BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Depresi 1. Pengertian depresi Hampir semua individu pernah mengalami depresi, yang ditandai dengan perasaan sedih, letargik dan tidak tertarik pada aktivitas yang menyenangkan. Depresi merupakan respon terhadap stres kehidupan. Diantara situasi yang paling sering mencetuskan depresi adalah kegagalan di sekolah atau pekeijaan, kehiiangan orang yang dicintai dan menyadari bahwa penyakit atau penuaan sedang menghabiskan kekuatan seseorang. Depresi dianggap abnormal hanya jika dalam kurun waktu yang lama (Atkinson, 1993). Depresi merupakan salah satu gangguan mood atau emosional karena gambaran yang menonjol pada penderita depresi adalah terganggunya emosi. Masella, dkk (dalam Meiwati, 1994) menyatakan bahwa depresi merupakan suatu gangguan yang umum, dan dapat teijadi pada siapa saja, namun berbeda didalam mengekspresikannya tergantung pada individu yang bersangkutan. Gangguan depresi dapat diawali dengan munculnya perasaan-perasaan negatif antara lain : kesedihan, keputusasaan, kekecewaan yang dialami oleh seseorang secara berulang kali.
Namun
demikian
depresi
berbeda
dengan kesedihan,
kekecewaan atau keputusasaan seperti biasanya teijadi. Perbedaan ini terdapat pada intensitas dan lamanya peristiwa-peristiwa negatif tersebut terjadi. Seseorang dapat dikatakan depresi apabila kesedihan, kekeeewaan dan keputusasaan tersebut berkembang sehingga teijadi gejala-gejala selanjutnya yang
mempengaruhi fungsi-fungsi psikologik dan fisiologik (Gazzaniga, 1980; Witting dan Williams, dalam Meiwati, 1994). Beck (1985) memberikan batasan mengenai depresi dengan atribut-atributnya yaitu : perubahan suasana hati yang spesifik seperti kesedihan, kesepian dan apati : konsep diri yang negatif disertai dengan perasaan-perasaan menyalahkan dan mencela diri sendiri : keinginan untuk menghindar, sembunyi atau mati : perubahanperubahan vegetatif seperti tidak ada nafsu makan, tidak dapat tidur dan kehilangan dorongan seksual: perubahan tingkat aktivitas seperti retardasi atau agresi. 2. Gejala-gejala depresi. Walaupun depresi ditandai dengan adanya gangguan emosi, sesungguhnya terdapat empat kelompok gejala. Selain gejala emosional, terdapat gejala kognitif, motivasional dan fisik. Seorang individu tidak harus memiliki keempat gejala tersebut untuk mendapatkan diagnosis sebagai penderita depresi, tetapi lebih banyak gejala yang dimiliki, semakin kuat gejalanya, semakin pasti kita dapat yakin bahwa individu tersebut menderita depresi.
Kesedihan dan kekesalan adalah gejala
emosional yang paling menonjol pada depresi. Individu merasa putus asa dan tidak berdaya, sering kali menangis dan mungkin mencoba bunuh diri. Gejala lain yang menonjol pada depresi adalah hilangnya kegembiraan atau kepuasan dalam hidup. Aktivitas yang biasanya mengnasilkan kepuasan tampaknya menjadi tumpul begitu juga minat dan hobi, rekreasi dan aktivitas keiuarga (Meiwati, 1994). Gejala kognitif terjadi terutama dari pikiran negatif. Individu yang mengalami depresi cenderung memiliki percaya diri yang rendah, merasa tidak adekuat dan menyalahkan diri sendiri atas kegagalannya. Mereka merasa putus asa tentang masa
iO
depan dan pesimistik bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk memperbaiki hidupnya. Individu yang mengalami depresi cenderung pasif dan sulit memulai aktifitas. Hal ini dibuktikan adanya penelitian Cerey dkk (1986) yang menunjukkan tingginya tingkat
depresi
berhubungan
dengan
frekuensi
aktivitas-aktivitas
yang
tidak
menyenangkan. Gejala fisik depresi antara lain hilangnya nafsu makan, gangguan tidur, kelelahan dan hilangnya energi. Sedangkan dalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan
dan
menderita gangguan
Diagnosis depresi
Gangguan Jiwa), ditandai
dinyatakan
dengan adanya
bahwa
kehilangan
seseorang minat
dan
kegembiraan, berkurangnya energi yang menyebabkan seseorang tersebut mudah merasa lelah meskipun hanya bekerja ringan. Gejala lain yang sering muncul antara lain : a. Konsentrasi dan perhatian berkurang. b. Harga diri dan kepercayaan berkurang. c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna. d
Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
e. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri. f.
Tidur terganggu (insomnia).
