BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DAN DEBITUR DALAM PERJANJIAN JAMINAN KREDIT BANK BERDASARKAN UUHT A. Perjanjian Kredit Bank Pasal 1320 KUH Perdata mengatur, bahwa sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu hal tertentu, dan 4) suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama, disebut syarat subyektif, karena subjek atau orangorang yang mengadakan perjanjian dan bila syarat ini tidak dipenuhi dapat dimintakan pembatalan, dua syarat terakhir dinamakan syarat objektif, karena menyangkut perjanjian itu sendiri atau objek dari perjanjian. Bila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum, atau dengan kata lain batal dengan sendirinya, dan berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau memang ada tetapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada.54 Sedangkan mengenai kredit, dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dinyatakan: ”kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
54
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 23.
41
Universitas Sumatera Utara
42
Dalam proses pemberian kredit akan menyangkut suatu jumlah uang dari nilai yang relatif kecil sampai jumlah yang cukup besar, hingga ada berbagai kemungkinan pula yang dapat terjadi yang akan membawa kerugian finansial bagi bank yang bersangkutan, apabila kredit-kredit tersebut tidak dikelola (dimanage) dengan baik.55 Istilah kredit dalam bahasa Yunani56 dan Romawi57 adalah “credere” yang berarti kepercayaan (truth or faith). Oleh karena itu dasar dari kredit ialah kepercayaan, dalam arti bahwa seseorang atau suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit dari bank, maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapat kepercayaan dari bank pemberi kredit.58 Noah Websten dalam bukunya Websten’s New Universal Mabridged Dictionary sebagaimana yang dikutip Munir Fuady mengartikan kata “kredit” berasal dari bahasa Latin “creditus” yang merupakan bentuk past participle dari kata “credere”, yang berarti to trust. Kata “trust” itu sendiri berarti “kepercayaan”.59 Dengan kata lain istilah “creditum” adalah kepercayaan akan kebenaran.60
55
Hasanuddin Rahman, Kebijakan Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan, (Bandung: PT.Cipta Aditya Bakti, 2000), hal. 43 56 Thomas Suyatno, et-al, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 12 57 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 229 58 Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia (Panduan Dasar Legal Officer), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 95 59 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, buku I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 5 60 Teguh Pudjomulyo, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersil. (Yogyakarta: BPFE, 1993), hal. 9
Universitas Sumatera Utara
43
Bahasa Belanda menyebutkan kredit dengan ventrouwen
dan bahasa
Inggris dengan believe, trust or confidence,61 sedangkan dalam bahasa Indonesia kata kredit mempunyai arti kepercayaan, jadi seseorang yang memperoleh kredit berarti dia memperoleh kepercayaan.62 Dengan demikian, sungguhpun kata “kredit” sudah berkembang ke mana-mana, tetapi dalam tahap apapun dan ke manapun arah perkembangannya, dalam setiap kata “kredit” tetap mengandung usaha kepercayaan. Walaupun sebenarnya kredit itu tidak hanya sekedar kepercayaan.63 Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi) akan terjadi pada waktu mendatang. Dewasa ini kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit yang menjadi pembahasan. Kredit berfungsi koperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara kreditur dengan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, risiko dan pertukaran ekonomi di masa-masa mendatang.64 Kemudian arti hukum dari kredit sebagai berikut: menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh si penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman itu di belakang hari.65
61
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 23 62 Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 19 63 Munir Fuady, Op.Cit, hal. 5, 6 64 Hasanuddin Rahman, Op.Cit, hal. 96 65 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
44
Dari beberapa pengertian kredit tersebut di atas, maka dapat ditinjau dari aspek ekonomi dan aspek hukum. Dari aspek ekonomi kredit diartikan dengan suatu penundaan pembayaran yaitu uang barang (prestasi) atau uang diterima sekarang akan dikembalikan pada masa yang akan datang berikut tambahan suatu prestasi oleh penerima kredit.66 Di dalam dunia bisnis pada umumnya, kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan dan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak”.67 Pendapat A.S Hornby, sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady yang mengartikan bahwa kredit dalam arti bisnis mengandung unsur “meminjam” yang dalam bahasa Inggris disebut “loan”. Kata “loan” berarti suatu yang dipinjamkan, khususnya sejumlah uang.68 Impelementasinya dalam dunia bisnis, kata “loan” mempunyai arti “asal mulanya” ialah sesuatu yang diberikan atau dipinjamkan, atau yang diberikan kepada seseorang untuk dipakainya selama sesuatu jangka waktu tertentu, tanpa konpensasi atau biaya atau ongkos. Akan tetapi sekarang loan itu biasanya diartikan sebagai sesuatu yang berharga, seperti uang yang dipinjamkan dengan bunga selama sesuatu jangka waktu tertentu.69
66
Ibid, hal. 21 A. Abdurrahman, Ensiklopedia, Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1993), hal. 279 68) Munir Fuady, Op.Cit, hal. 6 69 A. Abdurrahman, Op.Cit, hal.624 67
Universitas Sumatera Utara
45
