BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR
2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu: “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang
diatur
dalam
undang-undang
ini
untuk
mencari
serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”9 Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:
9
Undang-Undang Nomor Tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981., Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981, Pasal 1 butir 2
12
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan; b.
Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c.
Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundangundangan.
d.
Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.10 Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik negeri sipil.11
10
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di In donesia , (Malang: Bayumedia Publishing, April 2005), hal.380-381 11 Undang-Undang Nomor Tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981., Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981., Pasal 6 Ayat 1 .
13
Disamping yang diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu disamping penyidik.12 2.2. Penahanan berdasarkan kuhap Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang ini (pasal 1 butir 21 jo. Pasal 20 KUHP). Berdasarkan ketentuan pasal 1 butir 21 KUHAP itu, maka yang berwenang melakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa adalah: 1. Penyidik 2. Penuntut Umum 3.
Hakim
Alasan penahanan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut pasal 21 (2) KUHAP, adalah: a. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri. b. Tersangka/terdakwa
dikhawatirkan
akan
merusak/menghilangkan
barang bukti. c. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana.
12
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika),., hal 110.
14
untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa laporan polisi ditambah dua alat bukti lainnya, seperti: a. Berita Acara Pemeriksaan Tersangka/saksi. b. Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian peristiwa atau barang bukti yang ada. Alat-alat bukti ini harus disesuaikan dengan ketentuan pasal 184 KUHAP. 2.3. Melaksanakan Penahanan Untuk melaksanakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa, maka petugas harus dilengkapi dengan: a. Surat perintah penahanan dari penyidik. b. Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum. c. Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu. Surat Perintah Penahanan itu, sewaktu melaksanakan penahanan harus diserahkan kepada Tersangka/Terdakwa dan kepada keluarganya setelah penahanan dilaksanakan. Surat Perintah/Penetapan Penahanan dari Hakim berisikan: a. Identitas dari Tersangka atau Terdakwa b. Alasan penahanan c. Uraian
singkat
perkara
kejahatan
yang
dipersangkakan
atau
didakwakan.
15
d. Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP). Tembusan Surat Perintah Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa. Yang berhak melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, adalah penyidik, Penyidik Pembantu (atas perintah penyidik), Penuntut Umum atau Hakim. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka/terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana atau percobaan, maupun perbuatan bantuan dalam tindak pidana menurut pasal 20 ayat 4 KUHAP. 2.4. Jenis-jenis Penahanan Adapun jenis-jenis penahanan tertera pada pasal 22 ayat 1 KUHP: a. Penahanan Rumah Tahanan Negara. Dimana tersangka/terdakwa ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan). b. Penahanan Rumah Penahanan Rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal tersangka atau terdakwa,
dengan
mengadakan
pengawasan
terhadapnya
untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyelidikkan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. c. Penahanan Kota
16
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa untuk melapor diri pada waktu yang ditentukan. Selama Rumah Tahanan Negara (Rutan) belum ada, maka penahanan dapat dilaksanakan di kepolisian, kejaksaan atau di lenbaga pemasyarakatan. Setelah tersangka atau terdakwa kelak dijatuhi hukuman pidana, maka masa penahanan itu dikurangakan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima (1/5) dari jumlah lamanya tahanan kota itu, sedangkan untuk penahanan rumah, pengurangan tersebut sepertiga (1/3) dari jumlah lamanya penahanan rumah (pasal 22 ayat (5) KUHAP). Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan dari yang satu kepada yang lain. Pengalihan tersebut harus dinyatakan secara tersendiri dengan surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan dari hakim. Tembusan surat perintah atau penetapan
penahanan itu diberikan kepada tersangka atau terdakwa dan
kepada keluarganya, serta kepada instansi yang berkepentingan. Untuk kepentingan penyidikkan, Penyidik atau Penyidik Pembantu berwenang melakukan penahanan dan penahanan lanjutan. Demikian juga untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan, hakim berwenang melakukan penahanan. Perintah untuk melakukan penahanan dan penahanan lanjutan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana, berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup. Penyidik, penuntut umum atau hakim (pasal 23) dapat
17
mengalihkan jenis penahanan yang satu ke jenis lainnya, dan itu dinyatakan dengan
surat
perintah.
Yang
tembusan
disampaikan
kepada
tersangka/terdakwa serta keluarganya dengan instansi yang berkepentingan. 2.5. Penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana 1. Penyidik Anak Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan diberlakukannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 ayat (1) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah : 1) Telah berpengalaman sebagai penyidik;
18
2) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. 3) Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut. 2.
Proses Penyidikan Anak Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam
operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan
penuntutan,
pemeriksaan
di
muka
pengadilan
dan
tahap
pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan. Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
19
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.13 sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP. Tindakan penahanan,
yang
dapat
mengadakan
dilakukan pemeriksaan
penyidik ditempat
adalah
penangkapan,
kejadian,
melakukan
penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya. Penyidikan
terhadap
anak
tersebut
haruslah
dalam
suasana
kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa : Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga
13
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, 2006, Jakarta, hal.118
20
Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan (Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012). Kentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka
memberikan
keterangan
yang
sejelas-jelasnya.