g. Nafsu makan berkurang. Penderita depresi yang sudah parah sering kali mengalami delusi dan halusinasi. yang menandakan hilangnya kontak dengan realita. Martin (dalam Meiwati, 1994) mengemukakan bahwa delusi merupakan keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, sedangkan halusinasi adalah persepsi
seseorang terhadap
suatu objek atau
kejadian pada stimulus eksternal
vang
sebenarnva tidak ada. Gejala-gejala depresi tersebut dapat dikenali melalui manifestasi emosional, kognitif, motivasional serta fisik dan vegetatif (Retnowati, 1992) diuraikan sebagai berikut : Manifestasi emosional meliputi suasana hati yang kesal, kesepian, kebosanan, tidak bahagia, perasaan negatif pada diri sendiri, menurunnya kepuasan terhadap akativitas-aktivitas yang biasanya menimbulkan kesenangan, hilangnya kesehatan emosional yang dapat menjurus ke arah apatis : mudah menangis sampai tidak mengeluarkan air mata lagi meskipun penderita sangat ingin menangis : hilangnya respon-respon kegembiraan, misalnya rasa humor. Manifestasi motivasional meliputi hilangnya motivasi untuk melakukan aktivitas-aktivitas meskipun untuk hal-hal yang sederhana seperti : makan. minum. buang air besar; lari dari kegiatan sehari-hari; keinginan untuk bunuh diri; meningkatnya ketergantungan pada bantuan orang lain. Manifestasi Fisik dan Vegetatif hilangnya selera makan sehingga berat badan menurun, sulit tidur,
hilangnya dorongan seksual,
hilangnya respon terhadap
perhatian orang lain; mudah merasa lelah Maxmen, (dalam Retnowati, 1992) mengemukakan bahwa gangguan depresi dapat diklasifikasikan atas dasar etiologi sejarah ada tidaknya penvakit yang mendahului. atas dasar simtom-simtom yang muncul dan atas dasar berat ringannya gangguan. Model yang pertama gangguan depresi atas dasar etiologi yaitu depresi endogen dan depresi reaktif. Depresi endogen sangat ditentukan oleh faktor biologis.
sama sekali tidak ada hubungan dengan faktor lingkungan Sedangkan depresi reaktif muncul karena adanya psychosocially Trigger (pencetus dari luar), (Maramis, 1980). Pembahasan mengenai asal-usul sindrom depresi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1 : Asal - usul Sindrom Kecemasan / Depresi. Sumber : Catatan Ilinu Kedokteran Jiwa (Maramis. 1980)
Model yang kedua, gangguan depresi diklasifikasikan atas dasar sejarah ada tidaknya penyakit sebelumnya, terbagi atas depresi primer dan depresi sekunder. Depresi primer merupakan satu-satunya gangguan, jadi tidak didahului dengan adanya penyakit fisik atau gangguan mental seperti kecanduan alkohol, hipertensi atau kecemasan (Maramis, 1980). Model ketiga gangguan depresi atas dasar simtom-simtomnya terdiri atas depresi unipolar (depresi yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa hidup khusus) dan depresi bipolar (depresi yang sangat parah dan sering kambuh). Depresi unipolar meaipakan depresi yang tidak menunjukkan adanya simtom yang berat, sedangkan depresi bipolar ditandai dengan episode manic (adanya periode-periode depresi dan periode-periode kegirangan). Pada gangguan depresi bipolar ini biasanva terjadi
minimal selama dua minggu dan ditandai dengan perasaan yang sedih, penurunan aktivitas. insomania bahkan tindakan untuk bunuh diri. Model yang keempat depresi yang dibedakan menjadi depresi psikotik dan depresi neorotik. Depresi psikotik adalah depresi yang parah walau bukan penderita psikotik, sedangkan penderita neorotik adalah depresi yang munculnya sebagai respon terhadap situasi luar yang menekan, (Maxmen, dalam Retnowati, 1993) pembahasan depresi dapat dilihat dari gambar sebagai berikut :
Endogenik Psikotik Necrotic
Gambar 2 Sumber
Manik Depresif
Skizofrenia aikoholisme
Susunan saraf pusat Geriatrik dsb.
Obat-obatan endokrin
: Nasologi gangguan depresif : Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Maramis. 1980).
Miller (1975) menguraikan tentang kelemahan-kelemahan psikologis yang dapat dijumpai pada penderita depresi yaitu kognitif, motorik, perceptual dan komunikasi. Kelemahan kognitif, tampak pada melemahnya hasil tugas-tugas belajar seperti menurunnva kemampuan belajar dan mengingat kembali,
menurunnya
kecepatan berfikir sehingga cenderung lebih lamban dalam merespon dan terjadi pemahaman yang salah. kemampuan dan
Kelemahan
motorik dapat terlihat
kecepatan psikomotorik
sehingga dalam
dari
menurunnya
memberikan
reaksi
cenderung lebih lambat dari biasanya. Kelemahan perceptual meliputi reaksi dan keluhan terhadap rasa sakit dan kelelahan. Kelemahan komunikasi tampak pada
kesukaran berkomunikasi secara lisan maupun tulisan, kemampuan dalam hal komunikasi berkaitan dengan menurunnya kemampuan mengingat kembali sehingga penderita sering lupa beberapa kata yang sudah disapkan atau pernah dibacakannya. 3. Teori tentang depresi Batasan antara masa remaja dan masa dewasa semakin lama juga semakin kabur dalam arti belum ada ketetapan yang pasti untuk batas usia masa remaja, hal ini dikarenakan adanya suatu istilah masa remaja yang diperpanjang dan masa remaja diperpendek. Masa remaja yang diperpanjang, yaitu bila orang sesudah usia remaja masih hidup bersama orang tuanya, masih belum mempunyai natkah sendiri dan masih berada di bavvah otoritas orang tuanya. Sedangkan masa remaja yang diperpendek yaitu bila seseorang masih berada pada usia
remaja tetapi tidak lagi
melanjutkan sekolah karena telah memasuki dunia orang dewasa dengan bekeija atau menikah. Namun demikian suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja yang secara global berlangsung antara usia 12 sampai dengan 21 tahun (Monks, 1994). Manakala usia seseorang genap 12 atau 13 tahun, maka ia telah menginjak suatu masa kehidupan yang disebut masa remaja awal. Masa ini berakhir pada usia 17 atau 18 tahun. Istilah yang biasa diberikan bagi remaja awal adalah Teenagers (anak usia belasan tahun) (Mappiare, 1982). Pada setengah akhir periode pubertas atau setengah awal masa remaja awal, terdapat gejala-gejala yang disebut negative phase yang pokok-pokoknva sebagai berikut; keinginan untuk menyendiri, berkurang kemauan untuk bekerja, kemajuan, kegelisahan, pertentangan sosial, penentangan terhadap kewibawaan orang dewasa,
