BAB II PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN ATAS PEMBELIAN PRODUK ELEKTRONIK BERLABEL SNI BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen 1.
Pengertian Konsumen dan Instrument Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen. Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UUPK, “Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan.” 23 Dalam buku AZ. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.” Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk kelompok konsumen mana pengguna tersebut. 24 Pembagian batasan mengenai konsumen dibedakan oleh AZ. Nasution yakni menjadi : a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu. 23
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 angka 2. 24 A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial). c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial). 25 Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 tersebut bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara/merawat harta bendanya. 26 Pada hakekatnya terdapat 2 (dua) instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni : a. Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
25 26
Ibid. hal 11-14. Janus Sidabalok, Op.Cit, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberi harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas suatu transaksi barang dan jasa. UUPK ini menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen. Instrumen lainnya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013, Bab II, juga memuat ketentuan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, dimana pelaku usaha jasa keuangan diwajibkan memberikan informasi yang jelas serta pemahaman kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban konsumen. Ada 5 (lima) asas di dalam UUPK yang mendukung instrumen perlindungan hukum bagi konsumen seperti yang dimuat didalam Pasal 2 UUPK, yakni asas manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. 27 a. Asas manfaat Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya. b. Asas keadilan Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 UUPK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini 27
Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab II, Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang. c. Asas keseimbangan Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi. d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen Diharapkan penerapan UUPK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. e. Asas kepastian hukum Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum. 28
2.
Hak dan Kewajiban konsumen Seiring dengan keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap
kepentingan konsumen, maka mulailah dipikirkan kepentingan-kepentingan apa dari konsumen yang perlu mendapat perlindungan. Kepentingan-kepentingan itu dapat dirumuskan dalam bentuk hak. Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. 28
http://www.jurnalhukum.com/hukum-perlindungan-konsumen-di-indonesia/, (diakses pada tanggal 23 Mei 2016).
Universitas Sumatera Utara
Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 29 Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan juga sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu : 30 a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
29
Sukdikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hal.40. 30 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 4.
Universitas Sumatera Utara
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK lebih luas daripada hak-hak dasar konsumen sebagaimana pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas: 31 a. Hak memperoleh keamanan; b. Hak memilih; c. Hak mendapat informasi; d. Hak untuk didengar. Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu: 32 a. Hak untuk memeperoleh kebutuhan hidup; b. Hak untuk memperoleh ganti rugi; c. Hak untuk memeperoleh pendidikan konsumen; d. Hak untuk memeperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
31
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.38. 32 C. Tantri D. dan Sulastri, Gerakan Organisasi Konsumen, Seri Panduan Konsumen, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia-The Asia Foundation, 1995), hal. 22-24.
Universitas Sumatera Utara
Disanping itu, masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: 33 a. Hak pelindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid); b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen). Sementara itu, konsumen juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yang dimuat di dalam Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999 yakni : 34 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
3.
Sengketa Konsumen dan Penyelesaiannya Menurut A.Z Nasution, seorang ahli hukum perlindungan konsumen
menyatakan pengertian dari sengketa konsumen adalah sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen yang berawal dari transaksi konsumen. 35
33
Meriam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 61. Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab III, Pasal 5. 35 A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 221. 34
Universitas Sumatera Utara
Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan Nomor 350/MPP/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah “Sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau memanfaatkan jasa”. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. BPSK menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. 36 Ketidaktaatan pada isi transaksi konsumen, kewajiban, serta larangan sebagaimana diatur di dalam UUPK dapat melahirkan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Sengketa itu dapat berupa salah satu pihak tidak mendapatkan atau menikmati apa yang seharusnya menjadi haknya karena pihak lawan tidak memenuhi kewajibannya. Misalnya, pembeli tidak memperoleh barang yang sesuai dengan pesanannya, atau pembeli tidak mendapat pelayanan sebagaimana telah disepakati, atau penjual tidak mendapatkan pembayaran sesuai
36
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dengan haknya. Sengketa yang timbul antara pelaku usaha dan konsumen berawal dari transaksi konsumen disebut sengketa konsumen. 37 Sengketa konsumen dapat bersumber dari dua hal, yaitu : 38 a. Pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Artinya, pelaku usaha mengabaikan ketentuan undangundang tentang kewajibannya sebagai pelaku usaha dan larangan-larangan yang dikenakan padanya dalam menjalankan usahanya. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari hukum. b. Pelaku usaha atau konsumen tidak menaati isi perjanjian, yang berarti baik pelaku usaha maupun konsumen tidak menaati kewajibannya sesuai dengan kontrak atau perjanjian yang dibuat di antara mereka. Sengketa seperti ini dapat disebut sengketa yang bersumber dari kontrak. Pasal 46 ayat 1 UUPK, disebutkan bahwa yang dapat melakukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah konsumen perseorangan, sekelompok konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan Pemerintah. Permasalahan yang sering ditemui di masyarakat ialah adanya pelaksanaan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha seperti pada Pasal 8 ayat 1 huruf (a), para pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan /atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. 39 Banyak produk yang beredar di masyarakat
37
Janus Sidabalok, Op.Cit.. hal. 143. Ibid, hal 143. 39 Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab IV, Pasal 8 ayat 1 huruf (a). 38
Universitas Sumatera Utara
yang mencantumkan label SNI tetapi sebenarnya tidak memenuhi standar kesesuaian, yang mengakibatkan kerugian dan dampak negatif yang dirasakan oleh konsumen secara langsung. Hal ini yang membuat konsumen banyak mengajukan tuntutan terhadap produsen sebagai bentuk pemenuhan atas hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan sehingga tercipta hubungan baik antara pelaku usaha dan konsumen, dimana masing-masing pihak mendapatkan kembali hak-haknya. Penyelesaian sengketa secara hukum ini bertujuan untuk memberi penyelesaian yang dapat menjamin terpenuhinya hak-hak kedua belah pihak yang bersengketa. Dengan begitu, rasa keadilan dapat ditegakkan dan hukum dijalankan sebagaimana mestinya. 40 UUPK memberi dua macam ruang untuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian konsumen di luar pengadilan (non-litigasi). Pasal 45 ayat (1): Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Sebenarnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan baru diketahui melalui Pasal 47, sedangkan Pasal 45 justru menyebut lembaga khusus sebagai penyelesaian di luar pengadilan. 40
Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 144.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 47: Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Mengikuti ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 47 UUPK tersebut, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian seketika. Menurut Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) UUPK, konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut secara langsung penggantian kerugian kepada produsen, dan produsen harus memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah transaksi berlangsung. 2. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jika pelaku usaha tidak mau menyelesaikan tuntutan ganti rugi tersebut atau diantara mereka tidak ada penyelesaian, pembeli dapat mengajukan kasus tersebut ke BPSK atau ke pengadilan. Menurut Pasal 23 UUPK penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK ini dapat ditempuh, yaitu jika penyelesaian secara damai diluar proses pengadilan tidak berhasil, baik karena produsen menolak atau tidak memberi tanggapan maupun jika tidak tercapai kesepakatan. 41
41
Ibid hal. 146-148.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, terbuka tiga cara untuk menyelesaikan sengketa konsumen, yaitu: 1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan; 2. Penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan 3. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Satu dari ketiga cara itu dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa, dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Kalau sudah menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi, maka ditempuh penyelesaian melalui BPSK dan sebaliknya. 42
4.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dengan pemahaman bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan
perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum publik, yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian,
42
Ibid, hal. 144
Universitas Sumatera Utara
hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban produsen, serta caracara mempertahankan hak dan menjalankan kewajibannya itu. 43 Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen. Oleh A.Z. Nasution dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa kosumen. 44 Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi: informasi, memilih, harga, sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan 43 44
Ibid, hal. 45. A.Z. Nasution, Op.Cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu. Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokkan normanorma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 45 a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada Pasal 8 UUPK terdapat substansi yang memuat larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut. Larangan-larangan ini bertujuan untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pelaku usaha baik melalui label, etiket, iklan, dan lain sebagainya. 46 b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Pada Pasal 18 ayat (1), yaitu larangan membuat dan/atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; 45
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 26. 46 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen ; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Seharusnya larangan tersebut dibatasi hanya untuk jangka waktu 4 (empat) tahun sesuai ketentuan Pasal 27 huruf e UUPK. Pasal ini menentukan pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Oleh karena itu ketentuan ini berlebihan, karena sama sekali menutup kemungkinan bagi pelaku usaha untuk lepas
Universitas Sumatera Utara
dari tanggung jawab dengan cara mencantumkannya dalam klausula baku seperti itu. 47 Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut : 48 a. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945; b. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi; c. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; d. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan akan dapat memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen sekaligus. Bahwa sebenarnya perlindungan konsumen tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan konsumen, tetapi juga bagi kepentingan pelaku usaha. Dalam pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, paling tidak melibatkan 4 (empat) pihak, yaitu : konsumen yang baik, pelaku usaha yang baik, konsumen yang nakal, dan pelaku usaha yang nakal. Hal
47 48
Ibid, hal. 108. Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
tersebut dapat dipahami karena konsumen dan pelaku usaha bukanlah lawan, melainkan pasangan yang saling membutuhkan. Masa depan dari pelaku usaha sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi dari konsumennya. Jika konsumennya dalam kondisi sehat dan perekonomiannya semakin baik, maka pelaku usaha juga memiliki masa depan yang baik, demikian juga akan berlaku sebaliknya. Dalam hal pelaku usaha berbuat curang, maka yang dirugikan tidak hanya pihak konsumen, tetapi juga merugikan pelaku usaha yang baik. Demikian juga jika ada konsumen yang nakal, hal itu tidak hanya akan merugikan pelaku usaha, tetapi juga merugikan konsumen yang baik. 49 Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud
perlindungan
kepada
konsumen,
maka
dapat
dikatakan
hukum
perlindungan konsumen adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. 50
B. Standar Nasional Indonesia 1.
Pengertian dan Dasar Hukum Standar Nasional Indonesia (SNI) Penggunaan teknologi yang baik, di satu sisi memungkinkan produsen
mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak 49
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 87. 50 Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen. Untuk menghindari kemungkinan adanya produk yang cacat atau berbahaya, maka perlu ditetapkan standar minimal yang harus dipedomani dalam berproduksi untuk menghasilkan produk yang layak dan aman untuk dipakai. Usaha inilah yang disebut dengan standardisasi. Menurut Gandi, standardisasi adalah proses penyusunan dan penerapan aturan-aturan dalam pendekatan secara teratur untuk kemanfaatan dan dengan kerjasama dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya untuk meningkatkan penghematan menyeluruh secara optimum dengan memperhatikan kondisi fungsional dan persyaratan keamanan. Hal ini didasarkan pada konsolidasi dari hasil (ilmu) teknologi dan pengalaman. 51 Standar Nasional Indonesia atau sering kali dikenal dengan singkatan SNI bukan istilah yang asing. SNI adalah standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. 52 Dalam melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan ini menetapkan SNI yang digunakan sebagai dasar hukum dan standar teknis di Indonesia. Produk yang sudah memenuhi standar diberikan sertifikasi produk (Certification Marking) yang dibuat dengan tanda Standar Industri Indonesia (SII) atau SNI, yang dapat ditempatkan pada produk, kemasannya, atau dokumennya. Tanda ini dibubuhkan oleh produsen pada barang produknya setelah mendapat izin dari
51
Gandi, Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Pengaturan Standardisasi Hasil Industri, (Jakarta: BPHN-Binacipta, 1980), hal.80. 52 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 102 Tahun 2000 berisi tentang Standardisasi Nasional, Bab I, Pasal 1.
Universitas Sumatera Utara
Menteri Perindustrian sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) SK Menteri Perindustrian Nomor 210 Tahun 1979. Sertifikasi ini merupakan jaminan terhadap produk tersebut sebab ia diberikan setelah diuji dan memenuhi syarat yang ditentukan. Petunjuk pelaksanaan penggunaan tanda sertifikasi itu ditetapkan dengan SK Menteri Perindustrian Nomor 130 Tahun 1980. Betapa pentingnya standardisasi ini, di lingkungan perdagangan internasional, baik perdagangan barang maupun jasa, dilaksanakan juga standardisasi yang berlaku secara internasional, yakni dengan mengimplementasikan standar ISO (International Organization for Standardization) yang dipergunakan sekarang yakni 9000/14000. 53 ISO 9000 adalah suatu standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi dunia atau yang lebh dikenal dengan The International Organization for Standardization (ISO) dengan menerapkan sistem manajemen mutu. Sedangkan ISO 14000 adalah suatu standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi dunia atau yang lebih dikenal The International Organization for Standardization (ISO) dengan menerapkan sistem manajemen lingkungan. 54 Pada prinsipnya negara-negara
dapat
mengambil bagian dalam mengakses pasar dunia, sejauh tidak melakkan tindakan melawan hukum, tetapi dengan persyaratan standar ISO 9000/ISO 14000, jika produk-produk yang dihasilkan dan dilempar ke pasar dunia tidak dapat memenuhi standar, meskipun tidak ada gugatan produk, maka produk itu akan tersingkir.
