BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN PERTANGGUNGJAWABANNYA DALAM HUKUM PIDANA A. Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”. Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh manusia ini dutujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian. Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan
ialah
“sengaja
merusak
kesehatan
orang”.
R. Soesilo dalam buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang
30 Universitas Sumatera Utara
31
dimaksud dengan “perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”: 27 1. “perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya. 2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya. 3. “luka” misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain. 4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin. Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti sebagai berikut “perilaku yang sewenang-wenang”. Pengertian tersebut adanya pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjana, doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman.Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain”. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.
27
R.Soesilo, KUHP serta komentar komentarnya lengkap pasal pasal demi pasal, hal. 120
Universitas Sumatera Utara
32
Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut : “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. 28 Sedangkan
menurut
penjelasan
menteri
kehakiman
pada
waktu
pembentukan pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain : 29 1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain. 2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain. Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi pasal 451 (20.01) dimuat antara lain sebagai berikut :“perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan sosiologi”. 28
(http://tidakpidanapenganiayaan.blogspot.co.id/), diakses pada tanggal 11 Maret 2016, jam 21.46 mengutip Kiswanto Dicaprio “Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penganiayaan” 29 Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, (Jakarta: Sinar Grafika) 2000, hal.50
Universitas Sumatera Utara
33
Kurang dapat dimengerti, apa sebabnya RUU-KUHP tersebut tentang pengertian
penganiayaan,
menyangkutkan
pada
perkembangan
dunia
kedokteran sebab menurut pendapat umum bahwa penganiayaan tidak mempunyai keterkaitan secara langsung dengan ilmu kedokteran. Ilmu kedokteran berkenaan dengan kesehatan manusia,bukan dikaitkan dengan penganiayaan. Berdasarkan pengertian tindak pidana diatas maka rumusan penganiayaan memuat unsur-unsur sebagai berikut : 30 a. Unsur kesengajaan. b. Unsur perbuatan. c. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu : · Rasa sakit, tidak enak pada tubuh; · Luka Tubuh d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan si pelaku. Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut. a. Unsur Kesengajaan. Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. 30
(http://digilib.uinsby.ac.id/8122/4/bab.%203.pdf) yang diakses pada tanggal 11 Februari 2016, jam 22.54, mengutip Makalah “Penganiayaan Yang Mengakibatkan Luka Berat”
Universitas Sumatera Utara
34
Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka
seseorang
baru
dikatakan
melakukan
tindak
pidana
penganiayaan, apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh.Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan. Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya
kesengajaan
sebagai
kemungkinan
terhadap
akibat. Artinya
dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan bahkan kesengajaan sebagai kepastian, hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada tujuan pelaku. b. Unsur Perbuatan. Yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu.
Universitas Sumatera Utara
35
Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya. c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh. Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya
atau timbulnya rasa sakit,
rasa perih,
atau
tidak
enak
penderiataan.Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya.Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan dengan adanya tindak pidana penganiayaan. d. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya. Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan
tujuan
satu-satunya
dari
pelaku.Artinya
memang
pelaku
menghendaki timbulya rasa sakit atau luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku.Apabila akibat yang
Universitas Sumatera Utara
36
berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia. Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut : 31 a. Penganiayaan biasa sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP b. Penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 KUHP c. Penganiayaan berencana sebagaimana diatur dalam pasal 353 KUHP d. Penganiayaan berat sebagaimana diatur dalam pasal 354 KUHP e. Penganiayaan berat berencana sebagaimana diatur dalam pasal 355 KUHP f. Penganiayaan terhadap orang yang berkualitas tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 356 KUHP Bukan hanya didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana saja pengaturan tentang penganiayaan ataupun kekerasan dapat kita lihat. Didalam
31
Leden Marpaung, Op.Cit, hal.52
Universitas Sumatera Utara
37
Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Didalam UU Penghapusan KDRT kekerasan adalah : 32 “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” Memang kekerasan itu lebih terfokus kepada tindak kekerasan yang dilakukan terhadap istri tetapi bukan hanya istri saja yang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan. Semua orang yang berada didalam rumah tangga dapat juga dikatakan sebagai korban termasuk anak. Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UU PKDRT adalah: suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
32
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
38
