31
BAB II LANDASAN TEORITIK KONSEP WILAYAT AL-FAQIH
Syi`ah, sebagai bagian dari aliran dalam Islam dikenal memiliki konsepsi politik yang khas. Kekhasan doktrin politik inilah yang membedakannya dengan konsepsi politik sekte lainnya dalam Islam. Sunni misalnya lebih memilih doktrin Khilafah Islamiyyah dengan al-Mawardi sebagai peletak dasar teori kenegaraan Sunni. Kekhasan ini tentu memiliki dasar serta legitimasinya tersendiri. Perbedaan yang mendasari berbagai persoalan yang timbul di kalangan umat Islam, mulanya berawal dari wafatnya Nabi Muhammad. Karena dalam Islam, Muhammad SAW diyakini sebagai nabi terakhir, penutup para nabi yang bertugas menyampaikan wahyu Tuhan kepada manusia.1 Ini berarti wahyu Tuhan berakhir bersamaan dengan berakhirnya misi kerasulan Muhammad. Keyakinan bahwa Muhammad SAW penutup utusan Allah berimplikasi bahwa rentetan wahyuwahyu Allah yang diberikan, kepada para rasul, semenjak Nabi Adam AS, dipandang telah sempurna diturunkan di tangan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian sesudah ayat terakhir dalam al-Qur'an turun, "Hari ini aku (Allah) sempurnakan bagimu
agamamu,
lengkaplah
untukmu nikmat-Ku
dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama"2, berakhirlah proses penurunan wahyu dari Allah. Penjelasan ini menunjukkan bahwa terdapat evolusi di dalam agama, dimana Islam dimunculkan sebagai bentuk terakhir dan dengan demikian 1
QS Al-Azhab/33: 4 yang artinya Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 2 QS. al-Maidah: 3 yang artinya Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.
32
Islam merupakan agama yang paling memadai dan sempurna. Atau dengan kata lain, wahyu Syari’at yang dibawa oleh Muhammad adalah syari’at terakhir yang diperuntukkan bagi umat manusia. Karenanya sifat dari wahyu ini adalah eternal.3 Ketika Nabi Muhammad masih hidup, umat Islam selalu mengembalikan problem keagamaan (maupun sosial) kepadanya untuk segera dicarikan solusinya. Nabi Muhammad lalu merespon dengan baik problem yang disampaikan padanya untuk kemudian ia selesaikan dengan menggunakan petunjuk wahyu
yang
diterima dari Allah. Namun, bila wahyu tidak memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap persoalan tersebut, Nabi terkadang menyelesaikan segala persoalan dengan menggunakan penalaran dan pendapatnya sendiri. Ia juga terkadang menyelesaikannya melalui kesepakatan dengan para sahabat. Pemikiran dan pendapat Nabi inilah yang kemudian bisa dijumpai dalam Hadits. Hadits pada hakikatnya tidak hanya mengandung pemikiran dan pendapat Nabi saja, tetapi juga perbuatan serta ketetapan Nabi tentang suatu perkara. Setelah Nabi Muhammad wafat, tempat bertanya umat Islam bila menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan sosial dan keagamaan tidak ada lagi. Umat
Islam saat itu memiliki dua pegangan
dalam
masalah-masalah yang mereka hadapi, yakni al-Qur'an
menyelesaikan
dan hadits Nabi
dipergunakan oleh umat Islam generasi pertama itu menyelesaikan persoalanpersoalan yang mereka hadapi. ini didasarkan atas pernyataan Nabi Muhammad yang memang pernah memperingatkan umat Islam tentang kedua pegangan ini:
3
Pokok pikiran yang ada dalam pendahuluan bagian awal Bab II ini merupakan intisari dari apa yang pernah ditulis dalam Tedi Kholiludin, Hukum Islam dan Perubahan Sosial, dalam “Dekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan: Pergulatan Pemikiran Keagamaan Anak Muda Semarang, Semarang: Rasail dan eLSA, 2005, hlm. 269-280.
33
"Aku tinggalkan bagimu bagi pedoman, dan kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang pada keduanya, yakni Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabinya”. Dengan berakhirnya wahyu Allah tersebut, manusia dipandang sudah mencapai tingkat kedewasaan rasional dan oleh karena itu wahyu dalam artian al-Qur’an, tidak akan diturunkan lagi. Meskipun demikian, manusia masih mengalami
banyak kebingungan, karena mereka sulit mengimbangi derap
kemajuan sains dan teknologi yang sangat pesat perkembangannya dan melingkupi berbagai bidang kehidupan. Karenanya, manusia agar mencapai kedewasaan
berpikir, selalu
menggantungkan perjuangannya
yang
terus
menerus untuk mencari petunjuk dari al-Qur'an tersebut. Bila
pada
waktu
Nabi
Muhammad
masih
hidup,
umat
Muslim
menjadikan beliau nara sumber, tempat bertanya, untuk menjawab persoalanpersoalan sosial dan keagamaan mereka. Dan ketika beliau sudah tidak ada lagi
yang dijadikan sebagai tempat bertanya masalah-masalah sosial dan
keagamaan umat Islam, maka umat Islam haruslah senantiasa merujuk dua pedoman yang ditinggalkan oleh beliau, yakni al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Malah bukan itu saja, semasa beliau masih hidup, beliau pernah berpesan, bila menghadapi masalah-masalah "technical know how" dalam
kehidupan,
itu
menjadi wewenang kaum Muslim. Tidak ada sangkut pautnya dengan tugas risalah yang beliau bawa. Hadits mengatakan, "Kamu lebih tahu tentang masalahmasalah duniamu."
34
Sesuai dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh Nabi, maka umat Islam paska Nabi, mengacu penyelesaian ke dalam al-Qur'an dan Sunnah atas masalahmasalah yang mereka jumpai. Tetapi dengan cepat dapat dirasakan dan diketahui oleh mereka
bahwa
banyak sekali
masalah
yang
dijumpai
dalam
kehidupan mereka sehari-hari tidak diberikan penyelesaiannya dalam al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan tidak jarang masalah-masalah yang muncul tersebut tidak disebut oleh al-Qur'an dan Sunnah. Fenomena seperti ini ditemui oleh kaum Muslim generasi pertama tersebut manakala Islam sudah meluas keluar semenanjung Arabia dan masuk ke Suria, Palestina, Mesopotamia, Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Problema-problema yang dihadapi oleh kaum Muslim bertambah dan
banyak,
bertambah
ragamnya
bertambah kepelikannya. Ini tak lain, karena doktrin Islam bersinggungan
dengan setting sosial yang berbeda dengan Mekkah. Yang terjadi kemudian, persoalan yang terkait dengan relevansi Islam dengan konteks lokal masyarakat muslim hasil ekspansi, menjadi bertambah besar. Secara geografis, daerah kekuasaan Islam, pada waktu kewafatan Nabi Muhammad tahun 632 M, hanya semenanjung Arabia yang tandus,
dengan etnis Arab yang mempunyai
kehidupan dan kebudayaan sederhana sekali. Tetapi ketika berbagai kawasan sudah ditaklukkan oleh kekuatan politik Islam, terutama di masa pemerintahan Umar bin Khattab serta dua dinasti besar Umayyah dan Abbasiyah, daerah kekuasaan Islam tidak lagi hanya penduduk Arab. Dan Islam saat itu dihadapkan dengan agama lain penduduk setempat yakni Kristen, Yahudi, Zoroaster. Selain itu bahasa yang digunakan juga berbeda satu
35
dengan yang lain. Sangat beralasan jika dalam kondisi ini, masalah yang timbul dalam masyarakat yang beraneka ragam itu sangat berbeda dengan masalahmasalah yang timbul tatkala umat Islam masih berada di Medinah. Demikianlah, setelah Muhammad Rasulullah sudah tiada lagi petunjuk Allah hanya bisa diperoleh dengan selalu melakukan rujukan pada al-Qur'an dan Hadits yang ditinggalkan oleh Muhammad SAW itu. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh beliau, selama umat Islam berpegang teguh dengan kedua sumber tersebut umat Islam tidak akan sesat. Oleh sebab itu setiap kaum beriman mempunyai kewajiban untuk secara terus-menerus mempelajari dan memahami
al-Qur'an
dan
hadits
untuk
mendapatkan
kebenaran
yang
dikandungnya, yang dengan kebenaran itu arah moral kehidupan menjadi jelas. Secara filosofis, penjelasan di atas menunjukkan, posisi Muhammad sebagai penutup utusan Allah tersebut menyiratkan makna penyerahan mandat kepada kaum Muslim untuk mengatur kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan selalu merujuk kepada dua sumber al-Qur'an dan hadits. Bahkan ketika alQur'an dan hadits tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi, kaum Muslim diberikan keluangan untuk mempergunakan al-ra 'yu atau ijtihad mereka. Segera setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam dihadapkan kepada masalah yang cukup pelik, yang tak pernah timbul di kala Nabi masih hidup serta tak dijumpai cara penyelesaiannya dalam al-Qur'an. Satu contoh adalah dalam wilayah politik yakni yang terkait dengan masalah suksesi. Pertanyaan yang paling mendasar saat Muhammad wafat adalah siapa yang menggantikan
36
Muhammad sebagai kepala negara Madinah. Sebagaimana diketahui, Madinah telah menjadi ibu kota dari negara yang bercorak konfederasi dari suku-suku bangsa Arab yang terdapat di Semenanjung Arabia di kala itu. Jadi ketika beliau wafat, beliau mempunyai kedudukan bukan saja sebagai Rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala negara. Untuk menyelesaikan persoalan ini, para ahli sejarah mencatat, ada sebuah pertemuan yang dipelopori oleh pemuka-pemuka Muhajirin dan Ansar di Saqifah Bani Sa'adah. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas dalam al-Qur'an tentang siapa pengganti Nabi sebagai kepala negara Madinah tersebut, nyaris pertemuan itu menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Kaum Ansar mengajukan argumen, bahwa mereka telah berjasa memberikan pertolongan kepada Muhammad, sehingga beliau berhasil menaklukkan Makkah dan menyebarkan Islam di seluruh Semenanjung Arabia. Sementara Kaum Muhajirin mengajukan pula argumentasi, bahwa merekalah orang yang pertamatama pendukung dakwah Nabi Muhammad. Jika saja Kaum Muhajirin tidak ada, tidak akan mungkin Islam berkembang dari jumlah yang sangat kecil, namun lama kelamaan bertambah besar. Di samping argumen di atas, kaum Muhajirin juga membawa perkataan Nabi "al-Aimmah min Quraisy" (Para Pemimpin itu dari suku Quraisy) serta aktivitas (‘ubudiyyah) Nabi, yang sering mewakilkan pelaksanaan tugas menjadi imam shalat kepada Abu Bakar, yang orang Quraisy itu, ketika beliau sakit. Terhadap argumen-argumen yang diajukan oleh kaum Muhajirin itu, kaum Ansar mundur, maka terpilihlah Abu
Bakar
sebagai
khalifah pertama, pengganti nabi dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara. Jabatan itu pun ketika itu disebut dengan Khalifatu Rasulillah.
37
Di sini timbul pertanyaan, kenapa orang-orang Ansar mundur dari maksud mereka untuk menjadi khalifah? Karena di dalam memajukan argumen, maka argumen yang dianggap kuat adalah argumen yang mempunyai referensi alQur'an dan hadits. Kaum Ansar tidak mempunyai argumen itu, mereka hanya mempunyai argumen rasional. Sebaliknya kaum Muhajirin mempunyai argumen perkataan dan perbuatan Nabi. Hadits "para pemimpin harus dari suku Quraisy” ternyata mendominasi pemikiran Islam semenjak Abu Bakar sebagai Khalifah, sampai berabad-abad lamanya, dan pemikiran ini dianut di kalangan Sunni. Bagaimana sebenarnya penjelasan al-Qur'an tentang suksesi tersebut? Karena tidak ada penjelasan yang tegas, timbullah berbagai pendapat, sebagai lawan dari pendapat yang menyatakan bahwa para pemimpin dari suku Quraisy. Kaum Syi'ah, salah satu sekte dalam Islam, lebih spesifik melihat bahwa pengganti Muhammad adalah orang mempunyai kekerabatan dengan Nabi. Maka para imam dari kaum Syi'ah, memang rentetan keturunan yang mempunyai hubungan darah dengan Nabi, yang dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi sendiri. Berbeda dengan kedua pandangan Sunni dan Syi'ah tersebut, kaum Khawarij mengatakan bahwa pengganti Nabi tidaklah mesti dari suku Quraisy ataupun dari keturunan Nabi sendiri. Siapa saja dari kaum Muslim, bukan Arab sekalipun, kalau memenuhi persyaratan sebagai pemimpin ia boleh menggantikan nabi sebagai kepala negara tersebut. Pendapat Khawarij
ini,
dalam
perkembangan berikutnya, terutama sesudah abad XVI M dianut oleh Sunni. Singkatnya, persoalan politik pasca Muhammad sebenarnya menjadi persoalan kompromi di wilayah publik. Dari sini, memang keputusan itu tidak
38
bisa lepas dari berbagai kepentingan. Ideologisasi, tarik menarik kepentingan karenanya menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan dalam kompromi tersebut. Begitu juga yang terjadi di generasi awal umat Islam. Mereka mendapatkan kebimbangan yang luar biasa, karena tidak ada referensi yang secara eksplisit mengatur persoalan yang terkait dengan ketatanegaraan, termasuk di dalamnya persoalan kepemimpinan. Karenanya keputusan sebenarnya berada di tangan umat Islam itu sendiri, yang di dasarkan atas ijtihad mereka. Dengan demikian, terpilihnya Abu Bakar dalam pertemuan di Saqifah Bani Sa’idah tersebut (meski dengan argumentasi normatif) juga tidak lepas dari berbagai kompromi yang dilakukan oleh berbagai kelompok di sana. Selain dalam persoalan siyasah atau ketatanegaraan, masalah yang cukup pelik lainnya yang dihadapi oleh kaum Muslim masa awal itu adalah problem teologis, yakni tentang siapa yang disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Al-Qur'an dan hadits Nabi memang memberikan kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur. Namun karena tidak adanya penjelasan yang pasti tentang itu, menimbulkan banyaknya pandangan yang menegemuka tentang hal itu. Persoalan mukmin dan kafir dimunculkan kali pertama oleh kaum Khawarij. Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin Affan, yang kemudian memunculkan protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, selaku Khalifah keempat, karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan. Yang lebih ekstrem , kaum Khawarij menuduh Ali bin Abi Thalib berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman bin Affan.
