BAB II LATAR BELAKANG DAN KONSEP – KONSEP EKOWISATA
2.1 Asal Mula dan Perkembangan Wisata Kata wisata (tourism) pertama kali muncul dalam Oxford English Dictionary tahun 1811, yang mendeskripsikan atau menerangkan tentang perjalanan untuk mengisi waktu luang. Namun, konsepnya mungkin dapat dilacak balik dari budaya nenek moyang Yunani dan Romawi yang sering melakukan perjalanan menuju negeri-negeri tertentu untuk mencari tempat-tempat indah di Eropa. Orang pertama yang membuat sebuah petunjuk perjalanan wisata adalah Aimeri de Picaud, warga Perancis yang mempublikasikan bukunya tahun 130 tentang perjalanan ke Spanyol. Awalnya, perjalanan atau wisata sering berkaitan dengan perjalanan ibadah, eksplorasi Geografis, expedisi Ilmu Pengetahuan, studi Antropologi dan Budaya, serta keinginan-keinginan untuk melihat tentang alam yang indah. Sampai pertengahan abad ke-12, pertumbuhan wisata sangat rendah. Biasanya, transportasi wisata menggunakan kapal laut, kuda, unta, kereta kuda, atau alat-alat transportasi yang ada saat itu. Selanjutnya, dalam abad ke-18 dan ke-19, kebutuhan wisata mulai meningkat. Pertumbuhan tersebut juga sangat dipengaruhi oleh Revolusi Industri. Tahun 1841 industri wisata di Inggris mulai dijalankan, sementara Amerika memulai industri wisata tahun 1950-an. Perkembangan wisata selanjutnya semakin menggembirakan. Pada tahun 1948 sebuah perusahaan penerbangan Amerika, Pan American World Airways memperkenalkan tourist class pada penerbangannya. Di sini, mass tourism mulai berkembang dengan adanya transportasi udara. Tujuan perjalanan mulai beralih ke negara berkembang. Tahun 1970, arus kunjungan dari negara maju ke negara berkembang sudah mencatat angka 8%. Pertumbuhan wisatawan ke negara berkembang semakin menjanjikan, ketika tahun 1980 arus kunjungan wisatawan ke negara berkembang mencapai 17% dan tahun 1990 mencapai angka 20%. Tahun 1990, industri wisata telah dipandang sama nilainya dengan industri minyak. Perkembangan wisata secara besar-besaran ini, pada awalnya diyakini tidak mengganggu lingkungan dan tidak menimbulkan polusi. Namun, banyak temuan-temuan yang mengindikasikan
Universitas Sumatera Utara
bahwa aktivitas wisata (dalam banyak hal) sangat merugikan ekosistem, terutama ekosistem destinasi wisata setempat. Dalam banyak kasus, tempat-tempat yang dulunya indah dan digunakan sebagai tujuan favorit wisata menjadi tercemar oleh logam berat dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya. Perkembangan dan pertumbuhan wisatawan yang besar dan tidak terkontrol, telah mendorong laju kerusakan habitat dan erosi pantai. Dampak tidak langsung lainnya, yakni ekploitasi terhadap bentuk-bentuk kehidupan yang ada di daerah wisata.
2. 2 Defenisi Ekowisata a. Secara konseptual: Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehinggga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat.
b. Dalam konteks pengelolaan: Penyelenggaraaan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami, yang secara ekonomi berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat dari generasi serta mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya).
Karakteristik bisnis ekowisata: 1. Menggunakan teknik-teknik ramah lingkungan dan berdampak rendah. (Misalnya:mengelola jumlah kunjungan). 2. Mendukung upaya-upaya konservasi. 3. Menyadari bahwa alam dan budaya, pengetahuan tradisional merupakan elemen utama untuk pengalaman pengunjung. 4. Memberikan nilai edukasi pada pengunjung. 5. Mendukung peningkatan local ekonomi, melalui penggunaan masyarakat local, membeli kebutuhan perjalanan dari local (jika memungkinkan). 6. Menggunakan pemandu/interpreter yang memahami pengetahuan alam dan budaya masyarakat setempat.
