BAB II SISTEM PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME SEBAGAI EXTRA ORDINARY CRIME DI NEGARA YANG MENGANUT SISTEM HUKUM COMMON LAW DAN CIVIL LAW
A.
Pengaturan tindak pidana terorisme di dalam sistem perundang – undangan 1.
Negara yang menganut sistem Common Law Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi
internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu. Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Hal ini menyebabkan Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian.113 Menurut Muladi, 113
Soeharto, Implemetasi Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Disertasai Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2009, halaman. 47 bahwa di Indonesia regulasi mengenai tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Filosofis yang ada dalam Undang-Undang
67 Universitas Sumatera Utara
68
terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:114 a)
Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.
b)
Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah.
c)
Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan teknologi modern.
d)
Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan organisasi internasional.
e)
Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baikyang bersifat nasional maupun transnasional.
f)
Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Kejahatan terorisme menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan kedamaian dunia. Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis, terorisme dikategorikan sebagai ”kejahatan luar biasa” atau ”extraordinary crime” dan dikategorikan pula sebagai ”kejahatan terhadap kemanusiaan” atau ”crime against humanity”.115
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, merupakan Internasional dan Transnational Organized Crime. Tujuan dari dibentuknya Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme adalah perlindungan masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang merupakan paradigma tritunggal yaitu melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka. 114 Muladi, Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta, 28 Januari 2004, halaman 7 115 Ibid
Universitas Sumatera Utara
69
Mengingat kategori yang demikian maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan atau penganiayaan. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih siapa yang akan menjadi korbannya. Pengertian extra ordinary crime adalah pelanggaran berat HAM yang meliputi crime againts humanity dan goside (sesuai dengan Statuta Roma).116 Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam extra ordinary crime dengan
alasan
sulitnya
pengungkapan
karena
merupakan
kejahatan
transboundary dan melibatkan jaringan internasional.117 Terorisme sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary crime) tentunya sangat membutuhkan penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra Ordinary Measure). Sehubungan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan:118 ”Setiap usaha untuk mengatasi terorisme, sekalipun
116
Sunarto, Kriminalisasi Dalam Tindak Pidana Terorisme, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, halaman. 14, bahwa pelanggaran HAM berat masuk kategori sebagai extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sangat sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan alasan bahwa kejahatan tersebut sangat bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan secara mendalam (dan dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan). Tindak pidana teror dimasukan dalam extra ordinary crime dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary dan melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukkan bahwa memang tindak pidana teror (lebih banyak) merupakan tindak pidana yang melibatkan jaringan internasional, namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya ataupun sifat internasionalnya. Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court (ICC). 117 Ibid 118 Muladi, Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime), Materi Seminar di Hotel Ambara Jakarta, 28 Juni 2004, halaman. 1.
Universitas Sumatera Utara
70
dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung elemen ”Etno Socio or Religios Identity”, dalam mengatasinya mau tidak mau harus mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi komunikasi, informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism identity)”. Sejalan dengan itu Romly Atmasasmita mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis, terorisme merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional, bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi manusia.119 Menurut T. P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) terorisme didefinisikan sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijaksanaan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. penggunaan cara-cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan. Proses teror, menurutnya memiliki tiga unsur, yaitu:120 a)
Tindakan atau ancaman kekerasan.
b)
Reaksi emosional terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban atau calon korban.
119
Romly Atmasasmita, Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, Jakarta 28 Juni 2004, halaman. 3 120 Bryan A. Gardner, Editor in Chief, Black Law Dictionary, Seventh Edition, 1999, halaman. 84.
Universitas Sumatera Utara
71
c)
Dampak sosial yang mengikuti kekerasan atau ancaman kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian.
Terorisme dapat diartikan sebagai penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan fisik yang direncanakan, dipersiapkan dan dilancarkan secara mendadak terhadap sasaran langsung yang lazimnya adalah non combatant untuk mencapai suatu tujuan politik. Pengertian terorisme dalam rumusan yang panjang oleh James Adams adalah:121 penggunaan atau ancaman kekerasan fisik oleh individu- individu atau kelompok-kelompok untuk tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang ada, apabila tindakan- tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan, melumpuhkan atau mengintimidasi suatu kelompok sasaran yang lebih besar daripada korban- korban langsungnya. Terorisme melibatkan kelompokkelompok yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu untuk mengoreksi keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik internasional yang ada. Di samping itu terdapat beberapa pandangan menyangkut terminologi menyangkut terorisme yang tentunya berpengaruh terhadap sistem pertanggungjawaban pelaku dan sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, antara lain: a)
Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sedangkan
121
Muchamad Ali, Syafaat dalam Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, halaman. 59.
Universitas Sumatera Utara
72
menurut US Department of Defense tahun 1990,122 Terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau idiologi. b)
Terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional. Presiden Dewan Keamanan PBB, Mihnia Loan Motoc bahwa Terorisme dalam berbagai bentuknya merupakan ancaman serius bagi keamanan dan kedamaian dunia.123
Berdasarkan historis dan modus operandi yang telah diidentifikasi menggambarkan bahwa kegiatan terorisme internasional di Indonesia berkembang dengan diketemukannya indikasi adanya kerjasama antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan kelompok radikal seperti Abu Sayaf Group (ASG) Libya dan Taliban. Pada dasarnya kejahatan terorisme merupakan kejahatan internasional. kejahatan terorisme internasional dilakukan melalui berbagai cara antara lain; pembajakan pesawat terbang, penyanderaan, pejabat-pejabat asing atau diplomatik, pembajakan dan sabotase kapal, penggunaan senjata-senjata pemusnah massal, sehingga diperlukan berbagai pengaturan
internasional
untuk
mengantisipasi
kejahatan
terorisme
internasional.124
122
Loudewijk F Paulus, Loc. Cit. Farid Wadjdi, Kebencian Barat terhadap Gerakan Islam Ideologis, Wahyu Press, Jakarta, 2003, halaman 28 124 Dadang Siswanto, Implementasi Konvensi Terorisme dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. http://www.alsaindonesia.net/index.php?file_ id=29&class=news&act=read&news_id=51. Diakses tanggal 30 Juli 2014 123
Universitas Sumatera Utara
73
Kejadian tersebut di atas tentunya berimplikasi bahwa terorisme menjadi isu utama di dunia. Selain itu, kejahatan terorisme menjadi suatu ancaman yang serius bagi setiap negara dikarenakan kejahatan ini berdampak sedemikian luas pada masyarakat maupun pada kelangsungan hidup suatu bangsa, menimbulkan korban jiwa yang banyak dan korban materil yang besar. Berdasarkan kesepakatan bersama negara-negara ASEAN dalam SOMTC (Senior official meeting on transnational crime) tanggal 9 sampai dengan 10 Oktober 2001 di Singapura telah ditetapkan kejahatan-kejahatan yang bersifat Transnational Crime yaitu: a)
Illicit Drug Trafficking (Perdagangan Illegal narkotika dan psikotropika);
b)
Money Laundering (Pencucian uang);
c)
Terrorism (Terorisme);
d)
Arms Smuggling (Penyelundupan senjata api);
e)
Trafficking in Persons (Perdagangan manusia);
f)
Sea Piracy (Pembajakan di laut);
g)
Cyber Crime (Kejahatan komputer);
h)
International Economic Crime (Kejahatan Ekonomi Internasional).
Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (mala perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita). memahami makna terorisme dari beberapa lembaga di Amerika Serikat juga memberikan pengertian yang berbeda-beda, seperti misalnya: United Stated Central Intelligence (CIA). Terorisme internasional adalah terorisme yang
Universitas Sumatera Utara
74
dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing. United Stated Federal Bureau of Investigation (FBI) terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta benda untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.125 Terorisme
sebagai
kejahatan
internasional
yang
pengaturannya
didasarkan pada instrumen-instrumen internasional, terorisme juga merupakan bentuk kejahatan internasional karena memenuhi unsur-unsur kejahatan internasional. Menurut M. Cherif Bassiouni unsur kejahatan internasional adalah126
125 126
a)
Unsur Internasional, yaitu: 1) direct threat to world peace and security (ancaman langsung terhadap perdamaian dan keamanan dunia); 2) indirect threat to world peace and security (ancaman tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan dunia); 3) shocking to the conscience of humanity (Tekanan terhadap kemanusiaan).
b)
Unsur Transnasional, yaitu: 1) conduct affecting more than state (berdampak lebih dari satu negara); 2) conduct including or affecting citizens of more than one state; means and methods, transnational bounderies (berdampak atau termasuk berakibat terhadap masyarakat lebih dari satu negara; tujuan dan cara, gabungan kejahatan transnasoinal);
Muladi, Loc.cit Dadang Siswanto, Loc. Cit
Universitas Sumatera Utara
75
3)
Necessity: cooperation of state necessary to enforcement (Kepentingan: kerjasama dari negara yang berkepentingan dalam penegakan).
Sesuai dengan pendapat M Cherif Bassiouni tersebut di atas, maka kejahatan
terorisme
internasional
memenuhi
unsur-unsur
kejahatan
internasional. Adapun unsur internasionalnya adalah bahwa tindakan terorisme secara tidak langsung dapat menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan internasional, sebagai contoh penyerangan Amerika Serikat dipicu oleh peledakan gedung WTC. Di samping itu juga akibat dari tindakan terorisme yang menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil merupakan perbuatan yang menggoyahkan perasaan kemanusiaan. Pengaturan menyangkut terorisme di Negara yang menganut sistem hukum common law antara lain United State of Amerika dan United Kingdom dapat diuraikan sebagai berikut:127 a)
Negara Amerika Serikat mengatur pemberantasan terorisme di dalam PATRIOT ACT 2001 (United State of Amerika) yang membedakan terorisme kedalam terorisme domestik dan terorisme internasional. Amerika Serikat mendefinisikan terorisme sebagai berikut: Terrorism is activities that involve violent... or lifethreatening acts... that are a violation of the criminal laws of the United States or of any State and... appear to be intended (i) to intimidate or coerce a civilian population; (ii) to influence the policy of a government by intimidation or coercion; or (iii) to affect the conduct of a government by mass destruction, assassination, or kidnapping; and... occur primarily within the territorial jurisdiction of the United States...or... occur primarily outside the territorial jurisdiction of the United States.128 Terorisme domestik
127
Soeharto, Op.cit, halaman. 98-102 Chapter 113B of Part I of Title 18 of The United States Code in Section 2331, artinya: “terorisme merupakan Kegiatan-kegiatan yang melibatkan kekerasan... atau aksi-aksi yang 128
Universitas Sumatera Utara
76
berkaitan dengan tindakan yang sangat membahayakan nyawa atau kehidupan manusia yang melanggar undang-undang pidana federal atau Negara bagian. Tindakan bertujuan untuk mengintimidasi atau memaksa penduduk sipil, untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan mengintimidasi atau pemaksaan, mempengaruhi pemerintah dengan perusakan masal, pembunuhan atau penculikan dan terjadi secara khusus di dalam yuridiksi Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat setelah tragedi 11 September 2001 telah melakukan perubahan-perubahan secara menyeluruh terhadap perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme. Di dalam United States of Public Law 107-56 (HR 3162) tanggal 26 Oktober 2001 Congress Amerika Serikat telah berhasil mengundangkan: Uniting and Strenghtening America by Providing Approriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terorism atau disingkat United State Amerika PATRIOT ACT 2001. Undangundang baru yang merupakan amandemen United States Code terdiri dari 10 bab dan 1016 Pasal. Kesepuluh bab Undang-Undang PATRIOT ACT 2001 tersebut ialah Bab I tentang Peningkatan Keamanan Domestik dari Terorisme, Bab II tentang Peningkatan Prosedur Penyadapan, Bab III tentang Pelacakan Pencucian Uang Internasional dan Anti Pendanaan Terorisme, Bab IV tentang Perlindungan Perbatasan, Bab V tentang Penghindaran Hambatan untuk Penyelidikan Terorisme, Bab VI tentang Perlindungan bagi Korban Terorisme, Pejabat Publik dan Keluarganya, Bab VII tentang Peningkatan Pemerataan Informasi untuk Perlindungan terhadap Infrastruktur Rentan, Bab VIII tentang Penguatan UndangUndang Pidana terhadap Terorisme, Bab XI tentang Pemajuan Intelijen, Bab X Lain-lain. b)
Negara Inggris (United Kingdom) pengaturan menyangkut pemberantasan terorisme diantur pada Undang-Undang United Kingdom Tahun 2000 yang merumuskan terorisme sebagai tindakan dengan melibatkan ancaman yang bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi masyarakat atau segala unsurunsur masyarakat, ancaman tersebut ditujukan karena alasan politik, agama, atau idiologis atau idealisme tertentu dan tindakan itu mengakibatkan kejahatan yang serius terhadap orang lain,
mengancam kehidupan, yang merupakan pelanggaran terhadap undang-undang kriminal Amerika Serikat atau negara manapun dan... yang terjadi karena keinginan untuk (i) menakut-nakuti atau memaksa pen-duduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan intimidasi atau paksaan, atau (iii) memberikan dampak terhadap langkah suatu pemerintah dengan cara perusakan massal, pembunuhan atau penculikan; dan... terjadi pada mulanya di dalam jurisdiksi teritorial Amerika Serikat... atau... terjadi pada mulanya di luar jurisdiksi teritorial Amerika Serikat.”