53 54
Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 22. Endang Sri Wahyuni, Op. Cit, hal. 11
Universitas Sumatera Utara
Perangkat perundang-undangan di bidang standar dan kesesuaian di Indonesia yang paling terkait adalah : 55 a.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1961 Nomor 215, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2210). Dalam pelaksanaannya undang-undang ini belum dapat dilaksnakan secara sempurna karena sampai saat ini belum terbbentuk Panitia Barang sebagaimana dikehendaki oleh undang-undang tersebut.
b.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
c.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3193).
d.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274), dalam Pasal 19 undang-undang tersebut diatur bahwa pemerintah menetapkan standar untuk bahan baku dan barang hasil industri dengan tujuan untuk menjamin mutu hasil industry serta untuk mencapai daya guna produksi. Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa penetapan standar industri bertujuan untuk menjamin serta meningkatkan mutu hasil industri, untuk normalisasi penggunaan bahan baku dan barang
55
Ibid, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
serta untuk rasionalisasi optimalisasi produksi dan cara kerja demi tercapainya daya guna sebesar-besarnya. Dalam penyusunan standar industri tersebut diatas, diikutsertakan pihak swasta, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Asosiasi, Balai-balai Penelitian, Lembaga-lembaga Ilmiah, Lembaga Konsumen dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan proses dalam standardisasi industri. Selain untuk kepentingan industri juga perlu untuk melindungi konsumen. e.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317).
f.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).
Selanjutnya, untuk peraturan yang lebih rendah dari undang-undang telah ada : a. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran. b. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia. c. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 tentang Dewan Standardisasi Nasional.
Universitas Sumatera Utara
d. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. 56
2.
Kewajiban SNI di Indonesia Dalam hal berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan,
kesehatan, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian berwenang menetapkan pemberlakuan SNI secara wajib dengan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. 57
Pelaku
usaha,
kementerian/lembaga
pemerintah
nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib melaksanakan peraturan menteri atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian tentang pemberlakuan SNI secara wajib. 58 Pelaku usaha, kementerian/lembaga pemerintah non kementerian, dan/atau pemerintah daerah wajib memiliki sertifikat SNI yang diberlakukan secara wajib. 59 Pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut dilarang: 60 1. Memperdagangkan atau mengedarkan barang; 2. Memberikan jasa; dan/atau
56
Ibid, hal. 30. Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 24 ayat (1). 58 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III,Pasal 24 ayat (2). 59 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III,Pasal 25 ayat (1). 60 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 25 ayat (2). 57
Universitas Sumatera Utara
3. Menjalankan proses atau sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI. Di Amerika Serikat, pemerintah menetapkan tingkat keamanan produk dengan menetapkan standar minimum yang harus dipatuhi oleh perusahaan produsen dalam berproduksi. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, tetapi pasti, seperti yang digambarkan oleh Stern dan Eovaldi berikut : Beginning with the regulation of food and drugs at the turn of the twentieth century, federal legislation has become increasingly comprehensive, first covering specific product categories (automobile, flammable fabrics, children toys), then extending to any hazardous substance, and finally covering all consumer products. 61 Mereka menjelaskan bahwa penetapan standar di Amerika Serikat dimulai dari standar makanan dan obat-obatan kemudian pada abad ke-20 lembaga legislatif memperluas standardisasi pada kategori produk yang lebih spesifik seperti kendaraan bermotor, pabrik industri, dan mainan anak, kemudian merambah ke standardisasi produksi zat yang berbahaya, dan standardisasi produk konsumsi lainnya. Apabila dilihat keadaan di Indonesia, penerapan ketentuan standardisasi sudah hampir sama dengan yang terjadi di Amerika Serikat. Satu dan lain hal karena tuntutan perdagangan internasional atas barang dan jasa yang menghendaki bahwa produk ekspor harus memenuhi kualifikasi tertentu, baik di bidang mutu/kualitas, standar pelayanan, maupun penghargaan/kepedulian terhadap lingkungan, dan sebagainya. 62
61 62
Janus Sidabalok,Op.Cit, hal. 23. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai aturan terkait Standar Nasional Indonesia (SNI) dan pencantuman label Bahasa Indonesia pada September tahun 2015 lalu lebih mudah diimplementasikan dibandingkan peraturan pendahulunya. Revisi aturan dilakukan melalui terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) Nomor 72/M-Dag/Per/9/2015
tentang
perubahan ketiga atas Permendag Nomor 14/M-Dag/Per/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Pemendag Nomor 73/MDag/Per/9/2015 tentang Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia Pada Barang, Sebagai bagian dari paket deregulasi kebijakan. 63 Pada tahun 2010, dari catatan Kamar Dagang Indonesia (selanjutnya disebut KADIN), produk yang ber-SNI sebanyak 3.525 judul, SNI wajib 81 standar, laporan WTO 28 standar, sertifikasi SNI 636 perusahaan, dan sertifikasi 18 Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Bagi mereka yang telah berkomitmen menggunakan SNI, tantangannya adalah terus memperbaharui diri, menyelaraskan dengan
standar
berpartisipasi
internasional, dalam
mengikuti
kegiatan-kegiatan
perkembangan
teknologi
internasional,
dan
baru,
mengikuti
perkembangan ISO. 64
63
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151102161443-92-88953/kemendagpermudah-implementasi-aturan-sni, (diakses pada tanggal 09 Juni 2016). 64 BSN, “Manfaat Standardisasi bagi Industri Nasional,” (Jakarta: Majalah Valuasi Vol. 4 No. 4, BSN, 2010), hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
3.