Universitas Sumatera Utara
7. Memastikan bahwa satwa target tidak terganggu. 8. Raspek pada budaya dan tradisi masyarakat local. Komponen produk ekowisata: a. Transportasi b. Makanan dan minum c. Atraksi d. Prasarana (air bersih, listrik, telekomunikasi, pembuangan limbah) e. Pemandu f.
Penyewaan peralatan
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengemabngan produk ekowisata: 1. keamanan dan keselamatan pengunjung 2. tipe dan karakter wisatawan target 3. karakter dan kebutuhan segmen wisatawan (survey selera pasar) 4. infrastuktur, sarana dan prasaranan yang dibutuhkan utnuk kepuasan pengunjung 5. iklim 6. harga 7. karakterristik lingkungan (alam dan budaya) 8. pesaing/factor kompetitif.
Secara proses, pengembangan produk dapat digambarkan dalam diagram berikut:
INDENTIFIKASI PELUANG Defensisi pasar
DESAIN Pengukuran Pariwisata b
Uji coba
Pengenalan
Uji coba promosi
Perencanaan
ki
l
d k
Pengemasan produk ekowisata Berisikan atraksi dengan keunikan dan pengalaman yang orisinil, seperti: 1. lingkungan yang alami (hutan, taman nasional, laut) 2. Satwa liar 3. Ekosistem asali dengan akses jalan setapak yang berisi informasi interprestasi 4. Bentang alam (pemandangan, air terjun, air panas, terumbu karang , dsbnya)
Universitas Sumatera Utara
5. Pemanfaatan kebudayaan dari masyarakat tradisional dan eksplor peninggalan prasejarah. 6. Memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk mendapatkan pengalaman baru. 7. Menjamin kegiatan berdampak rendah dan akomodasi yang ramah lingkungan 8. Diskripsikan dengan jelas aksesbilitas menuju daerah tujuan. 9. Gunakan kata-kata yang mampu menunjukkan keaslian sebagai produk ekowisata. 10. Harga paket harus kompetitif 11. Perlu diperhitungkan pembatasan-pembatasan seperti: besaran wisatawan dalam kelompok, volume dan ambang batas dari fasilitas dan sumber lokal. Profil dan pasar ekowisata Profil ekowisata a. Berumur 35-54 tahun, 50% laki-laki dan 50% wanita dan jelas ada perbedaan aktivitas yang dipilih. b. 82% berpendidikan S1, juga dapat terlihat tingkat pendidikan mempengaruhi wisatawan yang berminat pada ekowisata. c. 60% responded senang berpergian berdua, 15% senang berpergian bersama keluarga dan 13 % memilih pergi sendiri. d. 50% responded memilih lama perjalanan 8 samapai 14 hari. e. 26% responded bersedia menghabiskan US$.1001-1500/trip. f.
Senang berpergian ke kawasan : (1) kawasan alami, (2) m,engamati satwa, (3) mendaki dan menjelajah/traking.
g. Motivasi berpergian: (1) menikmati alam/pemandangan, (2) pengalaman baru/kawasan baru. Konsep daur hidup produk Produk secara umum memiliki daur hidup: Dalam Tahap Pengenalan, sebuah produk mulai dilakukan tes pasar, tes pemasaran dan tes terhadap berbagai variable penting lain, kegiatan evaluasi dan pemantauan terhadap produk akan memiliki porsi yang besar.