Universitas Sumatera Utara
77
kerusakan fasilitas umum secara serius, membahayakan kehidupan seseorang, selain dari orang yang melakukan tindakan tersebut, tindakan itu berdampak pada bahaya yang serius pada kesehatan atau keselamatan umum dan direncanakan secara serius untuk mengganggu atau mengacaukan sistem elektronik, melibatkan bahan peledak atau pembakaran dan aksi atau tindakan yang mencakup di luar lingkungan Negara Inggris yang menguntungkan organisasi terlarang. Pemerintah juga dapat melarang berbagai organisasi yang memiliki jaringan dengan terorisme. Inggris mendefinisikan terorisme sebagai berikut: “Terrorism is the use of threat is designed to influence the government or to intimidate the public or a section of the public ...and the use of threat is made for the purpose of advancing a political, religious or ideological cause....it involves serious violence against a person, involves serious damage to property, endangers a person's life, other than that of the person committing the action,...creates a serious risk to the health or safety of the public or a section of the public or is designed seriously to interfere with or seriously to disrupt an electronic system...”.129 Defenisi ini menjelaskan bahwa terorisme adalah penggunaan ancaman yang dimaksud untuk mempengaruhi pemerintah atau bentuk intimidasi publik dan penggunaan ancaman bertujuan untuk hal-hal politis, religi atau ideologi. Di samping itu Negara-negara Uni Eropa mendefinisikan terorisme sebagai berikut: “terrorism is...certain criminal offences set out in a list comprised largely of serious offences against persons and property which; "given their nature or context, may seriously damage a country or an international organization where committed with the aim of: seriously intimidating a population; or unduly compelling a Government or international organization to perform or abstain from performing any act; or seriously establishing or destroying the fundamental political, constitutional, economic or social structures of a country or an international organization...”.130 Berdasarkan 129
Terrorism Act 2000, artinya: "Terorisme adalah penggunaan ancaman dirancang untuk mempengaruhi pemerintah atau menakut-nakuti masyarakat umum atau kelompok masyarakat... dan penggunaan ancaman dilakukan untuk kepentingan pengembangan sesuatu kepentingan yang bersifat politik, agama atau ideologi yang melibatkan kekerasan secara nyata (serius) terhadap manusia, melibatkan perbuatan yang nyata merusak harta benda, membahayakan kehidupan manusia selain dirinya sendiri... menimbulkan suatu akibat nyata (serius) terhadap kesehatan atau keamanan masyarakat umum atau kelompok masyarakat atau dirancang secara nyata (serius) untuk mengganggu secara nyata (serius) sehingga merusak suatu sistem elektronika..." 130 Articel 1 of The Framework Decision on Combating Terrorism (2002). Arti dari definisi di atas adalah: “terorisme adalah...tindak kriminal tertentu sebagaimana terdapat da-lam suatu daftar yang memuat sebagian besar dari keja-hatan-kejahatan terhadap manusia dan harta benda yang; "memberikan keadaan atau suasana kerusakan nyata (serius) terhadap suatu negara atau suatu
Universitas Sumatera Utara
78
uraian di atas mensyaratkan bahwa terorisme menurut Negaranegara Uni Eropa memaknai dan mendefenisikan terorisme sebagai bentuk tindakan kriminal terhadap orang atau barang yang dapat membahayakan Negara. Dalam Undang-Undang Terorisme Negara Inggris Tahun 2000, menyatakan bahwa siapapun yang menjadi anggota, pendukung atau mengenakan berbagai atribut atau kostum yang identik dengan keanggotaan organisasi terlarang tersebut. Undang-Undang Terorisme Tahun 2000 juga mempidanakan berbagai pelatihan yang dilakukan teroris. Selanjutnya dalam menindaklanjuti kejadian pada 11 September, Inggris telah mengeluarkan aturan anti terorisme dengan menetapkan UndangUndang Anti Terorisme, Kejahatan dan Keamanan Tahun 2001. Tujuan undang-undang ini adalah untuk merespon atas serangan terorisme pada 11 September di New York dan Washington. Undang-undang ini mencakup serangan terhadap perbedaan ras dalam Undang-Undang Kejahatan dan Pelanggaran Tahun 1998 terkait dengan serangan oleh kelompok keagamaan dan mengontrol senjata kimia, nuklir dan biologis, menetapkan laboratorium dan pihak yang terkait dengan penyakit khusus yang disebabkan oleh mikroorganisme dan racun. Dalam undang-undang ini, pihak kepolisian dapat mengidentifikasi berbagai tanda, mengambil sidik jari tersangka agar dapat mengidentifikasi mereka, dan memfoto tersangka, memfasilitasi memori dengan penyediaan layanan komunikasi terkait demi keamanan nasional agar mereka memiliki akses yang terkait dengan keamanan, investigasi dan penegakan hukum. Berdasarkan pengaturan menyangkut terorisme di Negara yang menganut sistem hukum common law di atas maka dapat diidentifikasi terorisme merupakan penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri :131
organisasi inter-nasional untuk mencapai: ketakutan nyata (serius) di ka-langan penduduk; atau menarik secara paksa perhatian dari sebuah pemerintahan atau organisasi internasional agar melakukan sesuatu langkah atau agar tidak melaku-kan langkah apa-apa; atau menimbulkan destabilisasi yang nyata (serius) atau merusak basis politik, konstitusi, ekonomi atau struktur-struktur sosial dari suatu negara atau suatu organisasi internasional...” 131 F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, halaman. 4.
Universitas Sumatera Utara
79
2.
a)
Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta benda, membayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik.
b)
Penggunaan ancaman atau didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik.
c)
Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau ideologi.
d)
Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam kegiatan yang melibatkan penggunaan senjata api atau bahan peledak.
Negara yang menganut sistem Civil Law Istilah "terorisme" umumnya berkonotasi negatif, seperti juga istilah
"genosida" atau "tirani". Istilah ini rentan dipolitisasi. Kekaburan defisi membuka peluang penyalahgunaan.132 Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai "teror" atau "terorisme". Tindakan teror bisa dilakukan oleh negara, individu atau sekelompok individu, dan organisasi. Pelaku biasanya merupakan bagian dari suatu organisasi dengan motivasi cita-cita politik atau cita-cita religius tertentu yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang/kelompok yang mempunyai keyakinan tertentu. Makna terorisme mengalami pergeseran dan perluasan paradigma yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikatergorikan 132
Sunarto, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
80
sebagai crime againt state sekarang meliputi terhadap perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai crime againt humanity di mana yang menjadi korban adalah masyarakat yang tidak berdosa, semuanya dilakukan dengan delik kekerasan (kekerasan sebagai tujuan), kekerasan (violence) dan ancaman kekerasan (threat of violence).133 Adanya suatu feeling for fear atau intimidating to public and governmental yang tujuan ahirnya adalah berkaitan dengan delik politik, yaitu melakukan perubahan sistem politik yang berlaku dalam suatu negara. Dampak yang demikian luas akibat tindakan terorisme, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk melindungi warganegara dan 133
Bahtiar Marpaung, Aspek Hukum Pemberantasan Terorisme Di Indonesia, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007 halaman 121 bahwa berdasarkan usulan dari konsensus akademis tahun 1999, yang ditetapkan United Nations General Assembly, definisi tentang terorisme adalah sebagai berikut Terorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group or state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby in contrast to assassination the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or selectively (representative of symbolic targets) form a target population, and serve as message generators. Threat and violence based communication processes between terorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or propaganda is primarily sought. Sedikitnya ada tiga elemen yang harus dipenuhi untuk dapat memenuhi unsur definisi di atas, yaitu motif politik, rencana atau niat, dan penggunaan kekerasan. Menurut Konvensi PBB tahun 1937, teorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Ayatullah Sheikh Muhammad AI Taskhiri, menyatakan: “terrorism is an act carried out to achieve on in "human and corrupt objective and involving threat to security of mankind, and violation of rights acknowledge by religion and mankind”. Selanjutnya menurut FBI, “terrorism is the unlawful use of force or violence "against persons or property to intimidate or coerce a government, civilian populations, or any segment threat, in furtherance of political or social objective”. Dari sebuah forum curah pendapat (brain-storming) antara para akademisi, profesional, pakar, pengamat politik dan diplomat terkemuka yang diadakan di Kantor Menko Polkam tanggal 15 September 2001, dapat dicatat beberapa pendapat atau pandangan mereka mengenai terorisme, adalah sebagai berikut: Terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok orang (ekstrimis, separatis, suku bangsa) sebagai jalan terakhir untuk memperoleh keadilan yang tidak dapat dicapai mereka melalui saluran resmi atau jalur hukum. Dari pandangan mereka dapat dikemukakan juga bahwa tindakan kekerasan (terrorism) tersebut diartikan sebagai cara (means) atau senjata bagi kelompok yang lemah untuk melawan kelompok yang kuat atau suatu cara bagi kelompok tertentu untuk mencapai tujuan.