kepekaan perasaan, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan seks, kepekaan perasaan susila, dan kesukaan berkhayal (Mappiare, 1982) Disamping ciri-ciri dan gejala-gejala negative phase yang dimiliki bersama (pubertas dan remaja awal) tersebut di atas, Mappiare juga menjelaskan pula ciri-ciri khas masa remaja awal. Ciri-ciri khas tersebut adalah : a. Ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi. Granville Stanley Hall (dalam Mappiare, 1982) menyebut masa ini sebagai perasaan yang sangat peka, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini diistilahkannya sebagai strom and stress. Dari hal tersebut dapat dilihat adanya sikap dan sifat remaja yang sesekali bergairah sekali dalam bekerja tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih yang sangat, rasa yakin diri berganti rasa ragu diri yang berlebihan. Temasuk dalam ciri ini adalah ketidaktentuan cita-cita. Soal lanjutan pendidikan dan lapangan kerja tidak dapat direncanakan dan ditentukannva. b. Sikap dan moral menjelang akhir remaja awal. Organ-organ seks yang telah matang menyebabkan remaja mendekati lawan seks. Ada dorongan-dorongan seks dan kecenderungan memenuhi dorongan itu, sehingga kadang-kadang dinilai oleh masyarakat tidak sopan.
Selain itu ada
keberanian mereka dalam menonjolkan sex appeal (daya tarik seksual) serta keberanian dalam pergaulan dan kemudian sering timbul masalah dengan orang tua atau orang dewasa lainnya. c. Kecenderungan atau kemampuan mental.
Kemampuan mental atau kemampuan berpikir remaja awal, mulai sempurna Keadaan ini terjadi dalam usia 1 2 - 1 6 tahun. Alfred Binet mengemukakan bahwa usia 12 tahun kemampuan anak untuk mengerti informasi abstrak, baru sempurna. Kesempurnaan mengambil kesimpulan dan informasi abstrak dimulai pada usia 14 tahun. Akibatnya remaja awal suka menolak hal-hal yang tidak masuk akal. Pertentangan pendapat sering terjadi dengan orang tua guru, orang dewasa lainnya jika mereka mendapat pemaksaan menerima pendapat tanpa alasan rasional. d. Status remaja awal sangat sulit ditentukan. Status remaja awal tidak saja sulit ditentukan, bahkan membingungkan. Perlakuan yang diberikan oleh orang dewasa terhadap remaja awal sering bergantiganti. Ada keraguan orang dewasa untuk memberikan tanggung jawab kepada remaja dengan dalih mereka masih kanak-kanak. Tetapi pada lain kesempatan, remaja awal sering mendapat teguran sebagai orang yang sudah besar, jika remaja awal bertingkah laku yang kekanak-kanakan. e. Masa remaja awal adalah masa yang kritis. Pada masa ini remaja akan dihadapkan dengan soal apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik, menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya, sampai ia dewasa. Ketidakmampuan menghadapi masalahnya dalam masa ini akan menjadikannya orang dewasa yang bergantung dan tidak mampu mandiri. Teori kognitif tentang depresi yang dipelopori oleh Beck (1985) beranggapan bahwa proses kognitif memainkan peran penting dalam timbulnya reaksi emosional
berdasar atas observasi klinis. Beck mengemukakan bahwa pada penderita depresi sistem
keyakinannya
didominasi
oleh
negative
cognitive
schemata
atau
depressogenic schemata yaitu keyakinan negatif yang tersimpan dalam ingatan dan fungsinya sebagai pengatur yang akan melawan semua informasi yang baru masuk (dalam Retnowati, 1991). Pada penderita depresi, simtom kognitif, motivasional maupun simtom afektif merupakan akibat adanya kesalahan pola berfikirnya dalam proses informasi yang masuk. Bila individu yang mempunyai skema depresogenik negative life events (mengalami peristiwa kehidupan yang menekan), maka ada kecenderungan untuk berkembang ke arah pola fikir menyimpang pada penderita depresi meliputi pandangan negatif pada diri, dunia dan masa depan yang dikenal dengan negative cognitive triad (tritunggal pola fikir negatif) (Retnowati, 1991). Mengenai bagaimana keterkaitan antara self schema (gambaran diri) dengan simtom depresi. Abramsam (dalam Retnowati,
1991) menggambarkan sebagai
berikut : Distal
Gambar 3 Sumber
Proximal
: Hubungan antara Self Schema dengan Simtom depresi. : Abramsam (dalam Retnowati. 1991).
Untuk menghadapi stressful! events (situasi yang menekan) penilaian kognitif merupakan suatu penentu timbulnya emosi dengan situasi tersebut individu akan
melakukan usaha untuk mengatasi baik dengan menghindar atau mencegah timbulnya bahaya atau dengan cara toleran terhadap situasi tersebut (Retnowati, 1991). Psikoanalisis memandang akar dari depresi pada awal masa kanak-kanak. Freud (dalam Ahmad,
1988) menyatakan bahwa, seorang anak tidak dapat
mengekspresikan kemarahan kepada ibunya, karena dia sangat tergantung kepadanya. Jika ibu tidak segera memenuhi kebutuhan - kebutuhan anak akan merasa sangat tidak senang dan marah kepada ibu. Namun anak tidak berani mengekspresikan perasaan tersebut, sebaliknya malah mengarahkan perasaannya ke dalam dirinya sendiri sehingga anak menjadi depresi. Aliran Behaviorisme memandang depresi sebagai akibat langsung dari berkurangnya tingkat reward (penghargaan) yang diperoleh
seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Semua orang membutuhkan semua rangsang pengukuh seperti makanan. kehangatan. rasa nyaman, afeksi, dan stimulasi. Jika seseorang kehilangan pengukuh tersebut maka ia akan mulai
mengalami depresi (Ahmad,
1988).