Kekerasan didalam rumah tangga ini dapat dikatakan juga sebagai penganiayaan karena kekerasan ini juga menimbulkan tekanan mental maupun gangguan fisik dari seorang korban yang mengalami kekerasan, yang dimana bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa : 33 a. Kekerasan fisik, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. b. Kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c. Kekerasan seksual, yakni setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, yang meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
33
Pasal 5-8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
39
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan Di dalam Hukum Pidana terdapat beberapa pembagian atau jenis dari Tindak Penganiayaaan yaitu : a. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni: 34 1) Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1) 2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2) 3)Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3) 4) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4) Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:
34
(http://makalah-hukum-pidana.blogspot.co.id/2014/05/tindak-pidana-penganiayaan.html) yang diakses pada tanggal 13 Maret 2016, jam 21.38. mengutip Lisa “Tindak Pidana Penganiayaan”
Universitas Sumatera Utara
40
1) Adanya kesengajaan 2) Adanya perbuatan 3) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh. 4) Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya A. Tindak Pidana Penganiayaan Ringan Hal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan 356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bisa ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintah.Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. 35 Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni: 1)Bukan berupa penganiayaan biasa 2) Bukan penganiayaan yang dilakukan a.Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya b. Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah 35
Leden Marpaung Op.Cit, Hal.54
Universitas Sumatera Utara
41
c. Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum 3) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian B.Tindak Pidana Penganiayaan Berencana Menurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja,mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang”.Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa 36. Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu: 1) Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. 2) Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
36
Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Cepat & Mudah Memahami HukumPidana (Jilid 2), Jakarta, 2011, Hal.6
Universitas Sumatera Utara
42
3) Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun. 37 Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat: 1) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang. 2) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain: 1. Resiko apa yang akan ditanggung. 2. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya. 3. Bagaimana cara menghilangkan jejak. 3) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang. C.Tindak Pidana Penganiayaan Berat Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan 37
R.Soesilo, KUHP, pasal 353
Universitas Sumatera Utara
43
sengaja oleh orang yang menganiayanya.Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat). Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat. Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut: 1) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut. 2) Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian. 3) Kehilangan kemampuan memakai salah satu dari panca indra. 4) Kekudung-kudungan 5) Gangguan daya pikir selama lebih dari empat minggu. 6) Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih ada dalam kandungan. Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu: 1) Penganiayaan berat biasa (ayat 1) 2) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)
Universitas Sumatera Utara
44
e.Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana Tindak Pidana ini diatur oleh Pasal 355 KUHP. Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 353 ayat 1) dan penganiayaan berencana (Pasal 353 ayat 2). Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena itu harus terpenuhi unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana. Kematian dalam penganiayaan berat berat berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesenganjaannya ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian korban. Sebab, jika kesenganjaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan berencana. 38 B. Pertanggungjawaban
Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan
Terhadap Anak 1. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Suatu tindak penganiayaan apabila ditinjau dari aspek hukum pidana positif Indonesia, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, karena hukum pidana positif Indonesia selain mengatur mengenai kepentingan antar individu juga dengan negara selaku institusi yang memiliki fungsi untuk melindungi setiap warga negaranya, dalam hal ini seseorang yang telah menjadi korban dari suatu tindak pidana. Pada dasarnya untuk menentukan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak, maka harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana,
agar kita dapat mengetahui apakah perbuatan si
38
Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi dan Fifit Fitri Lutfianingsih, Op.Cit, hal.6-8
Universitas Sumatera Utara
45
pelaku tersebut merupakan suatu tindak pidana atau bukan dan agar si pelaku dapat diminta pertanggungjawabannya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. 39 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 40 a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa); b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
39
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1997, hal.193 40 Ibid, hal. 193
Universitas Sumatera Utara
46
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah: 41 a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid; b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Seorang ahli hukum yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: 42 a. Diancam dengan pidana oleh hukum; b. Bertentangan dengan hukum; c. Dilakukan oleh orang yang bersalah; d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.