Universitas Sumatera Utara
81
kepentingan negara dengan membuat rambu-rambu hukum nasional, salah satu cara
dengan
meratifikasi
perkembangan
hukum
international
tentang
penanggulangan tindakan terorisme. Menurut Farouk Muhammad, ada dua penyebab terjadinya perbuatan melakukan kejahatan terorisme yaitu Teror merupakan reaksi jahat terhadap aksi yang dipandang “lebih jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan kejahatan yang berdiri sendiri (interactionism) dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam (hate crimes).134 Pertama, Pandangan “lebih jahat” itu sendiri lebih merupakan persepsi dari pada fakta. Karena itu, prasyarat
utama
bagi
terjadinya
teror
adalah
sikap/perbuatan
seseorang/sekelompok orang bahkan kebijakan penguasa (negara) yang dipandang secara subyektif oleh pelaku atau kelompok pelaku sebagai mendzolimi, semena-mena, diskrimintaif dan/atau tidak adil bagi pihak lain. Kedua, bahwa pelaku tidak mempunyai kemampuan untuk memberi reaksi (jahat) secara langsung dan terbuka sementara di lain pihak tidak tersedia legitimate means untuk mengoreksi sikap/perbuatan dan/atau kebijakan dimaksud. Kedua kondisi inilah yang merupakan akar permasalahan yang menumbuhkan perbuatan teror. Dalam bentuk yang paling sederhana, teror dijumpai dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita, misalya yang dilakukan seseorang terhadap sebuah keluarga dalam bentuk fitnah, kabar bohong dan
134
Jeanne Darc Noviayanti Manik, Tindak Pidana Terorisme, Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, halaman 146
Universitas Sumatera Utara
82
atau hasutan atau ancaman melalui telepon. Yang paling kompleks adalah pembajakan pesawat dan peyerangan atau pemboman bunuh diri. Yang terakhir ini baru dikenal dengan terorisme. Disebut „teror-isme‟ karena dipandang sebagai suatu yang digandrungi (menjadi suatu paham atau isme) dengan menggunakan terror sebagai serana pemaksa kehendak dalam peyelesaian suatu permasalahan. Tujuan teror adalah terwujudya cita-cita atau apa yang hendak diperjuangkan oleh pelaku dalam kasus pembajakan misalya, adalah tuntutan pembebasan rekan seperjuangan yang ditahan oleh penguasa atau lawan. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 tahun 2002 yang dimaksud dengan tidak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini. Adapun ancaman pidana yang melakukan tindak pidana terorisme dipidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun, setiap orang yang dengan sengaja meyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dangan tujuan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan sebagai atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme. Teror sudah ada dan terjadi sejak lama, namun peristiwa 11 September 2001, menghentakkan dunia, tidak hanya Amerika Serikat. Peristiwa yang sampai disiarkan langsung oleh stasiun Metro TV, merelay siaran langsung dari
Universitas Sumatera Utara
83
CNN itu sangat mencengangkan. Gambar yang muncul di televisi begitu dramatis, Gedung WTC (World Trade Centre) yang begitu perkasa, runtuh perlahan, hancur lebur menjadi debu. Kepanikan dan ketakutan mewarnai Amerika Serikat. Presiden George W. Bush segera mengumumkan kepada dunia, bahwa Amerika diserang teroris biadab. Teroris tersebut adalah Osama bin Laden dan jaringannnya, Al Qaeda.Teroris itu adalah Islam, Arab.135 Sejak itu, kata “terorisme” menjadi kata yang paling populer dan tidak ada habishabisnya disebut masyarakat dalam obrolan sehari-hari. Osama bin Laden, dengan Al Qaeda-nya dikejar-kejar, karena dianggap sebagai biang peledakan. Tidak hanya Osama tetapi Afghanistan yang saat itu diperintah rezim Thalibanpun harus dibombardir Amerika beserta sekutunya karena dianggap melindungi Osama bin Laden, Thalibanpun hancur. Rakyat Indonesia yang nota bene tidak ada sangkut pautnya dengan peledakan WTC mulai terhentak atas pernyataan Menteri Senior Singapura yang dikutip The Straits Times yang lancang menyatakan bahwa Singapura tidak akan pernah aman bertetangga dengan Indonesia yang menjadi sarang teroris.136 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kedubes Amerika Serikat di Indonesia, bahwa di Indonesia ada jaringan teroris. Nampaknya hal tersebut terkait dengan pernyataan Badan Intelijen Nasional (BIN) yang menyatakan bahwa Poso sebagai tempat latihan orang-orang yang terkait dengan jaringan 135
Adian Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers, 2001,
halaman. ix 136
Ibid
Universitas Sumatera Utara
84
Al Qaeda dan Afghanistan. Kata “Terorisme” pun semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia, dan seolah menjadi bahan perbincangan yang “paling mengasyikkan”.137 Kejadian pemboman Paddy‟s Pub dan Sari Club di Legian, Kuta Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 persis satu tahun setelah Tragedi WTC–semakin mengejutkan bangsa Indonesia, hal itu disebabkan jumlah korban yang begitu besar dan bersifat massal, bahkan mereka (korban) adalah orang-orang yang tidak tahu menahu dan tidak ambil peduli terhadap kebijakan politik negara yang menjadi sasaran utama para teroris. Para korban hanya diposisikan sebagai sasaran antara dari tujuan utama yang hendak dicapai para teroris. Korban yang bersifat massal dan acak inilah yang mengancam keamanan dan perdamaian umat manusia (human security). Keamanan seolah menjadi barang mahal yang sangat sulit diperoleh. Akhir-akhir ini ancaman terhadap human security semakin meningkat. Senjata-senjata yang dipergunakan para teroris adalah senjata pemusnah dan perusak massal (weapon of massive destruction), bahkan teroris senantiasa melakukan gerakan
terorisme
internasional dengan modus operandi baru, seperti penggunaan bom surat, dirty bomb, gas sianida dan apa yang diidentifikasi sebagai bom beracun yang mengandung zat radioaktif. Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku teror telah melampaui dari batasan 137
kejahatan-kejahatan
yang
dikategorikan
sebagai
kejahatan
Ibid
Universitas Sumatera Utara
85
konvensional, kemudian beberapa kalangan mengkategorikan kejahatan terorisme sebagai “extra ordinary crime”. Dan terorisme dianggap sebagai “hostes humanis generis” musuh umat manusia138, sehingga diperlukan tindakan / langkah yang bersifat luar biasa juga (extra ordinary measures). Untuk menunjukkan terorisme sebagai hostes humanis generis” musuh umat manusia dapat dicontohkan dalam kasus aksi terorisme di Bali sebagai berikut:139 “Aksi terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 telah mengejutkan pemerintah tidak hanya masyarakat Indonesia dan dikategorikan sebagai “hostes humanis generis” musuh umat manusia, lebih-lebih kala itu Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme. Namun sejak peristiwa tersebut, pada tanggal 18 Oktober 2002, pemerintah serta merta mengundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu ini sekarang telah ditingkatkan menjadi Undang-undang melalui Undangundang Nomor 15 Tahun 2003, dan untuk selanjutnya disebut Undangundang Terorisme). Perpu Nomor 1 Tahun 2002 ini dilengkapi dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Pember- lakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peristiwa Peledakan Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002”. Terorisme termasuk kategori extra ordinary crimes, membutuhkan extra ordinary measures. Sehingga kelahiran Undang-undang terorisme ini tidak lepas dari munculnya pro dan kontra. Pro dan kontra terjadi karena adanya perbedaan titik tolak dalam memandang terorisme dengan dikeluarkannya UU Terorisme. Di satu sisi kelompok kontra didasarkan pandangan pada perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap pelaku (offender oriented), 138 139
Muladi, Op.cit, halaman 18 Ibid
Universitas Sumatera Utara
86
sedangkan sisi lain titik tolak kelompok pro didasarkan pada pendekatan perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap korban (victim oriented). Setelah lahirnya UU Terorisme di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, lebih berorientasi pada victim oriented tanpa memperhatikan offender oriented, hal ini terlihat dari rumusan Pasal 36 dan Pasal 37 UU Terorisme yang menyatakan bahwa “setiap orang atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan konpensasi, restitusi dan rehabilitasi”. Rumusan ini diartikan sebagai victim and witness protection principle. Alasan yang disampaikan oleh kelompok kontra dengan dikeluarkannya Undang-undang Terorisme antara lain:140
140
a)
Undang-undang Terorisme melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena dapat berlaku surut (retro aktif), sedangkan pemberlakuan surutnya sampai kapan tidak dirumuskan secara tegas.
b)
Undang-undang terorisme dibuat dalam suasana ketergesa-gesaan, sehingga terkesan hanya sekedar menuruti kemauan pihak tertentu, bukan kehendak dan kebutuhan murni masyarakat.
c)
Undang-undang Terorisme merupakan “reinkarnasi” dari Undangundang Nomor 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Kekhawatiran ini didasarkan pada adanya kewenangan yang luar biasa kepada intelijen untuk memberikan laporan (sebagai bukti permulaan yang cukup). Meskipun ada lembaga “hearing” untuk dapat atau tidaknya diproses lebih lanjut yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri, namun hal ini masih meragukan, karena laporan intelijen adalah sedemikian rumit mungkin saja tidak mampu dipahami seorang Ketua Pengadilan Negeri.
Ibid
Universitas Sumatera Utara
87
d)
Aksi terorisme sebenarnya masih bisa ditanggulangi dengan menggunakan hukum pidana umum (KUHP), misalnya masalah pembunuhan, pembakaran, peledakan bom dan sebagainya.
Bagi kelompok yang mendukung terhadap dikeluarkannya Undangundang Terorisme, berdasar pada argumentasi bahwa peraturan perundangundangan yang telah ada (terutama KUHP) tidak dapat diterapkan kepada actor intelectualis dari pelaku teror ini, dalam arti bahwa dipidana lebih berat dari actor physicus nya. Hal ini karena justru actor intelectualis dalam aksi terorisme mempunyai peran sangat penting dibanding dengan actor physicusr nya. Di samping itu, penanganan terorisme harus segera mungkin, dan hal ini tidak bisa terlaksana apabila diserahkan pada hukum acara biasa. Oleh karena itu perlu pengaturan khusus, termasuk hukum acaranya. Alasan yang menjadi kerangka dasar bagi kelompok yang mendukung dikeluarkannya aturan menyangkut terorisme di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah didasarkan pada perlindungan korban (memandang dari sisi korban terorisme), di mana teror merupakan ancaman bagi hak-hak individu seperti hak untuk hidup (right to life), bebas dari rasa takut (freedom from fear), maupun hak-hak kolektif seperti rasa takut yang bersifat luas, bahaya terhadap kebebasan demokrasi, integritas teritorial, keamanan nasional, stabilitas pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
88
yang sah, pembangunan sosial ekonomi, ketentraman masyarakat madani yang pluralistic, harmoni dalam perdamaian inetrnasional dan sebagainya 141 . Teror biasanya dilakukan secara (indiscriminate)
acak (random) dan tidak terseleksi
sehingga sering mengorbankan orang-orang yang tidak
bersalah termasuk wanita dan anak-anak dan sering dilakukan secara terorganisisr dan bersifat transnasional (transnational organized crime). Alasan-alasan tersebut semakin mendasari kebutuhan akan adanya pengaturan terorisme secara tersendiri dan khusus. Tindak pidana terorisme berdasarkan perkembangan lingkungan startegik merupakan kejahatan terorganisir, memiliki jaringan nasional maupun internasional yang sangat meresahkan dan menjadi perhatian dunia.
Tindak
pidana terorisme setiap saat akan terjadi dengan sasaran yang tidak dapat diprediksi, tindakannya menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit, juga menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejahatan tersebut memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematis dan meluas serta terorganisasi sehingga merupakan ancaman yang sangat serius terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karenanya kejahatan terorisme masuk ke dalam “Trans National Crime” dan “Extra Ordinary Crime”.142
141 142
Muladi, Op.cit, halaman. 1-2. Soeharto, Lo.cit.
Universitas Sumatera Utara
89
Kejahatan terorisme memiliki karakteristik spesifik yang tidak dimiliki kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematis dan meluas baik perekrutan pengantin, perencanaan serta terorganisasi. Pelaku terorisme saat ini dalam melakukan perekrutan menggunakan indoktrinasi ideologi jihad yang subjektif berdasarkan doktrin soft power yang diartikan dengan cara memikat menggunakan berbagai cara disertai proses kooptasi sehingga orang dengan suka rela menuruti apa saja yang dimau pihak lain,143 sehingga terorisme merupakan ancaman yang sangat serius terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Dampak yang cukup signifikan adalah terganggunya stabilitas Kamdagri. Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial.144 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui menjadi Undang-Undang 143
Soft Power didefenisakan sebagai the ability to get what you want through attraction rather than coercion,threats or payments. 144 Keterangan Pemerintah tentang diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Tahun 2002, halaman 8.
Universitas Sumatera Utara
90
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara spesifik memuat perwujudan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) dalam Convention Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997), antara lain memuat ketentuan- ketentuan tentang lingkup yuridiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta ketentuanketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme internasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 juga mempunyai kekhususan, antara lain:145
145
a)
Merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundangundangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme.
b)
Memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut ”safe guarding rules”.
c)
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa tindak pidana yang bermotif politik atau yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
d)
Memuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan atau prinsip pemberantasan waktu efektif (sunset principle) yang dapat mencegah penyalahgunaan wewenang satuan tugas bersangkutan. Memuat ketentuan tentang yuridiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkauan terhadap tindak pidana terorisme.
e)
Memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga membuat Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ibid
Universitas Sumatera Utara
91
f)
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatankegiatan yang bersifat advokasi.
g)
Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana yang minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
h)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan terorisme.