Penghargaan yang rendah dan hukuman yang tinggi mengakibatkan gangguan depresi melalui tiga cara yaitu : a. Seseorang yang kurang menerima penghargaan dan lebih banyak menerima hukuman secara umum akan mengalami kehidupan yang kurang menyenangkan. b. Jika perilaku seseorang tidak menghasilkan penghargaan atau menghasilkan hukuman, maka individu tersebut akan mempunyai penghargaan yang rendah terhadap dirinya dan mengembangkan konsep diri yang rendah. c. Jika suatu perilaku tidak diberi penghargaan atau hukuman,
maka kecil
kemungkinan perilaku tersebut diulang, sehingga aktivitas orang tersebut
berkurang. Selanjutnya aktivitas tersebut akan mengakibatkan penghargaan yang diterima juga berkurang. Ketiga cara tersebut menjadi satu lingkaran yang akan mengakibatkan seseorang bertambah depresi (Atamimi, 1988). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga teori tersebut menekankan aspek yang berbeda di dalam menerangkan sebab terjadinya depresi. Teori kognitif menekankan pada persepsi seseorang yang negatif tentang dirinya, dunianya dan masa depannya sebagai faktor yang menentukan terjadinya depresi. Seseorang yang menderita depresi tidak mempunyai kemampuan untuk mempertimbangkan hal yang menguntungkan yang mungkin dapat dicapai baik pada saat ini maupun yang akan datang. Psikoanalisis lebih menekankan pada agresi sebagai faktor penyebab terjadinya
depresi.
Sedangkan
behaviorisme
menekankan
reinforcement
dari
lingkungan yang tidak lagi diperoleh seseorang sebagai faktor penyebab terjadinya depresi. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi depresi adalah sebagai berikut : a. Kemampuan individu dalam memecahkan masalah, efektifitas dan individu dalam memecahkan masalah ditentukan oleh locus of control (pengendalian diri) yang dimiliki oleh setiap individu. Individu yang memiliki pengendalian diri secara internal akan cenderung lebih efektif di dalam memecahkan suatu permasalahan. karena individu yang memiliki pengendalian diri secara internal akan dapat mengintropeksi kesalahan-kesalahannya yang dapat menimbulkan permasalahan sehingga individu tersebut
akan
lebih
mudah
memahami
permasalahan yang muncul pada dirinya. Hal ini berbeda dengan individu yang
memiliki pengendalian diri secara eksternal. karena individu tersebut cenderung mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain setiap permasalahan yang muncul sehingga hal tersebut tidak dapat memecahkan masalah bahkan akan memunculkan masalah baru bagi dirinya. Hasil penelitian Rotter (dalam Retnowati, 1993) menyimpulkan bahwa individu yang memliliki pengendalian eksternal banyak mengalami gangguan jiwa. b. Pola pikir negatif. Individu yang memiliki pola pikir negatif akan cenderung berkeyakinan bahwa dirinya kurang, tidak mampu dan tidak berharga dalam memandang dirinya, dunia dan masa depan. Penderita depresi cenderung membangun
pengalamannya
sebagai
sesuatu
yang
gagal,
kemiskinan.
kekurangan dan penghinaan (Beck, dalam Retnowati 1990). c Faktor kecemasan merupakan penyebab stres yang utama. Individu yang mengalami kecemasan secara terus menerus akan dapat menimbulkan gangguan depresi ( Smith dan Tay. 1994). d Faktor Agresi. Individu yang tidak dapat mengekspresikan kemarahannva terhadap individu lain misalnya kemarahan orang tua terhadap anaknya, maka anak akan mengarahkan perasaannya ke dalam dirinya, sehingga ia menjadi depresi. 5. Perbedaan depresi antara laki-laki dan perempuan. Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa perempuan mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan depresi daripada laki-laki. (Davison dan Neale, 1990 ; Greist dan Jefferson, 1988 ; Holmes, 1991 ; Rathus dan Mevid, 1991 ; Sarason dan Sarason, dalam Harjdono,
1998). Data statistik di Rumah Sakit
menunjukkan
perempuan
penderita
depresi
lebih
banyak
daripada
laki-laki
(Haijdono, 1998). Penyebab mengapa perempuan lebih banyak mengalami gangguan depresi dari pada laki-laki tampaknya tetap tidak jelas hingga sekarang. Penemuan Prawitasari dan Kahn (dalam Hasanat, 1991) mengemukakan bahwa perempuan mempunyai kehangatan, emosionalitas, sikap hati-hati, sensitivitas, dan konformitas lebih tinggi daripada laki-laki, sedangkan laki-laki lebih tinggi dalam stabilitas emosi, dominasi dan impulsivitas dari pada perempuan. Dari perbedaan sifat-sifat tersebut dapat dimungkinkan menjadi timbulnya depresi terutama pada perempuan. Nolen-Hoeksema
(dalam
Hasanat,
1991)
mengatakan
bahwa
adanya
perbedaan tingkat depresi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan adanya perbedaan cara mereka dalam melakukan coping (pemecahan masalah) terhadap stres. Laki-laki akan cenderung terlibat dalam aktivitas fisik misalnya dengan berolah raga maupun menonton televisi. Sehingga mereka tidak menampakkan suasana hati mereka. Sedangkan pada perempuan cenderung kurang aktif atau bahkan sangat pasif, perempuan lebih sering merenungkan situasi yang mereka hadapi dan menyalahkan diri sendiri. Reaksi yang demikian ini akan memperkuat timbulnya gangguan depresi dan suasana hati yang tidak menentu.