39
Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash. Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan persoalan tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij. Menurut mereka, tahkim itu adalah tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman kepada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an. Maka dengan membawa ayat 44 surat alMaidah, "Siapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah orang kafir." Dengan dasar pandangan itu, Khawarij kemudian memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir. Orang muslim yang kemudian beralih menjadi kafir berarti murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat tokoh tersebut. Dalam perkembangannya, timbul masalah baru apakah orang mukmin yang melakukan dosa besar tetap mukmin? Karena mereka merupakan kelompok sempalan dalam dinasti Umayyah, mereka menganggap bahwa pemuka pemuka dinasti Bani Umayyah sudah berbuat kedhaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa besar. Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu berarti tidak sah lagi menjadi khalifah. Demikian kaum Khawarij memasukkan semua perbuatan dosa besar, seperti berzina, bersumpah palsu, mendurhaka ibu bapa, syirik, mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir. Sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas, sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan muslim adalah orang-orang
40
yang sudah mengucap dua kalimah syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah" (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah). Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam sejarah teologi Islam, golongan yang menganut paham ini dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang yang telah melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah. Kemudian timbul paham yang lain, yakni bila seseorang yang mengucap dua kalimah syahadat itu melakukan dosa besar, ia hanya boleh disebut muslim. Di sini dibedakan antara mukmin dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa besar. Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk dalam
doktrin
dasar
mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi). Dua kasus di atas, pertama tentang masalah politik kenegaraan dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim pertama itu menunjukkan bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah sosial dan keagamaan, di kala Nabi Muhammad tidak ada lagi. Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan sesudah Muhammad. Oleh sebab itu tidak ada otoritas pribadi mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan penterjemah yang
41
paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau. Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum Muslim telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan social dan keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian) dalam berijtihad. Bila ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala, dan bila ijtihadnya salah masih diberi satu pahala. Manusia yang menjadi objek syari’at, dengan demikian, pada fitrahnya adalah individu yang memiliki watak yang dinamis dan kreatif. Proses ini tak pelak menimbulkan berbagai kondisi dan peristiwa baru yang berkelanjutan. Kondisi ini kemudian menyebabkan adanya kesenjangan antara nash-nash dengan peristiwa baru yang terlahir sebagai dinamika peradaban manusia, yakni finalnya nash dan bergeraknya realitas (tanahy al-nushus wa ‘adamu tanahy al-waqa’i). Karenanya realita yang tidak pernah berhenti pada satu titik ini tidak bisa diikat dengan satu doktrin yang sudah final. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konsep ijtihad (legal reasoning) menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai jalan untuk menetralisir kesenjangan tersebut. Dengan iijtihad inilah peristiwa baru tersebut akan mendapat pijakan hukumnya. Strateginya yaitu dengan menafsirkan kembali nash hukum tersebut agar ditemukan élan vitalnya, dan selaras dengan kemaslahatan umat manusia sebagaimana yang dikehendaki Tuhan. Oleh karena al waqa`i akan terlahir secara
42
terus menerus sepanjang sejarah peradaban manusiadan masing-masing al waqa`i memiliki seting sejarah yang berbeda satu dengan yang lain, maka bisa dikatakan ijtihad adalah kebutuhan sepanjang masa dan berjalanan secara paralel dengan lahirnya al waqa`i. Gambaran tentang hal tersebut terekam dalam perjalanan sejarah umat Islam. Umat Islam dari sekte Syi’ah rupanya menyadari betul hal ini. Dalam bidang politik, mereka berupaya merumuskan satu konsep tentang pemerintahan yang dalam pandangan mereka bisa menggabungkan antara kehendak manusia dan tuntunan Tuhan. Konsep tentang Imamah bisa dikatakan sebagai buah dari ijtihad ulama Syi’ah. Begitupula konsep wilayat al-faqih yang merupakan ijtihad dari Imam Khomeini.
A.
Teologi Politik4 Syi`ah: Analisa Historis Seperti yang sudah disinggung di atas, kemunculan Syi’ah lengkap dengan muatan doktrin, termasuk konsep politiknya, dilandasi atas semangat ijtihadinya. Meskipun demikian, bagi kalangan Syi’ah awal kali kemunculan sekte Syi`ah dalam pemikiran Islam, sebenarnya berawal dari zaman
4
Penulis merasa perlu memberi judul sub bab II ini dengan istilah teologi politik, bukan teori politik. Dalam doktrin politik Syi`ah, politik bukan semata-mata wilayah profan dan mundane. Politik, bagi kaum Syi`ah memiliki spirit ilahiyyah yang diamanatkan kepada manusia melalui seorang khalifah. Singkatnya, politik dan kekuasaan dalam tradisi politik Syi`ah memiliki dimensi sakral. Karenanya teori politik yang dibangun oleh para penganut Syi`ah sepenuhnya didasarkan atas legitimasi teologis. Kekuasaan dalam pandangan Syi`ah sepenuhnya merupakan kedaulatan Tuhan (God Sovereignty). Atas dasar inilah penulis merasa lebih sreg jika sub judul yang akan membeberkan historisitas kemunculan Syi`ah plus doktrin politiknya ini dengan istilah teologi politik.
43
Rasulullah itu sendiri.5 Komunitas Syi’ah, menegaskan hal ini dengan memberikan argumentasi sebagai berikut: “Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah) sudah muncul sejak Muhammad SAWW masih hidup. Hal ini dibuktikan dengan realita-realitas sebagai berikut. Pertama, ketika Rasulullah SAWW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan --di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya--memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAWW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Rasulullah SAWW. Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAWW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam. Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan. Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa -yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAWW-akan memberikan warna lain terhadap Islam. Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Rasulullah SAWW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali a.s. dan lebih dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali a.s., untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari kesirnaan.”6
5
Bandingkan dengan Nourouzzaman Shiddiqi, Syi’ah dan Khawarij: Dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta: PLP2M, 1985, hlm 8. Nourouzzaman mengatakan bahwa kaum Syi’ah muncul atau berkembang pasca wafatnya Muhammad SAW. 6 Data ini penulis peroleh dari situs “resmi” komunitas Syi’ah yakni www.al-shia.com. Situs ini merupakan rujukan jika ingin mendapatkan keterangan yang agak komprehensif tentang sejarah, doktrin dan pandangan-pandangan ulama Syi’ah. Untuk memperluas jangkauan situs ini diprogram dengan menggunakan beberapa bahasa dunia. Ini tentu menunjukan bahwa komunitas benar-benar telah menjadi bagian dari masyarakat dunia.
44
Sementara, Nader Poerhassan7 menilai bahwa kemunculan Syi’ah (juga Sunni) secara faktual terlihat setelah Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 M.8 Beberapa pengikut Ali meyakini bahwa Ali harus menjadi pemimpin umat karena ia telah dipilih Nabi sebagai penerusnya.9 Bahkan saat pembicaraan di Tsaqifah Bani Sa’idah, telah ada usulan yang muncul agar khalifah yang kelak menggantikan nabi sebagai pemimpin, harus diambilkan dari ahlul bait.10 Syibli Nu’mani, seperti yang dikutip oleh Nouruzzaan Shiddiqi mengatakan bahwa bersamaan dengan berlangsungnya pertemuan di Tsaqifah Bani Sa’idah, ada rapat yang berlangsung di rumahnya Fatimah yang dipimpin sendiri oleh Ali.11 Rapat tersebut mengagendakan untuk menentukan siapa yang akan menduduki pucuk kepemimpinan pasca nabi. Dan sepeninggal nabi, masyarakat Muslim di Madinah terpecah menjadi tiga kelompok. (i) Banu Hasyim, termasuk Ali. Mereka yang masuk dalam kelompok ini menghendaki agar legitimasi kekhalifahan diberikan kepada mereka. (ii) Muhajirin yang dipimpin oleh Abu Bakr dan Umar. (iii)
7
Nader Poerhasan adalah seorang penganut Syi’ah yang cukup kontroversial. Sisi kontroversial ini ia tunjukan dengan melakukan kritik terhadap pelbagai produk pemikiran ulama Syi’ah. 8 Nader Poerhasan, The Corruption of Moslem Minds, terj R. Cecep Lukman Yasin, “Gara-gara Ulama: kerancuan Pemikiran Pemimpin Agama”, Jakarta: Serambi, 2004, hlm. 33. 9 Sebenarnya kelompok Sunni juga beranggapan sama dengan Syi’ah, bahwa Ali adlaah penerus pilihan Nabi. Namun, saat Nabi wafat mereka menganggap Ali masih muda, sehingga tongkat kepemimpinan harus dipegangn oleh tiga orang sahabat senior yang ketiga-tiganya meninggal sebelum Ali yakni Abu Bakar (sahabat Nabi dan lelaki pertama yang masuk Islam), Umar (yang memerintahkan terhadap tempat-tempat ibadah orang Kristen di Yerussalem) dan Usman (yang bertanggung jawab dalam menyalin dan menyebarluaskan al-Qur’an ke berbagai wilayah Islam). Usman ini yang kemudian digantikan oleh Ali. Lihat Ibid. 10 Nourouzzaman Shiddiqi, loc. cit. 11 Ibid.
45
Anshar dibawah pimpin oleh ‘Ubadah.12 Isu hak legitimasi ahlul bait untuk jabatan khalifah mereda sejak Ali memberikan baiat kepada Abu Bakr asShiddiq hingga berakhirnya kepemimpinan Umar.13 Pada masa kepemimpinan Usman, isu tentang hak legitimasi Banu Hasyim kembali dihembuskan. Abdullah ibn Saba’ menyuarakan kembali tentang hak Ali. Ia bahkan dengan lantang mengatakan bahwa Ali bukan saja orang yang berhak untuk menjadi seorang Imam, bahkan Ali adalah Tuhan.14 Sejak saat itulah gejolak semakin kencang menerpa pemerintahan Usman. Ditambah dengan kebijakan politiknya yang seringkali dianggap mendahulukan kepentingan keluarganya. Usman menempatkan anggota keluarganya untuk mengisi jabatanjabatan penting tanpa memperhatikan kualitas dan kapabilitasnya. Pemberontakan terhadap pemerintahan Usman, dalam sejarah Islam biasa dikenal dengan Fitnah al-Kubra. Setelah Usman terbunuh Ali kemudian diangkat sebagai khalifah. Hanya saja, kepemimpinan Ali juga diwarnai
12
Ibid,, hlm 9. Pada masa Umar, gelombang ekspansi pertama terjadi, kota Damaskus jatuh di tahun 635 M. dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerha Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Suria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr Ibn Al-Aas dan ke Irak di Bawah pimpinan Sa’ad bin Abi AlWaqqas. Babilon di Mesir dikepung pada tahun 640 M. Sementara itu, tentara Bizantium di Heliopolis dikalahkan dan Alexandria kemudian menyerah di tahun 641 M. dengan demikian Mesir jatuh pula ke tangan Islam. Al-Qarisiyah, suatu kota dekat al-Hirah di Irak jatuh pada tahun 637 M dan dari sana serangan dilanjutkan ke Al-Madain ibu kota Persia dan dapat dikuasai saat itu juga. Ibu kota baru daerah ini adalah al-Kufah. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini, kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabia juga Palestina, Suriah, Irak, Persia dan Mesir. Selengkapnya Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, jilid I, 2001, hlm. 51-52. 14 Para pengikut Abdullah ibn Saba ini biasa dikenal dengan sebutan al-Sabaiyah. Dalam sejarah kaum Syi’ah, aliran ini masuk dalam kategori ekstrem. Karenanya, pengikut aliran ini tidak diakui sebagai bagian dari Syi’ah dan dianggap telah keluar dari Islam. 13
46
dengan berbagai pemberontakan, terutama yang datang dari keluarga Usman. Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga masih kerabat Usman, bahkan menolak dengan tegas diangkatnya Ali sebagai khalifah. Ia memberikan alasan bahwa Ali harus bertanggungjawab atas terbunuhnya Usman. Selain itu, Muawiyah berpendapat, berhubung wilayah Islam telah meluas dan timbul komintas-komunitas Islam di daerah-daerah baru maka hak untuk menentukan jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang berada di Madinah saja.15 Hal ini tentu bisa dipahami karena Muawiyah merupakan gubernur di Suria. Posisi Muawiyah semakin kukuh karena ada dukungan dari sejumlah sahabat di Madinah yang kemudian bergabung dengan dia di Suria. Di samping itu, pada masa pemerintahan Ali, juga terjadi banyak pemecatan terhadap gubernur yang diangkat oleh Usman. Ali berkeyakinan bahwa ketidakmampuan gubernur yang diangkat oleh Usman itulah yang menyebabkan terjadinya banyak pemberontakan-pemberontakan. Tak hanya itu, Ali juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, serta menggunakan kembali sistem distribusi pajak seperti yang pernah diterapkan pada masa Umar.16
15
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia, edisi 5, 1993, hlm 28. 16 Kebijakan-kebijakan itulah yang membuat keluarga Usman naik pitam. Muawiyah tentu menjadi figur sentral yang terus menerus merongrong kekuasaan Ali. Pada saat Ali berkuasa, salah satu pemberontakan yang terekam dalam sejarah adalah kudeta yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Mereka beranggapan bahwa Ali tidak juga segera mencari dan menghukum
47
Kebijakan seperti itulah yang menyebabkan Muawiyah dan keluarga Usman lainnya sepakat untuk mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Ali. Di Damaskus, kota di mana Muawiyah berkuasa, gejolak perlawanan semakin terasa kencang. Merasa stabilitas negaranya terancam, Ali kemudian
memimpin
pasukannya
untuk
meredam
pemberontakan
Muawiyah di Damaskus. Pasukan Muawiyah dan Ali akhirnya bertemu di Shiffin.17 Pertempuran itu sendiri berakhir dengan tahkim atau arbitrase, karena pasukan Muawiyah merasa sudah berada diambang kekalahan. Tahkim itu sendiri sebenarnya tidak lebih dari strategi Muawiyah untuk meraih kemenangan. Meski pada awalnya tahkim dimaksudkan agar tidak banyak korban yang timbul, namun kesepakatan penyelesaian perang melalui jalan tahkim justru semakin menambah luas perpecahan di tubuh umat Islam. 18 Situasi seperti ini tentu sangat tidak menguntungkan posisi Ali. Dan tidak lama kemudian pada tanggal 20 Ramadhan 660 M, Ali terbunuh oleh Abdurrahman bin Muljam. Sepeninggal Ali, terjadilah pertarungan memperebutkan kekuasaan politik antara pendukung Ali yang berada di
para pembunuh Usman. Meski Ali sudah mengirimkan surat ajakan berdamai, tetapi Thalhah dan Zubair tidak mau mendengar ajakan damai dari Ali. Terjadilah perang yang dalam sejarah umat Islam dikenal sebagai Perang Jamal. Dalam peperangan tersebut Ali berhasil mengalahkan lawanlawannya. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika keduanya hendak melarikan diri, sementara Aisyah ditawan dan dikembalikan lagi ke Medinah. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada dan LSIK, Cet 12, 2001, hlm 39-40. 17 Karenanya, perang ini juga sering dinamakan sebagai Perang Shiffin. 18 Hal ini bisa dilihat dari timbulnya beberapa kekuatan politik pasca perang shiffin antara lain, (i) Mu’awiyah (ii) Ali dan (iii) Khawarij. Kelompok ketiga ini merupakan sempalan dari barisan Ali yang menganggap bahwa Ali telah melakukan kesalahan besar besar karena mau diajak berdamai oleh Muawiyah. Dari sini persoalan kemudian merembet ke ranah teologi. Kelompok Khawarij menganggap orang yang terlibat dalam tahkim itu adalah orang-orang kafir. Keadaan ini tentu sangat tidak menguntungkan posisi Ali.