Hubungan SNI dan Perlindungan Konsumen Berkaitan dengan pemakaian teknologi yang makin maju sebagaimana
disebutkan sebelumnya menyebabkan ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa semakin meluas melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Konsumen akhirnya dihadapkan pada suatu pilihan atas barang dan/atau jasa yang bervariasi. Dari kondisi tersebut, di satu sisi dapat mendatangkan keuntungan dengan terpenuhinya hak konsumen seperti yang tercantum pada Pasal 4 huruf (b) UUPK, konsumen memiliki keleluasaan dalam memilih barang yang berkualitas dengan harga bersaing untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan hak konsumen. Jika dirumuskan dalam bentuk lain, standardisasi berkaitan dengan proses penetapan dan penerapan standar yang dilakukan secara tertib dalam suatu kerjasama yang melibatkan semua pihak. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kepada konsumen, tenaga kerja dan masyarakat, serta mewujudkan jaminan mutu terhadap produk dan/atau jasa yang dihasilkan dengan meningkatkan efisiensi dalam proses mengelola sistem mutu, sehingga terpenuhilah hak konsumen salah satunya yang termuat pada Pasal 4 huruf (a) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. 65 Untuk menghindari adanya produk yang cacat atau berbahaya yang nantinya akan dikonsumsi oleh konsumen maka diperlukan penetapan standar minimal yang harus dipedomani. Dalam hal ini, standar yang dipedomani ialah SNI. Industri elektronik sudah siap dengan program peningkatan SNI wajib. Adanya SNI akan meningkatkan daya saing industri dan manufaktur, termasuk elektronik di pasar
65
Endang Sri Wahyuni, Op. Cit, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
global. 66 SNI akan menjadi “technical barrier” (hambatan teknis) yang dapat meningkatkan kualitas produk dalam negeri sekaligus menjadi “trade barrier” (hambatan perdagangan) untuk produk impor. Standardisasi berfungsi membantu menjembatani kepentingan konsumen dan produsen dengan menetapkan standar produk yang tepat serta dapat memenuhi kepentingan dan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak. Dengan adanya standardisasi produk ini akan memberi manfaat yang optimum pada konsumen dan produsen, tanpa mengurangi hak milik dari konsumen.67 Standardisasi ini berkaitan erat dengan keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu berkaitan dengan kelayakan suatu produk untuk dipakai atau dikonsumsi. Barang yang tidak memenuhi syarat mutu dan kualitas, serta apabila tidak dilengkapi sertifikat khususnya pada produk elektronik, dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen secara finansial, dan dapat juga mengancam keamanan dan keselamatan bagi pengguna produk elektronik sehari-harinya. Melalui sertifikasi produk ini akan diperoleh manfaat dan keuntungan, baik bagi produsen,pemakai profesional, maupun konsumen, yaitu sebagai berikut : a.
Bagi produsen, lebih memberikan bobot dan membuktikan bahwa hasil produksinya memenuhi persyaratan standar secara konsisten dan memberikan bantuan dalam meningkatkan penjualannya di pasar dalam dan luar negeri.
b.
Bagi pemakai profesional atau konsumen umum, memberikan indikasi yang dapat dipercaya bahwa barang-barang sesuai dengan persyaratan standar secara konsisten. 66
Ali Soebroto, http://www.kemenperin.go.id/artikel/3042/Industri-elektronik-sambutwajib-SNI-hadapi-produk-impor-, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016). 67 Gandi, Op. Cit, hal. 81-82.
Universitas Sumatera Utara
c.
Transaksi lebih lancar karena pemakai atau konsumen tidak perlu menguji dulu barang-barang yang akan dibelinya. 68
C. Pelabelan Standardisasi Suatu Produk Elektronik 1.
Jenis-jenis Produk Elektronik yang Mendapatkan Pelabelan SNI Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standarisasi dan
Penilaian Kesesuaian (UUSPK) tidak menerangkan secara jelas terkait dengan jenis standardisasi, namun pada Pasal 4 UU SPK mengatakan bahwa : “Standardisasi dan penilaian kesesuaian berlaku terhadap barang, jasa, sistem, proses, atau personal.” Dalam pasal tersebut terdapat pembatasan bidang yang dapat dilakukan proses standardisasi dan penilaian kesesuaian. Dengan kata lain pasal tersebut telah merumuskan jenis standardisasi. Jenis yang dimaksud ialah : a. Standardisasi barang Standardisasi barang merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap barang yang beredar dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan,
dan
dapat
diperdagangkan,
dipakai,
digunakan,
atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 69 b. Standardisasi jasa 68
Ibid, hal. 89. Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 1 angka 12. 69
Universitas Sumatera Utara
Standardisasi jasa merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap jasa dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, jasa adalah setiap layanan dan unjuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang disediakan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 70 c. Standardisasi sistem Standardisasi sistem merupakan proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi standar terhadap jasa dalam perdagangan yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan. Dalam hal ini, sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan untuk menjalankan suatu kegiatan. 71 Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menerapkan SNI wajib untuk beberapa jenis produk elektronik. Tujuannya ialah untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk impor dengan mengeluarkan ketentuan SNI wajib bagi barang elektronik yang telah memiliki kompetensi tinggi di Indonesia. Kemenperin telah menerapkan SNI wajib untuk pompa air, setrika listrik, dan televisi tabung. Selain itu, Kemenperin juga tengah menyusun SNI wajib untuk 37 produk elektronik dan konsumsi, disamping penguatan balai besar bahan dan
70
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 1 angka 13. 71 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab I, Pasal 1 angka 14.
Universitas Sumatera Utara
barang teknik (BP4T) serta balai riset dan standardisasi (Baristan) Surabaya untuk uji lab barang elektronik. Berikut adalah daftar produk elektronik dan konsumsi tersebut: 72
Gambar 1. Produk elektronik bertanda SNI.
Sumber : http://www.slideshare.net/spiritneverdie/ramadhan-bersama-sni-1, (diakses pada tanggal 24 Mei 2016).
Dalam hal ini, ketua Gabungan Elektronik Indonesia (Gabel) mengatakan bahwa pada dasarnya pemanfaatan hasil SNI mempunyai beberapa keuntungan. 72
http://www.slideshare.net/spiritneverdie/ramadhan-bersama-sni-1, (diakses pada tanggal 24 Mei 2016).