B. Harga Diri 1. Pengertian harga diri Untuk memahami pengertian tentang harga diri, tidak dapat dilepaskan dari konsep diri seseorang. Asumsinya bahwa konsep diri sangat menentukan elaborasi
atas fenomena harga diri seseorang. Pemahaman tentang diri juga berarti rnemahami kepribadian seseorang termasuk di dalamnya adalah harga diri ( Allport. dalam Schultz, 1995). Kebutuhan akan penghargaan dalam pandangan Maslow dibedakan menjadi dua macam. Penghargaan yang berasal dari orang lain dan penghargaan terhadap dirinya sendiri. Penghargaan yang berasal dari orang lain adalah yang utama. Penghargaan yang berasal dari luar dapat berdasarkan reputasi, kekaguman. status, popularitas, prestise, atau keberhasilan dalam masyarakat, semua sifat dari bagaimana orang-orang lain berpikir dan bereaksi terhadap kita. Apabila individu merasakan penghargaan dari dalam atau penghargaan diri, ia merasa yakin dan aman akan dirinya, sehingga ia merasa berharga dan adekuat (serasi, seimbang) (Maslow dalam Schultz, 1995). Diri atau self merupakan sebuah totalitas sistem yang komplek dan dinamis tentang
keyakinan
yang
dipelajari
seseorang
serta
menggunakannva
untuk
menjelaskan keberadaan dan memberi kemantapan kepribadiannva (Purkey dan Schmitt dalam Ahmad, 1988). Proses perkembangan diri bergerak secara dialektis yaitu adanya saling pengaruh antara dunia eksternal seseorang dengan dunia personalnya. Diri akan muncul dalam tindakkan tatkala seseorang menjadi objek sosial yang dialaminya dalam relasi itu (Mead, dalam Ahmad. 1988). Dari pemahaman tentang proses perkembangan diri dapat disimpulkan bahwa seseorang akan mengerti tentang dirinya melalui interaksi sosial dan kemudian pemahaman tersebut akan menentukan perjalanan hidup selanjutnya.
Harga diri sebagai salah satu bentuk dari aspek kepribadian individu, terbentuk melalui
hasil
interaksi dengan lingkungannya,
terutama lingkungan
sosialnya (Coopersmith, 1967). Harga diri juga merupakan aspek sentral dari fungsi-fungsi psikologis (Taylor & Brown, 1980). Dari sini terlihat bahwa peijalanan kehidupan seseorang banyak ditentukan oleh jumlah bekal harga diri untuk sampai kepada puncak kedewasaan. Coopersmith (dalam Retnowati, 1993) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian seseorang terhadap diri yang didasarkan atas penilaian orang lain atas penilaian dirinya, penghargaan orang lain atas kualitas dirinya termasuk kemampuankemampuannya. Selain itu perkembangan harga diri seseorang juga ditentukan oleh perbandingan yang dilakukan individu atas kemampuan dan keberhasilan dirinya dengan orang lain sebagai kebutuhan psikologis, maka terpenuhinya kebutuhan akan harga diri menentukan kondisi kesehatan psikologis. Sebagai salah satu aspek psikologis harga diri dipahami melalui proses evaluasi komprehensif seseorang tentang dirinya. Begitu pula dalam peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) akan terwujud
apabila
kebutuhan-kebutuhan
dasar
individu
dapat
terpenuhi,
baik
kebutuhan fisiologis maupun kebutuhan psikologis. Kebutuhan dasar individu yang bersifat psikologis ada berbagai macam, diantaranya adalah kebutuhan akan harga diri yang meliputi kebutuhan akan prestasi, keunggulan dan kompetensi, kepercayaan diri, kemandirian serta kebebasan (Maslow, dalam Hardjono, 1998). Kebutuhan harga diri merupakan suatu yang mutlak harus terpenuhi apabila ingin mewujudkan tenagatenaga pembangunan yang berkualitas prima, karena individu yang terpenuhi atau
terpuaskan kebutuhan harga dirinya menunjukkan sifat-sifat yang positif antara lain percaya diri, merasa berharga dan berguna. serta merasa memiliki kekuatan dan kemampuan memiliki tingkat motivasi dan produktifitas yang tinggi. Sifat-sifat tersebut sangat dibutuhkan untuk mencapai sasaran pembangunan dan mengantisipasi persaingan dalam era global isasi. Adapun orang-orang yang tidak atau kurang terpenuhi kebutuhan harga dirinya cenderung memperlihatkan sifat-sifat negatif antara lain : merasa rendah diri, lemah dan tidak berdaya (Maslow, dalam Hardjono, 1998) serta mengalami gangguan emosi dan perilaku (Leary dkk, dalam Hardjono, 1998). Harga diri merupakan penilaian secara global terhadap diri sendiri yang bersifat khas, mengenai kemampuan, keberhasilan, keberhargaan, serta penerimaan yang dipertahankan oleh individu : berasal dari interaksi individu dengan orang lain dan merupakan dasar pembentuk konsep diri (Coopersmith, dalam Hardjono, 1998). Grinder (dalam Hardjono, 1998) menyatakan bahwa harga diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk selama hidupnya melalui hadiah dan hukuman dari orang yang ada di sekitarnya. Robinson dan Shafer (dalam Atamimi, 1988) mendefinisikan harga diri dengan menvukai dan menghargai diri sendiri dengan berdasarkan pada hal-hal yang realistis. Seseorang akan menyukai dan menghargai dirinya sendiri jika ia bisa menerima diri pribadi tersebut, sehingga harga diri sering dikaitkan dengan pengertian self-acceptance (penerimaan diri). Hal ini sesuai dengan pendapat Hjelle dan Ziegler (dalam Hardjono, 1998) vang mengemukakan bahwa penerimaan diri merupakan komponen dari kesehatan