Pengertian kredit yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 butir 11 disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berlandaskan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dari uraian di atas, dapat ditemukan sedikitnya ada 4 (empat) unsur kredit yaitu: 1. Kepercayaan di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit, dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debiturnya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. 2. Waktu di sini berarti bahwa antara pelepasan kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu. 3. Risiko di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun juga terkandung risiko di dalamnya, yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi risiko tersebut.70 Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.71 4. Prestasi di sini berarti bahwa setiap kesepakatan, terjadi antara bank dengan debiturnya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.72 Berdasarkan beberapa pengertian kredit di atas, maka pada hakikatnya bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk kepada Pasal 1754 KUH Perdata. Juga merupakan kelompok perjanjian khusus (bernama), sehingga perjanjian kredit tergolong dalam kategori KUH Perdata,
70
Hasanuddin Rahman, Op.Cit, hal. 97 Thomas Suyatno, 1993, Op.Cit, hlm. 14 72 Hasanuddin Rahman, Loc.Cit. 71
Universitas Sumatera Utara
46
sebagaimana disebutkan oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian “pendahuluan” terhadap perjanjian pinjam pakai habis.73 Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan/surat dan lain-lain. Pihak yang satu menawarkan atau memajukan usul (proposal), serta pihak yang lain menerima atau menyetujui usul tersebut. Jadi dalam persetujuan terjadi penerimaan atau persetujuan usul. Dengan adanya penawaran/usul serta persetujuan oleh pihak lain atas usul; lahirlah persetujuan atau kontrak yang mengakibatkan ikatan hukum bagi para pihak. Umumnya ikatan hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling memberatkan atau pembebanan kepada para pihak (pihak kreditur dan debitur). Seperti yang dijumpai dalam persetujuan jual beli, sewa-menyewa, lain-lain. Akan tetapi sifat yang saling membebankan itu tidak selamanya menjadi ciri persetujuan. Pembebanan kadang-kadang hanya diletakkan kepada keuntungan sepihak, seperti yang dijumpai dalam pemberian hibah (schenking). Akan tetapi ciri normal atau ciri umum dari setiap kontrak, ialah bersifat partai yang saling memberatkan (jual beli, sewa-menyewa, persetujuan kerja dan lain-lain). Dapat dikatakan, hampir setiap persetujuan selamanya merupakan perbuatan hukum sepihak, dua pihak dan beberapa pihak. Hal ini terjadi, disebabkan oleh karena pernyataan keinginan tadi tidak hanya berupa satu pernyataan saja, akan tetapi mungkin beberapa pernyataan kehendak.
73
Mariam Darus Badrulzaman, 1991, Op.Cit, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
47
Seperti yang dijelaskan di atas, pengertian persetujuan atau kontrak tiada lain dari pernyataan kehendak. Namun demikian, tidak selamanya pernyataan kehendak seseorang itu berwujud persetujuan yang mengikat sebagaimana yang dikehendaki oleh Pasal 1313 KUH Perdata. Hanya pernyataan kehendak yang menimbulkan “kewajiban hukum” (obligatio) saja yang melahirkan kontrak atau persetujuan.74 Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan di sini sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam perundingan. Sebelum ada persetujuan, biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan (negotiation), yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syaratnya. Sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu, sehingga tercapailah “persetujuan yang mantap”. Kadang-kadang secara diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki pihak lain itu.75 Selain kecakapan, ada lagi yang disebut kewenangan melakukan perbuatan hukum, kewenangan membuat perjanjian. Dikatakan ada kewenangan, apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan perbuatan hukum
74 75
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1996), hal.23-25 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 89-90
Universitas Sumatera Utara
48
tertentu, dalam hal ini membuat perjanjian. Dikatakan tidak ada kewenangan, apabila tidak mendapat kuasa untuk itu. Akibat hukum ketidakcakapan/ketidakwenangan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim (voidable). Jika pembatalan itu tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian itu tetap berlaku bagi pihak-pihak.76 Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan obyek perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidnieting). Kata “causa” berasal dari bahasa Latin artinya “sebab”. “Sebab” adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang
76
Ibid, hal,. 92-93
Universitas Sumatera Utara
49
mendorong orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak.77 Berdasarkan uraian tentang perjanjian dan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas, maka jelaslah bahwa syarat sahnya suatu perjanjian kredit bank, apabila syarat tersebut terpenuhinya, dan barulah ditambah dengan syarat khusus lainnya yaitu syarat-syarat atau petunjuk tindakan-tindakan yang harus dilakukan sejak diajukannya permohonan nasabah sampai dengan lunasnya suatu kredit yang diberikan oleh bank. Prosedur perkreditan yang harus ditangani oleh bank yaitu, tahap-tahap permohonan kredit, penyidikan dan analisis, keputusan persetujuan atau penolakan permohohan, pencairan kredit, adminitrasi, pengawasan dan pembinaan serta pelunasan kredit.78 Dengan demikian, apabila terpenuhinya semua syarat perjanjian kredit bank, maka barulah disetujui permohonan kredit, adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit dari calon debitur. Untuk
77 78
Ibid, hal. 93-94 Tjhomas Suyatno, et-al, 1993, Op.Cit, hal. 62
Universitas Sumatera Utara
50
melindungi kepentingan bank biasanya ditegaskan terlebih dulu syarat-syarat fasilitas kredit dan prosedur yang harus ditempuh oleh nasabah, yaitu:79 a. b. c. d. e. f. g. j. k.
Surat penegasan persetujuan permohonan kredit kepada pemohon Pengikatan jaminan Penandatanganan perjanjian kredit Penandatanganan surat aksep Informasi untuk bagian lain Pembayaran bea materai kredit Pembayaran provisi kredit atau commitment fee Asuransi barang jaminan, dan Asuransi kredit.