Universitas Sumatera Utara
SNI pada produk elektronik akan mengurangi ketergantungan kepada barangbarang impor. SNI akan meningkatkan daya saing dan kualitas produk nasional sehingga bias diminati oleh masyarakat. Beliau juga berpendapat bahwa produsen siap mengikuti aturan SNI wajib untuk produk elektronik yang kini sedang dalam proses notifikasi di World Trade Organization (WTO). Produsen elektronik yang tergabung dalam Gabel akan memenuhi standar insulation yang dipersyaratkan SNI. 73 Bagi para produsen dilarang memperdagangkan produk elektronika bila tidak memiliki Surat Petunjuk Penggunaan Tanda Standardisasi Nasional Indonesia (SPPT SNI) wajib. Apabila produsen tetap memperdagangkannya, maka akan berpotensi dikenakan sanksi penjara seperti yang diatur dalam Pasal 62 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 74
2.
Kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) Di era perdagangan bebas, peranan standar sangat vital. Di samping untuk
perlindungan konsumen, standar juga sangat mujarab untuk melindungi produk lokal. Bahkan, standar dapat dijadikan senjata untuk menciptakan sentiment negatif terhadap suatu produk. 75 Pemberlakuan standardisasi barang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, keamanan negara, perkembangan ekonomi sosial dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Apabila SNI ini diterapkan oleh semua produk maka sangatlah mendukung percepatan kemajuan di negeri ini. Seperti 73
http://www.kemenperin.go.id/artikel/3545/Kemenperin-Segera-Terapkan-SNI-ProdukElektronik, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016). 74 http://citraindonesia.com/daftar-sni-wajib-elektronika-dan-telematika/, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016). 75 Khesali Renald, “Perang Standar.” SNI Valuasi Volume 5 No. 2, 2011, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
halnya di negara-negara Eropa yang produk-produknya sudah memenuhi standar nasional bahkan internasional. Adanya standardisasi nasional maka akan membuat acuan tunggal dalam mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan, yaitu SNI, sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup. Di Indonesia standardisasi barang digunakan sebagai refrensi konsumen memilih dan membeli produk tertuang dalam SNI. 76 Ketentuan mengenai standardisasi nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 berisi tentang Standardisasi Nasional yang ditetapkan oleh Presiden RI pada tanggal 10 November 2000. Ketentuan ini adalah sebagai pengganti PP No. 15/1999 tentang Standardisasi Nasional Indonesia dan Keppres No. 12/1991 tentang Pentusunan, Penerapan, dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. Di dalam Peraturan Pemerintah RI No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional pada butir a dan b menjelaskan bahwa tujuan penerapan SNI adalah : a.
Bahwa dalam rangka mendukung peningkatan produktivitas, daya guna produksi, mutu barang, jasa, proses, sistem dan/atau personel, yang dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing, perlindungan konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan masyarakat khususnya di bidang keselamatan, keamanan, kesehatan dan lingkungan hidup, maka efektifitas pengaturan di bidang standardisasi perlu lebih ditingkatkan;
76
Badan Standardisasi Naional, “Perlindungan Konsumen Melalui Standar.” SNI Valuasi Vol. 5 No. 2, 2011, hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
b.
Bahwa Indonesia telah ikut serta dalam persetujuan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) yang di dalamnya mengatur pula masalah standardisasi berlanjut dengan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional di bidang standardisasi; Mengingat bahwa penerapan standar memiliki jangkauan yang luas maka
standar perlu memenuhi kriteria berikut : 77 a.
SNI tersebut harmonis dengan standar internasional dan pengembangannya didasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk industri;
b.
SNI yang dikembangkan untuk tujuan penerapan regulasi teknis yang bersifat wajib didukung oleh infrastruktur penerapan standar yang kompeten sehingga tujuan untuk memberikan perlindungan kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan/atau, pertimbangan ekonomi dapat tercapai secara efektif dan efisien;
c.
Infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang penerapan standar tersebut memiliki kompetensi yang diakui di tingkat nasional/regional/internasional. Pengaturan mengenai penerapan dan pemberlakuan standardisasi dalam
UU SPK mencakup 2 (dua) aspek penerapan standar yaitu : a.
Penerapan SNI dilaksanakan secara sukarela dan;
b.
Penerapan SNI secara wajib. SNI dapat diterapkan secara sukarela oleh pelaku usaha, kementerian
dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah. 78
77
Purwanggono Bambang, Abduh Syamsir, Nurjanah, dkk, Pengantar Standardisasi (Jakarta : Badan Standardisasi Nasional, 2009), hal. 80. 78 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 21 ayat (1) .
Universitas Sumatera Utara
Pelaku usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau pemerintah daerah yang telah mampu menerapkan SNI dapat mengajukan sertifikasi kepada Lembaga Penilai Kesesuaian (selanjutnya disebut LPK) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). 79 Pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat berkewajiban membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada barang dan/atau kemasan atau label. Dalam hal ini pelaku usaha dilarang : 80 a.
Membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada barang dan/atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau
b.
Membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya.
3.
Praktek Pelaksanaan Standar Nasional Indonesia (SNI) di Indonesia Terkait Produk Elektronik Menyambut era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia melalui
forum internasional seperti WTO, APEC dan AFTA ASEAN motor perdagangan semakin dinamis dan cepat. Negara Indonesia merupakan bagian dari dunia yang tidak bisa terlepas dalam perdagangan global. Standardisasi barang menjadi salah satu pilar utama dalam perdagangan bebas. Persaingan antar produsen dan juga perlindungan konsumen menuntut adanya standardisasi barang. Standardisasi barang khususnya produk elektronik di Indonesia diarahkan untuk menjaga
79
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 21 ayat (2). 80 Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, Bab III, Pasal 22 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
keamanan dan keselamatan para konsumen. Barang yang beredar dalam pasar harus memenuhi SNI serta persyaratan teknis yang diberlakukan secara wajib bagi seluruh pelaku usaha. 81 Mulai tahun 2010 sampai 2014 diberlakukan kesepakatan bersama standar produk elektronik di lingkup ASEAN dalam ASEAN Harmonized Electrical and Electronic Equiptment Regulatory Regime (AHEEERR) yang berlaku mulai Januari 2011, yang menyepakati pelaksanaan harmonisasi standar, regulasi teknis dan penilaian kesesuaian, termasuk mendaftarkan lembaga penilai kesesuaian (listed conformity assessment bodies). Kesepakatan AHEEERR melingkupi seluruh peralatan listrik dan elektronik baru bukan bekas (second hand) yang dihubungkan langsung dengan sumber listrik bervoltase rendah yakni 50-1.000 volt untuk arus AC dan 75-1.500 volt untuk arus DC atau yang menggunakan baterai. 82 Pengaturan mengenai standardisasi barang ini dituangkan dalam UU Perdagangan pada Pasal 57 sampai dengan Pasal 59. Penerapan standardisasi barang khususnya produk elektronik dalam UU Perdagangan mengharuskan barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui
oleh
Pemerintah.
