BAB II PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES , HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. PENGUPAHAN DAN KETENTUAN UPAH PROSES
Pengertian Pengupahan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Manusia adalah mahkluk sosial, diamana manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan makhluk lain tentunya untuk memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani. Namun tidak selamanya interaksi yang terjadi dapat berjalan sebagaimana yang di harapkan. Sering kali terdapat perbedaan pendapat atau berselisih paham. Hal ini tentu sangat tidak sesuai dan menghambat tercapainya tujuan dari interaksi soasial itu sendiri. Dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, terlebih di era modern seperti sekarang ini interaksi menjadi hal yang tak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia. Tentu guna mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia harus bekerja untuk mendapatkan upah. Hal ini adalah interaksi yang dialami hampir semua umat manusia. Upah jika kita bisa lihat bersama terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu gaji, tunjangan dalam bentuk natura (seperti beras,gula,dan pakaian), fringe benefits (dalam bentuk
dana yang disisihkan pengusaha untuk pensiun, asuransi kesehatan, kendaraan, dan kondisi lingkungan kerja. Sistem penggajian di Indonesia pada umumnya mempergunakan gaji pokok yang didasarkan pada kepangkatan dan masa kerja. 1 Di dalam upah sendiri juga ada kebijakan pengupahan yang mengatur guna melindungi pekerja/buruh yang apabila hak dan kewajibannya sebagai pekerja/buruh tidak dipenuhi. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan meliputi: 1. Upah minimum; 2. Upah kerja Lembur; 3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan; 4. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; 5. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; 6. Bentuk dan cara pembayaran upah; 7. Denda dan potongan upah; 8. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah 9. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional; 10. Upah untuk membayar pesangon; dan 11. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.2 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa prinsip kebijkan pengupahan harus sesuai dengan kebutuhan hidup yang layak yang diperoleh sehingga pekerja/buruh memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Maksud dari penghidupan yang layak, di mana jumlah pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya mampu untuk 1
R Joni Bambang,Hukum Ketenagakerjaan. Bandung. Penerbit Pustaka setia Bandung. 2013. Hal 15 2 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Bab X-Bagian Kedua Pengupahan Pasal 88
memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.3 Pekerja/buruh selain berbicara tentang pengertian umum dan upah yang harus diberikan, penulis juga melihat bahwa pekerja/buruh harus ada pengertian-pengertian tentang Hubungan Kerja. Salah satu bidang di antara banyak bidang Hukum Ketenagakerjaan
yang sangat
penting jika
dikaitkan dengan perlindungan
pekerja/buruh.
B. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Setelah mengetahui pengertian hubungan kerja dan perjanjian kerja sebagaimana diterangkan di atas, maka hal pokok lain yang wajib diketahui agar sebuah perjanjian yang dibuat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pihak yang melakukan perjanjian, adalah syarat sahnya sebuah perjanjian. Apabila syarat perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat menjadi batal atau bahkan batal demi hukum. Aturan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian kerja diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar, yakni : a. Kesepakatan kedua belah pihak Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan. Apa yang 3
Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan indonesia. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti.2014. Hal 122
dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Dengan kata lain tidak adanya unsur terjadinya penipuan (dwang), paksaan (dwaling), dan kekhilafan (bedrog) dalam kesepakatan kedua belah pihak. b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberi batasan umur minimal 18 Tahun bagi seseorang dianggap cakap membuat perjanjian kerja, sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (26) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi pengecualian bagi anak yang berumur 13 Tahun sampai dengan umur 15 Tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menggangu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. Selain itu juga seseorang dikatakan akan cakap membuat suatu perjanjian kerja jika seseorang tersebut tidak dibawah pengampuanyaitu tidak terganggu jiwanya/sehat. c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, artinya bahwa adanya hal tertentu yang diperjanjikan. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajibanpara pihak.
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya obyek perjanjian (pekerjaan) harus halal yang artinya bahwa tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat kerja tersebut bersifat kumulatif yang artinya bahwa harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian lebih bersifat syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Syarat sahnya adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya bahwa dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi merupakan syarat subyektif, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, atau orang tua/wali atau pengampu bagi yang tidak cakap membuat perjanjiandapat meminta pembatalan perjanjian kepada hakim. Dengan demikian,perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkanoleh hakim.4
4
Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi ke-12, PT.
Rajagrafindo Persada, Depok, hlm 64.