Universitas Sumatera Utara
Tahap Eksplorasi, produk mulai digencarkan kegiatan promosi serta berbagai upaya utnuk merebut pasar. Pemantauan terhadap aktivitas pesaing mutlak dilakukan dan juga menggalli berbagai respon dari konsumen. Tahap Pengembangan, respon pasar dan aktivitas pesaing semakin meningkat, pembenahan terhadap berbagai variable produk dilakukan sesuai dengan harapan dan keinginan konsumen, serta utnuk tetap mempertahankan daya saingnya. Tahap Konsolidasi dipicu dari terjadinya penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata yang dipasarkan. Evaluasi terhadap produk dan aktivitas pemasaran perlu dilakukan serta menggali berbagai ide pengembangan terhadap produk yang bersangkutan. Tahap Stagnasi produk timbul ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata tidak pernah meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya sesuatu yang baru pada daerah/produk yang bersangkutan. Karena itu perlu segera digali berbagai ide-ide pengembangan produk wisata baru Tahap Penurunan Produk terjadi ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata semakin turun menunjukkan kecenderungan terus menurun dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya upaya pengembangan produk dan hanya bertahan dengan produk yang ada.
2. 3 Wisata Alam dan Kesadaran Lingkungan Sementara mass tourism (wisata masal) berkembang, di Amerika muncul sebuah aktivitas wisata yang dikenal sebagai wisata alam (nature tourism). Hal itu merupakan aktivitas wisata menuju tempat-tempat alamiah, yang biasanya diikuti oleh aktivitas-aktivitas oleh fisik dari wisatawan. Termasuk dalam kategori ini, antara lain biking, biking-sailing dan camping. Di sini, kita juga mengenal adventure tourism, sebuah istilah yang menunjuk kepada kegiatan wisata alam, namun lebih mempunyai nilai tantangan tersendiri, seperti panjat tebing, diving di laut dalam. Tempattempat wisata favorit jenis ini kebanyakan merupakan kawasan lindung, seperti Taman Nasional, Taman Laut, Cagar Alam, Taman Hutan Raya dan kawasan lindung lainnya. Pertumbuhan wisata jenis ini didorong oleh semakin banyaknya pencinta alam (nature lovers). Walaupun pada kenyataannya sangat sulit untuk mendefenisikan “pencinta alam”, kedaerah-daerah baru bagi tujuan wisata, terutama di ekosistem hutan tropis dengan kekayaan hayatinya yang khas. Namun, sayang sekali bahwa beberapa “pencinta alam” menyumbang peran
Universitas Sumatera Utara
besar bagi menurunnya nilai situs-situs atau monumen alam, dengan cara mencoret-coret dan mengotori komponen para “pencinta alam” memanen kayu-kayu hutan untuk sekadar menghangatkan diri dari sengatan hawa dingin pegunungan. kawasan-kawasan konservasi yang dibuka untuk wisata di Pulau Jawa, mendapat tekanan dari para pencinta alam dengan cara seperti di atas. Edelweis (Anaphalis), merupakan spesies tumbuhan yang sering menjadi korban dari persepsi dan pandangan yang salah dari para pencinta alam, karena diyakini sebagai bunga abadi yang bernilai keberanian dan romantisme. Ancaman terhadap keberadaan keanekaragaman hayati dunia semakin lama semakin memperihatinkan, hal ini juga diikuti oleh laju kepunahan spesies yang semakin meningkat. Saat ini diyakini bahwa laju kepunahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia (Anthropogenic Faktor). Dengan demikian, membangun sebuah kesadaran manusia terhadap pentingnya konservasi lingkungan hidup, di mana keanekaragaman hayati menjadi isu penting di dalamnya, sangat diperlukan. Banyak ahli berpendapat bahwa membangun kesadaran konservasi lewat pendidikan informal dapat dilakukan dengan sektor wisata. Berdasarkan pengetahuan dan motivasinya dalam kegiatan wisata, wisatawan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni wisatawan biasa dan wisatawan eco-tourist mempunyai motivasi mengunjungi destinasi wisata dengan maksud khusus. Berdasarkan minatnya tersebut, ecotourist dapat dibedakan sebagai berikut: a) Hard core nature Tourist, merupakan peneliti atau anggota paket tur/perjalanan yang memang didesain atau dirancang untuk pendidikan alam dan penelitian. b) Dedicated Nature Touris, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan, terutama untuk mengunjungi atau melihat kawasan-kawasan lindung. Selain itu, mereka ingin mengetahui keindahan landscape dan kekayaan hayati serta budaya lokal. c) Mainstream Nature Tourist, yaitu wisatwan yang ingin mendapatkan pengalaman yang lain daripada yang telah didapatkan sebelumnya. Seperti, mengunjungi taman Gorilla di Rwanda, Afrika atau mengunjungi hutan Amazonia di Amerika Selatan. d) Cassual Nature Tourist, yaitu wisatawan yang menginginkan pengalaman menikamti alam sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar.