Sementara
itu
produk
elektronik
yang
diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk
81
Lihat Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Bab VII, Pasal 57 ayat (1). 82 http://m.okezone.com/read/2010/08/01/320/358600/2014-24-sni-produk-elektronikselesai, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016).
Universitas Sumatera Utara
penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian. Sayangnya 60% elektronik asal China yang dijual di Indonesia ternyata tak punya SNI. Barang-barang elektronik tersebut seperti rice cooker, home appliance, kotak kontak dan MCB. Produkproduk ini banyak yang tidak memiliki sertifikasi SNI. 83 Kewajiban penerapan standardisasi barang tersebut menimbulkan sanksi dimana pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian akan dikenakan sanksi administratif berupa penarikan barang dari distribusi. Dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang baru tertuang adanya sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran. Pertama, setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, mengedarkan barang, jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana paling lama lima tahun dan denda paling banyak 3 miliar rupiah. Kedua, setiap orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor, mengedarkan barang, jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknik, pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak 1 miliar rupiah. Selanjutnya, Pasal 53 ayat (1) huruf b yang dimaksud adalah setiap orang dilarang memproduksi, mengimpor, dan/atau
83
http://m.liputan6.com/bisnis/read/661993/60-elektronik-china-yang-dijual-di-indonesiatak-punya-sni, (diakses pada tanggal 11 Juni 2016).
Universitas Sumatera Utara
mengedarkan barang dan/atau jasa industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib. 84 Penerapan
serta
pemberlakuan
SNI
tersebut
dilakukan
dengan
mempertimbangkan aspek antara lain: 85 a. Keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup; b. Daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat; c. Kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau d. Kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian. Menyadari peran standardisasi yang penting dan strategis tersebut, pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan Standardisasi Nasional. Disamping itu telah dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Keppres Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional. 86
Setelah
dibentuknya
Dewan
Standardisasi
Nasional
dan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka sejak 1 84
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian, Bab VII, Pasal 53 ayat (1) huruf b. 85 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, INSTRA : Indonesia Trade Inside, (Jakarta : Kemendag, 2014) hal. 12, (diakses pada tanggal 12 Juni 2016). 86 Agung Putra, Pengendalian dan Pengawasan Mutu Produk, Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang – Kanwil Departemen Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, November 1995, hal. 1, (diakses pada tanggal 12 Juni 2016).
Universitas Sumatera Utara
Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di Indonesia, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI). Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha penningkatan mutu, yang disamping menguntungkan produsen, juga menguntungkan konsumen, tidak hanya konsumen dalam negeri tapi juga konsumen di luar negeri, karena standar yang berlaku di Indonesia telah disesuaikan dengan standar mutu internasional, yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan Standardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI 19-9000:1992. 87 Dimana ISO 9000 sendiri adalah suatu standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi dunia atau yang dikenal dengan The International Organization for Standardization (ISO) berkaitan dengan Penerapan Sistem Manajemen Mutu yang menjadi syarat minimal bagi setiap perusahaan yang ikut serta dalam perdagangan dunia. Sebagai tindak lanjut dari penerapan Standar ISO 9000 adalah pelaksanaan Sertifikasi Perusahaan berdasarkan Standar Manajemen Mutu ISO 9000 yang telah dilaksanakan. 88 Pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk elektronik yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengoreksi kegiatan atau produk elektronik yang belum memenuhi ketentuan SNI itu. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh
87 88
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 69. Endang Sri Wahyuni, Op. Cit, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
semua pihak yang terkait. Dengan demikian, penilaian kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator. Direktur Jendral Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kementrian Perdagangan Widodo pada saat itu mengatakan, ada pengusaha yang mendapat Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SPPT-SNI) yang tidak konsisten memenuhi syarat tersebut saat mengedarkan produknya. Hal itu terbukti saat pihaknya melakukan uji laboratorium produk yang telah beredar saat melakukan kegiatan penelusuran konsistensi mutu barang. Seperti lampu hemat energy merek Citylam yang diimpor PT. Golden Batam dan mesin air Lakoni dengan tipe SP-127 seri produk 4000001 sampai 4059999 yang diimpor PT. Perkakas Sumber Karya. Dari hasil uji lab terdapat hasil yang menunjukkan tidak sesuai standar SNI lagi. Sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan itu tidak lagi menjaga konsistensi mutu yang diberlakukan di Indonesia. 89 Permasalahan mengenai kebijakan pemerintah dalam penerapan SNI di Indonesia terkait produk elektronik masih terlalu longgar dan tidak banyak berpengaruh terhadap standar mutu dan kualitas barang elektronik yang beredar di pasar. Hal tersebut didasarkan atas ungkapan yang disampaikan oleh Santo Kadarusman, Public Relation & Marketing Event Manager PT. Hartono Istana Teknologi saat ditemui di pameran Polytron Home Appliances Road Show 2010Living Green, di Royal Plaza. Beliau juga mengatakan bahwa untuk bisa masuk ke negara lain, seperti Thailand, India, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UAE), 89
http://m.liputan6.com/bisnis/read/2352698/logo-sni-juga-tak-jamin-mutu-barang, (diakses pada tanggal 12 Juni 2016).