48
Kufah dan Muawiyah di Damaskus.19 Orang-orang Kufah menuntut agar jabatan pemimpin dipegang oleh keluarga Ali. Menurut Fazlur Rahman, klaim legitimis atas nama keturunan-keturunan Ali yang ditandai dengan diangkatnya Hasan adalah awal dari doktrin politik Syi’ah.20 Pada perkembangannya, Muawiyah, yang menggulingkan kekuasaan Ali, melanjutkan kepemimpinannya dengan model pemerintahan Monarkhi. Mu’awiyah tidak hanya mengangkat penggantinya tetapi ia memaksakan putranya Yazid sebagai khalifah sesudahnya, meskipun ia dianggap oleh mayoritas kaum Muslim tidak layak untuk jabatan tersebut. Setelah Muawiyah kekuasaan turun temurun menjadi norma dan berlaku hingga kini. Bahkan pengangkatan Yazid memercikkan perang saudara lainnya yang lebih berdarah ketimbang Perang Shiffin.21
B.
Imamah dan Kegaiban Imam Dua Belas22 Kaum Syi’ah menganggap bahwa imam adalah rukun Islam yang ke enam sebagai tambahan bagi lima rukun Islam yang diyakini oleh umat
19
Nourouzzaman Shiddiqi, op. cit. hlm 9-10. Rahman sendiri menyebut bahwa klaim legitimis ini adalah tonggak utama Syi’isme Arab yang betul-betul bersifat politis. Fazlur Rahman, Islam, terj Ahsin Mohammad, “Islam”, Bandung: Pustaka, 2000, hlm. 249. 21 Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam, (terj) Munir A. Mu’in, “The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim”, Bandung: Mizan, 2004, hlm. 210. 22 Ada beberapa bahasan yang akan penulis paparkan dalam bab ini, yang kesemuanya merupakan bagian dari konsep politik Syi’ah. Beberapa diantaranya adalah Imamah, Wilayah dan Mahdaiyyat. Dalam bab ini juga perlu penulis tegaskan, bahwa ajaran Syi’ah yang menjadi pokok pembicaraan adalah Syi’ah Imamiyah. Perlu dipahami dalam tradisi Syi’ah terdapat pembagian aliran yang tergantung pada jumlah Imam yang diakui sebagai penerus nabi. Kelompok utama dalam Syi’ah dalam hal jumlah pengikut, keterpusatannya dalam spectrum agama tradisional adalah Syi’ah Dua Belas Imam (Imamiyah). Sementara Syi’ah Tujuh Imam (Ismailiyah) dan Syiah Lima Imam disebut Syi’ah Zaidiyyah. Dan yang menjadi agama resmi Iran adalah Syi’ah Imamiyah. 20
49
Islam pada umumnya.23 Jadi menurut mereka penguasa adalah kekuasaan yang religius dan ia memiliki cahaya suci sehingga dianggap maksum dalam kata-kata dan perbuatannya walaupun al-Qur’an sendiri sebenarnya tidak mengatakan bahwa Nabi adalah maksum. Imamah merupakan salah satu kata kunci dalam memahami pandangan politik Syi’ah. Hamid Enayat, sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan politik Ahl al-Sunnah yakni Khalifah, Ijma' dan Bay'ah. Sementara tiga konsep kunci dalam pandangan politik Syi'ah adalah imamah, wilayat, dan 'ishmah.24 Wilayah dan 'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah. Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah yang dianut Syi'ah.25 Selain perbedaan-perbedaan tersebut, Murad W. Hofmann mengurai tujuh perbedaan antara Syi’ah dan Sunni dalam segala aaspek. Karena menurut Hofmann, pada kenyataannya, bukan hanya aspek-aspek tertentu dari filsafat, teologi dan yurisprudensi Syi’ah saja yang berbeda dari Sunni, tetapi juga dalam gaya dan pikiran atau iklim intelektual.26 Tujuh hal yang menurut Hoffman membedakan Syi’ah dan Sunni antara lain; 1.
Menurut Doktrin Syi’ah mengenai Kekhalifahan (Imamah dalam tradisi Syi’ah), disebutkan hanya keluarga Nabi saja yang mempunyai
23
David Sagiv, Fundamentalism and Intellectual, (terj) Yudian W. Asmin, Islam Otentisitas Liberalisme, Jogjakarta: LKiS, 1997, hlm. 148-149. 24 Jalaludin Rakhmat, Skisme dalam Islam: Sebuah Telaah Ulang, Selengkapnya lihat dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/SkismeJ1.html 25 Ibid 26 Murad W. Hofmann, Islam: The Alternative, (terj) Rahmani Astuti, “Menengok Kembali Islam Kita”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 141.
50
hubungan darah yang dekat dengan Nabi yang dianggap layak menduduki jabatan itu. 2.
Imam Syi’ah dianggap sempurna baik dalam bidang moral maupun doktrinal.
3.
Imam dianggap mempunyai pengetahuan mengenai makna-makna tersembunyi dalam al-Qur’an.
4.
Ali dianggap pantas menyandang gelar uni “Sahabat Tuhan “ (wali Allah) dan dalam kapasitas ini, di samping Muhammad, di kemudian hari dia dimasukkan dalam panggilan untuk salat (azan).
5.
Ulang Tahun kematian al-Husayn diperingati dengan pertunjukan drama
yang
menggambarkan
penderitaan
berlarut-larit
dan
perkabungan umum, termasuk pencambukan. 6.
Karena menganggap kekhalifahan Abu Bakr, Umar dan Utsman tidak sah, para ulama Syi’ah tidak mau menerima keabsahan tradisi-tradisi nabi (Ahadits) yang diriwayatkan oleh mereka, maupaun yang diriwayatkan oleh Istri Nabi, Aisyah.
7.
Yurisprudensi Syi’ah menganggap sah perkawinan sementara.27 Imamah, dalam perspektif Syi’ah merupakan kepemimpinan universal
dan menyeluruh dalam masyarakat Islam, baik yang berhubungan dengan segi spiritual maupun maupun duniawi. Kepemimpinan ini mendapatkan legalitasnya tatkala berasal dari Tuhan. Bahkan Nabi sendiri tidak memiliki
27
Ibid., hlm 142.
51
hak dan peran independen dalam menentukan khalifah setelah beliau. Beliau harus menentukan khalifah sesuai dengan perintah Tuhan. Seorang
Imam
dalam
tradisi
Syi’ah
adalah
orang
yang
membedakannya dari muaddib28, mufti29, ataupun qadi30. Di Iran Imam adalah bagian dari mullah. Mullah adalah para pengendali kekuasaan. Kata itu berasal dari kata Arab maula, penguasa atau master, suatu jabatan yang pada kenyataannya diberikan kepada siapa saja yang melaksanakan fungsi keagamaan.31 Dalam tradisi Sunni, ulama termasuku di dalamnya adalah qadi, mufti, syaikh al-Islam. Sementara dalam lingkungan Syi’ah, ulama seringkali dipersonifikasikan dalam diri seorang Hujjat al-Islam (bukti Islam), mujtahid (konsultan hukum yang melakukan keputusan pribadi secara sistematik) dan Ayatullah (tanda-tanda Allah).32 Jabatan-jabatan tersebut diatur secara ketat sehingga diperlukan tahapan demi tahapan untuk membuktikan tingkat keilmuannya. Untuk menduduki posisi ini, orang tidak bisa melamarnya. Mereka adalah orang yang diakui oleh komunitas ilmuwan. Sedangkan Ayatullah anggotanya sangat terbatas, bahkan tidak mencapai lima orang. 28
Muaddib atau guru umumnya dengan inisiatifnya sendiri mendirikan kuttab, taman pendidikan al-Qur’an untuk anak-anak. 29 Mufti adalah konsultan hukum. Ia adalah orang yang membuat pendapat hokum yang dengannya ia menginterpretasikan hukum. Karena tidak terstruktur secara sistematis, seringkali terjadi bahwa jabatan ini memiliki peran sebagai orang yang menerima permohonan (banding) untuk keputusan hukum. 30 Qadi adalah jabatan keagamaan yang pertama kali dilembagakan dalam Islam. Dalam setiap masa, qadi dipilih di antara orang-orang yang memiliki reputasi dalam memahami kerumitan hukum. Dan yang lebih penting lagi adalah masalah integritasnya. 31 Habib Boulares, Islam: The Fear and the Hope, (terj) Ilham Mashuri, “Islam: Tumpuan Harapan atau Biang Ketakutan”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2003, hlm. 145. 32 Habib Boulares, Ibid.