Unsur
perintah
pada
perjanjian
bisa
ditemukan
pada
kewajiban
dalam
perjanjian.Namun tidak semua kewajiban mempunyai unsur perintah. Hal prinsip inilah yang membedakan antara hubungan kerja dan hubungan tentang kerja. Berdasarkan perbedaan ciri di atas dapat ditarik beberapa unsur-unsurdari hubungan kerja kerja.5 a. Adanya unsur Pekerjaan (work) Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hak ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1630a yang berbunyi: “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaanya;hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya.” Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan/keahliannya. Maka menurut hukum jiika pekerja meninggal dunia, perjanjian kerja batal demi hukum. b. Adanya unsur Perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan pekerja oleh perusahaan adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien dan pengacara dengan klienya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada perintah dan pasien.
5
Lalu Husni, Op.Cit, hlm 56.
c. Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja. Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seseorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja.
C. Upah Proses 1. Pengertian tentang Upah Proses Sesuai Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihubungkan Pasal 56 Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, upah proses seharusnya dibayar sampai putusan Pengadilan Hubungan Industrial berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijde). sebagaimana yang telah dikatakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pasalnya 155 ayat 2 mengatakan bahwa selama belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka baik pekerja maupun pengusaha sama-sama melakukan kewajibannya. Upah proses bisa batal demi hukum apabila memang baik pekerja dan pengusaha dalam keadaan sama-sama tidak ada tekanan memang tidak melakukan kewajibannya lagi maka upah proses itu pun tidak bisa ditetapkan. Dalam praktik peradilan, hakim PHI tidak memiliki sikap yang sama mengadili batas upah proses. Sikap pertama, memutus upah proses paling lama enam bulan. Argumennya merujuk pada Pasal 191 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kelompok ini menjelaskan, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tidak pernah mencabut Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000. Sikap kedua menegaskan, ketentuan upah proses di dalam Kepmenaker No 150 Tahun 2000 tidak lagi berlaku. Alasannya,
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 memiliki kedudukan lebih tinggi dari Kepmenaker. Selain itu, Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 telah mengatur upah proses Pemutusan Hubungan Kerja tanpa batas waktu. Dalam kaitan upah proses, praktik peradilan memperlihatkan tiga macam putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Pertama, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses selama enam bulan. Kedua, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses lebih dari enam bulan. Ketiga, putusan hakim menghukum pengusaha membayar upah proses sampai perkara berkekuatan hukum tetap. Putusan menghukum enam bulan upah proses berkiblat pada Kepmenaker No 150 Tahun 2000. Putusan hakim menghukum lebih dari enam bulan tetapi tidak sampai berkekuatan hukum tetap merupakan putusan yang berkiblat pada rasa keadilan hakim. Dan, yang memutus upah proses sampai berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), murni berkiblat pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Tiga macam putusan di atas sekaligus sebagai petunjuk bahwa di dalam PHI terdapat tiga aliran hakim mengenai upah proses.6 Dalam praktik, waktu yang dibutuhkan menyelesaikan perselisihan PHK tidak sama. PHI tingkat pertama relatif mampu menyelesaikan pemeriksaan perkara dalam waktu 50 hari kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU No 2 Tahun 2004. Pencari keadilan mulai mengeluhkan masalah waktu khususnya di tingkat kasasi. Penyebab utama adalah UU No 2 Tahun 2004 tidak secara baku mengatur tahapan waktu berkaitan dengan proses kasasi dan pengiriman putusan kasasi sampai ke PHI tingkat pertama.
6
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ef3dcaacf2c6/putusan-mk-dan-ragam-tafsir-tenta ng-upah-proses-phk-broleh--juanda-pangaribuan-
Pengusaha tidak semua menyelesaikan kasus PHK menurut hukum. Pengusaha ada yang melakukan PHK tetapi tidak menyelesaikan PHK pada lembaga yang berwenang sesuai Pasal 151 ayat (3) UU No 13 Tahun 2003. Di seluruh PHI, buruh lebih banyak mengambil inisiatif mengajukan gugatan PHK. Waktu mengajukan gugatan oleh buruh dilakukan dalam waktu beragam. Dalam praktik, buruh yang mengalami PHK tidak serta merta mengajukan gugatan. Gugatan diajukan beberapa bulan setelah PHK terjadi. Karena itu, bila pengusaha mendiamkan kasus PHK sama artinya pengusaha berinvestasi dengan masalah. Jika gugatan PHK diajukan pada bulan ke sepuluh dan PHI memutus pada bulan ke tiga belas maka, bila PHI memutus upah proses selama 13 bulan, keadaan itu timbul karena kelalaian pengusaha.