2. 4 Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia Krisis keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam kategori parah dan membutuhkan perhatian dan tindakan lebih serius untuk mengatasinya. Bahkan, beberapa spesies
Universitas Sumatera Utara
telah punah untuk selamanya, seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali (Panthera Tigris). Survei terakhir yang dilakukan oleh PHPA dan WWF menegaskan bahwa setidaknya pada tahun 1976 masih terdapat tiga harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, semakin lama tidak ada buktibukti yang meyakinkan tentang keberadaannya sehingga diyakini spesies ini telah punah. Beberapa spesies masih bertahan dalam kelompok-klompok kecil, yang habitatnya telah terfragmentasi. Monitoring terhadap kekayaan hayati saat ini, telah dilakukan secara intensif. Data yang didapatkan sering menunjukkan bahwa kekayaan hayati semakin terancam, meskipun terdapat pada daerah konservasi, seperti Taman Nasional. Banyak contoh menunjukkan bahwa meskipun kawasan lindung dengan seperangkat undang-undang dan peraturan yang menyertainya, tidak berarti bahwa diversitas spesies yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Contoh kasus pada Tabel 1.1 ini setidaknya menunjukkan jenis-jenis burung yang hilang dan lebih langka dijumpai di Gede Pangrango. Sebenarnya, usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia telah diperkirakan sejak lama. Tahun 1929, dalam suatu kongres Ilmu Pengetahuan wilayah Pasifik yang diadakan di Jawa, menyatakan bahwa perlindungan alam di India-Belanda (sebutan untuk wilayah Indonesia saat itu), harus segera dilakukan secara serius. Peraturan yang mengatur perlindungan alam, pertama dibuat tahun 1909 dan mulai diimplementasikan 01 Januari 1910. Namun, bisa jadi peraturan ini hanya “terdengar” di Jawa dan Madura, sementara perburuan satwa saat itu juga terjadi di Borneo dan wilayah lainnya. Sat itu, kegiatan berburu merupakan kegiatan wisata yang sangat digemari dan mulai diatur dalam regulasi tahun1909. saat itu, Surat Izin Berburu mulai diperkenalkan dan dikeluarkan Peraturan Tahun 1924 juga menyatakan secara tegas mengenai hewan-hewan apa saja yang boleh diburu. Contoh-contoh kepunahan dan kecenderungan kepunahan spesies telah diketahui dengan baik, terutama di pulau Jawa. Namun demikian, tidak berarti bahwa pulau dan kawasan lainnya bebas dari ancaman kepunahan dan kemiskinan keanekaragaman hayati. Perubahan luas tutupan hutan di Pulau Jawa merupkan cermin, bagaimana pertumbuhan kawasan sangat mempengaruhi laju degradasi hutan. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa kasus Jawa Timur sejumlah hutan masa pemukiman dan pertanian di Jawa Timur. Saat ini, kebanyakan sisa hutan telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan berbagai kategori seperti, Taman Nasional, Cagar Alam atau Taman Hutan Raya.