52
Oleh karena itu, Imamah sama seperti kenabian dan bertalian langsung dengan hak-hak Ilahiah. Jika para nabi dilantik melalui mandat Ilahi dari langit maka seorang imam pun juga harus demikian. Dalam pandangan Syi’ah, imâmah bukan hanya pemerintahan/kepemimpinan lahiriah. Namun, imâmah adalah sebuah kedudukan spitiual yang sangat agung. Selain memimpin dan mengurusi masalah sosial dan kehidupan bermasyarakat, seorang imam juga memiliki tugas memberi petunjuk dalam bidang kehidupan yang lebih universal, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi maupun ukhrawi. Ia adalah seorang penuntun dan pembimbing umat dari sisi intelektual dan jiwa, sebagaimana ia juga bertugas untuk menjaga syari’at yang dibawa oleh para rasul, dan mewujudkan tujuantujuan yang ingin dicapai melalui pengutusan seorang nabi. Dalam keyakinan Syi’ah, pribadi legal yang berhak memiliki kedudukan ini, pasti mengetahui segala dimensi ajaran agama. Dengan demikan, ia tidak akan pernah mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam menjelaskan dan menerangkan khazanah keilmuan dan hukum-hukum Islam, dan ia terjaga dari segala dosa. Para imam dalam pandangan Syi’ah memiliki semua kedudukan yang dimiliki oleh Nabi, selain kenabian sendiri. Segala ucapan dalam rangka menjelaskan berbagai hakikat, undang-undang, dan pengetahuan Islami merupakan hujjah, dan segala perintahnya di setiap permasalahan harus ditaati. Moojan Momen menggambarkan paling tidak ada enam tugas yang harus dilaksanakan oleh Imam yaitu, memimpin perang suci (the holy war,
53
jihad), membagikan harta rampasan (qismat al-fay), memimpin sholah Jum’at, memutuskan sebuah perkara, menjatuhkan hukuman dan meerima zakat atau khumus.33 Untuk melegitimasi pendapatnya, kaum Syi’ah mengutip ayat ke-124 dari surah Al-Baqarah yang berbunyi:
ﺎﻣﹰﺎﺱ ِﺇﻣ ِ ﺎﻚ ﻟِﻠﻨ ﺎ ِﻋﻠﹸﻲ ﺟﻦ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺇﻧ ﻤﻬ ﺗﺕ ﹶﻓﹶﺄ ٍ ﺎ ِﺑ ﹶﻜ ِﻠﻤﺑﻪﺭ ﻢ ﺍﻫِﻴﺑﺮﺘﻠﹶﻰ ِﺇﺑﻭِﺇ ِﺫ ﺍ ﲔ ﻬﺪِﻱ ﺍﻟﻈﱠﺎِﻟ ِﻤ ﻋ ﺎ ﹸﻝﻳﻨ ﻳﺘِﻲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﻻﺭ ﻭﻣِﻦ ﹸﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim". Sayyed Hossein Nasr mengatakan bahwa dalam Islam, pintu kenabian tertutup sesudah Muhammad.34 Ia adalah sumber esoterik dan eksoterik sekaligus, tetapi dalam fungsinya sebagai pembawa hukum Tuhan, nabi hanyalah melambangkan aspek yang bersifat eksoterik. Sesudah nabi, harus ada yang mewarisi fungsi esoteriknya dan yang meneruskan tugas untuk menerangkan arti batin hukum Tuhan. Sama halnya dengan fungsi kenabian, terutama dalam penyampaian hukum yang disebut Nubuwwah, fungsi sebagai penafsir arti batin bagi manusia dan menjaga hubungan dengan sumber wahyu dikenal dengan sebutan “wilayah”.35
33
Moojan Momen, An Introduction to Shi’i Islam: The History and Doctrines of Twlever Shi’ism, New Haven and London: Yale University, 1985, hlm. 189. 34 Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (terj) Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid, “Islam Antara Cita dan Fakta”, Yogyakarta: PUSAKA, 2001, hlm. 128. 35 Kata wilayah secara umum, dalam bahasa arab bermakna kesucian dan orang-orang suci disebut waliyullah atau Sahabat Tuhan. Tetapi dalam konteks Syi’ah, kata tersebut tidak
54
Siklus kenabian atau dairat al-nubuwwah berhenti pada diri Nabi sebagai jaminan kenabian. Sejak itu tidak akan turun lagi petunjuk dalam siklus kehidupan manusia saat ini. Tetapi berakhirnya siklus tersebut berarti babak baru bagi kemunculan siklus pensucian (dairat al-wilayah). Siklus ini merupakan mata rantai dari otoritas yang berhubungan dengan penafsiran esoterik dari wahyu dan diperoleh langsung dari Nabi yang menjadi sumber dari dimensi esoterik dan eksoterik sekaligus. Siklus tersebut akan terus berlangsung hingga hari pengadilan saat semua siklus berakhir. Fokus pembicaraan kita bergerak pada person atau siapa yang berhak untuk menjadi pemimpin dalam siklus wilayah. Dalam kepercayaan Syi’ah imam itulah yang bertugas untuk menjalankan fungsi wilayah.36 Seperti yang sudah disinggung di atas, Imam dalam kepercayaan kaum Syi’ah adalah pemimpin universal. Imam, tidak hanya orang yang memimpin ibadah. Tetapi dalam kepercayaan Syi’ah adalah orang yang menjadi penguasa komunitas dan terutama pewaris ajaran esoterik Nabi. Syi’ah memandang bahwa Ali adalah Imam yang menjadi pengganti Nabi Muhammad. Dan garis kekuasaan merupakan hak dari keluarga Nabi atau ahlul bayt. Dua belas Imam yang dipercaya meneruskan garis kekuasaan Nabi adalah (1) Ali bin Abi Thalib, (2)Imam Hasan, (3)Imam Husein, (4) Ali Zain al-Abidin, (5) Muhammad al-Baqir, (6) Ja’far al-
hanya bermakna kesucian, tetapi juga berarti fungsi sebagai penafsir dimensi esoterik dari petunjuk Tuhan. Ibid. 36 Hal itulah yang menyebabkan, mengapa Imam Ali disebut sebagai waliyullah. Ibid., hlm. 129.
55
Shadiq, (7) Musa al-kazim, (8) Ali al-Ridha, (9) Muhammad al-Jawwad, (10) Ali al-Hadi, (11) Al-Hasan al-Askari dan (12) Muhammad al Muntazar. Namun Imam kedua belas yakni Muhammad al Muntazar dikatakan menghilang secara misterius dan kedatangannya kembali selalu mereka tunggu hingga saat ini. Doktrin ini yang biasa dikenal dengan mahdiyyat atau mahdaviyat dalam bahasa Parsi.. Perkembangan pemikiran kaum Syi’ah tentang doktrin Imam dua belas ini dapat dibagi ke dalam dua tahap.37 Pertama pemikiran ketika para imam masih hidup. Pemikiran Imamah pada tahap ini dititikberatkan pada pengabsahan para imam sebagai pelanjut kepemimpinan nabi Muhammad. Dalam sejarah Yurisprudensi Syi’ah Dua belas, tahap ini dikenal sebagai era penulisan hadis-hadis para Imam.38 Kedua, pemikiran yang berlangsung setelah gaibnya Imam al-Mahdi, baik selama gaibah sugra (kegaiban kecil, 260-329 H/873-941) maupun selama gaibah kubra (kegaiban besar 941M dan seterusnya. Selama kegaiban kegaiban pendek yaitu ketika Imam al-Mahdi dalam persembunyiannya di dunia fisik, kepemimpinan imam secara eksplisit diabsahkan kepada wakil-wakil imam (nuwwab al Imam). Mereka itu adalah (1) Usman ibn Sa’id al-‘Umari, (2) Abu Ja’far Muhammad ibn Usman, (3) Abu al-Qasim al-Hussain ibn Rauh al-Khillani dan (4) Ali ibn Muhammad al-Samiri (w. 873 H/941 M). Sementara kegaiban besar berlangsung sejak 37
Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17 Tokoh, Jakarta: Grasindo, 2003, hlm. 118-119. 38 Ahmad Mousasawi, “Teori Wilayat Faqih; Asal Mula dan Penampilannya dalam Literatur Hukum Syi’ah”, dalam Mumtaz Ahmad (ed), State, Politics and Islam. (terj) Ena Hadi, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Bandung: Mizan, 1996, cet III, hlm. 132.
56
wafatnya Ali Ibn Muhammad. Sejak itu pula kepemimpinan imam melalui sistem perwakilan telah berakhir, kesinambungan kepemimpinan imam selama kegaiban besar, berada pada raja-raja (al-Sultan al’Adil) dan ulamaulama mujtahid (faqih) Syi’ah hingga kedatangan Imam Mahdi pada waktunya.39 Setelah ghaibah, faqih yang adil mempunyai wewenang sama seperti Rasulullah. Namun, menurut Imam Khomeini, hal ini janganlah diartikan bahwa status faqih sama dengan Rasul dan Imam. Karena apa yang menjadi pembicaraan dalam konteks tersebut adalah wewenang, bukan status.40 Wewenang berarti pemerintahan, administrasi negarara dan pelaksanaan syari’at. Berawal dari sinilah pandangan tentang konsep wilayat al-faqih dikembangkan. Teori wilayat faqih dalam beberapa hal adalah kelanjutan dari doktrin imamah, karena melaksanakan tugas dan fungsi-fungsi utama pemerintahan Imam. Teori itu menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat yang berbeda dengan diangkatnya Imam oleh Allah.41 Namun ada hal yang tidak berubah yakni kekuasaan individual seorang pemimpin karismatis. Dalam artian, bahwa unsur personalitas masih mendominasi pola pikir kaum Syi’ah dalam perkembangan pemikiran politiknya. Menurut Murtadha Mutahhari sebagaimana dikutip oleh Jalaludin Rakhmat, kata wala, walayah, wilayah, wali, maula dan derivasi lainnya 39
Didin Saefudin, Ibid. Ayatullah Ruhullah Khomeini, “Sebuah Pandangan tentang Pemerintahan Islam”, dalam Sallim Azzam (ed), Beberapa Pandangan tentang pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1983, hlm. 131. 41 Ahmad Mousasawi, op.cit., hlm. 130. 40
57
banyak sekali disebut dalam al-Qur’an. Sebagai kata kerja disebut 124 kali dan sebagai kata benda disebut 112 kali.42 Hal ini menunjukkan bahwa wilayat dianggap penting sehingga pembahasannya banyak diulang dalam al-Qur’an. Wilayat memiliki beberapa arti yang berkaitan derat dengan sejarahnya. Secara bahasa, ia berasal dari bahasa Arab “wilayat”, bentuk kata “waliyan” yang berarti dekat dan memiliki kekuasaan atas sesuatu. Secara teknis wilayat berarti pemerintahan (rule), supremasi atau kedaulatan. Dalam pengertian lain, wilayat atau wala berarti persahabatan, kesucian, kesetiaanatau perwalian.43 Dalam tradisi pemikiran politik Syi’ah, wilayat menunjukkan kesetiaan kepada pemerintahan Imam dan mengakui hak Imam untuk memerintah. Legitimasi doktrinal atas konsep wilayat itu menunjukan bahwa dalam Islam otoritas keagamaan dan politik itu satu dan serupa.44 Karenanya, konsep wilayat yang merupakan bagian dari kepemimpinan atas umat Islam, memiliki posisi yang sangat sentral. Relevansi wilayat dengan masalah otoritas Islami yang absah dalam Syi’ah dpat dilihat dari kuatnya al-Qur’an
42
Jalaludin Rakhmat, “Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw.via al-Farabi hingga Ayatullah Khomeini”, kata pengantar, Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini, Bandung: Mizan, 2002, hlm. 15. 43 Ahmad Mousasawi, op.cit., hlm. 130. 44 Wilayat sesuai yang dipaparkan oleh Abdul Aziz Sachedina, merupakan konsep yang berkaitan dengan segenap kehidupan umat Muslim dengan akibat bahwa umat Muslim tidak pernah mencampakkan keyakinannya kepada identitas agama dan pemerintah, identitas keduanya yang pernah dilihatnya pada diri pendiri Islam. Keberadaan Nabi dipercayai oleh umat Islam mengandung maksud yang asasi yaitu mentransformasikan struktur kesukuan masyarakat Arab pada masa itu ke dalam suatu umat Muslim, suatu komunitas religio-sosio-politis yang berada di bawah wilayat al-ilahiyyah yang dirancang oleh Allah itu. Abdul Aziz Sachedina, The Just Ruler in Shi’ite Islam, (terj) Ilyas Hasan, “Kepemimpinan dalam Islam: Perspektif Syi’ah”, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 163.
58
dijadikan pegangan dalam memahami dan menyimpulkan wilayat sebagai pedoman kepemimpinan yang sakral. Diantara ayat yang dijadikan rujukan ulama Syi’ah adalah
ﻮ ﹶﻥﺆﺗ ﻳﻭ ﻼ ﹶﺓ ﺼﹶ ﻮ ﹶﻥ ﺍﻟﻳﻘِﻴﻤ ﻦ ﻮﹾﺍ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻪ ﻭ ﻮﹸﻟﺭﺳ ﻭ ﻪ ﺍﻟ ﹼﻠﻴﻜﹸﻢﻭِﻟ ﺎﻧﻤِﺇ ﻮﹾﺍ ﹶﻓِﺈ ﱠﻥﻣﻨ ﻦ ﺁ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻪ ﻭ ﻮﹶﻟﺭﺳ ﻭ ﻪ ﻮ ﱠﻝ ﺍﻟ ﹼﻠ ﺘﻳ ﻦﻭﻣ .ﻮ ﹶﻥﺍ ِﻛﻌﻢ ﺭ ﻫ ﻭ ﺰﻛﹶﺎ ﹶﺓ ﺍﻟ .َ ﻮﻥﺎِﻟﺒﻢ ﺍﹾﻟﻐ ﻫ ﺏ ﺍﻟ ﹼﻠ ِﻪ ﺰ ِﺣ Artinya: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang”. (QS al-Maidah. 5: 5556) Ayat tersebut menunjukan penjagaan Allah, Nabi Muhammad dan mereka yang beriman. Frasa terakhir (mereka yang beriman) ini, menurut mufassir Syi’ah, merujuk kepada para Imam yang wilayat mereka diteteapkan melalui penunjukan oleh Nabi. Dan menurut A. Syarafudin alMusawi, ayat ini sudah dengan sangat jelas diturunkan berkenaan dengan Ali yang menyedekahkan cincinnya ketika ia sedang ruku.45 Kata al Wali sebagaimana terdapat dalam ayat di atas, ditafsirkan berbeda oleh kalangan Sunni. Meski pada intinya ayat itu bercerita tentang kesalehan dan ketakwaan Ali, tetapi kata al-Wali, menurut Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al Munir, kata tersebut bukan merujuk pada Ali sebagai seorang individu. Tetapi, awliya Allah dalam ayat tersebut, memiliki 45
A. Syarafudin al-Musawi, Al-Muraja’at, (terj) Muhammad al Baqir, “Dialog Sunnah Syi’ah”, Bandung: Mizan, cet VII, 1994, hlm. 196,
59
keterkaitan dengan sifat-sifat yang ada dalam ayat tersebut, bukan lainnya. Adapun sifat tersebut antara lain orang yang mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan orang yang khusyu (beribadah) kepada Allah.46 Sementara, Thobathoba’i mengatakan bahwa ayat tersebut para mufasir Syi’ah mengambil kata ini dalam arti pokoknya yaitu al-awla atau al-ahaq yang berarti orang yang berhak untuk mengemban otoritas.47 Namun, al-wali seperti yang diterapkan pada Nabi Muhammad saw, mengandung arti seseorang yang memiliki wilayat al-tasharruf yang berarti pemilikan akan otoritas yang memberi wali hak untuk bertindak dengan cara apapun yang dinilainya paling baik menurut kearifannya, sebagai seorang wakil bebas dalam mengelola urusan-urusan umat.48 Wilayat al-tasharruf ini hanya bisa diemban oleh orang yang ditunjuk untuk ini oleh al-wali almuthlaq (otoritas Mutlak, Allah swt), atau oleh orang yang ditunjuk Nabi Muhammad saw dalam kedudukan al-wali al-niyabah (otoritas melalui perwakilan). Karenanya Imam yang ditunjuk oleh nash sebagai wali harus memiliki wilayat al-tasharruf dan diakui sebagai penguasa umat. Dengan demikian, tasharruf merupakan makna pokok dan essensial dari wilayat. Dalam mencari tema wilayat al-faqih, sebagaimana diketahui saat ini, tidak dapat ditemukan dalam sejarah awal Sy’ah Imamiyah. Karenanya pelacakan terhadap konsep ini dapat ditelusuri melalui konsep nuwwab (wakil Imam) dan kedudukan Faqih sebagai hakim (qadhi). 1). Nuwwab
46 47
Lihat dalam Wahbah Zuhaily, Tafsir al Munir, Beirut: Dar al Fikr, Juz 5, tt, hlm. 237. Thobathoba’I, Tafsir al-Mizan, Beirut: Muassasat al-A’lami lil Mathbu’at, 1991, hlm.