2. Ketentuan-Ketentuan tentang Upah Proses a. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (2) dan Ayat (3) berbunyi : 2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
belum
ditetapkan,
baik
pengusaha
maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. 3. Pengusaha dapat
melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 155 Ayat (3), Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha
hanya
dapat
memutuskan
hubungan
kerja
dengan
pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. b. Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, Nomor Kep-150/Men/2000 pasalnya yang ke 17 berbunyi : 1. Sebelum ijin pemutusan hubungan kerja diberikan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat sedangkan pengusaha tidak melakukan skorsing terhadap pekerja maka pengusaha dan pekerja harus tetap memenuhi segala kewajibannya; 2. Dalam hal pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) karena dilarang oleh pengusah dan pengusaha tidak melakukan skorsing, maka pengusaha wajib membayar
upah
pekerja
selama
dalam
proses
sebesar
100%(seratus perseratus); 3. Dalam hal pekerja tidak memenuhi segala kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atas kemauan pekerja
sendiri, maka pengusaha tidak wajib memberikan upah pekerja selama dalam proses; 4. Dalam hal pegusaha dan pekerja tidak dapat memenuhi segala kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan karena pekerja dilarang bekerja oleh pengusaha atau bukan atas kemauan pekerja sendiri, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja selama dalam proses sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus). c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 antara Pemohon drg. Ugan Gandar, Ir. Eko Wahyu, dan Ir. Rommel Antonius Ginting, hakim menyatakan di Amar Putusan : 1. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Undonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap; 2. Frasa belum ditetapkan dalam pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian selama putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan hukum tetap, pekerja/buruh dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya, atau pengusaha juga bisa melakukan skorsing kepada pekerja/buruh.
B. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk, yang akan diuraikan sebagai berikut :
1. Para Pihak dalam Kasus Kasus yang terjadi adalah antara penggugat Abdul Jalil, pekerjaan : Karyawan Hotel Ogh Doni Jogja sebagai Staf Engineering yang beralamat di jalan tribata No. 1A, Yogyakarta, 55222. Alamat tempat tinggal Abdul Jalil : Karang Elak, RT/RW 009/004, Desa Pereng, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yang masing-masing bernama : Mahendra Handoko, S.H.I., Advocate & Legal Consultant pada Law Firm Mahendra&Partner yang beralamat di kompleks perkantoran Theater Msataram Blok B-3, Jalan Dr. Sutomo No.57- Daerah Istimewa Yogyakarta, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 28 November 2012 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Yogyakarta pada tanggal 10 Januari 2013 di bawah register No: W.13-U1/1/SK/PHI/2013, untuk selanjutnya disebut sebagai Penggugat. Sedangkan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa), beralamat di jalan Tribata No. 1A Yogyakarta, 55222, dalam hal ini diwakili oleh : Afiq Anysyori CH, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 18 Februari 2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2013 di bawah register Nomor : W13-U1/8/SK/PHI/2013 untuk selanjutnya sebagai tergugat. 2. Kasus Posisi Bahwa Penggugat/Pemohon adalah karyawan hotel Tergugat/Termohon yang ditugaskan pada bagian staf Engineering, mulai bekerja menjadi karyawan hotel pada bulan Januari 1998, Penggugat/Pemohon telah bekerja di hotel selama 14 Tahun, selama 14 Tahun bekerja Penggugat/Pemohon hanya mendapatkan upah sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah) setiap bulannya, yang mana besaran upah tersebut tidak sesuai dengan nilai Upah Minimum Propinsi D.I. Yogyakarta dan bertentangan dengan isi Surat Keputusan Gurbernur D.I. Yogyakarta Nomor 298/KEP/2011 tentang Upah Minimum Propinsi yakni sebesar Rp. 892.660 (Delapan Ratus Sembilan Puluh Dua Ribu Enam Ratus Enam Puluh Rupiah). Tergugat/Termohon melaksanakan jam kerja 3 shift : a. Pukul 07.00 WIB s/d 15.00 WIB; b. Pukul 15.00 WIB s/d 23.00 WIB; c. Pukul 23.00 WIB s/d 07.00 WIB dan Penggugat/Pemohon bekerja di hotel Tergugat/ Termohon selama 8 jam sehari serta Penggugat/Pemohon kerap kali bekerja atau mendapatkan giliran kerja over time/lembur pada saat hari libur (tanggal merah) dan hari libur nasional, kemudian selama Penggugat/Pemohon kerja over time/lembur, Tergugat/