Penanggulangan tindak pidana terorisme di dalam peraturan perundangundangan hendaknya merupakan kebijakan yang mengeliminasi akar motivasi, yaitu dengan mewujudkan keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan keterbukaan diskursus religius.146 Upaya menanggulangi tindak pidana terorisme yang bersifat internasional (international terrorism), dilakukan dengan perumusan tindak pidana yang bersifat nasional baik yang diatur dalam KUHP maupun yang diluar KUHP. Namun upaya tersebut belum memadai mengingat elemen kejahatan yang bersifat spesifik dan tidak tertampungnya berbagai aspirasi yang berkembang baik secara regional maupun internasional, dalam rangka harmonisasi hukum. Elemen yang bersifat spesifik antara lain adalah timbulnya suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas. Dalam delik formil, hal ini dirumuskan sebagai "dolus specialis" sebagaimana
146
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., halaman 3
Universitas Sumatera Utara
92
diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pengaturan tindak pidana terorisme seharusnya bersifat sistem global dan komprehensif (sebagai alternatif sistem evolusioner dan sistem kompromi). Kandungannya, selain memuat kebijakan kriminal (criminal policy) yang bersifat luas baik preventif maupun represif, terdapat pula beberapa cara yang bersifat khusus (seperti prosedur "hearing", peradilan in absentia, diakuinya alat bukti elektronik dan sebagainya), tanpa menyampingkan perlindungan HAM (pengaturan perlindungan saksi, pelapor, korban kejahatan, sistem "hearing "dan lain-lain. Kebijakan kriminal (criminal policy) saat ini yang menjadi sasaran dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah kebijakan yang bersifat represif, ditujukan dalam kerangka pemberantasan, pengungkapan dan penanganan kasus tindak pidana teror dan pelaku teror (terorist). Pengaturan ini berupa penetapan tindakan-tindakan yang termasuk dalam tindak pidana teror, prosedur penanganan (penyelidikan, penyidikan, dan peradilan) serta sanksi yang diterapkan. Sedangkan kebijakan preventif belum menjadi sasaran prioritas di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tindak yang dilakukan oleh terorisme tidak dapat dibenarkan, apapun motivasinya, di manapun tempatnya, kapan pun waktunya, dan siapapun yang
Universitas Sumatera Utara
93
menjadi targetnya. Teror, teroris atau terorisme adalah rangkaian kata yang saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan, tidak terkecuali bagi pemerintah Indonesia. Aktivitasnya tidak hanya terkait dengan perlawanan suatu kelompok terhadap negara untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ideologi tertentu. Terorisme telah berkembang jauh dan tidak hanya persinggungan dengan ranah politik, tetapi telah pula menjangkau ke dalam ranah yang lebih luas yaitu ekonomi, sosial budaya maupun agama. Terorisme memiliki pengaruh kuat terhadap masyarakat, terutama jika dipublikasikan secara ekstrem oleh media cetak atau elektronik.147 Aksi kerusuhan tertentu sangat menarik dalam penayangan televisi. Apabila dengan siaran langsung dari tempat kejadian, jutaan pemirsa ikut mendengarkan, bahkan melihat teroris mengajukan tuntutan atau bereaksi. Aksi terorisme modern berbeda dengan masa lalu, banyak masyarakat tak berdosa ikut menjadi korban. Aksi teroris selalu mengikuti perubahan zaman. Beberapa negara di dunia menyatakan diri perang melawan terorisme, tetapi terorisme tetap hidup dan ancamannya semakin menakutkan. Pemberantasan terorisme di Indonesia adalah dengan didasarkan pada Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tersebut diawali dengan adanya peledakan Bom Bali, yang menewaskan ratusan warga negara asing. Akibat adanya peristiwa inilah maka untuk pertama kalinya pemerintah memandang 147
A. M. Hendropriyono dalam Op. Cit., halaman 318-319
Universitas Sumatera Utara
94
perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme, yang ternyata delikdelik dalam KUHP tidak dapat menjangkau tindakan terorisme sebagai kejahatan internasional. Ketika UU Terorisme disahkan, banyak kontroversi yang muncul sebab kentalnya pengaruh asing khususnya Amerika Serikat. Walaupun demikian, di dalam kandungan pasal-pasal UU Terorisme mengandung banyak asas yang dituangkan sebagai aspek yuridis dalam rangka pemberantasan terorisme. Menurut Muladi,148 Asas-asas yang sangat dipertimbangkan dalam melakukan kriminalisasi dalam tindak pidana terorisme adalah: a)
Asas kriminalisasi yang diperluas (the principle of extended criminalization). Kriminalisasi merupakan proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat.149 Asas kriminalisasi yang diperluas dalam kandungan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengandung arti: 1)
Penciptaan tindak pidana baru baik yang berupa delik formil maupun delik materiil. Penciptaan
tindak
pidana
baru
ini
didasarkan
atas
pertimbangan kemungkinan adanya baik "actual harm" 148
Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Volume 2 No. III, Desember 2002, halaman 8 149 Dendy Sugono, Dkk. (ed.), Op. Cit., halaman 740
Universitas Sumatera Utara
95
sebagaimana disebut dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maupun timbulnya "potential harm" sebagaimana disebut dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme .150 2)
Delik baru yang lain yang seringkali disebut sebagai "technology terrorism". Jenis tindak pidana baru ini dimaknai karena adanya pemanfaatan perkembangan teknologi seperti bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif dan komponennya. Jenis tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terosrisme sebagaimana disebut dalam Pasal 11 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
150
Kata Actual harm diterjemahkan sebagai kerugian atau kerusakan nyata, kerugian atau kerusakan tersebut sebagai akibat tindak pidana terorisme. Sedangkan potential harm, tidak harus terdapat kerugian atau kerusakan melainkan hanya cukup dengan ancaman atau tindak pidana tersebut mengandung ancaman, maka menurut pasal ini pelakunya telah dapat dipidana.
Universitas Sumatera Utara
96
3)
Aktualisasi dari beberapa ketentuan tindak pidana yang sudah ada dalam hukum positif. Beberapa aturan pidana yang sudah ada dan masih relevan untuk dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, antara lain: (a)
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
yang
bersumber pada Pasa1479a s/d Pasal 479 r Jis. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1976 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 yang mengesahkan ratifikasi 3 (tiga)
Konvensi
Internasional
tentang
kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana penerbangan yaitu Konvensi The Haque Tahun 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft), Konvensi Tokyo Tahun 1963 (Convention on Offences and certain Other Acts Committed on Board Aircraft) dan Konvensi Montreal Tahun 1971 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation); (b)
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
yang
bersumber pada Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951
Universitas Sumatera Utara
97
Tentang Senjata Api setelah ditambahkan elemen khusus berupa "dolus specialis " berupa "dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme" dan dikaitkan pula dengan Convention Against Terroris Bombing Tahun 1977; (c)
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang bersumber pada Convention on the Physical Protection of Nuclear Material Tahun 1976;
4)
Perluasan ruang lingkup berlakunya hukum pidana, seperti pengaturan "Coorporate criminal liability" sebagaimana disebut dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pengaturan pembantuan (sebelum dan saat kejahatan dilakukan), percobaan dan permufakatan jahat yang dipidana setara pelaku atau tindak pidana sempurna,151 pembantuan setelah kejahatan dilakukan dalam bentuk delik pemudahan;152 dan Actor intelectualis153.
151
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme 152
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme 153
Ibid., Pasal 14
Universitas Sumatera Utara
98
b)
Asas non-diskriminatif (the principle of non-discriminization). Asas ini mengandung makna bahwa UU Terorisme tidak mengkaitkan rumusan tindak pidana terorisme dengan motif politik dan atau motif lainnya. Prinsip ini pula bisa disebutkan sebagai prinsip depolitisasi (the principle of depolitization), sebab sekalipun citra tindak pidana terorisme selalu berkonotasi politik, tetapi penekanan lebih kepada perbuatan dan akibatnya sebagaimana disebut dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
c)
Asas komplementer (complementary principle). Asas ini mengandung makna bahwa UU Terorisme adalah melengkapi dan dapat dipergunakan antara yuridiksi (subject matter jurisdiction) hukum nasional dan yuridiksi hukum negara lain. Titik berat terhadap terorisme internasional (international terrorism) disebabkan karena sepanjang berkaitan dengan terorisme domestik (domestic terrorism) diharapkan dapat diatasi dengan hukum positif yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan penekanan pada prinsip resiprositas antar Negara dan kerajasama Internasional sebagaimana disebut dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
Universitas Sumatera Utara
99
d)
Asas perlindungan HAM dan peradilan yang jujur dan adil (the Pinciple of Human Rights Protection and Fair Trial). Asas ini mengandung makna bahwa UU Terorisme melindungi Hak Asasi Manusia dan integritas pengadilan yang harus menjaga karakteristik ”fair." Impartial and independent trial", baik dalam tahap "pre trial", tahap "hearing" maupun dalam tahap "post trial”. Untuk itu diatur secara lengkap tindak pidana "obstruction of justice" atau "offenses againts the administrarion of justice".154
e)
Asas pidana minumun khusus (speciale straf minima beginsel). Asas ini berarti sekalipun di dalam UU Terorisme terdapat penyimpangan terhadap asas-asas pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 KUHP, tetapi dipandang perlu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya disparitas pidana (the disparity of sentencing); yang dicari bukan paritas pidana (the parity of sentencing) tetapi, "the reasonable sentencing; Penjatuhan hukum pidana minimum khusus ini dilengkapi idealnya dengan suatu pedoman (standard guidelines) yang jelas, untuk kepentingan keadilan.
154
Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Universitas Sumatera Utara
100
f)
Asas perlindungan korban dan saksi (Victim and Witness protection Pinciple). Asas ini sesuai dengan United Nation Declaration of Basic Pinciples of Justice for Victims Of Crime and Abuse of Power Tahun 1985. Hal ini menyangkut "acces to Justice", restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.155 Terkait dengan perlindungan korban yang diatur di dalam United Nation Declaration of Basic Pinciples of Justice for Victims ini merupakan konsep dasar dari perlidungan hak asasi manusia, sebagaimana dikemukakan oleh Zvonimir-Paul Separovic “The rights of the victim are component part of the concept of human rights”.156
g)
Asas harmonisasi hukum (the Pinciple of Legal Harmonization). Dalam rangka
penyusunan
undang-undang,
dikaji
berbagai
konvensi hukum internasional dan pengaturan tindak pidana terorisme di berbagai negara seperti Australia, Canada, Pakistan, India, Inggris dan sebagainya. Dengan demikian berbagai aspirasi telah ditampung baik dari unsur suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun aspirasi internasional.