11-12. 48
Abdul Aziz Sachedina, op.cit., hlm. 166.
60
Imam (wakil Imam). Jabatan ini diciptakan dengan mendelegasikan sebagian kekuasaan Imam kepada mukallaf. Pendelegasian tersebut dapat dilakukan oleh Imam atau wakil dan pengakuan umat. Karena fungsi imamah tergantung pada imam itu sendiri, maka sebenarnya tidak ada jabatan tetap na’ib imam. Dalam artian, bahwa di sini tidak ada pembagian yang tetap terhadap tugas-tugas imam. Namun, ada empat bentuk na’ib Imam yang berfungsi dalam masyarakat Syi’ah. Pertama, wakil Imam yang merupakan wakil pribadi Imam dalam pengertian legalnya. Mereka memiliki tugas untuk menangani urusan finansial Imam. Kedua, na’ib khash. Mereka yang mendapat gelar nuwwab khashshah adalah sufara (duta besar) selama masa Gaib kecil imam kedua belas. Ketiga, na’ib ‘am. Jenis ini dipakai untuk ulama pada tiap-tiap masa yagn mencapai tingkat mujtahid dan ketika tidak ada ulama. Tugas mereka yang menjadi na’ib imam adalah dibatasi pada wilayat khashshah yang meliputi qadha (penilaian) masalah-masalah perwakilan. Keempat, na’ib fi umur al’ammah (wakil untuk urusan-urusan umum). Bentuk ini mencakup mujtahid yang mengklaim sebagai wakil umum atau diserahi sepenuhnya kekuasaan imam selama gaibnya imam.49 2). Faqih sebagai hakim: Kedudukan qadhi, dari sudut pandang Syi’ah Imamiah
49
Di antara bentuk-bentuk perwakilan sebelumnya, hanya jenis pertama dan kedua saja yang dapat ditemukan selama tahap yuridis pertama. Karya yuridis pada saat ini terutama berkenaan dengan Imam dan kemaksumannya, bukannya dengan para wakilnya yang harus melaksanakan fungsi-fungsi politik Imam. Kenyataannya, proses yuridis selama tahap tersebut seraya mempertahankan gagasan ghaybat, tidak memberikan konsep lain selain intizhar, selama hari-hari sesudah gaib besar. Ahmad Mousasawi, op.cit., hlm. 134.
61
tampaknya sudah kuat bagi para faqih. Imam memerintahkan para pengikutnya agar tidak menyampaikan perkara-perkara mereka kepada thaqhut (para penguasa yang zalim) melainkan agar mencari siapa saja yang meriwayatkan hadis-hadis Imam.50 Akar kepemimpinan inilah yang menjadi landasan bagi terciptanya konsep wilayat al-Faqih. Konsep ini sangat terkait erat dengan prinsipprinsip dasar yang terkait dengan pemikiran politik religius Syi’ah seperti kesetiaan, imamah dan taqlid. Namun, teori Imamah yang harus diwujudkan dalam era saat ini tentu berbeda dengan imamah pada masa-masa awal. Teori imamah mengatakan bahwa harus ada seorang Imam yang ada dalam masyarakat dan eksistensi mereka secara nyata berfungsi menjalankan roda masyarakat dan membimbing masyarakat menuju jalan yang benar.51 Karenanya, sejauh yang mereka khawatirkan, Imam yang berada dalam masa kegaiban tidak diketahui dan tidak diketahui apa yang menjadi gagasannya. Hal inilah yang menyebabkan kenapa dalam beberapa abad, situasi yang ada dalam komunitas Syi’ah, baik di kalangan sejarawan Syi’ah dan sejarawan
Islam
menggambarkan
masa
tersebut
sebagai
“masa
kebingungan” (the period of bewilderment). Selama masa inilah teori baru tentang imamah berkembang dalam komunitas Syi’ah. Substansi dari teori baru ini adalah mereka (komunitas Syi’ah) tidak membutuhkan Imam secara fisik di tengah-tengah masyarakat, cukup bagi Imam mengawasi masyarakat 50
Ahmad Muossawi, Ibid., hlm. 134. Abdul Karim Soroush, Mahdaviyat va Ehya-ye Din, (terj) Nilou Mubasser, “The Saviour and Religious Revival”, Journal Aftah No. 12, Januari-Februari, 2002. 51
62
dan melayaninya. Substansi inilah yang melahirkan ide tentang kegaiban Imam (the Hidden Imam). Saat Imam al-Mahdi berada pada kegaiban, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh faqih. Jadi seorang mujtahid atau faqih mempunyai hak memerintah sebagai wakil imam. Dalam urusan keagamaan dan sosial politik, hubungan rakyat dengan faqih didefinisikan oleh konsep taqlid, yaitu mematuhi faqih seolah-olah mematuhi imam. Konsep wilayat al-Faqih dengan demikian memiliki basis teoritis dari keinginan untuk menghadirkan pengganti Imam kedua belas saat ia berada pada kegaiban. Konsep ini bersandar pada beberapa pokok kepemimpinan yang menjadi dasar dalam konsep Islam. Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyyah) yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ialah nubuwwah. Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka.52 Faqih adalah Muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam Ilmu dan kesalehan. Seorang faqih disyaratkan harus mengetahui semua peraturan Allah, mampu membedakan sunnah yang sahih dan yang palsu yang mutlak dan terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan akalnya untuk membedakan hadis dari situasi lain, situasi
52
Jalaludin Rakhmat, “Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw.via al-Farabi hingga Ayatullah Khomeini”, op.cit., hlm. 15-17.
63
taqiyah atau bukan, serta memahami kriteria yang telah ditetapkan.53 Para faqih yang menjalankan kepemimpinan, tentu saja harus memiliki kualifikasi tertentu. Beberapa point penting yang harus dimiliki oleh faqih antara lain: pertama, faqahah yakni seorang faqih harus mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya. Kedua, ‘adalah yakni memperlihatkan ketinggian kepribadian dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukan dengan sifat istiqamah, al-shalah dan tadayyun. Ketiga, kafa’ah atau memiliki kemampuan untuk memimpin umat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaaan dan ruhani. 54 Menurut Imam Khomeini, prinsip fuqaha adalah pemegang amanat rasul. Dengan demikian, seluruh tugas-tugas yang diamanatkan kepada para nabi harus juga dipenuhi oleh fuqaha yang adil. Keadilan adalah konsep yang lebih luas dari amanat dan mungkin seseorang adalah amanat pada permasalahan finansial tetapi tidak adil.55 Jika Imam berkewajiban membimbing umat setelah berakhirnya proses penurunan wahyu atau setelah wafatnya Rasulullah, maka faqih memiliki kewajiban untuk membimbing umat setelah berakhirnya proses Imamah. Namun, faqih tidaklah memiliki keistimewaan seperti halnya Imam. Ia hanyalah memiliki otoritas yang pernah dipegang oleh Imam.
53
Jalaludin Rakhmat, Ibid. Jalaludin Rakhmat, Ibid. 55 Imam Khomeini, Islamic Government, (terj) Muhammad Anis Maulachela, “Sistem Pemerintahan Islam”, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002, hlm. 92-93. 54
64
Faqih sesungguhnya memiliki misi ketuhanan untuk mengatur sepenuhnya suatu pemerintahan yang didirikan secara khusus di atas hukum Islam. Mengingat beratnya beban yang diemban seorang faqih, maka kualifikasi untuk menjadi faqihpun sangatlah ketat. Selain bisa berbuat adil, faqih juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang hukum Islam. Selain itu faqih juga harus memiliki kemampuan administratif serta bisa mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan memiliki integritas yang tinggi. Selain kualifikasi yang diemban oleh calon faqih tugas lain yang harus diperhatikan aalah fungsi-fungsi keulamaan. Ain Najaf sebagaimana dikutip Jalaludin Rakhmat menulis ada enam tugas ulama. Pertama, tugas Intelektual (al-‘amal al-fikriy), kedua, tugas bimbingan keagamaan, ketiga, tugas komunikasi dengan umat (al Ittishal bil ummah), keempat, tugas menegakkan Syi’ar Islam, kelima, tugas mempertahankan hak-hak umat, keenam, tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.56 Wilayat al-Faqih menurut Imam Khomeini merupakan pemerintahan dan pengaturan negara serta pelaksanaan hukum syariat yang suci. Dan ini merupakan beban serta tugas yang berat dan sangatlah penting. Meski wilayat al-faqih yang adil sama dengan wilayah Nabi dan Imam, namun mereka berbeda dalam maqam atau kedudukannya. Yang menjadikan mereka sama adalah otoritas atau wewenangnya. Dengan kata lain, wilayat
56
Jalaludin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, 2003, Cet XI, hlm. 256-257.
65
sebagai bentuk pemerintahan dan pengaturan hukum sebenarnya bukanlah satu hal yang isimewa. Imam Khomeini menambahkan bahwa wilayat yang ditetapkan bagi Nabi dan para Imam dalam menegakkan pemerintahan, melaksanakan hukum dan mengatur urusan-urusan juga diperuntukkan bagi seorang faqih.57 Tetapi seorang faqih, tidak memiliki wilayah mutlak atas fuqaha lain yang hidup di zamannya, seperti menunjuk atau memberhentikan mereka. Tidak ada tingkatan hierarkis yang menunjukkan bahwa faqih yang satu lebih tinggi kedudukannya dari faqih yang memiliki wilayat lain.
57
Imam Khomeini, Islamic Government, Ibid., hlm. 69.
66
STRUKTUR KEKUASAAN DALAM KONSEP IMAMAH
ALLAH SWT
Pemegang Kekuasaan
Nabi
Ali Hasan Husein Ali Z. Abidin Muhammad al-Baqir Ja’far al-Sadiq Musa al-Kazim Ali al-Ridla Muhammad al-Jawwad Ali al-Hadi Al-Hasan al-Askari Muhammad al-Muntazar
Pemegang Kedaulatan
Usman ibn Said al Umari Muhammad ibn Usman Al-Hussein al-Khilani Ali ibn Muhammad al-Samiri
Perwakilan Umum
Umat
C.
Wilayat al-Faqih dalam Praktek Kenegaraan Iran Di Iran, konsep wilayat al-faqih dipopulerkan oleh Imam Khomeini, setelah ia berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza pada tahun
67
1979. Sistem wilayat al-faqih sebagai pemerintahan resmi Republik Islam Iran, termuat dalam pasal 5 Konstitusi Republik Islam Iran. Sistem ini sebenarnya telah lama dipublikasikan oleh Imam Khomeini, pemimpin besar Iran melalui ceramah-ceramahnya di berbagai mesjid, baik ketika ia berada di Iran maupun dalam pengasingan. Imam Khomeini bermaksud untuk mewujudkan Republik Islam Iran yang berdaulat dan menghargai kebebasan berpendapat rakyatnya. Sirkulasi elit, yang tercermin dalam sistem ini sebenarnya tidak lepas dari tujuan awal kemunculan sistem ini pada masa menjelang revolusi. Saat itu paling tidak ada dua tujuan politis yang ingin dicapai dengan menggiring isu wilayat al-faqih58. Pertama, para ulama yang menjadi motor penggerak revolusi itu sebenarnya menginginkan kembalinya peran strategis mereka di panggung pemerintahan, setelah sekian lama diberangus oleh Syah. Sumber tertinggi otoritas di Iran yang anggotanya mempunyai kekuasaan melebihi yang diberikan Syah dalam konstitusi 1906. Kedua, mereka menghadapi tekanan kuat untuk merancang sebuah republik yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Meskipun negara Iran bermaksud untuk menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, namun ada interpretasi menarik mengenai model kedaulatan rakyat ini. Kedaulatan rakyat yang dimaksud ini merupakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan. Disinilah menariknya gagasan mengenai wilayat al-Faqih tersebut. 58
Mohsen M. Milani, Partisipasi Politik di Iran Pascarevolusi, dalam John L Esposito (ed), Political Islam: Revolution, Radicalism or Reform?,(terj) Dina Mardiya, “Langkah Barat Menghadang Islam”, Yogyakarta: Jendela, 2004, hlm. 120.
68
Menurut Mohsen Millani terbatasnya kedaulatan rakyat tersebut didasarkan atas beberapa hal. Pertama, Konstitusi negara Iran menyatakan bahwa kedaulatan mutlak atas dunia adalah milik Tuhan. Hanya Tuhanlah yang menempatkan manusi untuk bertanggungjawab atas martabat sosialnya. Kedua, dalam konstitusi tersebut juga dijelaskan, bahwasanya kekuasaan yang menjadi hakikat dari kedaulatan rakyat bersumber dari Tuhan menuju Faqih dan akhirnya sampai pada manusia. Ketiga, pada pasal 6-8 ditetapkan bahwa urusan negara harus dijalankan berdasarkan pendapat masyarakat yang diungkapkan melalui pemilihan umum atau referendum dan memberikan hak untuk memilih presiden dan anggota majelis kepada masyarakat. pada saat yang sama, faqih yang menjadi anggota tanpa dipilih dan dewan pelindung diberi wewenang untuk menolak mandat calon presiden dan anggota majelis. Lebih lanjut, dewan pelindung memiliki veto atas semua ketetapan majelis. Keempat, kekuasaan presiden dibatasi karena faqih adalah komandan angkatan bersenjata dan menjatuhkan presiden. Kelima, walaupun konstitusi memberikan pelbagai kebebasan, termasuk kebebasan pers dan berserikat, konstitusi juga membatasi mereka jika dianggap berseberangan dengan Islam dan Republik.59 Karenanya, banyak yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan di Iran saat ini merupakan reinkarnasi dari konsep klasik teologi politik Syi`ah yang dikombinasikan dengan sistem pemerintahan modern. Hal ini, diakui sendiri oleh Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani. Seraya bertanya ia
59
Mohsen Millani, Ibid.