Universitas Sumatera Utara
Tabel jenis Burung Hilang dan Lebih Langka ditemukan di bagian Timur Taman Nasional Gede Pangrango Tahun 1949 dan 1985
Hilang
Lebih Langka
Gosong Maluku
Elang Jawa
Mentok Rimba
Merak Hijau
Bangau Tong tong
Kakatua Kecil Jambul Kuning
Kasuari Glambir Ganda
Jalak Bali
Malao Senkawor
Elang Flores
Kuau Kerdil Kalimantan
Burung Hantu
Maleo Senkawor
Trulek Jawa
Mentok Rimba
Beo Nias
Thoktor Sumatera
Enggang
Burung Bidadari
Burung Pelatuk Bawang
(Tabel 1.1)
Universitas Sumatera Utara
Contoh Penyusutan Luas dan Tiga Habitat dengan Kekayaan Hayati yang Berpotensi untuk Kegiatan Pariwisata di Indonesia. Habitat
Lahan Asli (Km2)
Persen yang tersisa
Hutan Rawa air tawar
103.054
46.8
Hutan hujan pegunungan
206.233
77.1
Hutan Bakau
50.800
43.9
( Tabel 1.2 ) Data di atas merupakan kondisi pada awal tahun 1980. selanjutnya, luasan habitat tersebut semakin menyusut.
2. 5 Wisata dan Konservasi Konsep pemanfaatan sektor wisata untuk menunjang konservasi saat ini sedang ramai didiskusikan. Sejauh mana wisata dapat mendorong tindakan-tindakan konservasi yang dilakukan? Bagaimana strategi yang dapat diterapkan sehingga tujuan konservasi tetap tercapai dalam industri wisata yang terus berkembang? Siapa dan di mana harus memulai dan dimulai? Pertanyaanpertanyaan tersebut muncul sebagai respons dari dampak buruk wisata terhadap keanekaragaman hayati. Harus diakui bahwa pihak-pihak yang aktif berdebat dan berdiskusi adalah para akademis dan peneliti melawan praktisi wisata. Ada kesenjangan dalam diskusi ini, yaitu tidak bertemunya antara akademis-peneliti pada satu sisi dan praktisi wisata pada sisi yang lain. Para praktisi wisata memandang bawa akademisi dan peneliti tidak mengetahui secara pasti dan memahami seluk-beluk industri wisata yang kompleks tentang operasional wisata. Sementara di lain pihak, para praktisi dan pelaku wisata dinilai terlalu sibuk sehingga mereka tidak mengetahui masa depan wisata, pengembangan produknya dan dampak wisata terhadap lingkungan hidup. Perdebatan ini merupakan salah satu dari berbagai kasus perdebatan yang seringkali melibatkan para developer pembangunan, dimana para praktisi wisata ada di dalamnya. Sementara perdebatan berlangsung, banyak kajian antara lain oleh Dixon dan Sherman (1990), Gossling (1999), Honey (1999), Wunder (2000) (dalam buku Lukman Hakim), Dharmaratne et al. (2000), mengatakan bahwa jika sektor wisata diatur secara khusus dapat membantu pembiayaan
Universitas Sumatera Utara
konservasi lingkungan hidup. Terutama koservasi keanekaragaman hayati yang keadaannya semakin tertekan. Kajian yang dilakukan oleh Burger (2000) dan Waller (2001), menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis antara wisata, keanekaragaman, bentang alam dan konservasinya dapat terjadi dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut, dampaknya secara teoritis dapat ditafsirkan mempunyai pengaruh positif bagi perekonomian lokal dan pendidikan konservasi bagi pengunjung, yang datang dari daerah perkotaan yang miskin dengan kekayaan hayati. Aktivitas wisata tersebut kemudian lebih dikenal sebagai ekowisata atau ekoturisme (ecotourism). Benyak defenisi yang menjelaskan arti ekowisata. Namun, semua sepakat bahwa ekowisata berbeda dengan wisata lainnya, karena sifatnya yang dikondisikan untuk mendukung kegiatan konservasi. Defenisinya selalu memfokuskan pada wisata yang bertangung jawab terhadap lingkungan. Selanjutnya, banyak masukan para ahli untuk memperbaiki defenisi tersebut. Antara lain memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan, berperan dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, mendorong konservasi dan pembangunan berkelanjutan, seorang