155
Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 156 Zvonimir Paul Separovic, Victimologi Studies of Victim, Zegreb, 1985, halaman. 43
Universitas Sumatera Utara
101
h)
Asas keseimbangan kepentingan. Pencegahan dan pemberantasan terorisme harus bertujuan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan hukum, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/ terdakwa.157
Menurut hukum positif, maka tindak pidana terorime adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.158 Dalam aturan pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut, tindak pidana yang dimaksudkan dibagi ke dalam dua kategori yakni tindak pidana terorisme itu sendiri dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Kategori tindak pidana terorisme diatur dalam Bab III mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan kategori tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme diatur dalam Bab IV mulai dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Adapun kategori tindak pidana terorisme, antara lain:
157
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 158 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Universitas Sumatera Utara
102
a)
Ketentuan yang di atur pada Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menyatakan
bahwa
menggunakan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional; b)
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menyatakan
bahwa
menggunakan
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional; c)
Ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang Kejahatan lalu lintas udara;
Universitas Sumatera Utara
103
d)
Kententuan yang diatur pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang kejahatan senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme;
e)
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;
f)
Ketentuan di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme;
g)
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan kejahatan sebagaimana disebut dalam poin 5 di atas;
h)
Ketentuan pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
tentang
Universitas Sumatera Utara
104
memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme; i)
Ketentuan yang diatur pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme;
j)
Ketentuan pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
tentang
melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme; k)
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang orang di luar negeri yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme;
l)
Ketentuan pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang suatu korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme;
Kategori selanjutnya adalah tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
105
a)
Ketentuan yang diatur pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang
kekerasan
atau
ancaman
kekerasan
atau
dengan
mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu; b)
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme;
c)
Ketentuan pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
tentang
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme; d)
Ketentuan yang diatur pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tentang saksi dan orang lain yang menyebutkan nama atau alamat
Universitas Sumatera Utara
106
pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 didasarkan pada pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat di Indonesia telah menimbulkan kerugian baik materil maupun immateril serta menimbulkan ketidak amanan bagi masyarakat oleh karena itu setelah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, Undang-Undang tersebut telah menjadi ketentuan payung dan bersifat koordinatif (coordinating act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Undang-Undang Pemberantasan Terorisme ini juga menegaskan bahwa tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Tersangka atau terdakwa mendapat perlindungan khusus terhadap hak asasinya (safe guarding rules) dan juga diatur tentang ancaman sanksi pidana minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan (politik kriminal) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai
Universitas Sumatera Utara
107
kesejahteraan masyarakat (social welfere).159 Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Kebijakan untuk menggali tindak pidana terorisme juga terlihat dalam Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yaitu dalam dalam Buku II Bab I Bagian Keempat tentang Tindak Pidana Terorisme khususnya Pasal 242 sampai dengan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan secara garis besar meliputi:160 a)
Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan.
b)
Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapan.
c)
Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Indonesia pada saat ini sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi 159
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman. 2 160
Ibid
Universitas Sumatera Utara
108
Undang-Undang. Pembuat undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini sebagai peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuan- ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Adapun prinsip-prinsip yang mendasari Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat dideskripsikan dalam pandangan Sunarto sebagai berikut:161 a)
161
Asas kriminalisasi yang diperluas (the principle of extended criminalization) dalam arti; (a) Penciptaan tindak pidana baru baik yang berupa delik formil maupun delik materiil. Hal ini didasarkan atas pertimbangan kemungkinan adanya baik "actual harm " maupun timbulnya " potential harm " (Pasal 6 dan pasal 7 Perpu No. 1 Tahun 2002); Delik baru yang lain tercantum dalam Pasal Perpu No. 1 Tahun 2002, yang seringkali disebut sebagai "technology terrorism " yang memanfaatkan bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiology, mikroorganisme, radioaktif dan komponennya. Dan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme (Pasal 11). (b) Aktualisasi dari beberapa ketentuan tindak pidana yang sudah ada dalam hukum positif, yang relevan untuk dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme; (Pasal 8 Perpu No. 1 Tahun 2002 yang bersumber pada Pasa1479a s/d Pasal 479 r Jis. UU No.4 Tahun 1976 dan UU No.2 Tahun 1976 yang mengesahkan ratifikasi 3 (tiga) Konvensi Internasional tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana penerbangan yaitu Konvensi The Haque 1970 (Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft), Konvensi Tokyo 1963 (Convention on Offences and certain Other Acts Committed on Board Aircraft) dan Konvensi Montreal 1971 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation). Pasal 9 UU yang bersumber pada UU No 12/Drt/1951 tentang senjata api setelah ditambahkan elemen khusus berupa "dolus specialis " berupa "dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme" dan dikaitkan pula
Sunarto, Op.cit, halaman. 162
Universitas Sumatera Utara
109
dengan Convention Against Terrorist Bombing (1977) dan Pasal 12 yang bersumber pada Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (1976); (c) Perluasan ruang linngkup berlakunya hukum pidana, seperti pengaturan "Coorporate criminal liability" (Pasal 17 dan 18 Perpu No. 1 Tahun 2002), pengaturan pembantuan (sebelum dan saat kejahatan dilakukan), percobaan dan permufakatan jahat yang dipidana setara pelaku atau tindak pidana sempurna (Pasal 15 Perpu No. 1 Tahun 2002); Bahkan pembantuan setelah kejahatan dilakukan dalam bentuk delik pemudahan diatur tersendiri pada Pasal 13 Perpu No. 1 Tahun 2002; "Actor intelectualis" tindak pidana terorisme dipidana secara khusus pada Pasal 14 Perpu No. 1 Tahun 2002; b)
Asas non-diskriminatif (the principle of non-discriminization), yang tidak mengkaitkan rumusan tindak pidana terorisme dengan motif politik dan atau motif lainnya. Prinsip ini pula bisa disebutkan sebagai prinsip depolitisasi (the principle of depolitization), sebab sekalipun citra tindak pidana terorisme selalu berkonotasi politik, tetapi penekanan lebih kepada perbuatan dan akibatnya. Bahkan dalam kerangka kerjasama internasional, khususnya ekstradisi, dalam Pasal 5 Perpu No. 1 Tahun 2002 dinyatakan bahwa, tindak pidana terorisme yang diatur dalam undang-undang ini bukan tindak pidana politik, atau bukan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, atau tindak pidana dengam motif politik, atau tindak pidana dengan tujuan politik yang menghambat proses ekstradisi;
c)
Asas komplementer (complementary principle) antara yuridiksi (subject matter jurisdiction) hukum nasional dan yuridiksi hukum negara lain. Titik berat terhadap terorisme internasional (internastional terrorism) disebabkan karena sepanjang berkaitan dengan terorisme domestik (domestic terrorism) diharapkan dapat diatasi dengan hukum positif yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan penekanan pada prinsip resiprositas antar Negara dan kerajasama Internasional, (Pasal 3 Perpu No. 1 Tahun 2002); Asas perlindungan HAM dan peradilan yang jujur dan adil (the Pinciple of Human Rights Protection and Fair Trial) melindungi HAM dan integritas pengadilan yang harus menjaga karakteristik 'fair". impartial and independent trial", baik dalam tahap "pre trial ", tahap "hearing" maupun dalam tahap "post trial”. Untuk itu diatur secara lengkap tindak pidana "Obstruction of Justice" atau "Offenses Againts the Administrarion of Justice" di dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 Perpu No. 1 Tahun 2002;
d)
Universitas Sumatera Utara
110
e)
f)
g)
h)
Asas pidana minumun khusus (speciale straf minima beginsel) yang sekalipun merupakan penyimpangan terhadap asas-asas pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 KUHP, tetapi dipandang perlu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya disparitas pidana (the disparity of sentencing); yang dicari bukan paritas pidana (the parity of sentencing) tetapi, "the reasonable sentencing”. Penjatuhan hukum pidana minimum khusus ini dilengkapi idealnya dengan suatu pedoman (standard guidelines) yang jelas, untuk kepentingan keadilan; Asas perlindungan korban dan saksi (Victim and Witness protection Pinciple) sesuai dengan UN Declaration of Basic Pinciples of Justice for Victims Of Crime and Abuse of Power (1985). Hal ini menyangkut "acces to Justice", restitusi, kompensasi dan rehabilitasi (Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36 Perpu No. 1 Tahun 2002); Asas harmonisasi hukum (the Pinciple of Legal Harmonization). Dalam rangka penyusunan UU, dikaji berbagai konvensi hukum internasional dan pengaturan tindak pidana terorisme di berbagai negara seperti Australia, Canada, Pakistan, India, Inggris dan sebagainya. Dengan demikian berbagai aspirasi telah ditampung baik dari unsur suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun aspirasi internasional; Asas Keseimbangan Kepentingan. Pencegahan dan pemberantasan terorisme harus bertujuan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan hukum, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa, (Penjelasan Umum Perpu No. 1 Tahun 2002)
Pembentukan
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2003
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehatihatian dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban
Universitas Sumatera Utara
111
memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan tindak pidana terorisme. Materi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang antara lain mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme, tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme di Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mempunyai kekhususan meliputi:162 a)
b) c)
d)
e) f)
Sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan perundang- undangan. Adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebut”safe guarding rules”. Adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle). Adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana terorisme. Dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme.
162
Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron dan Ali Imron alias Alik, Jambatan, Jakarta, 2007, halaman. 14-15.
Universitas Sumatera Utara
112
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme yang diatur didalam undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik dan tindak pidana dengan tujuan politis yang menghambat ekstradisi. Harus diakui penjelasan undang-undang tersebut sangat disayangkan tidak dijelaskan apa yang dimaksud tindak pidana politik dan tindak pidana dengan tujuan politik. Menurut Barda Nawawi Arif, dalam kebijakan legilatif selama ini tidak ada suatu suatu perbuatan yang secara formal di kualifikasikan sebagai ”kejahatan atau tindak pidana politik” oleh karena itu dapat dikatakan bahwa istilah ”kejahatan atau tindak pidana politik” bukan merupakan istilah yuridis melainkan hanya merupakan istilah atau sebutan teoritik ilmiah (scientific term). Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan:163 ”Jadi kebijakan strategis dalam penanggulangan kejahatan (termasuk tindak pidana terorisme) terletak pada kebijakan penanggulangan yang sensitif. Inilah yang tidak dipenuhi oleh kebijakan penal dalam menanggulangi kejahatan, karena kebijakan penal merupakan kebijakan parsial, represif dan simptomik. Walaupun kebijakan penal bersifat represif, namun sebenarnya juga mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap delik atau kejahatan diharapkan ada efek pencegahan atau penangkalnya (deterent effect). Disamping itu kejahatan penal tetap diperlukan dalam penanggulangan kejahatan karena hukum pidana merupakan salah satu sarana kebijakan sosial untuk menyalurkan ”ketidaksukaan masyarakat (social dislike) atau ”pencelaan atau kebencian sosial” (social disaproval / social abhorence) yang sekaligus juga diharapkan menjadi sarana ”perlindungan dengan sosial” (social defence), oleh karena itulah sering
163
Barda Nawawi Arief, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
113
dikatakan bahwa ”penal policy” merupakan bagian integral dari social defence policy. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memperinci pengertian tindak pidana terorisme yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Berdasarkan rumusan pasal ini menimbulkan dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:164 a)
164
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain. Rumusan tindak pidana ini menitiberatkan pada munculnya akibat yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan cara yang digunakan yaitu merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (harus dibuktikan maksud untuk mencapai akibat tersebut). Yang perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror. Kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara massal seharusnya “suasana teror” tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat keamanan.
Soeharto, Op.cit, halaman. 48-49
Universitas Sumatera Utara
114
b)
3.
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vila strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Hukum Islam Hukum Islam memaknai teror dalam bahasa Arab diartikan “irhab” terdapat dalam Alqur‟an dalam bentuk fi‟il mudhari dalam konteks perintah supaya mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuhmusuh,165 sebagaimana firman Allah SWT, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya, Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (AlAnfal: 60). Irhab (teror) yang disebutkan di dalam Al-Qur‟an tidak diragukan tentang legalitasnya, tanpa ada seorang pun yang membantah. Namun, kata itu bukanlah yang dimaksud dengan istilah yang dikenal luas pada masa sekarang. Sebab, teror yang disyariatkan ini maksudnya adalah mempersiapkan kekuatan sesuai kemampuan dan memobilisasi pasukan.