69
mengungkapkan “Di mana anda dapat menemukan parlemen, Presiden, dan Perdana Menteri dalam sejarah Islam? Delapan puluh persen yang kita miliki sekarang tidak memiliki preseden dalam sejarah Islam”.60 Melalui
wilayat
al-faqih,
Ayatullah
Khomeini
bermaksud
menjembatani doktrin politik Syi`ah dengan tradisi demokrasi. Ada yang mengatakan konsep ini cukup ideal karena berhasil menggabungkan doktrin politik klasik dengan iklim demokrasi. Bentuk negara Republik, multipartai dan pelaksanaan Pemilu merupakan bentuk implementasi dari nilai demokrasi yang dibingkai dalam form Islam. Dalam
konteks
kekuatan
politik,
Republik
Islam
Iran
menyandarkannya pada tiga pilar penting yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh tiga lembaga yakni pertama, Majlis e-Islami (Islamic Consultative Assembly, Majelis Konsultasi Islam selanjutnya disebut Majelis). Majelis yang berfungsi sebagai parlemen terdiri dari 270 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Golongan minoritas masing-masihng mendapat satu anggota di Majelis. Pemilihan legislatif terakhir kali dilaksanakan pada tanggal 20 Pebruari 2004 yang dimenangkan kubu konservatif secara mutlak. Mereka berhasil menguasai 120 kursi parlemen. Sementara kubu reformis, hanya menguasai 40 kursi. Padahal pada pemilu sebelumnya kubu reformis mampu menguasai 190 kursi. 60
Mohsen Millani, Ibid.
70
Tetapi, kemenangan kubu konservatif itu tidak diimbangi dengan partisipasi rakyat yang cukup tinggi dalam menenetukan arah kebijakan pemerintah Iran. Kegetiran itu menunjukan bahwa pemilu legislatif hanya diikuti oleh sekitar 50,57 % rakyat Iran yang berhak memberikan suara. Jumlah peserta Pemilu tersebut merupakan jumlah pemilih terendah sejak revolusi Iran tahun 1979. Usut punya usut, salah satu penyebab minimnya jumlah rakyat Iran yang memilih, dikarenakan manuver kubu konservatif—melalui Dewan Garda Konstitusi—yang melakukan penjegalan terhadap para caleg dari kubu reformis. Dari jumlah 8144 caleg yang mendaftar, Dewan Garda mencoret 2517 caleg termasuk 80 mantan anggota legislatif kubu reformis. Mengantisipasi pemboikotan Pemilu, tidak sedikit kotak-kotak suara ditempatkan di area-area kuburan, karena pada hari Jumat tradisi rakyat Iran menziarahi kuburan.61 Kedua, Shuraye-Nigahban (Dewan Perwalian) Berbeda dengan Majelis, Dewan Perwalian mempunyai fungsi legislasi yang terbatas. Dewan perwalian yang beranggotakan 12 orang yang
terdiri dari enam orang
fuqaha yang diangkat oleh Imam atau Dewan Kwimanan dan enam ahli hukum yang mahir dalam berbagai cabang hukum di antara para ahli hukum muslimi ynag diperkenalkan kepada Majelis oleh Dewan Kehakiman tertinggi (Shuraye A’li-ye Qazaii). Keenam ahli hukum itu diangkat oleh Majelis. 61
M. Guntur Romli, Pemilu Iran dan Dilema Demokrasi Agama, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Mesir: Buletin Tanwirul Afkar, Edisi 13, 2004.
71
Ketiga, Majelis-e Khubreqan (Majelis Ahli). Seperti halnya Dewan Perwalian, Majelis Ahli memiliki fungsi yang terbatas, namun cukup menentukan.
Majelis
Ahli
berfungsi
untuk
memilih
dan
atau
memberhentikan seorang pemimpin (Imam). Majelis Ahli beranggotakan 73 Ulama senior yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Sementara dalam kekuasaan eksekutif, kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden. Berdasarkan pasal 113 Undang-undang Dasar disebutkan bahwa Presiden bertanggungjawab dalam penerapan Undang-undang Dasar, pengaturan ketiga cabang kekuasaan dan meimpin cabang eksekutif kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggungjawab Imam atau pemimpin spiritual. Presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan dipilih melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan lagi secara berurutan. Kekuasaan yudikatif yang terdiri dari Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan rendah. Lembaga peradilan harus merupakan kekuatan yang independen, membela dan melindungi hak-hak individu dan social rakyat.62
62
Selain kekuasaan di tiga pilar tersebut, terdapat berbagai macam instrumen pemerintahan yang biasa dikenal dalam system pemerintahan suatu negeara, di Iran terdapat beberapa Dewan yang menjadi cirri keunikan pemerintahan revolusioner yang sangat berperan dan berpengaruh yakni Majelis Ulama yang terdiri dari 80 Ulama pilihan yang bertanggungjawab dalam hal-hal utama seperti melaksanakan revisi terhadap UU Dasar 1979 serta memilih pengganti atau penerus Khomeini. Kedua, Dewan Penjaga Konstitusi yang terdiri dari 12 anggota bergugas melakukan penyaringan dan memodifikasi semua Undang-undang dari Majelis sebelum diteruskan ke Faqih. Ketiga, Dewan Revolusi yang bertugas mengatur Pasukan Pengawal Revolusi atau Pasdaran. Keempat, sebagai tambahan dari seksi Dewan Militer Revolusi, dibentuklah seksi sosial politik dan ekonomi yang dihubungkan dengan masjid yang tersebar di seluruh Iran. Kelima, para pemimpin agama yang ditempatkan di masjid-masjid berfungsi sebagai Administrator Lokal. Selengkapnya lihat dalam Noor Arif Maulana, Revolusi Islam Iran dan Realisasi Vilayat-I Faqih, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2003, hlm. 175-177
72
Meski wilayat al-Faqih diproyeksikan untuk memadukan pemikiran keagamaan dan sistem politik modern, tetapi bukan berarti idealitas tersebut merembet pada dataran realitas. Satu contoh yang bisa kita ambil adalah betapa kecilnya partisipasi politik warga Iran pada pemilu legislatif 2004. Sedikitnya jumlah pemilih menjadi cermin betapa rakyat cukup kesal terhadap sistem politik negara Iran yang tidak memberikan ruang bagi tersalurkannya aspirasi rakyat. Seperti yang diketahui, meski negara Iran berbentuk republik yang memiliki presiden dan parlemen, serta dipilih langsung oleh rakyat, tetapi kekuasaan presiden dan parlemen di bawah kekuasaan Pemimpin Spiritual (walî faqîh) dan Dewan Penjaga Konstitusi (Majlis li Siyânah al-Dustûr). Pemimpin spiritual memiliki kekuasaan yang mutlak dan tidak terbatas. Sedangkan Dewan Garda sebagai tangan panjang pemimpin spiritual memiliki hak untuk menyeleksi caleg/capres dan menjaga UU revolusi Iran sentuhan reformasi. Dari sini, memang kerumitan sistem politik itu cukup kentara terlihat. Meski rakyat berhak memilih presiden dan wakil presiden serta wakilnya di legislatif, tetapi ihwal siapa yang berhak dipilih, semuanya ditentukan oleh wali faqih dan dewan garda tersebut. Tentu saja keputusan tersebut tidak lepas dari tarik menarik kepentingan antara kubu konservatif dan reformis. Di sinilah bisa dikatakan bahwa demokrasi memiliki ambivalensi. Saat pemilu legislatif bergulir pada 2004, presiden Mohammed Khatami yang berasal dari kubu reformsi, tidak bisa melepaskan diri dari kepungan anggota legislatif, terutama dari konservatif yang menguasai
73
hampir 75% dari kursi yang tersedia. Selain tentu saja karena faktor sistem politik (baca: wilayat al-faqih) yang membuat proses demokratisasi menjadi tersendat. Musthafa Abd. Rahman, dalam bukunya "Iran Pasca Revolusi" mengatakan bahwa sebuah paradigma politik dilematis sedang terjadi di Iran saat ini, bahkan paling rumit sejak revolusi 1979. Di satu sisi rakyat Iran menuntut reformasi, namun di sisi lain perangkat-perangkat negara belum siap menciptakan kondisi yang kondusif bagi bergulirnya arus reformasi itu.63 Dan semuanya itu sebenarnya berakar pada sistem pemerintahan (baca: wilayat al-faqih) yang masih diliputi perdebatan yang cukup rumit. Ada gambaran cukup menarik untuk menggambarkan hal ini. Mohammed Khatami sebagaimana dikutip Musthafa Abd. Rahman, menekankan pentingya kedaulatan rakyat dalam sebuah system pemerintahan. Ia mengatakan bahwa presiden haruslah bertanggungjawab kepada majles yang menjadi manifestasi kedaulatan rakyat.64 Ungkapan ini sebenarnya adalah bentuk kritiknya terhadap konsep wilayat al-faqih yang mengharuskan presiden bertanggungjawab kepada faqih, bukan rakyat. Pernyataan
Khatami
tersebut,
sebenarnya
sudah
cukup
lama
disuarakan para cendekiawan muslim liberal Iran. Salah satunya adalah Abdolkarim Soroush. Ia mengatakan bahwa bentuk pemerintahan wilayat al-
63
Musthafa Abd. Rahman, Iran Pasca Revolusi: Fenomena Pertarungan Kubu Reformis dan Konservatif, Jakarta: Kompas 2003, hlm. 98. 64 Musthafa Abd. Rahman, Ibid., hlm. xxi-xxii
74
faqih adalah anakronisme.65 Tak hanya itu ia mengatakan bahwa sesungguhnya konsep wilayat al-faqih, tidak selaras dengan asas demokrasi. Meskipun demikian, Soroush menolak untuk dikatakan sebagai hakim yang baik bagi pemikirannya. Ia mengatakan, “I’m not a good judge for my own ideas”.66 Gelora reformasi yang disuarakan oleh Khatami dan Soroush sudah pasti mendapatkan reaksi yang cukup keras dari kelompok Mullah. Kaum mullah dan fakih mengatakan bahwa para penentang konsep wilayat al-faqih adalah orang-orang murtad, karena telah menyimpang dari konsep yang telah dirumuskan Ayatullah Khomeini. Ayatullah Mohammad Reza Mahdavi-Kani
dengan
keras
menentang
Khatami,
yang
berusaha
menundukan otoritas Ulama ke bawah pangkuan kedaulatan rakyat. Seperti yang dikuti Musthafa Abd. Rahman, Mahdavi-Kani mengatakan “Awas dan hati-hatilah ketika mereka berani berkata bahwa legitimasi wilayat al-faqih harus berdasarkan tuntutan dan mandat rakyat, sehingga tak satu pun yang tersisa. Adalah bodoh membiarkan penyimpangan ini atas nama kebebasan”.67 Gambaran di atas merupakan fenomena mutakhir yang berkembang di Iran saat ini. Ada pertarungan antara kubu reformis dan konservatif dan tafsir yang beragam atas konsep wilayat al-faqih. Satu lagi yang tak kalah
65
Elaborasi mengenai pemikiran Abdul Karim Soroush selengkapnya pada bab III , terutama dalam sub bab Anakronisme Wilayat al-Faqih. 66 Abdul Karim Soroush, Democracy and Rationality, Shargh Newspaper, 2003. 67 Musthafa Abd. Rahman, op.cit., hlm. xxii.
75
menarik untuk diperbincangkan adalah pasang surutnya hubungan Iran dengan Amerika. Isu tentang hubungan Iran dan Amerika mencuat ke permukaan saat Mahmoud Ahmadinejad terpilih sebagai presiden Iran pada 17 Juni 2005 lalu. Seperti yang dikutip oleh harian Mehran times, Ahmadinejad mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Iran akan ia bangun diatas prinsip keadilan, perdamaian dan solidaritas. Ketika ditanya hubungan dengan Amerika, ia mengatakan, "We are willing to develop relations with all nations based on justice and mutual respect”.68 Hanya saja sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak lama hubungan Iran dan Amerika mengalami pasang surut. Ini tak lain akibat kengototan pemerintah Iran untuk tetap melanjutkan program nuklirnya. Sementara Amerika mengkhawatirkan program yang dilaksanakan oleh pemerintah Iran ini akan digunakan sebagai alat untuk bertempur. Dan sepertinya pemerintah Ahmadinejad yang mulai bekerja Agustus nanti, tetap akan melanjutkan program ini. Ia mengatakan bahwa program nuklir diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi Iran.69 Hubungan Iran Amerika yang tak menentu ini nampaknya akan semakin tidak keruan, melihat begitu akomodatifnya pihak Rusia. Ketika memberikan ucapan selamat kepada Ahmadinejad, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, Moskow akan terus meningkatkan hubungan nuklir dengan kepemimpinan baru negeri itu. Menurutnya, kontak 68
Seperti dikutip oleh Mehr News pada tanggal 26 Juni 2005, atau lihat dalam http://www.mehrnews.ir/en/NewsDetail.aspx?NewsID=200058 69 Mehrnews, Ibid.