arsitek dan environmentalis, Meksiko, menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan wisatawan menuju daerah alamiah yang relatif belum terganggu atau terkontaminasi. Tujuan utamanya yakni mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam (lanskap) dan kekayaan hayati yang dikandungnya, seperti hewan dan tumbuhan, serta budaya lokal yang ada di sekitar kawasan. Banyak tempat indah dengan kekayaan hayati yang tinggi berada dalam wilayah negara berkembang di mana kebutuhan dan permintaan sumber daya alam meningkat dengan cepat. Hubungan antara laju dijelaskan di berbagai naskah kerja. Degradasi ekosistem yang terjadi saat ini telah menurunkan mutu lingkungan, lebih kurang lagi menurunkan mutu daerah tujuan wisata. Tidak adli untuk menyalahkan dan mengalihkan tanggung jawab ini kepada negara berkembang dan komunitas masyarakat lokal. Masyarakat di luar kawasan juga harus diikutsertakan untuk memikirkan hal itu. Banyak pihak yang mengatakan bahwa masyarakat lokal yang sekat sumber daya alam merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi pemiskinan sumberdaya alam dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, strategi yang dirancang dalam konservasi antara lain adalah pemberdayaan masyarakat lokal.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Parameter Ekowisata Defenisi dan operasional wisata alam (nature tourism) tidak dapat diartikan secara langsung sebagai ekowisata, meskipun wisata alam mempunyai sisi strategis sebagai entry point untuk memahami ekowisata. Wearning dan Neil menyatakan bahwa ide-ide ekowisata berkaitan dengan wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Karena tujuannya adalah menciptakan sebuah kegiatan industri wisata yang mampu memberikan peran dalam konservasi lingkungan hidup, seringkali ekowisata dirancang sebagai wisata yang berdampak rendah (Low Impact Tourism). Untuk menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakterisasikan dengan adanya beberapa hal berikut: a. Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan b. Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas c. Adanya penghargaan terhadap budaya d. Pentingnya pelatihan-pelatihan e. Bergantung dan berhubungan dengan Sumber Daya Alam dan Budaya f.
Adanya integrasi pembangunan dan konservasi
Dalam aktivitasnya, ekowisata harus menjawab dan menunjukkan parameter berikut. 1) Perjalanan ke Kawasan Alamiah Kawasan alamiah yang dimaksud adalah kawasan dengan kekayaan hayati dan bentang alam yang indah, unik dan kaya. Kawasan itu dapat berupa Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Laut, dan kawasan lindung lainnya. 2) Dampak yang Ditimbulkan terhadap Lingkungan Rendah Dampak yang diakibatkan oleh wisata jenis ini, harus ditekan sekecil mungkin. Dampak dapat dihasilkan dari pengelola wisata, wisatawan, pengelola hotel, penginapan, restoran, dan sebagainya. Semua pihak dituntut untuk meminimalkan dampak yang mempunyai peluang, menyebabkan pencemaran dan penurunan mutu habitat atau destinasi wisata. 3) Membangun Kepedulian terhadap Lingkungan Tujuan aktivitas ini pada dasarnya untuk mempromosikan kekayaan hayati di habitat aslinya dan melakukan pendidikan konservasi secara langsung. Seringkali kesadaran terhadap lingkungan hidup akan mudah dimunculkan pada pelajaran-pelajaran di luar kelas, karena sentuhan-sentuhan emosional yang langsung dapat diraskan. Dengan demikian, usaha ekowisata harus mampu
Universitas Sumatera Utara