Universitas Sumatera Utara
produk kita harus melewati uji teknis dan kelayakan sampai 20-an rangkaian tes. Sedang di Indonesia paling hanya tiga atau empat tes saja. 90 Tes pengujian keamanan produk listrik dan elektronika dilakukan mengacu kepada SNI, yyang meliputi parameter uji: a. Perlindungan sengatan listrik; b. Perlindungan bahaya mekanis dan api; c. Perlindungan daya dan arus listrik; d. Pengujian kenaikan suhu dan pengujian tidak normal. Proses pengujian ini dilakukan di laboratorium pengujian produk listrik dan
elektronika
bernama
SUCOFINDO
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Perdagangan RI No. 48/M-DAG/PER/12/2011 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru. 91 Apabila hal yang sama seperti negara lain juga diterapkan oleh pemerintah terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia dengan sistem yang lebih ketat, persaingan pasar dalam negeri bakal semakin fair dan konsumen sebagai end user pasti diuntungkan karena kualitas produk terjamin.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Pembelian Produk Elektronik Berlabel SNI Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 1.
Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Jual-Beli Produk Elektronik
90
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/158598-kebijakan-label-sni-tak-bertaring, (diakses pada tanggal 17 Juni 2016). 91 http://www.sucofindo.co.id/produk-testing/203/pengujian-keamanan-produk-listrikdan-elektronika.html, (diakses pada tanggal 16 Agustus 2016)
Universitas Sumatera Utara
Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan, hal inilah yang dirumuskan dalam Pasal 1457 KUH Perdata. 92 Dalam perjanjian jual beli produk elektronik yang berlangsung di Indonesia maka para pihak yang terlibat di dalamnya akan mendapatkan perlindungan hukum. Jadi dalam hal ini yang mendapatkan perlindungan hukum adalah pihak penjual (produsen) dan pihak pembeli.
a.
Perlindungan hukum terhadap pihak penjual (produsen) Penjual mendapat perlindungan hukum dalam hal memasarkan produknya
melalui jaminan produk/garansi, karena jika barang yang dijual tersebut ternyata rusak karena kesalahan pabrikan maka pihak produsen akan menanggung sepenuhnya kerugian yang timbul. Selain itu, bentuk perlindungan hukum terhadap penjual diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata yang merumuskan bahwa pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan peraturan-peraturan saat terjadinya juak beli. Apabila terjadi wanprestasi dari pembeli tentang pembayaran angsuran maka pihak penjual berhak untuk menarik barang tersebut dari tangan pembeli dengan ketentuan yang telah disepakati seperti yang diatur pada Pasal 1236-1243 KUHPerdata pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam kontrak. Hal tersebut dilindungi oleh pemerintah dengan melibatkan aparat negara, jika pihak pembeli tidak bersedia menyerahkan barang tersebut kepada pihak penjual. 92
Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Jual Beli, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
b.
Perlindungan hukum terhadap pihak pembeli (konsumen) Dalam rangka pemenuhan kepuasan konsumen atas barang yang dibelinya
maka produsen memberikan perlindungan kepada pembeli berupa garansi terhadap kualitas tiap-tiap produk elektronik dengan cara memperliatkan tanda sertifikasi SNI pada produk tersebut. Dengan adanya jaminan/garansi tersebut maka para konsumen mempunyai hak untuk mengajukan claim atas kerusakan, cacat dan kekurangan sebagai akibat dari kesalahan pabrik. Sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian jual beli pada Pasal 1457 KUHPerdata, bahwa produsen harus menjamin kenikmatan konsumen dalam menikmati barangnya dan mengganti kerugian bila konsumen dirugikan dalam menikmati barang yang dibelinya. Begitu juga dalam Pasal 1480 KUHPerdata menjeaskan bahwa pembeli berhak menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan barang tidak dapat dilaksanakan karena akibat kelalaian penjual, begitu juga apabila barang yang telah dibeli oleh pembeli diambil oleh orang lain karena suatu hal, maka berdasaran Pasal 1456 KUHPerdata pembeli dapat menuntut pengembalian uang harga pembelian serta pembeli dapat menuntut hasil yang diperoleh pembeli dari barang tersebut kepada penjual. Pertanggungjawaban produsen terhadap barang yang dijualnya adalah wajar sebab konsumen telah membayar harga dari barang yang akan dinikmatinya. Dalam hal ini bukanlah semata-mata untuk menyudutkan pihak produsen tetapi karena konsumen telah membayar sejumlah harga, tentu produsen juga harus menjamin barang sesuai dengan yang dimaksud guna memenuhi hak konsumen. Seperti pada Pasal 18 UUPK mengenai larangan pencantuman klausula baku oleh produsen yang
Universitas Sumatera Utara
menjamin ketentraman dan kenikmataan saat menggunakan /mengonsumsi produk yang dibeli. Sesuai asas keseimbangan dalam hukum perlindungan konsumen, seharusnya kepentingan semua pihak harus dilindungi termasuk kepentingan pemerintah dalam pembangunan nasional dan harus mendapat porsi yang seimbang. 93
2.
Hak Mendapatkan Keamanan Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk. 94 Penanggungan mengenai keamanan dan ketentraman oleh produsen kepada konsumen sebagai wujud pemenuhan atas hak konsumen sebagai bentuk perlindungan konsumen. Ketentuan Pasal 1497 KUH
Perdata
menentukan
bahwa
produsen
tetap
berkewajiban
untuk
mengembalikan seluruh uang harga pembelian kepada konsumen. Tetapi jika konsumen
telah
memperoleh
manfaat
dari
kebendaaan
tersebut,
yang
menyebabkan kerugian pada kebendaan yang dibeli dan telah diterima olehnya tersebut, maka penjual berhak untuk mengurangi harga pembelian kebendaaan tersebut dengan nilai manfaat atau keuntungan yang telah diperoleh pembeli. 95 Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari 93
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 110. Ibid, hal. 41. 95 Gunawan Widjaja & Kartini Muljadi, Op. Cit, hal.172. 94
Universitas Sumatera Utara
segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk (dalam hal ini produk elektronik). Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/ jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk (elektronik) berlabel SNI yang digunakannya dirasa aman saat penggunaannya. Artinya produk elektronik tersebut memenuhi standar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan tidak membahayakan bagi jiwa manusia. 96 Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi bahannya, dari segi desain dan konstruksi, maupun dari segi kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 97
3.