mental, individu yang mempunyai tingkat penerimaan diri yang baik menunjukkan berkepribadian yang matang. Sertain (dalam Hardjono, 1998) mendefinisikan penerimaan diri sebagai kesadaran seseorang untuk menerima dirinya sebagaimana adanya dan memahami dirinya seperti apa adanya. Hal ini berarti seseorang menerima begitu saja kondisi dirinya tanpa usaha untuk pengembangan lebih lanjut. Seseorang yang menerima dirinya berarti orang tersebut mengenali dimana dan bagaimana dirinya saat ini dan mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan diri. Jersild dan Hurlock (dalam Hardjono, 1998) mengartikan penerimaan diri sebagai
tingkat
sejauh
mana
seseorang
menerima
karakteristik
personalnya
menggunakannva untuk menjalani kelangsungan hidupnya. Pentingnya penerimaan diri ini berkaitan dengan penyesuaian - penyesuaian dalam kehidupan. Tingkat penerimaan diri seseorang menentukannya dan memberi penghargaan terhadap dirinya atas aktifitas positif. Dengan kata lain seseorang yang menerima dirinya akan bertindak dengan cara yang disukai dan diterima oleh orang lain. Dari sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa penerimaan diri adalah sejauhmana individu dapat menyadari dan mengakui karakteristik pribadinya dan menggunakannva
untuk
menjalani
kelangsungan
hidupnya.
Sikap
penerimaan
tersebut ditunjukkan oleh pengakuan individu terhadap kelebihan-kelebihan sekaligus kekurangan atau kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang lain dan mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan diri. Penerimaan diri ini terbentuk oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
yaitu
faktor-faktor yang
melibatkan
perkembangan
kognisi
individu.
sedangkan
faktor
ekstenal
adalah
faktor-faktor
yang
berhubungan
dengan
pengalaman atau proses belajar melalui asosiasi. motivasi, dan konsekuensi. Hurlock (dalam Edwina, 1994) mengemukakan bahwa ada beberapa kondisi yang dapat mengarahkan pada pembentukan penerimaan diri yaitu : pemahaman diri, harapan-harapan realistik, bebas dari hambatan lingkungan, sikap lingkungan sosial yang menyenangkan, tidak ada tekanan emosi yang berat, frekuensi keberhasilan, identifikasi dengan individu yang penyesuaian dirinya baik, perpekstif diri dan konsep
diri
yang
stabil.
Sedangkan
penilaian
terhadap
diri
sendiri
akan
mempengaruhi proses berfikir, perasaan, keinginan nilai maupun tujuan hidupnya. Keadaan ini akan membawa seseorang menuju ke arah keberhasilan atau kegagalan dalam hidup. Perasaan percaya diri sendiri dan harga diri terkandung di dalam self esteem dan akan menimbulkan rasa bahwa dirinya mampu untuk dapat hidup dengan layak (Branden, dalam Atamimi, 1988). Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan menyukai dirinya serta akan melihat dirinya cukup mampu menghadapi dunia yang sedang dihadapinya. (Cohen, dalam Atamimi, 1988). Di pihak lain seseorang yang memiliki harga diri rendah akan tidak menyukai dirinya, menganggap dirinya tidak mampu dalam menghadapi lingkungannya secara efektif. Harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat individu tersebut meyakini dirinya sendiri sebagai mampu, penting, berhasil dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikap vang
dipegang individu tersebut. Harga diri dalam hubungan dengan evaluasi diri mengacu pada suatu penilaian kesadaran berkenaan dengan arti dan nilai pentingnya seseorang. Harga diri yang dimiliki seseorang bervariasi, hal ini dipengaruhi jenis kelamin umur dan kondisi-kondisi penentu peran (Coopersmith, 1967). Penerimaan harga diri dipengaruhi oieh keberartian individu, keberhasilan individu, ketaatan terhadap aturan-aturan, norma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat dan performansi individu yang sesuai untuk mencapai prestasi yang diharapkan. Dari beberapa batasan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa harga diri merupakan suatu evaluasi global yang realistis tentang diri sendiri dengan mengacu kepada kualifikasi yang terdapat di dalam dirinya. Buss (dalam Ahmad, 1988) menyimpulan bahwa implikasi psikologis yang muncul adalah bahwa harga diri seseorang senantiasa bergerak ke arah dua kutub yang berbeda. Masing-masing kutub yang satu merupakan representasi harga diri yang tinggi dan yang satunya merupakan kutub yang mewakili harga diri yang rendah. 2. Perkembangan harga diri. Harga diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir namun merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk sepanjang pengalaman hidup individu dalam relasinya dengan dirinya sendiri maupun dengan individu yang lain. Hal ini berkaitan dengan pendapat Rogers yang dikutib Azwar (1979) yang menekankan bahwa perkembangan harga diri menekankan pentingnya arti lingkungan sosial. Herbert (dalam Azwar, 1979) mengemukakan bahwa konsep diri yang terkandung dalam harga diri berkembang sejak masa kanak-kanak melalui orang-orang yang dianggap oleh orang