membawa seluruh pihak yang terlibat dalam ekowisata mempunyai kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup. 4) Memberikan Dampak Keuntungan Ekonomi Secara Langsung bagi Konservasi Di banyak kawasan negara berkembang, pembiayaan terhadap kawasan konservasi seringkali rendah sehinga fungsi yang dijalankan tidak maksimal. Penelitian-penelitan untuk menilai sumber daya Taman Nasional bagi kegiatan pariwisata dan penilaian dampak pariwisata terhadap habitat, jarang dilakukan karena keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, ekowisata dengan sebuah mekanisme tertentu, harus mampu menyumbangkan aliran dana dari penyelenggaraannya untuk melakukan konservasi habitat. Tujuan utamanya, yakni memelihara integritas fungsi-fungsi ekosistem dari destinasi wisata. Tidak ada rumus baku atau mekanisme khusus untuk mengembangkan pola ini. Namun banyak contoh dapat digunakan sebagai model, bagaimana seharusnya wisata dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi konservasi. 5) Memberikan Dampak Keuangan dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal Masyarakat lokal harus mendapatkan manfaat dari aktivitas wisata yang dikembangkan, seperti sanitasi, pendidikan, perbaikan ekonomi dan dampak-dampak lainnya. Unit-unit bisnis pendukung wisata seperti pusat penjualan cinderamata, usaha penginapan, restoran, dan lainnya harus dikendalikan oleh masyarakat lokal. Hal itu untuk menjamin keikutsertaan masyarakat lokal dalam pertumbuhan ekonomi setempat karena aktivitas wisata. 6) Adanya Penghargaan terhadap Budaya Setempat Budaya masyarakat lokal, biasanya untuk bagi wisatawan dan menjadi bagian dari atraksi wisata. Budaya ini telah berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai bagian dari strategi masyarakat lokal untuk hidup dalam lingkungan sekitarnya. Budaya itu harus mendapatkan penghargaan dan pelestariaan, agar kontribusinya bagi konservasi kawasan tetap memainkan peran. Harus diakui bahwa masyarakat lokal dengan budayanya, lebih mengetahui cara berinteraksi dan memafaatkan seumber daya sekitarnya secara bijaksana dan lestari daripada mengambil keputusan yang tinggal jauh dari kawasan hutan.
7) Mendukung Hak Asasi Manusia dan Gerakan Demokrasi Pada dasarnya, penduduk setempat merupakan masyarakat yang selama bertahun-tahun telah berinteraksi dengan lngkungan sekitar destinasi wisata. Beberapa kelompok masyarakat secara tradisional masih tergantung kepada sumber daya hutan, pesisir dan laut. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
penetapan kawasan lindung tidak semata-mata “memagari kawasan dari pengaruh manusia”. Karena secara de facto, masyarakat sekitar mempunyai kekuatan untuk tetap memasuki kawasan dan menggunakan sumber daya alam. Oleh karena itu, melakukan sebuah regulasi dan diskusidiskusi dengan masyarakat untuk menjamin pemanfaatan secara adil menjadi parameter yang tepat dan berguna untuk menilai keberhasilan ekowisata. Banyak kawasan di belahan dunia menjalankan ekowisata. Kebanyakan dari mereka memanfaatkan kawasan konservasi, seperti Taman Nasional sebagai destinasi atau tujuan alamiah bagi penyelenggara ekowiata. Diskusi-diskusi seputar implementasi dan keberhasilan ekowisata, terus bermunculan. Hal itu disebabkan oleh sulitnya memenuhi seluruh kriteria ideal, untuk mencapai apa yang dimaksud dengan ekowisata. Namun, kebanyakan sepakat bahwa kegiatan ini adalah wisata yang bertanggung jawab, untuk melakukan konservasi dan pendidikan lingkungan hidup, serta memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal. Semakin populernya kegiatan ekowisata dan sumbangan-sumbangan penting yang diberikan bagi aktivitas konservasi mendorong Persatuan Bangsa-Bangsa lewat badan lingkungan hidup dunia United Nations Environment Programme (UNEP) Ecotourism 2002. tujuannya yakni mempromosikan ekowisata pada skala internasional dan memberikan wahana dan kesempatan belajar bagi negaranegara yang mempunyai potensi untuk mengembangkan ekowisata di wilayahnya dari negaranegara yang telah sukses menyelenggarakan ekowisata. Pemahaman tersebut menghasilkan sebuah kespakatan untuk diadakannya pertemuan ekowisata dunia, pada bulan Mei di Kanada. Pada tahun yang sama, Indonesia juga menetapkan tahun 2002 sebagai tahun ekowisata Indonesia. Namun, karena keterbatasan-keterbatasan dan alasan sefesiensi, pengembangan ekowisata di Indonesia untuk tahun 2002 memfokuskan diri pada ekowisata di daerah pegunungan. Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia, dapat dikatakan masih dalam taraf wacana. Hal itu diindikasikan bahwa sampai saat ini, belum diterbitkan secara tersendiri peraturan perundangan yang mengatur pengembangan ekowisata. Perundang-undangan yang menyangkut penyelenggaraan ekowisata, masih banyak merujuk pada peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan konservasi. Sampai saat ini, kebanyakan ekowisata di Indonesia diadakan di kawasan-kawasan konservasi. Sesuai dengan perundangan yang berlaku, ekowisata yang diselenggarakan harus mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang menyangkut kawasan konservasi. Dalam hal ini, yakni UU no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sember daya alam hayati dan ekosistemnya.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekowisata di Indonesia, antara lain sebagai berikut: 1. Belum adanya konsep dan pemahaman yang sama tentang ekowisata oleh para stakebolder yang terlibat. 2. Ekowisata masih sering dijadikan slogan-slogan dan alat-alat promosi. Tetapi pada implementasi sesungguhnya menjadi lemah atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata yang diisyaratkan. 3. Meskipun kesadaran pemerintah akan pentingnya ekowisata telah ada, komitmen pengembangannya masih sangat lemah. Hal itu sangat jelas pada implementasi di lapangan. 4. Kebijakan yang mengatur dan mendukung saling tumpang tindih sehingga mempengaruhi implementasi di lapangan. 5. Terbatasnya akses informasi, seperti jaringan pasar dan infra struktur yang diperlukan dalam pengelolaan ekowisata. 6. Tebatasnya peran serta masyarakat local dan stakebolder dalam pengembangan ekowisata. 7. Meningkatnya degradasi sumber daya alam yang tidak terkendali 8. Pemandu memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan aspek-aspek pendidikan lingkungan hidup dalam kegiatan ekowisata. 9. Pembangunan yang tidak terkontrol pada destinasi wisata, karena pertumbbuhan jumlah pengunjung membuat implementasi ekowisata menjadi sulit. Permasalahan-permasalahan di atas, idealnya harus dapat diselesaikan untuk mewujudkan pembangunan ekowisata di Indonesia. Kelompok-kelompok pencinta dan pemerhati lingkungan, LSM, pemerhati ekowisata dan stakebolder yang terlibat dalam ekowisata dapat menekan pemerintah karena lemahnya dukungan pemerintah pada tahap implementasi kebijakan ekowisata pada tingkat lokal. Selanjutnya, bantuan-bantuan pemikiran dan aksi nyata untuk mewujudkan komitmen bagai inisiasi dan pembangunan ekowisata dapat dilaksanakan. Perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pemberdaya dapat berperan aktif dalam memberdayakan potendsi masyarakat dan stakebolder yang belum optimal untuk mencapai implementasi ekowisata dan melakukan evaluasi terhadap praktik ekowisata dengan sesungguhnya. Tujuannya sangat jelas, yakni bersamasama mewujudkan pembangunan ekiowisata dengan benar, sebagaimana konsep-konsep yang mendasarinya, yakni mewujudkan pembangunan lokal dengan memperhatikan aspek konservasi sumber daya alam dan menjaga integritas budaya lokal menuju masyarakat berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara