersebut dapat menyebabkan spesies bakteri Staphylococcus pada saluran ikan tuna menjadi beragam.