165
Yusuf halaman. 721
Al-Qaradhawi, Ringkasan Fikih Jihad, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2011,
Universitas Sumatera Utara
115
Termasuk di dalamnya kekuatan prajurit-prajurit terlatih serta kekuatan material, dengan mempersiapkan berbagai jenis persenjataan modern dan kendaraan
perang
serta
keahlian
dalam
menggunakan
dan
mengaktifkannya, yaitu apa yang dimaksud oleh Al-Qur‟an dengan kudakuda yang ditambat untuk berperang. Kuda di masa sekarang adalah tanktank, kendaraan-kendaraan lapis baja dan berbagai jenis kendaraan tempur lainnya di darat, laut maupun udara. Inilah kendaraan-kendaraan yang digunakan di masa sekarang dalam berbagai medan tempur. Hukum itu berputar mengikuti „illat-nya ada dan tiadanya‟.166 Al Qur‟an yang mulia telah menjelaskan pula tentang tujuan dari mempersiapkan kekuatan yang disanggupi, yaitu untuk “menggentarkan musuh Allah, musuhmu
dan
orang-orang
selain
mereka
yang
kamu
tidak
mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya” (Al-Anfal: 60). Kata teror yang dimaknai dalam Al-Qur‟an bukanlah yang dimaksud dengan terorisme seperti penyebutannya di saat ini yang mengkaitkan terorisme dengan pemahaman jihad di dalam hukum Islam. Akan menjadi bahaya besar apabila suatu istilah dan pengertian yang krusial dibiarkan mengambang, yang dapat diinterpretasikan oleh setiap kelompok sesuai keinginannya, berbagai tujuan dan kepentingannya, 166
Ibid, halaman. 722
Universitas Sumatera Utara
116
tanpa dikembalikan kepada barometer tetap yang disandarkan kepada asas-asas yang dapat diterima oleh logika yang sehat. Dalam bahasa Arab, kata “irhab” (teror) adalah bentuk masdar dari “arhaba yurhibu” yang berarti membuat takut, cemas dan gentar orang lain, sehingga disimpulkan bahwa “irhab” (teror) adalah menebarkan ketakutan, kecemasan dan kegelisahan di kalangan manusia serta menghalangi mereka menikmati rasa aman.167 Padahal rasa aman termasuk diantara nikmat Allah yang paling besar terhadap mahluknya, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah Ta‟ala, “Maka, hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka‟bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (Quraisy: 3,4). Ayat yang mulia ini menyinggung tentang dua macam nikmat yang termasuk paling besar yang dapat memenuhi dua kebutuhan primer umat manusia, yaitu kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan keamanan dari rasa takut. Teror yang membuat orang merasa takut dan terkejut bermacammacam dan memiliki tingkat yang berbeda-beda. Di antaranya ada yang disepakati dan ada pula yang diperdebatkan. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:168
167 168
Ibid, halaman. 725 Ibid, halaman. 727-737
Universitas Sumatera Utara
117
a)
Terorisme Masyarakat Sipil Di antara bentuk terorisme yang disepakati tanpa seorangpun yang membantah dan diperangi oleh seluruh syariat dan undang-undang adalah teror terhadap masyarakat sipil. Yaitu teror yang mengancam peradaban manusia dan kehidupan sosialnya melalui berbagai jaringan kriminal dalam aksi perampokan harta benda dan pembunuhan jiwa yang tidak berdosa dengan berbagai jenis senjata. Kejahatan ini biasanya dilakukan oleh para anggota kawanan bersenjata, yang disebut oleh Islam dengan kejahatan “hirabah”, perampokan atau pencurian besar, untuk membedakannya dari pencurian kecil yaitu pencurian biasa. Islam telah mengungkap kejahatan besar ini dan menetapkan hukuman bagi pelakunya dalam bentuk “hadd” yang paling berat dan keras dalam pandangan sebagian orang supaya pelakunya merasa jera, sehingga tidak mengulangi lagi kejahatannya sekaligus akan membuat ciut nyali orang lain untuk meniru perbuatannya. Allah Ta‟ala berfirman dalam surat al-maidah dan ayat ini termasuk ayatayat terakhir yang turun dari Al-Qur‟an, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negara (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka akan mendapatkan siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang bertaubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-Maaidah: 33,34)
b)
Terorisme yang dilakukan Penjajah Di antara bentuk terorisme paling menonjol yang hingga kini masih bisa disaksikan oleh seluruh dunia ialah teror imperialisme, yaitu upaya suatu negara untuk menguasai negara lain dengan cara-cara kekerasan untuk menduduki wilayahnya, mengalahkan rakyatnya dan mengendalikan masa depannya. Otomatis negara yang diperangi melalui penjajahan melakukan perlawanan dengan berbagai peralatan yang ada dan terbatas, sehingga dengan mudah kekuatan penjajah menumpasnya tanpa memperdulikan berapa jiwa yang tidak berdosa menjadi korban, berapa besar harta benda milik
Universitas Sumatera Utara
118
korban yang dihancurkan, atau kehormatan dinodai untuk memaksa warga negaranya agar tunduk dan menyerah. Kebanyakan penjajahan berlangsung dalam bentuk pendudukan, seperti imperialisme Prancis atas Aljazair yang berlangsung selama satu setengah abad. Hal yang sama dilakukan oleh bangsa Yahudi ketika hendak mendirikan negara di Palestina dengan mengusung semboyan: Tanah air tanpa tuan untuk bangsa tanpa tanah air. Tentu saja ini merupakan omong kosong, karena Palestina bukan tanah air tanpa tuan, sehingga dengan mudah menerima suatu bangsa tanpa tanah air. Tetapi di sana telah bermukim bangsa Palestina sejak ribuan silam. c)
Terorisme Negara (State Terrorism) Di antara bentuk teror yang dicela menurut syariat maupun hukum positif, secara agama maupun moral, yaitu teror yang dilakukan oleh suatu negara terhadap warganya, atau golongan dari mereka yang berbeda secara ras, bahasa, agama , aliran atau politik dan sebagainya. Teror ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan materialnya polisi dan tentara untuk menekan para penentangnya dan membungkam mulut mereka, atau barangkali sampai kepada tingkat pembasmian mereka secara total maupuns sebagian. Model terorisme semacam ini sudah dikenal dalam sejarah umat manusia sejak dulu dan terus berlangsung di kalangan umat manusia hingga kini. Al-Qur‟an telah menyebutkan kepada kita tentang model teror Fir‟aun yang menumpahkan kemarahannya kepada Bani Israil dengan maksud hendak memusnahkan kaum laki-laki mereka, sebagaiman firman Allah, “Sesungguhnya Fir‟aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir‟aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash:4), yang dimaksud dengan golongan di sini ialah Bani Israil.
d)
Teorisme Internasional Pada saat ini kita melihat warna lain dari terorisme dan barangkali menjadi yang paling berbahaya di antara jenisjenis terorisme lainnya. Kita bisa menyebutnya dengan terorisme internasional, karena berlangsung di seluruh dunia
Universitas Sumatera Utara
119
dan melibatkan semua negara. Yaitu model terorisme yang dilakukan oleh Amerika terhadap negara-negara lain di dunia Timur dan Barat, yang memaksa seluruh negara di dunia agar berjalan di jalur yang dikehendakinya, berputar pada poros politiknya, memusuhi orang yang memusuhinya, loyal dengan loyal kepadanya, berdamai dengan orang yang berdamai dengannya, memerangi orang yang memeranginya, mengenal orang yang mengenalnya, menolak orang yang menolaknya, menghalakan apa yang dihalalkan, mengharamkan apa yang diharamkannya. Anehnya, Amerika mempraktikkan terorisme ini justru dengan alasan perang terhadap terorisme. Jadi, apa itu terorisme ? Tidak lain adalah apa yang menurut Amerika terorisme. Tiada pilihan bagi suatu bangsa di antara negara – negara di dunia dan bagi suatu bangsa di antara bangsabangsa di dunia untuk mengambil sikap netral atau menjauhi kancah perang secara total dan duduk di rumah. Sebab, semboyan yang diteriakkan oleh Amerika dan memaksa seluruh dunia harus mengikutinya adalah “With us or againts us” (Bersama kami, atau kamu perangi). Ini adalah hukum pemaksaan yang kuat terhadap yang lemah, kekuatan yang mampu atas yang tidak berdaya, kekuasaan serigala atas anak kambing yang tersesat. Itulah yang disinggung oleh AlQur‟an saat menyatakan, ”Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-„Alaq:6,7). e)
Terorisme Politik Namun, jenis terorisme yang paling popular adalah apa yang mungkin kita sebut dengan terorisme politik, yaitu teror dalam menghadapi berbagai sistem politik yang berkuasa. Yaitu setiap tindakan kekerasan yang ditujukan kepada penguasa atau salah seorang pendukungnya atau lembaganya dengan tujuan untuk memberikan tekanan demi terwujud tuntutan tertentu seperti pelepasan tawanan, pembebasan narapidana, atau pengusiran dari tanah yang diduduki, atau pembayaran tebusan dan tuntutan-tuntutan lainnya. Inilah macam-macam teror yang berbeda-beda hukumnya sesuai dengan perbedaan tujuan dan cara-cara untuk mencapainya. Terkadang tujuannya disyariatkan, dan cara juga tidak. Dan terkadang pula tujuannya disyariatkan, tetapi caranya tidak.
Universitas Sumatera Utara
120
f)
Terorisme yang Disyariatkan Hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi adalah bahwa perlawanan warga suatu negara terhadap pasukan pendudukan (penjajah) merupakan perkara yang disyariatkan bagi setiap warganya. Tidak diingkari oleh syariat samawi, tidak pula oleh undang-undang positif dan perjanjian internasional. Diantaranya adalah penyerangan yang dilakukan oleh orangorang Palestina, yang tanah airnya diduduki, terhadap warga negara Israel atau para pemukim Israel, atau penawaran sejumlah perwira atau tentara Zionis, atau menculik dan menyandera mereka, dengan tebusan pembebasan tawanan orang-orang Palestina, atau dengan tebusan kesediaan Zionis meninggalkan wilayah yang diduduki dan tentaranya dari tanah air. Pembebasan orang-orang yang dipenjara dan para tawanan Palestina atau pengusiran pasukan pendudukan dari tanah air adalah tujuan yang disyariatkan. Sedang penawanan sejumlah perwira Zionis dan menyandera mereka juga merupakan cara disyariatkan. Diantaranya pula yaitu apa yang kami sebut dengan pilihan untuk melakukan amaliyat istisyahdiyah (operasi bom syahid) untuk melukai musuh dan menciptakan ketakutan di hati putra-putrinya, maka tindakan ini merupakan tujuan yang disyariatkan dan caranya juga disyariatkan.
g)
Terorisme yang tidak Disyariatkan Sesuatu yang tujuan dan caranya tidak syariatkan berarti merupakan terorisme yang diharamkan dan munkar, yaitu seperti yang dilakukan oleh raja-raja kartel obat bius yang melakukan berbagai operasi dan penyerangan dengan membunuh orang-orang yang tidak berdosa serta orang-orang yang berhak mendapatkan rasa aman untuk melindungi perdagangan mereka dan kekayaan mereka, yang dengannya mereka menghancurkan kesehatan umat manusia, akal pikiran mereka, keamanan mereka dan kehidupan mereka. Contoh terorisme jenis ini ialah kejahatan yang dilakukan oleh genggeng mafia di negara Eropa dan lainnyua, yang melakukan penculikan para hakim, pengacara, dan para pemimpin untuk memaksakan agar dipenuhinya berbagai tuntutan mereka, seperti pelepasan beberapa orang rekan mereka yang ditahan karena terlibat kriminalitas dan sebagainya di antara hal-hal yang tidak diragukan lagi ketidaksahannya. Jadi, mereka itu tujuan maupun caranya tidak disyariatkan. Termasuk terorisme jenis ini ialah terorisme yang dilakukan oleh Zionis
Universitas Sumatera Utara
121
Israel yang melatarbelakangi lahirnya organisasi-organisasi terorisme mereka yang dikenal dengan geng Haganah, Irgun, dan lain-lain. Yaitu organisasi yang memutuskan untuk merampas tanah dari pemiliknya yang sah, mengeluarkan mereka dari tanah airnya dan mengusirkan mereka ke berbagai penjuru. Ini jelas tujuannya tidak disyariatkan melalui barometer apa pun; moral, agama dan undangundang. Perampasan tanah air dari pemiliknya dan pengusiran mereka adalah kriminal.
B.
Perlindungan Hukum terhadap Korban sebagai Pelaku Kejahatan. Orientasi perlindungan korban di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia lebih menfokuskan terhadap korban akibat dampak dari terjadinya tindak pidana terorisme, sehingga korban dimaksud dirumuskan pada pengaturan dalam bentuk kriminalisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan169 terhadap pelaku yang melakukan kejahatan dengan menimbulkan korban sehingga memerlukan perlindungan terhadap korban antara lain korban baik yang berkaitan dengan nyawa, kemerdekaan, harta benda, serta obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, berbagai fasilitas umum dan internasional, serta timbulnya rasa takut terhadap masyarakat yang bersifat luas. Demikian pula korban dan calon korban sering kali tidak berdosa, mengingat sasaran terorisme yang bersifat acak. Hal ini menkontruksikan bahwa perlindungan terhadap korban yang dikategorikan sebagai pelaku kejahatan di dalam UU Terorisme masih 169
Sunarto, Loc.cit, bahwa dalam proses kriminalisasi terhadap tindak pidana terorisme terdapat beberapa asas yang mendasarinya antara lain: asas kriminalisasi yang diperluas (the principle of extended criminalization), asas non-diskriminatif (the principle of non - discriminization),asas komplementer (complementary principle) Asas perlindungan HAM dan peradilan yang jujur dan adil (the Pinciple of Human Rights Protection and Fair Trial), asas pidana minumun khusus (speciale straf minima beginsel), asas perlindungan korban dan saksi (Victim and Witness protection Pinciple), asas harmonisasi hukum (the Pinciple of Legal Harmonization), asas Keseimbangan Kepentingan.
Universitas Sumatera Utara
122
bersifat abstrak karena orientasi perlindungan korban di dalam UU Terorisme masih terfokus pada korban akibat kejahatan terorisme. Pengaruh pembentukan UU Terorisme yang hanya mengatur perlindungan terhadap korban akibat kejahatan terorisme di samping pengaruh konvensi-konvensi internasional juga disebabkan oleh pengaruh pengaturan yang dianut oleh sistem hukum pidana Indonesia berlandaskan KUH Pidana yang memandang sistem pemidanaan kepada perbuatan pelaku yang didasarkan pada kesalahan (schuld) dan telah memenuhi rumusan delik. Di samping itu perlindungan korban di dalam ketentuan peraturan perundang-undang di Indonesia sangat kental dengan pengaturan perlindungan korban di dalam KUHAP yakni Pasal 98 yang menyatakan bahwa “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka Hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu” . Di samping itu, aspek korban di dalam UU Terorisme lebih berorientasi pada memperhatikan aspirasi masyarakat luas (aspirasi infrastuktural, suprastruktural, kepakaran dan aspirasi intrnasional), sifat “ultimum remedium” hukum pidana dan kemampuan
hukumnya.170
Menurut
Muladi
karakter
kejahatan
terorisme
dikategorikan sebagai “Mala per se” adalah kejahatan terhadap hari nurani (crimes against conscience), menjadi jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh undang-
170
Ibid
Universitas Sumatera Utara
123
undang tetapi pada dasarnya memang tercela (natural wrong).171 Beberapa kasus tindakan terorisme yang menggambarkan begitu keji tindakan yang dilakukan oleh pelaku sehingga memerlukan pengaturan di dalam undang-undang untuk memberikan pelindungan terhadap korban sebagai dampak dari tindakan yang dilakukan oleh terorisme, menurut Sunarto dapat digambarkan antara lain:172 “ Peledakan pesawat penumpang sipil PAN AM di atas Lockerbie, Skotlandia pada tahun 1988, peledakan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Dar Es Salam (Tanzania) dan Nairobi (Kenya) pada Agustus 1998 dan puncaknya kejadian pada Selasa pagi 11 September 2001 yang merupakan tragedi bagi Amerika Serikat dengan runtuhnya dua gedung kembar World Trade Centre di New York yang diterjang pesawat komersial Boing 767 dan dalam waktu hampir bersaman serangan serupa juga menimpa Pentagon, markas Besar Tentara Amerika Serikat”. Secara historis
kegiatan terorisme internasional di Indonesia berkembang
dengan diketemukannya indikasi adanya kerjasama antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan kelompok radikal seperti Abu Sayaf Group (ASG) Libya, dan Taliban. Pada akhirnya di Indonesia kasus peledakan bom terjadi pada peledakan Atrium Mall Pasar Senen Jakarta, kediaman Duta Besar Philipina di Jakarta, Bursa Efek Jakarta, bengkel mobil di Bandung, beberapa Gereja antara lain Gereja Santa Anna, Gereja HKGB di Jakarta, Gereja Katholik di Batam, Riau, Gereja Kristus Raja di Mojokerto Jatim dan tragedi Bali 12 Oktober 2002 tepatnya di Sari Club dan Paddy's cafd di jalan Legian serta di daerah Renon Denpasar dekat dengan Konsul Amerika Serikat, setelah kejadian tersebut kasus peledakan bom juga terjadi di beberapa tempat seperti di Wisma Bhayangkara Mabes Polri, peledakan Mc Donald's 171 172
Muladi, Loc.cit Sunarto, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
124
di Makasar Sulsel dan terakhir peledakan Cafd shop di bandara Soekarno - Hatta Jakarta, Gedung DPR-MPR di Jakarta dan di depan pintu masuk Hotel J. W. Marriot pada tanggal 5 Agustus 2003, ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Kuningan Jakarta. Dari kejadian tersebut di atas isu terorisme menjadi isu utama di dunia, kejahatan terorisme menjadi suatu ancaman yang serius bagi setiap negara dikarenakan kejahatan ini berdampak sedemikian. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang tidak mengatur secara limitative terhadap pelaku kejahatan terorisme yang dapat dikategorikan sebagai korban kejahatan, walapun ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang mengatur menyangkut Victim and Witness protection Pinciple, meliputi restitusi, kompensasi dan rehabilitasi namun ketentuan ini sangat kontradiktif terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3, (ayat 1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menyatakan yang dimaksud dengan setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Republik Indonesia dan/atau Negara lain juga mempunyai yuridiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut. Hal mempunyai konsekuensi bahwa, Pasal ini tidak menjelaskan apa makna "bermaksud melakukan" ini bisa menimbulkan beragam penafsiran sesuai dengan kepentingan penafsir. Setiap
Universitas Sumatera Utara
125
laporan intelejen bisa dijadikan bukti permulaan, yang menilai kecukupannya dilakukan melalui pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme). Untuk bisa dijadikan bukti permulaan, laporan intelejen itu mesti dikaji oleh ketua pengadilan. Ketua pengadilan berfungsi sebagai legal auditor, yaitu apakah secara hukum bisa dipertanggungjawabkan apabila data intelejen ini dijadikan dasar untuk penyelidikan lebih lanjut. Apabila pengadilan berpendapat tidak bisa, maka tidak bisa dilanjutkan penyelidikan berdasarkan alat bukti permulaan dari data intelejen itu. Ketua Mahkamah Agung perlu segera memberikan pedoman kepada para hakim pengadilan bagaimanakah melakukan legal audit terhadap laporan intelejen tersebut. Akurasi laporan intelejen yang menjadi bukti permulaan sebelum dilaksanakan penyidikan, harus diperhatikan dalam proses penyidikan tindak pidana terorisme. Oleh sebab itu, informasi intelejen ini harus akurat dan tidak hanya berasal dari intelejen, tetapi dikonfirmasikan kepada instansi lain yang terkait (seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan atau Departemen Dalam Negeri). Apabila penerapan pasal ini tidak hati-hati maka dapat memunculkan teror baru dengan menginteli/mengintai masyarakat, terutama aktivitis, mahasiswa, kelompok kritis atau kelompok yang menurut Negara potensial untuk melakukan tindakan yang disebut negara terorisme. Memungkinkan penggunaan intelejen sebagai alat untuk memojokkan atau
Universitas Sumatera Utara
126
menangkap orang yang tidak disukai, baik oleh pihak dalam negeri maupun pihak asing dengan menekan Indonesia melakukan itu, dan hambatan kemampuan hakim membaca laporan intelejen dipertanyakan. Di samping itu menurut Pasal 28 P Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 X 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Apabila penerapannya kurang hati-hati maka pasal ini dapat memberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan yang sewenang-wenang dengan payung bukti permulaan yang cukup, seperti alat-alat yang bisa direkayasa secara teknologi. Di samping itu kewenangan yang kurang hati-hati dilakukan oleh aparat penegak hukum berdampak pada meningkatnya tindak pidana terorisme karena adanya persepsi negatif pelaku atas tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan menimbulkan dendam bagi pelaku. Pemberantasan dan penanganan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia dapat digambarkan pada tabel di bawah ini sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
127
DATA PENEGAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH DEN 88/ANTI TEROR MABES POLRI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME TAHUN 2013 DITANGKAP
900 ORANG
MENINGGAL DI TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP)
90 ORANG
SUDAH DIVONIS
700 ORANG
BEBAS DARI HUKUMAN
308 ORANG
MASIH JALANI HUKUMAN DI LEMBAGA PEMASYARATAKAT (LP)
392 ORANG
RESIDIVISME
25 ORANG
Sumber :
Diolah dari Sumber data Subden Investigasi Densus 88/AT Polri Tahun 2013
Berdasarkan data yang diperoleh dari Subden Investigasi Densus 88/AT Polri di atas menunjukkan bahwa orientasi penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri lebih berorientasi pada pemberantasan terhadap semua pelaku tindak pidana terorisme tanpa memperhatikan bagaimana keterlibatan pelaku pada setiap aksi kejahatan terorisme. Adapun data dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, pelaku tindak pidana terorisme yang ditangkap sebanyak 900 orang. Kedua, pelaku yang ditembak ditempat pada saat dilakukan penangkapan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sebanyak 90 orang. Ketiga, pelaku yang sudah divonis berjumlah 700 orang. Keempat, pelaku yang bebas dari hukuman sebanyak 308 orang.
Universitas Sumatera Utara
128
Kelima, pelaku yang masih menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) berjumlah 392 pelaku. Keenam, pelaku yang dikategorikan sebagai resedivisme sebanyak 25 orang. Berdasarkan data ini tentunya tindakan yang dilakukan oleh Polri dalam kerangka pemberantasan terhadap semua pelaku tindak pidana terorisme tentunya mempunyai kerangka pembenar yang disebabkan di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak mengenal pelaku sebagai korban sidikat dan jaringan terorisme yang melakukan aksi terorisme akibat pemahaman idiologi jihad yang salah sehingga digerakkan oleh orang maupun organisasi yang memiliki kepentingan tertentu dan pencapaian tujuan tertentu. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya merumuskan korban adalah korban yang timbul dari kegiatan aksi terorisme atau dikenal dengan istilah Victim and Witness protection Pinciple. Ketentuan yang mengatur tentang Victim and Witness protection Pinciple di dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme lebih berorientasi dan memprioritaskan pada perlindungan terhadap korban terjadinya tindak pidana terorisme. Terhadap pelaku sebagai korban UU Terorisme tidak merumuskan norma maupun
kaedah
yang
memberikan
adanya
perlindungan
sehingga
pertanggungjawaban pelaku melalui sistem peradilan pidana dan penerapan sistem pemidanaan terhadap pelaku lebih berorientasi pada penghukuman. Perlindungan korban di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan hanya mengatur korban yang timbul akibat terjadinya tindak pidana terorisme. Di dalam
Universitas Sumatera Utara
129
beberapa peraturan perundang-undangan di Negara yang menganut sistem hukum common law juga berorientasi pada korban akibat dari tindakan aksi terorisme, antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:173 1.
Undang-Undang Terorisme di Amerika Serikat mengatur menyangkut perlindungan terhadap korban di dalam Subtitle B Amandemen to the Victims pf Crime Act of 1984 Antiterrorism Emergency Reserve Section 1402 (d) (5) of the Victims of Crime Act 1984 U.S.C 10601 (d) (5) yang menyatakan bahwa Pemerintah Amerika Serikat menyediakan bantuan dan konpensasi untuk korban terorisme. Hal ini sejalan dengan resolusi MU PBB 40/34 menyebutkan “ victim schould be treated with compassion and respect for their dignity. They are entitled to access to the mechanisme of justice and to prompt redress, as provided for by national legislation, for the harm that they have suffered.174 Korban harus diperlakukan dengan perasaan kasihan dan kehormatan terhadap martabatnya. Mereka berhak untuk mencapai mekanisme keadilan dan untuk mendapatkan ganti rugi sebagaimana yang diberikan oleh perundang-undangan nasional atas kerugian yang telah mereka derita.
2.
Undang-Undang Terorisme di Inggris (United Kingdom). Inggris pada tahun 1964 telah mengeluarkan Criminal Injuries Compensation Board yang memberikan kompensasi Negara terhadap korban-korban tindak pidana kekerasan khususnya perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh terorisme.