Hak Atas Jaminan Ganti Kerugian Konsumen yang telah menentukan/menetapkan pilihannya atas suatu
produk berdasarkan informasi yang tersedia berhak untuk mendapatkan produk tersebut sesuai dengan kondisi serta jaminan yang tertera di dalam informasi. Sesuai dengan Pasal 4 huruf (h) Undang-Undang No, 8 Tahun 1999, hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti kerugian, dan apabila setelah mengonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan perjanjian dan informasi yang diterimanya, produsen seharusnya mendengar keluhan itu dan memberikan penyelesaian yang baik. Hal ini berkaitan dengan hak konsumen sesuai dengan Pasal 4 huruf (d) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni hak 96
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visi Media, 2008), hal.
97
Janus Sidabalok, Op. Cit, hal. 40.
24.
Universitas Sumatera Utara
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Perlu ketulusan hati dari produsen untuk mengakui kelemahannya dan senantiasa meningkatkan pelayanannya kepada konsumen. Termasuk dalam hal ini adalah hak konsumen untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya setelah mengonsumsi produk tersebut atau jika produk tidak sesuai dengan perjanjian, atau jika produk tidak sebagaimana mestinya. 98 Pada Pasal 1365 tercantum bahwa setiap perbuatan melanggar hukum , yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu. Dari hal ini dapat dilihat bahwa adanya jaminan kepastian hukum mengenai ganti rugi yang wajib ditaati apabila seseorang merasa dirugikan. Mengingat bahwa produsen berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining power, bargaining position) dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Perlindungan itu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik. Hakhak itu perlu ditegaskan dalam suatu perundang-undangan sehingga semua pihak, baik konsumen itu sendiri, produsen, maupun pemerintah mempunyai persepsi yang sama dalam mewujudkannya. Hal ini berkaitan dengan upaya hukum dalam mempertahankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan prosedur yang diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Di dalam pedoman perlindungan
98
Ibid, hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
bagi konsumen yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985 pada bagian II, Nomor 3 angka 4 tentang prinsip umum yang menjamin hak atas ganti kerugian. 99 Menurut Janus Sidabalok, bagian inilah yang paling penting, yaitu bahwa bagaimana seorang konsumen yang dilanggar haknya atau menderita kerugian dapat memperoleh haknya kembali. Ini merupakan inti dari penyebutan dan penegasan tentang adanya hak-hak konsumen. Menetapkan hak-hak konsumen dalam suatu perundang-undangan tanpa dapat dipertahankan atau dituntut secara hukum pemenuhannya, tidaklah cukup karena hanya berfungsi sebagai hurufhuruf mati saja dan tidak bermanfaat bagi konsumen. 100
4.
Hak Menuntut Produsen Dalam Hal Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan
yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya wanprestasi) yang diatur pada Pasal 1236-1243 KUHPerdata, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tidak perlu didahului dengan perjanjian antara konsumen dengan produsen seperti yang telah dibahas sebelumnya, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan perjanjian antara konsumen dengan produsen. Dengan demikian pihak ketiga juga dapat menuntut ganti kerugian. 101
99
Ibid, hal. 38-39. Ibid, hal. 42. 101 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 129. 100
Universitas Sumatera Utara
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian, harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut: e. Ada perbuatan melangggar hukum; f. Ada kerugian; g. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dan kerugian; dan h. Ada kesalahan Adapun bentuk dari ganti rugi pada asasnya yang lazim dipergunakan adalah uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang paling praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan suatu sengketa. Dalam menentukan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti rugi yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula. 102 Berdasarkan Pasal 23 UUPK bahwa adanya pengaturan tempat pengajuan gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen”, baik melalui BPSK maupun Badan Peradilan, dimana akan sangat memudahkan konsumen dalam menuntut haknya. Hal ini bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 118 HIR yang mengatur secara umum pengajuan gugatan perdata dilakukan ditempat tinggal tergugat, ini berarti di tempat pelaku usaha berdomisili. Pengaturan seperti ini akan banyak membawa kesulitan bagi konsumen yang akan menuntut haknya.
102
Ibid, hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
Dengan ditentukannya tempat pengajuan gugatan ganti kerugian “di tempat kedudukan konsumen”, maka sangat memberikan kemudahan bagi konsumen.103 Hal ini membuat konsumen tidak ragu lagi dalam memperoleh perlindungan hukum atas pembelian produk elektronik yang berlabel SNI yang bermasalah atau menggunakan produk tersebut tetapi tidak sesuai dengan SNI sehingga membuat para konsumen dirugikan. Selanjutnya dalam Pasal 28 UUPK menentukan bahwa beban pembuktian unsur “kesalahan” dalam gugatan ganti kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. 104 Artinya pelaku usaha harus membuktikan bahwa kerugian bukan merupakan kesalahannya sehingga terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian. Setelah lahirnya UUPK, pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan produsen tersebut dibebankan kepada produsen. Ini berarti bahwa prinsip tanggung gugat berdasarkan kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian.105 Berdasarkan prinsip tersebutlah konsumen hanya dibebani adanya kerugian yang dialaminya sebagai akibat memakai produk elektronik berlabel SNI yang diperoleh/berasal dari produsen, sedangkan pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan produsen yang mengakibatkan timbulnya kerugian konsumen dibebankan kepada produsen, sehingga dapat dikatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh produsen.
103
Ibid, hal. 155. Lihat Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 28. 105 Lihat Republik Indonesia, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab VI, Pasal 22. 104
Universitas Sumatera Utara
Perlu diketahui ada perbedaan antara ganti kerugian berdasarkan UUPK dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yakni jika dilihat dari sudut UUPK bahwa hak atas ganti kerugian bertujuan untuk memulihkan keadaan yang tidak seimbang akibat adanya penggunaan barang dan/atau jasa yang tidak memenuh harapan konsumen. Dari hal ini dapat dilihat yang melakukan perbuatan melawan hukum ialah pihak produsen/ pelaku usaha. Sedangkan pada Pasal 1365 KUHPerdata tuntutan ganti kerugian ditujukan bagi setiap orang yang melanggar hukum merugikan orang lain wajib mengganti kerugian itu. Dari hal ini dilihat bahwa bukan hanya pihak produsen yang dapat melakukan kesalahan bahkan konsumen juga dapat dituntut ganti kerugian apabila melanggar hukum dalam perjanjian jual beli.
Universitas Sumatera Utara