Kredit bank semua realisasi pemberian kredit dalam bentuk rupiah maupun valuta asing kepada pihak ketiga bukan bank termasuk kepada pegawai bank sendiri serta pembelian surat berharga yang disertai anjak piutang dan cerukan.80 Untuk dapat digolongkan dengan berbagai kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Penggolongan berdasarkan jangka waktu 2) Penggolongan berdasarkan dokumentasi 3) Penggolongan berdasarkan kolektibilitas 4) Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi 5) Penggolongan kredit berdasarkan tujuan penggunaannya 6) Penggolongan kredit berdasarkan objek yang ditransfer 81) 7) Penggolongan kredit berdasarkan waktu pencairannnya82) 8) Penggolongan kredit menurut cara penarikan 9) Penggolongan dilihat dari pihak krediturnya 10) Penggolongan kredit berdasarkan negara asal kreditur 11)Penggolongan kreditur berdasarkan jumlah kreditur83)
79
Ibid, hal. 73 Zainal Asikin, 1997, Pokok-Pokok Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), hal. 57 81 Munir Fuady, 1996, Op.Cit, hal. 15-17 82 Hartono Hadisoeprapto, Kredit Berdokumen (Letter of Credit) Cara Pembayaran Dalam Jual Beli Perniagaan. (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal. 25 83 Munir Fuady, 1996, Op.Cit, hal. 18-20 80
Universitas Sumatera Utara
51
B. Maksud dan Tujuan Hak Jaminan pada Umumnya Menurut Pasal 1131 KUH Perdata, segala harta kekayaan seorang debitur, baik yang berupa benda-benda bergerak maupun benda-benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan bagi semua perikatan hutangnya. Dengan berlakunya ketentuan 1131 KUH Perdata itu, maka dengan sendirinya atau demi hukum terjadilah pemberian jaminan oleh seorang debitur kepada setiap krediturnya atas segala kekayaan debitur itu. Demikian juga halnya dalam perjanjian kredit selalu diikuti dengan perjanjian pemberian jaminan, yang umumnya adalah jaminan kebendaan oleh debitur kepada bank
sebagai
kreditur,
jika
terjadi
kredit
macet
maka
pihak
kreditur
dapat mengeksekusi jaminan kebendaan tersebut sebagai pengembalian utang di debitur. Permasalahan timbul apabila terdapat beberapa kreditur dan ternyata debitur cidera janji terhadap salah satu kreditor atau beberapa kreditur itu. Atau debitur jatuh pailit dan harta kekayaannya harus dilikuidasi. Sudah barang tentu masing-masing kreditur merasa mempunyai hak terhadap harta kekayaan debitur itu sebagai jaminan piutangnya masing-masing. Menurut ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata, harta kekayaan debitur itu menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua kreditur yang memberi hutang kepada debitur yang bersangkutan. Menurut Pasal 1132 KUH Perdata itu, hasil dari penjualan benda-benda yang menjadi kekayaan debitur itu
Universitas Sumatera Utara
52
dibagi kepada semua krediturnya secara seimbang atau proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing. Namun, Pasal 1132 KUH Perdata, memberikan indikasi bahwa diantara para kreditur itu dapat didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain apabila ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan itu. Alasan-alasan yang sah yang dimaksudkan didalam Pasal 1132 KUH Perdata itu, ialah alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Di antara alasan-alasan yang dimaksudkan oleh Pasal 1132 KUH Perdata itu, diberikan oleh Pasal 1133 KUH Perdata, Menurut Pasal 1133 KUH Perdata itu, hak untuk didahulukan bagi seorang kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain timbul dari hak istimewa, gadai dan hipotik (hak tanggungan).84 Urutan dari hak untuk didahulukan yang timbul dari ketiga hak yang disebut dalam Pasal 1133 KUH Perdata itu, menurut Pasal 1134 KUH Perdata gadai dan hipotik (hak tanggungan) lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal yang oleh undang-undang ditentukan sebaliknya. Dari ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata itu dan dihubungkan pula dengan ketentuan Pasal 1133 dan 1134 KUHPerdata, maka karena itu, para kreditur yang tidak mempunyai kedudukan untuk didahulukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang ditentukan oleh undang-undang, mempunyai kedudukan yang sama. Sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1132 KUH Perdata, hak mereka untuk
84
Setelah berlakunya UUHT.
Universitas Sumatera Utara
53
memperoleh pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, dalam hal debitor cidera janji, adalah berimbang secara proporsional menurut besarnya masingmasing piutang mereka. Pembagian menurut keseimbangan itu mendapat penegasan kembali dalam Pasal 1136 KUH Perdata. Menurut Sutan Remy Sjahdeini:85 Dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang kreditur menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain. Karena kedudukan yang sama dengan kreditur-kreditur lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditur-kreditur lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitur cidera janji, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1132 dan 1136 KUH Perdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditur yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya kreditur-kreditur lain yang mungkin muncul di kemudian hari. Makin banyak kreditur dan debitur yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitur menjadi berada dalam keadaan insolven (tidak. mampu membayar hutang-hutangnya). Dan sebagai akibatnya, kernungkinan dinyatakan oleh pengadilan debitur itu jatuh pailit dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh undang-undang, seperti hipotik dan gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain. Itulah pula tujuan dari eksistensi hak tanggungan yang diatur oleh UUHT. Kreditur-kreditur yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur konkuren. Sedangkan kreditur yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain, disebut kreditur preferen.