76
Rusia dengan Iran -- termasuk pembangunan fasilitas nuklir Busher -- sejauh ini membuat marah Washington, yang mengatakan Teheran dapat menggunakan ilmu pengetahuan Moskow bagi pengembangan senjata atom. Untuk membuat dunia lebih yakin dengan program nuklir Iran, Putin menegaskan bahwa Iran membangun program nuklirnya dengan maksud damai. Moskow dan Teheran, yang hubungan nuklirnya sudah terjalin sejak awal 1990-an, menandatangai kesepakatan pasokan bahan bakar awal tahun ini yang melicinkan jalan bagi Busher untuk memulai kegiatannya pada akhir 2006. Dari sini sebenarnya sulit untuk mengatakan bahwa hubungan Iran dan AS akan segera membaik dalam waktu dekat. Apalagi kemudian melihat kenyataan bahwa Kremlin terus menerus merapat ke Teheran. Dalam konteks percaturan politik global, hal ini memang sudah lumrah dan menjadi semacam menu utama hidangan politik dunia. Dampaknya hingga saat ini, rakyat Iran masih selalu mengobarkan kebencian terhadap Amerika. Terbukti ketika para calon pemilih menunggu gilirannya, mereka bersuara lantang, “Hancurlah Amerika”.70 Hemat penulis apa yang menyebabkan rakyat Iran begitu benci kepada Amerika adalah karena dominasi AS yang datang ke Timur Tengah (baca Iran) dengan hasrat yang tinggi untuk menguasai minyak mentah dan gas alam di kawasan itu. Tak jarang pemerintah AS turut intervensi terhadap
70
Kompas, 25 Juni 2005.
77
kebijakan negara Iran, untuk mewujudkan keinginannya itu. Salah satunya kebijakan tentang program nuklir itu. Dengan demikian, apa yang membuat rakyat Iran marah kepada pemerintah AS lebih karena didasarkan pada persoalan politik dan kebijakan luar negerinya yang cenderung imperatif-totalitarian. Bahkan, bila perlu pemerintah AS menggunakan kekuatan bersenjata untuk menghalalu lawan politknya. Atas dasar inilah AS melakukan penyerangan terhadap Irak semasa negara tetangga Iran itu dipimpin oleh Saddam Hussein. Lalu bagaimanakah respon rakyat Iran terhadap produk pemikiran AS, semisal pluralisme, penegakan HAM, demokrasi, sekularisme dan lainlain. Apakah juga ada kecenderungan yang sama ketika mereka melihat AS dari sisi politik?. Untuk menjawab pertanyaan ini memang membutuhkan kehatihatian. Karena apa yang dituliskan sebenarnya belum bisa mewakili kecenderungan umum masyarakat Iran terhadap produk pemikiran yang berkembang di AS. Yang jelas gelombang Anti-Amerika di Iran bukanlah dipicu oleh kebencian terhadap freedom of speech, freedom of expression yang dulu digagas oleh Abraham Lincoln. Juga bukan kebencian terhadap model pemerintahan demokrasi yang mensubordinatkan kedaulatan Tuhan. Fenomena ini pernah ditunjukan dengan baik oleh presiden Muhammed Khatami ketika terjadi gelombang demonstrasi yang cukup besar menuntut pengunduran dirinya di tahun 2003. Sebagai presiden yang dipilih langsung oleh rakyat ia merasa bertanggungjawab penuh kepada
78
rakyat. Dan kapanpun rakyat bisa menurunkannya. Dalam satu kesempatan, Khatami menyatakan akan mengundurkan diri bila memang rakyat tidak menghendaki lagi. Saat itu ia mengatakan "Kita semua bukanlah penguasa atas rakyat, melainkan abdi negara. Bila mereka mengatakan, kami tidak menghendaki Anda lagi, maka kita akan mundur".71 Ungkapan Khatami ini sekaligus menjadi pertanda bahwa dalam batas-batas tertentu, Iran sebenarnya sedang mempraktekan sistem sosial yang juga berkembang di AS. Kenyataan ini bertambah kuat manakala kita menyaksikan begitu hebatnya dinamika pemikiran keagamaan yang berkembang di Iran. Persoalan lain yang menjadi penting untuk diperhatikan dalam dinamika pemerintahan Iran adalah isu tentang gender. Di Iran, salah satu majalah wanita terkemuka adalah Zanan (perempuan). Majalah ini sangat aktif mebahas peran dan hak wanita Iran yang mereka pandang sangat terpojokkan oleh sikap politik kaum Mullah Konservatif.72 Sebagaimana dikutip oleh Bambang Cipto, dalam penerbitan perdananya pada tahun 1991 majalah ini menyoroti secara kritis nasib getir kaum perempuan Iran. Dalam majalah itu disebutkan Kami yakin bahwa solusi terhadap persoalan perempuan tergantung pada empat bidang: agama, budaya, hukum dan pendidikan. atas nama agama mereka (kaum Mullah Konservatif) menginginkan agar kami kaum perempuan tetap bersembunyi di rumah agar
71
72
Kompas, 13 Juli 2003.
Lihat dalam Bambang Cipto, Dinamika Politik Iran: Puritanisme Ulama, Proses Demokratisasi dan Fenomena Khatami, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 82.
79
mereka tetap yakin bahwa perempuan tidak lebih dari sekadar alat reproduksi biologis…perempuan tidak membutuhkan ilmu, kesadaran dan partisipasi sosial… Dalam budaya kita, perempuan dianggap sebagai jenis kelamin kedua yang tidak memiliki kepribadian tanpa kehadiran suami dan hanya memiliki kehormatan semata-mata karena mereka memberikan anak bagi suaminya. Pendidikan adalha salah satu dasar bagi pembentukan kesadaran perempuan dan akan membuka jalan bagi perempuan untuk menemukan diri mereka.73 Menurut Mehrzad Boroujerdi, ada beberapa point yang menjadi pertanyaan besar dalam dinamika politik Iran pasca Revolusi. Terma yang patut menjadi bahan refleksi menurut Boroujerdi adalah terkait dengan Demokrasi, Epistemologi dan Interpretasi terhadap Islam, Islam dan Ideologi, Islam dan Modernitas, Islam dan Barat, Pluralisme, Agama dan Tekhnologi serta relasi antara Hak dan Kebebasan.74 Apa yang menjadi pengalaman di negeri Iran, memang menjadikan posisi wilayat al-Faqih sangat dilematis. Alih-alih berhasil memadukan suara rakyat dengan suara Tuhan, wilayat al-faqih justru membuat dua kedaulatan itu saling bertarung. Akibatnya posisi demokrasi berada pada ruang yang sangat sempit untuk diaplikasikan, karena berhadapan dengan supremasi Tuhan yang diwakili oleh suara agama melalui gaungan oleh para faqih.
73
Bambang Cipto, Ibid. Mehrzad Boroujerdi, “The Paradoxes of Politics in Post-Revolutionary Iran”, dalam John L. Esposito and R.K. Ramazani, Iran at the Crossroads, New York: 2001, hlm. 13-27. 74
80
Eksperimentasi wilayat al-faqih itulah yang juga membuat perpolitikan di Iran memasuki masa kelam. Otoritas para faqih mengakibatkan ulama yang memiliki kapasitas di luar itu tidak bisa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan hukum maupun politik. Apalagi kekuasaan faqih yang ternyata diperluas tidak hanya sebatas pengawasan dan memberikan nasihat.
Tetapi para faqih juga turut campur dalam persoalan eksekusi
kebijakan sosial politik yang sebelumnya jelas-jelas menjadi tanggung jawab eksekutif. Pengalaman penerapan doktrin wilayat al-faqih di Iran, menjadi sinyalemen akan usangnya doktrin politik Islam. Imamah, Khilafah, dan Daulah Islamiyyah, dalam batas-batas tertentu, sepertinya sudah tidak lagi sesuai dengan agenda demokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat dunia saat ini. Karena bagaimanapun juga demokrasi sangat terkait dengan upaya penghargaan yang luas terhadap pluralisme, kesetaraan, emansipatoris dan kebebasan berpendapat. Doktrin
politik
Syi`ah
yang
menyebutkan
pemimpin
hanya
diperbolehkan jika berasal dari kerabat Nabi Muhammad jelas menyalahi logika politik yang saat ini berkembang. Kualifikasi pemimpin yang baik saat ini bukan didasarkan pada model kekerabatan. Tetapi persoalan yang paling essensial dalam menentukan figur pemimpin adalah sejauhmana ia memiliki visi humanis, berkeadilan dan aspiratif. Inilah yang menyebabkan doktrin politik Syi`ah terlihat eksklusif. Persoalan bertambah pelik manakala kita memperdebatkan siapa yang harus
81
menjadi Imam ketika menunggu kehadiran Imam kedua belas yang entah berada dimana. Dan bagaimanakah kualifikasinya. Siapa pula yang berhak menentukan dan menunjuk ulama pengganti Imam tersebut. Penulis melihat justru perdebatan akan semakin tidak menentu dan menjurus pada truth claim. Tak hanya dalam tradisi politik Syi`ah, masalah juga menggelayut dalam pemikiran politik Sunni. Konsep Khilafah Islamiyyah yang digadanggadang bisa menjadi solusi atas semua problem juga pada prakteknya tidak lepas dari berbagai persoalan. Bahkan pada awal penerapan konsep Khilafah, tiga kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yang dianggap konsep ideal, ternyata berakhir dengan pembunuhan ketiganya. Ini membuktikan bahwa Khilafah juga tidak lepas dari keterbatasankerterbatasan. Mereka yang saat ini menginginkan tegaknya Khilafah sebenarnya sedang beromantisme dengan idealitas masa lalu, tapi tidak diimbangi dengan pembacaan yang kritis atas sirah para sahabat. Dari sini, umat Islam seharusnya sadar dan tidak terjebak dalam romantisme sejarah masa lalu. Konsep politik Islam klasik baik Imamah yang berasal dari Syi`ah maupun Khilafah yang sering didengungdengungkan penganut madzhab Sunni, sudah selayaknya dilihat dan diletakan pada porsi yang tepat. Keduanya merupakan doktrin yang ideal pada zamannya. Dan belum tentu relevan jika dipraktekan pada saat ini. Penulis agak tertarik dengan gagasan Soroush tentang kepemimpinan dalam masyarakat agamis. Menurutnya saat ini kita memerlukan orang yang
82
dapat mengajarkan kita tentang agama yang bisa eksis di dunia modern.75 Dan orang yang mampu melaksanakan fungsi itu, bukanlah seorang faqih juga bukan teolog. Dia adalah seorang yang memiliki kapasitas setara dengan ilmuwan. Melalui keramahan yang ia tunjukan kepada orang yang berada di sekitarnya, di adapat menagajak orang lain ke dalam pencerahan dan mengajarinya moralitas serta akhlak. Religiusitas modern akan terlahir dari cahaya yang dipancarkan oleh “wali” baru ini.76
D.
Letak Kedaulatan: Antara Tuhan dan Manusia Akbar S. Ahmed dalam bukunya “Islam Under Siege; Living Dangerously in a Post-Honor World” mengungkapkan bahwa di dunia Islam, saat
ini
ada
empat
karakteristik
mendasar
dari
konsepsi
kepemimpinan.77 Kategori kepemimpinan muslim pertama adalah penguasapenguasa Muslim. Mereka tujuan mengembalikan iman dan praktik Islam. Mereka bereaksi terhadap kebencian masyarakat Internasional dan karenanya mendukung hiper-‘ashabiyyah. Iran adalah negara yang bisa merepresentasikan model ini. Kategori pemimpin yang kedua adalah penguasa militer (Jenderal Zia Ul Haq di Pakistan dan Saddam Husein di Irak) juga monarki. Di banyak negara dengan kategori pemimpin seperti ini, struktur-struktur kesukuan yang masih berlaku menjadi tulang punggung bagi struktur-struktur negara.
75
Abdul Karim Soroush, Mahdaviyat va Ehya-ye Din, op.cit. Abdul Karim Soroush, Mahdaviyat va Ehya-ye Din, Ibid. 77 Akbar S. Ahmed, Islam Under Siege: Living Dangerously in a Post-Honor World, (terj) Agung Prihantoro, “Islam Sebagai Tertuduh: Kambing Hitam di Tengah Kekerasan Global”, Bandung: Arasy, 2004, hlm. 172-178. 76
83
Maka setelah menguasai negara, klan kesukuan yang masih dominan menjadi penguasa istana, pejabat senior dan pengusaha.78 Sementara kategori ketiga dari model kepemimpinan di dunia muslim saat ini adalah pemimpin sosialis/komunis. Daya tariknya adalah pada retorika tentang kepedulian mereka terhadap masyarakat miskin. Di Irak dan Suriah, dictator-diktator brutal, dengan sedikit kebajikan dan keadilan Islam, menyandarkan kekuasaan mereka pada polisi rahasia. Setelah perang dingin, kepemimpinan jenis ini memiliki daya topang atau daya tarik yang tidaklah terlalu besar. Kategori yang terakhir adalah pemimpin demokratis, yang barangkali biasa dipraktekan oleh pemimpin yang ada di Mesir, Turki dan Bangladesh atau Pakistan. Negara-negara ini menyelenggarakan pemilihan, meskipun juga memiliki sejarah dalam memberlakukan hukum darurat perang semasa krisis. Hemat penulis pandangan yang ditawarkan oleh Akbar tersebut sebenarnya bisa kita jadikan sebagai starting point untuk melihat di mana sebenarnya letak kedaulatan. Tetapi dalam konteks ini penulis mencoba melihat letak kedaulatan sebagai jalan untuk memahami bagaimana 78
Kepemimpinan model monarchiredites sebenarnya patut menjadi sorotan. Ini tak lain karena biasanya dalam sistem pemerintahan ini, demokrasi sulit untuk bernafas. Keputusan atau kebijakan semuanya terpusat dan diputuskan oleh negara. Tidak ada suara lain yang bisa seenaknya bergema selain suara penguasa. Tafsir atas doktrin keagamaan didesain sama dan hanya tafsiran sang penguasalah yang paling absah. Arab Saudi, dalam pandangan saya sangat tepat untuk menggambarkan situasi seperti ini. Apalagi sejak kongkalikong Muhammad Ibn Saud yang penguasa dengan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1703-1783) yang berakhir dengan dijadikannya Wahabisme sebagai ideologi negara. Ibn Abd Wahhab adalah salah satu dari sekian banyak pemikir yang berjasa bagi gerakan revivalis khususnya menyediakan konteks bagi perkembangan Islamisme di Timur Tengah abad ke 18. Lihat dalam Tedi Kholiludin, Gelombang Neo Wahabisme, Jurnal Justisia edisi 28, 2005, hlm. 2-8.