41
Ibid, hal.194 Andi Hamzah, KUHP &KUHAP, (Jakarta : PT Asdi Mahasatya), 2004, hal.88
42
Universitas Sumatera Utara
47
Van Hamel mengemukakan unsur-unsurnya tindak pidana adalah : 43 a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang; b. Melawan hukum; c. Dilakukan dengan kesalahan; d. Patut dipidana. Emezger mengemukakan:” Tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana”. Unsur-unsur tindak pidana adalah : 44 a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia ( aktif atau membiarkan ); b. Sifat melawan hukum ( baik bersifat obyektif maupun yang subyektif ); c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang; d. Diancam dengan pidana. Moeljatno mengemukakan “ perbuatan pidana “ sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur tindak pidana, yaitu : 1. Perbuatan 2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang 3. Bersifat melawan hukum 4. kelakuan manusia dan 5. diancam pidana dalam undang-undang
43
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Penerbit Yayasan Sudarto FH Undip), 1990, hal.41 Ibid, hal.41-42
44
Universitas Sumatera Utara
48
Namun tidak selalu setiap orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana, tergantung apakah orang atau terdakwa tersebut dalam melakukan tindak pidananya mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana tidak cukup hanya dengan dilakukanya suatu tindak pidana, tetapi juga harus ada unsur kesalahan di dalamnya. Mengenai pengertian kesalahan atau pertanggungjawaban pidana terlepas dari perbuatan pidana, karena dalam hal perbuatan pidana yang menjadi objeknya adalah perbuatannya sedangkan dalam hal pertanggungjawaban pidana yang menjadi objeknya adalah orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut. Dasar dari perbuatan pidana adalah asas legalitas (Pasal 1 ayat (1)) Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP), isi pasal tersebut menyatakan bahwa “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya”, sedangkan dasar daripada dipidananya pelaku adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder shculd). Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa: 45“Pertanggungjawaban pidana adalah di teruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuatyang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena perbuatanya”. Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela. Dengan demikan,
45
Djoko Prakoso, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Edisi Pertama, ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1987 ,hlm.75
Universitas Sumatera Utara
49
menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2) terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya jadi ada unsur subjektif. 46 Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua alasan mengenai hakikat kejahatan, yakni pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak senonoh yang dilakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat. 47 Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
46
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia ( Jakarta: Pradnya Paramita), 1997, hlm.31 47 Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan), 1987, hlm.41-42
Universitas Sumatera Utara
50
Untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang dalam hal ini pelaku tindak penganiayaan anak dalam keluarga, Moeljatno berpendapat bahwa: 48 Terlebih dahulu harus dipastikan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum baik formil maupun materiil baru kemudian perbuatan pidana yang dilakukan pelaku tersebut dapat dihubungkan dengan unsur-unsur kesalahan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa haruslah: 1.
Melakukan perbuatan pidana;
2.
Mampu bertanggung jawab;
3.
Dengan kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa);
4.
Tidak danya alasan pemaaf.
Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku tindak pidana, pertama-tama harus ditentukan apakah terdakwa mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab atau tidak atas tindak pidana yang dilakukannya. Kemampuan bertanggung jawab terdakwa berkenaan dengan keadaan jiwa/batin terdakwa yang sehat ketika melakukan tindak pidana, pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 49 1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
48
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta), 2002, hlm. 166. Ibid, hal 167
49
Universitas Sumatera Utara
51
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedabedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 50 1. Barangsiapa
melakukan
perbuatan
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. 2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya yang cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu: 51
50 51
R.Soesilo, Op.Cit, Pasal 44 Moeljatno. Op.Cit, hal.147
Universitas Sumatera Utara
52
1. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan.Menurut sistem ini, jika tabib (psychiater) telah menyatakan bahwa terdakwa adalah gila (insane) atau tak sehat pikirannya (unsound mind), maka hakim tidak boleh menyatakan salah dan menjatuhkan pidana. Sistem ini dinamakan dengan sistem deskriptif (menyatakan). 2. Menyebutkan akibatnya saja; penyakitnya sendiri tidak ditentukan.Di sini yang penting ialah, apakah dia mampu menginsyafi makna perbuatannya atau menginsyafi bahwa dia melakukan sesuatu yang tidak baik atau bertentangan dengan hukum. Perumusan ini luas sekali sehingga mungkin ada bahayanya. Sistem ini dinamakan normatif (mempernilai). Di sini hakimlah yang menentukan. 3. Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menentukan sebab-sebab penyakit, dan jika penyakit itu harus sedemikian rupa akibatnya hingga dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya (deskriptif normatif). Untuk menentukan mampu bertanggung jawab atau tidaknya pelaku dalam melakukan perbuatan pidana diperlukan adanya kerjasama antara dokter/psikiater dan hakim, karena sudah menjadi tugas dan wewenang dokter/psikiater dalam menentukan ada atau tidaknya sebab-sebab ketidakmampuan bertanggung jawab, sedangkan hakim yang menilai apakah karena sebab-sebab tersebut terdakwa mampu bertanggung jawab atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
53
2.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tindak penganiayaan atau mishandeling diatur dalam Bab XX, buku II KUHP, yang terdapat dalam Pasal 351 ayat (1) sampai dengan ayat (5) yang berbunyi : 52 a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun; c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; d. Dengan penganiayaan di samakan sengaja merusak kesehatan; e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Dalam rumusan Pasal 351 KUHP tersebut, bahwa undang-undang hanya berbicara mengenai “penganiayaan” tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa “kesengajaan merugikan kesehatan” (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Yang dimaksud dengan penganiayaan itu adalah kesengajaan menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan luka pada tubuh orang lain. Untuk menyebutkan seseorang itu telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus 52
R.Soesilo, Op.Cit, Pasal 351
Universitas Sumatera Utara
54
mempunyai opzet atau suatu kesengajaan untuk,menimbulkan rasa sakit pada orang lain, menimbulkan luka pada tubuhorang lain atau merugikan kesehatan orang lain, dengan kata lain orang tersebut harus mempunyai kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang lain atau untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain dan merugikan kesehatan orang lain tersebut. Untuk dapat disebut sebagai suatu penganiayaan itu tidak perlu kesengajaan dari pelaku secara langsung dengan ditujukan pada perbuatan untuk membuat orang lain tersebut merasa sakit atau menjadi terganggu kesehatannya, akan tetapi rasa sakit atau terganggunya kesehatan orang lain tersebut dapat saja terjadi sebagai akibat dari kesengajaan pelaku yang ditunjukkan pada perbuatan yang lain. Hal ini secara tegas telah dinyatakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 15 Januari 1934, N.J. 1934 halaman 402, W. 12754, yang menyatakan, “kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindakan yang besar kemungkinannya dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi masalah bahwa kasus ini kesengajaan pelaku tidak menunjukkan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh polisi”. 53 Dalam hal pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan
53
P.A.F.Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru), 1983, hlm. 145.