85
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal. 10-11
Universitas Sumatera Utara
54
C. Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), disebutkan bahwa: 86 Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam definisi tersebut, yaitu: (1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang. (2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA. (3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. (4) Hutang yang dijamin harus suatu utang tertentu. (5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dibandingkan dengan definisi hak tanggungan tersebut dengan definisi hypotheek dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1162 KUH
86
Pasal 1 angka 1 UUHT
Universitas Sumatera Utara
55
Perdata, bahwa ”hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dalam definisi Hipotik tersebut di atas, disebutkan unsur-unsur Hipotik sebagai berikut: (1) Hipotik adalah suatu hak kebendaan. (2) Objek Hipotik adalah benda-benda tak bergerak. (3) Untuk pelunasan suatu perikatan. Membandingkan antara definisi hak tanggungan dengan definisi hipotik, ternyata pembuat undang-undang dan UUHT lebih baik dalam membuat rumusan definisi Hak Tanggungan dari pada pembuat undang-undang KUH Perdata dalam membuat rumusan definisi Hipotik, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini berikut ini:87 Dalam rumusan definisi Hipotik banyak unsur-unsur dan Hipotik yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan Hipotik. Sekalipun rumusan definisi Hak Tanggungan lebih baik daripada rumusan definisi Hipotik dalam KUH Perdata, tetapi belum semua unsurunsur yang berkaitan dengan Hak Tanggungan telah dimasukkan dalam rurnusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan. Sebagaimana diketahui, KUH Perdata Indonesia diambil dari Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda yang lama. BW Belanda yang lama pada saat ini telah diganti dengan BW Belanda yang baru, Nieuw Nederlands Burgelijk Wetboek 87
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hal. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
56
(NNBW), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Dalam NNBW, hak jaminan untuk pelunasan hutang juga disebut Hypotheek seperti BW yang lama disamping Pand. Definisi dari Hypotheek di dalam NNBW dirumuskan dalam Art. 227 (3.9.1.1) bersama-sama dengan Pand. Definisi Hypotheek dalam Art. 227 (3.9.1.1) NNBW adalah:88 Hak pond dan hak Hypotheek adalah hak-hak yang terbatas (beperkie rechten) yang dimaksudkan untuk dapat mernperoleh pembayaran dari penjualan benda-benda dengan didahulukan dari kreditor-kreditor lain. Apahila hak itu dibebankan di atas benda-benda yang terdaftar, hak itu adalah hypotheek: sedangkan apabila hak itu dibebankan atas benda-benda lain, hak itu adalah pand. Setelah membaca rumusan definisi Hypotheek dalam NNBW tersebut, ternyata rumusan definisi Hak Tanggungan dalam UUHT masih lebih baik daripada NNBW.
2. Objek Hak Tanggungan Untuk dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak jaminan atas tanah, suatu benda haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:89 1. Dapat dinilai dengan uang, atau bernilai ekonomis. Karena utang yang dijamin berupa uang, maka baenda yang menjamin pelunasan utang tersebut haruslah dapat dinilai dengan uang. 2. Mempunyai sifat dipindahtangankan Sifat ini harus melekat pada benda yang dijadikan agunan atau jaminan, karena apabila debitor cidera janji, benda yang dijadikan jaminan tersebut akan dijual untuk pelunasan utang.
88
Ibid., hal. 13 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, cetakan 7, (Jakarta: Djamaban, 1997), hal. 386. 89
Universitas Sumatera Utara
57
3. Benda yang mempunyai alas hak yang wajib didaftar, menurut ketentuan tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi syarat publisitas 4. Penunjukan benda yang dapat dijaminkan tersebut, haruslah dengan penunjukan khusus dengan undang-undang. Di dalam praktik perbankan dan lembaga-lembaga pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai seringkali pula oleh bank dan lembaga-lembaga pembiayaan dijadikan agunan kredit. Bank dan lembaga-lembaga pembiayaan mendasarkan kepada kenyataan bahwa Hak Pakai adalah hak atas tanah yang terdaftar pada daftar umum (pada Kantor Pertanahan) dan dapat dipindahtangankan. Namun, mengingat di dalam UUPA, Hak Pakai tidak disebutkan sebagai hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan, bank tidak dapat menguasai tanah Hak Pakai itu sebagai agunan dengan membebankan Hipotik atau Credietverband. Cara yang ditempuh oleh bank-bank adalah dengan melakukan pengikatan F.E.O (fiducia) dan/atau dengan meminta surat kuasa menjual dari pemiliknya.90 Kebutuhan praktik menghendaki agar supaya Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hak Tanggungan. Kebutuhan itu ternyata telah diakomodir oleh UUHT. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.91 Menurut Sutan Remy Sjahdeini:92 Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara saja, tetapi juga dari tanah milik orang lain, dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai yang bersangkutan. Sedangkan kedua jenis Hak Pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya 90
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hal. 57. Pasal 4 ayat (3) UUHT. 92 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hal. 58-59. 91
Universitas Sumatera Utara
58
yang menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Karena itu, wajar bila Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat pula dibebani dengan Hak Tanggungan seperti halnya Hak Pakai atas tanah Negara. Namun, sudah barang tentu bahwa pelaksanaan Hak Tanggungan atas tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik itu baru dapat dilakukan apabila telah dikeluarkan ketentuan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Milik diwajibkan untuk didaftarkan. Mengenai kebutuhan masyarakat agar Hak Pakai dimungkinkan menjadi agunan, yang dalam UUPA tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT kebutuhan tersebut akhirnya dlitampung dengan menetapkan Hak Pakai juga sebagai objek Hak Tanggungan, sebagaimana pada Penjelasan Umum UUHT sebagai berikut:93 ”....Hak Pakai dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, karena pada waktu itu tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar dan karenanya tidak dapat memenuhi syarat publisitas untuk dapat dijadikan jaminan utang. Dalam perkembangannya Hak Pakai pun harus didaftarkan, yaitu Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara. Sebagian dari Hak Pakai yang didaftar itu, menurut sifat dan kenyataannya dapat dipindahtangankan, yaitu yang diberikan kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata. Dalam Undang-undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Hak Pakai yang dimaksudkan itu dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fiducia. ...Pemyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan Undang-undang Pokok Agraria dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat. Selain mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang tidak kurang pentingnya adalah, bahwa dengan ditunjuknya Hak Pakai tersebut sebagai objek Hak Tanggungan, bagi para pemegang haknya yang sebagian besar terdiri atas golongan ekonomi lemah yang tidak berkemampuan untuk mempunyai tanah dengan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, menjadi terbuka kernungkinannya untuk memperoleh kredit yang diperlukannya, dengan menggunakan tanah yang dipunyainya sebagai jaminan.
93
Penjelasan Umum angka 5 UUHT
Universitas Sumatera Utara
59
Dalam Penjelasan Umum UUHT dikemukakan, bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Hak Pakai yang demikian contoh-contohnya adalah Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing. Mengenai ditunjuknya hak pakai atas tanah negara sebagai objek Hak Tanggungan oleh UUHT, Mariam Darus Badrulzaman telah mengemukakan ketidaksetujuannya dengan mengemukakan sebagai berikut:94 a. Menurut UUPA, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain (Pasal 41). Untuk tanah hak pakai diatas tanah milik negara, untuk setiap peralihannya diperlukan izin dari pejabat negara (Pasal 43). Hak pakai semula tidak termasuk hak atas tanah yang terdaftar. Berarti hak pakai itu bersifat pribadi yang melekat pada orangnya (right personam) dan tidak bendanva (right in rem). Pada tahun 1966 (Permen Agraria No. 1) ditentukan bahwa HPTN (Hak Pakai Atas Tanah Negara) harus didaftarkan. Pendaftaran ini membawa akihat hak pakai dapat dialihkan, Namun, ada satu syarat yang menunjukkan bahwa hak pakai itu tidak dapat melepaskan diri dari “sifat pribadi“, yaitu untuk peralihannya diperluhan izin (Pasal 43 UUPA jo Permen Agraria No. 1 Tahun 1966 Pasal 2). merupakan pertanyaan disini dengan adanva pendaftaran HPTN ini, seyogianya izin itu tidak lagi diperlukan, karena hak pakai itu sudah bersifat hak kebendaan.
94
Mariam Darus Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional “Kesiapan Dan Persiapan Dalam Rangka Pelaksanaan Undang-undang Hak Tanggungan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung. dan dalam Seminar Nasional Sehari ‘Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. pada tanggal 25 Juli 1996 di Medan.
Universitas Sumatera Utara
60
Jika izin masih diperlukan, berarti sifat hak pakai yang didaftar itu mengambang, dualitis, mengikat prihadi dan juga bendanva. Disini tidak ada kepastian hukum yang merupakan asas dalam hukum jaminan. b. Dalarn hal debitur ingkar janji, merupakan pertanyaan karena itu apakah untuk eksekusi tersebut diperlukan izin dari pejabat negara. Berhubung dengan pendapat tersebut, maka seyogianya segera dikeluarkan ketentuan perundang-undangan yang mengubah ketentuan Pasal 43 UUPA yang menentukan bahwa untuk setiap peralihan tanah Hak Pakai Di Atas Tanah Milik Negara diperlukan izin dari pejabat negara. Apabila ketentuan itu belum diubah, unsur bagi terpenuhinya syarat untuk dapat menjadikan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai objek Hak Tanggungan, tidak terpenuhi. Belum diubahnya ketentuan Pasal 43 UUPA itu akan menimbulkan ketidakpastian bagi eksekusi Hak Tanggungan yang dibebankan atas Hak Pakai Atas Tanah Negara. Tidak ada jarninan hukum bahwa pejabat negara yang dimaksudkan dalam Pasal 43 UUPA itu, akan memberikan izin yang diperlukan untuk peralihan Hak Pakai Atas Tanah Negara itu sebagai syarat dapat dilaksanakannya eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan.95 Karena ketentuan yang harus diubah itu merupakan ketentuan perundangundangan yang bertingkat undang-undang, perubahannya haruslah dilakukan dengan undang-undang pula atau dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Mengingat pembuatan suatu undang-undang memakan waktu yang lama, sebaiknya dapat ditempuh dengan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
95
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan…, Op. Cit., hal. 61-62
Universitas Sumatera Utara
61
Tanah Hak Milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan Dan uraian di atas, maka objek-objek Hak Tanggungan adalah: (a) Hak Milik. (b) Hak Guna Usaha. (c) Hak Guna Bangunan. (d) Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. (e) Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
3. Pendaftaran Hak Tanggungan Pendaftaran objek hak tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah Kota/Kabupaten setempat. Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA jo PP No.10 Tahun 1960 lebih tepat dinamakan sebagai stelsel campuran, yakni antara stelsel negatif dan stelsel positif.96 Artinya, pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada penulik yang berhak (stelsel negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku pemilik yang berhak (stelsel positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT juga menganut stelsel campuran97
96
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT. Citra Adityabakti, 1991), hal. 11 97 Effendy Hasibuan. Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotek Dan Hak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta, (Jakarta: Laporan Penelitian, 1997), hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
62
Tanpa pendaftaran, hak tanggungan dianggap tidak pernah ada. Jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah, menurut Pasal 13 ayat (1) UUPA begitu juga halnya dengan Hipotek menurut Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata, maka hak tanggungan itu belum ada. Semua perikatan hak tanggungan dan hipotek yang sudah dalam proses pemasangan yang belum didaftarkan dianggap belum ada dan tidak dapat dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR.98 Pemberian hak tanggungan harus didaftarkan 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan akta pemberian hak tanggungan. Kemudian, juga bahwa di dalam melakukan eksekusi baik hipotek atau hak tanggungan tata urutan pendaftaran yang menentukan kekuatan yang mengikat dari hipotik dan hak tanggungan itu. Hipotek lahirnya menurut Pasal 1181 KUH Perdata maupun Pasal 13 jo Penjelasan Umum butir 7 UUHT, yang dibuat debitor terhadap beberapa orang kreditor, bukan dilihat dari tanggal pemasangan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya.
4. Sertifikat Hak Tanggungan Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan yang sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan diterbitkan sertifikat hak tanggungan yang bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUHT. Pada akta hipotek terhitung sejak saat didaftarkan sampai dengan dikeluarkannya sertifikat hipotek oleh Kantor Pendaftaran Tanah (PP No.10 Tahun 1961), untuk kepentingan eksekusi dalam 98
Ibid., hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
63
praktiknya, terjadi dualisme pendapat, terdapat dualisme titel eksekutorial harus dicantumkan pada grose akta hipotek sementara oleh pejabat BPN harus dicantumkan pada sertifikat hipoteknya. Dalam pelaksanaannya grose akta hipotek yang memegang peran utama cksekusi. Sementara sertifikat hipotek hanya sebagai pelengkapnya Di dalam UUHT dualisme titel eksekutorial tidak lagi terjadi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2), bahwa ”Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud ayat (1) memuat kata-kata “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grose akta hipotek dalam melaksanakan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement lot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura) (Sib. 1927-227) sepanjang mengenai hak tanah. Kalau dilihat bahwa titel eksekutorial terdapat pada sertifikat hak tanggungan, dengan demikian akta pemberian hak tanggungan adalah pelengkap dari sentifikat hak tanggungan.
5. Hapusnya Hak Tanggungan Hapusnya hak tanggungan menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT: a. Hapusnya utang yang dijamin dengan hak tanggungan (accessoir), b. Dilepaskan hak tanggungan oleh kreditor pemegangnya, yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis, mengenai dilepaskannya hak tanggungan yang bersangkutan kepada pemberi hak tanggungan.
Universitas Sumatera Utara
64
c. Pemberian hak tanggungan yang bersangkutan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli tanah yang dijadikan jaminan. d. Hapusnya hak tanah yang dibebani hak tanggungan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai proses apa yang harus dilakukan setelah pemberi hak
tanggungan menerima pemberian pernyataan tertulis
sebagaimana disebutkan pada poin 2 tersebut, sehingga menurut
Sutan Remy
Syahdeini: 99 Karena pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan lahirnya hak tanggungan pada hari tanggal didaftarkannya hak tanggungan itu pada buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan tersebut, serta dengan pendaftaran hak tanggungan itu, setelah pemberi hak tanggungan itu berlaku terhadap pihak ketiga, dan setelah pemberian hak tanggungan menerima pemyataan tertulis dari pemegang hak tanggungan sebagimana disebutkan di atas, pemberi hak tanggungan harus segera mengajukan surat permohonan kepada Kantor Pertanahan dengan dilampiri Surat Pernyataan tertulis tersebut agar hak tanggungan tersebut dicatat pada buku tanah hak tanah yang menjadi objek hak tanggungan bahwa hak tanggungan itu telah dilepaskan oleh pemegangnya. Hanya dengan demikian, hak tanggungan itu menjadi hapus dan tidak mengikat lagi bagi pihak ketiga. Menurut Pasal 19 UUHT, diatur tata cara pemberian hak tanggungan jika hasil penjualan objek hak tanggungan ternyata tidak cukup untuk melunasi piutangnya yang dijamin tanpa diadakan pembersihan hak tanggungan yang menjamin piutang tersebut akan tetap membebani objek yang dibeli. Bahwa dalarn melakukan “roya partial” hapusnya hak tanggungan pada bagian objek yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertifikat hak tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang telah bebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya.100
99
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan..., Op. Cit., hal. 155. Pasal 22 ayat (9) UUHT.
100
Universitas Sumatera Utara
65
D. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Dan Debitur Dalam Perjanjian Jaminan Kredit Bank Berdasarkan UUHT Berbicara mengenai masalah perkreditan ini tentu tidak dapat dilepaskan dengan masalah hukum jaminan, karena di antara kedua masalah tersebut terkait erat satu dengan lainnya. Di satu pihak perlu dilakukan upaya memberikan berbagai kemudahan untuk mendorong pembangunan perekonomian masyarakat melalui fasilitas kredit perbankan, di pihak lain perlu diberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang seimbang dalam pemberian fasilitas kredit itu sendiri, baik kepada kreditur/pemegang hak tanggungan, debitur/pemberi hak tanggungan maupun kepada pihak ketiga. Pengalaman membuktikan bahwa cukup sulitnya penyelesaian masalah kredit macet, disebabkan beberapa faktor yang di antaranya bermula dari kurang diperhatikannya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum jaminan, khususnya dalam penggunaan tanah sebagai jaminan kredit. Sungguhpun tanah bukan merupakan satu-satunya jaminan, namun harus diakui bahwa tanah masih mempunyai nilai lebih bila dibandingkan dengan bentuk jaminan lainnya, hal ini karena tanah tidak mudah hilang atau rusak serta harganya cenderung meningkat, terutama tanah-tanah di daerah perkotaan.101 Mengingat telah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, maka penggunaan tanah sebagai jaminan kredit dewasa ini di kalangan perbankan menempati prioritasnya/lebih diutamakan dibanding benda-benda jaminan lainnya. Dalam penggunaan tanah sebagai jaminan kredit tersebut, dapat
101
Budi Harsono, “Upaya Badan Pertanahan Nasional Dalam Mempercepat Penyelesaian Kredit Macet Perbankan”, Kumpulan Makalah dan Hasil Diskusi Panel I Sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, (Jakarta: Dep. Keu,. RI. BUPLN, 1998), hal. 400
Universitas Sumatera Utara
66
digolongkan dua status hukumnya, yaitu tanah-tanah yang sudah terdaftar/ bersertipikat dan tanah-tanah yang belum terdaftar. Di dalam UUPA disebutkan bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dapat digunakan sebagai jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Dengan demikian jelas bahwa hak jaminan atas tanah sejak berlakunya UUPA dikenal dengan nama hak tanggungan. Ketiga hak tersebut adalah merupakan hak yang dapat dipindahtangankan dan tentunya mempunyai nilai ekonomis, sehingga memenuhi persyaratan untuk setiap benda jaminan. Demikian pula sebenarnya hak pakai mempunyai nilai ekonomis dan dimungkinkan pula untuk dipindah tangankan, seperti halnya dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Semakin meningkatnya pembangunan perekonomian masyarakat di bidang investasi, perlu diimbangi dengan perluasan obyek dari hak jaminan atas tanah, agar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang dinamis. Mengingat bahwa UUPA pada prinsipnya menganut asas pemisahan horizontal, sesuai dengan asas dalam sistem hukum adat, maka penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, tidak secara otomatis termasuk pula bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berdiri di atas tanah tersebut.102 Karena dalam kegiatan perkreditan tersangkut beberapa pihak, yakni kreditur, debitur serta pihak-pihak yang terkait, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) kepentingan para pihak
102
Ibid,, hlm. 32-33
Universitas Sumatera Utara
67
tersebut diperhatikan dan diberikan keseimbangan dalam perlindungan dan kepastian hukumnya. UUHT dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan menjamin kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan secara seimbang. Kedudukan istimewa kreditur tampak, antara lain, pada:103 a. Adanya “droit de preference” atau hak mendahulu yang dipunyai kreditur sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) b. Adanya “droit de suite” bagi obyek hak tanggungan (Pasal 7) c. Keharusan pemenuhan asas spesialitas berkenaan dengan identitas pemegang hak tanggungan dan pemberi hak tanggungan, serta domisili masing-masing pihak, piutang yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan (Pasal 11 ayat (1), dan pemenuhan asas publisitas, yakni pendaftaran hak tanggungan (Pasal 13) d. Pelaksanaan eksekusi secara mudah dan pasti (Pasal 6 dan 26) e. Ketentuan Pasal 21 bahwa kepailitan pemberi hak tanggungan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hak tanggungan f. Sifat hak tanggungan yang tidak dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1)) g. Adanya kemungkinan untuk menjual obyek hak tanggungan secara di bawah tangan menurut tata cara tertentu (Pasal 20 ayat (2)) 103
Maria Sumardjono, “Prinsip Dasar Hak Tanggungan Dan Beberapa Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Kredit Perbankan”. Kumpulan Makalah Dan Hasil Diskusi Panel I sampai IV Pengurusan Piutang dan Lelang Negara, (Jakarta: Dep. Keu. RI, BUPLN, 1998), hal. 522
Universitas Sumatera Utara
68
Di samping memberikan perlindungan kepada kreditur, UUHT juga memberikan perlindungan kepada debitur/pemberi hak tanggungan dan pihak ketiga dalam hal-hal sebagai berikut:104 a. Adanya kemungkinan melakukan roya partial yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) sebagai penyimpangan dari asas tidak dapat dibagi-bagi dalam Pasal 2 ayat (1) b. Pemenuhan asas spesialitas dan publisitas c. Ketentuan tentang isi SKMHT dan APHT d. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri hanya dapat terlaksana apabila hal tersebut diperjanjikan (Pasal 6 yo Pasal 11 ayat (2) huruf e) e. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum (Pasal 12) f. Ketentuan
tentang
pencoretan
(roya)
hak
tanggungan
yang
sudah
bagus (Pasal 22) diadakan demi kepentingan debitur/pemberi hak tanggungan. UUHT bertujuan untuk memberikan landasan untuk dapat berlakunya lembaga hak tanggungan yang kuat di dalamnya antara lain menegaskan atau meluruskan persepsi yang kurang tepat di waktu yang lalu. Adanya penegasan/pelurusan berkenaan dengan beberapa masalah tersebut memerlukan perubahan persepsi dan sikap semua pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan 104
Ibid, hal. 523.
Universitas Sumatera Utara
69
hak tanggungan ini. Pemahaman yang obyektif terhadap prinsip-prinsip hak tanggungan diikuti dengan kepatuhan untuk melaksanakan UUHT secara konsekuen sedikit banyak dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kredit macet perbankan. Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.105 Sebagai suatu lembaga hak jaminan yang kuat, hak tanggungan mempunyai empat ciri pokok, yakni: a. Memberikan kedudukan diutamakan (preferent) kepada krediturnya. b. Selalu mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite). c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Di samping itu hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, yang berarti bahwa hak tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian dari padanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek hak tanggungan dari beban hak tanggungan, tetapi hak tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi.106
105 106
Pasal 1 UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA.
Universitas Sumatera Utara
70
Asas tidak dapat dibagi-bagi tersebut dapat disimpangi dalam hal hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek hak tanggungan yang akan dibebaskan dari hak tanggungan tersebut. Dengan demikian, hak tanggungan hanya akan membebani sisa obyek hak tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi (Pasal 2 ayat (2) UUHT), agar hal itu dapat berlaku, harus diperjanjikan dalam akta pemberian hak tanggungan (APHT). Sifat lain dari hak tanggungan adalah bahwa hak tanggungan merupakan ikutan (accesoir) pada perjanjian pokok, yakni perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhirnya dan hapusnya hak tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut. Keberadaan hak tanggungan ditentukan melalui pemenuhan tata cara pembebanannya yang meliputi dua tahap kegiatan, yakni tahap pemberian hak tanggungan dengan dibuatnya APHT oleh PPAT yang didahului dengan perjanjian pokok, yakni perjanjian utang-piutang, dan tahap pendaftaran hak tanggungan oleh kantor pertanahan yang menandakan saat lahirnya hak tanggungan. APHT memuat substansi yang bersifat wajib, yakni berkenaan dengan nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan, domisili pihak-pihak bersangkutan,
penunjukan
utang
atau
utang-utang
yang
dijamin,
nilai
tanggungan, dan uraian yang jelas tentang obyek hak tanggungan (Pasal 11 UUHT). Di dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji sebagaimana lazimnya,
Universitas Sumatera Utara
71
yang pada umumnya membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk melakukan tindakan tertentu terhadap obyek hak tanggungan tanpa ijin tertulis dari pemegang hak tanggungan, satu dan lain hal agar obyek hak tanggungan tetap dalam keadaan terpelihara atau tidak merosot nilainya. Bahkan apabila hak atas tanah dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum, maka dapat diperjanjikan bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh/sebagian dari ganti kerugian yang diterima oleh pemberi hak tanggungan.107 Dalam kaitannya dengan hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila hal tersebut dikehendaki untuk berlaku, harus dicantumkan sebagai salah satu janji mengingat bahwa penjualan obyek hak tanggungan tersebut yang merupakan milik pemberi hak tanggungan harus dilakukan sesuai dengan asas penghormatan kepada milik orang lain. Demikian pula untuk melindungi debitur, maka janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan (kreditur) untuk memiliki obyek hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun
1996
Tentang
Bentuk
Kuasa
Membebankan
Hak
Tanggungan
(HT), APHT, Buku Tanah Hak Tanggungan dan sertifikat Hak Tanggungan, maka segala macam janji itu sudah tercantum di dalam formulir APHT.108
107 108
Maria Sumardjono, Op. Cit., hal. 524-525 Pasal 2 UUPA
Universitas Sumatera Utara
72
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan tentang bentuk dan isi APHT dan bukutanah HT serta hal-hal yang berkaitan dengan pemberian dan pendaftaran hak tanggungan berdasarkan peraturan pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 19 UUPA, dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah. Pada tanggal 30 Mei 1996 telah terbit Peraturan Menteri Negara/ Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1996 Tentang Pendaftaran hak tanggungan yang merupakan peraturan pelaksanaan UUHT. Pembuatan APHT wajib diikuti dengan pengiriman aktanya beserta warkah lain yang diperlukan oleh PPAT ke Kantor Pertanahan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT tersebut (Pasal 13 UUHT). Dalam waktu tujuh hari kerja setelah penerimaan secara lengkap suratsurat yang diperlukan untuk pendaftaran, Kantor Pertanahan melakukan pendaftaran hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yakni
dengan
membuatkan
buku-tanah Hak
Tanggungan
dan
mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan, serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan, dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah hak tanggungan yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Saat pemberian tanggal pada buku-tanah tersebut adalah sangat penting, karena pada saat itulah hak tanggungan lahir, yang berarti mulainya kedudukan preferent bagi kreditur, penentuan peringkat hak tanggungan, dan berlakunya hak tanggungan terhadap pihak ketiga (pemenuhan asas publisitas). Sebagai tanda bukti adanya
Universitas Sumatera Utara
73
hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menyerahkannya kepada pemegang hak tanggungan. Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Apabila hak tanggungan beralih karena cessie, subgrosi, pewarisan, atau karena sebab-sebab lain, misalnya penggabungan atau pengambil-alihan perusahaan, maka hak tanggungan pun beralih dan peralihan tersebut harus dicatat oleh Kantor Pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan akta yang membuktikan peralihan hak tanggungan tersebut. Analog dengan pendaftaran hak tanggungan, tanggal pencatatan peralihan oleh Kantor Pertanahan adalah hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan untuk pendaftaran peralihannya. Penentuan waktu ini penting karena menentukan saat berlakunya peralihan hak tanggungan terhadap pihak ketiga.109 Demikian pula apabila hak tanggungan hapus karena utang telah dilunasi atau karena sebab-sebab lain, maka Kantor Pertanahan melakukan pencoretan atau roya catatan hak tanggungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu tujuh hari kerja atas permintaan pihak yang berkepentingan. Arti penting pencoretan catatan hak tanggungan adalah demi ketertiban administrasi dan tidak ada pengaruhnya terhadap hak tanggungan yang sudah hapus itu.
109
Maria Sumardjono, Op. Cit., hal. 526-527
Universitas Sumatera Utara
74
Dengan demikian dari pembahasan di atas, maka bentuk perlindungan yang diberikan oleh Hak Tanggungan kepada para kreditur adalah: a. Bentuk perlindungan yang menyangkut kejelasan administrasi b. Bentuk perlindungan yang dituangkan dalam asas-asas hak tanggungan c. Bentuk perlindungan yang memberikan kepastian hukum kepada kreditur dalam hal penjualan objek hak tanggungan melalui pelaksanaan penjualan dibawah tangan, tidak seperti pada hipotik yang memberikan ketidakpastian, dan apabila dilakukan penjualan dibawah-tangan (tanpa melalui lelang), penjualan objek jaminan kredit tersebut dianggap melanggar hukum dan dapat batal demi hukum. Namun begitu, penjualan objek hak tanggungan dibawahtangan (tanpa melalui lelang) pada hak tanggungan ini dapat dilakukan dengan adanya kesepakatan dari debitor dan kreditur. Selain kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi, bagi kepentingan kreditur pemegang hak tanggungan disediakan tambahan perlindungan yang dinyatakan dalam Pasal 21. Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut ketentuan UUHT. Ketentuan ini lebih memantapkan kedudukan yang diutamakan dari pemegang hak tanggungan, dengan mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi hak tanggungan terhadap obyek hak tanggungan. Pemegang hak tanggungan berhak menjual lelang obyek hak tanggungan lebih dahulu untuk pelunasan piutangnya, dan sisanya dimasukkan dalam “boedel kepailitan” pemberi hak tanggungan.
Universitas Sumatera Utara