84
sebenarnya konsep kedaulatan yang ada di Iran melalui sistem wilayat alfaqih yang mereka praktekan. Pertanyaan pertama yang dikemukakan tentang kedaulatan adalah dari mana sumber kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah itu berasal. Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata seperti sovereignty, souverainete, sovereigniteit, souvereyn, sperenus dan lain-lain. Kata tersebut menunjuk pada pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari suatu negara. Kedaulatan juga bisa disebut sebagai konsep kekuasaan absolut atau kekuasaan paling tinggi dalam sebuah negara.79 Kata kedaulatan itu sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dala, yadulu daulatan atau dalam bentuk jamak duwal yang asal maknanya adalah perubahan atau pergantian. Selain itu istilah daulat juga dipergunakan secara histories untuk pengertian “dinasti” atau kurun waktu kekuasaan. Dalam buku-buku sejarah seringkali kita temukan adanya Daulat Bani Umayah, Daulat Bani Abasiyah atau Daulat Bani Fatimiyah. Dengan kata lain, pengertian kedaulatan sebenarnya menunjuk kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Persoalannya, darimanakah sumber kedaulatan itu? Ada beberapa teori yang bisa menjawab pertanyaan ini. Pertama, Kedaulatan Tuhan. Teori ini merupakan teori yang paling tua dilihat dari sisi kemunculannya. Inti dari teori ini adalah bahwa kekuasan pemerintahan itu dimiliki oleh Tuhan atau ada pada Tuhan. 79
M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 101.
85
Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan antara abad 5 M sampai abad 15 M.80 Dalam perkembangannya, teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama baru yang timbul pada saat itu yaitu agama Kristen yang kemudian diorganisir dalam suatu prganisasi keagamaan yaitu gereja dan dikepalai seorang Paus. Dalam paham ini sering kita
temukan
adanya
pemerintah
yang
sering
bertindak
dengan
mengatasnamakan Tuhan. Pada perkembangannya, teori kedaulatan ini dapat kita temukan dalam negara yang mengembangkan sistem pemerintahan teokratis. Namun, penganut teokrasi sekalipun berbeda pendapat tentang hal ini. Meski penganut teokrasi ini percaya bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi adalah Tuhan, tetapi ketika berbicara siapa wakil Tuhan di muka bumi, maka munculah banyak pendapat tentang hal ini. Kelompok pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa yang mewakili Tuhan adalah Paus. Penganut pendapat ini adalah Agustinus. Sementara kelompok kedua adalah yang mengatakan bahwa kekuasaan raja dan Paus adalah sama, hanya tugasnya saja yang berlainan, raja dalam lapangan keduniawian sementara Paus dalam lapangan keagamaan. Penganut teori ini adalah Thomas Aquinas. Dan kelompok terakhir adalah mereka yang berpendapat bahwa raja itu adalah wakil Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia.
80
M. Hasbi Amirudin, Ibid., hlm. 103.
86
Dalam perkembagannya, raja-raja tersebut seringkali bertindak dan berkehendak apa saja karena mereka merasa itu semua dikehendaki Tuhan. Bahkan raja tak jarang menetapkan agama dan kepercayaan yang harus dianut oleh rakyat atau warganya. Ajaran ini dikembangkan oelh Marsilius.81 Dalam konstitusi Argentina disebutkan bahwa Tuhan sebagai “sumber atas semua alas an dan keadilan”. Sementara dalam konstitusi Jerman disebutkan bahwa “kesadaran terhadap tangggungjawab di hadapan Tuhan dan manusia”.82 Ini membuktikan bahwa di era modern, klaim yang mengatasnamakan Tuhan masih dipegang oleh beberapa negara. Kedua, teori kedaulatan raja. Teori tentang kedaulatan raja merupakan kelanjuutan dari teori tentang kekuasaan tertinggi gereja yang setelah abad pertengahan mulai tidak diminati lagi. Ajaran Nicolo Machiavelli diakui atau tidak, memberikan inspirasi bagi berkembangya teori tentang kedaulatan raja ini. Nicolo Machiavelli mengembangkan ajaran bahwa negara
bertujuan
untuk
mengusahakan
terselenggaranya
ketertiban,
keamanan dan ketentraman.83 Dan ini hanya dapat dicapai oleh pemerintah yang memiliki kekuasaan serta menghimpun kekuasaan yang sebesarbesarnya berada di tangan raja.
81
M. Hasbi Amirudin, Ibid., 104-105. Sebagaimana dikutip oleh John Markoff, Waves of Democracy, Social Movements and Political Change, (terj) Ari Setyaningrum, “Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan CCCS, 2002, hlm. 29. 83 M. Hasbi Amirudin, Ibid. 82
87
Ketiga, teori kedaulatan negara. Teori ini memandang bahwa negara berdaulat karena ada negara. Jadi sumber kedaulatan adalha negara itu sendiri. Karen ada negara maka ada kekuasaan yang diperoleh oleh pemintah dari negara itu.84 Dalam teori ini disebutkan bahwa negaralah yang menentukan huum dan ketaatan rakyat termasuk rajanya kepaa hukum, karena hukum itu merupakan kehendak negara. Keempat,
teori
kedaulatan
Hukum.
Teori
kedaulatan
hukum
mengemukakan bahwa supremasi tertinggi ada dalam hukum. Hukum merupakan
penjelmaan
dari
kemauan
negara
akan
tetapi
dalam
keanggotaannya, negara sendiri tunduk kepada hukum yang dibuatnya. Semua kegiatan lembaga kenegaraan haruslah tunduk, dibatasi dan berdasarkan hukum. Kelima, teori kedaulatan rakyat. Menurut teori ini, negara memperoleh kekuasaan
dari
rakyatnya
bukan
dari
Tuhan
atau
raja.
Dalam
pelasksanaannya, lembaga pemerintahan harus berpiojak pada keinginan rakyat. Dalam ilmu politik kita kenal istilah social contract. Ini artinya bahwa jika dalam menjalankan tugasnya pemerintah itu bertindak tidak sesuai dengan kesepakatan, maka pemrintah bisa digugat oleh rakyatnya. Lima teori yang berkembang di atas juga dapat kita temukan dalam literatur-literatur Islam. Teori tentang kedaulatan Tuhan misalnya dapat kita temukan dalam sejarah politik Islam pada masa Bani Abasiyah. Di masa
84
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm. 67.
88
kontemporer, teori ini dipegang oleh Imam Khomeini ketika menetapkan wilayat al-Faqih sebagai sistem pemerintahan Iran. Sementara teori kedaulatan rakyat pernah diajukan oleh Ibnu Sina yang berpendapat bahwa pemilihan kepala negara bisa dijalankan dengan dua cara yaitu 1) dengan pencalonan dari kepala negara yang sebelumnya 2) dengan pilihan oleh para elit yang dipercayai oleh rakyat.85 Gambaran ini menunjukan bahwa ada keinginan untuk mengalihkan kekuasaan ke tangan rakyat. Pertanyaan kita kemudian adalah kedaulatan manakah yang paling benar dan model kedaulatan apa yang saat ini dijalankan oleh pemerintahan Iran? Benarkah semuanya adalah milik Tuhan dan menegasikan adanya titipan kedaulatan yang diperuntukan bagi rakyat. Jika pertanyaan yang diajukan adalah tentang kebenaran dari teori kedaulatan itu, maka jawabannya tentu semua teori itu bisa benar karena memang berangkat dari gagasan maupun dari realitas. Begitu juga ketika kita ingin melihat kedaulatan yang ada dalam pemerintahan Iran. Meski dalam pasal 2 konstitusi Iran dinyatakan bahwa Republik Islam Iran adalah suatu sistem yang berlandaskan keyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedaulatan eksklusif dan hak mengatur-Nya yang eksklusif, serta keniscayaannya untuk patuh pada perintahNya, tetapi dalam batas-batas tertentu kita melihat ada kedaulatan lain yang tidak semata-mata milik Tuhan. 85
Hasbi Amirudin, op.cit, hlm 109.
89
Sebelum menjawab persoalan tersebut, ada baiknya kita melihat perkembangan kedaulatan tersebut dari masa ke masa. a). Pada mulanya sovereignty berarti kekuasaan absolut tertinggi dan tidak dapat dibagi-bagi seprti penggunaan istilah kedaulatan tuan tanah di wilayahnya masing-masing. b). (Tetapi) setelah muncul raja-raja yang absolut maka kekuasaan itu menjadi terbagi, sehingga kedaulatan keluar dipegang oleh raja sedangkan kedaultan ke dalam dipegang oleh tuan tanah sendiri.86 Robert Mac Iver sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, mengatakan bahwa arti kedaulatan terbagi ke dalam tiga fase yaitu, pertama, Fase komparatif yaitu fase yang mengartikan kedaulatan pada zaman feudal abadabad pertengahan yakni ketika kedaulatan berada pada raja-raja dan tuan tanah. Kedua, fase absolut yaitu fase ketika zaman raja-raja absolut saat mana kedaulatan sepenuhnya ada di tangan raja dan tidak terbagi-bagi. Ketiga, fase relatif yaitu Fase zaman modern yang ternyata kedaulatas satu negara adalah relatif apabila dibandingkan dengan kedaulatan negara lain dalam lapangan internasional.87 Dalam pandangan Ahmad Basso, konsep tentang kedaulatan (sovereignty) yang berpadu dengan government (pemerintahan) serta disiplin (discipline) akan membentuk kekuasaan modern.88 Governmentality adalah satu model kekuasaan pastoral yang berkepentingan dengan kesejahteraan
86
Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 68. Ibid. 88 Ahmad Baso, Islam Pasca Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme, Bandung: Mizan, 2005, hlm. 157. 87
90
masing-masing dan semua penduduk berfungsi memperkenalkan ekonomi dalam pengaturan individu, barang dan kesejahteraan dalam keluarga pada level segenap kekuasaan negara, yang berarti melaksanakan fungsi pengawasan dan kontrol terhadap penduduk dan kekayaannya sepertihalnya perhatian kepala keluarga terhadap segenap anggota keluarganya beserta kekayaannya.89 Sementara, kedaulatan (sovereignty) berkaitan dengan penguasaan atas teritori, legitimasi dan ketaatan terhadap hukum, sementara disiplin terkait dengan lembaga-lembaga seperti sekolah, penjara, pabrik dan rumah sakit.90 Dengan demikian, pemerintah sebenarnya tengah mempraktekan system sentralistik yagn mengambil posisi “bapak” terhadap “anaknya”. Dengan demikian pemerintah sebenarnya tengah menjadikan rakyatnya sebagai penduduk yang sehat dan produktif.91 Analisa ini bermaksud bahwa negara sebenarnya tengah melakukan proses “disiplin tubuh” terhadap rakyatnya. Di sini, kedaulatan negara mutlak menjadi legitimasi atas politik yang dilakukan oleh negara. Kedaulatan menjadi begitu penting sebagai instrumen untuk melakukan dominasi. Saat kita mengalihkan perhatian ke dalam konteks pemerintahan Iran, maka jawaban atas sumber kedaulatan sepertinya akan langsung dijawab dengan kata-kata kedaulatan Tuhan. Jika yang menjadi rujukan adalah pasal
89
Ahmad Baso, Ibid. Ahmad Baso, Ibid. 91 Ahmad Baso, Ibid. 90
91
2 dalam konstitusi, mungkin jawabannya ya. Tetapi jika yang dilihat adalah sistem dan praktek politik secara holistik, maka sebenarnya ada dimensi rakyat dalam pelaksanaan politik. Pemilihan presiden dan legislatif oleh rakyat, bisa dikatakan sebagai wujud dari aplikasi kedaulatan rakyat. Meski pada dasarnya kedaulatan di Iran mutlak milik Tuhan, tetapi ihwal siapa yang menjadi presiden dan anggota legislatif rakyat turut berpartisipasi. Hanya saja kedaulatan rakyat itupun menjadi semu karena ada kekuasaan yang tak terbatas dari Faqih. Meski rakyat berkehendak, tetapi kehendak tersebut tidak bisa melampaui kekuasaan faqih. Atas dasar ini maka penulis bisa menarik benang merah bahwa demokrasi yang coba dipadukan dengan system politik dari sekte Syi’ah barulah sebatas pseudo democracy. Begitu juga ketika berbicara sumber kedaulatan. Meski ada keinginan rakyat, tetapi legitimasi atas praktek politik, tetaplah menjadi milik Tuhan. Atau jika merujuk pada pembagian lima konsep kedaulatan di atas, apa yang dipraktekan di Iran lebih condong pada teori kedaulatan Tuhan seperti yang diajarkan oleh Marsilius. Ini didasarkan atas satu fakta bahwa dalam Islam tidak ada sistem kepausan atau hierarki. Jadi faqih murni adalah seorang raja dalam ajaran Marsilius. Faqih inilah yang menggantikan imam selama masa ghaibah.