tersebut. Harga diri yang ada pada diri seseorang juga tidak muncul begitu saja melainkan melalui proses dan perkembangan. Gejala awal muncul harga diri pada usia 2 tahun. tapi terbentuknya lebih jelas dan dapat diamati pada usia 4 tahun (Piaget, dalam Edwina, 1994). Konsep diri anak yang baik merupakan puncak dari pembentukan karakternya dan untuk menciptakan dasar yang baik pada hubungan pribadinya. Saat anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri secara bertahap akan merasakan kebaikan hati dan kasih sayang terhadap orang lain. Untuk meningkatkan kepercayaan diri anak dapat dilakukan dengan usaha untuk membiasakan mencintai, menunjukkan padanya bahwa orang tua benar-benar percaya akan kemampuannya. Jika seorang anak mendapatkan kesan bahwa kita tidak percaya kepadanya maka dengan sendirinva kepercayaan terhadap dirinvapun akan berkurang. Seorang anak dapat menyadari identitas dirinya diawali pada usia 2,5 dan 3 tahun. Pada saat inilah orang tua dapat memberikan bantuan yang dapat membangun kepercayaan dirinya. Banyak anak kurang percaya diri pada saat menginjak usia sekolah, saat mereka mulai dapat membandingkan usahanya dengan anak-anak yang lain, bahkan sampai dewasa mereka tidak terlalu pasti terhadap dirinya yang ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu dan merasa gagal. Hal ini dapat disebabkan kurangnya dukungan dan penghargaan orang tua atas usaha anak (Thomsom, 1995). Bradashaw (dalam Retnowati, 1993) mengemukakan bahwa pembentukan harga diri diawali pada saat bayi merasakan tepukan yang pertama kali diterima dari orang yang menangani proses kelahirannya
Perkembangan selanjutnya dibentuk
melalui perlakuan-perlakuan yang diperoleh anak dari lingkungannya, baik keluarga. sekolah dan masyarakat. Pola perkembangan harga diri ditandai dengan timbulnya harga diri primer, yang meliputi gambar diri secara fisik dan psikis, yang diperoleh melaui interaksi individu dengan seluruh anggota keluarganya. Kemudian dengan bertambahnya umur,
anak mulai
mengarahkan kontak dengan
lingkungan di
luar rumah.
Terbentuknva harga diri sekunder, diperoleh anak melalui interaksi dengan orang lain dan merupakan refleksi dari perasaan atau sikap orang lain terhadap dirinya. Remaja yang mempunyai ketrampilan sosial seperti mudah bergaul dan mampu menyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya akan mempunyai harga diri yang tinggi karena ia merasa mampu, diterima dan dihargai lingkungan sosialnya (Retnowati, 1993). Rogers (dalam Retnowati, 1993) mengemukakan bahwa penghargaan orang tua atas diri anak tanpa keharusan anak untuk mengikuti apa yang diinginkan orang tua (Unconditional posotive regard) akan memberikan dukungan yang sangat positif bagi perkembangan harga diri awal. Untuk perkembangan selanjutnya harga diri seseorang ditentukan oleh penghargaan orang lain terhadap kualitas dirinya. Coopersmith (dalam Retnowati, 1993) mendiskripsikan empat faktor yang dapat
menyumbang
perkembangan
harga
diri
seseorang.
Pertama.
kualitas
penghargaan penerima serta perhatian yang diterima seseorang dari significant others dalam kehidupannya. Pada proses ini seseorang belajar menilai seperti halnya ia dinilai dan kemudian akan diterapkan untuk mengembangkan dirinya. Kedua, sejarah keberhasilan serta status dan kedudukan yang diraih seseorang dalam kehidupannya. Hal ini akan membentuk landasan harga diri dalam realitas
sosial. Pengalaman-pengalaman historis yang mencekam dan dipandang merupakan suatu prahara bagi diri seseorang sangat menentukan proses perkembangan harga diri (Bommer, dalam Retnowati, 1993). Ketiga, berkaitan dengan masalah aspirasi dan tata nilai yang diperoleh lewat penafsiran seseorang terhadap keberhasilan modifikasi pengalamannya. Keberhasilan, kekuasaan serta perhatian tidak secara langsung dan segera diterima namun disaring dan dipersepsi melalui tata nilai dan tujuan seseorang (Retnowati, 1993). 3.
Faktor - faktor yang mempengaruhi harga diri Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri menurut Coopersmith dalam
Edwina, (1994) adalah: a.