Termohon tidak pernah memberikan upah atas kerja over time/lembur tersebut dan Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan upah lembur atas waktu kerja lembur yang telah dijalaninya selama 14 tahun dan Penggugat/ Pemohon hanya mendapatkan gaji sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah). Seharusnya upah lembur wajib diberikan oleh Tergugat/ Termohon kepada karyawannya sebagaimana sesuai dengan pasal 77 dan 78 UU No. 13 Tahun 2003 jo. Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004,
selama
Penggugat/Pemohon
Tergugat/Termohon,
Penggugat/Pemohon
tidak
menjadi dimasukkan
karyawan dan
atau
diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sehingga kemudian Penggugat/Pemohon tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja yang telah diberikan dan atau pemerintah telah memberikan jaminan hak-hak pekerja yakni berupa : Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sebagaimana kemudian diatur dalam UU No. 3 Tahun 1992 dan PP No. 14 Tahun 1993. Selama Penggugat/Pemohon menjadi karyawan Tergugat/Termohon, Tergugat/Termohon tidak pernah memberikan uang Tunjangan Hari Raya (THR) yang sesuai dengan ketentuan Permenakertrans No. 4 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya kepada Penggugat/Pemohon. Bahwa awal mula terjadinya permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial adalah pada saat Penggugat/Pemohon mendapatkan Surat Peringatan dari pihak Tergugat/Termohon
tertanggal
11
Oktober
2011
dengan
alasan
Penggugat/Pemohon datang terlambat, pulang awal tanpa ada pemberitahuan kepada atasan/security, lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan pada saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga untuk menyalakan genzet, atas kejadian tersebut pada tanggal 31 Januari 2012 Pihak
Tergugat/Termohon melakukan pemanggilan kepada Penggugat/Pemohon dan sekaligus memberikan surat yang beriisi “Penggugat/Pemohon diminta untuk mengundurkan diri dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang engineering” dan di dalam surat tersebut sekaligus menerangkan perihal hak-hak dari pengunduran diri dan Penggugat/Pemohon diminta agar berkoordinasi dengan pihak personalia dan Security koordinator. setelah hal tersebut dikordinasikan dengan pihak personalia, alhasil didapati nilai yang ditawarkan pihak Tergugat/Termohon adalah sebesar Rp. 1.000.000 (Satu Juta Rupiah) atau 2 (dua) kali gaji dan kemudian tawaran uang tersebut ditolak oleh Penggugat/Pemohon dengan alasan dan pertimbangan lamanya waktu Penggugat/Pemohon bekerja, kemudian Penggugat/Pemohon mengupayakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan Tergugat/Termohon, namun tidak ada titik temu, dan akhirnya Penggugat/Pemohon mencatatkan permasalahan Perselisihan Hubungan Industrial tersebut ke Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta sekitar awal bulan April tahun 2012. Menindaklanjuti pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta telah melakukan klarifikasi dengan memanggil Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon ke kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan kemudian beberapa kali diadakan pertemuan/pemanggilan untuk mediasi/sidang, PERTAMA pada tanggal 09 Mei 2012, KEDUA tanggal 11 Juni 2012, KETIGA tanggal 15 Juni 2012, KEEMPAT tanggal 28 Juni 2012), KELIMA 10 Juli 2012, KEENAM 11 Juli 2012, dan dibuat Perjanjian Bersama pada hari Kamis 19 Juli 2012 bertempat di ruang Pertemuan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, namun pertemuan atau mediasi yang telah diupayakan tetap tidak membuahkan hasil, atas permasalahan tersebut, Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Yogyakarta telah mengeluarkan Surat Anjuran Nomor : 565/7321 tertanggal 07 November 2012 dan ditandatangani oleh Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta dan Mediator yang ditujukan kepada Tergugat/Termohon dan Penggugat/Pemohon yang berisi anjuran agar Pihak Tergugat/Termohon membayarkan hak-hak Penggugat/Pemohon sebesar Rp. 33.215.143,15 (Tiga Puluh Tiga Juta Dua Ratus Lima Belas Ribu Seratus Empat Puluh Tiga Rupiah Lima Belas Sen) dan Tergugat/Termohon hanya menawarkan uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah), kemudian
diadakan
beberapa
kali
pertemuan/mediasi/sidang,
Pertemuan
