BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. DEFINISI Disfungsi ereksi (DE) pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) stabil adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan, yang ditemukan pada pasien PPOK stabil.7
2.2. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan adalanya perlambatan aliran udara yang kronik disertai perubahan patologis paru, gejala ekstra-pulmoner, dan penyakit penyerta yang turut memberikan kontribusi terhadap keparahan penyakit pada pasien secara individual. 8 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya. 1,9,10 Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.1 Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :1 a. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan b. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat
Universitas Sumatera Utara
c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja) d. Sesak pada saat melakukan aktivitas e. Hambatan aliran udara umumnya irrevesibel (tidak bisa kembali normal)
2.2.1.
Diagnosis PPOK Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai stadium.1
2.2.1.1.
Diagnosis PPOK Klinis Diagnosis PPOK klinis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, yang akan diuraikan sebagai berikut : a. Anamnesis.1,9
Ada faktor risiko : -
usia pertengahan
-
riwayat pajanan asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan. -
Batuk kronik Batuk
kronik
adalah
batuk
yang
hilang
timbul
selama
3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan
Universitas Sumatera Utara
-
Berdahak kronik Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk
-
Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.
b. Pemeriksaan Fisik.1,9 Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks. Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut : Inspeksi
Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong)
Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang meniup).
Takipnea.
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas.
Pelebaran sela iga
Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater.
Palpasi
Fremitus melemah
Perkusi
Hipersonor
Auskultasi
Suara napas vesikuler melemah atau normal
Universitas Sumatera Utara
c.
Ekspirasi memanjang.
Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
Ronki kering.
Bunyi jantung jauh.
Pemeriksaan penunjang.1,9 Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain : Radiologi (foto toraks) Spirometri Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan terjadi hipoksia kronik) Analisa gas darah Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi eksaserbasi) Meskipun kadang kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada
PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.1 Hasil pemeriksaan radiologis dapat berupa kelainan :1 Paru hiperinflasi atau hiperlusen Diafragma mendatar Corakan bronkovaskuler meningkat Bulla Jantung pendulum
Universitas Sumatera Utara
Diagnosis PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. 1
2.2.1.2.
Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK sesuai dengan ketentuan Depkes
RI 2008 / GOLD 2009 adalah sebagai berikut :1,8 a. PPOK Stadium I (ringan) Gambaran klinis : Dengan atau tanpa batuk kronis Dengan atau tanpa produksi sputum Pasien biasanya tidak mengetahui bahwa fungsi parunya abnormal Spirometri (perlambatan aliran udara ringan) FEV1/FVC < 0,7 FEV1 ≥ 80% prediksi
b. PPOK Stadium II (sedang) Gambaran klinis : Dengan atau tanpa batuk kronis Dengan atau tanpa produksi sputum Sesak napas timbul pada saat aktivitas Pasien mulai mencari bantuan medis sehubungan dengan gejala pernapasan kronik atau keadaan eksaserbasi penyakitnya
Universitas Sumatera Utara
Spirometri (perburukan dari perlambatan aliran udara) FEV1/FVC < 0,7 50% ≤ FEV1< 80% prediksi
c.
PPOK Stadium III (berat) Gambaran klinis : Sesak napas lebih berat Berkurangnya kapasitas aktivitas Fatigue Eksaserbasi lebih sering terjadi sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien. Spirometri (perburukan lebih lanjut dari perlambatan aliran udara) FEV1/FVC < 0,7 30% ≤ FEV1< 50% prediksi
d. PPOK Stadium IV (sangat berat) Gambaran klinis & penunjang : Gagal napas kronik, ditunjukkan dari hasil pemeriksaan analisa gas darah, dengan kriteria PaO2 < 60 mmHg (hipoksemia, dengan atau tanpa PaCO2 > 50 mmHg (hiperkapnia) Disertai komplikasi kor pulmonale (gagal jantung kanan) ditandai dengan peningkatan tekanan vena jugularis, edema pitting kaki. Kualitas hidup sangat terganggu dan eksaserbasi dapat mengancam jiwa
Universitas Sumatera Utara
Spirometri (perlambatan aliran udara berat) FEV1/FVC < 0,7 FEV1 < 30% prediksi, atau FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor pulmonale
2.3. FUNGSI EREKSI 2.3.1. Fisiologi Ereksi Pada tahun enampuluhan, William Masters dan Virginia Johnson mempublikasikan “Human Sexual Response”, sebuah buku yang memberikan gambaran terperinci mengenai beberapa fase perubahan organ seksual laki-laki sebagai respon seksual. Adapun respon seksual tersebut dibagi atas 4 fase : 11 1. Excitement
Gambar 1 Fase Excitement
Perubahan permulaan organ seksual laki – laki ketika jaringan spons diperbesar oleh darah untuk menghasilkan ereksi. Serabut otot dibawah kulit
Universitas Sumatera Utara
skrotum membuat skrotum kontraksi dan bergerak lebih mendekati tubuh. Kelenjar Couper menghasilkan cairan jernih yang disekresikan ke dalam uretra. Secara bersamaan, terjadi peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya excitement seksual. 11
2. Plateau
Gambar 2 Fase Plateau
Pada fase ini, penis menjadi ereksi penuh dan laki-laki tersebut mendekati orgasm. Bagian atas penis menjadi semakin membesar dan gelap atau keunguan karena meningkatnya darah yang memenuhinya. Demikian juga terjadi peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan ketegangan otot tubuh. Pernapasan menjadi cepat dan dalam. Banyak laki-laki tidak mampu bertahan pada fase ini lebih daripada waktu yang pendek sebelum orgasm datang. Meskipun demikian dengan pengendalian otot pelvis yang efisien, seorang laki-laki dapat belajar bertahan pada fase ini untuk waktu yang panjang ketika berhubungan seksual. 11
Universitas Sumatera Utara
3. Orgasm
Gambar 3 Fase Orgasm Ketika orgasm menjelang, terdapat sejumlah besar cairan pada kedua kelenjar prostat dan vesikula seminalis. Ketika orgasm otot penis berkontraksi dengan selang waktu yang teratur. Masters dan Johnson mengukur selang waktu antara kontraksi pertama sekitar 0,8 detik. Setelah beberapa detik kontraksi menjadi melemah dan panjang selang waktu meningkat. Serabut otot uretra juga mengalami kontraksi ketika ejakulasi untuk membantu mengeluarkan cairan semen melalui uretra yang terbuka. 11
4. Resolution
Gambar 4 Fase Resolution
Universitas Sumatera Utara
Setelah ejakulasi badan spons secara bertahap dikosongkan dari darah. Pada awalnya penis akan berkurang ukurannya sampai 50% dari ukuran ketika ereksi. Dibutuhkan waktu beberapa saat sebelum ukuran penis kembali pada keadaan flaccid.11
Fisiologi ereksi mencakup komponen hormonal, vaskuler, psikologis, neurologis dan seluler. Testosteron terutama berperan mempertahankan hasrat seksual (libido), dan keadaan hipogonadism kadang-kadang berhubungan dengan disfungsi ereksi. Keadaan hormonal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah hipertiroid dan prolaktinoma. Suplai darah penis bermula pada arteri pudendal interna, yang bercabang kedalam arteri penis yang berakhir pada arteri kavernosa, dorsalis dan bulbouretra. Ereksi psikogenik, dipicu oleh stimulasi fantasi atau visual, yang kemungkinan dimediasi oleh masukan dari percabangan torakolumbal (T11 sampai L2). Ereksi refleks disebabkan oleh stimulasi taktil dan dimediasi sistim saraf parasimpatis (S2 dan S4). Secara keseluruhan, sinyal parasimpatetik bertanggung jawab untuk ereksi, dan sinyal simpatetik bertanggung jawab untuk ejakulasi.12
Gairah seksual (sexual arousal) dan sinyal parasimpatetik pada penis memulai perubahan intraseluler yang diperlukan untuk ereksi (Gambar 5).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 5
Mekanisme molekuler ereksi penis. Nitric oxide dilepaskan dari terminal nervus nonadrenergik/nonkolinergik dan sel endotel pada korpus kavernosum. cGMP = cyclic guanosine monophosphate; GTP = guanosine triphosphate; PDE-5 = phosphodiesterase type 5. (Sumber : Beckman TJ. Evaluation and Medical Management of Erectile Dysfunction)
Sel endotel dan nervus terminal melepaskan nitric oxide, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi
(Gambar
6).
Proses
ini
dibalikkan
oleh
aktifitas
type
5
cGMP
phosphodiesterase (PDE), yang memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi.12,13
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6
Mekanisme Fisiologik Relaksasi Otot Polos Penis. (Sumber : McVary KT. Erectile dysfunction. N Engl J Med 2007)
2.3.2. Disfungsi Ereksi Disfungsi ereksi merupakan salah satu tipe dari disfungsi seksual. Adapun disfungsi seksual memiliki beberapa tipe masalah, diantaranya :
Libido
Ejakulasi
Disfungsi Ereksi
Kombinasi dari tipe diatas
Universitas Sumatera Utara
Berkurangnya libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Keadaan ini sering disertai kadar testosteron serum yang rendah atau kadar prolaktin yang meningkat, perubahan ini dapat primer maupun sekunder. Berkurangnya libido dapat juga berkaitan dengan problem psikologik, kesulitan menjalin hubungan, kesakitan medikal, penggunaan obat-obat tertentu.
Kesulitan ejakulasi dapat berupa ejakulasi prematur, ejakulasi yang lambat, anejakulasi atau ejakulasi retrograd. Ejakulasi prematur lebih sering dijumpai pada laki-laki muda daripada yang lebih tua. Keadaan ini dapat hilang atau berkurang dengan
bertambahnya
usia
dan
pengalaman
seksual.
Ejakulasi
prematur
didefinisikan sebagai ejakulasi yang terjadi sebelum atau dalam 2 menit setelah penetrasi vagina. Faktor psikologis, medis atau keduanya harus dipertimbangkan. Obat adrenergik, seperti dekongestan, sering menyebabkan ejakulasi prematur, sebagaimana halnya dengan epinefrin endogen yang dihasilkan pada ansietas. Ejakulasi yang lambat atau anejakulasi juga dapat disebabkan karena penyebab psikologik, neurologik atau medis atau kombinasi diantaranya. Ejakulasi retrograd sering terjadi pada pasien dengan gangguan neurologik, terutama neuropati diabetik, atau sebagai komplikasi dari reseksi prostat transuretral.14
Disfungsi ereksi merupakan masalah tersering melanda 80 – 85% pasien mencari bantuan medis untuk disfungsi seksual.14 Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan.2 Disfungsi ereksi sering dianggap psikogenik dan sering diabaikan petugas kesehatan. Saat ini telah meningkat pengetahuan terhadap penyebab fisiologik disfungsi ereksi dan terapi
Universitas Sumatera Utara
yang potensial memperbaiki kualitas hidup, kepercayaan diri, dan kemampuan mempertahankan hubungan intim.7,13
Terdapat dua kategori disfungsi ereksi yaitu psikologik dan organik atau keduanya. Sering dijumpai seorang laki-laki yang mempunyai masalah dengan fungsi ereksi menjadi menderita ansietas, dan bisa kesulitan menentukan apakah faktor psikologik merupakan faktor utama atau menyertai penyakit lain.
Penyebab psikogenik terlibat pada hampir semua laki-laki dengan disfungsi ereksi, bahkan jika diketahui bahwa kebanyakan proses patofisiologi yang dominan adalah organik. Aspek psikis berperan penting terhadap ereksi, bahkan jika malfungsi organik terkecil pun dapat berakibat pada konsekuensi psikologis, yang selanjutnya disebut dengan “performance related anxiety”. Faktor – faktor yang berperan pada disfungsi ereksi psikogenik dibagi atas 3 kelompok, yaitu faktor predisposisi (pendidikan, kultur, pengalaman traumatik, masalah keluarga, stres keuangan), faktor pencetus (gangguan organik, perselingkuhan, harapan yang tidak rasional, depresi dan ansietas, kehilangan pasangan hidup), maintaining factors (penampilan terkait ansietas, berkurangnya daya tarik terhadap pasangan, ketakutan berhubungan intim).15
Penyebab organik disfungsi ereksi meliputi : Neurogenik o Penyakit sistem saraf pusat : sklerosis multipel, cedera saraf spinal, depresi, penyakit parkinson, penyakit serebrovaskuler.
15
Universitas Sumatera Utara
o Penyakit sistem saraf perifer : kompresi kauda equina, prolaps diskus intervertebralis, neuropati perifer (diabetes, alkohol), cedera bedah pada saraf pelvis. 15
Endokrin Testosteron berperan penting terhadap fungsi seksual laki-laki pada hasrat seksual dan ereksi penis. Akan tetapi, berkurangnya kadar testosteron mempunyai efek yang bervariasi terhadap fungsi ereksi. Terdapat pengurangan libido, tetapi hanya sedikit efek pada fungsi ereksi. Laki-laki dengan hipogonad tidak serta-merta kehilangan fungsi ereksinya, namun dapat terjadi pengurangan ereksi nocturnal, dengan berkurangnya lama dan kekakuan ereksi.
15
Vaskulogenik Penyakit vaskular merupakan penyebab paling sering disfungsi ereksi, dan dari semua penyebab vaskuler, yang paling banyak adalah aterosklerosis. Akan tetapi, tidak semua aterosklerosis berhubungan dengan disfungsi ereksi, tetapi faktor resikonya seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes, juga berkaitan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Penelitian Massachusetts Male Aging menunjukan hubungan antara disfungsi ereksi dengan hipertensi, diabetes dan hiperkolesterolemia. Penelitian Cologne pada laki-laki dengan disfungsi ereksi juga tampak hubungan antara disfungsi ereksi dengan diabetes dan hipertensi, sementara itu beberapa penelitian lain menunjukkan hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi. Pada tingkat seluler, telah dianggap bahwa pengurangan aliran masuk darah arteri menyebabkan hipoksia relatif didalam penis disusul dengan efek seluler (Gambar 1). Mediator seluler yang utama tampak berupa
Universitas Sumatera Utara
Transforming Growth Factor Beta 1 (TGFβ1), yang meningkat pada hipoksia dan menginduksi perubahan trofik otot polos kavernosa. 15
Seluler Terdapat dua tipe sel kavernosa yang berperan penting pada ereksi penis, yaitu sel otot polos dan sel endotel. Sel endotel vaskuler membatasi ruang trabekuler dari sinusoid kavernosa dan melepaskan beberapa zat kimia vasoaktif yang mengendalikan tonus otot polos didalam penis, yang terpinting diantaranya adalah NO. Penyakit yang merusak endotel sehingga mengganggu respon vaskuler penis terhadap rangsangan neural. Beberapa penyakit yang dapat merusak endotel (termasuk hiperkolesterolemia), namun yang terpenting adalah diabetes melitus. Perubahan stuktur endotel pada diabetes melitus disertai perubahan fungsi akan berakibat terganggunya relaksasi otot polos. Pada penuaan dapat terjadi pengurangan otot polos penis. Jika terjadi malfungsi otot polos, dilatasi arteri menjadi tidak sempurna, dan relaksasi kavernosa gagal terjadi, akhirnya mekanisme oklusi vena gagal. 15
Iatrogenik Sejumlah obat-obatan dapat mengganggu fungsi seksual, dapat berupa efek pada fungsi ereksi, fungsi ejakulasi, atau hasrat seksual. Penggunaan obat-obat ini sangat jarang secara langsung menyebabkan disfungsi ereksi sendirian, kerja obat tersebut biasanya sebagai tambahan mekanisme patofisiologi yang lain. Pembedahan dan radioterapi juga dapat mengganggu fungsi ereksi. Pembedahan yang paling sering menyebabkan disfungsi ereksi adalah pembedahan pelvis radikal terhadap kanker rektum, kanker kandung kemih, atau kanker prostat.
Universitas Sumatera Utara
Saraf parasimpatis yang membantu ereksi penis berada berdekatan dengan prostat dan sering mengalami kerusakan ketika pembedahan radikal. 15
Penyakit Sistemik Penyakit sistemik mempengaruhi fungsi seksual pria melalui berbagai jalan, antara lain pada penurunan libido dan impotensia ereksi, infertilitas, osteoporosis, dan penurunan massa otot. Efeknya dapat langsung pada tingkat testikular atau pada hypothalamic-pituitary-testicular axis.16 Pada tingkat testikular dapat terjadi pengurangan fungsi sel Leydig yang mengakibatkan defisiensi androgen. Penyakit akut dan kronik dapat mengganggu hypothalamic-pituitary-testicular axis dan
juga
menyebabkan
berkurangnya
fungsi
testikuler.
Hipogonadisme
didefinisikan sebagai berkurangnya aktifitas fungsional testis, dan dapat primer (penyakit
testikuler)
atau
sekunder
(penyakit
hipotalamik-pituitari).
Pada
hipogonadisme primer, kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan peningkatan gonadotropin. Sedangkan pada hipogonadisme sekunder kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan kadar gonadotropin yang normal. Lama penyakit, apakah akut atau kronik tidak bermakna mempengaruhi kadar testosteron aktual, meskipun nilai testosteron sedikit tetapi tidak bermakna lebih rendah pada mereka dengan penyakit kronik dibandingkan dengan penyakit akut. Kadar follicle stimulating hormone (FSH), luteinising hormone (LH) dan prolaktin tidak berbeda bermakna diantara penderita penyakit akut dengan penyakit kronik.16
Universitas Sumatera Utara
2.4. DISFUNGSI EREKSI (DE) PADA PPOK STABIL 2.4.1. Patogenesis DE pada PPOK Stabil Patogenesis terjadinya disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil belum sepenuhnya diketahui. Pada penelitian – penelitian awal, Semple dkk (1979) menemukan kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK dibandingkan kontrol, dengan kadar serum LH dan FSH yang normal, dan melihat kadar gonadotropin tidak sesuai, diduga bahwa hipoksia menyebabkan supresi pituitari. Pasien PPOK yang juga mengalami hiperkapnia mempunyai kadar testoteron lebih rendah daripada yang normokapnia, secara sederhana merefleksikan keparahan penyakit PPOK.17 Namun Gow dkk (1987) menemukan tidak ada korelasi bermakna antara tekanan oksigen arteri dan testosteron. 18 Penelitian Aasebo dkk (1993) menemukan bahwa pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK laki-laki menunjukkan 5/12 pasien mengalami perbaikan impotensi dan peningkatan testosteron, dengan meningkatnya tekanan oksigen arteri. 19 Rhoden dkk (2002) melaporkan bahwa kadar testosteron tidak berkorelasi dengan disfungsi ereksi atau derajat disfungsi ereksi.20 Hal yang berbeda dilaporkan oleh Svartberg dkk (2004) yang menemukan bahwa pemberian 250 mg testosteron IM setiap empat minggu pada pasien PPOK sedang sampai berat, secara bermakna memperbaiki fungsi ereksi, dan tidak mempengaruhi hasil spirometri maupun kadar PaO2. 21 Penelitian terbaru dilakukan oleh Karadag dkk (2007) menemukan derajat disfungsi ereksi tidak berkorelasi bermakna dengan kadar serum testosteron meskipun terdapat kadar testosteron pada pasien PPOK stabil tampak lebih rendah bermakna daripada kontrol. Sehingga sampai saat ini hubungan antara testosteron dan disfungsi ereksi pada pasien PPOK masih kontroversial.7
Universitas Sumatera Utara
Saat ini dugaan peran inflamasi kronik dapat menjadi pertimbangan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Karadag dkk (2007) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan bermakna kadar sitokin pro-inflamasi (TNFα) seiring dengan semakin beratnya disfungsi ereksi dan keparahan PPOK. Walaupun demikian, masih belum jelas apakah TNF-α mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil. Penelitian lebih lanjut diperlukan, karena belum ada penelitian yang melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan sitokin pro-inflamasi pada pasien PPOK stabil.7 Beberapa penelitian pada populasi umum melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi. Ryu dkk (2004) menemukan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan kadar TGF-β1 pada populasi umum.22 Guigliano dkk (2004) menemukan konsentrasi sitokin pro-inflamasi (IL-6, IL-8, IL-18) dan CRP yang lebih tinggi bermakna pada pasien dengan disfungsi ereksi dibandingkan pasien tanpa disfungsi ereksi.23
2.4.2. Frekuensi DE pada PPOK Stabil Beberapa penelitian terhadap pasien PPOK menghasilkan berbagai frekuensi disfungsi ereksi. Hudoyo dkk. (1996) melakukan survei dengan teknik wawancara, mereka menjumpai disfungsi seksual pada 62,5% dari 16 pasien laki – laki dengan PPOK.3 Ibanez dkk. (2001) mewawancarai pasien PPOK dengan gagal napas kronis dan pasangan mereka. Mereka mendeteksi disfungsi seksual pada 67% pasien. Saat wawancara dengan istri pasien, terdapat 94% istri merasakan perubahan kemampuan aktivitas seksual suami mereka sehubungan dengan konsekuensi penyakit yang diderita.4 Koseoglu dkk. (2005) menemukan disfungsi ereksi pada 75,5% dari 60 pasien PPOK.5 Leluya dkk. (2006) dengan kuesioner International
Universitas Sumatera Utara
Index of Erectile Function (IEEF) menemukan disfungsi ereksi pada 97% dari 40 pasien PPOK stabil.6
2.4.3. Diagnosis Disfungsi Ereksi pada pasien PPOK Stabil Disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil dipertimbangkan bila tidak ditemukan penyebab yang sering lainnya.
2.4.3.1. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menyingkirkan penyebab – penyebab lain atau keadaan yang dapat mempengaruhi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil. Selain laboratorium darah rutin juga diperlukan pemeriksaan kimia darah lain seperti fungsi hati, ureum, kreatinin dan kadar glukosa darah. Pemeriksaan foto toraks juga dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
2.4.3.2. Kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF).24 Pasien PPOK stabil di wawancara untuk menjawab kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) yang merupakan suatu metode untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan DE. Skor IIEF berkisar 0 – 25 dan DE digolongkan dalam lima kelompok menurut kriteria National Institutes of Health sebagai berikut :
Skor 0 – 7
:
DE berat
Skor 8 – 11 :
DE sedang
Skor 12 – 16 :
DE ringan-sedang
Skor 17 – 21 :
DE ringan
Skor 22 – 25 :
Tidak ada DE
Universitas Sumatera Utara