Lingkungan Keluarga. Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya hubungan sosialisasi bagi anak. Sikap dan tingkah laku orang tua terhadap anak akan berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Peran orang tua terhadap perkembangan anak di dalam lingkungan keluarga akan diwarnai oleh bentuk interaksi mereka terhadap anak. Peraturan yang keras, hukuman dan tuntutan orang tua membuat anak menjadi impulsif, begitu juga dengan orang tua yang masa bodoh dan dingin menyebabkan anak menjadi muram, suka mengasingkan diri dan menolak sosialisasi. Kehangatan dan sikap afeksi dari orang tua membuat anak mudah berkawan dan bersosialisasi. Adanya pola asuhan orang tua yang positif diharap kebutuhan remaja cukup terpenuhi. Salah satu kebutuhan anak atau remaja adalah kebutuhan akan harga diri. Cara mengasuh yang berbeda akan mempengaruhi tinggi rendahnya harga diri anak. (Coopersmith, dalam Edwina 1994) mengemukakan bahwa perlakuan adil,
pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis terdapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi. Lingkungan Sosial. Pembentukan harga diri dimulai dari penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri pada rasa keberhargaannya. Penilaian ini sesuai dengan pandangan individu dalam interaksi dengan orang lain. Perkembangan harga diri dimulai sejak individu mulai menyadari dirinya berharga atau merasa tidak berarti. Proses itu dipengaruhi oleh perlakuan, penerimaan dan penghargaan yang diberikan lingkungan sosialnya. Kondisi Fisik. Hurlock (1979) mengemukakan bahwa perubahan fisik sering memberikan dampak yang cukup besar terhadap harga diri remaja. Keadaan ini terjadi karena ada penilaian yang penting terhadap tubuhnya. Bila remaja mengerti bahwa keadaan fisiknya sesuai dengan yang diinginkannya maka akan memberikan keuntungan positif bagi dirinya. Faktor Jenis Kelamin. Ada sebuah penelitian tentang perbedaan harga diri menurut jenis kelamin yang dilakukan oleh Fleming dan Courtney, dalam Edwina (1984) yang memberikan hasil bahwa ada perbedaan harga diri menurut jenis kelamin yang signifikan ternyata perempuan memiliki harga diri yang rendah daripada laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena di dalam keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat berkembang bermacam-macang tuntutan peran yang berbeda-beda berdasarkan perbedaan jenis kelamin,
meskipun
perbedaan itu sangat kecil bahkan beberapa penelitian tidak ada perbedaan yang signifikan.
e.
Nama Dan Pakaian. Kedua hal ini umumnya dianggap kurang penting dibanding dengan faktor lainnya tetapi dalam kenyataannya hal ini memiliki pengaruh cukup penting bagi perkembangan harga diri seorang remaja. Nama-nama yang menjadi bahan tertawaan teman-teman akan membavva seorang remaja kepada pembentukan konsep diri yang negatif. Demikian halnya dengan cara berpakaian, seorang individu dapat menilai atau mempunyai gambaran mengenai bagaimana remaja itu melihat dirinya sendiri.
f.
Agama. Disamping faktor-faktor yang disebutkan di atas faktor agama yang dianut juga dapat mempengaruhi harga diri seseorang. Pilihan agama yang menjadi pegangan bagi mayoritas akan menumbuhkan perasaan berharga dibanding penganut agama minoritas (Retnowati, 1993).
4. Perbedaan harga diri antara laki-laki dan perempuan Dalam hal ini ternyata terdapat adanya keterkaitan yang erat antara jenis kelamin dengan harga diri, perempuan cenderung memiliki harga diri dan kepercayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki (Kimmel, dalam Koentjoro 1989). Perempuan juga selalu menganggap dirinya lebih rendah daripada laki-laki, merasa kurang mampu dan harus dilindungi (Ancok, dalam Henik 2000).
C. Hubungan antara harga diri dengan depresi. Harga diri ternyata memiliki peranan yang besar dalam teijadinya gangguan jiwa (Jacabson dan Bibring, dalam Retnowati 1993). Penelitian yang dilakukan oleh Altman dan Witenborn (dalam, Retnowati 1993) menunjukkan bahwa harga did yang rendah merupakan salah satu faktor kepribadian pada individu yang mempunyai
kencenderungan depresif. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kupers (dalam Retnowati, 1993) yang menyatakan bahwa harga diri yang rendah sering menyertai gangguan depresi. Individu yang memiliki harga diri yang rendah akan mengalami depresi apabila sebelumnya individu tersebut menghadapi peristiwa yang sulit diatasinya seperti stres atau krisis sebagai penyebabnya (Retnowati, 1993). Individu yang memiliki harga diri yang rendah akan cenderung memiliki sifatsifat yang negatif antara lain : merasa rendah diri, lemah dan merasa tidak berdaya. Perasaan rendah diri tersebut akan mengakibatkan individu merasa terisolasi atau diasingkan oleh lingkungan sosialnya, yang kemudian akan menimbulkan perasaan tertekan terutama bila individu tersebut mendapatkan permasalahan yang sangat rumit, karena individu yang merasa rendah diri biasanya sulit untuk bergaul dengan orang lain, maka individu tersebut memilih untuk menekan perasaan terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Hal tersebut memungkinkan individu akan mudah menderita depresi. Berbeda dengan individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung menunjukkan sifat-sifat yang positif antara lain ; percava diri, merasa berharga dan memiliki motivasi yang tinggi, sehingga individu tersebut dapat lebih realistis dalam menghadapi masalah maupun kegagalan-kegagalan yang menimpanya dan tidak mudah putus asa. Hal ini yang memungkinkan individu yang memiliki harga diri tinggi cenderung tidak mudah depresi. Berdasarkan pendapat dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang negatif antara harga diri dan depresi maupun perbedaan harga diri dengan depresi pada remaja laki-laki dan perempuan.
D. Hipotesis Berdasarkan pada tinjauan pustaka dan hasil-hasil penelitian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan yang negatif antara harga diri dengan depresi pada remaja. Semakin tinggi harga diri, maka depresi akan semakin rendah. Begitu pula semakin rendah harga diri, maka depresi akan semakin tinggi. 2. Ada perbedaan harga diri antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Harga diri remaja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan. 3. Ada perbedaan depresi antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Remaja perempuan lebih tinggi depresinya daripada remaja laki-laki.