PERTAMA tanggal 27 Juni 2012, KEDUA tanggal 04 Juli, KETIGA tanggal 19 Juli dan KEEMPAT tanggal 25 Juli 2012, Penggugat/Pemohon tetap pada sikapnya yakni meminta hak-hak pekerja sesuai dengan Peraturan Perundang-udangan. Sementara sikap Tergugat/Termohon-pun tetap yakni hanya memberi uang kompensasi sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) kepada Penggugat/Pemohon yang mana hal tersebut sesuai dengan Surat Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tertanggal 30 November 2012 terlampir yang ditandatangani oleh Mediator Hubungan Industrial Bpk. R. Irwantono, SH. Upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari Tergugat/Termohon. Berdasarkan pasal 155 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011, Penggugat/Pemohon mohon kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta untuk berkenan memberikan putusan sela berupa perintah kepada Tergugat/Termohon untuk membayar Upah Proses yang belum dibayarkan dan hak–hak lainnya yang biasa diterima Penggugat/Pemohon sebagai pekerja, selama proses penyelesaian terhitung dari Bulan
Januari- Desember 2012, secara tunai dan sekaligus, yaitu sebesar : 12 Bulan x Upah Minimum Propinsi : 12 x Rp. 892.660 = Rp. 10.711.920 Uang Tunjangan Hari Raya tahun 2012
= Rp. 892.660
= Rp. 11.604.580 (Sebelas Juta Enam Ratus Empat Ribu Lima Ratus Delapan Puluh Rupiah). oleh karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil menggugat pengusaha Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan upah proses di posita gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan. Atas gugatan tersebut Tergugat telah mengajukan jawabannya tertanggal 26 Februari 2013, sebagai berikut:
EKSEPSI Gugatan Penggugat/Pemohon Prematur Bahwa gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada pasal 156 Ayat (2) dan Pasal 164 Ayat (3) Undang-Undang No:13 tahun 2003 untuk menuntut pesangon maupun uang penghargaan sebagai pekerja/buruh yang telah di PHK adalah keliru/salah, karena pada pokoknya dalam pasal telah jelas dinyatakan bahwa: “uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja/buruh diberikan oleh pengusaha apabila telah terjadi pemutusan hubungan kerja”.
Bahwa pada saat ini Penggugat/Pemohon masih berstatus sebagai pekerja/buruh di Hotel OGH DONI JOGJA (Yogya Plassa), sehingga dengan demikian dirinya belum berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja maupun uang penggantian hak lainnya, maka dengan demikian gugatan Penggugat/Pemohon haruslah dinyatakan premature. Gugatan Penggugat/Pemohon Kabur (Obscuur Libel) Bahwa gugatan penggugat/Pemohon sangat tidak jelas dan kabur, karena perihal gugatan yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon adalah: Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial, namun di dalam petitum Penggugat/Pemohon mengajukan permohonan Pemutusan Hubungan Kerja beserta hak-haknya. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelaskah bahwa gugatan Penggugat/Pemohon PREMATUR dan kabur (obscuur libel), sehingga oleh karenanya haruslah ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. JAWABAN (Pokok Perkara): 1.
Bahwa
Tergugat/Termohon
Penggugat/pemohon
untuk
menolak
seluruhnya,
seluruh
terkecuali
yang
dalil-dalil nyata-nyata
gugatan diakui
kebenarannya oleh Tergugat/Termohon. 2. Bahwa tidak benar apabila Penggugat/Pemohon mendalilkan bahwa dirinya selama 14 (empat belas) tahun hanya mendapatkan upah sebesar Rp500.000,- (lima ratus ribu rupiah). 3 Bahwa Tergugat/Termohon telah memberikan upah kepada Penggugat/Pemohon sesuai dengan Upah Minimum Propinsi dan juga Tunjangan Hari Raya (THR) sebagaimana mestinya.
4 Bahwa walaupun Tergugat/Termohon tidak mengikutsertakan program Jamsostek para pekerja/buruh, namun Tergugat/Termohon telah menjamin kesehatan dan keselamatan para pekerja/buruh, hal ini telah dibuktikan oleh Tergugat/Termohon dengan memberikan bantuan atau santunan yang sangat layak kepada para pekerja/buruh ketika ada pekerja/buruh yang mengalami halhal sebagaimana tercantum dalam Jamsostek. 5 Bahwa Penggugat/Pemohon bukanlah pekerja yang baik karena sering melakukan kesalahan yang sama dan seakan-akan memang disengaja agar kemudian dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan maksud agar mendapatkan pesangon dan hak-hak lainnya sebagaimana layaknya pekerja yang telah di PHK oleh suatu perusahaan. 6. Bahwa kesalahan besaryang diulang-ulang oleh Penggugat/Pemohon antara lain: • Sering mangkir/tidak masuk kerja tanpa alasan maupun pemberitahuan terlebih dahulu. • Membiarkan enginering kosong pada saat listrik padam/mati padahal sedang ada event (kegiatan tamu hotel). • Bekerja seenaknya (tidak melakukan perintah atasannnya) sehingga membuat rekan-rekan pekerja lainnnya menghindari jangan sampai bekerja satu shift dengan Penggugat/Pemohon. 7. Bahwa dengan kesalahan tersebut di atas maka sangat wajarapabila kemudian Tergugat/Termohon memberikan surat peringatan I dan kemudian dilanjutkan dengan Surat Peringatan II pada tanggal 11 Oktober 2011.
8. Bahwa walaupun Penggugat/Pemohon telah melakukan kesalahan-kesalahan besar (fatal), namun tergugat/Termohon tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tetap akan memperkerjakan Penggugat/Pemohon dengan cara memberikan suatu pekerjaan lain yang layak. 9. Bahwa namun demikianpada kenyataannya, semenjak disampaikan Surat Peringatan II (11 Oktober 2011), Penggugat/Pemohon malah tidak pernah lagi masuk kerja (mangkir) sehingga hal ini membuat kacaunya bagian enginering dan tentu saja hal ini sangat merugikan perusahaan (hotel), dan kemudian mengajukan gugatan. 10. Bahwa oleh karena Penggugat/Pemohon telah mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan buktibukti yang sah, maka hal tersebut dikualifikasikan mengundurkan diri (sesuai Pasal 168 Ayat (1), maka oleh karenanya gugatan Penggugat/Pemohon yang mendasarkan pada Pasal 156 Ayat (2) jo. Pasal 164 Ayat (3) haruslah ditolak.
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk.
Menimbang, bahwa Gugatan Penggugat telah pula dilampiri Risalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang diterbitkan serta ditandatangani Mediator Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kota Yogyakarta tertanggal 30 Nopember 2012, dengan demikian Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta berwenang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan atas perkara ini bahwa atas Gugatan Penggugat tersebut, Tergugat telah menyampaikan
bantahannya melalui Eksepsi, Jawaban Pokok Perkara, sekaligus mengajukan Gugatan Rekonvensi, mengingat ketentuan Pasal 163 HIR yang menyatakan : “Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Dengan demikian baik Penggugat maupun Tergugat dibebani beban pembuktian yang seimbang, yang harus dibuktikan kebenarannya, hanyalah apa yang disankal saja oleh yang digugat baik dalam Konvensi maupun rekonvensi. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim. Sebelum perkara ini masuk ke dalam pengadilan antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja, telah diadakan mediasi untuk kedua belah pihak namun oleh karena mediasi tidak menghasilkan kesepakatan selanjutnya Abdul jalil menggugat pengusaha Hotel Ogh Doni Jogja di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jogjakarta. Pada surat gugatan Abdul Jalil, diuraikan permintaan upah proses di posita gugatan, namun tidak dirumuskan pada petitum gugatan.
Selanjutnya,
dalam
Putusan
Nomor
01/G/2013/PHI.YK,
hakim
mempertimbangkan permintaan upah proses pada bagian pertimbangan hukumnya yang isinya tidak mengabulkan permintaan upah proses oleh Abdul Jalil.
C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Putusan Nomor 01/G/2013/PHI.Yk yang menyatakan hubungan hukum antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja (Yogya Plassa) Dikualifasikan Sebagai Hubungan Kerja
Das sollen Upah Proses terdapat didalam Pasal 155 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang berbunyi Ayat (2) “Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya”, dan Ayat (3) “Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh”. Kemudian
terdapat
juga
didalam
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
37/PUU-IX/2011 Amar putusannya yang ke 2 berbunyi, Frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembara Negara Republik Indonesia Nomor 4279) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap, atau apabila diperjelas kalimatnya menjadi “Selama Putusan Pemutusan Hubungan Kerja belum berkekuatan hukum tetap pekerja dan pengusaha wajib melaksanakan segala kewajibannya. Kemudian das sein dalam putusan ini adalah, pekerja tidak bekerja maka pengusaha tidah memberikan
upah (prinsip no work no pay) sehingga kemudian pertimbangan hakim tidak mengabulkan permintaan upah proses.
Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan kerja ada setelah pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Pekerja merupakan bagian dari tenaga kerja yaitu tenaga kerja yang telah melakukan pekerjaan, baik bekerja untuk diri sendiri maupun bekerja dalam hubungan kerja atau di bawah perintah pemberi kerja dan atas jasanya dalam bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Sebelum penulis menganalisis lebih jauh mengenai pelaksanaan perjanjian kerja antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja ada baiknya dilihat kembali duduk permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini yaitu mengenai perbedaan pertimbangan hukum Majelis Hakim tentang status hubungan hukum yang terjadi. Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penulis adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang dipakai oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi dapat diketemukan dengan memerhatikan fakta materiel. Fakta-fakta tersebut berupa orang, tempat, waktu, dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti sebaliknya. Perlunya fakta materiel tersebut diperhatikan karena baik hakim maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta tersebut. 7 Maka setelah dipaparkan mengenai fakta materiel, selanjutnya pembahasan berfokus kepada 7
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cet. 9, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal. 158.
kewenangan mengadili suatu pengadilan dalam mengadili perkara berdasar pada fakta-fakta materielnya. a. Objek dan Subjek Perselisihan Sebagaimana telah dinyatakan dalam kasus posisi pada sub-bab sebelumnya, maka penulis akan mengerucutkan lebih khusus kepada objek dan subjek dalam perkara yang sedang diteliti. Objek yang dimaksudkan ialah hal yang dipertentangkan atau yang menjadi isu hukum dalam perkara antara Abdul jalil dengan Hotel Ogh Jogja. Sementara subjek yang dimaksud ialah para pihak dalam perkara tersebut. Jika membicarakan hubungan antara Penggugat dengan Tergugat adalah tidak lepas dari titik awal terjadinya suatu perikatan. Buku III KUH Perdata tidak memberikan suatu rumusan dari perikatan, akan tetapi menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut.8 Objek dalam perkara aquo ialah permasalahan akibat penggugat yang sebagai pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti-bukti yang sah sebagaimana telah juga disebutkan dalam kasus posisi. Karena Penggugat telah lalai dalam kewajibannya sebagai karyawan engineering yang disebabkan lalai menjalankan tugas, merugikan tamu dikarenakan pada saat terjadi pemadaman lampu dari PLN tidak ada staff engineering yang jaga untuk menyalakan genzet serta mangkir 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa
8
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan I, 1996, hal. 1.
keterangan tertulis. Juga kelelaian Tergugat terhadap kewajibannya terkait gaji dan hak-hak Penggugat.
Dengan demikian pada hakikatnya setiap hubungan kerja yang dibuat oleh para pihak didasari dengan perjanjian kerja. Seperti pelaksanaan hubungan kerja yang dibuat antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Jogja didasari dengan perjanjian kerja karena perjanjian kerjasama tersebut sebenarnya merupakan perjanjian kerja. Syarat sah perjanjian kerja diatur berdasarkan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perjanjian kerja harus dibuat berdasarkan : a. kesepakatan kedua belah pihak; Bahwa sesuai fakta yang ada dalam pembuatan perjanjian kerja tersebut antara Pemberi kerja yaitu Hotel Ogh Doni Jogja dengan pihak pekerja/buruh yaitu Abdul Jalil telah sepakat melakukan perjanjian kerja. b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; Kedua belah pihak telah dewasa dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan hubungan kerja. c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; Abdul jalil sebagai Pekerja/buruh di Hotel Ogh Doni Jogja. Penggugat mulai bekerja sebagai karyawan hotel yang ditugaskan menjadi staf engineering di Hotel Ogh Doni Jogja sejak bulan januari tahun 1998 telah bekerja di hotel selama 14 tahun lamanya.