3.
Undang-Undang Keamanan Nasional Malaysia di dalam The Malaysian Internal Security Act 1960 tindak mengatur mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, hanya mengatur pasal-pasal yang menyangkut tindak pidana dan pelanggaran.
4.
Peraturan Singapura dengan United National Act 2001 (Act 44 of 2001) tidak mengatur mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Undangundang hanya mengatur mengenai tindak pidana dan pelanggaran.
Pengaturan terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme Indonesia di dalam undang-undang dan pengaruh ratifikasi konvensi internasional yakni Convention
173
Soeharto, Op.cit, halaman. 98-103 Human Rights, A Compilation of International Instruments, Volume 1 (Firt Part) Universal Instruments, New York, 1993, halaman. 382 174
Universitas Sumatera Utara
130
Against Terorism Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terorism (1997) yang lebih berorientasi pada pemberantasan tindak pidana terorisme dan perlindungan korban akibat kejahatan terorisme tentunya berimplikasi terhadap penegakan hukum yang dilakukan berupa tindakan represif oleh aparat penegak hukum khususnya tindakan yang dilakukan oleh BNPT dan Detasemen 88 Mabes Polri dengan melakukan tindakan secara represif dengan tidak melihat apakah pelaku yang melakukan tindak pidana terorisme adalah sebagai pelaku yang dikategorikan sebagai monus domina atau manus minista. Pelaku yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana dipahamkan oleh aparatur penegak hukum adalah adanya kesalahan yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana terorisme. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective vreach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana.
C.
Konvensi – konvensi Internasional yang mengatur tindak pidana terorisme sebagai Extra Ordinary Crime Pengaturan kontra terorisme adalah pemberantasan, pengungkapan, dan
penanganan kasus tindak pidana teror dan pelaku teror (terorist). Pengaturan ini berupa penetapan tindakan- tindakan yang termasuk dalam tindak pidana teror, prosedur penanganan (penyelidikan, penyidikan, dan peradilan) serta sanksi yang
Universitas Sumatera Utara
131
diterapkan. Saat ini telah ada beberapa konvensi internasional dan regional yang mengatur tentang tindak pidana teror, yaitu:175 1.
International Civil Aviation Organization, Covention on Offences and Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Ditanda-tangani di Tokyo tanggal 14 September 1963 dan mulai berlaku tanggal 4 Desember 1969.
2.
International Civil Aviation Organization, Convention for the suppression of Unlawful Seizure of Aircraft. Ditandatangani di Hague tanggal 16 Desember 1970 dan mulai berlaku tanggal 14 Oktober 1971.
3.
International Civil Aviation Organization, Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 23 September 1971 dan mulai berlaku tanggal 26 Januari 1973.
4.
United Nation, Convention on the Prevention and Punish ment of Crimes against Internationally Protected Persons, in cluding Diplomatic Agents. Diterima oleh Majelis Umum pidana dengan Resolusi 3166 (XXVIII) tanggal 14 Desember 1973 dan mulai berlaku tangga120 Februari 1977.
5.
United Nation, International Convention against the Taking of Hostages. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 34/46 tanggal 17 Desember 1979 dan mulai berlaku tanggal3 Juni 1983.
6.
International Atomic Energy Agency, Convention on the TI, bea Physical Protection of Nuclear Material. Ditandatangani diulangi Vienna dan New York tanggal 3 Maret 1980. Disetujui di Vienna tanggal 26 Oktober 1979 dan mulai berlaku tanggal 8 Februari 1987.
7.
International Civil Aviation Organization, Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation. Tambahan untuk Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation. Ditandatangani di Montreal tanggal 24 Februari 1988 dan mulai berlaku tanggal6 Agustus 1989.
8.
International Maritime Organization, Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation. Diterima di Roma tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
175
Sunarto, Lo.cit, halaman. 161
Universitas Sumatera Utara
132
9.
International Maritime Organization, Protocol for the Supangani pression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platanggal forms Located on the Continental Shelf. Diterima di Romatanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1992.
10.
International Civil Aviation Organization, Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Puspose of Detection. Dibuat di Montreal tanggal 1 Maret 1991 dan mulai berlaku tanggal 21 Juni 1998.
11.
United Nations, International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing. Diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi 52/164 tanggal 15 Desember 1997 dan mulai berlaku tangga1 23 Mei 2001.
12.
United Nations, International Convention on the Suppression of Financing of Terrorism. Diterima oleh Majelis Umum dengan resoiusi 54/109 tanggal 9 Desember 1999 dan mulai berlaku tanggal 10 April 2002.
13.
League of Arab States, Arab Convention on the Suppression of Terrorism. Ditandatangani di Kairo tanggal 22 April 1998 dan mulai berlaku 7 Mei 1999.
14.
Organization of the Islamic Conference, Convention on Combating International Terrorism. Diterima di Quagadoudou tanggal 1 Juli 1999 dan belum berlaku.
15.
Council of Europe, European Convention on the Suppression of Terrorism. Mulai ditandatangani di Strasbourg Perancis tanggal 27 Januari 1977 dan mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1978.
16.
Organization of American States, Convention to Prevent and Punish the Acts of Terrorism Taking the Form of Crimes against Persons and Related Extortion that are of International Significance. Ditandatangani di Washington tanggal 2 Februari 1971 dan mulai berlaku 16 Oktober 1973.
17.
African Union (formerly Organization of African Unity), Convention on the Prevention and Combating of Terrorism. Diterima dl Algies tanggal 14 Juli 1999 tetapi belum diberlakukan.
18.
South Asian Association for Regional Cooperation, Regional Convention on Suppression of Terrorism. Ditandatangani di Kathmandu tanggal 4 November 1987 dan mulai berlaku tanggal 22 Agustus 1988.
Universitas Sumatera Utara
133
19.
Commonwealth of Independent States, Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism. Diterima di Minsk tanggal 4 Juni 1999. Konvensi ini pada intinya menyatakan bahwa terorisme merupakan tindakan ilegal dihukum berdasarkan hukum pidana dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi oleh otoritas atau menteror penduduk, dan pengambilan keputusan mengambil bentuk antara lain kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap alam atau badan hukum, menghancurkan (merusak) atau mengancam untuk menghancurkan (kerusakan) Properti dan benda-benda lainnya sehingga dapat membahayakan kehidupan masyarakat, menyebabkan kerusakan besar pada properti atau terjadinya konsekuensi berbahaya lainnya bagi masyarakat, mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat untuk tujuan mengakhiri Negara nya atau publik lainnya kegiatan atau balas dendam untuk kegiatan tersebut, menyerang perwakilan negara asing atau anggota staf yang dilindungi secara internasional dari internasional organisasi serta tempat usaha atau kendaraan dari orang yang dilindungi secara internasional.
Di samping konvensi-konvensi di atas maka tindakan lainnya yang diklasifikasi sebagai teroris yang diatur pada instrumen hukum internasional berdasarkan Commonwealth of Independent States, Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism yakni sarana yang dilakukan oleh pelaku terorisme berupa teknologi
bertujuan
memerangi terorisme dengan penggunaan atau ancaman penggunaan (biologi) senjata nuklir, radiologi, kimia atau bakteriologi atau komponennya, mikroorganisme patogen, radioaktif zat atau bahan lainnya yang berbahaya bagi kesehatan manusia, termasuk kejang, memadamkan operasi atau penghancuran nuklir, kimia atau fasilitas lain berpose peningkatan teknologi dan lingkungan bahaya dan sistem utilitas kotakota dan daerah yang dihuni lain, jika tindakan ini berkomitmen untuk tujuan merusak keselamatan publik, menteror penduduk atau mempengaruhi keputusan
Universitas Sumatera Utara
134
pihak berwenang untuk mencapai politik, tentara bayaran atau lainnya berakhir, serta upaya untuk melakukan salah satu kejahatan yang tercantum di atas untuk hal yang sama tujuan dan terkemuka, pembiayaan atau bertindak sebagai penghasut, aksesori atau kaki tangan seseorang yang melakukan atau mencoba untuk melakukan seperti kejahatan. Negara-negara Asean antara lain Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Rakyat Demokratik Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Filipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand, dan Republik Sosialis Viet Nam yang termuat pada Deklarasi ASEAN tentang Aksi Bersama Pemberantasan Terorisme dan Deklarasi tentang Terorisme yang masing-masing diterima pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada tahun 2001 dan 2002, telah membentuk suatu kesepakatan bersama untuk memberantas tindak pidana pidana terorisme dengan sasaran bahwa bahaya serius yang ditimbulkan oleh terorisme terhadap manusia-manusia tidak bersalah, infrastruktur dan lingkungan, perdamaian dan stabilitas kawasan dan internasional, serta pembangunan ekonomi. Untuk itu, Negara-negara Asean menganggap penting pengidentifikasian dan penyelesaian secara efektif akar permasalahan terorisme dalam perumusan setiap langkah pemberantasan terorisme. Adapun langkah pemberantasan terorisme yang diatur pada
Universitas Sumatera Utara
135
kerjasama Negara-negara Asean mengacu pada ketentuan konvensi-konvensi Internasional antara lain:176 1.
Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den Haag pada tanggal 16 Desember 1970;
2.
Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, disepakati di Montreal pada tanggal 23 September 1971;
3.
Convention on the Prevention and Punsihment of Crimes Against Internationally protected Persons, Including Diplomatic Agents, disepakati di New York pada tanggal 14 December 1973
4.
International Convention Against the Taking of Hostages, disepakati di New York, tanggal 17 Desember 1979;
5.
Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, disepakati di Wina, tanggal 26 Oktober 1979;
6.
Protocol for the Suppression of Unlaful Act of Violence at Airports Serving International Civil Aviation, suplementary to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against Safety of Civil Aviation, disepakati di Montreal, tanggal 24 Februari 1988;
7.
Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, disepakati di Roma , tanggal 10 Maret 1988;
8.
Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, disepakati di Roma, tanggal 10 Maret 1988;
9.
International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, disepakati di New York, tanggal 15 Desember 1997;
10.
International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, disepakati di New York, tanggal 9 Desember 1999;
11.
Treaty on Cooperation among the states members of common wealth of independent states in Combating Terrorism, 1999;
176
Deklarasi ASEAN tentang Aksi Bersama Pemberantasan Terorisme dan Deklarasi tentang Terorisme yang masing-masing diterima pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada tahun 2001 dan 2002
Universitas Sumatera Utara
136
12.
Convention of Organisation of Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999;
13.
International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism, disepakati di New York, tanggal 13 April 2005;
14.
Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, disepakati di Wina, tanggal 8 Juli 2005;
15.
Protocol of 2005 to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, disepakati di London tanggal 14 Oktober 2005;
16.
Protocol of 2005 to the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, disepakati di London, tanggal 14 Oktober 2005.
Konvensi-konvensi Internasional sebagaimana diuraikan di atas merupakan kerangka dasar pengaturan tindak pidana terorisme bagi Negara-negara yang telah meratifikasi konvensi dan dasar untuk melakukan perjanjian-perjanjian baik secara regional
maupun
multilateral
dalam
kerangka
mengambil
langkah-langkah
pemberantasan tindak pidana terorisme. Dapat dicontohkan kerjasama pada tatanan regional maka konvensi yang menjadi dasar untuk mengambil langkah-langkah pemberantasan tindak pidana terorisme adalah Treaty on Cooperation among the states members of common wealth of independent states in Combating Terrorism, 1999 yang menyatakan bahwa terorisme adalah tindakan illegal yang diancam hukuman di bawah hukuman pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau
Universitas Sumatera Utara
137
moneter penduduk dan mengambil bentuk antara lain:177 Pertama, kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum. Kedua, menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materil lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain. Ketiga, menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat. Keempat, mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut. Kelima, menyerang perwakilan Negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga tempat-tempat
bisnis
atau
kendaraan
orang-orang
yang
dilindungi
secara
internasional. Keenam, tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perundang-undangan atau instrument legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.
177
Abdul Wahid, Op.cit, halaman. 26-27
Universitas Sumatera Utara