Simpatik
maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar pemeriksan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Pada waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam. Ketentuan Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik
21
mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar. Pasal 27 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam melakukan
penyidikan
anak
nakal,
penyidik
dibantu
pembimbing
kemasyarakatan. Pasal 65 ayat 1 huruf b UU No. 11 Tahun 2012, menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar
penyidikan
dengan
membuat
laporan
penelitian
kemasyarakatan. Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan ( Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012). Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia. Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 UU No.11 tahun 2012, masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana adalah untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan
22
melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam hal ini yang berumur 12 tahun keatas dan atau dengan orang dewasa atau TNI. Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ; Untuk menegakan prinsip penegakan hukum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan,
penyidik
secara
rmenyatakan
penghentian
pemeriksaan
penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hukum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau
menghukum,
dengan
sendirinya
member
hak
kepada
tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP. Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah
23
Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana; Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban. Hal ini merupakan penyimpangan, karena perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana. Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian
berkas perkara
dari
penuntut
umum,
penyidik
sudah
menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP ) Penyidikan
dianggap
selesai
dan
lengkap,
apabila
telah
ada
pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hokum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum
24
tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita. 2.6. Penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan. Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang No.11 tahun 2012 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik
diharap
betul-betul
mempertimbangkan
apabila
melakukan
penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum
acara
pidana,
menghilangkan
kemerdekaan
seseorang
tidak
merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang
25
melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan. Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta
mempertimbangkan
kepentingan
masyarakat
misalnya
dengan
ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram. Pasal 33 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar diperkenankan suatu penahanan anak, adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). Pasal 32 ayat 2 huruf a dan b UU No. 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, muncul persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti permulaan,” sebab bisa saja penyidik salah duga atau menduga-duga saja, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidak cermatan atau ketidak telitian penyidik. Menentukan bukti yang cukup sebagai bukti permulaan, dalam KUHAP tidak diatur dengan tegas, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Bisa saja menurut penyidik bukti permulaan telah cukup, padahal hakim dalam pra-peradilan (apabila diajukan pra-peradilan oleh anak nakal/penasehat hukumnya) memutuskan bahwa penahanan tidak sah, anak sudah dirugikan terutama dari segi mental, anak merasa tertekan dan trauma atas pengalaman-pengalaman tersebut. Menjamin agar ketentuan mengenai
26
dasar penahanan ini diindahkan, diadakan institusi pengawasan yang dilakukan oleh atasan di instansi masing-masing, yang merupakan “built in control” maupun pengawasan sebagai sistem “checking” antara penegak hukum. Terkait dengan penahanan, penahanan tahap pertama terhadap anak berbeda dengan penahanan terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 7 (tujuh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 8 (delapan) hari. Dalam waktu 15 (lima belas hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu penahanan dan perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Penahanan tahap pertama bagi orang dewasa 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak yakni lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS. Penahanan
yang
dilakukan
dengan
sungguh-sungguh
mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Penyididk yang melakukan tindakan penahanan, harus terlebih dahulu
27
mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan penahanan, dari segi kepentingan anak, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu dipertimbangkan dengan matang kepentingan masyarakat, misalnya dengan ditahannya tersangka masyarakat menjadi aman dan tentram. Hal ini sulit didalam penerapannya, sebab dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi dengan melakukan penahanan, tidak mudah dan menyulitkan pihak penyidik yang melakukan tindakan penahanan. Dalam tindakan
penahanan,
penyidik
seharusnya
melibatkan
pihak
yang
berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog, kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan penahanan. Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat printah penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas Pasal Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Keharusan ini tidak ada akibat hukumnya, manakala pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Sanksi yang dapat diberikan terhadap penyidik anak tidak diatur atau
akibat
hukum
dari
tindakan
penahanan
tersebut
tidak
jelas.
Perkembangan hukum dibidang pengadilan anak ini semakin menunjukkan kelemahan KUHAP, terutama menyangkut pra-peradilan.
28
Dalam prakteknya, dasar pertimbangan dilakukan penahanan anak belum dipahami pihak kepolisian secara tepat. Mereka masih menganggap bahwa dasar pertimbangan dilakukan menahan anak, adalah karena anak melakukan tindak pidanya yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dikhawatirkan melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi tindak pidana. Bila dipahami secara mendalam, dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan penahanan anak menurut Pasal 32 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012 adalah Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Jika kepentingan anak menghendaki dilakukan penahanan, maka anak tersebut ditahan. Tetapi apabila kepentingan anak tidak menghendaki, walaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, maka tidak dilakukan penahanan. Kepentingan anak dalam hal ini, ialah dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, maka penahanan anak tidak dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan
terakhir
dan
dalam
jangka
waktu
singkat.
Mempertimbangkan kepentingan anak, dilibatkan balai pemasyarakatan yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak nakal, dapat juga dilibatkan ahli-ahli seperti kriminolog, psikolog, pemuka agama (rohaniawan) dan lain-lain. Tempat penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi (Pasal 33 ayat 4 dan ayat 5 UU No.11 Tahun 2012). Penahanan anak ditempatkan lembaga penempatan anak sementara
29
(LAPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LAPAS, tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul
dengan
narapidana
anak,
dikhawatirkan
dapat
menularkan
pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktek, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di lembaga pemasyarakatan orang dewasa belum penuh. Hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak, berpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.
30