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerjaan sebagai Karyawan Hotel merupakan pekerjaan yang halal, tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Obyek dalam perjanjian ini sudah disebutkan secara jelas. Syarat-syarat tersebut bersifat kumulatif sehingga semua syarat tersebut harus terpenuhi agar perjanjian tersebut sah. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, apabila syarat tersebut tidak dipenuhi berakibat dibatalkannya perjanjian. Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif apabila tidak terpenuhi batal demi hukum perjanjian tersebut. Setelah penulis membahas mengenai perjanjian kerja dan hubungan kerja seperti yang telah diuraikan di atas, selanjutnya akan dijelaskan pihak dalam perjanjian kerja ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Dalam perjanjian kerja dan hubungan kerja sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 14 dan 15 UU Ketenagakerjaan subjeknya ialah pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 dan angka 5 UU Ketenagakerjaan menyatakan: Pasal 1 angka 3 “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pasal 1 angka 4 “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Pasal di atas membuktikan bahwa Hotel Ogh Doni Jogja (Tergugat) merupakan subjek hukum dalam hukum ketenagakerjaan. Karena Hotel Ogh Doni Jogja merupakan suatu bentuk usaha yang berbadan hukum yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan Abdul Jalil dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 huruf b UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian penyelesaian terhadap perselisihan antara para pihak dalam perkara antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja ialah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undangt Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial. Pendapat peneliti berkenaan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Imdustrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menyatakan bahwa Abdul Jalil berhak atas uang pesangon dan penggantian hak sebagai pekerja setelah di PHK sudah tepat. Berdasarkan bukti dipersidangan bahwa hubungan kerja antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja telah berlangsung selama 14 tahun berturut-turut. Sesuai ketentuan pasal 57 ayat (2) UUK jo pasal 10 ayat (3) Kepmen No. 100/Men/VI/2004 yang menyatakan bahwa, “ Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu”. Hakim pun tidak mempertimbangkan upah proses karena di petitum dimintakan lagi tentang upah proses, seharusnya bila di posita ada sekalipun tidak dicantumkan dalam petitum, hakim akan mempertimbangkan upah proses tersebut. Penulis tidak sependapat dengan eksepsi tergugat yang menyatakan Gugatan penggugat/pemohon prematur dan gugatan penggugat/pemohon kabur, padahal sudah sangat jelas apa yang sudah dipaparkan oleh penggugat benar adanya dan sesuai dengan bukti-bukti yang jelas, peneliti juga tidak sependapat dengan Tergugat yang menyatakan hubungan antara para Penggugat dengan Tergugat bukan merupakan
hubungan kerja seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan tetapi merupakan hubungan perdata berdasarkan adanya Perjanjian Kerjasama sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Jika dikatakan sebagai perjanjian kerjasama antara pihak yang membuat perjanjian mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, yang akhirnya menciptakan kedudukan yang sederajat. Tetapi dalam kasus yang terjadi antara Abdul Jalil dengan Hotel Ogh Doni Jogja, perjanjian yang dibuat tidak menunjukan kedudukan yang sama dan seimbang. Berdasarkan analisis di atas mengenai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial Yogyakarta yang menyatakan Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa tidak benar Tergugat telah memberikan upah kepada Penggugat telah sesuai dengan Upah Minimum Propinsi D.I. Yogyakarta, yang benar bahwa Tergugat telah memberikan Upah kepada Penggugat berdasarkan bukti P-8 sebesar Rp 625.000,terdiri dari Gaji Pokok Rp 500.000,- + Uang makan Rp 125.000,- berarti masih dibawah Upah Minimum Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk tahun 2011 yang ditetapkan sebesar Rp 808.000,- per-bulan, bahwa mengingat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER-04/MEN/1994 Tanggal 16 September 1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan; Pasal 3 ayat (1) menyatakan : “Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah; b. dst; Pasal 3 ayat (2) menyatakan : “ Upah satu bulan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) adalah Upah Pokok ditambah Tunjangan Tetap”. Di kasus ini penulis juga
melihat bahwa penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk kerja sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja. Berdasarkan pertimbangan di atas Majelis Hakim berkesimpulan karena Tergugat tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana dipersyaratkan Pasal 161 dan pasal 168 Undang undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka untuk keadilan dan kemanfaatan bagi Pekerja dan keluarganya yang membutuhkan perlindungan, maka konsekuensinya Tergugat sebagai pengusaha berkewajiban memberikan kompensasi pesangon 1 x ketentuan pasal 156 ayat (2) dan Uang penghargaan masa kerja 1 x berdasarkan ketentua pasal 156 ayat (3) dan uang Penggantian hak berdasarkan pasal 156 ayat (4). Hal demikian sudah tentu pertimbangan hukum dari Majelis Hakim tingkat I sudah tepat dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Majelis Hakim juga memberikan tanggapan untuk tidak menanggapi posita penggugat tentang upah proses karena penggugat sejak tanggal 11 Oktober 2011 tidak pernah lagi masuk kerja sampai dengan sekarang (saat gugatan ini diajukan) dan tergugat sejak Bulan November 2011 memberi upah/gaji terakhir, tidak pernah lagi memberikan upah/gaji kepada penggugat, karena Penggugat sudah tidak pernah masuk kerja, yang dengan demikian berarti baik pekerja selaku penggugat maupun Pengusaha selaku Tergugat sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja. Sehingga penulis setuju bahwa atas pertimbangan hakim diputusan ini tidak perlu ada upah proses karena sudah jelas penggugat tidak pernah lagi bekerja di hotel ogh
doni Jogja selaku tergugat dan Penggugat dan tergugat sama-sama sudah tidak melaksanakan hak dan kewajibannya dalam hubungan kerja.