Universitas Sumatera Utara
55
hak hak-hak tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 54 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok; 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan: 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. Dalam hal kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga, maka pidana tambahan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pencabutan hak asuh atas seorang anak. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak asuh yang dijatuhkan oleh hakim dalam pemidanaan terhadap orang tua (ayah atau ibu) sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga dilakukan dengan pertimbangan bahwa orang tua telah gagal atau tidak melaksanakan kewajibannya terhadap anak. Mengenai pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh atas anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku (orang tua) dalam kasus tindak 54
Ibid, Pasal 10
Universitas Sumatera Utara
56
pidana penganiayaan anak dalam keluarga, diatur dalam Pasal 37 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 55 (1) Kekuasaan bapak kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas nama anak sendiri maupun atas orang lain, dapat dicabut dalam hal pemidanaan: 1. Orang tua atau wali yang dengan sengaja melakukan kejahatan dengan bersama-sama dengan anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya; 2. Orang tua atau wali terhadap anak yang belum dewasa yang ada di bawah kekuasaannya, melakukan kejahatan yang tersebut dalam Bab XIII, XIV, XV, XVIII, XIX, dan XX Buku Kedua. 3.Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memuat tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang dalam memeriksa perkara anak yang berhadapan dengan hukum melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap anak. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana tersebut di bawah ini
55
Ibid, Pasal 37
Universitas Sumatera Utara
57
Pasal 80 1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Dalam Pasal 80 ayat (4) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur secara khusus mengenai tidak pidana penganiayaan terhadap anak dalam keluarga disertai sanksi pidana yaitu: Pidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya. Selanjutnya dalam Pasal 30 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai pencabutan hak asuh bagi orang tua yang melakukan tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
58
2. Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut. 3. Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan. Apabila hakim menjatuhkan pidana tambahan pencabutan hak asuh anak terhadap orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiyaan anak dalam keluarga, maka hakim juga harus menentukan batas waktu atau lamanya pencabutan hak asuh anak tersebut, dengan kata lain orang tua mempunyai hak untuk memperoleh kembali hak asuh anak melalui penetapan pengadilan. Mengenai pengembalian hak asuh anak kepada orang tua pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga melalui penetapan pengadilan, menurut penulis terlebih dahulu perlu diberikan bimbingan atau konseling kepada orang tua baik oleh tenaga ahli, psikolog atau psikiater dengan tujuan memastikan agar orang tua dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai orang tua sebagaimana mestinya dan tidak mengulangi perbuatannya (penganiayaan) terhadap anaknya. Dengan demikian, hasil bimbingan atau konseling yang diberikan kepada orang tua sebagai pelaku tindak pidana penganiayaan anak dalam keluarga dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan apakah akan mengembalikan hak asuh anak atau tidak terhadap orang tua tersebut.
Universitas Sumatera Utara
59
4. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Namun
seperti
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
tindak
penganiayaan anak dalam keluarga merupakan bagian dari tindak kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga dan telah disebutkan juga bahwa salah satu bagian dari suatu rumah tangga itu adalah seorang anak, maka penulis berpendapat bahwa lebih relevan jika ketentuan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak penganiayaan anak dalam keluarga adalah ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) dijelaskan mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, yaitu: 1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). 3. Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
Universitas Sumatera Utara
60
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Selanjutnya dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur mengenai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, yaitu: “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)”. Untuk tetap mewaspadai akan terjadinya tindak penganiayaan anak dalam keluarga tersebut, tentu saja tetap dibutuhkan peran serta dari masyarakat, anggota keluarga itu sendiri, bahkan peran serta dari korban yang bersangkutan, guna terungkapanya kasus tindak penganiayaan anak dalam keluarga.Hal tersebut diatur dalam Pasal 27 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tantang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di mana disebutkan bahwa: “Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Universitas Sumatera Utara